satria73
Calon Suhu Semprot
- Daftar
- 12 Nov 2017
- Post
- 2.563
- Like diterima
- 6.748
Chapter 24 : Menjebak Lastri
Kami segera memakai pakaian dengan tergesa gesa sebelum suami Mbak Heny curiga, persoalannya akan menjadi semakin rumi. Rupanya pengalaman selama menjadi PSK sangat berharga buat Lastri, hampir bersamaan kami sudah berpakaian lengkap. Lastri tidak perlu merapikan rambutnya yang panjang terkuncir.
Lastri membuka pintu sementara aku duduk. Seorang pria yang belum pernah aku lihat masuk dengan diikuti oleh dua pria lainnya yang bertampang menakutkan seperti yang sering aku lihat pada penampilan preman pasa
Pria yang disapa mas oleh Lastri mengajakku bersalaman, aku segara bangun menyambut uluran tangannya. Kepalan tangannya sangat keras seolang ingin mematahkan telapak tanganku. Aku bukan pria lemah, aku semakin menguatkan genggaman tanganku. Belum sempat aku menyadari situasi yang terjadis salah seorang dari dua pria yang datang bersama suami Mbak heny tiba tiba melayangkan tinjunya ke arah wajahku.
Belum sempat aku menghindar, seseorang menarik pria yang sedang meninjuku sehingga tubuhnya terjungkal ke belakang, sekilas aku melihat temannyapun ternyata sudah jatuh terkena oleh pukulan orang yang baru saja datang.
Pria yang mengaku suami Mbak Heny menoleh ke arah teman temannya yang bergelimpangan dilantai, kesempatan yang tidak kusia siakan, kepalanku menghantam hidungnya membuatnya terjungkal ke belakang.
Ternyata orang yang melumpuhkan ke dua temannya suami Mbak Heny adalah Mang Udin. Aku benar benar terkejut dengan kehadiran Mang Udin yang tidak kusangka sangka dan semakin terkejut saat Lilis tiba tiba masuk. Baru aku mengerti ternyata Lilis mengikutiku diam diam.
"Kamu mau bilang apa lagi, Las?" tanya Lilis dingin menatap ke arah Lastri yang berdiri ketakutan.
"Kamu mau ngejebak A Ujang lagi? Siapa sebenarnya yang menyuruh kamu?" Lilis kembali berkata mendekati Lastri yang mundur ketakutan.
Aku benar benar tidak pernah menduga Lilis sengaja membututiku langsung dengan Mang Udin. Wanita seperti apa sebenarnya calon istriku ini? Semuanya serba di luar perkiaraanku. Dia bisa melakukan apa saja tanpa dapat kutebak. Wanita yang sangat menakutkan.
"Tenang dulu, Lis!" Mang Udin seperti berusaha meredakan kemarahan Lilis yang terlihat jelas dari wajahnya.
"Siapa mereka?" Lilis menunjuk ke para pria yang bergelimpangan di lantai tidak berkutik.
"Mereka anak buah, Pak Gobang..!" kata Lastri tidak berani menatap wajah Lilis.
"Gobang sudah mati..!" bentak Lilis, belum pernah aku melihat Lilis semarah ini.
"Kami benar benar anak buah Kang Gobang...!" tiba tiba orang yang diakui sebagai suami Mbak Heny ikut bicara.
"Ngomong yang benar!" Mang Udin berkata sambil menginjak leher orang itu. Sebuah ancaman yang tidak main main.
"Kami disuruh mencari brankas berisi emas...!" ahirnya orang itu menyerah.
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Mang Udin lagi.
Aku hanya menjadi penonton yang melihat semua adegan itu dengan tanda tanya besar.
"Kang Japra..!" orang yang mengaku sebagai suami Mbak Heny ahirnya membuka mulut.
"Kenapa kalian mengincar Ujang?" tanya Lilis tanpa berpaling dari Lastri, karena bisa saja Lastri mengambil kesempatan saat dirinya lengah dan itu sangat membahayakan jiwa dan kandungannya.
"Karena Kang Japra menyangka Jalu tau di mana emas itu berada." orang itu terlihat sangat ketakutan.
"Bukankah kalian sudah membaca surat ini?" Lilis melemparkan surat dari ayahku yang tadi aku berikan ke Lilis. Berikan surat ini ke orang yang sudah menyuruh kalian.." seperti sebuah perintah, Mang Udin mengangkat kakinya dari leher orang itu.
Orang itu segera berdiri, namun terlihat bingung melihat ke dua temannya yang pingsan.
"Barudak, bawa dua begundal ini keluar." Mang Udin berkata nyaring dan muncullah 4 orang yang aku kenal sebagai anak buah Mang Karta. Mereka langsung mengangkat dua begundal yang tergeletak pingsan karena pukulan Mang Udin yang mengenai bagian vital mereka.
"Kamu tetap kerja sama orang itu, laporkan apa yang A Ujang kerjakan. Dan kamu juga harus melaporkan ke aku apa yang mereka perintahkan ke kamu. Kamu mengerti!" kata Lilis tegas membuatku heran. Bagaimana mungkin Lilis justru menyuruh melaporkan semua yang aku lakukan ke orang yang berusaha mencelakaiku. Sebelum aku bertanya, Lilis mengajak kami pulang meninggalkan Lastri yang belum menyanggupi perintah Lilis.
Mang Udin tidak banyak bicar, dia hanya memberiku isyararat agar mengikuti rencana Lilis. Terlihat sekali Mang Udin sangat mempercayai Lilis keponakannya. Sehingga dia tidak bertanya dengan semua instruksi Lilis yang menurutku janggal.
Di luar rumah kontrakan ternyata sudah sangat banyak orang yang menonton dan salah satunya ternyata ketua RT yang segera menghampiri Mang Udin yang penampilannya sekarang lebih rapi dan wajahnya klimis. Brewok dan kuminya sudah dicukur habis bahkan potongan rambutnya cepak tidak ubahnya seperti seorang aparat kepolisian.
"Bagaimana Pak, sekarang sudah amankan?" tanya ketua RT ke Mang Udin yanv segera menyalaminya.
"Semua sudah bisa kami atasi, terduga yang akan memperkosa saudari Lastri sudah berhasil kami tangkap. Terimakasih atas partisipasi masyarakat sini, kami pihak kepolisian mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar besarnga." kata Mang Udin seraya berpamitan.
Pintar sekali Mang Udin berpura pura sebagai polisi sehingga masyarakat tidak terpancing berbuat anarkis. Aku segera menuntun motor ke tempat parkir mobil karena Lilis menolak untuk kubonceng karena takut. Di samping mobil yang terparkir ternyata sudah menunggu 4 orang yang lagi lagi aku kenal sebagai anak buah Mang Karta, ke empat orang itu memakai dua buah motor.
Lilis dan Mang Udin naik ke dalam mobil, aku mengikuti dari belakang dan dua motor lainnya berada di belakangku. Posisi ini seperti dibuat untuk melindungiku dari ancaman yang tiba tiba.
*****
"Kenapa Lilis menyuruh Lastri melaporkan kegiatan kita ke orang itu?" tanyaku heran saat kami sudah berada di dalam ruang kerja kami berdua. Ya kamar bekas mendiang Pak Budi kami jadikan sebagai ruang kerja bersama.
"Biar kita bisa saling mengawasi, minimal kita bisa menebak apa yang mereka rencanakan." Lilis terlihat tenang, seolah itu adalah hal paling benar yang harus dilakukannya.
"Berarti Lilis nyuruh A Ujang nganter Lastri adalah untuk menjebak Lastri?" tanyaku mulai mengerti apa yang diinginkannya.
"Benar, A Ujang sayang. Apapun akan Lilis lakukan untuk menyelamatkan A Ujang dari bahaya. Makanya Lilis nelpon Mang Karta untuk mengirim orang orangnya untuk mengikuti A Ujang saat nganter Lastri tadi. Setelah A Ujang berangkat, Lilis dan Mang Udin nyusul." Lilis tersenyum dan duduk di pangkuanku. Wajahnya yang cantik sangat dekat dengan wajahku sehingga aku bisa merasakan nafasnya yang halus dan terasa hangat.
"Lilis tahu apa yang A Ujang lakukan dengan Lastri?" tanyaku dengan jantung berdebar kencang.
"Cukup kita yang tahu, jangan sampai Ningsih tahu. Selama A Ujang tidak pernah meninggalkan kami, Lilis tidak masalah." Lilis mencium bibirku dengan mesra. Tidak ada rasa jijik padahal dia tahu bibirku sudah mencumbu Lastri.
"Kenapa surat itu Lilis kasih ke orang itu?" tanyaku semakin penasaran dengan strategi yang begitu asing untukku.
"Karena surat itu sudah mereka buka sebelum diberikan ke A Ujang. Makanya Lilis yakin Lastri sudah berhianat." Lilis menjawab begitu tenang.
"Dari mana Lilis tahu amplop itu sudah dibuka?" aku tidak melihat kelainan pada surat yang aku terima. Di amplop ada tulisan untuk anakku dan aku yakin itu tulisan ayahku. Amplop itu masih dalam keadaan dilem.
"Dari lem pada amplop, itu bukan bawaan lem di amplop. Karena sebelumnya amplop itu sudah dibuka, maka mereka lem lagi dengan lem kertas. Bekas lemnya agak tebal dan ada bekas sobekan kertas yang menumpuk." kata Lilis menjelaskan. Sungguh analisa yang sangat menakjubkan.
"Lalu kenapa ayah Gobang menitipkan surat itu ke Lastri? Padahal dia bisa memberikanya dengan cara yang lebih cepat.?" Lilis bertanya kepadaku. Aku berusaha berpikir dan menemukan jawabannya. Tapi aku tidak bisa menganalisanya. Ahirnya aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Pertama, agar surat itu dibaca oleh orang yang menghianatinya.
Kedua, agar orang orang itu tahu bahwa A Ujang tidak tahu menahu tentang brankas berisi emas dan berkas yang mereka cari. Dengan kata lain, mereka tidak akan mengincar atau mencelakai A Ujang
Ketiga, untuk memberi petunjuk di mana berkas itu berada." Lilis menerangkan semuanya dengan segala analisa yang menurutku sangat luar biasa.
"Tapi orang yang kita hadapi tidak bodoh, dia sangat cerdas. Makanya kita butuh seseorang untuk mengawasi rencana mereka dan orang itu adalah Lastri. Setiap kali mereka menyuruh Lastri melakukan sesuatu, kita bisa menerka rencana dan gerkan mereka." Lilis menyudahi keterangannya. Kali ini aku benar benar bertekuk lutut dengan semua strategi dan analisa Lilis.
"Kenapa kita tidak menyerang mereka? Anak buah Mang Karta cukup banyak, anak buah ayah yang sekarang menjaga kita juga ada dua pulih orang." tanyaku heran. Bukankah akan sangat mudah berhadapan langsung seperti dalam film film action, dengan seorang diri atau beberapa orang mereka bisa mengalahkan penjahat yang jumlahnya sangat banyak.
"Hihihi, A Ujang lucu..!" Lilis kembali mencium bibirku dengan mesra.
"Kok malah ketawa?" tanyaku merajuk. Kucubit hidung Lilis yang mancung dengan gemas.
"Yang kita hadapi adalah sebuah jaringan yang sudah ada sebelum A Ujang lahir. A Ujang tahu, betapa hebatnya ayah Gobang dan Pak Shomad? Mereka adalah jago legendaris yang sangat ditakuti di Jakarta. Tapi dalam satu tepukan, mereka tewas dengan mudah. A Ujang bisa lihat betapa hebatnya Mang Karta dan Mang Udin, tapi mereka bisa disingkirkan dengan mudah. Ini bukan film action yang biasa kita tonton." Kata Lilis dan kembali dia mencium bibirku.
Aku membalas ciuman Lilis dengan penuh perasaan. Sekarang aku benar benar takluk dengan kemampuan calon istriku ini. Tidak ada lagi keraguan di hatiku.
Tiba tiba telpon di meja kerja berdering kencang. Dengan malas malasan Lilis mengangkarnya.
"Hallo....." Lilis terlihat serius mendengarkan si penelpon. Lalu menutupnya tanpa bersuara.
"Anak gadis Codet, Rani dan Rini hilang dari markas..!" kata Lilis membuatku kaget.
Bersambung....
Kami segera memakai pakaian dengan tergesa gesa sebelum suami Mbak Heny curiga, persoalannya akan menjadi semakin rumi. Rupanya pengalaman selama menjadi PSK sangat berharga buat Lastri, hampir bersamaan kami sudah berpakaian lengkap. Lastri tidak perlu merapikan rambutnya yang panjang terkuncir.
Lastri membuka pintu sementara aku duduk. Seorang pria yang belum pernah aku lihat masuk dengan diikuti oleh dua pria lainnya yang bertampang menakutkan seperti yang sering aku lihat pada penampilan preman pasa
Pria yang disapa mas oleh Lastri mengajakku bersalaman, aku segara bangun menyambut uluran tangannya. Kepalan tangannya sangat keras seolang ingin mematahkan telapak tanganku. Aku bukan pria lemah, aku semakin menguatkan genggaman tanganku. Belum sempat aku menyadari situasi yang terjadis salah seorang dari dua pria yang datang bersama suami Mbak heny tiba tiba melayangkan tinjunya ke arah wajahku.
Belum sempat aku menghindar, seseorang menarik pria yang sedang meninjuku sehingga tubuhnya terjungkal ke belakang, sekilas aku melihat temannyapun ternyata sudah jatuh terkena oleh pukulan orang yang baru saja datang.
Pria yang mengaku suami Mbak Heny menoleh ke arah teman temannya yang bergelimpangan dilantai, kesempatan yang tidak kusia siakan, kepalanku menghantam hidungnya membuatnya terjungkal ke belakang.
Ternyata orang yang melumpuhkan ke dua temannya suami Mbak Heny adalah Mang Udin. Aku benar benar terkejut dengan kehadiran Mang Udin yang tidak kusangka sangka dan semakin terkejut saat Lilis tiba tiba masuk. Baru aku mengerti ternyata Lilis mengikutiku diam diam.
"Kamu mau bilang apa lagi, Las?" tanya Lilis dingin menatap ke arah Lastri yang berdiri ketakutan.
"Kamu mau ngejebak A Ujang lagi? Siapa sebenarnya yang menyuruh kamu?" Lilis kembali berkata mendekati Lastri yang mundur ketakutan.
Aku benar benar tidak pernah menduga Lilis sengaja membututiku langsung dengan Mang Udin. Wanita seperti apa sebenarnya calon istriku ini? Semuanya serba di luar perkiaraanku. Dia bisa melakukan apa saja tanpa dapat kutebak. Wanita yang sangat menakutkan.
"Tenang dulu, Lis!" Mang Udin seperti berusaha meredakan kemarahan Lilis yang terlihat jelas dari wajahnya.
"Siapa mereka?" Lilis menunjuk ke para pria yang bergelimpangan di lantai tidak berkutik.
"Mereka anak buah, Pak Gobang..!" kata Lastri tidak berani menatap wajah Lilis.
"Gobang sudah mati..!" bentak Lilis, belum pernah aku melihat Lilis semarah ini.
"Kami benar benar anak buah Kang Gobang...!" tiba tiba orang yang diakui sebagai suami Mbak Heny ikut bicara.
"Ngomong yang benar!" Mang Udin berkata sambil menginjak leher orang itu. Sebuah ancaman yang tidak main main.
"Kami disuruh mencari brankas berisi emas...!" ahirnya orang itu menyerah.
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Mang Udin lagi.
Aku hanya menjadi penonton yang melihat semua adegan itu dengan tanda tanya besar.
"Kang Japra..!" orang yang mengaku sebagai suami Mbak Heny ahirnya membuka mulut.
"Kenapa kalian mengincar Ujang?" tanya Lilis tanpa berpaling dari Lastri, karena bisa saja Lastri mengambil kesempatan saat dirinya lengah dan itu sangat membahayakan jiwa dan kandungannya.
"Karena Kang Japra menyangka Jalu tau di mana emas itu berada." orang itu terlihat sangat ketakutan.
"Bukankah kalian sudah membaca surat ini?" Lilis melemparkan surat dari ayahku yang tadi aku berikan ke Lilis. Berikan surat ini ke orang yang sudah menyuruh kalian.." seperti sebuah perintah, Mang Udin mengangkat kakinya dari leher orang itu.
Orang itu segera berdiri, namun terlihat bingung melihat ke dua temannya yang pingsan.
"Barudak, bawa dua begundal ini keluar." Mang Udin berkata nyaring dan muncullah 4 orang yang aku kenal sebagai anak buah Mang Karta. Mereka langsung mengangkat dua begundal yang tergeletak pingsan karena pukulan Mang Udin yang mengenai bagian vital mereka.
"Kamu tetap kerja sama orang itu, laporkan apa yang A Ujang kerjakan. Dan kamu juga harus melaporkan ke aku apa yang mereka perintahkan ke kamu. Kamu mengerti!" kata Lilis tegas membuatku heran. Bagaimana mungkin Lilis justru menyuruh melaporkan semua yang aku lakukan ke orang yang berusaha mencelakaiku. Sebelum aku bertanya, Lilis mengajak kami pulang meninggalkan Lastri yang belum menyanggupi perintah Lilis.
Mang Udin tidak banyak bicar, dia hanya memberiku isyararat agar mengikuti rencana Lilis. Terlihat sekali Mang Udin sangat mempercayai Lilis keponakannya. Sehingga dia tidak bertanya dengan semua instruksi Lilis yang menurutku janggal.
Di luar rumah kontrakan ternyata sudah sangat banyak orang yang menonton dan salah satunya ternyata ketua RT yang segera menghampiri Mang Udin yang penampilannya sekarang lebih rapi dan wajahnya klimis. Brewok dan kuminya sudah dicukur habis bahkan potongan rambutnya cepak tidak ubahnya seperti seorang aparat kepolisian.
"Bagaimana Pak, sekarang sudah amankan?" tanya ketua RT ke Mang Udin yanv segera menyalaminya.
"Semua sudah bisa kami atasi, terduga yang akan memperkosa saudari Lastri sudah berhasil kami tangkap. Terimakasih atas partisipasi masyarakat sini, kami pihak kepolisian mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar besarnga." kata Mang Udin seraya berpamitan.
Pintar sekali Mang Udin berpura pura sebagai polisi sehingga masyarakat tidak terpancing berbuat anarkis. Aku segera menuntun motor ke tempat parkir mobil karena Lilis menolak untuk kubonceng karena takut. Di samping mobil yang terparkir ternyata sudah menunggu 4 orang yang lagi lagi aku kenal sebagai anak buah Mang Karta, ke empat orang itu memakai dua buah motor.
Lilis dan Mang Udin naik ke dalam mobil, aku mengikuti dari belakang dan dua motor lainnya berada di belakangku. Posisi ini seperti dibuat untuk melindungiku dari ancaman yang tiba tiba.
*****
"Kenapa Lilis menyuruh Lastri melaporkan kegiatan kita ke orang itu?" tanyaku heran saat kami sudah berada di dalam ruang kerja kami berdua. Ya kamar bekas mendiang Pak Budi kami jadikan sebagai ruang kerja bersama.
"Biar kita bisa saling mengawasi, minimal kita bisa menebak apa yang mereka rencanakan." Lilis terlihat tenang, seolah itu adalah hal paling benar yang harus dilakukannya.
"Berarti Lilis nyuruh A Ujang nganter Lastri adalah untuk menjebak Lastri?" tanyaku mulai mengerti apa yang diinginkannya.
"Benar, A Ujang sayang. Apapun akan Lilis lakukan untuk menyelamatkan A Ujang dari bahaya. Makanya Lilis nelpon Mang Karta untuk mengirim orang orangnya untuk mengikuti A Ujang saat nganter Lastri tadi. Setelah A Ujang berangkat, Lilis dan Mang Udin nyusul." Lilis tersenyum dan duduk di pangkuanku. Wajahnya yang cantik sangat dekat dengan wajahku sehingga aku bisa merasakan nafasnya yang halus dan terasa hangat.
"Lilis tahu apa yang A Ujang lakukan dengan Lastri?" tanyaku dengan jantung berdebar kencang.
"Cukup kita yang tahu, jangan sampai Ningsih tahu. Selama A Ujang tidak pernah meninggalkan kami, Lilis tidak masalah." Lilis mencium bibirku dengan mesra. Tidak ada rasa jijik padahal dia tahu bibirku sudah mencumbu Lastri.
"Kenapa surat itu Lilis kasih ke orang itu?" tanyaku semakin penasaran dengan strategi yang begitu asing untukku.
"Karena surat itu sudah mereka buka sebelum diberikan ke A Ujang. Makanya Lilis yakin Lastri sudah berhianat." Lilis menjawab begitu tenang.
"Dari mana Lilis tahu amplop itu sudah dibuka?" aku tidak melihat kelainan pada surat yang aku terima. Di amplop ada tulisan untuk anakku dan aku yakin itu tulisan ayahku. Amplop itu masih dalam keadaan dilem.
"Dari lem pada amplop, itu bukan bawaan lem di amplop. Karena sebelumnya amplop itu sudah dibuka, maka mereka lem lagi dengan lem kertas. Bekas lemnya agak tebal dan ada bekas sobekan kertas yang menumpuk." kata Lilis menjelaskan. Sungguh analisa yang sangat menakjubkan.
"Lalu kenapa ayah Gobang menitipkan surat itu ke Lastri? Padahal dia bisa memberikanya dengan cara yang lebih cepat.?" Lilis bertanya kepadaku. Aku berusaha berpikir dan menemukan jawabannya. Tapi aku tidak bisa menganalisanya. Ahirnya aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Pertama, agar surat itu dibaca oleh orang yang menghianatinya.
Kedua, agar orang orang itu tahu bahwa A Ujang tidak tahu menahu tentang brankas berisi emas dan berkas yang mereka cari. Dengan kata lain, mereka tidak akan mengincar atau mencelakai A Ujang
Ketiga, untuk memberi petunjuk di mana berkas itu berada." Lilis menerangkan semuanya dengan segala analisa yang menurutku sangat luar biasa.
"Tapi orang yang kita hadapi tidak bodoh, dia sangat cerdas. Makanya kita butuh seseorang untuk mengawasi rencana mereka dan orang itu adalah Lastri. Setiap kali mereka menyuruh Lastri melakukan sesuatu, kita bisa menerka rencana dan gerkan mereka." Lilis menyudahi keterangannya. Kali ini aku benar benar bertekuk lutut dengan semua strategi dan analisa Lilis.
"Kenapa kita tidak menyerang mereka? Anak buah Mang Karta cukup banyak, anak buah ayah yang sekarang menjaga kita juga ada dua pulih orang." tanyaku heran. Bukankah akan sangat mudah berhadapan langsung seperti dalam film film action, dengan seorang diri atau beberapa orang mereka bisa mengalahkan penjahat yang jumlahnya sangat banyak.
"Hihihi, A Ujang lucu..!" Lilis kembali mencium bibirku dengan mesra.
"Kok malah ketawa?" tanyaku merajuk. Kucubit hidung Lilis yang mancung dengan gemas.
"Yang kita hadapi adalah sebuah jaringan yang sudah ada sebelum A Ujang lahir. A Ujang tahu, betapa hebatnya ayah Gobang dan Pak Shomad? Mereka adalah jago legendaris yang sangat ditakuti di Jakarta. Tapi dalam satu tepukan, mereka tewas dengan mudah. A Ujang bisa lihat betapa hebatnya Mang Karta dan Mang Udin, tapi mereka bisa disingkirkan dengan mudah. Ini bukan film action yang biasa kita tonton." Kata Lilis dan kembali dia mencium bibirku.
Aku membalas ciuman Lilis dengan penuh perasaan. Sekarang aku benar benar takluk dengan kemampuan calon istriku ini. Tidak ada lagi keraguan di hatiku.
Tiba tiba telpon di meja kerja berdering kencang. Dengan malas malasan Lilis mengangkarnya.
"Hallo....." Lilis terlihat serius mendengarkan si penelpon. Lalu menutupnya tanpa bersuara.
"Anak gadis Codet, Rani dan Rini hilang dari markas..!" kata Lilis membuatku kaget.
Bersambung....