Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG THE MORO : Si Anak Terkutuk

Status
Please reply by conversation.
jangan" ts lg gentayangan, nggak kena razia bulan puasa dia wkwkwkwk
 
uwahhhhh><<><<> update mana.. update.. "kyanya lebaran bikin sate kelinci enak nih,,,
 
Update 11



Meydina Kurent


" Mey.. " kembali aku memanggil namanya, namun tak ada jawaban darinya.
" Mey... " kembali ku panggil namanya, kemudian ku tepuk pelan pundaknya.

Akhirnya dia menoleh kearahku, Mey menatap sendu dengan air mata tak henti mengalir dipipinya.
" Sayang.. " ucapnya lirih.

" kamu gapapa? " tanyaku, kemudian memeluknya. Mey balas memelukku, tak hentinya dia menangis.

" hiks.. hiks.. aku.. hiks.. hiks.. gapapa.. " ucapnya tersedu, diiringi tangis.
" hiks.. tapi Midun.. hiks.. hiks.. " lanjutnya.

Kulangsung melirik pada sesosok jasad yang terkujur kaku. Wajahnya ditutupi kain hitam sepanjang satu meter. Terlihat beberapa luka ditubuhnya yang telah dibalut oleh perban. Sejak aku melihat Mey menangisinya, aku langsung yakin kalo mayat ini adalah Midun. Mey tak hentinya menangis, bagaimana pun Midun adalah kakak sepupunya yang sudah tinggal bersama sejak kecil.

" kamu yang sabar yah.. " ucapku, kutegakan tubuh Mey kemudian menghapus air matanya dengan kedua tanganku.

" bantu keluarga kami mengalahkan ular-ular itu " ucap Mey tertunduk lirih.

" tentu saja Mey " jawabku, lalu ku pegang dagunya, ku angkat sedikit wajahnya yang sedang tertunduk.
" kau juga harus kuat Mey " lanjutku lagi. Mey hanya menatapku nanar.
" baiklah aku akan ikut bertarung sekarang " ucapku, kemudian mengecup pelan keningnya.
Aku kemudian berbalik meninggalkan Mey untuk ikut bertempur dengan Moro lainya.

" Hati-hati sayang.. " ucap Mey, setelah aku berjalan beberapa langkah meninggalkanya. Mendengar ucapan dari Mey, aku lalu berbalik melihat kearahnya. Ku balas dengan anggukan disertai senyuman.

Aku meneruskan kembali langkahku menuju arena pertempuran di sisi selatan pohon Mulyo. Saat ini kulihat jumlah ular yang tersisa sudah berkurang secara signifikan, meskipun jumlah mereka masih tetap banyak. Tiga orang keluarga Kurent dibantu paman Sukma dan Jugo serta para hantu pengikutnya bertarung luar biasa melawan ular-ular itu.

Aku mengambil kelereng yang diberikan paman sukma beserta kertas penyegel dari dalam tas kecilku, kemudian kumasukan keduanya kedalam saku celanaku. Dengan menggenggam pedang ditanganku, aku masuk kedalam peperangan. Ku lihat paman Sukma terlihat kewalahan menghadapi dua ular kobra yang sama persis dengan ular yang aku kalahkan di perjalanan tadi. Tak ketingagalan kedua ular itu memegangi masing-masing dua pedang.

" treng... " aku menangkis pedang dari salah satu ular yang hendak menebas paman Sukma.

" Hiro, kau sudah datang... " ucap paman Sukma sambil bertarung melawan ular yang satunya. Paman sukma menggunakan senjata trisula yang batangnya panjang.

" treng... " pedang kami kembali beradu.
" apa aku terlambat datang paman? " tanyaku pada paman Sukma.

" treng.. treng.. " terdengar senjata paman Sukma beradu dengan pedang si ular.
" Slebb... " paman Sukma berhasil menusuk jantung lawanya, Seketika ular itu ambruk tak berdaya.
" kau sedikit terlambat Hiro.. ular-ular ini sangat merepotkan " jawab paman Sukma.

" treng.. treng.. treng.. " pedangku beradu kuat dengan pedang dari ular yang sedang ku hadapi.
" sreett... bughs.. " ketika dia lengah, kutebas kepalanya. Si ular ambruk dan tubuhnya menggeliat.
" hehe maaf paman, ada sedikit gangguan dijalan. untung anak buah paman, kalajengking itu menolongku " jawabku pada paman Sukma.

" yah.. aku menyuruh mereka menyisir area disekitar pohon Mulyo. Meskipun sedikit terlambat, aku senang kau sudah disini " ucap paman Sukma sembari teesenyum kepadaku.

" hmmm itu Midun tewas.. " ucapku pelan pada paman Sukma.

" yah.. saat kami kesini dia sudah tewas, beruntung wanita muda dari keluarga Kurent itu selamat " jawab paman Sukma, sembari melihat kearah saung dimana Mey sedang menangisi mayat Midun.

Aku pun ikut melihat kearah saung, Mey terlihat benar-bemar terpukul akan kejadian ini. Tak hentinya dia menangis.

" Ayah.. Hiro.. apa kalian akan mengobrol saja seperti itu? " teriak Jugo pada kami. Aku langsung melihat kearah Jugo yang memunggungiku, posisinya sekitar sepuluh meter didepanku.
Ku lihat delapan kelereng terselip disela-sela ruas jari dikedua tanganya. Seketika dia melemparkan kelereng-kelereng itu dengan kuat.
" bush.. bush.. bush.. bush.. bush.. bush.. bush.. bush.. " kelereng itu mengenai delapan ular sekaligus, kelereng itu seketika berubah menjadi jaring dan menjerat ular-ular itu. Mereka menggeliat bergerak berusaha melepaskan diri dari jaring yang menjerat mereka. Jugo kemudian berlari kearah delapan ular terjerat itu.
" ploph.. ploph.. ploph.. ploph.. ploph.. ploph.. ploph.. ploph.. " Jugo menempelkan kertas penyegel di masing-masing tubuh ular, seketika semua ular itu menjadi kaku mematung tak bergerak.
" sleb.. bush " Jugo menusuk salah satu jantung dari ular yang sudah mematung, seketika ular itu hancur menjadi butiran debu.
" Slebb.. bush.., slebb.. bush.., slebb.. bush.., slebb.. bush.., slebb.. bush.., slebb.. bush.., slebb.. bush.. " hal yang sama Jugo lakukan pada tujuh ular lainya, hingga mereka hancur menjadi butiran debu.

" waw.. Jugo memang hebat " ucapku, ketika melihat aksi Jugo mengalahkan ular-ular itu.

" anaku itu memang rajin dalam berlatih, meskipun kegiatan sehari-harinya sangat padat " ucap paman Sukma ikut memuji anaknya.
" ayo Hiro, kita juga jangan kalah. Kita tunjukan kemampuan kita, apalagi di hadapan keluarga Kurent " lanjutnya.

" Ayoo.. paman... " mengangguk, dan langsung berlari kearah ular-ular yang tersisa.
" srettt... srettt.. sret.. " aku berhasil menebas kepala ular yang kemampuanya biasa saja.

Sekarang aku dihadapkan dengan ular yang menggunakan tombak besi ditanganya.
" treng.. treng.. treng.. " adu kemampuan senjata kami tak bisa dihindarkan. Dia memperlihatkan kepandaianya menggunakan tombak, diputarnya tombak dengan cepat. Dia tersenyum sombong kearahku. Tombak itu diputar semakin lama semakin kencang, kini dia menggunakan satu tangan. Semakin menunjukan wajah sombongnya.
" twingg... " tiba-tiba tombaknya terlepas dari tanganya, si ular terlihat panik.

" dasar payah... " gumamku dalam hati, melihat kekonyolan yang dilakukan si ular. Melihat kesempatan emas, aku pun langsung nenyerang si Ular.
" slebb... " aku berhasil menusuk tepat dijantungnya.
" srettt... " ku tekan kebawah pedangku hingga merusak jantung dan perutnya.
" bushh... " si ular pun musnah menjadi butiran debu.

Pertarungan semakin sengit, entah berapa ular yang telah berhasil aku musnahkan. Puluhan ular kembali berdatangan dari arah selatan, keluarga Kurent langsung sigap menghadang mereka.
Malam yang dingin menjadi panas karena sengitnya pertarungan. Dibutuhkan kerja sama yang baik untuk mengalahkan ular-ular itu, jika hanya mengandalkan kemampuan masing-masing kita akan kesulitan.

Ku lihat kuda milik Mey juga sedang bertarung dengan seekor ular, tapi sepertinya dia tidak sadar dengan bahaya dibelakangnya. Seekor ular lainya siap menebas dengan pedangnya.
" Marlo... awas... " teriaku, sambil melemparkan dua buah kelereng sekaligus kearah ular yang akan menebas Marlo.
" busshh.. " kelereng yang kulempar tadi berubah menjadi jaring dan langsung menjerat tubuh si ular.
Marlo yang mendengar teriakanku langsung berbalik dan menghindar. Marlo terlihat sangat marah ketika tau ada ular yang hendak menusuknya dari belakang.
Marlo seketika mengangkat kedua kaki depanya keatas dan dengan sekali hentakan.
" bughhh... " Marlo menendang tepat kearah jantung si ular yang sedang menggeliat dalam jerat.
" Bughhh... " Marlo melakukan serangan yang sama. Serangan keduanya berhasil menembus dada si ular hingga merusak jantungnya.
" Busshhhss... " si ular itu pun hancur menjadi butiran debu.


" terima kasih Hiro.. " ucap Marlo padaku, setelah dia berhasil memusnahkan ular itu. Kubalas dengan senyuman dan anggukan.
 
