Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY THE INFLUENCER

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Part 6

Haaii jumpa lagi guuyyss,
Sori agak molor updatenya, kan ga keburu juga. daripada update cepet2 tapi jadinya jelek :ngupil:


-----Part 7: Hella Rich

Aku menggapai saklar lampu kamar. kini kamar itu menjadi terang. Mbak Mira sedang duduk di pinggiran kasur dengan wajah datar, dan telanjang bulat. Rambut lurusnya dijepit ke atas.
"Tadi pagi ketemu rika mbak, dia dikejar preman gitu. Pas banget waktu aku lagi nengok ke jendela. Gak denger tadi ribut ribut?"
"Trus kamu lanjut ke kosan rika gitu?"
"Iyalah, aku pastiin dia aman sampe kamarnya"

Mbak Mira berdiri, berjalan ke arahku yang terpaku seperti sedang diinterogasi. Ketika sudah dekat Mbak Mira menarik napas seperti menghirup sesuatu.
"Kamu ngeseks sama dia ya? Jawab jujur"
Faakkk intuisi Mbak Mira memang tak bisa dianggap remeh.
"Kok bisa Mbak ngejudge gitu? Dia sodaraku Mbak. Kita ngobrol banyak soalnya uda lama ga ketemu"

"Lagian ngapain dia pagi buta keluyuran? Apa bukan kamu yang ngajak ketemuan?"
"Eh serius mbak, dia abis dari minimarket beli jajan ato apa lah. Dari jendela aku bisa liat dia dikejar 2 preman"

Mbak Mira menoleh ke arah jendela, dia memikirkan sesuatu, kemudian kembali melihatku.
"Ngobrol aja tapi sampe ada bekas ciuman di leher? Apa yang diobrolkan? posisi seks yang ingin dicoba?"

Sial. Aku lupa kalo Rika sempet mencium leherku tadi. Aku tak tahu kalo meninggalkan bekas. Wait. Kenapa ini menjadi sebuah percakapan layaknya suami istri?

Kejadian bersama Rika dan sewotnya mbak Mira di pagi itu membuatku mengingat saat aku bersama Bu Febri setelah dari belakang gedung administrasi.


****


"Rumah Bu Febri dimana?"
Aku menarik gas motor suprax, melaju kencang setelah keluar dari gerbang kampus, Bu Febri yang baru saja menangis karena diputus cowoknya sedang duduk di belakangku, dengan kedua tangannya melingkar di perutku.

"Jalan seruling ris, setelah toko kain kalo dari bundaran"

Hari itu masih sekitar jam 10, tapi sudah cukup panas walaupun ada angin menerpa saat aku naik motor.

Tak sampai 30 menit aku sudah sampai di jalan seruling. Jalan seruling merupakan kawasan elit, rumah milik orang gedongan. Aku telah sampai di toko kain Seruling. Di sebelah kanannya ada rumah yang super gede, tingkat 3, dengan balkoni yang super megah, ditopang 2 pillar yang entah itu hanya hiasan atau memang struktur utama bangunan. Pagarnya menjulang 2 meter lebih.

"Sudah sampe bu Febri"
"Bentar aku telpon mbok sri dulu"
Bu Febri asyik mengutak atik Blackberry di belakangku.

"Halo? Iya mbok, aku di depan. Enggak enggak, bukain aja pagarnya. Iyaaa... Buka dulu pagarnya mbok. Ga usah mbok. Iya, yang tombol hijau. Hijau mbok. HIJAU"

Saat itu juga pagar itu menggeser ke samping. Rupanya pagar itu bisa otomatis terbuka.
"Masukin aja ris motormu ke dalam"

Aku dapat melihat Carport cukup untuk 2 mobil, satu tempat telah terisi mobil Pajero, satunya kosong. Aku menarik gas menuju tempat carport yang kosong itu. Bu Febri turun dari motorku. Sepertinya Bu Febri sudah cukup kuat untuk berjalan sendiri lagi. Tak lama kemudian pintu utama terbuka, muncul seorang ibu ibu paruh baya dengan daster batik.

"Maaf non, lupa terus mbok yang mana tombolnya. Non Fida nggak mau bantuin. Loh motor non Febri dimana?"
Rupanya itu Mbok Sri. Aku turun dari motorku dan melepas helmku.

"Ada masih di kampus. Siapin minuman dong mbok"
"Siap non"
"Yuk masuk dulu ris"

Aku mengikuti wanita berseragam dosen ketat itu dari belakang. Kini aku memasuki pintu utama, langsung tercengang. Ruang tamu yang luas, dengan langit langit ada di lantai teratas. 4 buah Sofa mengelilingi satu meja bening, yang didalamnya seperti ada potongan akar pohon yang besar. Foto foto keluarga ukuran besar terpampang di dinding sebelah kiri, Salah satunya ada Bu Febri. Aku bisa melihat balkoni dalam di lantai 2 memanjang dari kiri ke kanan.

"Duduk dulu ris. Aku ke kamar dulu yah, ganti baju"

Aku duduk di salah satu sofa yang langsung amblas ketika kududukin. Ada beberapa koran dan majalah di bawah meja yang ternyata terbuat dari fiberglass itu. Aku mengambil Jawapos.

Hmmm, kasus video ariel vs luna maya dan cut tari. Enak sekali si ariel, dia memang punya pesona yang membuat semua wanita suka padanya. Tapi aku sadar, kalo aku mau aku juga bisa ekse artis macam cut tari ataupun luna maya. Tapi yaah, entahlah apa yang akan terjadi.

"Silahkan den,..."
Satu cangkir berisi teh hangat tersaji di meja mahal di ruang tamu itu. Mbok Sri dengan semangat memandangiku menyruput cangkir itu.

