Bab 2 – Kehidupan Baru
Beberapa jam yang lalu, aku tersadar dari mimpi anehku bertemu dengan seseorang, kini aku masih dalam posisi tidur dimana hampir seluruh tubuhku dibalut dengan perban, bahkan untuk menggerakkan sedikit sendiku terasa ngilu. Tapi, entah untuk pertama kalinya aku bersyukur bahwa aku masih hidup. Meski tidak jelas mengapa aku sampai terluka parah seperti ini namun aku benar-benar lega masih bisa merasakan yang namanya bernafas. Benar-benar menenangkan.
Pintu putih itu terbuka dan seorang perawat yang cukup cantik masuk dan sedikit terkejut bahwa aku sudah sadar.
“Anda sudah siuman, pak?” Tanyanya sambil mendekat.
“I ... Iya.” Ucapku pelan.
Kuusahakan untuk menjawab sekuat mungkin, meski rasa kaku dan sedikit gatal menggangguku hingga saat ini. Perawat itu tampak mengganti infusku dan ia mengisi beberapa formulir disampingku, dan mata ekorku terus mengikutinya.
“Apa Anda mengingat identitas Anda, pak?”
Kepalaku berdenyut-denyut, ah sakit. Aku meringis menahan getaran itu, tubuhku tidak ada yang bisa digerakkan kecuali leher dan bola mata. Seharusnya aku ingat namaku, kok sekarang jadi lupa sih? Apa mungkin aku amnesia? Kesadaranku sudah sepenuhnya terkumpul namun aku belum bisa mengingat kenapa aku di rumah sakit dan apa yang terjadi padaku.
“Tidak perlu dipaksakan, pak. Ingatan anda akan kembali dengan sendirinya.”
Beberapa hari setelahnya, aku sudah bisa duduk dan menggerakkan tanganku meski masih sedikit susah. Tapi syukurlah setidaknya keadaanku membaik. Menurut apa yang dikatakan dokter yang merawatku, aku merupakan korban kecelakaan tabrakan mobil, dan kondisiku benar-benar kritis saat itu. Untunglah aku bisa selamat dan mulai membaik secara perlahan.
“Satu-satunya identitas yang ditemukan tentang Anda adalah dompet ini, pak.” Perawat itu menyerahkan sebuah dompet kulit kepadaku.
Aku menerimanya, dan saat kubuka sebuah kartu tanda penduduk terpampang jelas dan masih utuh bentuknya.
“Dimas ... Putra Pratama?”
Aku melihat data-datanya dengan seksama meskipun perban di wajahku terasa sedikit menganggu. Tanggal lahir 10 Januari 1998, Golongan darah O, dan sebagainya. Apakah ini beneran aku?
“Ini aku?”
Keraguanku makin bertambah banyak ketika melihat foto kartu itu, seorang pria rupawan, putih, bersih memakai baju kemeja kotak-kotak tersenyum menatapku. Sial, entah kenapa aku sedikit iri melihat laki-laki ini. Benar-benar sempurna.
“Punya siapa ini?” Tanyaku.
“Bukankah ini punya Anda.”
Heh?
Seminggu setelah saat aku tersadar, perban-perban mengganggu ini mulai dilepas oleh perawatku. Aku melihat diriku di sebuah pantulan kaca dan seketika aku agak terkejut dengan wajah yang kumiliki.
Aku ... Tampan?
Apa yang terjadi? Putih dan bersih. Kulitku, perasaanku kulitku bukanlah seperti ini. Aku meraba-raba wajahku dan mencubit-cubit pipiku. Aduh, sakit. Ini kenyataan. Seketika kebahagiaanku meluap entah mengapa.
Kepalaku berdenyut-denyut dengan kuat, sial sakit sekali! Ingatanku kembali! Oh, iya aku sedang keluar dan tiba-tiba aku sekarat tanpa tahu apa yang terjadi saat itu, dan juga aku bertemu pria tegap berwajah pucat mengenakan setelan Tuxedo berwarna hitam. Ah begitu.
“Anda sudah diperkenankan untuk berjalan, Pak Dimas. Saya akan menuntun anda.” Perawat itu menarikku pelan.
Dan akhirnya aku bisa berjalan dengan lancar.
Keesokan harinya.
Dokter mengatakan bahwa aku sudah bisa pulang dan ada seseorang yang ingin bertemu denganku. Mereka menyuruhku untuk menuju ke sebuah ruangan diujung lorong, sesampainya disana aku terkejut ketika seorang polisi dan seorang pria menyambutku dengan ramah dan menyuruhku untuk duduk.
“Anda bisa duduk di sebelah sini.” Kata polisi itu sopan.
Seorang pria di sebelahnya tertunduk takut.
“Bisa kita mulai?”
Aku mengangguk.
Diskusi itu berjalan lancar, dimana seorang pria yang duduk di sebelah polisi itu adalah orang yang menabrakku saat di jalan, dia menyesal dan berniat mengurusku hingga kondisiku kembali seperti semula, yang artinya aku akan tinggal di rumahnya. Aku pun menolak dan cukup menggantikan hal apa pun yang disebabkan oleh kecelakaan tersebut.
“Kurasa sudah semuanya disampaikan dan syukurlah semua berjalan lancar.” Senyum polisi itu.
Kami berjalan keluar dari ruangan diskusi dan polisi itu segera pergi meninggalkan aku berdua dengan orang bernama Setyo ini. Pak Setyo adalah orang yang menabrakku dan membuatku sekarat selama hampir sebulan, namun entah kenapa aku merasa senang, fisikku sekarang sudah berubah dan rasanya aku ingin berteriak kegirangan. YES!
“Terima kasih Pak Setyo. Terima kasih.”
Aku menjabat tangannya sambil tersenyum, impianku sekarang sudah terwujud. Tampan, tinggi, putih dan bersih. Ah, benar-benar sempurna. Dia tampak terkejut dengan sikapku, kemudian ia membalas jabatan tanganku sambil terus meminta maaf.
Setelah bertanya pada administrasi rumah sakit, ternyata aku ada di sebuah kota di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, daerah ini berbeda dengan asalku sebelum 'terlahir kembali' dan Pak Setyo sebagai bentuk pertanggungjawaban memberiku sebuah kartu ATM miliknya.
19:34 WIB.
Setelah beberapa jam berkeliling aku mendapatkan informasi tentang kos-kosan di kota ini dan mungkin karena aku baru saja lulus SMA, aku akan mendaftar untuk kuliah tapi ijazahku bagaimana ya. Apa bisa mendaftar tanpa ijazah?
Aku merasakan perutku protes karena lapar, setelah mengambil beberapa lembar dari ATM aku segera menuju ke sebuah warung indomie.
“Eh?”
Sepertinya aku mengenal gadis itu, tapi dimana.
Pandanganku tertuju padanya yang saat itu membeli nasi bungkus, wajah cantik sedikit tembem dengan kacamata bulat dan sebuah kerudung merah maroon yang lembut.
“Ini a' uangnya.” Suaranya lembut.
“Terima kasih ya, neng.” Balas pemilik warung itu.
Gadis itu berlalu kemudian menghilang di sebuah gang yang cukup gelap. Aku segera mengalihkan pandanganku ke arah paman pemilik warung.
“Siapa a'? Cantik bener?” Tanyaku.
“Namanya Diana, penghuni kost di sekitaran sini, sering dia mah kemari kalo malam buat beli nasi.” Jelas pria itu.
Aku ngangguk-ngangguk mengerti. Diana ya, hmm bagiku dia sangat cantik dan manis. Wajahnya benar-benar manis dan kacamatanya terkesan imut, mungkin hanya hiasan saja. Tapi, entah kenapa sepertinya aku pernah mengenalnya di suatu tempat. Setelah selesai membayar aku melihat ke arah paman pemilik warung itu.
“A’, katanya ada universitas deket sini ya?”
“Oh ada, lumayan gede lagi. Namanya Universitas Bima Sakti Indonesia (UBSI). Sampean ikut jalan ini lurus terus nanti kelihatan sebelah kiri.”
“Oh, begitu ya. Suwun lho a' pamit pulang dulu ya.”
Pantes banyak kos-kosan dan laundry dekat sini. Apalagi disini ada jalan besar yang digunakan untuk semua transportasi. Jika kuingat lagi, kota tempatku tinggal itu adalah sebuah kota kecil dibandingkan dengan kota ini. Dan, bagaimana caraku untuk mendaftar kuliah di sana ya. Aku pengen banget kuliah! Apalagi dengan fisikku sekarang.
Aku putuskan untuk lewat gang yang tadi Diana masuki siapa tahu aku bertemu dengannya. Aku melihat ke layar ponselku, dan jam menunjukkan pukul 9 malam.
“Yah, sekali-kali jalan sekitar sini-”
Telingaku mendadak menengang saat mendengar sebuah suara wanita dari belokan di ujung gang ini. Dan saat aku mendekat untuk menguping lebih jelas...
“Di-diana?!”