Jumlah ular-ular itu kini tak lebih dari dua puluh ekor, sepertinya tak lama lagi kami akan memenangi pertempuran. Semakin menjelang pagi udara disini semakin dingin, semilir angin pegunungan tak hentinya menerpa tubuh kami. Sejenak ku lihat situasi pertempuran saat ini, ular-ular itu sudah mulai terpojok. Keluarga Kurent bertarung dengan penuh emosi dan kebencian, mereka memusnahkan ular-ular itu dengan ganasnya. Pasukan kalajengking paman Sukma juga sudah bergabung disini, itu menunjukan jika sudah tidak ada lagi musuh di luar pohon Mulho.

Mataku kini tertuju pada seekor ular yang terlihat kebingungan melihat situasi pertempuran. Aku segera menuju kearahnya dengan siap mengacungkan pedang kearahnya.
" bughhh... " tiba-tiba tubuhku ditubruk seseorang dari samping, tububuhku sedikit terhuyung kehilangan keseimbangan kemudian terjatuh.
" Minggir bocah Kwehni, ular itu miliku " ucap seorang laki-laki keluarga Kurent yang barusan menubruku, mungkin umurnya tak berbeda jauh dengan ayahku.
Lelaki itu melepaskan dua anak panah sekaligus kearah ular itu, secepat kilat panah itu menjadi empat kali lipat jumlahnya.
" slub.. slub.. slub.. slub.. slub.. slub.. slub.. slub.. " panah itu menembus tanah memutari si ular, dalam sekejab si ular terkurung dalam lingkaran kaca.

Lelaki itu mendekat kearah lingkaran kaca yang mengurung si ular. Kemudian menempelkan kertas penyegel, dari dalam kertas penyegel muncul tali hitam yang langsung menjerat si ular hingga tak mampu bergerak. Si ular terlihat meronta ingin membebaskan diri, tapi jerat dari kertas segel itu begitu kuat mengikatnya.

" kau tidak apa-apa Hiro? " tiba-tiba paman sudah berjongkok disampingku.

" aku baik-baik saja paman " ucapku tersenyum kepadanya.

" dia itu ayah dari pemuda Kurent yang tewas " ucap paman Sukma melihat kearah lelaki yang menubruku tadi.

" jadi dia ayahnya Midun " ucapku, ayah Midun terlihat sedang tertawa melihat penderitaan si ular tersiksa karena lingkaran kaca yang semakin menyempit.

" dia pewaris utama keluarga Kurent, sama seperti ayahmu " kembali paman bercerita.
" kesedihan bukan hanya akan dirasakan olehnya tapi juga oleh semua keluarga Kurent, mereka kehilangan calon penerus keluarga utama " lanjut paman Sukma.

Benar saja selama pertempuran ini raut wajah dari keluarga Kurent begitu amarah juga ada kesedihan dimata mereka. Terdengar teriakan kesakitan dari ular yang sedang terperangkap dalam lingkaran kaca yang semakin menyempit, ayah Midun terlihat masih menertawakan penderitaan si ular. Ku lihat disekeliling pohon Mulyo ternyata hanya tinggal ular itu yang tersisa, itu artinya kita memenangkan pertempuran. Nampak semua mata disini melihat pada ular terakhir yang sedang terperangkap dalam lingkaran kaca.

" Bushh... " lingkaran kaca itu hancur beserta si ular yang musnah menjadi butiran debu.

" sungguh malam yang melelahkan, ucap Jugo " yang juga sudah berdiri disampingku.

" aku sudah lama tidak bertempur seperti ini " balas paman Sukma.

" apakah semua ini sudah berakhir? " ucapku yang masih terduduk.

" aku harap begitu " ucap Jugo, kini dia sudah berbaring diatas tanah.

Semua orang disini sudah nampak kelelahan, begitupun para hantu yang sedari tadi ikut bertempur. Sementara tenagaku masih tersisa cukup banyak, akibat kejadian dua tahun lalu membuatku tidak mudah lelah serta memiliki tenaga ekstra. Sementara itu kulihat dua orang anggota kelurga Kurent sedang mencoba menenangkan ayah dari Midun yang terlihat tertawa sendiri namun kadang menangis. Dia sepertinya sangat sedih dan terpukul karena harus kehilangam putranya.

" drghhh srakk.. srrkkk bugh... " dari arah selatan terdengar tumbangnya beberapa pohon, tapi sepertinya ada sesuatu yang mendekat kemari.
" drugghhh srakkk... srekk bughh.. " semakin banyak suara pohon yang tumbang dan arah suaranya semakin dekat, terlihat juga debu beterbangan dari arah asal suara itu.

" suara apa itu ? " tanya juga.

" sepertinya bukan sesuatu yang bagus " jawab paman Sukma sedikit menarik napas.

Aku fokus menatap kearah suara tersebut, begitupun semua mata yang ada disini mengarah kearah selatan asal suara tersebut datang.
" prakkk... bughh... " sebuah pohon tumbang disertai munculnya sesok ular besar. Ukuranya sebesar sebuah bus dengan panjang lebih dari tiga puluh meter.
" sheessshhhss " terdengar ular raksasa itu mendesis.

" ular apa itu paman? " tanyaku pada paman sukma.

" tidak menyangka aku akan melihatnya disini " ucap paman Sukma.
" dia hidup dari kegelapan ke kegelapan, dia tinggal disebuah gua besar disekitar pantai selatan. Salah satu kepercayaan ratu ular " lanjutnya.

" apa dia sangat berbahaya ayah? " kini Jugo yang bertanya.

" sepertinya begitu " jawab paman Sukma serius.
" aku tidak terlalu banyak tau tentangnya " lanjutnya.

Semua orang dan hantu yang ada disini terlihat fokus dan serius melihat kearah ular besar yang baru saja datang. Meskipun jelas wajah mereka menunjukan raut kelelahan.
" blukblukblukbluk " tiba-tiba saja si ular mengelurkan ratusan gelembung kearah keluarga Kuren dan hantu yang sedang berkumpul. Tidak ada yang dilakukan keluarga Kurent maupun hantu-hantu itu menghadapi gelembung yang mengarah kearah mereka. Entah mereka sudah kelelahan atau menganggap biasa saja gelembung itu.
" blukk.. cass... " gelembung-gelembung itu menimpa mereka dan langsung pecah.
" gubrak.. bughh.. bugh.. " tiba-tiba satu persatu semua keluarga Kurent maupun semua hantu yang terkena gelembung dari ular itu langsung ambruk.

" mereka kenapa ayah..? " tanya Jugo sepertinya kaget akan apa yang baru saja kami lihat.

" siall ular itu sangat berbahaya " jawab paman Sukma sedikit kesal diwajahnya.

" apa mereka semua mati? " ucapku penasaran dengan kondisi keluarga Kurent.

" sepertinya mereka hanya pingsan atau tertidur. Kalau mereka tewas, pasti hantu-hantu itu juga akan musnah " jawab paman Sukma.

" sheeesssshsss " kembali terdengar suara desisan si ular. Si ular tetap tidak bergerak sedikitpun, entah apa yang akan dia lakukan selanjutnya.
Tiba-tiba si ular membuka mulutnya, seperti hendak memakan keluarga Kurent dan hantu-hantu yang terkena gelembung tadi.

" gawattt... " ucap paman Sukma lalu melemparkan dengan kuat trisulanya ke arah si ular.
" slebb.. " trisula paman Sukma tepat mengenai mata sebelah kiri si ular.

Si ular nampak kesakitan, berusaha melepaskan trisula paman Sukma yang menusuk mata sebelah kirinya. Sepertinya mata sebelah kiri si ular mengalami kebutaan, tak lama ular itu melihat kearah kami.
" shessssshhsss " dia mendesis kearah kami.

" sepertinya dia marah pada kita ayah " ujar Jugo, ketika si ular sedikit demi sedikit bergerak kearah kami. Meskipun si ular berjalan sangat lambat sekali, hanya setengah tubuh si ular yang berada di area pohon Mulyo sementara sisa tubuhnya masih diantara pepohonan di arah selatan.

" Blukblukblukblukbluk " si ular melepaskan banyak gelembung kearah kami.

" ayo kita bertarung sampai akhir " teriak Jugo, dia melemparkan banyak sekali kelereng kearah datangnya gelembung-gelembung.

" aku masih mampu untuk bertarung " balas paman Sukma, juga melemparkan banyak kelereng kearah datangnya gelembung-gelembung itu.

" busshhh.. casss.. cass... " jaring penjerat dari kelereng paman Sukma dan Jugo berhasil memecahkan gelembung-gelembung itu sehingga tidak mengenai kami.

" kita berhasil paman, tapi itu tidak cukup jika kita hanya menghancurkan gelembung-gelembung itu. Kita harus bisa menyerang dan mengelahkan ular itu " ucapku pada paman Sukma.

" anak ini benar Sukma, kita harus cari cara untuk mengalahkan ular itu " ucap kalajengking yang sudah berdiri dibelakangku.

" aku juga sedari tadi sedang berfikir " jawab paman Sukma, dari raut wajahnya memang menunjukan sedang berfikir keras.

" blukblukblukblukbluk " ular itu kembali menembakan gelembung-gelembung kearah kami.

" sialll... dasar ular jelek... " teriak Jugo, kembali melemparkan kelereng yang banyak, begitupun paman Sukma ikut melemparkan kelereng yang sama kearah datangnya gelembung-gelembung itu.

" busshh... casss... casss... " kembali jaring penjerat dari kelereng yang dilemparkan Jugo dan paman Sukma berhasil menghancurkan semua gelembung dari ular itu.
 
" siall.. itu kelereng terakhir yang kita miliki.. " ucap paman Sukma.

" blukblukblukblukbluk " tak butuh waktu lama untuk si ular menembakan kembali gelembung-gelembungnya.

" bagaimana mana ini paman? " ujarku bingung entah apa yang harus aku lakukan, sementara paman Sukma dan Jugo hanya diam seperti berfikir.

" kami akan melindungi kalian " ujar kalajengking anak buah paman Sukma, dia bersama lima kalajengking lainya melindungi kami di dapan.

Gelembung-gelembung itu semakin dekat, aku mencoba menghalangi wajahku dengan kedua tanganku.
" slub.. slub.. slub.. slub.. " terdengar suara benda menembus tanah.
" cass.. cass.. cass.. cass.. " terdengar suara gelembung-gelembung itu pecah. Sepertinya gelembung-gelembung itu meletus mengenai kalajengking yang mengenai kami.

" kita selamat.. gelembung itu tidak mengenai kita " tiba-tiba saja kalajengking itu berbicara, artinya mereka tidak terkena gelembung-gelembung itu.
Ku coba membuka mata, semua kalajengking paman Sukma terlihat biasa saja, tak ada yang terkena gelembung dari ular itu.

Kemudian aku tersadar, ternyata saat ini kami berada di dalam kotak kaca. Kotak kaca inilah yang melindungi kami dari gelembung ular itu.
" ini tekhnik rahasia kelurga Kurent " gumamku dalam hati, saat melihat kotak kaca yang melindungi kami.

" trakkk kcass... " kotak kaca yang melindungi kami retak kemudian hancur.
" dughhh... " bersamaan dengan hancurnya kotak kaca tadi, terdengar suara sesuatu ambruk ketanah dari arah belakang.
Kami semua langsung melihat kearah belakang, aku tak menyangka kalau itu adalah Mey, dia berlutut lemas sambil masih memegangi busur panahnya. Kulihat tubuhnya semakin melemah dan mulai kehilangan keseimbangan, aku sadar bahwa tekhnik pelindung barusan membutuhkan tenaga yang besar, bahkan aku tidak menyangka kalau Mey bisa menggunakan tekhnik itu.

Aku segera memeluknya sebelum dia ambruk ke tanah.
" kamu gapapa ? " bisiku diteling Mey.

" aku baik-baik saja.. " jawab Mey mulai membalas pelukanku.

" sepertinya aku harus belajar banyak darimu Hiro " ucap Jugo tersenyum menyindirku. Aku tau apa maksud dari sindiran Jugo itu, ku balas dengan senyuman padanya. Sekarang pelukan kami sudah terlepas, Mey benar-benar terlihat sangat lemas.

" senang sekali rasanya melihat anak-anak dari Kwehni dan Kurent terlihat akrab " ucap paman Sukma, sepertinya tidak menyadari kedekatan kami yang lebih dari sekedar akrab. Mey tersenyum menatap kearah paman Sukma.

" apa kalian sudah ada rencana? Sepertinya ular itu akan menyerang lagi " ucap kalajengking paman Sukma, memotong percakapan kami.

" aku ada satu rencana " ucapku, paman Sukma dan Jugo menatap serius kepadaku.
Kemudian aku mendekat kearah Mey, lalu membisikan sesuatu kepadanya.
" baik, aku bisa melakukanya " jawab Mey tersenyum manis.

" tapi kamu yakin? " ucapku mempertegas jawabanya.
" dengan kondisi seperti ini.. " ucapku sedikit terpotong.

" tenang saja, tapi beri aku sedikit waktu " jawab Mey sambil tersenyum. Ku balas dengan anggukan tanda mengerti. Kemudian Mey beberapa kali menarik nafas panjang.

" apa sebenarnya rencamu? " tanya Jugo penasaran.

" lihat saja nanti hehe " jawabku sambil tersenyum kearah Jugo.
" inih sisa kelereng yang aku punya, bisa kan kalian menghadang sekali lagi serangan dari ular itu " lanjutku, sambil menyerahkan kelereng sisa dari sakuku kepada paman Sukma dan Jugo.

Mereka pun menerima kelereng pemberian dariku.
" aku percaya padamu Hiro " jawab paman Sukma sambil tangan kirinya menepuk sebelah pundaku.

" Blukblukblukbluk " kembali terdengar suara gelembung dan benar saja, saat kami berbalik si ular sudah melepaskan gelembung-gelembungnya kearah kami. Meskipun jumlahnya lebih sedikit dari pada serangan sebelumnya.

" Ayo ayah kita hentikan ular itu " ucap Jugo pada paman Sukma. Ditanganya kini ada kelereng pemberianku, begitupun paman Sukma. Dia bangkit, siap melemparkan kelereng pemberianku kearah datangnya gelembung itu.

Disaat yang bersamaan, aku mengeluarkan satu gulungan kertas lagi dari dalam tas ku. Gulungan kertas itu kubuka, dan munculah sebuah cambuk. Cambuk yang dulu menjadi senjataku saat perang besar dua tahun lalu.

Sementara itu Jugo dan paman Sukma sudah melemparkan kelereng ditangan mereka.
" Cass... casss.. cass.. " semua gelembung si Ular pecah terhadang jaring penjerat dari kelereng yang dilemparkan.

Ditanganku kini sudah ada dua senjata, pedang ditangan kiri dan cambuk ditangan kananku. Ujung tali cambuk bergerak, kemudian melilit gagang pedang yang sedang ku genggam ditangan kiriku.
" aku sudah siap Mey.. " ucapku tanpa melihat kearagnya.

" tunggu sebentar lagi " jawabnya. Sementara Jugo, paman Sukma serta pasukan kalajengkingnya menatap serius penuh tanya padaku dan Mey.

" aku sudah siap... " jawab Mey kemudian bangkit dan berdiri di sampingku. Kelelahan jelas terlihat dari gestur tubuh dan raut wajahnya..

" blukblukblukbluk " si ular kembali mengeluarkan gelembungnya, jumlah gelembung yang dilepaskan semakin sedikit.

" ini saatnya.. " gumamku dalam hati.
Pedang ditangan kiriku ku lepaskan, dengan menggunakan cambuk ditangan kananku. Ku putar-putar pedangnya diatas kepalaku, semakin lama ku putar semakin cepat.
" minggirr semua... " teriaku.
Seketika Jugo, paman Sukma serta pasukan kalajengkingnya menghindar kesamping. Membiarkan ku berhadapan langsung dengan gelembung-gelembung itu.

" Twingwingwingwing.. " pedang yang telilit dengan cambuk, ku lepaskan menghadang gelembung si ular.
Gerakan pedang yang kulemparkan, menyerupai cakram yang berputar memberikan efek pusaran angin di sekitarnya.
" cass.. cass.. cass... " semua gelembung si ular hancur oleh pedang yang kulemparkan. Pedang itu terus berputar cepat kearah si ular.
" slebb... " pedang yang kulemparkan menusuk mata sebelah kanan si ular, hingga kini kedua matanya mengalami kebutaan.

" sekarang saatnya Mey " ucapku pada Mey, dia hanya mengangguk. Lalu memasang tiga anak panah di busur panahnya. Ketiga anak panah dengan tepat diarahkan pada kepala siular. Panah-panah itu berlipat ganda, kemudian membentuk kotak kaca yang mengurung kepala si ular didalamnya. Si ular kini tidak akan bisa melepaskan gelembung lagi.
" bugh.. " tiba-tiba Mey terjatuh berlutut ditanah, Mey terlihat sangat kelelahan.

Aku langsung merangkulnya, ku tatap dalam wajahnya.
" kamu gapapa Mey? " ucapku, aku dan Mey sudah tau dampak yang akan terjadi pada tubuh Mey. Mey hanya mengangguk sambil berusaha untuk tersenyum.

" Jugo.. Paman.. tolong jaga Mey, aku akan melawan ular itu " ucapku pada mereka.

" baik Hiro.. berjuanglah.. " jawab paman Sukma mendekati kami.

" Hiro gunakan ini.. " ucap Jugo memberikan sebuah bungkusan.

" ini..? " tanyaku Heran.

" itu akan sangat membantu, sayang aku kelupaan menggunakanya saat perang tadi.. dan itu sudah aku buat agar lebih berguna " jawab Jugo. Paman Sukma maupun Jugo terlihat sangat kelelahan.

Ku masukan bungkusan pemberian Jugo kedalam saku celanaku, kemudian bangkit dan berlari kearah si ular.
" kami akan membantumu Hiro " ucap salah satu kalajengking.
" naik lah dipunggungku,. " lanjutnya.
Aku pun mengikuti perkataanya, ku berdiri diatas punggungnya sambil tanganku berpegangan pada ekornya.

Siular nampak berusaha menggerakan kepalanya, agar kotak kaca yang mengurung kepalanya pecah.
Sementara aku dengan menaiki salah satu kalajengking anak buah paman sukma, semakin mendekati kepala si Ular.
" Busshhss... " tiba-tiba saja kotak kaca yang mengurung kepala si Ular hancur. Semua kalajengking anak buah paman Sukma seketika berhenti. Aku sangat terkejut dengan pecahnya kotak kaca itu sungguh diluar dugaanku. Sepertinya kekuatan Mey tadi sangat terbatas untuk melakukan serangan tadi. Benar saja, saat kulihat kearah belakang, Mey terlihat ambruk dipangkuan paman Sukma. Mey sepertinya pingsan akibat menggunakan kekuatan diluar batas kemampuanya. Aku sedikit marah melihat keadaan Mey saat ini, walau pun Mey sudah tau sebelumnya akan dampak yang terjadi pada dirinya.

" ular itu harus membayar semuanya.. " teriaku marah pada ular raksasa itu. Sekarang jarak kami tak lebih dari sepuluh meter.
 
" drrgghh... prakk.. bugh.. prakk.. prakk.. bughh.. prak.. bugh.. " tiba-tiba saja pepohonan disamping belakang sebelah kiri si ular bertumban. Ekor si ular menyapu semua pohon disekitarnya.

" ular itu sekarang mendengar dengan getaran di sekitarnya " ucap kalajengking yang sedang aku naiki.

" kalo seperti itu.. kita berpencar, kalian alihkan perhatian kepala si ular.. biar aku sendiri yang menghentikan ekornya.. " ucapku dan langsung melompat dari atas tubuh kalajengking. Kami bersiap dengan tugas masing-masing.

Aku berlari menuju arah datang nya ekor si ular.
" prakkk... bughhh... " baris pohon terakhir yang menghalangi ekor ular tumbang. Kini ekornya bersarnya siap menebas siapa pun yang ada disini. Aku pun langsung mengelurkan tangan kutukanku kemudian membesar.
" bleughhh... " aku berhasil menangkap ekor siular. Ekor itu bergerak keras berusaha melepaskan dari peganganku.

" claccckk... " ku cambuk ekor siular dengan cambuk ditangan kiriku. Sepertinya cambukanku memberikan sedikit luka di ekornya.
" clackk... clackk.. clackk.. " berulang kali aku lakukan cambukan disekitar ekornya, kini gerakan diekornya berangsur melemah.

Sementara itu para kalajengking tadi menyerang bagian kepala si ular bersama-sama, meskipun sepertinya salah satu dari kalajengking itu terkena serangan gelembung si ular.
" plackkk " kali ini cambuku langsung mengikat ekor si ular. Perlahan ku lepaskan peganganku pada ekor si ular.
" Bughh.. " aku langsung memberikan pukulan sangat keras pada ekor tadi, tak terlihat lagi gerakan pada ekornya. Ku tarik kembali cambuk yang tadi mengikat ekor si ular untuk sementara.

Perlahan aku menaiki ekor si ular.
" Bughh... " kembali aku memukul ekor si ular. Aku sedikit melangkah kedepan.
" bughhh... " kembali kupukul ekornya .
" Bughhh... bughhh... bughhh... bughhh... bughhh... bughh.... bughh... bughh.... " ku pukul terus bagian tubuh siular sambil perlahan berjalan menyusuri semua lekuk tubuhnya.

" Bugghh... " kini pukulanku sudah berada disekitar bagian tengah tubuhnya.
" bugghhh... bughhgg... bughhh... bugghhhh... " semakin kebagian atas tubuhnya, kuarasakan semakin keras kulit tubuhnya.
Hingga kini aku sampai diatas kepalanya...
" Bughhh... bugghh... " dua kali pukulan keras ku arahkan di kepalanya. Seketika dia ambruk, masih terasa getaran ketika dia berusaha bergerak.

Ku kembalikan tangkan terkutuku kebentuk semula. Para kalajengking dibawah memberikan tepuk capitnya, sementara dikejauhan kulihat paman Sukma dan Jugo mengacungkan jempol kearahku. Dan Mey, dia masih tergeletak dipangkuan paman Sukma.

Sebuah rencana kembali kupikirkan, kusimpan cambuku di pingginga. Kemudian mencabut pedangku yang tertancab dimata si ular. Ku berjalan disekitar jantung ular berada.
" sleb.. " ku tusuk si ular dengan pedangku. Namun hanya seperempat bagian saja pedangku yang menembus ular itu. Lapisan terdalam si ular sangat keras.
" sretttt.... " ku robek punggung si ular satu meter kearah ekor. Ku keluarkan bungkusan hitam yang tadik diberikan Jugo padaku, ternyata isi bungkusan ini adalah garam.

Ku taburkan garam pemberian Jugo kedalam celah sobekan yang aku buat tadi, seketika bagian tubuh si ular yang ku taburkan garam tadi seperti terbakar. Garam tadi merusak tubuh siular, sedikit demi sedikit garamnya menggerogoti tubuh si ular.
Kemudian aku kembali melangkah kearah kepala si ular.
" Slebbb... " sekuat tenaga ku tusukan pedangku ke kepala si ular, hingga seluruh pedangku menembus kepalanya.

Perlahan keluarga Kurent maupun hantu-hantu yang terkena serangan gelembung si ular mulai tersadar. Mereka menatapku yang sedang berdiri diatas kepala si ular dengan tatapan aneh. Tak ku pedulikan tatapan mereka kepadaku. Aku lebih tertarik melirik kearah belakang, dimana celah yang tadi aku taburi garam, kini telah menjadi lubang yang cukup lebar. Hingga sampai terlihat jantung si ular.

Cepat saja ku cabut pedang yang tadi kutusukan dikepala si ular.
" Hap... " ku melompat kearah lubang akibat garam tadi.
" slebbb... " dan pedangku menusuk jantung si Ular dan kini aku berada didalam tubuhnya.
" sreettt... sreett... " ku robek dan ku rusak jantung si ular...
" Bushhhhssss.... " si ular hancur, menjadikan debu yang sangat besar. Membuat kakiku kini bersentuhan langsung dengan tanah.

Setelah berhasil mengalahlan ular itu, aku berjalan melewati keluarga Kurent dan para hantu yang membantunya. Banyak diantara mereka yang menatapku dengan tatapan ketidak sukaan.

" kau selalu penuh kejutan Hiro " ucap Marlo kuda milik Mey, ketika aku melewat di depanya.

" terima kasih Marlo... aku takan berhasil jika melakukanya sendiri " ucapku pada Marlo, diakhiri dengan senyuman.
Lantas aku kembali berjalan melewati mereka.

" heii nak tunggu... " terdengar seseorang memanggilku.
Aku pun menghentikan langkahku lalu berbalik kearah asal suara tadi.

Ternyata itu adalah salah satu dari keluarga Kurent yang bertempur tadi.
" iyah ada apa paman? " tanyaku ketika dia sudah berada di depanku.

" aku ingin mengucapkan terima kasih.. kau telah menyelamatkan kami semua " ucap paman itu tak lepas aenyumnya.

" aku tidak melakukanya sendiri paman.. banyak yang membantuku " ucapku pada paman itu.
" dan juga dari Mey.. " lanjutku.

" Mey..? Dimana Mey.. " tanyanya khawatir saat aku mengucapkan nama Mey.

" itu disana.. " ucapku menunjuk kearah Mey yang sedang terkulai lemas.
" dia sangat kelelahan akibat menggunakan kekuatan berlebih " lanjutku.
Paman itu sepertinya tidak memperdulikan ucapanku, dia langsung berlari kearah Mey.
Aku pun mengikuti paman itu segera berlari kearah Mey.

" Mey.. Mey gapapa?. " ucap paman itu bertanya pada Mey yang sangat lemah.

" tenang, dia baik-baik saja.." ucap paman Sukma.

" aku.. baik.. baik.. aja.. ayah.. " jawab Mey terbata-bata. Rupanya paman ini adalah ayahnya Mey.

" kita berhasil Mey.. ular itu sudah aku musnahkan " ucapku pada Mey.

" i.. yah.. aku.. tau.. kamu.. hebat.. " jawab Mey disertai senyumanya yang sangat manis.
Aku pun membalas tersenyum kepada Mey.

" terima kasih untuk semuanya.. telah membantu kami " ucap ayah Mey sambil melirik kami satu persatu.

" iyah sama-sama.. menjaga tempat ini adalah kewajiban kami juga " jawab paman Sukma.
" dan kami pun turut berduka cita " lanjut paman Sukma.

" iyah terima kasih banyak.. ini malam yang berat untuk kami " jawab Ayah Mey terlihat sedih.
" ayoh Mey kita pulang " kemudian ayahnya memangku Mey dan meninggalkan kami semua. Sempat aku dan Mey saling bertatapan, dan dia memberikan senyum yang sangat manis untuku.

Akhirnya semuanya telah selesai. Malam yang sangat menegangkan serta berat untuk dilewati, beruntung kami bisa menang meskipun harus dibayar mahal dengan kematian Midun.

" lebih baik kau pulang Hiro, malam ini kau telah mengalami pertarungan yang sangat berat. " ucap paman Sukma padaku.

" paman tidak ikut pulang" ? Tanyaku balik.

" paman masih harus membantu mereka.. apalagi paman paling tua dikeluarga Kwehni " ucap paman Sukma.
" kau pulang saja duluan, besok kau harus sekolah " lanjut paman Sukma.

" baiklah.. paman, Jugo.. aku pulang " ucapku pada mereka.
Jugo hanya membalas dengan senyuman dan anggukan.

" iyah.. pulanglah.. " jawab paman Sukma tersenyum.

Setelah berpamitan dengan paman Sukma dan Jugo, aku berjalan sendiri menuju rumah, melewati jalan kecil yang disetiap sisinya berjajar pohon.
" blugghh " tiba-tiba sesuatu jatuh dari atas pohon tepat di depan mukaku.

Sesuatu berwarna hitam yang mulai menggeliat, ternyata seekor kucing berwarna hitam.
" Farukkk.. " panggilku pada kucing itu, yah kucing itu adalah Faruk. Dia terus menggeliat kemudian bangun lalu beberapa kali menguap.
" kau sedang apa disini? " lagi aku memanggil Faruk.

" eh.. kau Hiro.. " ucapnya ketika ia melihat ke arahku.
" dari semalam aku tidur disini.. sepertinya barusan aku terjatuh " lanjutnya menjawab pertanyaanku.

" tapi kau tidak apa-apa ? Kau tidak dilukai ular-ular itu kan? " tanyaku, cukup khawatir setelah penyerangan dari ular-ular tadi.

" apa maksudmu ? Ular-ular apa? Aku baik-baik saja " jawabnya nampak kebingungan.
 
" kau tidak tau semalam ular-ular dari selatan melakukan penyerangan secara besar-besaran kesini " ujarku, menjelaskan maksud dari pertanyaanku.

" owhhh... " ucapnya dingin.

" jangan bilang kau sejak pergi dari rumah langsung tidur disini " ucapku.

" kau benar Hiro... hoammm.... " ucapnya dingin sambil menguap.

" haduhhh... " ucapku jengkel padanya.
" kan aku sudah memberikan amanat kepadamu " lanjutku sambil menggelengkan kepala.

" semalam kata Laras, dia sendiri yang akan pergi ke pohon Mulyo.. hoamm... " jawab Faruk.
" berarti aku tidak salahkan " lanjutnya.

" kau ini... hantu yang lain pada ketakutan dan berusaha menyelamatkan diri.. sementara kau dengan tenang tidur disini.. " ucapku kesal pada Faruk.
" bagaimana jika salah satu ular itu menemukanmu, kemudian menyerangmu yang sedang tertidur.. " lanjutku.

" hoamm.. " Faruk kembali menguap.
" kau terlalu berlebihan Hiro.. buktinya aku baik-baik saja " ucapnya dingin, semakin membuatku kesal.

" dasarr kau ini... " ucapku menatap jengkel padanya.

" hoamm... " Faruk menguap.
" sebentar lagi pagi, lebih baik aku pulang " ujarnya sambil berlalu pergi.

Aku langsung menepuk jidat melihat kelakuan Faruk. Entah apa yang ada dalam pikiranya, hidupnya tak pernah berubah selalu tidak peduli dengan apapun. Aku kemudian mengikuti Faruk dari belakang untuk pulang kerumah. Keadaan rumah sangat sepi, sepertinya para hantu masih belum berani keluar dari dalam aula. Faruk juga langsung berjalan menuju aula di halaman belakang rumah. Aku lantas juga masuk kedalam rumah, kulirik jam dinding sudah menunjukan jam setengah enam pagi.

" teng.. sreng.. sreng.. " terdengar suara ada yang sedang memasak didapur. Kemudian aku putuskan untuk melihat siapa yang ada di dapur. Ternyata ada Rio dan si Nenek yang sedang memasak, Rio melihat kedatanganku.

" baru pulang ka? " tanya Rio padaku sembari tersenyum.

" iyah aku baru pulang.." jawabku pada Rio, sambil melihat aktivitas memasak mereka.
" kau sedang masak apa? " ucapku balik bertanya.

" seperti biasa ka nasi goreng spesial hehe " jawab Rio.

" haha tumben kamu masak bareng Nenek " ucapku sedikit mengejeknya, sedari dulu Rio selalu protes kalo si Nenek memasak.

" hmm.. kalo ga aku temenin, entar si nenek kelupaan atau bahkan salah masukin bumbu " jawab Rio, membuatku sedikit tersenyum melihat ekpresi muka terpaksanya.

" haha yaudah kaka mau mandi dulu, jangan lupa nasi goreng buatku " ucapku sedikit tertawa.

" siap ka tenang aja " jawab Rio menganggukan kepala sambil tersenyum.

Aku pun berjalan menuju kamarku, menyimpan tas juga melepas jaket dan baju yang aku kenakan. Kemudian mengambil handuk yang tergantung dibalik pin lalu masuk kedalam kamar mandi. Mandi membersihkan diri sebelum pergi kesekolah.

Selesai mandi aku memakai seragamku, tak lupa memakai jaket hitam favoritku. Aku tidak pernah membereskan buku belajarku, karena semua buku pelajaran aku simpan dikolong meja kelasku :D.

Setelah selesai berpakaian, kemudian aku menuju dapur. Dimeja makan sudah tersedia nasi goreng dan telur mata sapi, hmm rasanya lumayan juga. Sekitar pukul enam lebih seperempat, aku berangkat sekolah bersama. Tidak ada yang menarik sepanjang perjalanan menuju sekolah dan juga sepertinya Rio tidak mengetahui tentang kejadian semalam.

Sesampainya dikelas aku melihat Mita menatapku penuh arti, dia tersenyum manis kepadaku. Setelah aku sampai ditampat duduku, tak lama Mita datang menghampiriku.
Dia tersenyum manis kemudian memegang tanganku.
" aku punya kabar baik... " ucap Mita terlihat riang.

" Kabar baik apa? " tanyaku penasaran sambil berusaha melepas secara halus pegangan tangan Mita.

" kemarin malam Sinta udah balik dari rumah Hani " benar saja saat ku tengok, Sinta sedang duduk dibangku yang biasa dia tempati.
" dan Sinta bilang, Hani sudah membaik " lanjut Mita berbicara, dari wajahnya Mita terlihat bahagia.

" yang benar Mit ? " tanyaku memastikan kembali ucapan Mita.

" iyah beneran... dia udah bisa bicara tapi masih belum bisa banyak bergerak " jawab Mita.

Rasanya senang sekali mendengar kabar tentang Hani, sudah lama aku merasa khawatir padanya.
" hmm syukurlah.. " ucapku dalam hati.

" Hani menyuruh kita besok untuk datang kerumahnya.. kau tau kan hari kamis ini Hani ulang tahun " Mita melanjutkan ucapanya.

" iyah aku tau kok.. " ucapku sedikit bingung, apa yang akan aku berikan pada Hani sebagai kado ulang tahun. Padahal aku saat ini engga punya uang.

" lah kok kaya bingung gitu..? " tanya Mita.
" grogi yah mau ketemu calon mertua " lanjut Mita meledeku.

" haha gapapa kok.. aku biasa aja " jawabku berusaha menyembunyikan kebingunganku.

" ehh... kamu mau ngasih apa ke Hani? Pasti yang spesial dong . " ucapan Mita membuatku sedikit kaget, pertanyaan Mita adalah alasan kebingunganku saat ini.

" hmmm... bagusnya mending ngasih kado apa yah? " tanyaku dengan ekpresi wajah bingung sambil sedikit menggaruk-garak rambutku.

" ya kasihh bunga, coklat atau kalung emas.. yah yang penting tulus dari hati kamu " jawab Mita.

" hehe begitu yah... " ucapku.

Tiba-tiba pandangan kami tertuju pada kedatangan pak Umar yang secara tiba-tiba. Wali kelasku itu langsung berdiri di depan kelas, para murid yang kaget akan kedatangan pak Umur langsung duduk di bangku kosong disekitar mereka. Begitupun Mita langsung duduk disampingku.

" selamat pagi anak-anak " ucap pak Umar menyapa kami.
" Selamat pagi pak Umar " jawab kami kompak.

" dipagi yang cerah ini bapa harus memberikan kabar duka untuk kita semua " ucap pak Umar mulai menyampaikan kabar duka. Ucapan pak umar membuat sebagian murid kaget maupun penasaran.
" kabar duka apa pak? " tanya penasaran Sabda yang saat ini duduk tepat didepan pak Umar.

" ehhmm bapa sedih harus mengatakanya.. " pak Umar matanya sedikit berkaca-kaca.
" Teman kita, saudara kita.. Midun Kurent telah meninggalkan kita untuk selamanya... " lanjut pak Umar menyampaikan berita duka. Membuat suasana dikelas ini sesaat hening. Bagaimanapun pasti semua yang disini mengenal Midun, terutama murid lelaki yang menganggap Midun sebagai panutan disekolah. Sebenarnya Midun orangnya cukup baik, tidak seperti teman-temanya yang tempo hari aku hajar di gudang sekolah. Masalah latar belakang keluarganya lah yang membuat aku juga Midun seperti bermusuhan dan tak pernah akur.

" kapan pak meninggalnya? " tiba-tiba kulihat Sinta terisak dengan air mata mengalir dipipinya bertanya pada pak Umar.
" yang bapak dengar katanya, dia meninggal subuh tadi.. tapi bapak gatau meninggalnya karena apa... " jawab pak Umar yang juga terlihat sedih.
Kembali tidak ada yang berkata sepatah katapun, kami semua terdiam hening.

Dalam hatiku, akupun merasa sedih. Harus melihat seorang Moro tewas dalam sebuah pertarungan. Tentu saja yang paling berduka adalah keluarga Kurent. Midun berada dalam garis utama keluarga Kurent dengan kata lain, seharusnya Midun menjadi pemimpin keluarga Kurent di masa depan.

" lebih baik kita doakan Midun. Agar tenang disana " ucap pak Umar kemudian kami bersama-sama berdoa untuk Midun.

" hari ini sekolah diliburkan.. karena para guru akan pergi kerumah Midun.. jika ada yang mau ikut, jam delapan kita pergi kesana. Hanya dua orang tiap kelasnya sebagai perwakilan " ucap pak Umar.
" baik.. hanya itu yang bapa sampai kan.. terimakasih " lanjut pak Umar kemudian pergi meninggalkan kelas.

Sejenak kelas kami hening sejak kepergian pak Umar.
" hebat yah sekolah ini, muridnya meninggal. Sekolah diliburkan. " tiba-tiba Mita berucap sinis.

" hmmm.. ya mungkin sekolah ikut berduka. Sekalian kita semua bisa datang kerumah orang yang meninggal. " ucapku pada Mita.

" aku benci cowok itu.. bagus kalo dia sekarang mati " ucap Mita sedikit membentak, kemudian pergi ketempat duduknya.

Aku menatap heran kearah perginya Mita. Aku merasa Mita ada masalah di masa lalu dengan Midun. Sebetulnya aku tidak tau pasti, ini baru dugaanku saja.

Setelah mengetahui kalau sekolah diliburkan, aku memutuskan untuk pergi meninggalkan sekolah. Aku memutuskan untuk pergi ke sebuah bukit yang biasa menjadi tempat untuku menenangkan diri.
 
Sesampainya dibukit ini, aku memilih tiduran dibawah sebuah pohon. Udara yang sejuk, mampu memberikan rasa nyaman dan rasa tenang ketika berada disini. Sambil tiduran, aku memikirkan rencana kedepanya setelah terjadinya pertempuran tadi malam. Aku berfikir kalau semuanya belum berakhir, aku takut ini akan menjadi konflik yang berkepanjangan antara para Moro penjaga pohon Mulyo dan kerajaan Ular dari pantai selatan.

Dan satu lagi yang sedang sangat aku pikirkan. Yaitu, kado apa yang harus aku berikan pada Hani. Kalau untuk membeli kado mahal, aku tidak punya uang banyak. Disakuku kini hanya ada uang sekitar tiga puluh rubu rupiah. Belum dipakai untuk ongkos pergi ke rumah neneku di Lembang.

Terpikir beberapa ide bagaimana cara mendapatkan uang untuk membeli kado untuk Hani. Cukup lama aku merenung di tempat ini, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang kerumah.

Ketika aku berjalan ditengah kota, terlihat cukup banyak warung maupun toko yang masih tutup. Aku terus meneruskan perjalanan untuk pulang. Ketika akan melewati jalan kecil penghubung rumahku menuju kota, aku bertemu wanita cantik yang aku kenal.

" ehh kak Hiro.. " ucapnya tersenyum manis. Badanya yang mungil, membuat dirinya terlihat sangat menarik.

" ehh.. Biia mau kemana? " tanyaku padanya.


Biia Anissa

" tadi aku malas sekolah... eh tapi dapat kabar kalo kak Midun meninggal, terus kabarnya Mey juga sakit. Makanya aku pengen pergi kerumahnya, tapi aku gatau rumahnya dimana.. hehe.. " ucapnya diakhiri dengan senyuman imut nan lucu.

" iyah semua benar Bii.. yaudah ayoh aku antar kerumahnya.. " ucapku padanya.

" hehe makasih ya ka.. " jawabnya sangat gembira.

Aku pun mengantarkan Biia menuju kerumah Mey, sepanjang jalan aku beberapa kali berpapasan dengan beberapa orang. Pasti orang-orang ini sehabis pulang dari rumah kelurga Kurent, karena biasanya tak ada orang lain yang melewati jalan ini kecuali keluarga Kwehni dan Kurent.

Setelah kami masuk kedalam gerbang rumah keluarga Kurent, kami sempat terkagum dendan rumah ini. Rumah dua tingkat yang sangat luas juga halaman depanya lagi tak kalah luas serta dikelilingi banyak pepohonan. Meskipun aku tau sejak lama keluarga Kurent tapi aku tidak pernah datang kesini sebelumnya, hanya tau jalan menuju kesini.

" kak.. rumah Mey besar banget yah.. " ucap Biia terkagum.

" iyahh.. Bii bagus lagi.. " tambahku.

Terlihat cukup banyak orang yang keluar masuk rumah ini.
" hey Hiro.. kebetulan sekali kau disini . " tiba-tiba ada yang menepuk pundaku dari belakang.

Lantas aku berbalik melihat siapa yang menepuk pundaku, yang ternyata itu adalah paman Sukma. Jugo pun bersamanya.
" ehh kalian.. " sepertinya belum pulang kerumah karena mereka terlihat masih memakai pakaian yang sama sejak semalam.

" hmmm... siapa lagi nih.. " tanya Jugo meledeku sambil melihat kearah Biia.

" siapa mereka kak ? " tanya Biia berbisik.

" mereka paman dan kakak sepupuku.. " jawabku pada Biia.

" oh.. hehe.. " balas Biia tersenyum.

" dia ini adik kelasku.. namanya Biia. " ucapku memperkenalkan wanita cantik disampingku pada mereka.

" aku Biia... " ucap Biia ramah memperkenalkan diri.

Merekapun berkenalan satu persatu. Biia terlihat sangat senang berkenalan dengan mereka. Tiba-tiba muncul ayah Mey beserta dua orang berpakaian hitam menghampiri kami.
" kalian sudah siap? " Ucap ayah Mey pada kami. Tapi aku bingung apa yang dimaksud dengan siap.

" yah kami sudah siap.. " jawab paman Sukma.
" ayo Hiro.. " lanjutnya berkata padaku.

" ayoo.. kemana paman? " tanyaku bingung.

" ada yang harus kita dengarkan dan diskusikan " ucap paman Sukma sembari memberikan isyarat diwajahnya agar aku menurut saja. Aku pun mengerti dan akan ikut saja.

Kemudian aku berbicara pada ayah Mey.
" paman.. ini temanya Mey, ingin bertemu sama Mey.. " ucapku padanya memperkenalkan Biia dan maksud kedatanganya kesini.

" aku Biia.. " ucap Biia memperkenalkan namanya.

" ohh.. jadi mau ketemu Mey..? " ucap Ayahnya Mey. Dibalas dengan anggukan dan senyuman manis dari Biia.
" yasudah paman antar ke kamarnya Mey.. " ajak ayahnya Mey pada Biia.

" dah kaka... " ucap Biia padaku tak lupa senyumnya. Hanya kubalas dengan anggukan saja.

" ohh.. yah kalian berdua, antarkan mereka keruang pertemuan, aku segera menyusul " ucap ayah Mey pada dua orang berbaju hitam tadi.

" Baikkk.. tuan.. " jawab mereka kompak. Kemudian ayah Mey pergi meninggalkan kami masuk kedalam rumah diikuti Biia.
" mari ikut kami... " ucap mereka.
Mereka membawa kami kesamping kiri rumah Mey, dimana disitu terdapat sebuah batu besar dan diatasnya ada patung kuda sebesar kepalan orang dewasa.

" plickkk... " salah satu dari mereka menekan kedalam patung kuda diatas batu tersebut.
" drggghhh.. " tiba-tiba saja batu itu bergeser dan memperlihat kan sebuah lubang yang memiliki lubang untuk turun kedalam.

" mari silahkan... " ujar salah satu dari mereka mempersilahkan kami masuk menuruni tangga.

Kami pun menuruni tangga dengan paman Sukma berjalan paling depan. Dibagian bawah tangga, terdapat lorong selebar dua motor yang lantainya terbuat dari kayu. Di lorong ini terdapat tiga buah pintu yang masing-masing semuanya tertutup.
" silahkan.. masuk aja ke pintu yang terakhir.. kalian sudah ditunggu disana... kami berjaga disini " ucap salah satu dari dua orang yang mengantarkan kami tadi.

Paman sukma pun mengangguk tanda mengerti. Kemudian menuju pintu paling ujung dilorong ini, pintu pun dibuka oleh paman Sukma.
" cepat ayo masuk... " panggil seseorang dari dalam.

Aku pun mengikuti paman Sukma dan Jugo masuk kedalam. Kulihat kakek tua dan ayah nya Midun duduk diatas Sopa besar dan panjang. Mungkin muat untuk diduduki delapan orang. Didepanya terdapat meja dengan banyak makanan termasuk buah-buahan. Kemudian kami duduk di sopa kosong yang bentuknya persis dengan sopa yang diduduki kelurga Kurent. Hingga kini kita duduk saling berhadap-hadapan.

" kalian sudah mengenalku kan.. pemimpin kelurga Kurent.. Kenzo Kurent " ucap si kakek tua itu sedikit sombong.

" langsung saja.. tak usah basa-basi " ucap Jugo, menyindir si kakek.

" sebenarnya aku lebih suka berbicara langsung dengan pemimpin kalian.. tapi sayang dia terlalu senang bepergian.. " balas si kakek menyindir Jugo serta ayahku.

" bukan kah disini ada putra tertuanya... suatu hari dia pasti menggantikan ayahnya memimpin keluarga Kwehni " balas paman Sukma.

" hah.. dia masih bocah... " ucap kembali si kakek merendahkanku.

" tapi bocah ini lah yang tadi menyelematkan kalian.. tapi sayang kalian tidur manja, menunggu kami menyelamatkan kalian " ucap Jugo sedikit menghardik si kakek.

Si kakek menatap ketidak sukaan terhadap kami, apalagi setelah apa yang barusan Jugo ucapkan. Benar-benar obrolan yang jauh dari kata bersahabat. Yang ada hanya saling sindir dan saling menjatuhkan.

Tiba-tiba ayah Mey masuk dan ikut bergabung duduk bersama keluarga Kurent lainya.
" jadi apa yang akan kalian bicarakan? " tanya paman Sukma pada mereka.

" baiklah langsung saja... secepatnya kami akan menyerang kerajaan ular yang sudah menyerbu pohon Mulyo " ucap si kakek.

" dan juga telah membunuh anakku " ucap ayah Midun meninggi.

" kami turut berduka cita atas meninggalnya anggota keluarga kalian " jawab paman Sukma.
" tapi apa harus kita membalas menyerang mereka " lanjut paman Sukma.

" hah... sudah kuduga.. kalian takan mau ikut kami.. karena sedari dulu Kwehni adalah keluarga pengecut " ucap si Kakek menghina kami.

" yang pengecut itu keluarga yang menolak ikut perang besar dua tahun lalu " ujar Jugo menatap sinis pada mereka.

Suasana disini semakin memanas, sementara aku yang baru pertama kali dihadapkan pada situasi seperti ini, hanya bisa diam melihat mereka berdebat dan saling sindir.

" jika kalian mengajak kami menyerang kerajaan ular itu.. maka aku menolak dan aku memastikan pemimpin kami pun akan memberikan jawaban yang sama " tolak paman Sukma atas usulan keluarga Kurent.

" hah.. pengecut.. " sindir si kakek.
 
" bukankah kalian saat ini sedang berkabung.. apakah tidak sebaiknya kalian diam dan mendoakan Midun yang telah pergi " ucapku mencoba ikut dalam pembahasan.

" aku tidak bisa berdiam saja " hardik ayah Midun atas ucapanku.
" aku lebih puas jiga telah melihat ular-ular itu menderita dan musnah " lanjutnya semakin meninggi.

" aku rasa pembicaraan ini tak akan menemui kesepakatan kalau dengan emosi " kali ini ayah Mey berbicara.

" baiklah.. sekarang terserah kalian, aku tidak akan memaksa.. " ucap si kakek.

Kemudian aku memiliki sebuah inisiatif.
" boleh aku usul.. " ucapku, mereka yang berada disini langsung memperhatikanku.
" sesuai apa yang dikatakan paman Sukma, bahwasanya kami menolak untuk pergi bersama kalian menyerang kerajaan ular itu " lanjutku. Keluarga Kurent langsung menatap sinis kepadaku.
" tapi sebagai gantinya, selama kalian pergi.. semua tanggung jawab keamanan pohon Mulyo menjadi tanggung jawab keluarga kami " ucapku.

Semua yang mendengarkan ucapanku terlihat berpikir dan menimbang perkataanku.
" ku rasa itu solusi yang bagus " ucap paman Sukma membelaku.

" hah.. itu semakin memperlihatkan bahwa kalian memang pengecut " ucap si kakek kembali menghina kami.

" sudahlah ayah.. itu bukan sesuatu yang buruk.. " ucap ayah Mey menenangkan si kakek.

" heh.. " terlihat ketidak sukaan dari wajah kakek itu.
" bagaimana menurutmu ? " lanjut si kakek bertanya pada ayahnya Midun.

" aku terserah ayah saja.. " ucapnya.
" yang penting segeralah kita serang ular-ular itu.. " lanjutnya terlihat sangat marah.

" baiklah aku tidak ada pilihan lain sepertinya.. lebih cepat lebih baik pembicaraan ini selesai " ucap si kakek tua.

" bagus.. sepertinya kita sudah sepakat.. " balas paman Sukma.

" bagus.. kita segera pergi dari sini.. badanku rasanya gatal kelamaan disini " ucap Jugo kembali menyindir mereka.

" kau pikir aku senang melihat kalian disini " balas si kakek tak mau kalah.

" baiklah kalau begitu kami pergi.. " ucap paman Sukma.
Jugo langsung pergi keluar.

" yah silahkan... " jawab si kakek masih dengan tatapan ketidak sukaan.

" permisi paman... " ucapku pada ayah Mey, menurutku ayah Mey memiliki sifat berbeda dari ayah Midun maupun si kakek tua itu.

" iyah silahkan... " balas Ayah Mey tersenyum padaku. Semoga ini kode restu hubunganku dengan Mey.. ehh :pandaketawa:

Aku pun berjalan keluar dari ruangan tadi bersama paman Sukma. Hingga sampai lah kami keluar dari lorong bawah tanah. Dari kejauhan kulihat Jugo sudah menunggu kami di gerbang rumah keluarga Kurent.

" kerja bagus Hiro.. kau mempercepat kita keluar dari sana " ucap Paman Sukma sembari kami mendekati Jugo.

" yah beruntung sekali... pembicaraan yang aneh buatku paman.. bahkan mereka sebagai tuan rumah tidak bersikap baik pada tamunya... yah minimal tawarkan minum, padahal diatas meja tadi banyak makanan.. " ucapku mengeluh pada paman Sukma.

" hahaha... mereka itu menganggap kita bukan tamu, tapi musuh mereka.. " jawab paman Sukma sedikit tertawa.

" hmmm... " lengguhku.

Sampainya kami ketempat Jugo berdiri.
" ayo cepat kita pulang.. " ucap Jugo pada kami.

" haha ini juga kan kita mau pulang. " jawab paman Sukma.

Akhirnya kami pun pergi meninggalkan rumah keluarga Kurent. Sepanjang jalan Jugo terus saja menggumam, melepaskan semua kekesalanya saat terjadi pembicaraan tadi. Hingga akhirnya kami sampai di persimpangan jalan antara arah menuju kota kesebelah kanan dan lurus menuju rumahku. Sebenarnya kesebelah kiri adalah menuju pohon Mulyo, tapi bukan khusus berupa jalan. Dari sini menuju kesana hanya berupa tanah lapang yang dipenuhi pepohonan dan berbagai tumbuhan.

" kita berpisah disini Hiro.. " ucap paman Sukma.

" kalian tidak mampir dulu.. " tawarku pada mereka.

" tidak lah Hiro, aku sudah lelah ingin istirahat " ucap Jugo.

" maaf yah Hiro " sambung paman Sukma.

" baiklah.." ucapku sedikit kecewa.

Akhirnya kami pun berpisah, aku berjalan sendiri kerumah. Kulihat matahari mulai condong kesebelah barat, pertanda bahwa sekarang sudah sangat sore. Sesampainya aku masuk kedalam rumah, kulihat Rio sedang asyik menonton TV. Kulirik jam dinding sudah menunjukan pikul empat sore.

Aku mendekat kearah Rio dan duduk disampingnya.
" eh kakak.. " ucapnya sedikit kaget saat aku duduk disampingnya.

" Rio.. kakak boleh minta tolong ga.. " ucapku padanya.

" Minta tolong apa kak ?" Tanyanya heran.

" kamu punya uang ga? Kakak pinjem " ucapku padanya.

" aku cuma punya uang dua puluh ribu kak " ucapnya sambil mengeluarkan uang selembar dua puluh ribu dari dalam sakunya.

" aduhh.. ternyata sama aja " gumamku dalam hati saat Rio menunjukan uangnya.
" emang kamu ga punya tabungan ? " tanyaku lagi.

" ada sih ka di celengan... tapi harus dibongkar dulu " jawabnya ragu.

" yaudah kamu bongkar aja celenganya, kaka pinjem dulu uangnya " ucapku lagi.

" ehmm tapi.. " kembali ucapnya ragu.
" emang buat apa sih ka? " lanjutnya balik bertanya.

" hmm itu urusan kaka.. apa kamu kamu gamau minjemin uangnya? " ucapku sedikit menekan padanya.

" emm baik kak.. boleh kok " ucapnya pelan.
" aku ambil dulu yah celenganya " ucapnya lalu pergi menuju kamarnya.

Sebenarnya aku tak tega bersikap seperti ini pada Hiro, tapi saat ini aku benar-benar butuh uang untuk menbeli kado buat Hani. Yah semua ini demi Hani seorang.

Tak lama Rio kembali dengan membawa celengan berbentuk ayam jago dari gerabah.
" nih kak.. celenganya.. " Rio menyodorkan celenganya padaku.

" kita pecahkan dihalaman belakang " ajaku pada Rio, dia mengikuti dari belakang sambil masih tetap memegangi celenganya.
" nah sudah sekarang pecahkan celenganya " perintahku pada Rio saat kami sudah berada di halaman belakang.

Rio tampak ragu-ragu dan hati-hati.
" Prakkk... " dijatuhkanya celengan miliknya, hingga hancur tak beraturan dan menghamburkan semua uang didalamnya. Terlihat kesedihan dimata Rio ketika melihat celenganya hancur.

Kami segera mengumpulkan uang yang berserakan, kemudian menghitungnya bersama-sama. Setelah selesai dihitung jumlahnya ada dua ratus empah puluh tiga ribu dua ratus rupiah (Rp.243.200). Kebanyakan isinya uang receh dan paling besar pecahan dua puluh ribu.

Cukup miris juga aku lihat isinya, ternyata tak sesuai dengan apa yang aku harapkan.
" hmm kok receh sih " ucapku.

" hmm.. emang segitu kak adanya. " jawab Rio.

Akhirnya aku mengambil uang dua ratus ribu dan sisanya uang recehan diambil rio. Rio masuk kedalam rumah sambil membawa urang receh yang dia bawa menggunakan baju sebagai wadahnya.

Sejenak ku menatap uang dari celengan Rio yang aku pegang. Jumlah nya jauh untuk membelia kado perhiasan untuk Hani.
" kemana aku harus mencari sisa uangnya " gumamku dalam hati sembari berpikir.
Hingga akhirnya aku menemukan sebuah ide, sempat aku tersenyum-senyum sendiri memikirkan rencanaku.

Aku menyimpan uang tadi disakuku, kemudian melewati halaman belakang kemudian masuk ke aula para hantu. Kulihat banyak sekali hantu yang sedang beristirahat, suasananya mirip di tempat pengungsian bencana alam.

" hihihihihi " terdengar suara Laras tertawa seram. Kemudian dia datang menghampiriku.
" ada apa kau kemari Hiro? " tanya Laras padaku.

" aku ingin melihat kondisi para hantu " jawabku sembari memperhartikan satu persatu para hantu disini.

" hihihihi.. tenang saja.. semua aman kok " jawab Laras tak lupa tawa seramnya.

" ehh Tomi kemana? Kok aku ga lihat yah.. " ucapku tak menemukan sosok Tomi setelah aku memperhatikan semua hantu disini.

" dari semalam dia gapulang.. dan aku ga peduli " jawab Laras menjadi ketus.

" apa jangan-jangan, di serang hantu-hantu semalam? " tanyaku.

" ahh nggak.. semalam dia pergi kayaknya sama temenya yang namanya Ivan itu " jawab Laras.

" ohh.. mungkin sedang ada suatu urusan.. " ucapku.

" tau ahh... ga penting juga buat aku " ucap Laras kembali ketus.

" ehh... aku mau minta bantuanmu. " ucapku pada Laras.

" bantuan apa? " tanya Laras bingung. Kemudian aku membisikan maksud aku meminta bantuan padanya, nampak dia sedikit kaget mendengar bisikanku.
" lah.. kenapa harus aku? " jawab Laras bingung.
 
Bimabet
" karena menurut aku kamu yang paling berpendidikan diantara hantu yang lain disini.. masa aku minta bantuan sama Faruk? Dia kan tanganya engga bisa menulis.. " jawabku pada Faruk.

" emang untuk apa sih? " kembali Laras bertanya.

" ehmm masalah pribadi, aku lagi butuh uang " jawabku.

" lah jadi aku ga boleh tau uangnya untuk apa? " ucap Laras sedikit menekan.

" yahhh aku ga bisa bilang sekarang.. " ucapku.
" jadi kamu mau bantu ngga? " lanjutku memastikan kembali.

" hihihiihihi " suara Laras tertawa seram.
" baiklah aku akan membantumu " ucapnya, membuatku sangat senang.

" baiklah kalo begitu, aku mau mandi dulu.. nanti tunggu aku sekitar jam delapan di halaman depan " ucapku pada Laras.

" baiklah Hiro.. hihihihi " jawab Laras, tak lupa tawa seramnya.

Setelah janjian dengan Laras, aku lantas keluar dari dalam aula lalu masuk kedalam rumah. Aku langsung maenuju kamarku kemudian menuju kamar mandi.

Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku memasukan pulpen dan kertas hantu yang tempo hari di beri oleh paman Sukma ke dalam tas kecil. Kemudian keluar kamar menuju dapur, menikmati beberapa potong biskuit yang ada diatas meja dan sekotak susu cair kemasan.

Sekitar pukul delapan malam aku menuju ke halaman depan, karena aku sebelumya sudah janjian sama Laras disini. Sempat aku melewati kamar Rio, terdengar suara terisak dari dalam kamarnya.
Ku lihat dia sedang duduk diatas pohon sambil kakinya diayun-ayunkan. Terlihat rambut panjang hitamnya menjuntai kebawah juga dengan wajah seramnya.

" Hihihihihi " terdengar tawa seram Laras ketika melihatku.

" ayo kita pergi sekarang.. " ajaku padanya.

" ayoo.. hihihihi.. " ucapnya tertawa seram sambil melayang turun kearahku.
Kemudian kami berdua pergi meninggalkan rumah menuju kearah kota.

Disepanjang jalan kami berpapasan dengan beberapa orang dengan ratusan kuda hantu dibelakangnya. Aku mengira bahwa mereka adalah anggota dari keluarga Kurent yang datang dari daerah lain.

Langit malam ini sangat cerah, taburan bintang menunjukan kilaunya. Akhirnya sampai juga kami di kota, kami telusuri jalanan yang sepi hingga sampai kesebuah rumah dengan gemerlap lampu dan suara musik. Di kota ini mungkin hanya tempat ini yang jika malam selalu berisik.

" kau serius Hiro..? " tanya Laras ketika kami telah sampai didepan tempat ini.

" tentu saja aku serius.. " jawabku tenang.
" nih.. aku mengandalkanmu.. " lanjutku memberikan pulpen dan kertas hantu padanya.

" tapi bagaimana kalau mereka mencelakaimu.. " tanyanya lagi terlihat ragu masuk kedalam.

" kan ada kau.. tinggal nampakin diri aja.. nanti juga mereka pada takut haha.. " ucapku setengah becanda padanya atau boleh juga dibilang serius.

" hmm seseram itu kah aku dimata manusia? " ucapnya cemberut, semakin menunjukan keseramanya.

" sinih aku kasih tau dulu semua tugasmu " ucapku, kemudian menjelaskan apa saja yang harus dia lakukan saat didalam nanti.
" bagaimana sudah faham? " ucapku memastikan kembali jika dia benar-benar sudah mengerti.

" tentu saja.. itu mudah, aku kan pandai " ucapnya.

" yaudah ayo kita masuk.. " ajaku.

Kemudian kami masuk kedalam, suana didalam sini seperti sebuah cafe dengan lima meja bundar. Kulihat seoang bapak tua buncit berkumis yang duduk di belakang meja kasir, aku perkirakan adalah pemilik tempat ini. Dan ada dua wanita, ku perkirakan umurnya sekitar 25 tahun dengan pakaian yang sangat minim. Pasti mereka adalah pelayan disini.

Hanya tiga meja yang terisi disini, tak lama salah satu pelayanya datang menghampiriku.
" hay.. ganteng.. " ucap wanita itu menggodaku. Aku hanya membalas senyum padanya.
" kamu ga salah masuk kan hehe " lanjutnya sambil mengelus lembut dadaku.

" engga kok, aku emang niat datang kesini " jawabku, sambil melepaskan elusanya didadaku.

" kalo begitu ayo aku antar ke meja kosong " ucapnya lagi dengan tatapan menggoda menarik tanganku.

" eh maaf.. " tolaku berusaha melepaskan tarikanya. Dia menatapku sedikit bingung..
" aku ada perlu sama meja itu " lanjutku menunjuk sebuah meja yang ditempati tiga orang yang sedang bermain kartu.

" oh yaudah.. aku temenin deh.. " jawabnya lalu mengapit tanganku seperti sepasang kekasih.
" eh nama kamu siapa ? " lanjutnya bertanya namaku.

" aku Hiro.. " jawabku. Tersenyum Manis.

" aku Lena.. hihihi enjoy yah disini " ucapnya, lalu kami berjalan menuju meja di pojok yang aku tunjuk tadi, sementara Laras mengikuti kami dari belakang.
Ketika kami sampai ke meja yang dituju, telihat tiga orang yang disana melihat kearah kami.

" Hey Len.. ngapain bocah kau ajak kesini.. entar dicariin lagi sama ibunya hahaha " ucap salah seorang yang duduk di kursi dengan kumis tebalnya meledeku.

" husss... meskipun dia masih terlihat bocah.. tapi dia ganteng loh, udah itu gagah lagi hihihi " ucap Lena membelaku lalu memujiku.
" dari pada kalian.. udah tua, jelek lagi haaha " lanjut Lena menghina mereka.

" heh jablay.. jaga omonganmu... kamu masih punya hutang padaku.. selama hutang belum kau bayar, memek mu bebas kita sodok kapanpun haha " balas lelaki itu, ucapan yang membuatku sedikit kaget. Terlihat Lena langsung terdiam murung, sejenak kami bertatapan. Sorot matanya terlihat kesedihan dan air mata hendak menetes keluar.

" haha bener.. ga pernah bosen nyodok memeknya " ucap lelaki kedua.

" ekpresinya itu loh.. nolak tapi menikmati haha " lanjut lelaki lainya.
Mendengar hinaan ketiga lelaki itu, membuat Lena semakin erat mengapit tanganku.

" aku ingin bermain kartu lawan kalian " ucapku memotong tawa mereka.

" hahaha apa aku tidak salah dengar..? punya uang berapa kau jhaha. " jawab lelaki berkumis tebal itu.

" yah... lumayan untuk ikut beberapa putaran " ucapku.

" hahaha lebih baik kau pulang saja, sayang uang jajanmu.. entar kalah, nangis lagi terus ngadu sama orang tua haha " kembali lelaki berkumis tebal itu mengejeku. Diikuti tawa dari kedua teman-temanya.

" apa kalian takut? " ucapku dengan tatapan tak kalah mengejek.

" cari mati kau bocah.. ayo cepat kita bermain " jawab sikumis tebal tampak marah.
" Lena.. kau yang bagikan kartu " lanjutnya menyuruh Lena.

Lena pun tak kuasa menurutinya.
" semangat yah.. semoga menang.. " bisik Lena lirih padaku.

Sekarang kami berempat duduk di kursi sementara Lena.
Kulihat Laras memberikan isyarat tangan, menunjuk lelaki berkumis dan mengangkat satu jarinya. Mengartikan bahwa orang itu no satu. Begitupun dua lelaki lainya diberi tanda nomor dua dan tiga. Kupersiapkan uang yang berada didalam tas kecil dengan membuka sletting tas nya, sehingga memudahkan untuk mengambil uangnya.

Lelaki berkumis mengeluarkan uang 5rb dan orang kedua mengeluarkan uang 10rb keatas meja sebagai permulaan.
Kemudian Lena membagikan masing-masing dua kartu pada kami.

Kubuka kartu yang kumiliki.. dua buah kartu berangka kembar 7 hati dan 7 sekop. Laras dengan cepat menuliskan kart yang didapatkan ketiga lawanku kemudian dia cepat balik kearahku dan menunjukan apa yang dia tulis.
no1: 3 hati & 2 wajik
no:2 5 sekop & K hati
no:3 J keriting & As keriting

" kartu yang jelek sekali " protes orang pertama.

" aku ikut... " ucap orang ketiga melemparkan uang 10rb keatas meja.

" aku juga ikut " ucapku juga melemparkan uang 10rb keatas meja.

" hah.. kalo begitu aku juga.. " ucap lelaki berkumis menambahkan uang 5rb keatas meja.

" ok.. cek kartunya. " ucap orang nomor dua.
Kemudian Lena membagikan tiga kartu keatas meja. Kartu J sekop, As hati dan 9 keriting.
Semua langsung menghitung dan memperkirakan persentasi kemenangan dengan menyatukan kombinasi kartu yang di tangan dan kartu yang diatas meja.

" aku tidak ikut.. " ucap lelaki berkumis dan langsung melemparkan kartunya keatas meja dengan wajah kesal.

" aku naikan taruhan.. " ucap orang kedua melemparkan uang 20rb keatas meja.

" aku juga ikut.. " ucap orang ketiga melemparkan uang 20rb.
Begitupun aku ikut dan langsung melemparkan uang 20rb keatas meja.

Lena langsung mengeluarkan kartu ke empat yaitu As sekop.
Kembali kami mencoba memprediksi persentasi kemenangan.
" aku tidak ikut " ucap orang kedua kesal melemparkan kartu yang dimilikinya keatas meja.
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd