The Nymph of Mountain
Grusak..! Begg.. bukk.. degg.. degg.. rurr..!
Tiba-tiba saja bunyi bebatuan runtuh terdengar dari arah atas.
“Awas batu..! Batu..!” Teriakan Agun dari arah atas tebing.
“Awas kepala, Ka..!” Sontak aku berteriak pada Rieka yang masih sempat-sempatnya menengadahkan kepala melihat ke arah atas.
Wuss.. wush.. wukk.. wukk..!
Beberapa pecahan dan serpih batu berdesing serupa peluru berjatuhan di sisi kiri-kanan kami.
Sementara Toton sebagai belayer beberapa puluh meter di bawah kami blingsatan mencari posisi aman agar tidak terkena jatuhan batu.
Hebatnya dia lakukan itu sambil tetap menjaga posisi rope untuk tetap tegang.
Setidaknya hal itu dapat sedikit mengurangi kecemasan Kaka yang tentu saja mangandalkannya agar tak terlalu banyak berputar-putar bergantungan di carnmatel.
“Woii.. Are You OK, guys..!?” Teriak Toton dan Mpi terdengar sayup dari bawah.
“Heh-heh..!” Mengatur nafas sebentar. “Oke, friends. Ga papa..!” Balasku sembari membenahi posisi 'tergantungku'.
Secepatnya kugerakkan ascender mencengkram carmantel statis, meniti perlahan keregangannya.
Bergerak ke atas.. menuju posisi Rieka yang bergantungan sekira 2 meter di atasku.
Saat itu kami.. aku dan Rieka tengah tergantung-gantung di sisi bukit Jempol atau lebih dikenal dengan Bukit Serelo Lahat.. Sumatera Selatan.
Disebut dengan Bukit Jempol.. karena bukit tersebut terlihat unik.. yaitu seperti ibu jari atau jempol.
Di mana pada bagian jempolnya tersebut terdiri dari batu cadas dan karang.
Kalo mau mendaki bukit tersebut.. untuk bagian jempolnya harus menggunakan tali-temali dan peralatan climbing.. Kenapa..?
Karena derajat kemiringan tebing tersebut hampir mendekati 90 derajat.
Jadi, pada saat mendaki atau memanjat hanya sampai sebelum jempolnya hingga pada bagian puncak jempol tersebut yang terdapat sebuah kursi yang terbuat dari batu cadas.
Entah dibuat oleh tangan atau buatan alam, aku juga ga tau.
Sebagian masyarakat ada juga yang menyebutnya dengan Bukit Tunjuk atau Bukit Serelo.
Dikarenakan ujung bukitnya seperti menunjuk ke langit dan Serelo merupakan nama tempat bukit tersebut berada.
O ya, sekedar informasi.. di dusun dekat bukit Jempol ini juga terdapat pusat pelatihan Gajah.
Di sana, terdapat lebih kurang 40-an gajah yang sudah dijinakkan dan sangat terlatih dan bisa diajak pose bersama dengan pengunjung.
Di sanalah kami berlima saat itu. Di bukit Jempol tersebut. Terjebak pada suatu kondisi menyebalkan.
Kami berlima, 3 laki-laki dan 2 perempuan.
Dalam sebuah XPDC (ekspedisi) panjat tebing.. yang sebenarnya tanpa direncanakan sama sekali.
Agun sendiri sudah dalam posisi nyaman di sebuah ceruk lumayan lebar dinding tebing.. atau sering disebut pitch 2 tebing bukit Serelo.
Sementara Toton dan Mpi berjaga di bawah.. tak berapa jauh dari tenda dome yang sudah kami dirikan.
Aku yang tadi sudah mengamankan posisi dan memasang safety pada piton dan anchor.. perlahan bergerak ala free climbing.
Setelah berjarak kurang dari satu meter dari posisi Kaka bergelayut pada rope yang terulur dari pitch 1, kuulur perlahan rope dinamis yang kubawa.
Rrrtt.. rrrtt..! Bunyi bergesek carmantel dengan carabinerku.
Senja makin kelam. Matahari di ufuk Barat menyisakan bayangan tebing dan biasnya.
Sekilas kutangkap sinar mata Kaka. Ada kecemasan di sana.
Tapi tertutup oleh ketenangannya.
Ugh.. indah banget sinar mata itu. Sungguh.
Entah oleh karena apa. Aku sudah kembali berkonsentrasi mengendalikan pergerakan menggapai posisi bergelayutan Kaka.
“Huft..! Kamu ga papa, Ka..?” Tanyaku. Ada nada cemas di situ.
Semoga dia bener-bener ga apa-apa. Batinku.
“Ga papa, bang..” lirih nyaris tak terdengar suara 'yang mahal' itu menyentuh gendang telingaku.
“Syukurlah kalo gitu. Ayo.. goyangin dikit.. biar kupasang carabinernya..!” Kataku ketika jarak antara kami tinggal sekitar 30cm-an.
Kaka perlahan menggoyang tubuhnya agar rope yang digelayutinya ikut bergerak.
Dibantu Toton dari bawah yang ternyata telah menggunakan head lampnya, sedikit memberi penerangan sedikit menenangkan Kaka.
Senja yang pulang tak lagi menyisakan cahaya matahari. Adzan maghrib sayup dari arah desa pun telah pula usai berkumandang.
Setelah beberapakali bergerak menggoyangkan tali, Kaka menjemba uluran tanganku.
Lembut dan sedikit gemetar kurasa tangannya.
“Hupp..! Relaks, Ka..!” Sapaku menenangkan Kaka.
Blugh..! Akhirnya tubuh kami bertemu dalam satu 'tabrakan' lagi.
Ugh.. Lembut, tetapi dingin.. tubuhnya.
Setan..!
Aku mengutuki diriku. Masih sempat-sempatnya berpikir mesum dalam kondisi gawat darurat.
Setelah sebelumnya kupasang carabiner yang terhubung dengan safety (anchor).
Sembari memeluk Rieka kulepas carabiner dari body harness yang terhubung dengan rope menjuntai.
“Siap, Ka..!?” Tanyaku sebelum melepas kaitan carabiner.
“He-eh..!” Jawabnya. Singkat, seperti biasa.
Hati-hati tanpa melepas pelukanku.. kami bergerak menggunakan ascender meniti tali yang sudah kupasang pada anchor di dinding tebing.
Menuju sebuah cerukan berkedalaman kurang lebih satu setengah meter, pitch 1.
Pelukan..!? Ahh.. apa Rieka sadar kupeluk, ya..?
Ahh.. rasanya telalu cepat kami sampai di ceruk itu. Padahal aku masih ‘belum puas’ memeluk tubuh yang sekal dan padat ini.
Eh, bukankah di cerukan itu nanti aku akan lebih lama berdekatan bahkan berdempetan dengannya..?
“Hoii.. aman.. Bung..!?” Teriak Toton hampir berbareng dengan Mpi ketika aku dan Kaka hilang dari radar pandangan mereka, karena tertutupi bibir cerukan.
Ditambah cuaca yang mulai gelap.
“Oke..!” Balasku sembari mengeluarkan seat harness plus logistik seadanya.
Segera kuserahkan pada Rieka yang saat itu telah berada di 'posisi aman'.
Punggungnya menyandar di dinding dalam tebing. Dia lepaskan satu per satu peralatan climbingnya.
Dari mulai chalk bag, carabiner dan terakhir body harness.
Lalu ia bergerak sedikit membungkuk. Perlahan dia menjulurkan tangan kirinya seperti akan menggapai sesuatu.
“Geser dikit bang..” pinta suara indahnya, lembut sekali terdengar membelai gendang telingaku.
Sejenak aku terpaku. Tak merespon. Kekagetan melandaku.
Baru kali ini aku mendengar suara sang bidadari gunung ini dari jarak dekat. Teramat dekat.
Tersadar ketika harum nafasnya menerpa organ penciumanku. Menyegarkan udara di sekitarnya..
Oh.. ia menjemba botol air mineral. Haus menderanya setelah insiden barusan.
Aku merespon gerak Kaka dengan mengulur rope agar tubuhku bagian atas menjuntai sedikit keluar bibir ceruk. Sementara kedua kaki kujadikan fondasi pijakan pada bibir ceruk.
Wajah kami jadi sangat dekat. Hingga aku bisa melihat senyum kelegaan di bibir yang beberapa saat tadi terlihat begitu pucat seperti kehilangan darah.
Srett.. rrtt..! Kutarik rope menyeimbangkan posisiku agar tak setengah terjuntai.
Aku sudah berdiri di depan Kaka. Kubenahi safety di kiri-kanan harnessku.
“Tuh.. biskuitnya juga ada, Ka..” ujarku menunjuk dengan monyongan bibir pada bungkus biskuit yang menyembul dari dalam ransel.
Clekk.. clekk..! Sembari kupasang 2 carabiner, demi kenyamanan dan keamanan.
Mataku tak mampu lepas dari gerakan-gerakan Kaka di ruang terbatas dan sempit itu.
Dengan posisi safety 2 carabiner terhubung rope di anchor, maka kemungkinan jatuh akan sangat kecil.
Sebab ketika posisi tubuh berubah tanpa disadari, rope dengan sendirinya mengetat.. hingga ‘mengunci’ untuk tak bergeser di carabiner.
“Glekk..!” Kurasakan ludahku tercekat di tenggorokan menyaksikan tonjolan bukit dada Rieka ketika dia.. entah sengaja atau tidak membusungkannya.
“Bisa tolong pegang sebentar, bang..” Rieka menyodorkan body harness yang telah dilepasnya, menggantinya dengan seat harness yang kubawa.
“Eh.. sini..” aku terbata, seketika tersadar dan malu. Malu tertangkap basah menatap tonjolan di dadanya.
Bulan peyang dan Bintang-bintang mulai bermunculan di langit malam.
Aku sudah terlupa dengan Agun di pitch 2 jika saja dia tak berteriak, mengecek kondisi Rieka di pitch 1.
“Woii.. Barr..!! Gimana Kaka..!? Oke..!?”
“Oke Gunn..!” Balasku tanpa sekejap pun melepaskan pandangan ke prosesi erotis yang tengah kusaksikan.
Kaka tengah memakai seat harness..!
O, iya.. saat itu ia mengenakan kaus ketat lengan pendek putih berlambang bendera Inggris.
Sedangkan bawahannya adalah legging hitam selutut.
Celana lapangan pendeknya telah dia lepas sebelum climb tadi sore.
Sementara rambut hitam panjangnya ia masukkan di balaklava yang ia kenakan sebagai topi.
Artinya.. di bias cahaya bulan dan bintang malam itu.. bayang tubuh sintalnya benar-benar tercetak lekat di mataku.. seperti tidak berpakaian.
Pinggul, paha, payudara dan lekukan pinggangnya bak cello itu mampu menghipnotisku untuk tak lekang menatapnya tanpa berkedip.
Dalam jarak yang demikian dekat dan hampir rapat. Di tengah dingin angin yang berkesiur menerpa dinding tebing.
Ditambah penampakan erotis tubuh bidadari.. jelas saja prajurit di celanaku mulai melancarkan kudeta.
Ugh.. sabar dikit kenapa, sih..!? Sergahku pada si prajurit berhelm darth vader.
Arghh..! Terjadi pertempuran sengit dalam diriku. Antara Hati dan Nafsu.
Kubiarkan saja. Lihat saja siapa nanti yang memenangkan pertempuran.. ujar Otakku sok bijak. Hehe..
Ya, kubiarkan nafsu yang memenangkan pertempuran.
Setidaknya aku telah membahagiakan prajurit berhelm Darth Vader di celanaku. Pikirku makin mesum.
Kaka telah selesai mengenakan seat harnessnya.
Dengan manisnya sang harness nemplok di tubuh sekal sang bidadari.
Hmm.. tunggu saja. Beberapa saat lagi tubuhku yang akan nempelin tubuh indahmu, Ka.
Berbeda dengan body harness yang posisinya saat digunakan climber akan menutupi selangkangan, dikarenakan bentuknya yang mirip dengan celana dalam.
Seat harness justru dikenakan seperti laiknya memakai celana pendek tapi transparan.
Sebab kedua belt berposisi membelit kedua paha, dengan bentuk webbing sama seperti body harness, melingkar di pinggang.
Beberapa saat kemudian aku tak mampu bertahan dalam diam.
Kucoba membuka obrolan, sekalian pura-puranya minta maaf atas kejadian tabrak-menabrak dan remas-meremas di atas motor tadi sore.
“Eh..!”
“Hmm..!”
Hampir bersamaan kami sama-sama bersuara.
“Hahaha.. ayo, Kaka duluan deh. Mo ngomong apa, Ka..?" Kataku sembari menggaruk belakang kepala yang ga gatal.
“Hihihi.. abang aja duluan..!” Balas Kaka dalam tawanya.
Rrr.. rrr..! Tiba-tiba rope yang menjuntai dari pitch 2 di posisi Agun berbunyi seperti tali bendera dikerek.
“Woii.. Bara.. Kaka..! Tuh ada sleeping bag. Satu saja. Satunya lagi buat Agun di atas..!!”
Teriakan Toton dari bawah mengingatkan kami bahwa saat itu kami tidak cuma berdua.
Kugapai buntalan sleeping bag yang diikatkan pada rope. Kulepas satu untuk kami di pitch 1.
Setelah itu kuteriaki Agun supaya menyambut kiriman sleeping bag dari Toton.
“Gunn..! Tarik ropenya..! Ada sleeping bag..!”
“Oke..!” Jawab Agun dari atas.
Ketika berbalik wajah ke arah dalam ceruk aku harus kembali meneguk ludah.
Bagaimana tidak.
Posisi Kaka yang sebelumnya berdiri menyandarkan punggung di dinding cerukan.. kini dalam posisi menggeliat alias ngulet.. sehingga dua bukit dadanya terekspos di depan mataku.
Bulat dan menonjol dengan bentuk yang kuprediksi benar-benar sekal.
Kontan saja prajurit berhelm Darth Vader di celanaku kembali mbalelo.
Memberontak tiba-tiba.. protesnya makin kencang, menuntut aku berbagi kehangatan..!
Argh..! Setan..!
-------------------------------
Sore, Beberapa Jam Sebelum Kejadian
Sudah pukul 15.15 WIB.
Sebenarnya cukup waktu melakukan pemanjatan untuk climber sekelas Agun.
Bukan kenapa-kenapa. Agun adalah salah seorang atlet panjat dinding Sumatera Selatan.
Itu yang menjadi salahsatu alasan kenapa seorang Rahmad Sabar.. ya, itu adalah nama asli Agun.. mendapatkan julukan atau ‘nama gunung’-nya.
Agun adalah singkatan dari Anak Gunung. Cukup jelas untuk menyatakan bahwa dia memang seorang pegiat alam bebas.
Meski dia ga pernah berkoar-koar sebagai seorang pecinta alam, namun pada kenyataannya ia memang ‘orang gunung’ yang lebih sering berkeliaran di alam bebas.. ketimbang duduk manyun di kursi kuliahnya.
------
“Ayo Ka..! Mumpung masih terang. Ntar turunnya rapelling aja..” ajak Agun, yang kuartikan seperti perintah.
“Eh, apa ga kesorean ya, Kak..?” Mpi yang bertanya ragu.
“Slrupp.. hoh..hah.. Ga besokh pagih aja apa Gunnh..?” Sela Toton di depan tenda dome sembari menggasak mie instannya.
Kaka yang 'diajak' cuma mendelikkan mata, mengerenyitkan dahi.. melirik sekilas ke arahku.
Lalu tersenyum. “Oke..!” Jawabnya singkat. Tanpa embel-embel. Seperti biasa.
Aku yang dilirik seolah meminta persetujuan oleh Kaka, masih belum benar-benar 'turun ke bumi’.. efek dari peristiwa ‘tabrak-menabrak’ dengannya di atas motor beberapa waktu tadi.. cuma bisa berdehem.
Lagian apa hakku melarang atau mengizinkan..? Toh Agun memang lebih berkompeten sebagai pimpinan XPDC kali ini. Pikirku.
Srestts..! Kunyalakan sebatang rokok sembari menyaksikan Agun menyiapkan peralatan yang mereka butuhkan untuk pemanjatan.
Setelah semua siap, baik peralatan, leader, belayer maka pemanjatanpun dimulai.
Dalam pemanjatan kali ini, Agun sebagai leader melakukan pitch 1 dengan membawa dua rol tali/rope sekaligus.
Satu sebagai tali utama yang akan diikatkan pada runner dan tali tambat atau fixet rope.
Fixet rope ini dapat juga sebagai transport antara leader dan personel yang ada di bawahnya, yaitu Kaka yang bertindak sebagai cleaning.
“Hmm.. angin agak kencang, ya..!?” Kulirik Mpi si pemilik suara di samping kananku.
“Ho-oh..!” Jawabku kembali melihat perjuangan kedua climber di dinding tebing.
Saat itu kami, aku dan Mpi berdiri sekitar 20 meter-an dari posisi Toton sebagai belayer di depan kami.
Terlihat posisi Agun telah mencapai pitch 2, setelah ia sebagai leader menyelesaikan pitch 1 dan memberitahu bahwa pemanjat kedua siap dan boleh naik.
Kaka sebagai personel kedua melakukan jummaring dan sekaligus menyapu runner yang telah dipasang Agun.
Keuntungan jummaring pada fixet rope yaitu tali dalam keadaan lurus vertikal, sehingga tidak terjadi pendulum atau perputaran..
So, tali tidak tertambat pada runner yang akan diambil hingga memudahkan pengambilan.. pun gerakan akan lebih bebas.
Agar cleaner tidak terlalu jauh dengan runner yang akan dilepas, maka antara tali utama dengan fixet rope harus dihubungkan.
“Ayo Ka..!” Teriak Agun di pitch 2.
Seperti biasa, kulihat Kaka cuma mengangkat jempolnya. Tak mengeluarkan ‘suara mahalnya’.
Hal yang penting dalam pemanjatan beregu adalah komunikasi antar pemanjat, baik leader, cleaner maupun belayer.
Dua bentuk komunikasi.. yaitu melalui bahasa lisan atau suara dan isyarat.
Komunikasi bahasa digunakan apabila antara leader, cleaner dan belayer masih dalam jangkauan teriakan.
Komunikasi isyarat banyak digunakan bila antara leader dan belayer sudah tidak dalam jangkauan teriakan.
Tapi.. dalam kenyataannya di lapangan, komunikasi isyarat lebih menguntungkan.. sebab irit energi dan mudah ketimbang pake HT atau alat komunikasi lain. Hehe..
Sekitar pukul 17-an, angin bertambah kencang bertiup.
Dapat kami lihat pergerakan kedua climber meniti point demi point di tebing bukit Serelo sedikit terhambat oleh perubahan cuaca yang cepat tersebut.
Tiba-tiba Agun yang menggunakan teknik layback, yaitu digunakan pada celah vertikal yang memanfaatkan tekanan antar tubuh.. lalu melakukan cheval..
teknik yang dilakukan pada batu bagian punggung tebing batu dengan bidang yang sangat kecil dan tipis.. terlihat agak tergelincir.. akibat kontur karang yang bergeser, sehingga jatuhlah pecahan bebatuan ke bawah.
Tepat ke posisi Kaka sebagai cleaner.
“Awas Kaa..!” Teriakan Mpi seperti menyadarkan Kaka akan bahaya yang datang.
Rieka yang tengah terhenti pada point 85 derajat.. sekitar 1 jam pemanjatan dari puncak bukit Serelo tersebut, sontak terlihat terkejut dan refleks merapatkan diri di dinding tebing, menyelamatkan kepalanya dari gelontoran jatuhan batu.
Akan tetapi.. angin kencang dan longsoran serpih batu yang jatuh akibat aktivitas Agun di atasnya membuat pegangan Rieka terlepas dari point tebing yang dipanjatnya.
Kira-kira satu setengah meter dari tebing.
“Ahh..!” Mpi berseru.
“Ugh..!” Lenguh Toton sembari menyeimbangkan gerakan rope.
“Hmm..!” Gumamku sembari melepas asap rokok.
Hampir bersamaan ketika sama-sama menyaksikan tubuh kaka yang 'terpisah' dari dinding tebing.
Maka jadilah.. sore itu Kaka bergelayutan diterpa angin lebih dari 2 jam-an..!
Tanpa berbekal logistik apapun, kecuali sebotol air mineral 600 ml -Bukan Make Love, loh. Hehe..- yang aku yakin sudah hampir habis.
-----------------------
Tanpa komentar pada Mpi yang masih terlihat syok, aku segera bergerak. Berinisiatif menyusul dan ‘menolong’ Kaka.
“Mpi.. beresin peralatan..! Siapin makan malam..!” Teriak Toton pada Mpi, ketika aku sudah sekitar beberapa meter memanjat.
Berbekal beberapa carabiner screw dan non screw, sebuah seat harness untuk Kaka di atas nanti, tak lupa sebungkus biskuit, sebatang coklat dan sebotol air mineral kusambar, kumasukkan ke ransel kecil sebagai logistik.
Otakku masih cukup waras.
Dengan situasi dan kondisi seperti Rieka saat itu, ditambah senja yang mulai turun, sebentar lagi gelap.
Ga mungkin meneruskan pemanjatan hingga ke puncak bukit Serelo dalam gelap.
Jelas sangat berbahaya. Belum lagi jika turun hujan tiba-tiba.
Damn..! Kusumpahi kenekatan Agun yang memaksakan climb dan nge-lead Kaka tadi.
Oke.. kembali ke sikontol – Situasi Kondisi dan Toleransi –
------------------------
Beberapa Waktu Sebelum Kejadian
XPDC Bodreks alias ‘Borongan dan Nekat Sekali’ ini terdiri dari:
Agun yang jadi ketua tim.
Temanku satu ini juga anggota mapala, alias mahasiswa paling lama di Fakultas Teknik.
Merupakan kakak tingkat Mpi.
Toton yang gape navigasi adalah anak Fakultas Pertanian.. jelas saja dia lihai membaca peta dan navigator ulung.
Dan aku, Bara. ‘Mahasiswa Salah Jurusan’ yang dipaksa-paksa ikut kegilaan mereka.
Terus 2 cewek lagi.. Efrida Liliani atau lebih sering dipanggil Mpi dan Rieka Kumalasari, atau biasa dipanggil Kaka.
Keduanya –tahun 1998– saat itu masih semester 3.. dan sepengetahuanku masing-masing sudah punya pacar. Kalo ga salah LDR semua.
Mpi, pacarnya kuliah di salahsatu perguruan tinggi swasta di Bandung.
Sedangkan pacar Kaka yang juga kakak kelasnya sewaktu SMA, kuliah di salahsatu perguruan tinggi swasta di Yogya.
Tapi apa peduliku. Kenal aja engga sama pacar-pacar mereka. Dan aku ngga pernah mau tau, kok.
Secara kualitas.. body kedua cewek tomboy ini kontradiktif.
Mpi.. Kutilang Darat, alias kurus tinggi dada rata..
Sedangkan Kaka.. Moge Mobile, alias montok toked gede bokong –pantat– lebar..! Hehe..
Meski berkarakter tomboy, wajah keduanya memang di atas rata-rata cewek-cewek di kampusku.
Mpi yang anak Teknik Tambang, jelas paling manis dan cantik di antara kawan-kawan seangkatannya yang berjumlah 39 orang.. dengan hanya 8 betina saja menghiasi ruang kuliah.
Itupun belum benar-benar bisa dikatakan 'betina'. Haha..
Tubuhnya yang ramping sekitar 168cm, lebih sering terbungkus pakaian ala cowok.
Kaos oblong dibalut kemeja flanel tanpa dikancing dan jeans atau terkadang sepan lapangan menyamarkan kemulusan dan kemontokan tubuhnya.
Sedang Kaka, anak ini menurut pengakuannya sebenarnya salah jurusan.
Huft.. kalo gitu sama sepertiku..!?
Sebab, ketika mengikuti UMPTN atau Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri..
–Saat itu masih zaman UMPTN, bro..! Hehe..– dia pinginnya ke Fakultas Pertanian.
Alasannya..
“Aku pingin mengabdi di kampung halaman kalo udah kelar kuliah ntar, bang..” ungkapnya suatu ketika aku menanyakan hal itu padanya.
Nah, sementara sekarang malah Kaka menclok di Fakultas Keguruan..!
Tepatnya di jurusan Bahasa Inggris. Semester tiga. Calon bu guru gitu, loh..!? Hihi..!
Aku ga pernah bisa membayangkan gimana dia nanti berdiri di depan kelas. Sungguh.
Coba bayangkan.. Rieka ini tipikal orang yang terlalu introvert.
Jarang sekali bicara, apalagi dengan orang yang ga dia kenal. Ia selalu bicara seperlunya saja, jika ia ngerasa perlu..!
Nah loh..! Gimana mo ngajar di depan kelas..? Pikirku tak habis-habis.
Tapi kalo segi wajah dan bentuk tubuh.. hmm.. Kaka memang Perfecto..! Sempurna.
Wajah oval keibuan, hidung bangir, alis hitam bak semut beriring, bulu mata lentik, rambut hitam bergelombang sepinggang.. dengan tinggi tubuh sekitar 160an cm..
Rieka adalah tipikal perempuan yang proporsional, kecuali gaya tomboynya tentu saja. Haha..
Ahh.. dia benar-benar Bidadari, khususnya bagiku.
Apalagi ketika 'daleman' si Kaka terekspos. Duhh.. muantab banget.
Aku sempat beberapakali melihat betisnya.. yang istilah orang zaman dulu 'bunting padi'.
Ditunjang kulitnya yang kuning langsat, bukan putih loh. Kalo putih mah susu.. ya ga..? Hehe..
Kadang kupikir ada bagusnya juga peraturan Fakultas Keguruan, yang mengharuskan mahasiswinya menggunakan rok atau celana kulot sebagai bawahan.. dan kemeja atau baju berkerah untuk atasan pada saat perkuliahan.
Kan aku jadi dapet rezeki.. melototin toked dari sela-sela antara kancing dan betis-betis indah, bahkan terkadang paha mereka yang tersingkap..! Haha..
-----------
Sebenarnya.. aku ga pingin ikutan dalam XPDC panjat tebing di bukit Serelo ini.
Masih tersisa ingatanku nge-SAR, mengevakuasi anak Mapala Jakarta 2 tahun lalu.
Dengan kondisi saat itu kepala pecah, kaki tangan patah.
Untung saja cepat dievakuasi. Kalo ga.. bisa dimakan binatang buas tuh bangkainya, eh.. jasadnya.
Katanya sih.. atlet wall climbing. Mungkin karena itu sok-sok-an manjat sendirian. Sombong, sih.
Udah biasa turun-naik tebing Citatah dan beberapa tebing terkenal di Jawa sana. Katanya, sih. Hmm..
Makanya sedari planning, preparing, keberangkatan hingga climbing.. aku masih ogah-ogahan.
Cuma karena gencarnya bujuk rayu Agun dan Toton saja yang membuatku akhirnya terlibat pada kekacauan seperti sekarang ini.
Satu lagi yang membuat hatiku tergerak ikutan XPDC Bodreks itu adalah.. 2 bidadari tomboy itu.
Ya, Mpi dan Kaka.
Terlebih dengan ikutnya Kaka.. the Nymph of Mountain. Alias Sang Bidadari Gunung.
Begitulah aku memberinya julukan. Huft..!
-----------
“Ayo Bar. Ikut aja. Ntar kita langsung ndaki Dempo, deh..!” Bujuk Agun
“Ogah. Aku mo nyelesain urusan kuliah..” kilahku ketika Agun dan Toton merayu di kost-anku.
Ya, saat itu seingatku, sih..! Aku memang sudah hampir di-DO alias drop out.
Bayangin saja.. kalo ga salah tahun 1998 itu aku udah semester-semester ‘terakhir’. Semester 13.
Berarti, jika aku tak segera menyelesaikan perkuliahanku.. satu semester lagi aku harus DO.
Ketika itu sudah ga terhitung yang nanya apa yang membuatku jadi ‘Mapala’ alias mahasiswa paling lama.
Alasanku sepele, sih..
Aku cuma 'menggunakan' masa perkuliahan semaksimal mungkin.
Toh aku sudah menyisihkan sedemikian banyak saingan untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri.
“Ngapain pingin cepet-cepet keluar..!? Masuknya kan susah..!?” Kilahku santai.
Lagian kupikir.. mahasiswa itu kan terdiri dari 3 jenis.
Pertama: Mahasiswa Biasa.
Kebisaannya 4 DB = Datang. Duduk. Denger. Diem. Balik.. alias Pulang.
Kedua: Mahasiswa Luar Biasa.
Nilai IPK-nya bisa mencapai 4.0. ke atas. Terus kena ambeien.. lantaran terlalu lama duduk.
Ketiga: Mahasiswa Biasa di Luar.
Ini yang jadi tipe orang-orang sepertiku. Ga pernah mantap di ruang kuliah.
Lebih sering nongkrong di luaran. Entah di luar kelas, atau malah di luar kampus. Hehe..
Ya, jelas saja. Orang akunya dan beberapa 'rekan sejenis' memang banyak kegiatan, untuk tidak dikatakan sebagai 'aktivis'.
Semua organisasi kampus atau UKM –Unit Kegiatan Mahasiswa..– kami, eh.. maksudnya aku..! Kuikuti.. tanpa terkecuali.
Bahkan aku tak segan gabung dengan para ikhwan yang mangkal di mushala kampusku. Hedew..
Padahal orientasiku saat itu cuma gara-gara pingin nyicipin 'cipet' sebanyak mungkin.
Cipet itu istilah dari bahasa Tionghoa.. yang berarti vagina, memek, nonok, tempek, heunceut, pepek, puki, rajung, meki, veggy, ms.V dan penyebutan lain untuk kemaluan perempuan.
Maklum, di daerahku Sumatera Selatan.. Palembang khususnya, banyak keturunan Tionghoa-nya.
Udah, ah.. ntar nyambung lagi deh mengenai siapa diriku, Bara Magma.
Laki-laki yang mempersiapkan kematian kenangan.
Yups, aku laki-laki yang sedang menyiapkan kematian kenangan dari file-file memoar di otakku.
Itu hal yang mendorongku untuk menuliskan segala perjalanan hidup, eh.. perjalanan hati, cinta dan seksku dalam sebuah rendezvous tanpa judul ini.
Kenapa..?
Singkat saja.. aku penderita Alzheimer.
---------------------------------------------
Beberapa Waktu – Sebelum Kejadian
Kami berlima akhirnya jadi berangkat XPDC. Dengan catatan cuma 2 hari di bukit Serelo.
Untuk selanjutnya meneruskan ‘XPDC Bodrex’ itu ke pendakian gunung Dempo, Pagaralam.
Begitu yang kusyaratkan untuk keikutsertaanku. Jika tidak, aku ga akan ikut.
“Oke.. oke..! Dari Serelo kita lanjut ke Dempo. Tapi kamu harus bantuin angkat carriernya, ya..!?” Agun dan Toton ngotot ngajakin aku.
“Hehe.. titipin aja di Kampung IV peralatan climbingmu. Lagian repot juga bawa-bawanya ke puncak Dempo, gimana..?” Usulku.
“Ahh.. jangan, Bar..” sela Toton.
“Memang kenapa..? Aman kan di Kampung IV..?” Jawabku sambil menyulut sebatang rokok.
“Kita punya rencana nurunin kawah, Bar..!” Agun yang menjawab.
“Hmm.. Begitu..!?” Kataku sembari memainkan rokok di jemari, memutar-mutarnya di sela antara telunjuk dan jari tengah.
Berpikir dan menimbang-nimbang.
“Mpi sama Kaka yang kepingin banget tuh, Bar..!” Sela Toton yang ikutan menyulut rokok.
Degg..! Seketika jantungku berdenyut lebih cepat.
Bukan denyut sakit, melainkan denyut nikmat.. ketika nama Kaka tadi disebutkan Toton.
“Ho-oh, Bar. Dua cewek itu harus ikut. Soalnya mereka kan harus melengkapi syarat keanggotaan Mapalanya..” kali ini Agun yang menjelaskan alasan kenapa 2 bidadari ikut pada XPDC dadakan itu.
“Hmm.. oke. Aku ikut..!” Jawabku tanpa pikir panjang lagi.
Keraguan dan rencana menyelesaikan urusan perkuliahanku sontak menghilang.. entah raib ke mana.
Yang ada saat itu adalah bayangan lembut wajah keibuan Kaka. Plus goyangan pantatnya. Haha..
-----------
Palembang menuju Kabupaten Lahat dengan perjalanan darat lebih kurang 4 - 5 jam, persis sebelum memasuki Kota Lahat –kurang lebih 11 km sebelum Kota Lahat..– di sebelah kiri jalan akan terlihat Bukit Jempol.
“Huahh..! Akhirnya sampai juga..” ungkapan lega Toton sembari meletakkan carrier yang disambutnya dari atap bagasi mobil serupa roof box ke bale bambu.
“Woii.. jangan kelamaan istirahatnya. Bentar lagi gelap nih..!” Sergah Mpi yang sedang membereskan daypack-nya pada Kaka.
“Iya..!” Jawab Kaka singkat, seperti biasa.
Aku sedang menyulut rokokku sekilas memperhatikan kedua bidadari yang berbincang dari samping Toton.
Di sebelah kanan kulihat Agun sedang tawar-menawar dengan bapak pemilik motor.. yang kebetulan penduduk desa dekat bukit Serelo.
Dari pemilik warung tempat kami singgah ini kami mendapat keterangan bahwa belum ada ojek –pada zaman itu..– sebagai sarana transportasi untuk menuju Bukit Jempol tersebut.
So, untuk menuju desa terdekat dapat dilalui dengan kendaran bermotor roda dua.
Untungnya.. bisa diantar sampai kaki bukit.
Dilanjutkan dengan berjalan kaki mendaki bukit tersebut dengan lamanya pendakian lebih kurang 3 - 6 jam.
Setelah deal harga ongkos numpang, berangkatlah kita ke kaki bukit. Beruntungnya lagi dapet 3 motor.
Jadi Toton yang badannya paling gede digonceng di satu motor, carriernya ditaruh di depan si bapak pengendara. Mereka duluan jalan.
Sementara di motor kedua goncengan bertiga.
Mpi di tengah.. diapit Agun yang duduk di belakang tanpa melepas carrier-nya.
Sedangkan daypack Mpi ditaruh di depan si bapak pengemudi.
Nah.. aku yang serasa mendapat durian runtuh.. di motor ketiga.
Bagaimana ga nikmat.
Kaka yang menjadi TO-ku.. duduk di tengah, di antara bapak yang mengemudi.. dengan aku di belakangnya.
Ahh.. nikmat. Bisa ngelanjutin SSI di mobil tadi, pikirku mulai mesum.
Maka.. mulailah perjalanan singkat nan nikmat.. melalui jalan tanah yang ga rata.
Seperti grasstrack saja, pikirku saat itu sembari mulai mencari-cari cara memulai kemesuman.
-----------
Pada awalnya kami, maksudku aku dan Rieka.. seperti masih menjaga jarak.
Antara tubuh depanku, dada dan selangkangan berjarak sekitar 2 jari-an.
Jaim, nih. Pikirku. Padahal Bara junior udah berontak ga keru-keruan. Protes untuk segera 'nempel-nempel' di tempat hangat dan lengket.
Tapi itu tak bertahan lama. Kontol, maksudku Kondisi.. harus ber-Toleransi.
Karena.. rute ditempuh adalah jalan tanah yang jelas tak rata.. akhirnya aku 'harus mengalah' dengan –awalnya sih megang pinggang si bapak pengemudi..– memegang kedua pinggul Kaka.
Lembut. Hangat.. Jihaaa..!
Rieka langsung ngerespon –negatif..– dengan mencubit tanganku.
“Aduh. Sori Ka..!” Teriakku kesakitan campur Mupeng di tengah bising gerungan sepeda motor.
Rieka menolehkan wajahnya ke kiri belakang. Matanya mendelik. Tapi sekilas kulihat senyum di bibirnya. Entah berarti apa.
O, ya.. ketika itu Kaka mengenakan kaus oblong ketat lengan pendek, bergambar lambang bendera Inggris.
Sementara bawahannya legging hitam selutut ditutupi celana lapangan pendek.
Untuk rambutnya yang sepinggang, Rieka menutupi dan memasukannya ke balaklava/seibu yang ia kenakan sebagai topi.
Sesekali kuremas nakal pinggiran pinggulnya.
Dapat pula kuhidu aroma harum rambutnya ketika sesekali Kaka menolehkan wajahnya mengimbangi gerakan sepeda motor yang bergerak terhentak.
Setelah beberapakali remasan lembut di pinggangnya.. aku mulai makin nakal.. dengan menaikkan rayapan tanganku di samping bawah payudaranya.
Wow.. lembut dan gimana gitu.
Meski dari luar kaus yang dikenakannya, tapi kelembutan tubuhnya itu telah sukses menegangkan otot di selangkanganku. Sukses berat.
Perlahan namun pasti.. naga kecil yang tengah mbalelo dan berontak di celanaku mengeras dan menuntut kehangatan seperti yang didapatkan kedua telapak tanganku.
Dibantu goncangan sepeda motor yang sesekali terlonjak-lonjak di jalan tanah berlubang itu..
dengan suka cita kurapatkan tubuh bagian depanku ke tubuh hangat Rieka bagian belakang.
Serentak dengan telapak tangan yang meremas lembut kaki bukit Serelo.. eh, kaki bukit payudara Kaka.
Degh.. degh..! Kemaluan tegangku yang telah kubenahi orbitnya –yang tadinya melenceng beberapa derajat ke bawah..– menyentuh pinggul Kaka.
Aku ga pasti kena di mananya. Yang pasti dari beberapa tekanan tersebut ternyata telah sukses melelehkan precum di ujung penisku.
Saat itu aku sudah ga tau dan ga peduli lagi apa yang dipikirkan Rieka.. yang bersedekap tangan di depan payudaranya.
Mungkin melindungi benturan dengan punggung bapak pengemudi. Baguslah.. pikirku.
Sementara di bawah ada kegiatan tabrak-menabrak penis versus pinggul empuk..
di ataspun tengah terjadi remas-meremas telapak tangan versus payudara.
Meski masih dibatasi kaus oblong dan BH.. tapi rupanya sudah cukup membuat aku dan Rieka ngos-ngosan.
Tak ada lagi cubitan-cubitan di punggung telapak tanganku.
Kini digantikan kepitan kedua siku tangannya pada telapak tanganku.
Kedua lengan Kaka yang bersedekap di dadanya.. menyisakan dua siku yang tertekuk.
Dua sikunya itu dia gunakan untuk menekan, 'mendekap' pula punggung telapak tanganku.. yang meremas lembut bongkahan susu di dadanya.
Hingga dapat kurasakan cup BH-nya agak bergeser ke atas.. dan bisa kurasakan putingnya yang mulai mengeras.
Sesekali wajahnya menengadah.
“Nghh..!” Sayup kudengar suaranya mengerang halus, seperti menahan sesuatu.. ketika sesekali pilinanku di puting payudaranya dirasanya agak keras akibat lonjakan motor yang melewati jalan berlubang.
Sekitar 20 menitan aksi tabrak-menabrak dan remas-meremas di atas jok motor itu kami nikmati.
Kami..? Aku aja kalee..! Hehe..
Hingga akhirnya tersadar dengan berhentinya motor yang kami tumpangi.
“Woii.. cepetan. Udah sore..!” Teriakan Agun menyadarkanku bahwa kami masih di atas motor.
“Eh.. Ngh.. iya..” jawabku cepat sambil menurunkan carrier.
Langsung pula kubantu Kaka yang terlihat lemas turun dari motor.
Apa mungkin dia orgasme, ya..!? Pikirku.. saat kulihat tanpa kentara Dia membenahi BH-nya.. hasil grapa-grepeku barusan.
Halus dan ga kentara banget cara Kaka membenahi posisi BHnya. Dasar Wanita..!
-------------------------------
Sekilas Mengenai Laki-Laki yang Menyiapkan Kematian Kenangan
Namaku Bara, lengkapnya Bara Magma.
Aku ga pernah tau apa dan kenapa diberi nama aneh dan unik seperti itu dari orangtuaku.
Namun aku mencoba.. dan berhasil mencari sendiri apa makna dan arti namaku tersebut.. berdasarkan Etimologi.. atau cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna.
Bara dapat berarti benda, barang, atau sesuatu –arang..– yang terbakar dan masih mengandung api.
Sedangkan Magma adalah lelehan batuan pada kerak bumi yang sangat panas.
Jadi.. silakan maknai sendiri, apa arti dan makna namaku itu. Hehe..
Usiaku saat ini ganjil –bukan genap..– 45 tahun.. jika dihitung menggunakan hitungan bulan/Qomariah tahun Hijriah.
43 tahun ketika menggunakan hitungan Masehi.
Aku kini hidup tenang dan penuh damai di sebuah kampung terpencil. Amateramatsangat terpencil.
Jauh dari silang sengketa, iri, dengki, ambisi..! Damai yang benar-benar penuh kedamaian.
Jujur saja, aku dianugerahi kecerdasan di atas rata-rata. IQ-ku saat dites ketika kelas 5 SD sekitar 160.
Tes IQ tersebut sebenarnya aku jalani untuk mengikuti ujian pula. EBTANAS. Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional.
Ujian Akhir yang seharusnya dijabanin oleh siswa kelas 6. Jadi aku mengikuti Kelas Akselerasi, istilahnya.
Ga tau sekarang. Masih ada ga lompat kelas, atau akselerasi seperti zamanku SD dulu..!?
So, aku ga pernah 'nyicipin' yang namanya kelas 6 SD. Dari kelas 5.. aku langsung loncat SMP.
Semua berawal dari tanteku Rena, yang paling suka memanjakanku dengan membelikan majalah-majalah anak-anak yang tren pada zaman itu.
Setiap minggu. Tiapkali dia pulang kerja sebagai sekretaris di sebuah Perseroan Terbatas di Kotaku.. belum sempat dia berganti pakaian, aku telah menyambutnya di depan pintu rumah..
Bukan menyambut kepulangannya.. melainkan segera merebut gulungan majalah yang dibelikannya untukku.
Karena itulah makanya.. bukannya sombong, sejak usia 4 tahun aku sudah bisa membaca. Lancar.
Celakanya –atau malah untungnya..?– sejak usia itu hingga menjelang SD.. aku jadi lebih cepat mengenal yang namanya seks.
Dari mana lagi jika bukan dari ‘kegilaan membacaku’ yang tak mengenal batas.
Mungkin hal itu yang mengakibatkan di usia 4,5 tahun aku 'DO' dari Taman Kanak-kanak.
Bosan. Itu alasanku.
Sekolah kok cuma nyanyi dan main prosotan doang. Pikiran kanak-kanakku yang beropini.
Aku ngambek.. ga mau sekolah..! Aku demonstrasi, eh.. maksudku maksa Ortu untuk memasukkanku bersekolah di Sekolah Dasar.
Nah, ortuku lalu berusaha mendaftarkan aku ke beberapa sekolah yang tak jauh dari kediamanku.
Hasilnya.. dari beberapa sekolah dasar yang ada di dekat rumah kami saat itu.. sukses.. ga ada yang mau nerima.
Jelas saja. Zaman itu masih pake ukuran tangan melingkar di atas kepala menyentuh telinga.
Ditambah dengan profilku yang memang masih Balita, eh.. sudah ampir 5 tahun, kog.. berpostur kurus, hitam.. ahh.. sawo matang ngkali ya..!?
Itu yang menambah alasan sekolah-sekolah tersebut menolakku menjadi siswanya.
Coba hari gini..! Berbekal dengan kemampuan membaca yang sudah kumiliki saat itu, meski usiaku belum masuk usia sekolah.. pasti tetap diterima, ya ga..!?
Akhirnya semangat dan keinginan bersekolahku kesampaian juga.
Uwakku yang bekerja sebagai sipir penjara anak di kotaku.. memberi kabar yang membuatku tersenyum 7 hari 7 malam. Hehe..
Dia bilang.. ada SD baru buka di dekat tempat kerjanya. Agak jauh, sebenarnya, sih..!
Untuk bisa sampai ke sekolahku tersebut.. aku harus naik ‘bus kepala buaya’ sekitar 10 km dari pusat kota.
Perjuangan menuntut ilmu baru saja dimulai.
Sebab aku harus pula berjalan kaki.. dari tempat aku diturunkan 500 meter di depan gerbang Lapas Anak tempat uwakku berdinas sebagai sipir penjara.. melewati jalan tanah, yang kadang seperti bubur tanah liat ketika musim hujan.. hampir 1 km lebih.
Dan tolong diingat sodara-sodara.. usiaku saat itu baru 4 hampir 5 tahun kurang lebih.
Memang sih, terkadang uwakku berbaik hati mengantarku ke sekolahku tercinta.
Ketika dia dinas Pagi, dia mengantarku.. berboncengan menggunakan sepeda Ontel, pinjaman kepunyaan pemilik bengkel sepeda.. –kurasa satu-satunya bengkel sepeda di sana..– di dekat Rutan Anak itu.
Maka sampailah aku di sekolah ‘menuntut ilmu’. Hedew.
Hingga akhirnya aku yang memang punya IQ di atas rata-rata, apalagi jika dibandingkan teman-temanku di SD terpencil tersebut.. jadilah aku Juara Umum.
Berbekal predikat 'juara umum' itulah, aku akhirnya bisa dipindahkan orangtuaku ke sebuah SD favorit di ‘kota’.
Yang tentu saja lebih dekat dengan rumah.
Seingatku.. pada masa itu semua bacaan untuk anak-anak yang masih bisa dihitung dengan jari.. seperti Si Kuncung, Bobo, Ananda dan beberapa lagi yang hilang timbul.. sama seperti ingatanku.. sudah aku baca. Semua.
Begitupun bacaan berupa komik.. lebih banyak saduran atau ditranslate dari luar, seperti Album Walt Disney dari Amerika, Tintin, juga Eppo yang berbasis bahasa Belanda pun kusantap..!
Jadi, untuk memuaskan dahaga akan bacaan.. aku yang saat itu baru bisa membaca, tak memilih-milih.
Semua yang kutemukan dan bisa kubaca, kubaca.
Dari kitab kumal, kertas bungkus kacang, Ramayana, Mahabaratha, baik yang berupa tulisan melulu hingga komiknya karya RA Kosasih. Kubaca.
Serial komik karya komikus negeri sendiri.. seperti Gundala, Si Buta Dari Gua Hantu, Laba-laba Merah, Godam, Jaka Sembung dan atau superhero-superhero DC dan Marvel Comics-pun kulahap-baca..!
Cerita-cerita Silat karya Asmaraman Kho Ping Hoo, buku-buku Petualangan Si Ketua Suku Apache, Winnetow dan sahabatnya Old Shatterhand karya Karl May, Sherlock Holmes.. hingga akhirnya secara ga sengaja, aku menemukan buku kumal di bawah kasur Om-ku..
Berjudul Nick Carter.
Bahkan kelak.. di kelas 3 SD, di usia 7 tahun.. aku menemukan buku-buku stensilan dan akhirnya menemukan dan membaca Enny Arrow..! Ugh.
Bacaan-bacaan erotis yang pada mulanya ga kumengerti jika ga melihat gambarnya seperti di komik-komik.. akhirnya mulai kupahami sedikit demi sedikit.
Rangsangan aneh.. nikmat dan tak kupahami.. namun mulai membara, membakar, menggelitik rasa ingin tauku.
Walah.. malah kepanjangan nih open-openan ala Narciscus masa kecilnya.
Hehe.. sori pembaca. Setidaknya pembaca jadi ngerti latar belakang yang menjadikan aku 'maniak cipet'. Itu saja, kog.
-------------------------------