THE LUCKY BASTARD – PART 20
----------------------------------------
"Shit.." Anggia memejamkan mata keenakan. Kami sedang berhubungan seks di kamar sebuah hotel. Kami terpaksa melakukannya disitu, karena opsi apartemenku dan rumahnya adalah opsi yang mustahil. Dulu sebelum aku berpacaran dengan Nica, aku pernah beberapa kali berhubungan seks dengan Anggia di hotel ini.
Anggia ada di atas tubuhku. Woman on Top, telanjang bulat. Tubuh indahnya yang langsing dan berkulit licin tampak berkilau disinari lampu kamar yang temaram. Rambut panjangnya diikat ponytail, serta gerakan badannya yang perlahan tapi seksi diatas tubuhku merupakan pemandangan luar biasa malam ini.
"Lo... Ahh... Jangan.. jangan... Mutusin Nica.... Buat... Ahhh... ML ama gue ya.... Uhhh...." Anggia mencoba mengajak ngobrol.
"Aduh Nggi...." Jawabku sambil meremas pinggangnya.
"Mmmmhhhh... Ahhh... Lo Bangsat.."
"Berisik Nggi....."
"Jangan-jangan lagi ML ama gw gini.... lo bayangin Dian ya? Ahhhhh...."
"Gak lucu...."
"Boleh kok.... Gw juga lagi bayangin Adrian... Ughhh....." Matanya terpejam, menghilangkan bayanganku dari matanya. Sejujurnya aku tidak sedang membayangkan Dian saja. Aku membayangkan semuanya. Semua yang terjadi setahun belakangan. Dian. Anggia. Mbak Mayang. Nica. Tapi aku memutuskan untuk berkonsentrasi pada malam ini.
"Enak banget ya kalo nanti elo jilatin punya gue.... mmmmmhhhh..."
"Nggi bisa diem gak"
"Gak bisa.. Adrian enak gak ya di ranjang.... Ahhhh..." Anggia terus membayangkan Adrian.
"Berisik"
Aku bangkit dan memeluknya, lalu dengan paksa mencium mulutnya. Ini pertama kalinya aku berciuman dengan Anggia. Selama kami berhubungan seks, kami tidak pernah berciuman sama sekali, kecuali ciuman pertama di Singapura dulu. "Mmmmm...." Anggia malah menikmati ciumannya, tanpa protes. Tangannya lalu dengan ganas memeluk diriku. Dia mendorong tubuhku, menimpaku dan kami berciuman dengan penuh nafsu.
"Tau gini gw dulu sering ciuman sama elo ya" celetuk Anggia nakal.
"Lo pengen ML apa ngobrol sih?" balasku.
"Lucu gw ngebayanginnya Adrian tapi mukanya elo" bisik Anggia. Badannya menempel erat ke badanku. Pantatnya yang ramping terus bergerak naik turun, mencari kenikmatan yang selama ini dia inginkan. "Coba kita seagama ya?"
"Apa sih Nggi"
"Cuma ngebayangin aja... uhhhh..."
"Berisik..." Aku menciumnya lagi. Kami berguling di atas kasur. Susah bagiku untuk tetap mempertahankan penisku di dalam vaginanya dalam posisi seperti itu.
"Duh... Kok lepas sih" keluh Anggia.
"Lo kebanyakan gerak" Aku menyerangnya, memaksanya telungkup di atas kasur, dan mencoba untuk merentangkan kakinya.
"Lo mau ngapain gue sih..." tanya Anggia nakal. Aku menimpa badannya dan berusaha untuk memasukin Vaginanya kembali. "Lo mau anal gue?" masih dengan nada nakal yang sama.
"Gila lo Nggi..."
"Aahhh......." ia mendesah kenikmatan ketika penisku kembali masuk ke dalam vaginanya. Aku menimpa tubuhnya, berusaha bertumpu ke pinggangnya.
"Uhh.. enak.. tapi berat..." keluh Anggia.
"Bentar" Aku malah berkonsentrasi dengan penuh semangat. Dalam posisi ini, lubang vaginanya terasa lebih sempit. "Nggi.... gue mau keluar..."
"Loh..." keluh Anggia ketika aku orgasme. Dia tampak tak rela aku orgasme duluan. Dengan kesal, dia beringsut, lalu meraba-raba bibir vaginanya sendiri. "Lo mesti jilatin gue" bisiknya kesal ke telingaku. Aku terpaksa menurut.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
Aku mencoba berkonsentrasi ke laptopku. Sudah beberapa bulan ini tekanan dari Nica menggangguku. Setiap habis rapat bersama, dia selalu mencoba mengajakku ngobrol tentang hubungan kami yang sudah berakhir. Aku berusaha menghindar dari asistensi, dan mencoba memindahkan asistensi yang dibutuhkan menjadi pagi hari atau sore. Karena terakhir kali kami berdua di ruangan ini malam-malam, mendadak dia mengeluarkan kondom dari tasnya, melemparkannya ke mejaku sehabis asistensi beres dan duduk diam di depanku. Entah menunggu apa. Aku tak berani menghardiknya atau memarahinya, khawatir akan makin melukainya.
Tidak tahan lagi menahan penat, aku beranjak, mengambil rokok dan handphone dari mejaku. Sore itu aku kembali duduk di depan teras kantor, memperhatikan macet di jalanan, mencoba perlahan melupakan hal-hal menyakitkan yang terjadi beberapa waktu ke belakang.
Anggia merayap perlahan. Keluar dari pintu kantor dengan muka nyengir lebar seperti habis menang undian.
"Kayak orang gila" ledekku.
"Hihihihihihihi" jawabnya. Aku heran, memperhatikannya dengan muka aneh.
"Ngapain sih"
"Gue dapet IG nya si Adrian!" serunya
"Kirain...."
"Tadi gw follow, dilock kan, terus langsung diapprove!"
"Oh..."
"Gw coba cari di line, nyamain sama username IG nya, eh dapet, gw langsung add, eh diterima!"
"Stalker abis gila"
"Biarin. Ini bukti kalo ga ada yang bisa nolak cewek cantik."
"Cantik tapi gila" ledekku.
"Liat nih..."
Anggia menyodorkan handphonenya ke mukaku. Aku meraihnya dan melihatnya. Lama Instagram Adrian. Foto-foto yang bagus, penuh dengan tampilan narsis pria awal 30-an yang single, dilengkapi kendaraan mewah, tempat-tempat makan ultra mahal, acara-acara pergaulan kekinian. Ada beberapa foto dia bersama beberapa perempuan, namun tampaknya bukan pacar, hanya sekedar teman ataupun siapapun.
"Fix" kata Anggia.
"Fix apaan?"
"Gue pengen sama dia"
"Beda agama Nggi... Lo selalu bermasalah disana kan..."
"Liat aja dulu, kan ga bisa nikah, paling buat jadi gandengan lucu juga"
"Freak"
"Biar"
"Liat liat" seru Anggia. Aku melihat Adrian berdiri di depan lemari kaca bening, penuh berisi minuman-minuman mahal. "Ngiler gue...." Anggia dengan ekspresi seperti anak kecil melihat permen. "Matre gila..." ledekku tak peduli sambil menyalakan rokok. "Lu suka orangnya apa duitnya sih Nggi" tanyaku meledek.
"Orangnya ganteng, eh ternyata tajir, untung banget kan, gue suka dua-duanya berarti"
"Lu kayak bukan orang berduit aja liat gini doang ngiler"
"Biarin" Anggia tampak tidak mendengar semua ledekanku, dia tampak fokus melihat foto-foto Adrian tersebut di sosial media.
"Minggu depan ya Nggi" aku menghentikan aktivitas stalkingnya.
"Iya, udah siap kan"
"Siap"
"Rendy Gimana?"
"Dia udah packing jauh-jauh hari. Semangat banget mau liburan sama elo" Anggia cuma tertawa kecil saja.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
"Bapak Rendy Akbar?" tanya petugas maskapai penerbangan. Hari ini, sudah masuk liburan akhir tahun dan kami bertiga sedang mengantri di bandara, melibatkan diri di proses sebelum naik pesawat terbang.
"Saya mbak" dan Rendy mengambil boarding passnya.
"Ibu Josephine Anggia Tan?" lanjut petugasnya.
"Aduh... kok ibu sih?" keluh Anggia.
"Udah buruan ambil aja sih...." bisikku dari belakang, memperhatikan Anggia yang dengan muka jutek lantas mengambil boarding passnya.
"Yang ini punya Bapak?" tanya petugasnya ke diriku. Aku mengangguk dan mengambilnya. Kami bertiga pun berjalan ke boarding lounge. Aku tak tahan ingin mengomentari Anggia, terutama barang bawaannya yang sangat banyak.
"Elo mau ke Bali apa ngungsi sih?"
"Kan harus tampil cantik... Bosen gila kalo disana gak gonta ganti baju.." jawabnya dengan muka sok lucu.
"Baju kurang bahan aja kopernya segede tadi, sampe harus masuk bagasi..."
"Kalian berdua malah kayak mau naik gunung, cuma ransel gitu doang"
"Compact kali"
"Kalo kurang baju gimana?" tanya Anggia.
"Tinggal beli"
"Gak praktis amat"
"Praktisan kita daripada elu"
"Nica gimana? Liburan gini ganggu gak dia" tanyanya lagi.
"Dia gak pernah lewat medsos kok Nggi..." jawabku pelan, memperhatikan Rendy yang selalu menengok blingsatan setiap perempuan cantik lewat. "BTW lo gak kedinginan ntar?"
"Bali kan panas"
"Pesawat dan ubud kan gak panas"
"Biarin" dia cuek saja, mengenakan hot pants jeans, flat shoes, di dalam cardigan hitam putihnya ada t-shirt tanpa lengan berwarna merah. Matanya dihiasi kacamata hitam beframe lebar. Scarf warna-warni menghiasi lehernya dan rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai acak-acakan. Kakinya yang panjang dan indah dari tadi mengundang lirikan dari para lelaki.
"Ntar kita langsung ke Pasar Ubud dan Tegalalang ya" celetuknya.
"Kita sampe Villa siang kali... Gak bisa apa santai di hari pertama" jawabku.
"Nyari oleh-oleh langsung buat orang rumah gue.... Biar 6 hari abisnya bisa gila-gilaan"
"Definisiin gila-gilaan." sinisku
"Nyari bule"
"Adrian dikemanain?"
"Itu kan lokal"
"Genit"
"Biarin"
"Rendy tuh Nganggur" lanjutku.
"Bukan selera gue"
"Selera lo kebagusan"
"Pokoknya ntar sampe, gak usah unpack dulu, langsung jalan"
"Bodo. Capek kali"
"Yaudah gue jalan sendiri"
"Serah"
------------------------------------------
Matahari terik menyinari muka kami di dalam mobil Avanza itu. Aku memperhatikan jalanan sempit bali yang dipenuhi mobil di akhir tahun itu. Beberapa pasang turis asing terlihat meramaikan jalan. Pura-pura, sajen dan pakaian adat bertebaran di sudut mata. Terakhir kali aku ke sini, dengan Dian, berdua, aku ingat kami selalu bergandengan tangan di setiap kesempatan. Berdua. Dan semua kemesraan yang terjadi. Ciuman di pantai itu. Desahan dan semua pelukan di atas ranjang itu.
"Ngelamun aja lo" celetukan Anggia membuyarkan semuanya.
"eh"
"Bentar lagi sampe" lanjutnya.
"Makasih ya Mbak udah dateng, soalnya Pak David jarang ke Bali...." seloroh Pak Jarwo, satpam villa, merangkap supir, merangkap tukang, merangkap apapun, asal Jawa Timur, sepertinya sudah lama kenal anggia sambil menyetir.
"Iya nih Om David mubazir amat punya Villa begini ga dimanfaatin"
"Iya Mbak, saya juga kangen Pak David, dari awal dia bangun komplek itu jarang dia main ke sini"
Rupanya om-nya Anggia yang membangun townhouse itu. Pak Jarwo tadinya dibawa oleh Omnya untuk jadi mandor tukang-tukang. Ternyata dia kerasan tinggal di Bali. Akhirnya walaupun isi komplek itu sudah laku terjual dan hanya tinggal satu yang dipertahankan, Pak Jarwo tetap menunggu komplek itu bersama istri dan anak-anaknya. Tapi anak-anaknya sudah besar dan kerja di Jawa, sehingga hanya tinggal dia berdua dan istrinya yang ada di Bali.
"Om lu masih di Surabaya ya Nggi?" tanya Rendy.
"Iya, padahal deket ke Bali" jawabnya.
"Deket nenek lo..." komentarku.
------------------------------------------
Aku duduk termangu di pinggir kolam renang kecil itu. Dengan celana pendek dan t-shirt, melamun melihat hamparan hijau di mataku. Sudah sebungkus habis, sambil menunggu Anggia dan Rendy yang pergi ke Pasar Ubud dan Tegalalang. Aku curiga tidak akan habis mereka belanja oleh-oleh di hari pertama ini. Pasti butuh dua atau tiga hari untuk melaksanakan hal tersebut.
sudah pukul 4 sore. mereka telah pergi selama tiga jam. Aku geli membayangkan Rendy yang pasti jadi babu untuk Anggia. Membawakan belanjaan, lari kesana kemari. Aku membayangkan waktu aku dan Dian belanja oleh-oleh. Hal yang sama terjadi pada waktu itu. Tapi aku sangat menikmatinya. Dian enak diajak belanja. Menawarnya tidak terlalu sadis, dan masuk akal. Dia selalu ramah pada semua orang, sehingga menawarnya bukan dari hasil memaksa, tapi dari hasil mengobrol dan ramah panjang lebar. "Ibu tadi anaknya tinggal di Gianyar, buka toko handphone" celetuknya ramah sehabis membeli barang di salah satu penjual di Sukowati. "Oh ya?" balasku lembut, takjub atas small talknya yang smooth. Bisa kubayangkan di kemudian hari dia akan jadi dokter favorit pasiennya.
Aku terbangun. Rupanya aku tertidur di pinggir kolam, dengan abu rokok menggenangi tanganku. Aku terbangun oleh bunyi mobil yang mendekat. Sudah pukul 6. Sudah agak malam. "Makan yuuuk!" teriak Anggia.
"Buset" aku kaget melihat Rendy yang menenteng banyak bawaan. "Itu udah semua?" kagetku melongo.
"Udah dooooong" Anggia dengan bangga menunjuk hasil jarahannya.
"Ini orang nawar kayak kesetanan tadi" keluh Rendy sambil merapihkan barang bawaannya di ruang tengah. Aku hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah mereka berdua. "Tapi lumayan, disangka lagi honeymoon" Rendy tampak bangga mengucapkannya.
"Idih... ogah" ledek Anggia.
------------------------------------------
Aku berbaring di kasur itu, mendengarkan suara serangga malam, sambil memainkan handphoneku. Aku penasaran. Aku melihat instagram Nica. Ada beberapa foto Australia disana, fotonya dengan kakaknya dan yang lainnya. Aku hanya menghela nafas, lalu menutup handphoneku. Aku menyalakan rokokku, dan beranjak pergi ke pinggir kolam, berusaha menikmati Ubud yang sendu. Ada Anggia ternyata disana, sedang memainkan handphonenya, dengan kaleng bir di sebelahnya.
"Minum mulu"
"Eh elo, belum tidur?"
"Belom ngantuk"
"Temenin gue aja sini, si Rendy udah tepar ga karuan tuh"
"Lo siksa sih"
"Dia yang mau"
"Lagi ngapain Nggi?" tanyaku
"Chatting"
"Ama?"
"Adrian"
"Gile, sporadis banget pergerakan lo"
"Dia lagi di S'pore sekarang"
"Liburan?"
"Enggak kayaknya, kerjaan dia bilang"
"Jaman liburan gini kerja?" heranku
"Makanya mereka tajir dan lo enggak" ledek Anggia.
"Dia heran nggak pas lo sapa?" tanyaku lagi.
"Enggak, ramah banget orangnya..." Anggia senyum-senyum sendiri
"Oh, bagus lah"
"Gue udah ga tahan tapi..."
"Ga tahan apa Nggi?"
"Pengen tidur ama dia.. hahaha"
"Hornyan amat jadi cewek......." komentarku.
"Sini..." mendadak Anggia menarik tanganku, membawaku masuk ke Villa. "Gue lagi butuh fuckboy gw sekarang...." bisiknya penuh nafsu.
------------------------------------------
BERSAMBUNG