Episode 17
Halmahera
POV Hari
Setelah menelepon Dani, Gue beranjak pergi ke kafe yang dulu meledak. Siang ini gue ada janji mau makan siang di kafe itu sama Jamet. Pagi tadi gue habis cetak hardcover skripsi bareng Jamet, tapi habis itu kami pisah jalan sebentar.
Setibanya di sana, gue langsung duduk di tempat yang udah disiapin Jamet.
“Lama amat?” Tanya Jamet.
“Boker dulu gue tadi.” Ngibul.
“Elah, makan kamu emang seberapa banyak sih.”
“Setumpeng hahaha.”
Gue nitip tas, lalu memesan makan di salah satu tempat. Saat memesan makanan, gue ketemu sama Jennifer.
“Hoi, Jen.” Gue menyapa Jennifer.
“Eh, Har.”
“Sendiri?”
“Tuh sama anak-anak.” Jennifer nunjuk meja tempat Anwar, Tika, dan Erna.
“Wah rame. Gue sama Jamet gabung ya.”
“Boleh, boleh.”
Gak lama kemudian, pemilik tempat makanan bilang makanan akan di antar. Gue menunjukkan meja Anwar sebagai tujuan antar makanan. Setelah itu, gue berpisah dengan Jennifer untuk kembali ke tempat Jamet.
Gue ajak Jamet gabung ke meja anak-anak, yang lalu langsung disetujui. Jamet terlebih dulu ke tempat pesanan makanan untuk mengatakan kalau dia pindah tempat duduk. Selanjutnya, kami telah duduk bersama dalam satu meja besar.
“Eda gak ikut?” Anwar membuka obrolan.
“Barusan aku wa, katanya sakit kepala dia.” Jawab Jamet.
“Masih tepar kali dia dari Papandayan.” Kata Anwar sambil ketawa.
“Lu berdua ngapain ngampus?” Jennifer gantian bertanya.
“Gue sama Jamet tadi abis cetak hard cover.” Giliran gue yang jawab.
Anwar dan Tika asik pacaran berdua. Jennifer jadi pendengar yang baik cerita gue dan Jamet. Sedangkan Erna asik main handphone sendiri walau sesekali dia menimpali pembicaraan. Obrolan berpindah-pindah ke hal apapun. Dari hal yang gak gue tahu sama sekali sampai soal Bryophyte.
“Bryophyte apa kabar?” Gue nanya sambil bercanda.
“Sehat dia katanya.” Tika berkelakar.
“Btw, posisi main kalian di mana sih?” Gue nanya lagi
“Gak surprise dong ntar.” Kata Tika.
“Terus, mau bawa lagu apaan aja?” Jamet gantian nanya
“Kan udah gue bilang, buat surprise hahaha” Tika menjawab lagi
“Pelit amat sih.” Jamet membalas lagi
“Tuh bosnya yang nyuruh!” Gerombolan cewek barengan mengacungkan telunjuk ke Anwar.
Kami bertubi-tubi nanya mereka soal Bryophye yang masih misterius. Bahkan, Jennifer bilang baru gue, Jamet, Eda, dan Dani yang tau terbentuknya Bryophyte. Foto-foto mereka di Papandayan bersama embel-embel Bryophyte pun masih dirahasiakan. Tidak satu pun ada yang diupload ke media sosial.
“Bikin band kok misterius amat. Jangan-jangan band lucu-lucuan doang ya?” Jamet nyeletuk.
“Enak aja! Erna tuh perfect banget bikin instrumennya!” Kata Tika
“SSSTTT!!!” Erna menempelkan telunjuknya di mulut. Mukanya ditekuk kaya orang ngeden mau boker.
Jennifer menggeram. Anwar menarik-narik bibir Tika.
“Aaaaak! Ampuuun!” Ekspresinya mirip orang dijejelin cabe.
“Hahaha kepancing dia.” Ledek gue
“Eh, terus hari ini kalian latihan?” Jamet nanya terus
“Nggak. Erna katanya mau ada urusan penting.” Jennifer gantian menjawab.
“Ke mana, Na?”
“Ada deh.”
Acara kumpul-kumpul dadakan ini selesai 45 menit kemudian. Gue berpisah dengan alasan mau pulang ke Tanah Abang. Padahal, sudah jelas akan pergi apartemen untuk merencanakan hal sore ini dengan Dani. Kalau penjelasan dengan Dani lancar dan gak ada nangis-nagisan atau berantem-beranteman, gue akan menuju ke rencana selanjutnya.
---
POV Jamet
Hari udah pamit duluan. Aku berjalan pelan-pelan keluar dari kafe bersama Anwar, Tika, Jennifer, dan Erna. Aku gak tau mau ngapain lagi habis ini selain balik ke kostan.
“Abis ini kalian mau ke mana?” Gue nanya mereka.
“Gak tau.” Tika ngejawab singkat. Dia bete.
“Nonton mau gak? Random aja.” Ajak Anwar.
“Boleh tuh.” Kata Jennifer.
“Di GI ya, Beb! Bayarin! Ganti rugi udah narik-narik bibir aku.” Tika menondong.
“Iya, iya. Met, lu gak ada kerjaan kan? Ikut aja yuk.”
“Oke lah.” Jawabku.
Aku pun ikut berjalan ke parkiran menuju mobil Anwar. Erna berpisah, pamit menuju motornya di tempat parkir yang lain. Kami bergerak keluar kampus, menuju tujuan kami siang ini.
Sesampainya di GI, kami terlebih dulu membeli tiket nonton dengan waktu jam 5 sore. Kemudian, kami berjalan berputar-putar untuk cuci mata. Sebenarnya aku bukan anak mall, jadi sepanjang jalan-jalan aku hanya mengikuti alur mereka.
“Eh, kok bisa sih kalian suka ke gunung sama ke mall sekaligus?”
“Bisa dong.” Tika udah kembali riang.
“Kan kontras gitu. Gunung sama mall.”
“Kita kalo hangout suka ke mana-mana, Met. Mau ke gunung, mall, laut, luar kota, atau angkringan pun semua dijalanin asal bisa kumpul.” Jennifer menjelaskan.
“Kecuali Erna ya, dia paling males kalo ke Mall.” Kata Tika.
Tika bergelayutan sama Anwar. Mereka jalan paling depan. Sesekali Anwar menunjuk toko bra yang dilewati dan menarik Tika untuk masuk ke sana. Tentunya selalu gak jadi karena Tika akan menarik Anwar jauh-jauh. Kemudian, dia akan melirik malu-malu ke belakang, ke arah posisiku sama Jennifer berjalan.
Aku berjalan pelan di belakang Anwar dan Tika. Jennifer menemani dan aktif mengajakku ngobrol. Mungkin dia paham soal gelagatku yang kuper soal mall, jadi dia cerita apa aja supaya aku jadi gak mati gaya. Kebanyakan yang dia ceritakan adalah soal masalah lingkungan yang notabene sama-sama ngerti.
“Met, penelitian lu mikroalga kan ya?” Tanya Jennifer.
“Iya, di Ancol sama Pulau Pari.” Jawab gue.
“Ada bedanya gak tuh?”
“Ada sih. Di Ancol udah sering blooming gitu alganya.”
“Ancol itu untuk representasi Teluk Jakarta kan ya? Kalo Pari?”
“Pari masih bagus, lumayan, cuma ya kalo arusnya lagi kenceng semua yang dari Teluk Jakarta kebawa sampai sana.”
“Parah juga ya. Padahal Pari lumayan jauh jaraknya dari Jakarta.”
Suasana lebih cair setelah banyak obrolan dengan Jennifer.
---
POV Eda
Sesampainya di kamar apartemen, gue mandi. Setelah itu, gue menyibukkan diri dengan bermain game FIFA dari laptop. Makan pun, gue lebih memilih order daripada membeli ke tempatnya langsung. Badan gue terlalu malas untuk bergerak.
Main pakai MU, lawan Juventus, full time 2-1
Pakai Munchen, lawan MU, full time 3-0
Pakai Barca, lawan Madrid, full time 5-5
Pakai Ajax, lawan Milan, full time 3-3
Pakai Porto, lawan City, full time 0-0
Pakai Napoli, lawan Atletico, full time 1-1
Setelah berjam-jam bermain game, kebanyakan seri pula, akhirnya bosan juga. Gue beralih tidur-tiduran di kasur dengan pikiran melayang ke mana-mana. Suatu waktu, pikiran gue melayang kembali ketika awal mula kejadian semalam.
“Eda, aku.. aku.. masih nunggu kamu dari dulu. Kamu gak pernah nyatain. Malam ini aku... aku mau bilang.. aku.. sayang kamu.” Bisik Kak Rivin malam itu, sesaat setelah Sesil memaksa masuk.
AGGGHHHH. Pusing gue dengan keadaan begini. Harusnya gak begini. Harusnya gue gak terayu dengan kata-kata Kak Rivin. Kok bisa sih gue sange karena begitu doang. Gue padahal udah punya Dani.
Tapi.... ada tapinya sih, kan Dani gak pernah bilang sayang sama gue. So? Pacarankah gue sama Dani selama ini?
Pikiran gue melaju terus secara kronologis sepanjang kejadian semalam. Lalu, sampailah pada ujung kejadian orgasme ketiga gue. Gue berusaha mengingat lagi apakah gue mengeluarkan sperma di dalam vagina Kak Rivin atau nggak. Tapi hasilnya nihil. Semuanya masih mengawang-awang.
“Apa mending tanya langsung ya?” Gue berbicara sendiri.
Handphone gue sudah di tangan. Perlahan gue geser kontak whatsapp ke bawah menuju nama Rivina Azzahra. Nama kontaknya rupanya belum gue ganti, rasanya nostalgia banget ngebaca nama itu.
“Tanya, nggak? Etis gak ya? Tanya? Ah, lagi kerja orangnya pasti.” Gue bimbang.
Perlahan gue buka chatnya. Gue ketik kata satu persatu. Basa-basi dulu lebih baik kayanya.
“Halo, Kak Rivin, apa kabar?”
Done! Chat udah terlanjur terkirim dengan tanda centang dua warna abu-abu. Sekarang tinggal nunggu.
---
POV Hari
Gue tiba di apartemen jam 2 siang. Gue beres-beres sebentar, lalu ketiduran.
Gue terbangun ketika kasur terasa bergetar. Gue meraba-raba handphone gue yang akhirnya terjangkau. Dani menelepon.
“Halo, Har. Gue udah di bawah dari tadi. Ke mana lu? Ada...”
“Sorry! Tunggu ya!”
Gue buru-buru nutup telepon dan lari keluar kamar sambil membawa kartu pass apartemen. Gue lari-lari kecil menuju lift. Gue ketiduran dan Dani udah nungguin dari tadi. Kampret.
Sesampainya di bawah, gue menemukan hal mengejutkan. Dani gak sendiri. Ada Erna di sebelahnya dengan wajah tersenyum penuh arti menatap gue. Dani sendiri kelihatan panik dengan mimik wajah seolah bilang, “Gue gak ngajak. Bukan salah gue!”
Gue garuk-garuk kepala, mencoba berpikir positif. Mungkin Erna memang ada urusan yang membawanya ke sini. Ketemu Dani adalah hal yang kebetulan. Kebetulan!
“Sorry, Dan, gue ketiduran.” Gue menyapa Dani.
“Iya.. gue baru sampe juga.” Jawab Dani
“Na?” Gue menyapa dengan canggung.
“Hoi.”
"..."
Gue cengo.
Waduh. Dapat info dari mana si Erna ini sampai bisa tau gue sama Dani janjian ketemu di apartemen. Gue mendadak jadi bingung akan beralibi seperti apa lagi. Seorang cewek yang telah berpacar janjian berdua sama temen pacarnya di kamar apartemen. Si Erna bakal mikir aneh-aneh deh nanti.
“Yaudah naik dulu deh.” Kata gue.
Gue mengajak mereka berdua masuk ke dalam lift, menekan lantai 15, dan kemudian lift meluncur cepat. Kami berdua melangkah cepat-cepat seolah masing-masing tau ada urusan penting yang harus diselesaikan buru-buru.
Sesampainya di kamar, Erna langsung menyambar kunci kamar gue, lalu menguncinya. Dia memerhatikan sekeliling kamar, mungkin mencari kamera tersembunyi.
“Kalo lu nyari kamera, gak ada, Na.” Gue langsung nembak.
“S.H.I.E.L.D.?” Tanyanya.
“Ha?” Gue cengo lagi.
“Ini apartemen S.H.I.E.L.D. kan.” Gantian dia yang nembak.
Waduh kuadrat! Tau dari mana lagi ini si Erna. Dani pun gak bisa merespon apa-apa.
“Ini kamar punya gue, Na.” Gue ngibul.
“Oh iya, sorry. Gue kasih tau dulu kali ya biar gak bingung.”
Erna menarik lengan kiri pakaiannya. Kemudian, dia menunjukkan jam tangan berlambang burungnya. Jam tangan yang sama dengan punya gue.
“ANJIR!!” Dani terbelalak.
“GEBLEK! SEJAK KAPAN!” Gue ikut kaget.
“Lebih dari setahun lalu, waktu gue kerja praktek ke Halmahera.”
Setelah pulih dari kekagetan gue dan Dani. Kami semua duduk melingkar di lantai kamar. Gue menyuguhkan makanan dan minuman ringan. Satu per satu kisah dari awal mula terrigenesis sampai sekarang diceritakan satu per satu. Cerita dimulai dari gue.
Gue menceritakan kisah terrigenesis gue bersama nyokap, pelatihan tiga bulan di markas besar S.H.I.E.L.D., hingga kejadian akhir tahun lalu yang melibatkan Puri dan Lina. Gue juga menceritakan bahwa Puri dan Lina sudah bersama S.H.I.E.L.D. dan tidak sedang di Indonesia.
“Jadi, kemampuan lu sekarang apa, Har?” Dani nanya.
“Gue bisa nyerap energi.”
“Contohnya?.” Dani membalas
“Pukul gue, yang kenceng ya. Seriusan.”
“Seriusan ya!”
Dani berusaha menonjok gue kuat-kuat dengan kepalan tangannya. Gue membuka telapak tangan gue menghadap ke tangannya. Tiba-tiba tangan Dani terjatuh lemas.
“Ah, gila, lemes tangan gue, Har.” Kata Dani
“Ada lagi, Har?” Erna gantian nanya.
“Gue bisa nyerap energi dalam bentuk apapun. Kinetik, kalor. Api misalnya, bisa gue padamin. Awalnya waktu latihan itu yang paling susah sih.” Gue menjelaskan.
Dani menyambung dengan cerita kejadian yang menimpanya bersama Kenia. Kejadian tersebut dijelaskannya merubah jumlah produksi hormon dalam tubuhnya. Dampaknya, dia lebih sering mengalami perubahan ketahanan fisik dan emosi yang signifikan.
Dugaan pertamanya adalah waktu dia kedinginan sepulang dari Tegal Alun. Dani pulih dengan cepat, namun jadi terasa sangat lelah setelah tubuhnya mendapat waktu istirahat. Jelas itu efek kerja hormon adrenalin. Kejadian kedua, adalah pesta semalam suntuk bersama Eda, Kak Rivin, dan Sesil.
“Anjir!” Gue kaget.
“Astaga. Separah itu?” Erna pun kaget.
“Pantesan Eda bilang sakit hari ini.” Kata gue.
“Kok Eda bisa beringas gitu ya?” Erna mikir.
Iya ya? Kok Eda bisa begitu ya? Setahu gue, Eda bukan penikmat banyak selangkangan. Gue jadi kepikiran.
“Oke. Itu kasus Dani ntar gue bicarain sama S.H.I.E.L.D. deh. Adek gue juga jadi aneh soalnya. Kenia nafsunya jadi tinggi banget. Gara-gara gabungan gejolak hormon remaja tanggung sama tambahan hormon itu, dia minta ngeseks terus sama gue. Gue ladenin aja, asal gak penetrasi. Daripada dia diperkosa orang gak jelas di jalan.” Gue menjelaskan.
Mereka berdua kaget. Banyak rahasia dibuka hari ini.
“Bego lu, Har. Adek sendiri juga!” Dani ngomel
“Ya, abis mau gimana. Lagian kan gak sampe gue masukin.”
Erna cuma diam. Gue merasa obrolan ini bukan porsinya Erna.
“Yaudah, itu gue urusin ntar. Sekarang Erna giliran cerita dong.” Gue mengalihkan obrolan supaya Erna gak jengah.
“Jadi gini, waktu itu kan gue lagi di Halmahera pertengahan 2014, bulan Agustus kalo gak salah....”
Bulan Agustus 2014, Erna, Anwar, Tika, dan Jennifer sedang kerja praktek di Halmahera untuk ekspedisi anggrek. Suatu malam di awal ekspedisi, Mereka sama temen-temen ekspedisinya yang lain bakar-bakar ikan di pinggir pantai dari hasil mancing sendiri. Waktu itu, yang ikut makan malam ada 6 orang. Belasan orang lainnya lebih memilih tidur lebih cepat.
Saat ikan telah dibakar semua, Erna mengambil satu potong ikan ke piringnya. Karena dia anak paling muda di tim, Erna disuruh sebentar ke belakang tenda untuk mengambil beberapa buah kelapa muda. Erna pun kebiasaan membawa makanan sambil jalan. Akibatnya, dia mengalami terrigenesis tepat di samping tumpukan kelapa muda setelah ngegigit potongan ikan bakarnya, tanpa diketahui satu pun rekan timnya.
Awalnya Erna gak ngerti apa yang terjadi sama badannya. Selama ekspedisi, matanya terasa aneh karena melihat warna-warna baru diluar spektrum warna yang bisa dilihat biasanya. Telinganya juga mendengar suara-suara aneh.
“Gue stress parah waktu itu. Gue bisa denger suara orang ngobrol tapi gak ada orangnya. Terus, gue bisa ngelihat tulisan-tulisan aneh melayang-layang. Gue kira gue jadi indigo.” Jelas Erna.
Gue dan Dani terbengong-bengong.
Menarik.
BERSAMBUNG