Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

Bimabet
Chapter 24 : Menjebak Lastri

Kami segera memakai pakaian dengan tergesa gesa sebelum suami Mbak Heny curiga, persoalannya akan menjadi semakin rumi. Rupanya pengalaman selama menjadi PSK sangat berharga buat Lastri, hampir bersamaan kami sudah berpakaian lengkap. Lastri tidak perlu merapikan rambutnya yang panjang terkuncir.

Lastri membuka pintu sementara aku duduk. Seorang pria yang belum pernah aku lihat masuk dengan diikuti oleh dua pria lainnya yang bertampang menakutkan seperti yang sering aku lihat pada penampilan preman pasa

Pria yang disapa mas oleh Lastri mengajakku bersalaman, aku segara bangun menyambut uluran tangannya. Kepalan tangannya sangat keras seolang ingin mematahkan telapak tanganku. Aku bukan pria lemah, aku semakin menguatkan genggaman tanganku. Belum sempat aku menyadari situasi yang terjadis salah seorang dari dua pria yang datang bersama suami Mbak heny tiba tiba melayangkan tinjunya ke arah wajahku.

Belum sempat aku menghindar, seseorang menarik pria yang sedang meninjuku sehingga tubuhnya terjungkal ke belakang, sekilas aku melihat temannyapun ternyata sudah jatuh terkena oleh pukulan orang yang baru saja datang.

Pria yang mengaku suami Mbak Heny menoleh ke arah teman temannya yang bergelimpangan dilantai, kesempatan yang tidak kusia siakan, kepalanku menghantam hidungnya membuatnya terjungkal ke belakang.

Ternyata orang yang melumpuhkan ke dua temannya suami Mbak Heny adalah Mang Udin. Aku benar benar terkejut dengan kehadiran Mang Udin yang tidak kusangka sangka dan semakin terkejut saat Lilis tiba tiba masuk. Baru aku mengerti ternyata Lilis mengikutiku diam diam.

"Kamu mau bilang apa lagi, Las?" tanya Lilis dingin menatap ke arah Lastri yang berdiri ketakutan.

"Kamu mau ngejebak A Ujang lagi? Siapa sebenarnya yang menyuruh kamu?" Lilis kembali berkata mendekati Lastri yang mundur ketakutan.

Aku benar benar tidak pernah menduga Lilis sengaja membututiku langsung dengan Mang Udin. Wanita seperti apa sebenarnya calon istriku ini? Semuanya serba di luar perkiaraanku. Dia bisa melakukan apa saja tanpa dapat kutebak. Wanita yang sangat menakutkan.

"Tenang dulu, Lis!" Mang Udin seperti berusaha meredakan kemarahan Lilis yang terlihat jelas dari wajahnya.

"Siapa mereka?" Lilis menunjuk ke para pria yang bergelimpangan di lantai tidak berkutik.

"Mereka anak buah, Pak Gobang..!" kata Lastri tidak berani menatap wajah Lilis.

"Gobang sudah mati..!" bentak Lilis, belum pernah aku melihat Lilis semarah ini.

"Kami benar benar anak buah Kang Gobang...!" tiba tiba orang yang diakui sebagai suami Mbak Heny ikut bicara.

"Ngomong yang benar!" Mang Udin berkata sambil menginjak leher orang itu. Sebuah ancaman yang tidak main main.

"Kami disuruh mencari brankas berisi emas...!" ahirnya orang itu menyerah.

"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Mang Udin lagi.

Aku hanya menjadi penonton yang melihat semua adegan itu dengan tanda tanya besar.

"Kang Japra..!" orang yang mengaku sebagai suami Mbak Heny ahirnya membuka mulut.

"Kenapa kalian mengincar Ujang?" tanya Lilis tanpa berpaling dari Lastri, karena bisa saja Lastri mengambil kesempatan saat dirinya lengah dan itu sangat membahayakan jiwa dan kandungannya.

"Karena Kang Japra menyangka Jalu tau di mana emas itu berada." orang itu terlihat sangat ketakutan.

"Bukankah kalian sudah membaca surat ini?" Lilis melemparkan surat dari ayahku yang tadi aku berikan ke Lilis. Berikan surat ini ke orang yang sudah menyuruh kalian.." seperti sebuah perintah, Mang Udin mengangkat kakinya dari leher orang itu.

Orang itu segera berdiri, namun terlihat bingung melihat ke dua temannya yang pingsan.

"Barudak, bawa dua begundal ini keluar." Mang Udin berkata nyaring dan muncullah 4 orang yang aku kenal sebagai anak buah Mang Karta. Mereka langsung mengangkat dua begundal yang tergeletak pingsan karena pukulan Mang Udin yang mengenai bagian vital mereka.

"Kamu tetap kerja sama orang itu, laporkan apa yang A Ujang kerjakan. Dan kamu juga harus melaporkan ke aku apa yang mereka perintahkan ke kamu. Kamu mengerti!" kata Lilis tegas membuatku heran. Bagaimana mungkin Lilis justru menyuruh melaporkan semua yang aku lakukan ke orang yang berusaha mencelakaiku. Sebelum aku bertanya, Lilis mengajak kami pulang meninggalkan Lastri yang belum menyanggupi perintah Lilis.

Mang Udin tidak banyak bicar, dia hanya memberiku isyararat agar mengikuti rencana Lilis. Terlihat sekali Mang Udin sangat mempercayai Lilis keponakannya. Sehingga dia tidak bertanya dengan semua instruksi Lilis yang menurutku janggal.

Di luar rumah kontrakan ternyata sudah sangat banyak orang yang menonton dan salah satunya ternyata ketua RT yang segera menghampiri Mang Udin yang penampilannya sekarang lebih rapi dan wajahnya klimis. Brewok dan kuminya sudah dicukur habis bahkan potongan rambutnya cepak tidak ubahnya seperti seorang aparat kepolisian.

"Bagaimana Pak, sekarang sudah amankan?" tanya ketua RT ke Mang Udin yanv segera menyalaminya.

"Semua sudah bisa kami atasi, terduga yang akan memperkosa saudari Lastri sudah berhasil kami tangkap. Terimakasih atas partisipasi masyarakat sini, kami pihak kepolisian mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar besarnga." kata Mang Udin seraya berpamitan.

Pintar sekali Mang Udin berpura pura sebagai polisi sehingga masyarakat tidak terpancing berbuat anarkis. Aku segera menuntun motor ke tempat parkir mobil karena Lilis menolak untuk kubonceng karena takut. Di samping mobil yang terparkir ternyata sudah menunggu 4 orang yang lagi lagi aku kenal sebagai anak buah Mang Karta, ke empat orang itu memakai dua buah motor.

Lilis dan Mang Udin naik ke dalam mobil, aku mengikuti dari belakang dan dua motor lainnya berada di belakangku. Posisi ini seperti dibuat untuk melindungiku dari ancaman yang tiba tiba.

*****

"Kenapa Lilis menyuruh Lastri melaporkan kegiatan kita ke orang itu?" tanyaku heran saat kami sudah berada di dalam ruang kerja kami berdua. Ya kamar bekas mendiang Pak Budi kami jadikan sebagai ruang kerja bersama.

"Biar kita bisa saling mengawasi, minimal kita bisa menebak apa yang mereka rencanakan." Lilis terlihat tenang, seolah itu adalah hal paling benar yang harus dilakukannya.

"Berarti Lilis nyuruh A Ujang nganter Lastri adalah untuk menjebak Lastri?" tanyaku mulai mengerti apa yang diinginkannya.

"Benar, A Ujang sayang. Apapun akan Lilis lakukan untuk menyelamatkan A Ujang dari bahaya. Makanya Lilis nelpon Mang Karta untuk mengirim orang orangnya untuk mengikuti A Ujang saat nganter Lastri tadi. Setelah A Ujang berangkat, Lilis dan Mang Udin nyusul." Lilis tersenyum dan duduk di pangkuanku. Wajahnya yang cantik sangat dekat dengan wajahku sehingga aku bisa merasakan nafasnya yang halus dan terasa hangat.

"Lilis tahu apa yang A Ujang lakukan dengan Lastri?" tanyaku dengan jantung berdebar kencang.

"Cukup kita yang tahu, jangan sampai Ningsih tahu. Selama A Ujang tidak pernah meninggalkan kami, Lilis tidak masalah." Lilis mencium bibirku dengan mesra. Tidak ada rasa jijik padahal dia tahu bibirku sudah mencumbu Lastri.

"Kenapa surat itu Lilis kasih ke orang itu?" tanyaku semakin penasaran dengan strategi yang begitu asing untukku.

"Karena surat itu sudah mereka buka sebelum diberikan ke A Ujang. Makanya Lilis yakin Lastri sudah berhianat." Lilis menjawab begitu tenang.

"Dari mana Lilis tahu amplop itu sudah dibuka?" aku tidak melihat kelainan pada surat yang aku terima. Di amplop ada tulisan untuk anakku dan aku yakin itu tulisan ayahku. Amplop itu masih dalam keadaan dilem.

"Dari lem pada amplop, itu bukan bawaan lem di amplop. Karena sebelumnya amplop itu sudah dibuka, maka mereka lem lagi dengan lem kertas. Bekas lemnya agak tebal dan ada bekas sobekan kertas yang menumpuk." kata Lilis menjelaskan. Sungguh analisa yang sangat menakjubkan.

"Lalu kenapa ayah Gobang menitipkan surat itu ke Lastri? Padahal dia bisa memberikanya dengan cara yang lebih cepat.?" Lilis bertanya kepadaku. Aku berusaha berpikir dan menemukan jawabannya. Tapi aku tidak bisa menganalisanya. Ahirnya aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"Pertama, agar surat itu dibaca oleh orang yang menghianatinya.

Kedua, agar orang orang itu tahu bahwa A Ujang tidak tahu menahu tentang brankas berisi emas dan berkas yang mereka cari. Dengan kata lain, mereka tidak akan mengincar atau mencelakai A Ujang

Ketiga, untuk memberi petunjuk di mana berkas itu berada." Lilis menerangkan semuanya dengan segala analisa yang menurutku sangat luar biasa.

"Tapi orang yang kita hadapi tidak bodoh, dia sangat cerdas. Makanya kita butuh seseorang untuk mengawasi rencana mereka dan orang itu adalah Lastri. Setiap kali mereka menyuruh Lastri melakukan sesuatu, kita bisa menerka rencana dan gerkan mereka." Lilis menyudahi keterangannya. Kali ini aku benar benar bertekuk lutut dengan semua strategi dan analisa Lilis.

"Kenapa kita tidak menyerang mereka? Anak buah Mang Karta cukup banyak, anak buah ayah yang sekarang menjaga kita juga ada dua pulih orang." tanyaku heran. Bukankah akan sangat mudah berhadapan langsung seperti dalam film film action, dengan seorang diri atau beberapa orang mereka bisa mengalahkan penjahat yang jumlahnya sangat banyak.

"Hihihi, A Ujang lucu..!" Lilis kembali mencium bibirku dengan mesra.

"Kok malah ketawa?" tanyaku merajuk. Kucubit hidung Lilis yang mancung dengan gemas.

"Yang kita hadapi adalah sebuah jaringan yang sudah ada sebelum A Ujang lahir. A Ujang tahu, betapa hebatnya ayah Gobang dan Pak Shomad? Mereka adalah jago legendaris yang sangat ditakuti di Jakarta. Tapi dalam satu tepukan, mereka tewas dengan mudah. A Ujang bisa lihat betapa hebatnya Mang Karta dan Mang Udin, tapi mereka bisa disingkirkan dengan mudah. Ini bukan film action yang biasa kita tonton." Kata Lilis dan kembali dia mencium bibirku.

Aku membalas ciuman Lilis dengan penuh perasaan. Sekarang aku benar benar takluk dengan kemampuan calon istriku ini. Tidak ada lagi keraguan di hatiku.

Tiba tiba telpon di meja kerja berdering kencang. Dengan malas malasan Lilis mengangkarnya.

"Hallo....." Lilis terlihat serius mendengarkan si penelpon. Lalu menutupnya tanpa bersuara.

"Anak gadis Codet, Rani dan Rini hilang dari markas..!" kata Lilis membuatku kaget.

Bersambung....
 
Chapter 25 : Mampir Ke Cirebon

"Hilang ke mana mereka?" tanyaku bingung. Entah apa yang terjadi dengan ke dua anak itu. Sepertinya Lilis tidak tertarik dengan berita hilangnya Rani dan Rini.

"Kita mulai bergerak. A Ujang ke Gunung Kemukus dengan ditemani beberapa orang yang akan mengawasi A Ujang dari jauh." Lilis mulai menerangkan rencananya.

"Bagaimana dengan Rani dan Rini?" tanyaku heran.

"Ini kesempatan kita, saat perhatian mereka teralih ke Rani dan Rini. Kita bisa sedikit tenang mencari brankas itu." kata Lilis.

"Di Gunung Kemukus hanya ada brankas berisi 20 batang emas yang masing masingnya seberat 1 kg. Dan dua batangan sudah A Ujang bawa. Lilis kan sudah liat." kataku menerangkan.

"Kita tidak mencari emas, tapi mencari petunjuk brankas satu lagi disimpan. Atau lebih tepatnya mencari berkas berharga itu." Lilis kembali menerangkan.

"Kalau ada petunjuk tentang berkas itu di sana, tentu Bu Dhea sudah mendapatkannya." kataku berusaha mematahkan argumentasi Lilis. Aku harus mulai berpikir. Tidak mungkin selamanya aku bergantung dengan Lilis.

"A Ujang sekarang mulai pinter. Berkas itu tersimpan bersama emas. Atau mungkin yang dimaksud dengan emas adalah berkas itu." Lilis tertawa. Lilis berjalan membuka brankasnya dan mengambil beberapa lembar kertas sobekan Diary mendiang Pak Budi. Lalu memberikanku satu lembar.

Kurang ajar, ternyata Codet menipuku. Bukan hanya aku yang tertipu, tapi juga Shomad. Codet ternyata kebih licik dari Shomad. Emas hasil rampokan ternyata disimpan olehnya. Gobang hanya mendapatkan sebagian saja..

Aku sudah pernah membacanya. Apa ini ada hubungannya dengan Rani dan Rini? Tato yang ada di tubuh ke dua gadis itu mungkin menunjukan berkas itu berada. Berkas yang sangat berharga melebihi emas yang tersimpan dalam brankas. Tapi menurut surat yang dikirim ayahku berkas itu tersimpan aman bersama emas.

Aku ragu untuk menceritakan tato di bagian vital ke dua gadis itu ke Lilis. Bagaimana kalau Lilis murka, bukankah membuat masalahku semakin rumit. Untuk mencari ke dua gadis itupun rasanya sangat sulit. Di mana mereka berada, aku sendiri tidak tahu.

Setelah berpikir keras dan menemukan jalan buntu ahirnya aku mengikuti saran Lilis untuk pergi ke Gunung Kemukus mencari petunjuk yang mungkin belum ditemukan oleh Bu Dhea. Bisa saja petunjuk itu ada di kotak besi berisi surat surat cinta untuk ibuku yang kutinggalkan di sana tanpa membacanya. Mengingat hal itu membuatku memaki kecerobohanku. Sungguh tolok aku meninggalkan kotak besi itu di sana. Kalau benar ada sesuatu yang berharga di sana.

*******

Setelah pernikahan Ibuku yang hanya sekedar akad nikah, aku berangkat ke Gunung Kemukus dengan naek kereta ekonomi dari stasion Tanah Abang. Aku sengaja memilih naik kereta karena aku sudah bermaksud untuk menghindar dari orang yang akan mengawasiku. Aku ingin bergerak sendiri tanpa ada yang mengawasi. Aku ingin belajar menempa diriku tanpa tergantung orang orang di sekelilingku. Aku bosan menjadi boneka. Sudah saatnya aku bergerak atas inisiatifku sendiri. Aku pasti bisa.

Di dalam KRL tujuan Tanah Abang, aku berusaha memperhatikan sekelilingku. Aku sengaja memakai kaca mata hitam, agar orang tidak akan bisa melihat ke arah mana mataku melihat. Tidak ada tanda tanda yang mencurigakan. Sekali lagi aku berusaha mengingat para penumpang yang satu gerbong denganku, mungkin saja ada diantara mereka yang sengaja dikirim untuk mengawasiku

Sampai Stasion Tanah Abang aku membeli tiket ke Solo. Selasai membeli tiket aku turun ke peron kereta tujuan Solo. Aku sengaja memilih tempat yang aku anggap sebagai tempat paling strategis untuk mengawasi sekelilingku sambil menunggu kereta jurusan Solo datang.

Masih tidak ada yang mencurigakan. Atau mungkin aku belum tahu cara membedakan orang yang sedang mengikuti dan mengawasiku. Aku belum pernah belajar tentang hal itu. Aku hanya bergerak berdasarkan naluriku saja. Mungkin ini bisa membantu.

Kereta jurusan Solo sudah mau berangkat dan aku sengaja naek saat kereta mulai berjalan. Logikaku berpikir, kalau ada yang mengikuti dan mengawasiku mereka pasti akan naik setelah aku naik. Aku menarik nafas kega, karena aku adalah orang terahir yang naik, untuk sementara aku aman.

Apakah aku benar benar aman dari orang yang mengikuti dan mengawasiku? Bisa saja mereka naek lebih dulu dan mengawasiku dari atas untuk menghindari kecurigaanku. Bodoh, kenapa baru terpikir sekarang olehku. Ketakutan diikuti membuatku terlihat lemah dan seperti orang bingung. Kalau benar ada orang yang mengikutiku, mereka tentu sedang mentertawakanku sekarang. Mentertawakan kebodohanku yang terlalu berhati hati.

Tapi mereka tidak akan sadar dengan rencanaku turun di Cirebon, rencana yang hanya aku sendiri yang tahu. Aku ingin mengetahui keadaan Anis setelah Shomad mati dan juga mencari petunjuk tentang Codet. Kemungkinan Anis mengetahui tentang Codet atau bisa juga Ratna.

Sepanjang perjalan ke Cirebon, jantungku berdegup kencang karena aku tahu Anis juga terlibat dengan rencana melenyapkan Mang Karta. Aku seperti akan memasuki kandang macan sendirian, tapi aku berani menanggung resikonya. Sudah saatnya aku menunjukka tajiku, bahwa aku tidak selemah yang mereka kira. Aku berusaha tenang dan tidak menunjukka kegelisahanku, bisa saja orang yang sedang mengawasiku curiga melihat kegelisahannku dan mereka semakin waspada. Aku harus tenang agar mereka tetap menyangka aku sudah mengetahui kehadiran mereka.

Berpikir bahwa aku sudah mengetahui kehadiran mereka membuatku tertawa geli. Bodoh, bahkan aku belum tahu keberadaan mereka di mana. Hanya perkataan Lilis yang mengatakan akan mengirim orang untuk mengawasiku dan mwnjagaku dari bahaya yang menjadi patokanku. Padahal aku sama sekali tahu siapa yang mendapatkan tugas itu.

Ahirnya kereta yang kutumpangi berhenti di Cirebon, aku berusaha untuk tetap menunggu kereta melanjutkan perjalanan dan saat kereta mulai bergerak meninggalkan Stasion Cirebon, aku meloncat turun. Aku berjalan cepat memasuki sebuah rumah makan yang berada di area stasion. Segera aku memesan kopi. Seperti tidak terjadi apa apa aku duduk memperhatikan kereta yang meninggalkan stasion.

Setelah kurasa aman, aku meneruskan perjalan ke rumah Pak Shomad dengan naek becak. Setelah sampai rumah Pak Shomad aku melihat sesuatu yang janggal, teras rumah yang biasanya ramai oleh orang yang sedang berlatih silat, sekarang terlihat sepi. Lebih sepi dari biasanya.

Aku segera mengetuk pintu sambil mengucapkan salam beberapa kali. Ada jawaban dari dalam, aku yakin yang menjawab salamku adalah Ratna. Tidak lama kemudian pintu terbuka. Begitu melihatku, Ratna langsung memelukku sambil menangis membuatku bingung.

"Mamah....Mamah meninggal..!" Ratna berkata sambil terus menangis membuatku sangat terkejut mendengar kabar yang tidak terduga ini.

"Kapan?" tanyaku. Tidak ada rasa sedih maupun kehilangan, aku hanya merasa kaget. Kematian yang sepertinya datang beruntun. Kematian yang terasa sangat menakutkan.

"Ujang, masuk Jang...Ratna, ajak Kang Ujang masuk dulu." kata Bi Darsih yang muncul dari dalam. Aku melepaskan pelukan Ratna dan mencium tangan Bi Darsih yang terlihat semakin tua. Matanya terlihat cekung, mungkin menangisi kematian dua orang yang dicintainya.

Kami segera masuk ke ruang keluarga. Rumah yang besar terasa sepi dan mencekam. Bau kematian membuat bulu kudukku merinding tanpa kusadari. Entah kenapa setiap kali memasuki rumah yang baru saja mengalami kematian membuatku gelisah, merasa tidak nyaman.

Aku duduk di kursi kayu jati yang dingin sedingin hatiku yang terasa gelisah. Ratna duduk di sampingku seolah tidak mau kehilangan diriku. Ranselku kuletakkan begit saja di samping kursi. Kalau saja Anis masih hidup, dia akan segera membawa ranselku masuk kamar.

"Bibi bikin kopi dulu ya, Jang..!" tanpa menunggu jawaban dariku Bi Darsih masuk dapur, 5 menit kemudian Bi Darsih sudah keluar lagi membawa nampan berisi kopi dan makanan kecil. Mungkin sisa sisa tahlilan.

"Anis dan Pak Shomad meninggal dalam kecelakaan hampir sebulan yang lalu..." Bi Darsih memberitahu kematian Anis dan suaminya yang terjadi bersamaan.

"Kecelakaan di mana, Bi?" tanyaku dengan suara lesu.

"Di Jakarta...!" jawab Bi Darsih seperti menyembunyikan sesuatu. Mungkin karena ada Ratna sehingga Bi Darsih tidak berani menceritakan kejadian yang sebenarnya.

Tentu saja kau tahu penyebab kematian Pak Shomad yang berduel dengan ayahku. Yang mengejutkan adalah kematian Anis yang terjadi pada hari yang sama menimbulkan kecurigaan. Apa sebenarnya penyebab kematian Anis?

"Rat, ajak Kang Ujang masuk kamar sana. Biar Kang Ujang mandi dan istirahat. Nenek mau istirahat." kata Bi Darsih meninggalkan kami. Suasana benar benar sangat mencekam. Bau kematian masih terasa kental dan menakutkan.

Ratna menarik tanganku masuk kamar Anis. Kamar yang biasa kugunakan memadu kasih semalaman. Kamar yang mengingatkanku dengan kelembutan dan pelayanan ranjangnya yang maksimal. Ranjang yang biasanya hangat dan panas oleh birahi dua insan yang memadu kasih sekarang terasa begitu mencekam. Dengan ragu ragu, aku duduk di pinggir ranjang.

Ratna berdiri mematung melihat ke arahku.

"Duduk, Rat..!" aku menarik tangan Ratna agar duduk di sampingku. Ratna terlihat ragu. Aku memaksanya untuk duduk.

"Kenapa gak mau duduk, Rat?" tanyaku heran.

"Gak apa apa, Ratna masih sedih. Ratna gak tahu harus ikut siapa sekarang..?" Ratna tiba tiba memelukku dan kembali tangisnya pecah di dadaku. Kubiarkan Ratna menangis menumpahkan semua kesedihannya di dadaku.

"Mamah nitipin ini ke Ratna untuk A Ujang...!" kata Ratna melepaskan pelukanku. Dilepasnya kalung dengan liontin berbentuk hati kepadaku.

Aku memeriksa liontin terbuat dari emas, sepertinya ada celah kecil di sisi sisinya. Seperti liontin yang bisa dibuka. Penasaran aku membukanya, ternyata benar bisa terbuka dan di dalamnya ada kertas dilipat kecil. Aku mengambilnya dan membacanya.

Anis titip Ratna.. Hanya itu yang ditulis, membuatku bingung. Bagaiman caranya merawat dan memperlakukan seorang gadis seperti Ratna? Satu satunya cara yang kutahu memperlakukan seorang wanita adalah memberinya kenikmatan sex. Apa aku harus menjadikan Ratna sebagai istriku? Gila, pikirku.

"A, Ratna ikut A Ujang saja y? Ratna takut di sini..!" kata Ratna kembali memelukku seperti tidak mau kehilangan diriku. Tentu saja hal ini membuatku sangat bingung. Walau Ratna adik tiriku, tapi usianya hanya terpaut 8 tahun. Lebih cocok jadi istriku dari pada jadi anak tiriku.

Saat aku terdiam bingung apa yang harus aku lakukan dengan Ratna, tiba tiba Ratna mencium bibirku, membuatku semakin kaget. Bagaimana bisa Ratna mencium bibirku, biqr bagaimanapun Ratna adalah anak tiriku. Tidak pantas rasanya berbuat mesum dengan anak tiriku sendiri.

Tapi naluri hewaniku berbicara lain, aku malah membalas ciuman Ratna dengan bernafsu. Rasanya terlalu sayang untuk dilewatkan tawaran gadis belia yang cantik ini. Bayang bayang kehangatan saat menggumuli tubuhnya yang ranum dan kenikmatan yang akan kuperoleh. Sebuah kesempatan yang tidak mungkin aku sia siakan begitu saja.

Benar kata pepatah, jangan berduaan dengan yang bukan muhrimnya, pasti yang ketiga itu setan. Setan yang berpesta di dalam api birahiku yang bergejopak. Tanganku meraba payudara Ratna yang masih bisa terus berkembang. Payudara yang masih mengkal tapi tidak mengurangi kenikmatannya.

"A Ujang janji akan membawa Ratna keluar dari rumah ini?" Ratna menatapku penuh harap. Mata yang sperti ketakutan. Entah apa yang membuatnya takut sehingga ingin keluar dari rumah ini?

Aku hanya mengangguk. Anggukan yang terasa begitu berat karana ada sebuah tanggung jawab besar yang harus aku piku,l sedangkan masalahku sudah sangat bertumpuk dan sekarang bebanku bertambah, dengan kehadiran Ratna.

Ratna kembali mencium bibirku, tanganku dibiarkannya tetap hinggap di payudaranya.

"Ratna mau jadi istri A Ujang..." kata Ratna membuatku terkejut. Sebentar lagi aku akan menikahi Lilis, kalau aku menikahi Ratna juga berarti istriku menjadi tiga. Berat, bagaimana caranya mengatur waktu dengan tiga orang istri.

"Maukan A Ujang menikahi Ratna?" tanya Ratna meminta jawaban dariku. Jawaban yang sangat sulit aku ucapkan. Bagaimana kalau aku menolak untuk menikahinya?

Bersambung....
 
biarpun udah pernah baca tetep bikin ngecrit dah..
fokus bacanya jadi ke tehlilis..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd