" bukankah kalian saat ini sedang berkabung.. apakah tidak sebaiknya kalian diam dan mendoakan Midun yang telah pergi " ucapku mencoba ikut dalam pembahasan.
" aku tidak bisa berdiam saja " hardik ayah Midun atas ucapanku.
" aku lebih puas jiga telah melihat ular-ular itu menderita dan musnah " lanjutnya semakin meninggi.
" aku rasa pembicaraan ini tak akan menemui kesepakatan kalau dengan emosi " kali ini ayah Mey berbicara.
" baiklah.. sekarang terserah kalian, aku tidak akan memaksa.. " ucap si kakek.
Kemudian aku memiliki sebuah inisiatif.
" boleh aku usul.. " ucapku, mereka yang berada disini langsung memperhatikanku.
" sesuai apa yang dikatakan paman Sukma, bahwasanya kami menolak untuk pergi bersama kalian menyerang kerajaan ular itu " lanjutku. Keluarga Kurent langsung menatap sinis kepadaku.
" tapi sebagai gantinya, selama kalian pergi.. semua tanggung jawab keamanan pohon Mulyo menjadi tanggung jawab keluarga kami " ucapku.
Semua yang mendengarkan ucapanku terlihat berpikir dan menimbang perkataanku.
" ku rasa itu solusi yang bagus " ucap paman Sukma membelaku.
" hah.. itu semakin memperlihatkan bahwa kalian memang pengecut " ucap si kakek kembali menghina kami.
" sudahlah ayah.. itu bukan sesuatu yang buruk.. " ucap ayah Mey menenangkan si kakek.
" heh.. " terlihat ketidak sukaan dari wajah kakek itu.
" bagaimana menurutmu ? " lanjut si kakek bertanya pada ayahnya Midun.
" aku terserah ayah saja.. " ucapnya.
" yang penting segeralah kita serang ular-ular itu.. " lanjutnya terlihat sangat marah.
" baiklah aku tidak ada pilihan lain sepertinya.. lebih cepat lebih baik pembicaraan ini selesai " ucap si kakek tua.
" bagus.. sepertinya kita sudah sepakat.. " balas paman Sukma.
" bagus.. kita segera pergi dari sini.. badanku rasanya gatal kelamaan disini " ucap Jugo kembali menyindir mereka.
" kau pikir aku senang melihat kalian disini " balas si kakek tak mau kalah.
" baiklah kalau begitu kami pergi.. " ucap paman Sukma.
Jugo langsung pergi keluar.
" yah silahkan... " jawab si kakek masih dengan tatapan ketidak sukaan.
" permisi paman... " ucapku pada ayah Mey, menurutku ayah Mey memiliki sifat berbeda dari ayah Midun maupun si kakek tua itu.
" iyah silahkan... " balas Ayah Mey tersenyum padaku. Semoga ini kode restu hubunganku dengan Mey.. ehh
Aku pun berjalan keluar dari ruangan tadi bersama paman Sukma. Hingga sampai lah kami keluar dari lorong bawah tanah. Dari kejauhan kulihat Jugo sudah menunggu kami di gerbang rumah keluarga Kurent.
" kerja bagus Hiro.. kau mempercepat kita keluar dari sana " ucap Paman Sukma sembari kami mendekati Jugo.
" yah beruntung sekali... pembicaraan yang aneh buatku paman.. bahkan mereka sebagai tuan rumah tidak bersikap baik pada tamunya... yah minimal tawarkan minum, padahal diatas meja tadi banyak makanan.. " ucapku mengeluh pada paman Sukma.
" hahaha... mereka itu menganggap kita bukan tamu, tapi musuh mereka.. " jawab paman Sukma sedikit tertawa.
" hmmm... " lengguhku.
Sampainya kami ketempat Jugo berdiri.
" ayo cepat kita pulang.. " ucap Jugo pada kami.
" haha ini juga kan kita mau pulang. " jawab paman Sukma.
Akhirnya kami pun pergi meninggalkan rumah keluarga Kurent. Sepanjang jalan Jugo terus saja menggumam, melepaskan semua kekesalanya saat terjadi pembicaraan tadi. Hingga akhirnya kami sampai di persimpangan jalan antara arah menuju kota kesebelah kanan dan lurus menuju rumahku. Sebenarnya kesebelah kiri adalah menuju pohon Mulyo, tapi bukan khusus berupa jalan. Dari sini menuju kesana hanya berupa tanah lapang yang dipenuhi pepohonan dan berbagai tumbuhan.
" kita berpisah disini Hiro.. " ucap paman Sukma.
" kalian tidak mampir dulu.. " tawarku pada mereka.
" tidak lah Hiro, aku sudah lelah ingin istirahat " ucap Jugo.
" maaf yah Hiro " sambung paman Sukma.
" baiklah.." ucapku sedikit kecewa.
Akhirnya kami pun berpisah, aku berjalan sendiri kerumah. Kulihat matahari mulai condong kesebelah barat, pertanda bahwa sekarang sudah sangat sore. Sesampainya aku masuk kedalam rumah, kulihat Rio sedang asyik menonton TV. Kulirik jam dinding sudah menunjukan pikul empat sore.
Aku mendekat kearah Rio dan duduk disampingnya.
" eh kakak.. " ucapnya sedikit kaget saat aku duduk disampingnya.
" Rio.. kakak boleh minta tolong ga.. " ucapku padanya.
" Minta tolong apa kak ?" Tanyanya heran.
" kamu punya uang ga? Kakak pinjem " ucapku padanya.
" aku cuma punya uang dua puluh ribu kak " ucapnya sambil mengeluarkan uang selembar dua puluh ribu dari dalam sakunya.
" aduhh.. ternyata sama aja " gumamku dalam hati saat Rio menunjukan uangnya.
" emang kamu ga punya tabungan ? " tanyaku lagi.
" ada sih ka di celengan... tapi harus dibongkar dulu " jawabnya ragu.
" yaudah kamu bongkar aja celenganya, kaka pinjem dulu uangnya " ucapku lagi.
" ehmm tapi.. " kembali ucapnya ragu.
" emang buat apa sih ka? " lanjutnya balik bertanya.
" hmm itu urusan kaka.. apa kamu kamu gamau minjemin uangnya? " ucapku sedikit menekan padanya.
" emm baik kak.. boleh kok " ucapnya pelan.
" aku ambil dulu yah celenganya " ucapnya lalu pergi menuju kamarnya.
Sebenarnya aku tak tega bersikap seperti ini pada Hiro, tapi saat ini aku benar-benar butuh uang untuk menbeli kado buat Hani. Yah semua ini demi Hani seorang.
Tak lama Rio kembali dengan membawa celengan berbentuk ayam jago dari gerabah.
" nih kak.. celenganya.. " Rio menyodorkan celenganya padaku.
" kita pecahkan dihalaman belakang " ajaku pada Rio, dia mengikuti dari belakang sambil masih tetap memegangi celenganya.
" nah sudah sekarang pecahkan celenganya " perintahku pada Rio saat kami sudah berada di halaman belakang.
Rio tampak ragu-ragu dan hati-hati.
" Prakkk... " dijatuhkanya celengan miliknya, hingga hancur tak beraturan dan menghamburkan semua uang didalamnya. Terlihat kesedihan dimata Rio ketika melihat celenganya hancur.
Kami segera mengumpulkan uang yang berserakan, kemudian menghitungnya bersama-sama. Setelah selesai dihitung jumlahnya ada dua ratus empah puluh tiga ribu dua ratus rupiah (Rp.243.200). Kebanyakan isinya uang receh dan paling besar pecahan dua puluh ribu.
Cukup miris juga aku lihat isinya, ternyata tak sesuai dengan apa yang aku harapkan.
" hmm kok receh sih " ucapku.
" hmm.. emang segitu kak adanya. " jawab Rio.
Akhirnya aku mengambil uang dua ratus ribu dan sisanya uang recehan diambil rio. Rio masuk kedalam rumah sambil membawa urang receh yang dia bawa menggunakan baju sebagai wadahnya.
Sejenak ku menatap uang dari celengan Rio yang aku pegang. Jumlah nya jauh untuk membelia kado perhiasan untuk Hani.
" kemana aku harus mencari sisa uangnya " gumamku dalam hati sembari berpikir.
Hingga akhirnya aku menemukan sebuah ide, sempat aku tersenyum-senyum sendiri memikirkan rencanaku.
Aku menyimpan uang tadi disakuku, kemudian melewati halaman belakang kemudian masuk ke aula para hantu. Kulihat banyak sekali hantu yang sedang beristirahat, suasananya mirip di tempat pengungsian bencana alam.
" hihihihihi " terdengar suara Laras tertawa seram. Kemudian dia datang menghampiriku.
" ada apa kau kemari Hiro? " tanya Laras padaku.
" aku ingin melihat kondisi para hantu " jawabku sembari memperhartikan satu persatu para hantu disini.
" hihihihi.. tenang saja.. semua aman kok " jawab Laras tak lupa tawa seramnya.
" ehh Tomi kemana? Kok aku ga lihat yah.. " ucapku tak menemukan sosok Tomi setelah aku memperhatikan semua hantu disini.
" dari semalam dia gapulang.. dan aku ga peduli " jawab Laras menjadi ketus.
" apa jangan-jangan, di serang hantu-hantu semalam? " tanyaku.
" ahh nggak.. semalam dia pergi kayaknya sama temenya yang namanya Ivan itu " jawab Laras.
" ohh.. mungkin sedang ada suatu urusan.. " ucapku.
" tau ahh... ga penting juga buat aku " ucap Laras kembali ketus.
" ehh... aku mau minta bantuanmu. " ucapku pada Laras.
" bantuan apa? " tanya Laras bingung. Kemudian aku membisikan maksud aku meminta bantuan padanya, nampak dia sedikit kaget mendengar bisikanku.
" lah.. kenapa harus aku? " jawab Laras bingung.