"Kalo boleh tau den siapa yah, Temannya Non Febri ta?"
"Saya haris mbok, muridnya bu Febri"
"Ooooo iya yah Non Febri kan kerjanya ngajar. Tapi kok muridnya seumuran gini"
"Hahaha kuliah Mbok, memang yang belajar uda pada gede gede semua"
"Ooooo kok tumben ya den har-"
"Haris aja Mbok, ga usah den segala. saya juga orang kecil kok"
"Ooooo iya kok tumben ya Non Febri pulang lebih cepat, biasanya sore baru datang. Dianter mas Haris lagi"
"Eeehhh.. kenapa yah, aku juga ga tau mbok, cuma disuruh ngantar. Kayaknya kecapekan deh bu Febri"

Kecapekan karena nangis plus orgasme.

"Ooooo iya ya mungkin juga. Non Febri mesti tidurnya malam terus, dia telpon telponan sama pacarnya. Tapi belakangan kok isinya tengka-"
"Mbok, udah ditutup mulutnya! Kebiasaan cerita cerita"

Nada judes Bu Febri mengagetkanku dan Mbok Sri. Kini Bu Febri mengenakan jogger pants hitam, Kaos hitam dengan jaket bomber merah, dipadu Jilbab merah segiempat minimalis. Dia mau rencana keluar lagi toh.
"Maaf Non, keceplosan, Permisi mas Haris"
Mbok Sri lari masuk ke dalam.

"Ehehehe kayaknya Mbok Sri lebih paham duduk perkaranya deh"
"Si Mbok sudah kerja disini sejak lama ris, dia uda kuanggap keluarga sendiri. Makanya hal hal yang sifatnya privat dia tau. Tapi mulutnya itu loh, ga bisa di rem. Kadang sebel juga jadinya"

Bu Febri duduk menghampiriku.

"Mbooookk kok cuma bikin satu aja sih minumannya?"
"Jadi gimana bu Febri? masih ada rasa pingin nangis?"

Bu Febri terdiam, matanya yang terlihat kejam memandangku sejenak. kemudian dia menunduk.
"Iya dikit, rasanya diputusin itu masih melekat ris, Tapi uda lumayan lah ga separah tadi"
"Emang Bu Febri mau keluar kemana abis ini?"
"Keluar? Ga pingin kemana mana ris, pingin dirumah aja"
"Loh udah pake baju necis gini kukira mau keluar?"

Bu Febri memandangku heran, kemudian menunduk melihat pakaiannya sendiri.
"Hahaha aduh ris, ini mah casual aja, buat dirumah aja, atau kalo ada tamu"

Astagaa, cantik rupawan bila dia tertawa. Dia memang terkesan judes, tapi memang kalo dilihat dari struktur wajahnya Bu Febri itu dasarnya cantik, yaa mirip mirip presenter magdalena lah. Cuman kurang judes.

"Ini Non, maaf kukira mas Haris sebentar aja mampirnya. Permisi mau lanjut nyuci Non"

"Emang kalo di rumah aja ga ada tamu pakenya apa Bu Febri?"
"Mau ngapain kamu kok pingin tau baju yang kupake segala"

Ngobrol dengan bu Febri itu layaknya bermain catur. Hanya saja sejak awal permainan, tiap giliran Bu Febri selalu men-skak tajam.

"Yaa penasaran aja daripada mikirin cowok mulu Bu. Lagian aku heran, baju yang sekelas fashionista gini terhitung casual, trus yang baju sehari hari santai pake apa gitu loh"
"Hmmm.. apa yah, palingan celana pendek sama kaos aja ris"

"Aku punya ide. Biar gak suntuk sama cowok, gimana kalo parade baju santai yang bu Febri punya. gimana?"
Sekilas aku menangkap mata bu Febri berbinar, tapi hanya sebentar saja.
"Tapi bajuku di kamar semua ris"
"Ya kalo gitu paradenya di kamar bu Febri aja, biar ga usah ngambil bawa kesini"
"Yaudah, bawa sekalian minumanmu itu ris. Minumanku bawain juga"
"Oke bu"

Aku mengikuti langkah bu Febri dengan membawa dua cangkir. Rupanya kamar bu Febri ada di lantai 2. Kita naik ke tangga granit yang berbelok seperempat lingkaran. Aku berjalan menyusuri ruang tengah yang sangat terang, sinar matahari masuk melalui langit langit, melewati lampu hias yang sangat besar sebelum dipantulkan oleh lantai marmer putih abu abu. Seandainya Bu Febri kunikahin, pasti aku jadi orang gedongan juga.

Kamar Bu Febri. satu kata. WOW. Ini mah lebih cocok jadi kamar hotel bintang 5. Dindingnya full wallpaper. Lampu kecil kecil berjarak setengah meter merata di plafon. TV 50 inch nempel di dinding kiri. King Size bed dengan selimut yang tergerai hingga lantai, terlihat nyaman sekali walaupun cuma dilihat. Jendela bay, yaitu jendela yang menjorok keluar, lengkap dengan sandaran nyaman untuk baca buku, atau sekedar duduk menerawang keluar. Kamar mandi sudah pasti tersedia di dalam. Segala macam asesoris, furnitur, ornamen berkelas. AC ukuran 2 Pk menempel di ujung langit langit. Pantas Bu Febri memakai jaket, ruangan ini memang dingin.

"Kamar Bu Febri bagus.."
Bu Febri tanpa ekspresi mengambil blackberry di meja samping kasur, mengetik sesuatu.

"Kamu laki-laki ke dua yang pernah datang ke kamarku ris"
Aku menaruh 2 cangkir teh di meja kecil bawah tv.
"Oh saya terhitung laki laki ya bu? kukira saya masih mahasiswanya bu Febri"
Bu Febri tersenyum sepersekian detik, kembali ke wajah juteknya.

"Kak Febriiii mana chargerkuuu... loh? ada cowok...."
Tiba tiba dari pintu kamar ada seorang wanita berjilbab putih muncul. Wanita itu tersenyum, cantik sekali, dia seperti versi upgradenya Bu Febri, tanpa ekspresi judes. Dia memakai kacamata persegi panjang, jas putih ala dokter, dengan rok panjang warna hitam.

"Bentar ih aku belum selesai ngeces!"
"Dari semalam belom selesai ngeces? Trus aku pake apa dong? hapeku uda hampir mati ini!"
"Semalam juga kupake, sekarang juga kupake, ya pasti butuh dices!"
"Punya kak Feb kemana siii??"
"Ilang Fid, kalo ada uda kupake punyaku sendiri!"

Aku cuma tolah toleh mendengarkan mereka berdebat. Tak kusangka ada yang bisa mengimbangi percakapan pedas bu Febri.

"Kan masih banyak batre kak Feb, sini balikin bentar aku uda mau abiss~~!"
"iiih penting ini kerjaan fid, ntar sore aku mau beli lagi chargernya"
"Ga mau ga mau uda tinggal 5% ga bakal nyampe ntar sore!!"
"Kamu ya, dibilangin ini penting!"
"Mau penting mau ga penting aku juga butuh kak!"
"eeehhh... aku puny-"
"APA!"

2 wanita jelita itu meneriaki aku bersamaan. Aku merogoh tas selempangku, ada powerbank yang kabelnya punya banyak adapter, salah satunya bisa untuk blackberry. Kuserahkan ke Bu Febri.

"Pake ini aja sementara, sampe ntar sore kan?"
2 wanita itu diam melihatku.
"Siapa dia kak?"
"Mahasiswa di kampusku"
"Haris.."
Aku hanya berkenalan dari jauh.
"Fida..."

Bu Febri mengambil charger di meja kemudian berjalan ke arah Fida.
"Dasar pelit kamu!"
"ih Kak Feb yang pinjem seenaknya!"

Fida menutup pintu kamar agak keras. Bu Febri berjalan ke kasur, mengambil powerbankku kemudian duduk di pinggir kasur.
"Adik Bu Febri?"

Bu Febri memilah milah adapter yang cocok untuk hapenya.
"Iya, Semester 5 di kedokteran. Bawelnya minta ampun"
"Ya Bu Febri kalo pinjem balikin lah, kan dia juga butuh"
"Oh kamu bela dia sekarang?"
Aku bergidik. Lagi.

"Enggak, Nggak kok. itu bisa kan pake powerbanknya?"
"Bisa. Tapi ntar anterin beli charger!"
"Iya bu, santai. Saya antar kemanapun, sampai ujung dunia sekalipun"
"Kamu ngomong kayak cowokku yang pertama aja, banyak gombalnya"
"Ya maaf bu, saya cuma sekedar menghibur hati bu Febri. Mana katanya mau nunjukin baju baju santai"

Bu Febri melihatku, ekspresinya berubah menjadi semangat. Blackberry beserta powerbank dilemparnya ke tengah kasur. Dia setengah lompat menuju lemari pakaian 3 pintu di samping kamar. lemari itu punya cermin yang tinggi, setinggi lemari itu, 2 meter. Bu Febri membuka salah satu pintu lemari itu, ada beberapa level di dalamnya, tiap tiap level terisi lipatan baju sedikitnya 5 tumpukan. Bu Febri terdiam sejenak, kemudian mengambil salah satu lipatan dari situ.

"Nah ini yang paling sering kupake, aku suka"
Bu Febri menggelar piyama beserta pasanganya celana panjang berwana coklat bermotif Lois Vuiton.
"Nah kalo Bu Febri pingin pendapatku, pake aja bajunya. Ganti bajunya disini aja biar ga kelamaan"

Bu Febri berhenti sejenak menatapku. Dia meletakkan setelan piyama itu di kasur, kemudian melepas jaket bombernya. Bu Febri ingin melepas kaos hitamnya, namun kesusahan karena jilbab segi empatnya. Si otong berharap dia melepas jilbabnya, tapi harapan itu pupus ketika Bu Febri berhasil melepas kaos itu. Meskipun begitu, kini aku disuguhkan penampilan atasan Bu Febri hanya mengenakan BH warna hitam. Kulit Bu Febri kuning langsat, bukti kalo dia sejak kecil sudah dibiasakan berjilbab, jarang terekspos matahari. Hanya saja definisi dia berjilbab masih kurang tepat, jadinya malah bikin konak para pria. Kini Bu Febri melepas celana joggernya. Pakaian Bu Febri sekarang hanya BH, CD, dan jilbab segiempatnya. Aku ngaceng. Sayangnya pemandangan menakjubkan itu hanya sekilas, Bu Febri dengan instan sudah memakai piyamanya.

"Gimana bagus kan?"
Aku tak puas hanya melihat BH dan CD Bu Febri sekilas.
"iya bagus Bu Febri, kelihatan cantik. Ntar lepas aja baju sama celananya bu, biar ga kusut."

Bu Febri kembali melepas piyamanya dan celana pasangannya, BH dan CD hitam itu terlihat lagi. Bu Febri memutar badannya, dia mencari setelan yang lain. Pantatnya sedikit goyang ketika dia menarik lipatan baju di level 3 dalam lemari itu.

"Yang ini aku pake cuma sampe kuliah aja. sekarang udah enggak, pinggirannya uda robek"
Dilemparnya baju itu ke kasur. Bu Febri menghadap ke lemari lagi.
"Yang ini aku suka motifnya, motifnya doang, ga suka bahannya, telalu mengkilat. Cuma kupake sekali aja"

Bu Febri tampaknya senang sekali menunjukkan isi lemarinya. Baju demi baju ditariknya dari lemari, ditunjukkan padaku, kemudian diletakkan di kasur. Aku juga senang melihat Bu Febri yang hanya memakai BH, CD dan Jilbab saja.

"Nah yang ini terlalu imut, ga tega pakenya"
Kali ini juga piyama, hanya saja celananya pendek, mirip hotpants. piyama itu berwarna kuning, bermotif pisang.
"Oh selama ini ga pernah pake?"
"Iya, sayang"

Sebuah ide terlintas di benakku.
"Kalo gitu nanti malam pake aja bu, biar tau rasanya gimana pake yang itu. Sisihkan aja dulu bu"

Bu Febri meletakkan piyama pisang di kasur yang agak jauh. Dia memutar kembali menghadap ke lemari. Isi di level 3 dalam lemari itu sudah kosong. Dia kembali memutar menghadapku.
"Udah itu aja. Mau tau koleksi jaketku?"
"Boleh boleh, emang Bu Febri punya berapa jaket?"

Bu Febri tersenyum semangat. Dada yang hanya tertutup BH itu memutar menghadap lemari lagi.
"Banyak. Buanyak."

Dibukanya pintu lemari ke 3, bentuknya sama dengan sebelahnya, Terbagi beberapa level, tiap level berisi tumpukan pakaian, tapi sepertinya isinya hanya jaket aja. Sama seperti tadi, Satu persatu jaket dikeluarkannya dan ditunjukkan padaku. Memang wanita seperti bu Febri suka sekali untuk mengkoleksi baju baju. Yaa anggap aja itu hobinya.
"Yang ini langka banget, aku dapat waktu di jepang. Custom size langsung dari yang bikin"
Bu Febri memegang jaket bomber bermotif lukisan ombak.
"Yang ini aku suka modelnya, ada telinganya di hoodie"

Sambil mendengarkan penjelasan bu Febri aku mengambil 2 cangkir teh yang sudah mulai dingin itu. Satu cangkir kusruput, cangkir satunya kuberikan ke Bu Febri. Bu Febri menghentikan shownya untuk ikut minum teh.

"Yang ini model doraemon, imut banget ada kantongnya."
Sambil memegang cangkir Bu Febri masih menyempatkan menunjukkan beberapa jaket.
"Jaket sebanyak ini emang Bu Febri pake semua?"
Bu Febri ikut duduk di kasur di sebelahku.

"Yaaa paling enggak sekali lah ris, eh ada kok yang blum pernah kupake. Yang ini, sama yang ini. Yang ini juga blum, oh, ini juga. Yang iniiii.. aku lupa pernah pake ga yah"
"Trus yang biasa dipake yang mana bu? yang tadi dipake?"
"Yang tadi itu juga baru sekali kupake ris. Biasanya siihh... yang ini. Aku suka bahannya, lembut, ga kelewat panas kalo kena matahari, tapi bisa bikin hangat kalo dingin."

"Bu Febri suka koleksi baju yah, emang pernah nunjukin koleksi ini ke siapa selain aku?"
"Biasanya sih ke ortu. Tapi ortu jarang ke rumah sekarang. Mau nunjukin ke Fida, Fidanya sibuk kuliah mulu. Lagian dia mana mau kutunjukin ginian"
"Loh emang temen bu Febri ga ada yang pernah liat?"

"Ga ada ris, Temenku uda pada sibuk sendiri sendiri. Ada dulu cowokku yang kedua, dia yang pernah mampir ke kamarku kayak kamu, malah sampe kamar dia langsung aneh aneh"
Bu Febri berubah ekspresinya jadi jutek.
"Aneh aneh gimana?"
"Yaaa ituuu, malah jadi mesum ke aku, Baru juga kenalan 3 bulan belom apa apa"

Kasian banget Bu Febri apes mulu ketemu cowok. Termasuk aku huehehehe. Well, at least aku ingin memperlakukan dia layaknya seorang wanita.
"Oh jadi saya satu satunya cowok yang pernah lihat Febri's Collection ini?"
Bu Febri memandangku tanpa menjawab, ekspresi juteknya hilang, tapi dia juga tidak tersenyum.

"Makan yuk, uda siang ini"
Bu Febri memakai kembali kaos, celana jogger hitam, dan jaket bomber. Dia berjalan keluar kamar. Aku mengikutinya dari belakang. Ruang makan terletak setelah ruang tengah, di lantai 1, buseet ruang tengahnya ala film film, meja makan cukup untuk 12 orang, dengan kursi besar berjajar di pinggiran meja. Bu Febri menyalakan tv yang berukuran sama dengan kamarnya, dia memindah mindah channel, yang ada hanya berita. Kemudian dia mengganti remote, rupanya itu remote Indovision. Tv itu langsung menampilkan HBO.

"Mboookk..."
"Iya non, kenapa butuh apa"
"Di kamarku ada baju baju tolong ditata yah, masukin lagi ke lemari"
"Ooooo sekarang non?"
"Taun depan."
"Ooooo saya catat dulu kalo buat taun depan non"
"Sekarang mboookkk"
"Oooo iya non iya sekarang"

Bu Febri memang manja. Wajar lah, anak orang kaya. Tapi ini 2 sisi yang sangat berlawanan, di kampus dia keras, disiplin, tapi di rumah dia manja, kekanak kanakan. Dia kini menuju meja makan sebelah ujung. Aku baru sadar disitu sudah tersedia makanan.

"Ambil piring disitu ris, sendoknya di laci bawah meja"
Aku beranjak ke laci yang berjajar menempel di dinding, mengambil 2 piring, kemudian membuka laci di meja bawah, ada banyak tipe sendok. Aku ambil yang paling mirip dengan sendok yang biasa kupakai, meskipun ukurannya lebih besar dan lebih tebal. Aku menuju meja makan. Bu Febri sudah duduk di kursi paling ujung, menghadap tv.

"Garpunya mana?"
"Oh bentar aku lupa"
Aku lupa kalo orang kaya makannya pakai sendok dan garpu. macam kalo makan daging pake pisau juga. Aku mah daging setebal apa pun makannya tetep pake sendok, kalo susah ya gigi.

"Nih.."
Bu Febri sudah duluan mengambil nasi dan tumis kacang panjang ke piringnya.

"Kamu kalo ga salah kukasih tugas yah, dikumpulkan besok"
Aku duduk di sebelah Bu Febri.
"Iya bu, Banyak amat ngasih tugas"

Aku mengikuti menu yang diambil Bu Febri, kemudian mengambil udang goreng tepung dan tempe mendoan.
"Salahmu sendiri, datang telat"
"Iya maaf, abis dari kamar mandi ituu, sakit perut"

Kita fokus makan di piring masing masing.
"Ngerjain disini aja ris, sekalian kubantu. Kamu bawa bukunya kan?"

O la la. Pucuk di cinta mesum tiba.

"Nanti sore atau malam aja Bu Febri. Males ngerjain kalo sekarang heheheh"
"Awas kamu kalo ngerjain sampe kemaleman. Aku capek juga kalo nungguin sampe malam"
"Iya siap siap"

"Apa menu siang ini??"
Fida muncul dari ruang tengah. Dia menuju ke meja makan.

"Tanya mulu, kalo mau makan kesini"
Bu Febri cuek sambil makan dia nonton Lord of The Rings.
"Tanya doang, sinis amat sih?"
"Tumis kacang panjang sama udang goreng tepung Fid"
"Hmmm... Mbok Sri memang juara. Kamu ga ada kuliah hari ini ris?"

Fida mengambil piring sendiri kemudian mengambil nasi dan lauknya.
"Ga ada, selasa rabu cuma satu mata kuliah doang. Jadwalku numpuk di senen sama jum'at. Kamu ga ada kuliah Fid?"

Sedikit banyak aku memperhatikan Fida. Dia memang cantik, mirip banget sama Bu Febri. wajahnya bersifat ceria, tanpa senyum pun orang lain melihatnya jadi senang. Tingginya sekitar 167cm, sedikit lebih pendek dari bu Febri.

"Abis praktikum di Rumah sakit umum. Bentar doang"
Fida duduk disebelah bu Febri, jadi berseberangan denganku.
"Fida itu sering mbolos ris, ikutan organisasi apaa gitu"

Bu Febri mengejek Fida, yang langsung ditungkas Fida.
"Ihh mana ada mbolos!"
"Oh ikutan organisasi apa Fid?"
"Pecinta alam ris. Ga terlalu aktif juga kok. Cuma ikutan kalo jalan2"
"Oh jadi uda pernah ke alam mana aja ini?"
"Baru bromo sama coban coban ris, malas mau ikutan yang jauh jauh"
"Ke alam barzah!"

Sahutan Bu Febri seakan akan menyela obrolanku dengan Fida.
"Apaan sih, bilang kalo iri kak! Dia dulu ga pernah jalan jalan keluar ris, pulang kuliah udah di rumah aja"
"Jangan buka kartu, Fid! Mau kubuka kartumu juga hah?!"
"Oh Bu Febri itu tipe cewek rumahan to"
"Iya ris! pernah diajak temennya main ke Lombok, Tapi dia nolak, alasannya amandel ato apa gitu. Trus malamnya dia rengek rengek ke mama pingin ke lombok"
"Ga usah ikutan kamu ris. Fokus aja sama piringmu"

Tak harus ikutan pun aku tau kalo adiknya lebih memimpin dari kakaknya. Lebih supel sih kalo kubilang, Fida terkesan lebih superior. Fida punya karakter yang lebih dewasa daripada Bu Febri. Entahlah, kenapa kok semuanya begitu kontras berlawanan. Adik vs kakak, di kampus vs di rumah. Terlepas dari itu, sisi tergelap dari hatiku lebih suka berfantasi mereka semua berlutut saling menghisap penisku. Emang itu mustahil? Tidak.

"Mbook lagi dimanaaa, sini makan bareng"

"Ris entar abis makan anterin beli charger"
"Tuhkan apa apa minta dianterin! Dasar manja!"
"Apa sih kamu tiap aku ngomong selalu jadi bahan!"
"Gapapa Fid, motor bu Febri ditinggal di kampus tadi. Lagian wanita anggun seperti Bu Febri memang seharusnya ditemani kemana mana"

Kedua wanita itu tiba tiba diam, melihatku.
"Hahahahahahahahahahaha"

Kedua wanita cantik itu tertawa bersama, terpingkal, tak memperdulikan aku yang masih heran.
"Ketemu dimana sih kak??"
"Baru aja ngajar dia tadi pagi Fid"
"Kenapa sih? Emang ada yang salah di omonganku?"

Mereka terdiam melihatku lagi.
"......Ah enggak, ga ada kok, iya kan kak?"
"Iya ga ada apa apa, lanjut aja selesaiin makannya ris. Mau nambah? Ini masih ada udangnya"
"Jadi sekarang berubah haluan suka yang brondong gini kak???"
"Hush diem kamu! Kalo dia ge er ribet ntar"

Mereka lebih asyik ngobrol berdua, aku hanya diam dianggap patung.
"Kalo mampir beli charger sekalian titip beliin hedset ya kak"
"Ih seenaknya saja, kalo mau bel-"
"Iya entar aku cari hedset"
"Haris~! Jangan mau kalo dititipin sama dia!"
"Loh cuma hedset aja kenapa sih. Emang kamu pingin Hedset yg kayak gimana fid? Jangan yang mahal, aku ga ada uang banyak"
"Ris ris ris stop uda stop. Kamu yang ikut aku beli charger, bukan sebaliknya. Aku ga mau beliin dia hedset!"
"Ih apaan sih kak, dia kan yang mau beliin bukan kak feb. Yang murah murah aja ris, harga 200-300 rebu ga masalah"
"Eeeeehhh.... 200ribu itu mahal fid"
"Hahaha rasain fid, mana ada haris punya uang segitu"
"Gampang ntar sebelum berangkat aku kasi uang. Weekkk"
"Oke fid"
"Iiihh kamu bela siapa sih ris?!?"

Aku bela kalian berdua untuk menyenangkan si otong.

"Ga bela siapa siapa bu Febri"

Kita selesai makan. Mbok Sri baru saja datang.
"Dari mana saja sih mbok? Kita baru aja kelar makan"
"Itu Non, beresin lemarinya non Febri, kayak planet pecah!!"
"Emang kebiasaan itu kak Febri mbok"
"Ga usah cari bahan deh, yuk ris"
"Eh bentar dulu kak! Ikut aku ris, aku kasi uang buat hedset"
"Ih maunya, buruan!"

Aku berjalan mengikuti wanita berjilbab putih. Kamar Fida juga ada di lantai 2, tapi seperti berjarak satu lorong dari kamar bu Febri, jauh banget.
"Tunggu bentar yah, aku ambilin"

Aku dihentikan di depan pintu. Emangnya saya pembantu. Aku menahan pintu kamar Fida
"Biar antartika ga meleleh, saya masuk kamarmu juga Fid"
"Oh oke"

Aku ikutan masuk ke kamar Fida. Kamar itu kurang lebih luasnya sama, dengan fasilitas standar orang kaya macam kamar bu Febri. Hanya saja Fida lebih suka menempel poster poster anime, manga. Kontras sekali dengan ke-elegan-an kamar mewah.

"Oh suka manga anime Fid?"
Fida menuju meja komputer untuk mengambil tas punggungnya.
"Yaa lumayan ris"
"Emang suka manga apa Fid?"
Fida menemukan dompet besar di dalam tas itu, dibukanya untuk mencari uang di dalamnya.
"Yang umum umum aja, one piece naruto dan kawan kawan"

Fida sepertinya tak dapat menemukan uang di dompetnya. Dia mulai merogoh tasnya, mencari secercah harapan ada uang yang terselip di dalam tasnya.
"Ris kayaknya aku ga ada uang deh"
"Loh trus gimana dong fid?"
Fida berhenti mencari, kemudian melihatku.
"Kalo minta nenek lampir itu bakal susah. Hmmm..... kamu bisa kartu kredit?"

Kartu kredit? Makanan apa itu?

"Makan-eh-ga bisa fid"
Fida memberiku kartu bank BCA dengan motif The Dark Knight.
"Minta tolong aja caranya ke kak Feb ris, ntar bilang aja ini punyamu. BUKAN punyaku oke?"
"Oke, supaya kartu ini berfungsi aku butuh lihat payudara kamu"

Fida melepas jas putihnya, kemudian melepas kancing di kemeja kotak kotaknya. Tak sampai melepas semua kancing, dia menarik kemeja itu ke kiri dan ke kanan. Terlihat BH warna putih. Fida mengangkat kedua cup BHnya ke atas,
"Gini?"

Wooooowwww. Seorang Fida yang cantik, berjilbab, anggun, sedang menunjukkan dadanya ke orang yg baru dikenalnya 2 jam yang lalu. Dada yg berukuran sekitar 34c itu benar benar bundar, dengan puting coklat muda berada persis di tengah tiap payudaranya yang simetris. Ukurannya kukira lebih besar daripada milik Bu Febri. Warna putingnya menyadarkanku akan pertanyaan penting.

"Fid supaya aku mau membelikanmu hedset, kalo aku tanya sesuatu kamu harus jawab jujur yah, tak ada yang ditutup2in"
"Tanya apa ris?"
"Kamu masih perawan fid?"
"Iya ris. Kenapa?"

Shit. masih perawan. Aku kurang suka wanita yang masih perawan. Vaginanya masih tersegel. Biar wanita itu sendiri yang memutuskan perawannya akan diambil oleh siapa.

"Gapapa, kepo aja. Kalo cowok punya?"
"Ada sih gebetan, g sampe kenal lebih jauh, dia pinginnya ta'aruf gitu"
"Emang dia mau rencana datengin kamu kapan?
"Setelah dia lulus kuliah ris, dia setahun lebih tua dariku, jadi mungkin bulan depan wisuda"

Oh gitu. Dia sudah diambang pernikahan. Pantas bu Febri merasa terburu buru.
"Oke ntar kita lanjutin ngobrolnya yaa"
"Iya ris"

Aku beranjak keluar, meninggalkan Fida yang sedang mengancing kembali kemejanya. Aku masih ngaceng teringat buah dada simetris itu.
"Sudah ris? Ayo"

Aku bisa melihat bu Febri sudah berganti baju kaos putih ketat dan jaket denim yang tak dikancing, beserta jeans biru gelap yang tak kalah ketatnya. Baju dan celana yg ketat itu kontras sekali dengan jilbab abu abu tua yang dia pakai. Aku segera menuju tangga granit di dekat situ. Saat sampai di tangga, aku malah melihat bu Febri naik ke atas.

"Bentar ris, ada yang ketinggalan"
Bu Febri sedikit berlari di tangga, membuat dadanya bergoyang tak mampu ditahan oleh t-shirtnya. Aku semakin ngaceng, sudah tak tahan lagi.
"Oh apa yang ketinggalan bu?"
"Hapeku tadi, dikasur kan?"
"Oh yaudah aku sekalian ke kamar bu"
"Ngapain? Kamu tunggu aja diluar"

Aku tak mempedulikan perintah bu Febri. Kini aku sampai di kamar bu Febri, mendapati bu Febri sedang menungging untuk menggapai hapenya di tengah kasur. Oke fix ga tahan lagi aku.

"Bu Febri, masih ingat tadi pagi aku bikin orgasme bu Febri?"
"Emang kenapa ris"
"Nah karena aku ngelihat bu Febri seksi sekali, aku jadi horny bu"
Bu Febri melirik ke selangkanganku. Dia sedikit membelalak ada gundukan di resleting celanaku. Dia langsung siaga mundur.

"T..trus kenapa ris? Kamu jangan macam macam yah, aku teriak ini"
"Loh yang mau macam macam siapa sih, kok negatif mulu pikiran bu Febri"
Bu Febri sedikit heran melihatku. Dia masih menjaga jarak dariku.

"Trus ngapain kamu ngasi tau kalo kamu lagi horny tadi?"
"Ya kalo lagi horny gini bakal ga fokus pas aku bonceng bu Febri ntar"
"Trus?"
"Ya supaya aku ga horny bu Febri bantuin aku 'melepaskan' dulu"
"Melepaskan gimana?"
"Ya bantuin, hisap aja penisku aja bu, biar agak cepet melepaskannya"

Bu Febri diam sejenak. Kemudian berjalan ke arahku. Sesampai didepanku, dia berlutut melepas celanaku, diturunkan setengah, kemudian boxerku juga diturunkan. Keluarlah penis yang dari tadi merasa tertekan oleh kecantikan dan keseksian 2 wanita di rumah ini. Bu Febri sedikit membelalak penisku sudah menjulang tinggi. Tangan bu Febri sedikit ragu untuk menyentuhnya, tapi ketika salah satu jarinya sudah menyentuh helm penisku, dia sudah tak canggung lagi, digenggamnya dan dikocoknya pelan barang yang bukan miliknya itu.

"Kamu sih, pake acara bikin aku orgasme, jadinya kamu kepingin juga kan"
"Iya bu, maaf, kan buat bu Febri juga, saya ga tega kalo liat bu Febri nangis"

Bu Febri menghela nafas, sambil mengocok dia mulai menjilat dari pangkal bawah penisku. Ketika lidahnya sampai ujung helm mulutnya membuka dan memasukkan penisku keseluruhan. Dihisapnya penisku sambil kepala berjilbab itu maju mundur. Benar benar situasi yang menggairahkan, seorang wanita berjilbab namun bajunya ketat, dosen kuliahku, baru saja kita bertemu hari ini, sedang berlutut mem-blowjob-ku di kamarnya.

"Aaahh.... enak sekali.... hisapan bu Febri nikmat....aahh"
Aku tak sadar meracau menikmati hisapan yang penuh gairah itu. Aku memejamkan mata, menghayati setiap milimeter goyangan lidah Bu Febri di sekeliling penisku. Ini adalah mulut kedua yang pernah menikmati kerasnya penisku. Maaf ya Tante Nung, aku bukan tipe orang yang setia. Aku lebih menyukai eksperimen ke tiap wanita yang masuk dalam hidupku...... Ini apa sih, lagi dioral kok malah berpikir kemana mana.

Kurang lebih 10 menit aku menikmati hisapan Bu Febri, aku hampir sampai.
"Bu Febrii... aku mau keluar..."
Bu Febri melepas hisapannya, tetapi tetap mengocok penisku. Aku melihat mata Bu Febri, tetap dengan ekspresi juteknya.
"Kalo uda sampai bilang ya ris...."
"Masukin aja di mulut bu Febri, biar ga tercecer kemana mana, cuma di mulut Bu Febri aja"

Bu Febri memasukkan kembali penisku ke mulutnya, menghisap dan maju mundur.
Terasa kenikmatan khas itu mulai menjalar, aliran listrik mengalir merasuki otakku, sedikit lagi aku mau keluar... dan.....

Fida?!?

Ada Fida di kamar, bersembunyi di samping pintu. Posisi pintu kamar berada di samping kananku, sehingga aku dan Bu Febri benar benar terekspos oleh Fida. Namun Fida tak merespon apa apa, hanya terdiam di balik pintu. Tangan Fida menggenggam menutupi mulutnya, Wanita berjilbab putih itu terfokus dengan kakaknya yang menikmati penis di mulutnya. Tak sampai 2 detik Fida menyadari kalo aku melihatnya. Kita saling tatap mata, dan...... Aaarrgghh!!!

Crrooott crooott crooott crrrooott

Bu Febri tersentak, Spermaku sebagian tumpah keluar, tak mampu dibendung mulut bu Febri. Begitu Banyak sperma yang kukumpulkan hasil berpikir mesum dari jam 9 tadi. Aku masih berenang dalam hanyutan orgasme, Bu Febri mencoba menadahi sisa sperma yang keluar dari mulutnya dengan kedua tangannya. 15 detik kemudian aku telah selesai orgasme, Bu Febri tahu dan mundur pelan, berhati hati agar sisa sperma yang di mulutnya tak sampai keluar.

Aahh! akhirnya penisku keluar dari mulut wanita cantik namun judes itu.

"Sperma saya telan aja bu, supaya bu Febri lebih awet muda"

Bu Febri mengangguk dan menelan air maniku, menjilat sperma yang tertampung di tangannya, kemudian menunduk, mukanya mendekati air mani yang tercecer di lantai, lidahnya keluar. Wait wait wait....

"Stop stop..!!! kalo uda di lantai tak perlu ditelan bu Febri! sudah terkontaminasi ga bakal bikin awet muda. Lain kali pastikan semua sperma saya tetap di mulut Bu Febri, supaya langsung ditelan"
Bu Febri berhenti kemudian mengangkat kepalanya lagi.

"Kamu sih muncratnya kebanyakan, mulutku ga cukup nampungnya"
Bu Febri mengambil tisu di meja bawah tv, kemudian melap spermaku yang mau dijilatnya langsung di lantai tadi.
"Ya lain kali kalo mau lebih khasiat muncratnya di dalam vagina Bu Febri saja, supaya bisa nampung lebih banyak"
"Iyaa, g usah bawel ris"

Ngeri juga efek influence yang kuberikan, bu Febri benar benar tunduk pada perintahku, dengan alasan yang seharusnya tak logis baginya. Aku juga pernah mengalami hal yang ngeri seperti ini saat bersama Tante Nur saat liburan kemarin. Aku menaikkan kembali boxer dan celanaku.

"Ayo berangkat ris"
Aku berjalan keluar kamar. Sudah tak ada Fida dibalik pintu. Dia pasti sudah kembali ke kamarnya. Bu Febri tampaknya tak menyadari adik kandungnya telah menyaksikan aksi terliarnya barusan. Kita berjalan menyusuri tangga, aku bisa melihat mbok Sri ada di dapur, membereskan makan siang tadi.

"Mbook aku cari charger duluuu"
"Iya non, carger itu apa non?"
"Udeeh kalo ada yg nyari bilang aja gitu"
"Oooo iya non Febri"

Aku sudah diluar rumah, memutar suprax, kustart, pake helm. Pagar itu geser kesamping otomatis, aku keluar pagar. Bu Febri menaiki belakang motorku, tangannya melingkar di perutku. Aku melaju kencang menuju toko aksesoris hape di sekitar situ. Tak sampai 20 menit aku berhenti.

"Kok berhenti ris?"
"Itu tokonya bu"

Aku menunjuk toko aksesoris hp yang memiliki bermacam macam banner merk hp di luar.
"Jangan ke toko gini ris, langsung ke toko orinya aja"
"Oh dimana itu bu?"
"Di mall ris"

Aku mengegas kembali suprax. Mall tak jauh dari toko aksesoris tadi. Begitu sampai aku langsung mencari parkir basemen. Kita memasuki mall dari pintu paling bawah dekat parkiran motor.

Aku merasakan hawa dingin mall ketika melewati pintu masuk. Hari itu cukup sepi, yaa memang hari biasa di siang hari ga begitu banyak pengunjung. Kita naik kelantai 1. Beberapa etalase dengan penjaga toko yang duduk santai sambil memegang hapenya karena tak ada pengujung.

"Ris ris sini bentar, ini bagus jaketnya"

Oh iya aku lupa, ada yang pernah bilang kalo keluar sama cewek sudah pasti tak mungkin hanya terfokus di tujuan awal. Aku melihat bu Febri terdampar di salah satu outlet, tangannya memegang jaket abu abu dengan kerah berbulu.

"Iya bagus bu, tapi kayaknya g cocok sama kulit bu Febri"
"Oh masa? Kalo warna lain? Ini? Ini? Oh aku sudah punya yang ini. Sini ris, ada yang bagus disini"

Aku bisa melihat bu Febri sangat senang memilah jaket. Well, aku juga tak buru buru, nikmati aja, sekalian hibur bu Febri. Lagian para penjaga toko disini cantik cantik, memakai baju seragam polo hijau ketat dan celana gelap.

"Gimana menurutmu?"
Aku menoleh melihat bu Febri memakai jaket parasut biru dongker.
"Bagus, cocok banget. Aku suka"
"Oh kamu suka? Iya aku juga suka. Aku ambil ini deh"
Bu Febri menuju kasir untuk cekout.

"Kakaknya, mas?"
"Hah? Eh... ohh.. bukan.. ehh...iya bukan"

Tiba tiba salah satu penjaga toko bertanya padaku. Dia cantik sekali, sampai bikin aku grogi. Yah saya memang kalo baru ketemu cewek cantik sedikit aja sudah pasti grogi.
"Cantik banget mas, Bukan pacar mas kan? kayaknya terlalu tua buat mas"

Shit. Aku terlalu grogi sampai membuatku merasa risih.
"Ohh... iya.. nggak.... mbak....iya... hehe.."
Posisi mbak itu sangat dekat, aku bisa melihat dari sela kaos polonya yang tak dikancing, terdapat BH coklat di dalam kaos polonya. Membuatku semakin salting.

"Hahaha grogi banget kenapa sih mas? sante aja kali"
"Eeeeehhhh... nggak kok.... gak grogi...."

Oh aku ada ide.
"Mbak supaya gak terlihat lagi ngobrol ngobrol, Mbaknya tolong beli kondom 1 pack yah, jangan kasi tau orang lain."
Mbak itu melihatku, kemudian beranjak keluar toko dia bekerja. Aku kembali melihat bu Febri, dia masih mengantri dibelakang 2 orang.

Tak sampai 5 menit Mbak itu kembali, dengan kondom di tangannya, kemudian menyerahkan kepadaku. Aku langsung memasukkan kondom itu ke tasku.
"Beli dimana mbak kok cepet?"
"Di Giant, disebelah. Jadi itu siapanya mas?"
Leh, aku lupa kalo ada supermarket di dalam mall.

"Dosenku mbak, aku cuma kuli panggul aja"
"Masa sih? ga keliatan kayak dosen. Bajunya gokil banget. Bodynya bagus lagi. mau pake baju apa aja keliatan bagus"

Aku terdiam. Mbak itu benar, Wanita berpantat seksi dibalut jeans itu memang cantik, andai saja dia tak judes, pasti banyak lelaki yang mengantri untuk meminangnya.
"iya mbak.. he eh...."
"Oh jadi masnya suka sama dosennya ini? hehehehe kayaknya jadi cerita ftv bagus ini"
"Hati hati mbak ngomongnya, dia dosenku, kurang pantas mbaknya bilang gitu"
"Oh sori sori, gitu aja sensitif banget mas"

"Yaudah supaya ga terlalu sensitif, mbaknya sekarang ke toilet, masturbasi sampe orgasme dulu. Kalo belum 3 kali orgasme jangan balik kesini. Buruan!"
Cewek cantik itu memutar badannya, tolah toleh mencari toilet terdekat. Dia kemudian menghilang di balik keramaian.

"Yuk ris cari toko charger"
Bu Febri memberikanku kantong berisi jaket parasut tadi. Aku paham, aku harus yang membawakan barang barang belanjaan wanita macam bu Febri.
"Ris, kesini bentar"

Bu Febri berhenti di etalase outlet underwear, terpampang beberapa manequin yang dikenakan set BH dan CD warna hitam dan abu abu, lengkap dengan garter belt dan stoking yang seragam.
"Oh mau kesini bu?"
"Nggak ah, ntar kamu mikir macem macem"

Whaatt emangnya saya mau mikir apaan sih.

"Supaya saya gak macem macem, bu Febri harus mencoba di fitting room bersama saya"

Bu Febri berjalan masuk. Aku mengikutinya.
"Apa kata orang ntar kalo kamu ikutan masuk di fitting room ris?"
"Bilang aja sodara biar ga ada yang curiga bu"

Bu Febri menemui salah satu penjaga toko. Dia menunjuk manequin yang dipajang di depan tadi.
"Yang item yah, iya. 34B. Coba yang M dulu mbak. Aku tunggu yah"
Tak lama pramuniaga yang sudah emak emak itu membawa plastik, diberikan ke Bu Febri.

"Yuk ris"
Aku mengikuti bu Febri ke Fitting room. Oh la la. Hari ini memang penuh godaan. Fitting room disitu tak begitu sempit, cukup untuk 2 orang, dengan kaca di 3 sisi. Aku dan bu Febri sudah di dalam, aku menutup korden. Tas cangklong bu Febri digantung, aku meletakkan kantong jaket parasut persis dibawah korden untuk menutup sempurna.
"Tolong gantungin ris"

Bu Febri sudah memulai melepas jaketnya, diikuti kaos putih ketatnya, lalu celana jeans gelapnya. Aku kembali disuguhkan penampilan bu Febri yang hanya BH, CD dan Jilbabnya.

Dan pertunjukan tidak sampai disini.

-----
Part 8
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd