Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

Bimabet
Chalter 8 : Musuh Dalam Selimut

Perutku memang sudah lapar, dalam sekejap makanan yang disajikan pindah ke dalam perutku. Marni begitu telaten melayaniku di kamar. Walau aku agak risih dengan kehadirannya, bagaimana kalau suaminya tiba tiba datang. Bukankah itu akan menimbulkan masalah baru lagi.

"Si dede kok kamu tinggal?" tanyaku heran melihat Marni.

"Untuk sementara ibu yang jagain Dede sampai ritual kita selesai." kata Marni tersenyum manis.

"Susunya?" tanyaku. Bagaimana kalau anaknya yang baru berumur beberapa bulan mau menyusu? Tadi juga aku mendengar tangisan anaknya.

"Pake susu Marni yang disedot pake alatnya. Terus di simpen di botol." kata Marni.

"Rasanya tetap beda. Nanti kalau suami kamu tiba tiba dateng bagaimana?" kalau suaminya datang, bisa bisa akan terjadi keributan besar. Lagi pula sekarang aku ingin sendiri melihat isi brankas yang sempat membuatku terkejut. Ahirnya Marni mau meninggalkanku sendiri di kamar.

Aku membuka isi brankas yang isinya beberapa emas batangan. Setelah aku hitung jumlahnya ada 20 batang. Miris sekali ayahku meninggalkan kami dalam kehidupan sederhana sementara dia mempunyai harta yang cukup besar. Satu emas batangan beratnya kuperkirakan satu kilo, berarti ada 20 kilogram emas batangan dalam brankas ini. Cukup untuk bisa hidup mewah keluargaku di kampung.

Aku tidak memperhatikan tumpukan kertas yang entah apa isinya. Bisa jadi adalah surat surat berharga, tapi untuk apa? Semua yang ada di dalam berankas ini sudah tidak berguna lagi. Aku tidak membutuhkannya lagi.

Ibuku yang membutuhkannya saat kami masih kecil dan biaya untuk membesarkan kami dan biaya pendidikan kami. Sekarang aku sudah dewasa dan bisa mencari uang sendiri.

Bagiku ayahku hanyalah pecundang meninggalkan kami dalam keadaan pas pasan. Tidak ada tanah yang bisa digarap untuk kehidupan kami waktu itu. Sehingga kami sangat tergantung dengan kiran uang dari Mang Karta dan Bi Narsih setiap bulannya, sementara dia hidup bermewahan di sini. Hidup sebagai raja kecil yang selalu dilayani para pelayannya. Ironis, sungguh ironis. Aku benar benar semakin membencinya.

Tiba tiba aku melihat sebuah kunci kecil terselip di antara emas batangan. Aku mengambilnya. Kunci apa pula ini.? Mungkin ini kunci untuk membuka kotak besi yang diberikan Pak Tris?

Aku mengambil kotak besi dari dalam ranselku. Ternyata benar ini kuncinya. Kotak besi terbuka dengan mudahnya. Isinya hanyalah tumpukan surat yang ditujukan untuk ibuku. Surat yang sudah tidak ada gunanya. Aku lebih suka ibuku menikah dengan Mang Udin dari pada harus kembali kepada orang pengecut yang meninggalkan tanggung jawabnya.

Aku masukkan kotak besi itu ke dalam brankas lalu aku menutupnya kembali. Aku sudah tidak perduli lagi dengan isi brankas yang menurutku tidak ada gunanya sama sekali.

Aku keluar kamar yang menjadi memuakkan bagiku. Kamar yang membuatku semakin muak dengan kelakuan ayahku yang sangat pengecut. Lalu untuk apa dia menyuruhku ke Gunung Kemukus? Untuk membuatku semakin membencinya.

"Mau ke mana, Mas? Kok bawa ransel?" tanya Marni heran melihatku keluar membawa ransel.

"Pindah ke kamar depan aja, lebih enak." kataku sambil berjalan ke kamar depan tidak menghiraukan Marni yang menatapku heran.

Aku meletakkan ranselku di atas meja kecil di kamar depan. Kamar ini tidak semewah kamar ayahku, lebih mengingatkanku dengan kamar di kampungku dulu. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur yang kapungnya sudah mengeras. Nikmat sekali rasanya.

Apa Bu dhea tahu tentang isi brankas itu? Entahlah, emas batangan itu tidak menarik bagiku. Justru kebencianku terhadap ayahku semakin menghebat. Harusnya Bu Dhea membiarkan orang orang yang membuntutiku menekan emas itu dan me4eka boleh menggunakannya semau mereka suka.

Aku benar benar lelah fisik dan juga lelah psikis. Mataku terpejam dan secara perlahan kesadaranku berkurang dan semakin hilang.

*******

"Kamu sudah menemukan emas berisi brankas itu?" tanya Bu Dhea tidak memberiku kesempatan untuk sadar sepenuhnya setelah lelap tertidur.

Aku menggeleng lemah berusaha mengumpulkan segenap kesadaranku. Tadi aku tertidur di kamar depan. Sejak kapan Bu Dhea berada di sini? Kapan dia datang?

"Kamu bisa memiliki semua emas itu. Juga emas yang lainnya dengan syarat kamj haruz melepaskan posisimu di Club malam yang saat ini kamu pegang." Bu Dhea kembali bicara saat kesadaranku masih mengambang.

Aku seperti ssdang mabuk. Perasaan ini sama seperti yang kurasakan saat menelan pil BO. Pil yang membuatku kehilangan kontrol pada pikiranku sendiri. Apa mungkin makanan yang aku makan mengandung pil yang memabukkan itu? Tapi pil itu akan membuatku menjadi agresif. Pil yang pernah aku makan karena dipaksa oleh teman temanku. Pil yang habya sekali seumur hidupku merasakannya.

Tapi untuk apa Bu Dhea membuatku kehilangan setengah kesadaranku hanya untuk memintaku menyerahkan posisiku di Club malam? Aku akan menyerahkan dengan sukarela. Aku akan dengan senang hati menyerahkannya kepada yang mau menerimanya.

Mungkin dengan memberikan posisiku, kehidupanku yang tenang akan kembali lagi. Hidup normal dengan keluargaku. Setiap pagi berangkat ke kios dan sorenya aku pulang ke rumah. Becanda dan bermesraan dengan istriku tercinta.

Aneh, kalau saat ini aku sedang mabuk, kenapa aku masih bisa berpikir? Sebenarnya apa yang mereka berikan keppadaku. Aku menatap mata Bu Dhea mencari tau penyebab aku seperti setengah sadar.

Ahirnya kesadaranku pulih, aku duduk menatap Bu Dhea dengan perasaan aneh. Ternyata ada pria lain di dalam kamar. Pria berpenampilan rapi yang berdiri di samping Bu Dhea dengan membawa koper hitam. Pria itu memberikan sebuah map besar yang berisi berkas berkas yang tidak kutahu isinya.

Bu Dhea menerima berkas itu, membacanya sebentar lalu memberikannya kepadaku di tempat yang harus aku tanda tangani.

"Tanda tangan di sini, Kang!" kata Bu Dhea, senyumnya terlihat licik.

Kenapa harus ke sini hanya untuk menanda tangani sebuah berkas. Bukankah bisa dilakukan di Jakarta atau Bogor. Kenapa harus jauh jauh di Gunung Kemukus. Hanya membuang waktu dan tenaga. Apa maksud semuanya

Aku membaca berkas itu, intinya aku menyerahkan posisiku sebagai pemilik seluruh Club malam ke UGAN, bukankah ini nama ayahku? Apa maksudnya menyuruhku menyerahkan Club malam ke ayahku sendiri. Ini kejadian gila yang tidak terpikir olehku.

"Kenapa harus menyerahkan semuanya ke dia? " suaraku bergetar menahan kemarahan.

"Bukan menyerahkan secara cuma cuma, Kang. Kang Gobang membeli semua Club yang Kang Ujang miliki dengan 20 kilogram emas dalam brankas. Jumlah yang cukup besar. Dan akan ada penambahan uang yang akan Kang Gobang berikan sebagai kompensasi pembelian ini." kata Bu Dhea terlihat tenang menghadapi kemarahanku.

Aku tidak menjawab, aku sudah muak melihat wajah cantik Bu Dhea. Dia tidak lebih dari musang berbulu domba. Aku segera menanda tangani semua berkas yang disodorkan tanpa membacanya lagi.

"Sudah aku tanda tangani, kalian boleh pergi." kataku mengusir wanita yang kuanggap sebagai serigala berbulu domba.

Aku tidak menggubris saat Bu Dhea dan pria perlente itu mengajakku bersalaman dan pamitan. Aku menarik nafas lega ketika ke dua orang itu pergi meninggalkan kamarku. Terdengar mereka berpamitan ke Pak Tris dan istrinya.

Tidak lama setelah ke dua orang itu pergi, Pak Tris masuk kamar. Entah kenapa aku tidak bisa menyalahkan pria tua yang begitu setia. Kehidupannya pasti lurus, tidak mungkin dia terlibat dengan ini semua.

"Maafin Pak Tris, Kang. Pak Tris gak bisa membantu." katanya dengan perasaan bersalah.

"Pak Tris tidak salah. Tenang saja, Pak." kataku tersenyum berusaha menenangkan Pak Tris yang terlihat serba salah.

"Terimakasih, Kang." Pak Tris berpamitan kepadaki.

Begitu Pak Tris keluar, Marni masuk dengan membawa secangkir kopi dan makanan kecil has jawa. Bibirnya selalu tersenyum melihatku. Seolah sebuah kehormatan untuk bisa melayaniku selama aku berada di rumah ini.

"Mas Ujang gak kenapa kenapa?" tanyanya lembut. Matanya menatapku sayu.

"Gak apa apa, Mar." kataku tenang. Atau lebih tepatnya aku berusaha untuk tetap tenang. Mataku tertuju ke dada jumbo Marni yang terlihat tanpa BH karena putingnya terlihat membayang di balik dasternya. Entah kenapa aku langsung terangsang melihatnya.

Setelah kejadian tadi yang begitu mengejutkan, setidaknya aku butuh hiburan yang akan membuat sekujur tubuhku menjadi rileks dan lebih tenang sehingga aku bisa berpikir jernih. Dan satu satunya hiburan yang bisa membuatku rileks adalah kenikmatan yang tersimpan di tubuh Marni.

Aku menarik Marni ke dalam pelukanku. Bibirnya kucium dengan bernafsu dan Marni membalas dengan tidak kalah bernafsunya. Tanganku meremas dada jumbonya yang sangat menggiurkan.

"Jangan diremes terus, Mas. Sayang susunya keluar. Kan enakan diisep." kata Marni menarik tanganku dari dada jumbonya. Lalu dia membuka bajunya sehingg dada jumbonya terlihat menggodaku. Rupanya Marni juga tidak memakai celana dalam.

"Sini sayang, nyusu ke Bunda." kata Marni menggodaku. Tangannya membelai kepalaku lalu didekatkannya payudara jumbonya ke mulutku seperti seorang ibu yang akan menyusui anaknya yang menangis karena lapar.

Dengan rakus aku menghisap puting payudara Marni yang penuh oleh ASI. ASInya mengalir deras membasahi tenggorokanku. Rasa yang has dan pasti sangat disukai bayi dan aku adalah bayi raksasa yang dahaga.

Tanganku yang bebas menjamah memeknya yang agak kasar karena habis dicukur. Tadi jembut memeknya masih ada, sekarang sudah habis dicukur. Memek Marni ternyata sudah basah sehingga jariku dengan mudah menyusup masuk lobangnya.

"Anak Bunda nakal, nyusu sambil maenin memek..." Marni semakin menekan kepalaku ke dada jumbonya. Bibirnya mendesis nikmat merasakan jariku keluar masuk memeknya dan kadang mempermainkan itilnya.

Namun keasikan kami terganggu oleh kehadiran Pak Tris yang masuk tiba tiba ke dalam kamar. Wajahnya terlihat tegang sehingga lupa mengetuk pintu atau mungkin menganggap kamar depan ini bukanlah kamar yang disakralkan sehingga dia bisa masuk tanpa perlu mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Ma ma af, Kang, saya tidak tahu..!" Pak Tris terlihat kaget melihat kehadiran Marni yang sudah dalam keadaan bugil dan aku sedang menyusu di dada anaknya.

Marni terkejut, dia menyambar bajunya dan menutup tubuh bugilnya dari penglihatan ayahnya.

"Ada apa, Pak?" tanyaku berusaha mengatasi keadaan yang serba canggung di antara kami.

"Kami menangkap orang yang mengikuti Kang Ujang dari Bogor." kata Pak Tris tidak berani menatapku maupun menatap Marni. Wajahnya menunduk ketakutan atau lebih tepatnya merasa bersalah karena masuk kamar tanpa permisi.

Aku kaget Pak Tris menangkap orang yang mengikutiku. Siapa sebenarnya mereka? Apa benar mereka benar benar mengikutiku? Lalu untuk apa? Kenapa mereka tidak mengikuti Bu Dhea? Kenapa harus aku.

"Ada di mana, Pak?" tanyaku. Aku akan bertanya kenapa orang itu terus mengikuti hingga sejauh ini.

Pak Tris mengajakku ke luar, ke bangunan yang biasa digunakan sebagai dapur umum setiap kali ada acara. Aku melihat dua orang pria yang aku temui terikat di kursi di jaga oleh beberapa orang yang tidak aku kenal. Mereka pasti masyarakat sini. Melihat kehadiranku mereka segera menyalamiku dengan hormat.

Aku memperhatikan ke dua orang yang terikat di kursi. Ya benar, mereka orang yang aku lihat di Solo.

"Siapa kalian? Kenapa mengikutiku hingga ke sini?" aku bertanya dengan suara yang kubuat seseram mungkin. Padahal tanpa membuat suaraku seram, mereka saat ini pasti sedang ketakutan karena dalam keadaan terikat dan dikelilingi beberapa orang yang terlihat sangar.

"Kami disuruh buat ngikutin, Kang Ujang.." kata salah seorang di antara mereka yang mungkin sebagai pemimpinnya.

"Siapa yang menyuruh kalian?" suaraku berubah menjadi dingin. Pasti suruhan si Gobang, bahkan menyebutnya ayah sudah menjadi tabu buatku.

"Teh Lilis yang menyuruh kami mengikuti Kang Ujang." jawabannya sangat mengejutkan. Membuat nafasku seperti berhenti.

Bersambung.....

Apdet pendek Malam Jum'at Pon, semoga bisa menghibur para pembaca.
 
Chapter 9 : Dendam Masa Lalu

Lilis, sebegitunya dia mengawasi setiap gerak gerikku. Untuk apa? Kenapa dia mau mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mengawasiku.

"Kalian mengikutiku sejak di mana?" tanyaku memulai interogasi.

"Dari Bogor." jawab orang itu. Ada yang aneh dari raut wajahnya, tidak terlihat ketakutan. Dia berani menatapku, sorot matanya terlihat tenang. Ciri orang yang percaya diri dengan kemampuannya.

"Untuk apa kalian mengikutiku?" aku bertanya dengan nada setengah mengancam. Ancaman yang tidak terlalu berpengaruh buat kedua orang itu. Mereka tetap terlihat tenang.

"Kami tidak boleh mengatakannya. Lebih baik Kang Ujang tanyakan langsung." orang itu menjawab dengan tenang berbeda sekali dengan keadaan mereka yang terikat.

"Kalian tidak takut kami akan menyiksa kalian?" aku berusaha mengancam mereka walau aku tidak akan bisa memaksa mereka, apa lagi mereka adalah suruhan Lilis. Apa Ningsih juga tahu masalah ini?

"Kalian tahu siapa yang tadi datang menemuiku?" kalau benar mereka mengawasiku, tentu mereka tahu siapa yang datang menemuiku tadi sebelum mereka tertangkap.

"Bu Dhea bekas tangan. pak budi." kata pria itu terlihat semakin tenang. Dia pandai membaca situasi. Tidak ada ancaman dari nada suaraku maupun sorot mataku.

"Kenapa Lilis menyuruh kalian mengikutiku?" pertanyaan yang sangat kutakuti jawabannya. Bagaimana kalau Lilis terlibat dalam permainan ini?. 10 tahun menjadi istri Pak Budi, bukan hal yang mustahil kalau dia tahu seluk beluk bisnis haram almarhum suaminya. Itu terbukti dia bisa menangani bisnis toko dan agen Pak Budi dengan mudah.

"Untuk memastikan Kang Ujang selamat sampai tujuan dan kembali pulang ke rumah.

"Lepaskan mereka..!" kataku ke Pak Tris dan teman temanya karena aku menganggap mereka tudak berbahaya. Mereka bukan ancaman, aku percaya dengan Lilis. Dia mencintaiku dan tidak mungkin akan mencelakaiku. Walau aku tidak tahu kenapa harus diawasi. Wanita benar benar sulit dimengerti.

*******

Pov Gobang

Gobang menarik nafas lega begitu mendengar kabar dari Dhea bahwa dia sudah berhasil memaksa Jalu untuk menyerahkan semua aset Club malamnya ke tangannya. Artinya Jalu akan terbebas dari bencana untuk sementara waktu.

Memegang posisi yang ditinggalkan Pak Budi bukanlah pekerjaan mudah apa lagi untuk anak muda lugu yang belum tahu apa apa seperti Jalu anaknya. Gobang tidak perduli anaknya akan semakin membencinya. Tapi inilah satu satunya cara menyelamatkan anak anaknya.

Gobang tidak mau menyeret anaknya dalam pusaran dendam lama. Mereka tidak tahu apa apa. Satu satunya kesalahan yang telah menyeretnya dalam penderitaan panjang ini. Gobang tidak pernah menyangka Kardi adalah adik orang itu. Gobang telah menghancurkan rumah tangganya bahkan Gobang membunuhnya. Gobang telah membangunkan macam tidur yang akan memburu seumur hidupnya. Gobang tidak bisa terus bersembunyi dan menghindar lagi. Saatnya Gobang akan melakukan perang terbuka.

Gobang bersukur masih mempunyai sahabat setia Si Japra yang selama belasan tahun menemaninya di Gunung Kemukus. Japra ahli silat Beksi Betawi yang kemampuannya hampir setara dengannya. Entah kenapa di tidak pernah mau meninggalkan Gobang, karena dengan kemapuannya dia bisa menjadi Preman yang disegani.

Selain Japra Gobang juga mempunyai tangan kanan sekaligus gundik. Dia adalah mata dan telinganya di luar selama Gobang bersembunyi di Gunung Kemukus.

Masa lalunya yang kelam membuatnya merasa sangat berhutang budi pada Gobang dan sangat setia kepadanya. Pertama kali Gobang bertemu dengannya, Dhea adalah pelacur atau lebih tepatnya dijadikan pelacur oleh ayah kandungnya sendiri yang pemabuk dan juga seorang pejudi yang terlilit hutang. Gobang yang menyelamatkannya dari tempat pelacuran elit dan menjadikanya sebagai wanita yang sangat di takuti di dunia hitam.

"Kang, semua rencana sudah dijalankan. Posisi kita sudah semakin kuat." kata Japra yang tiba tiba saja sudah berdiri di depannya dan tanpa dipersilahkan dia duduk berhadapan dengan Gobang. Diambilnya sebatang rokok yang tergeletak di meja.

"Hanya ada satu kerikil yang sewaktu waktu bisa membuat kita terpeleset dari rencana yang sudah kita susun dengan matang." Japra menatap Gobang seakan menunggu perintah darinya.

"Lilis !" Gobang bergumam lirih. Wanita itu bisa menjadi kerikil yang terlihat tidak berbahaya namun bisa membuat langkah kaki terpeleset jatuh kalau menginjaknya.

******

Pov Lilis

Lilis tersenyum mendengar kabar dari orang kepercanyaanya bahwa Ujang telah selamat sampai Gunung Kemukus. Jauh dilubuk hatinya merasa sangat sakit orang yang dicintainya akan melakukan Ritual Sex di Gunung Kemukus. Tapi inilah akibat yang harus dia tanggung. Mungkin juga ini adalah karma paling menyakitkan yang harus ditanggungnya seumur hidup bersama dengan adik sepupunya Ningsih.

Penderitaan sudah sangat akrab dengan hidupnya sejak kecil. Lahir dari keluarga kurang mampu, Lilis terbiasa dengan penderitaan. Rasanya penderitaan yang sekarang dialaminya tidak ada apa apanya dibandingkan penderitaan selama sepuluh tahun menjadi istri seorang Gay/homo, dan selama sepuluh tahun yang berlalu, Pak Budi hanya menyetubuhinya 7 x. Itupun dalam keadaan mabuk dan minum viagra.

Setidaknya sekarang dia masih bisa merasakan kebahagiaan dengan orang yang dicintainya. Sebentar lagi orang itu akan menjadi suaminya dan juga ayah dari anak yang dikandungbya. Lilis mengusap perutnya yang semakin membesar. Bibirnya tersenyum bahagia. Senyum yang sempat hilang selama sepuluh tahun.

Matanya kembali tertuju ke isi brankas yang sekarang menjadi milik calon suaminya. "Dasar, sudah mau menjadi seorang ayah tapi masih tetap culun sehingga tidak menyadari petunjuk di dalam kotak kecil yang diberikan oleh ibunya.". Lilis tersenyum geli membayangkan sosok calon suaminya. Wajahnya yang tampan terlihat polos. Sepolos jalan hidupnya.

Kadang Lilis berpikir, kenapa bisa dia jatuh cinta kepada seorang penjual Mie Ayam yang usianya lebih muda darinya. Tapi cinta tidak memandang usia maupun strata sosial seseorang. Cinta hinggap tanpa kita sadari kapan dan di mana.

Lilis tersenyum sambil membaca buku Diary Pak Budi, dia harus mencari petunjuk siapa orang yang akan mencelakai calon suami dan orang yang paling dicintainya. Dis sedang berburu dengan waktu. Tiba tiba Lilis melihat sebuah nomer telpon dengan kode area (0272) XXXXX kode area mana dia tidak mengetahuinya.

Lilis segera membuka buku telpon, mencari kode area 0272, itu kode dirindukannya.

Lilis jalan ke ruang tamu, meraih telpon dan menekan nomer yang tertera di buku Diary Pak Budi. Agak lama dia menunggu telpon diangkat dari seberang sana.

" Hallo..! Hallo..! Hallo..! "Suara yang sangat dikenalnya. Suara Ujang yang selalu dirindukannya

******

Ahirnya aku kembali pindah ke kamar ayahku. Tidak ada pilihan lain, ke dua orang pengintaiku tidur di kamar depan. Ini pilihan paling rasional menurutku. Dari pada mereka mengikuti dari kejauhan membuatku tidak merasa nyaman.

"Kalian boleh bermalam.di sini dekat denganku. Tapi berjanjilah untuk tidak menceritakan tentang ritualku dengan...." aku tidak meneruskan perkataanku melihat kedatangan Marni dengan membawa nampan berisi 3 gelas kopi yang langsung diletakkan di meja ruang tamu.

"Tenang saja Kang, tugas kami hanya memastikan Kang Ujang tetap selamat, masalah Kang Ujang ritual itu bukan urusan kami." kata pria yang memperkenalkan dirinya bernama Andi dan Joni. Entah nama asli atau bukan, itu bukan urusanku juga.

Setelah berbasa basi sebentar. Aku kembali membawa ranselku ke kamar ayahku. Sesaat aku ragu memasuki kamar. Kamar seorang pengecut yang telah menelantarkan anak dan istrinya. Aku menarik nafas panjang memenuhi rongga dadaku, menenangkan jiwaku yang terguncang. Perlahan aku membuka pintu yang terasa berat.

"Kenapa, Mas?" Marni bertanya heran melihatku yang berdiri di depan kamar yang sudah terbuka.

Aku tidak menjawab. Langkahku terasa sangat berat untuk melangkah memasuki kamar si pengecut Gobang. Kamar mewah dipenuhi ornamen ukiran kayu jati. Bahkan ranjangnya yang besar, tiang tiangnya berukir. Benar benar seperti kamar seorang Pangeran yang hidup dalam kemewahan masa lalu.

Ahirnya aku bisa memasuki kamar si pengecut, keringat dinginku mengalir deras hingga membasahi baju yang kupakai. Aku segera menghempaskan pantatku ke atas kasur yang selalu terjaga kebersihannya. Lega rasanya bisa memasuki kamar yang sangat aku benci ini. Bukan kamarnya yang aku benci, tapi bekas pemilik kamar ini.

Marni menghampiriku yang terlijat pucat dan basah oleh keringat dingin. Tangannya memegang sebuah kendi berukuran sedang. Kendi yang terlihat sudah tua. Marni memberikannya kepadaku.

"Minum dulu, Mas. Biar segar." kata Marni terlihat sangat hawatir dengan keadaanku.

"Gelasnya man?" tanyaku heran Marni memberiku minum tanpa gelas seperti biasa. Walau aku sering mendengar orang jawasudah biasa minum dari kendi langsung tanpa memakai gelas. Rasanya aneh kalau sekarang Marni memberiku kendi tanpa gelas.

"Pak Gobang paling senang minum air dari kendi langsung, rasanya lebih segar." jawaban dari Marni membuatku sangat terkejut, tanpa sadar kendi yang aku pegang terlepas jatuh dan hancur berkeping keping.

"Mas Ujang, kenapa?" Marni semakin terkejut melihat kondisiku yang terlihat sangat menghawatirkan sehingga tidak mampu memegang sebuah kendi yang langsung terjatuh.

Marni mendorong tubuhku agar berbaring di ranjang. Aku berusaha mengatur nafasku untuk mengendalikan diri dan jiwaku yang benar benar terguncang. Marni meraba dahiku yang sangat.dingin.

"Marni panggilin dokter, ya Mas?" tanpa menunggu jawabanku, Marni melangkah keluar.

Belum juga Marni keluar meninggalkan kamar, terdengar suara telpon yang entah berasal dari mana. Selama aku di sini, aku belum pernah melihat adanya telpon, bentuk maupun bunyinya. Tapi dari suaranya terdengar sangat dekat. Kembali suara telpo terdengar.

"Mas, tolong diangkat, telponnya ada di laci meja rias." kata Marni yang terpaku mendengar suara telpon yang hampir tidak pernah berbunyi. Sepertinya dia tidak pernah menerima telpon, terlihat dari wajahnya yang menjadi gugup dab tegang.

Aku segera membuka laci meja rias, ternyata relponnya disembunyikan di dalamnya, entah untuk apa. Aku mengangkatnya.

"Hallo!" mungkin yang menelpon si pengecut itu. Aku akan memaki maki atas perbuatannya terhadap kami. Tidak ada jawaban hingga tiga kali aku mengucapkan kata Hallo. Telpon malah ditutup tanpa kuketahui siapa yang menelponku. Aku meletakan gagang telpon pada tempatnya.

Baru saja aku meletakkan gagang telpon, membali berdering. Dengan jengkel aku mengangkatnya. Belum sempat aku mengucapkan hallo, terdengar suara berbicara.

"Katakan ke Gobang, dia akan merasakan bagaimana pedihnya melihat orang orang yang dicintainya mati bersimbah darah." klik, suara telpon yang ditutup dari seberang sana.

Bersambung......
 
Chapter 10 : Photo Dalam Brankas

Aku terpaku mendengar suara yang asing mengancam Gobang. Siapa yang dimaksud oleh orang itu? Apakah keluargaku?

Dan kenapa orang itu tahu bukan ayahku yang mengangkat telpon? Apakah dia juga sedang mengawasiku? Apakah orang yang baru saja kami tangkap bukanlah orang orang suruhan Lilis? Betapa bodohnya aku percaya begitu saja.

Marni menatapku cemas, dia terpaku melihatku tidak tahu harus melakukan apa. Tangannya terasa gemetar saat memegang pundakku. Aku heran, kenapa dia ikut cemas? Dia tidak tahu siapa yang menelpon dan orang itu bicarakan kepadaku.

Ach persetan dengan ancaman orang itu dan juga semua persoalan yang aku hadapi, sekarang sudah jam 5 sore, itu artinya menjelang malam jum'at Pon, malam yang disakralkan di sini. Aku harus konsentrasi ritual dengan Marni agar keluargaku terlindung dari orang yang berniat mencelakaiku.

Berpikir begitu, birahiku bangkit. Aku mengangkat Marni yang masih terlihat cemas. Aku merebahkan tubuhnya di atas ranjang berseprei putih. Tanpa meminta persetujuannya, aku menelanjangi wanita yang sedang menyusui ini. Tidak perlu tergesa gesa, aku ingin menikmati setiap lekuk tubuhnya yang indah. Aku ingin bisa memuaskan diri menghirup ASInya yang subur sebelum aku kembali ke Bogor.

Marni sedikit mengangkat tubuhnya saat aku meloloskan dasternya melewati kepala dan tubuhnya sudah bugil karena dia tidak memakai BH dan celana dalam.

Tanpa menunggu persetujuan Marni, aku membenamkan wajahku dibelahan memeknya yang tembem dan menggairahkan. Baunya dapat menyegarkan pikiranku dari semua masalah yang seakan membuat kepalaku mau pecah. Apa lagi bau memek Marni terasa alami tanpa bau sabun sirih yang biasa dipakai para wanita.

"Jangan, Mas.!" Marni berusaha mendorong kepalaku agar menjauh dari memeknya yang indah. Aku tidak perduli, tanganku membuka belahan memeknya dan lidahku menjilati belahan memeknya dengan rakus.

"Aduhhhhh, enak..!"Marni menyerah, membiarkanku semakin rakus menjilati memeknya yang semakin banjir. Pinggulnya bergerak naik mendorong wajahku semakin tenggelam di selangkangannya.

Marni berusaha bangkit menjauhi selangkangannya dari wajahku, tangannya berusaha menarik tubuhku. Aku tertawa melihat Marni kelimpungan menahan kenikmatan yang hampir mencapai puncaknya.

Aku merangkul Marni yang terengah engah. Kusambar bibirnya yang tebal tanpa memberinya kesempatan menarik nafas. Marni pasrah membiarkan aksi ganasku melumat bibirnya dan tanganku tidak mau nganggur meremas dada jumbonya sehingga ASInya membasahi telapak tanganku.

"Aduh!" aku berteriak kaget Marni menggigit bibirku agak kencang. Wajahnya terlihat sangat merah dengan nafas memburu. Aku terlalu bernafsu mencumbunya membuat wanita itu hampir kehabisan nafas.

Marni rupanya jengkel dan terlihat ingin membalas perlakuanku. Dia mendorong tubuhku dengan keras hingga aku terjengkang. Tangannya dengan lincah berusaha membuka ikat pinggang dan celanaku. Agak lama sebelum celanaku terlepas dari tubuhku. Membuka kaosku tidak sesulit membuka celanaku. Dalam sekejap Marni berhasil menelanjangiku.

Marni terlihat senang berhasil menelanjangiku. Dia berusaha ingin mendominasiku, tanpa pemanasan lebih dahuli Marni meraih kontolku dan mendudukinya hingga amblas seluruhnya ke bagian terdalam memeknya yang sudah sangat basah. Terasa licin dan hangat saat bergesekan dengan kulit kontolku.

"Enak gak Mas, jepitan memek Marni?" Marni berherak perlahan memompa kontolku, matanya terlihat berbinar menatapku sayu.

"Enak banget." kutarik Marni agar mendekatkan dada jumbonya yang mengundang selera ke mulutku. Dengan lahap aku menghisap ASI yang sangat menyehatkan. Kandungannya seperti tidak pernah habis habis setiap hari diminum anaknya dan sekarang akupun mendapatkan bagian.

"Marni kelllluarrrrr, Mas...!" Marni merintih menyambut orgasmenya, dada jumbonya menutupi wajahku, membuatku kesulitan bernafs.

Kubalikkan tubuh Marni dengan mudah. Perlahan kontolku memompa memeknya dengan bertenaga dan kemudian menjadi cepat bertenaga.

Aku berusaha meraih orgasmeku secepat mungkin, tidak kuperdulika Marni yang berulang kali menggeliat dan mendapatkan orgasme. Jepitan memeknya terasa semakin licin dan gesekannya semakin membuat kontolku menjadi lebih sensitif. Satu satunya yang kurasakan hanyalah secepatnya memuntahkan pejuhku.

"Mas, belom kellua juga?" Marni menatapku takjub dengan keperkasaanku.

"Belom.." jawabku sambil terus memompa memeknya dengan cepat.

"Marni sudah 3 kali keluar." Marni terlhat puas, pinggulnya bergerak menyambutku dengan bergairah.

Saat persetubuhan semakin memanas, suara tangisan bayi Marni terdengar tidak mau berhenti. Aku menghentikan pompaanku.

"Dede nangis gak mau berenti, mungkin lapar..!" Aku menarik kontolku yang belum memuntahkan pejuh.

"Kok dicabut, Mas?" Marni terlihat keberatan kontolku terlepas dari memeknya.

"Kasian Dede lapar, susuin dulu sana.!" aku membujuk Marni menyusui anaknya walau sebenarnya aku belom orgasme. Tapi sudah seharian aku memonopoli ibunya, aku tidak tega merampas hak bayinya lebih lama lagi.

Saat aku berusaha membujuk Marni agar menyusui anaknya, Bu Tris masuk dengan menggendong bayi Marni yang terus menangis. Rupanya kami lupa mengunci pintu, sehingga Bu Tris bisa melihat keadaan kami yang polos. Matanya tertuju melihat kontolku yang mengacung perkasa.

Marni memakai bajunya dan mengambil anaknya yang menangis dan langsung menyusuinya. Baru saja disusui anaknya mengompol, ahirnya Marni membawa anaknya keluar meninggalkanku dan Bu Tris yang masih berada di kamar.

"Bu, kasian Mas Ujang belom keluar, bantuin Mas Ujang biar keluar.!" kata Marni sebelum keluar. Matanya mengedip genit lalu menutup pintu.

Sepeninngal Marni Bu Tris tanpa meminta persetujuanku meaih kontolku yang lengket karena sisa lendir memek Marni yang mulai mengering.

"Kasian nich kontol belom keliar. Sini Ibu bantui ngeluarin pejuhnya." tanpa menunggu jawaban, Bu Tris mendorongku terlentang, dia naik ke pangkuanku dan menaikkan dasternya ke atas. Celana dalamnya diturunkan sampai dengkul.

Tanpa halangan kontolku menerobos memeknya yang masih agak kering. Tapi itu tidak mengurangi keinginan Bu Tris untuk memasukkan kontolku ke dalam memeknya. Ahirnya kontolku terbenam, Bu Tris mulai memompanya pelan. Lama lama memeknya menjadi basah dan kontolku mulai leluasa keluar masuk memeknya.

"Mas, kontolnya sampe mentok memek, Ibu." Bu Tris meram melek kontolku yang bergerak di belahan memeknya yang terasa nikmat.

Tidak perlu waktu lama ahirnya kontolku menyemburkan pejuh cukup banyak. Aku tidak perduli apa Bu Tris bisa mendapatkan orgasme atau tidak.

"Aduhhhh, ibu kelllluarrrrr..!" ternyata Bu Tris pun mengalami orgasme dalam waktu singkqt berbarengan dengan orgasmeku.

Bu Tris tersenyum lega setelah orgasmenya reda, seolah ini adalah kenikmatan yang sudah lama tidak dirasakannya.

"Makasih, Mas. Sudah lama saya tudak disentuh Pak Tris, rasanya lega." Bu Tris memelukku dan mencium bibirku dengan buas. Kontolku mulai mengendur di dalam memek Bu Tris. Kemudian Bu Tris bangun dari atas tubuhku. Tangannya menaikkan celana dalamnya.

"Ibu keluar dulu, Mas. Malam ini Marni tidur nemenin Mas Ujang." Bu Tris tidak menunggu jawabanku, dia keluar kamar.

Aku mengunci pintu begitu begitu Bu Tris keluar kamar. Tiba tiba saja aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan isi brankas dan juga surat surat pelimpahan ke Gobang dan juga telepon berisi ancaman yang kuterima.

Bagaimana orang itu bisa tahu kalau yang mengangkat itu bukan Gobang? Bodoh sekali aku, tentu saja orang itu akan tahu karena pada telpon pertama dia tidak menjawab saat aku menyapa Hallo. Lalu dia menutupnya. Tidak lama dia kembali menelpon. Persoalannya telpon pertama dan.ke dua adalah orang yang sama? Kalau orang yang sama, berarti dia tahu aku bukan Gobang. Lalu kenapa dia harus menelpon lagi untuk mengancam? Perbuatan yang buang buang waktu.

Lalu kalau yang nelpon orang yang berbeda dan dia langsung tahu aku bukan Gobang. Dari mana dia tahu aku bukan Gobang? Apa saat ini dia sedang mengawasiku dan keluargaku? Jantungku langsung berdetak kencang. Siapa yang dimaksud dengan orang yang dicintai Gobang? Pasti bukan aku dan keluargaku karena Gobang sudah jelas jelas meninggalkan kami selama belasan tahun. Lalu siapa yang dimaksud? Apakah ada sosok lain yang dicintai Gobang? Siapa mereka? Semoga bukan keluargaku.

Tidak ada yang aneh dengan salinan berkas pelimpahan Club malam. Ini hanya sebuah proses hukum. Berarti aku tidak akan menemukan petunjuk apapun di berkas ini.

Aku membuka brankas yang kunci kombinasinya menggunakan namaku. Disengaja atau mungkin sebuah kebetulan. Entahlah, aku hanya bisa berspekulasi.

Di dalam brankas hanya ada emas batangan 20 buah dan kotak besi yang aku dapatkan dari gudang. Aki sama sekali tidak tertarik membuka kotak besi yang berisi surat surat untuk ibuku. Bahkan aku berpikir untuk tidak memberikannya ke Ibuku. Biarlah emas dan kotak besi berisi surat cinta ini tersimpan di dalam brankas selamanya.

******

"Kita tidak perlu memikirkan Lilis, dia tidak tahu apa apa. Justru keberadaannya akan menguntungkan kita. Orang itu akan menyangka kita adalah lawan Jalu. Sehingga orang itu tidak akan mengganggu orang orang yang kucintai." Gibang berkata tenang. Semua rencana awal sudah dijalaninya. Menyingkirkan Jalu dari keluarganya dari zona bahaya semampu yang dia bisa.

"Bagaimana dengan, Narsih?" Japra kagum dengan kemampuan strategi Gobang yang jarang gagal.

"Narsih pasti akan bergerak begitu tahu kita mengambil alih semua bisnis peninggalan Budi. Justru ini yang kuharapkan." Gobang sudah memperhitungkan gerakan Narsih yang licin. Tapi satu hal yang harus diingat bekas adik iparnya itu. Dia yang selama ini mendidik Narsih. Gobang tahu apa yang akan dilakukan Narsih mampu menghambat gerakan orang itu tanpa membahayakan anak anaknya.

Apa lagi Narsih dikelilingi orang seperti Karta, Udin Tompel dan beberapa jago yang kemampuannya sangat teruji. Sampai waktunya tiba, mereka bisa membantunya menghadapi orang itu.

"Yang perlu kalian lakukan saat ini adalah mengawasi anak anak Codet, mereka mencurigakan." Gobang bangun meninggalkan Japra.

*******

Lilis menutup telpon, lega rasanya mendengar suara orang yang dicintainya walau dia tidak melihat wajahnya. Dari suaranya Ujang pujaan hatinya dalam keadaan baik baik saja.

"Teh Lilis, kok ketawa ketawa sendiri?" Ningsih heran melihat kakak sepupunya terlihat bahagia. Padahal sejak kepergian suaminya, Lilis sering uring uringan, tapi sekarang wajah cantiknya mulai bisa terenyum.

"Gak apa apa, Ning." Lilis tersenyum, pipinya menjadi merah, malu karena dipergoki tersenyum sendiri.

Ningsih memandang Lilis curiga, Ningsih sangat mengenal Lilis.

******

Kenapa ayahku menggunakan namaku sebagai kunci kombinasi brankas? Apa karena dia benar benar sangat mencintaiku? Ebtahlah.

Aku tidak jadi menutup pintu brankas karena aku melihat sebuah amplop kecil terselip di samping tumpukan emas batangan. Menempel pada dinding besi. Kenapa aku baru menyadari adanya amplop itu.

Aku membuka amplop yang ternyata berisi beberapa photo yang sudah memudar warnanya karena sudah tua. Ada 3 orang berphoto bersama. Ayahku berdiri di yengah, sebelah kiri Mang Karta dan sebelah kanan adalah. Wajah ini sangat kukenal, dia adalah Pak Shomad......

Bersambung.....
 
Chapter 11 : Shomad

Aneh, ada photo Pak Shomad di antara photo ayahku dan Mang Karta? Pak Shomad tidak pernah bercerita sedikitpun tentang hal ini. Apa mereka bertiga saudara seperguruan? Tapi waktu Pak Shomad menjajal kemampuan silatku, aku tidak melihat kemiripan jurus. Kuda kuda Pak Shomad cenderung melebar dan tegak, has silat pesisir yang mempunyai ruang gerak lebih luas. Berbeda dengan Cimande yang berasal dari pwgunungan, kuda kudanya cenderung rapat dan rendah.

Atau mungkin orang yang berada di photo ini hanya kebetulan mirip dengan Pak Shomad? Orang di photo ini terlihat lebih muda dan warna photo mulai luntur karana dimakan usia.bantahlah, semuanya serba membingungkanku.

Kenapa aku tidak menelpon Bi Narsih mengabarkan ayahku telah mengambil alih posisiku dan juga menanyakan kabar Mang Karta dan Mang Udin. Sekaligus menanyakan masalah photo Pak Shomad.

Aku memencet nomer telpon Bi Narsih yang kuhafal luat kepala dengan menggunakan telpon yang tersembunyi di dalam laci meja rias. Agak lama aku menunggu telpon diangkat.

"Hallo..!" suara dari gagang telpon, suara Bi Narsih. Aku menarik nafas lega karena Bi Narsih yang mengangkatnya.

"Bi, bagaimana keadaan Mang Karta dan Mang Udin?" tanyaku tidak sabar ingin mendengar kabar kondisi dua orang yang waktu aku berangkat ke Solo mereka masih tergolek di RS.

"Kamu ada dimana?". Bi Narsih malah bertanya kepadaku bukannya menjawab pertanyaanku.

"Di Gunung Kemukus, Bi!" jawabku dan mulai menerangkan kenapa aku berada di Gunung Kemukus hingga ahirnya aku harus menyerahkan semua aset Club malam ke ayahku dan juga perihal brankas berisi emas batangan sebanyak 20 buah.

"Hmmmm, sudah Bibi duga ayahmu akan datang dan mengambil alih bisnis Club malam, kita." suara Bi Narsih terdengar pelan. Hampir seperti berbisik. Aku lega Bi Narsih tidak marah dan menyalahkan kecerobohanku memberikan bisnis Club malam kepada ayahku.

"Bi Narsih gak, marah?" tanyaku heran.

"Buat apa marah, uang untuk membangun Club malam adalah uang ayahmu, lalu bisnis dikelola Pak Budi sekaligus yang menanam modal sebesar 50% untuk mengembangkan bisnis hingga kita punya banyak Club malam elite di Jakarta. Untuk sementara kamu menyingkir dulu hingga ada instruksi Bi Narsih. Kamu bisa fokus mengelola kiosmu di pasar." kata Bi Narsih terdengar tenang.

"Mang Karta dan Mang Udin bagaimana, Bi?" Bi Narsih belum menjawab pertanyaanku.

"Mang Karta dan Mang Udin sudah pulang tadi. Kamu besok langsung pulang, kasian istri kamu sedang hamil." kata Bi Narsih terdengar tegas.

"Iya Bi, besok Ujang pulang. Bi Narsih kenal dengan Pak Shomad? Ada photo Ayah, Mang Karta dan Pak Shomad di dalam Brankas." tanyaku penasaran. Tidak ada jawaban dari seberang telpon setelah sekian lama menunggu.

"Hallo, Bi!" aku memanggil Bi Narsih yang masih diam.

"Kamu pulang dulu, nanti Bibi ceritain." Bi Narsih menutup telpon.

Aneh, Bi Narsih tidak mau menjawab pertanyaanku. Aku memencet tombol telpon, menunggu seseorang mengangkat telponku yang sudah terhubung.

"Hallo...,!" suara yang sangat aku kenal mengangkat telponku.

"Lilis, kenapa Lilis ngirim orang buat ngawasin, A Ujang?" tanyaku dengan suara bergetar.

"A Ujang...! Alhamdulillah A Ujang sehat. Iya, maafun Lilis ya, Lilis sengaja ngirim orang buat ngawasin A Ujang, soalanya beberapa hari terahir Lilis sering ngeliat seseorang mengawasi A Ujang. Lilis takut A Ujang celaka." tidak ada nada rasa bersalah di suara Lilis yang terdengar ceria menerima telponku.

Mungkin benar Lilis hanya khawatir dengan keselamatannku, makanya dia mengirim seseorang untuk mengawasiku. Setelah berbasa basi dan juga menanyakan kabar Ningsih yang sudah tidur, aku menutup telpon. Pada saat itulah aku menemukan sebuah amplop yang setelah kubuka isinya ternyata sebuah surat. Surat yang ditujukan ke ayahku.

Kutunggu kamu di Bogor, jangan terus berswmbunyi seperti seorang pengecut. Tanggal xxx kita bertemu di tempat yang biasa.


Ttd
Karta


Siapa yang mengirim surat ini kepada ayahku? Apa benar Mang Karta yang mengirimkannya ke ayahku? Tapi Mang Karta juga menerima surat tantangan yang sama dari ayahku. Apa benar ayah dan Mang Karta diadu domba oleh seseorang. Siapa orang itu.

Aku segera keluar kamar mencari Pak Tris, tentu dia tahu siapa yang mengirim surat ini pada ayahku dan kapan surat ini diterima. Untung Pak Tris ada di ruang tamu bersama 2 orang suruhan Lilis. Mereka asik ngobrol padahal sudah jam 10 malam. Tapi sekarang malam Jum'at Pon, jadi suasana Gunung Kemukus sedang ramai ramainya oleh pengunjung.

"Pak Tris, saya mau bicara sebentar." aku mengajak Pak Tris masuk kamar ayahku. Marni yang mau masuk kamar ayahku mengurungkan niatnya melihat Pak Tris yang mengikutiku.

"Pak Tris tahu siapa yang mengirim surat ini ke ayahku dan kapan kejadiannya?" aku memberikan surat tantangan ke Pak Tris yang membacanya sebentar. Dia lebih tertarik dengan amplop yang berwarna putih polos tanpa perangko. Itu artinya surat ini dikirim langsung oleh seseorang.

"Sekitar dua minggu yang lalu seseorang mengantarkan surat ini ke Kang Gobang." Pak Tris menatapku heran kenapa aku menanyakan hal yang dianggapnya bukan masalah penting.

Pak Tris tiba merobej amplop menjadi dua, aku tidak sempat mencegahnya. Bagaimana bisa Pak Tris merobek amplop surat yang kuanggap sebagai sebuah petunjuk. Belum sempat aku marah, Pak Tris menunjuk sebuah tulisan kecil yang berada di bagian dalam amplop. Aku membacanya. Shomad.

"Ini tulisan Kang Gobang." kata Pak Tris.

"Siapa Shomad?" tanyaku untuk memastikan bahwa Shomad yang dimaksud adalah Pak Shomad paman Anis istriku.

Pak Tris tidak menjawab, dia berjalan menghampiri lemari kecil dan membukanya. Ternyata seperti dugaanku Pak Tris tahu tentang brankas di dalam kamar.

"Kunci kombinasi brankas diambil dari nama Mas Ujang. Kalau boleh saya manggil Mas Jalu saja. Dimulai dari abjad J urutan 10." Pak Tris memutar brankas ke angka 1 lalu ke angko 0.

"Lalu A, urutan abjad 1." kembali Pak Tris memutar ke angka satu.

"Lalu L urutan abjad 11 dan terahir U urutan 15." dan branka terbuka. Ternyata Pak Tris mengetahui semuanya. Pak Tris mengambil photo yang terletak di atas tumpukan emas batangan.

"Sepertinya Mas Jalu sudah bisa membuka brankasnya." Pak Tris tersenyum senang melihat kecerdasanku, mungkin. Pak Tris memperlihatkan photo yang sudah aku lihat, ternyata benar Pak Shomad. Begitu besarkah kepercayaan ayahku ke Pak Tris.

"Semua emas ini untuk Mas Jalu, saya hanya bertugas menjaganya. Apa yang sudah Kang Gobang berikan kepada kami sudah lebih dari pada cukup. Mas Jalu pasti heran, kenapa Kang Gobang begitu percaya ke saya?" tanya Pak Tris tenang, seperti menjawab keherananku.

Ya, rasanya sangat aneh, ayahku lebih mempercayai Pak Tris dari pada keluarganya sendiri. Padahal bisa saja Pak Tris berhianat, apa lagi ada 20 kg emas batangan yang akan membuat seseorang menjadi gelap mata. Lalu apa alasannya ayahku sangat mempercayai Pak Tris?

Tiba tiba Pak Tris membuka celananya dan memperlihatkan kemaluannya. Ternyata dia tidak mempunyai biji peler. Membuatku merinding ngeri melihatnya.

"Saya dikebiri oleh Kang Shomad karena dulu saya menghianatinya dan yang menolong saya adalah Kang Gobang." Pak Tris terlihat marah mengingat kejadian terburuk dalam hidupnya.

"Kenapa Pak Shomad mengkebiri Pak Tris?" tanyaku bergidik ngeri. Membayangkannya saja aku tidak berani.

"Waktu itu saya kerja saya jadi pencuri di Jakarta. Suatu hari saya mencuri di rumah Shomad dan saya tergiur melihat kemolekan tubuh pembantu yang kerja di rumah Shomad, saya memperkosanya dan Shomad mergoki saya. Dia marah besar dan mengkebiri saya saat itu juga. Untung Kang Gobang yang ada di tempat kejadian segera menolong saya, sehingga saya tidak mati kehabisan darah. Kang Gobang membawa saya ke RS. Setelah sembuh Kang Gobang juga yang mengantar saya pulang kampung. Kang Gobang membangun rumah ini dan juga membelikan saya sawah dan ternak untuk bekal hidup." Pak Tris menunduk, tubuhnya bergetar, entah karena takut atau marah.

"Kapan kejadiannya, Pak?" tanyaku berusaha mengusir kengerian yang terbayang olehku.

"21 tahun yang lalu." Pak Tris menarik nafas panjang berusaha mengusir bayang bayang buruk yang menghantuinya seumur hidup.

"Waktu itu Marni masih berumur berapa, Pak?" tanyaku iba dan sekaligus kagum ke Bu Tris yang tetap setia walau suaminya tidak bisa memberikan nafkah batin.

"Marni belum lahir. Usia Marni sekarang baru 19 tahun. Marni anak Kang Gobang." aku seperti mendengar suara petir di siang hari. Apa yang kudengar membuatku sangat terkejut. Wanita yang kusetubuhi ternyata adik kandungku sendiri.

Ini gila, kenapa Pak Tris sengaja mendukungku untuk melakukan ritual sex dengan adikku sendiri. Rasa ibaku berubah menjadi kemarahan yang luar biasa besar sehingga aku tidak mampu bicara.

Keesokan harinya setelah Sholat Jum'at, aku mempercepat rencana kepulanganku ke Bogor. Dua orang suruhan Lilis seperti tidak mau jauh dariku. Mereka seperti dua orang bodyguard yang menjaga keselamatanku dari ancaman bahaya.

Singkat cerita kami tiba di Bogor dengan selamat. Lilis dan Ningsih terlihat sangat bahagia menyambut kedatanganku.

******

"Kenapa Lilis nyuruh orang buat ngawasin, A Ujang?" tanyaku sambil tiduran di kamar Lilis. Walau sebenarnya malam ini bukan jadwal tidur di kamar Lilis. Aku penasaran dengan maksud Lilis menyuruh orang mengikutiku. Makanya setelah Ningsih tidur, aku langsung masuk kamar Lilis dan kebetulan Lilis belum tidur.

"Karena Lilis mencintai A Ujang. Lilis gak mau A Ujang celaka. Lilis gak mau apa yang terjadi dengan A Budi terjadi dengan A Ujang. " Lilis menjawab tenang. Lilis tengkurap sambil menatapku. Aku bisa melihat kejujuran terpancar dari mata bulatnya yang indah.

Perlahan Lilis menciumku dengan segenap jiwanya. Aku membalas lumatan bibirnya. Kami berciuman melepaskan kerinduah setelah beberapa hari kami tidak bertemu.

"Perlahan aku membalikkan Lilis agar celentang, aku takut kalau terlalu lama tengkurap akan mempengaruhi kesehatan bayi yang dikandung Lilis.

" Lilis pengen?" tanganku membelai perutnya yang sudah semakin membesar. Tapi tidak mengurangi keindahan tubuhnya.

"Kan sekarang jatah, Ningsih." Lilis mencubit pipiku dengan gemas.

"Tadi A Ujang udah bilang ke Ningsih, kalau sudah beres A Ujang tidur sama Ningsih." tanpa menunggu aku membelai dada Lilis yang terlihat semakin membesar dan terasa lebih keras. Aku mencium bibir Lilis dengan mesra. Kecurigaanku yang sempat ada ke Lilis sekarang sudah sirna.

Aku bangun dan membantu Lilis membuka baju tidurnya yang berwarna putih. Aku berusaha selembut mungkin menelanjangi calon istriku ini. Tubuh bugil Lilis selalu membuatku takjub, kulitnya yang putih dan halus, seutuhnya menjadi milikku.

Lilis tidak mau ketinggalan menelanjangiku. Lidahnya menggelitik puting dadaku dan tangannya membelai kontolku dengan lembut, membuat kontolku menegang sempurna.

Lilis mendorongku terlentang, tangannya meraih kontolku yang dalam sekejap sudah berada di kehangatan mulutnya. Lidahnya menggelitik kepala kontolku, memberikan rasa nikmat yang indah.

"Kontol A Ujang belom dicucu ya, abis ngentot Ningsih?" Lilis menatapku sayu. Bibirnya kembali melahap kontolku seolah sisa lendir memek Ningsih bukan hal yang menjijikan.

Aku menggeliat tidak tahan. Perlahan aku mendorong kepala Lilis menjauh dari kontolku. Lalu aku menyuruhnya terlentang.

Dada indahnya mengundangku untuk hinggap dan menyusu di putingnya yang berwarna pink. Sayangnya payudara Lilis belum mengeluarkan ASI seperti Marni, tapi tetap menyenangkan menyusu di payudara Lilis yang berukuran sedang.

"Aa, enak...!" Lilis membelai kepalaku seperti seorang ibu yang membelai kepala anaknya yang sedang menyusu.

Aku bergerak ke arah selangkangan Lilis yang langsung mengangkang mempersilahkanku menikmati keindahan memeknya yang akan segera melahirkan anakku. Aroma memek Lilis yang sangat aku suka. Jembutnya sekarang selalu tercukur sehingga aku bisa menikmatinya lebih nyaman tanpa mengenai bulu jembut yang kasar.

Lidahku dengan leluasa mempermainkan itilnya yang agak menonjol dan ternyata lobang memek Lilis sudah basah.

"Udah, A...entot Lilis sekarang.!"Lilis menarikku naik ke atas tubuh indahnya. Tangannya menuntun kontolku ke lobang memek yang sudah menunggu pasanganya dengan tidak sabar. Perlahan, kontolku masuk bagian terdalam Lilis yang memeluk.

"Ennak, A..." Lilis mengabgkat pinggulnya menyambutku. Bibirnya mencumbu bibirku dengan mesra.

Tiba tiba suara bel pintu terdengar tidak berhenti. Seseorang yang memencetnya seperti tidak sabar ingin segera dibukakan pintu.

"Siapa sich malam malam ganggu orang saja." kataku jengkel.

"Buka dulu, A. Mungkin penting." Lilis mendorongku pelan. Wajahnya terlihat jengkel sama seperti diriku.

Dengan malas aku bangun, tergesa gesa memakai pakaian karena suara bel terus berbunyi. Setengah berlari aku menuju pintu ruang gamu dan membukanya.

"Ambu,...!" ujarku kaget melihat mertuaku datang jam 11 malam dan tanpa memberi kabar membuatku was was.

Bersambung
 
Chapter 12 Pengakuan Rani dan Rini


"Ambu...!" seruku kaget dan segera mencium tangan ibu mertuaku yang cantik dan sempat memberikan kenikmatan sex yang tidak akan terlupakan.

"Maaf Jang, Ambu pasti ngagetin kalian datang tanpa ngasih kabar dulu. Ambu baru sempat ke sini, waktu Mang Udin kecelakaan." kata Ambu mengikutiku masuk ke ruang keluarga.

Lilis sudah keluar kamar dan menunggu di ruang keluarga. Rambutnya masih terlihat kusut mungkin kaget mendengar suara Ambu yang datang malam malam tanpa memberi kabar. Ternyata Ningsih ikut terbangun, matanya masih terlihat mengantuk.

"Ada apa, Ambu" Lilis bertanya dengan penuh kehawatiran. Tidak biasanya Ambu datang tanpa memberi kabar lewat telpon. Di rumah Ambu sudah terpasang telpon.

"Ada apa, Ambu?" Ningsih lebih panik melihat kehadiran Ambu yang sangat tiba tiba.

Aku segera menenangkan Lilis dan Ningsih, menyuruh Ningsih membuatkan teh hangat.

"Gak ada apa apa, Ambu ke sini cuma mau bezuk Mang Udin karena baru sempet sekarang. Kemarinkan habis panen. Maafin Ambu kalau gak ngasih kabar kalian, jadi bikin kaget kalian." Ambu menerangkan sambil memeluk dua anak gadisnya yang sedang hamil. Wajahnya terlihat bahagia karena sebebtar lagi akan segera mempunyai cucu dari ke dua anaknya.

"Ambu, ngangetin Ningsih, aja." Ningsih memeluk manja.

"Ya udah, Ambu sekarang istirahat. Bezuk Mang Udin besok pagi pagi. Mang Udin sudah di rumah." kata Lilis memeluk Uwa yang sudah merawatnya sejak ibu kandungnya meninggal. Uwa yang menjadi ibh terbaik yang dimilikinya.

"Ambu tidur sama Ningsih, ya!" Ningsih menggelayut manja.

"Ambu tidur di sama kamu. Ujang tidur di mana?" Ambu mencubit paha Ningsih pelan. Matanya melirik selangkanganku yang terlihat menonjol karena desakan kontolku yang masih berdiri sempurna dan aku menyadarinya saat Lilis menendang kakiku dan memberi isyarat. Aku malu menyadarinya, segera aku mengambil bantal kursi menutup selangkanganku.

"Sama Teh Lilis. Tadi waktu Ambu dateng, A Ujang pasti lagi naekin Teh Lilis. Iyakan, Teh?" Ningsih tersenyum menatapku. Ebtah kenapa aku tidak melihat kecemburuan di wajahnya. Atau Ningsih sudah menganggapnya sebagai hal yang wajar.

"Iya, baru juga masuk, Ambu dateng." Lilis tertawa geli. Tanpa menunggu Ambu masuk kamar, Lilis bangun menarikku masuk kamar tanpa merasa malu melakukannya di hadapan ibu dan adiknya.

Sampai kamar, Lilis segera membuka kembali gaun tidurnya, polos seperti tadi. Berlomba denganku yang juga membuka pakaianku. Tentu saja Lilis menjadi pemenangnya. Lilis mendorongku rke atas springbed empuk.

Tanpa mengulang pemanasan seperti tadi, Lilis menunggangi kontolku yang sukses menerobos memeknya tanpa hambatan. Memeknya masih basah karena birahinya yang terjaga.

"Ennak A, sampe mentok." wajah Lilis terlihat semakin cantik saat retina matanya ke atas meresapi kontolku menusuk hingga dasar memeknya. Lilis memacuku perlahan.

Payudaranya yang indah menggodaku untuk meremasnya dengan lembut. Terasa halu dan kenyal. Payudara yang akan menjadi sumber kehidupan calon anakku yang masih dalam kandungannya.

Gerakan Lilis begitu lembut dan tidak terburu buru, wajahnya yang cantik terlihat menikmati setiap mili gesekan yang sedang terjadi. Wajahnya terlihat semakin cantik. Tidak perlu waktu lama buat Lilis mendapatkan orgasme pertamanya. Dia begitu cepat meraihnya, tangannya mencengkeram dadaku hingga meninggalkan tanda merah.

Dalam keadaan biasa mungkin aku akan menggulingkan Lilis ke samping dan langsung menindihnya mengambil alih posisi. Tapi melihat perutnya yang semakin besar, aku tidak berani melakukannya. Kubiarkan Lilis menikmati sisa sisa orgasmenya hingga tuntas.

"A, Lilis di bawah ya, di pinggir ranjang, A Ujang ngentotin Lilis diri ya!" tanpa menunggu jawaban, Lilis duduk di pinggir ranjang, aku turun mengambil posisi yang diinginkan Lilis.

Kontolku kembali tertelan memek sempit Lilis yang rebah dengan kaki mengangkang lebar. Aku memompanya dengan lembut agar anakku tetap nyaman dalam perut ibunya tanpa terganggu oleh aktifitas ayah dan ibunya yang sedang berpacu birahi.

Agak lama aku memacu Lilis membuat calon istriku itu mendapatkan orgasme ke dua dan ke tiganya. Hingga ahirnya aku sebdiri tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Bendungan pejuhku jebol membanjiri dasar memek Lilis yang berteriak histeris mendapatkan orgasmenya lagi. Wajahnya terlihat puas dan bahagia.

"A, nanti Lilis pengen 3some sama Ambu." kata Lilis membuatku terkejut dengan keinginanya yang aneh.

******

Pov Gobang

Gobang membaca berkas penyerahan kekuasaan Jalu anaknya, ada rasa bersalah karena telah merampas milik anaknya setelah belasan tahun dia tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang ayah. Sekarang dia justru merampas apa yang menjadi milik anaknya.

Gobang menggelengkan kepalanya dengan keras, berusaha mengusir rasa bersalahnya dan sekali lagi berusaha meyakinkan dirinya seperti yang sudah dilakukannya ratusan kali bahwa yang dilakukannya adalah untuk menyelamatkan orang orang yang dicintainya. Untuk melindungi mereka. Hanya ini satu satunya cara. Orang itu terlalu licik untuk dihadapi secara berhadapan. Dia bukan seseorang yang menjunjung tinggi jiwa satria.

Dhea mengambil berkas dari tangan Gobang, sudah lebih dari satu jam Gobang tidak selesai membaca berkas. Dhea duduk di pangkuan pria yang diam diam sangat dicintainya, sehingga dia rela melakukan apapun untuk Gobang. Bahkan menjadi seorang pelacur untuk anaknya Jalu.

Gobang membiarkan Dhea duduk di pangkuannya, bibirnya menyambut ciuman Dhea yang penuh gairah. Mungkin dengan menikmati tubuh indah Dhea akan membuatnya sedikit rileks dan melupakan beban hidupnya yang terlalu berat.

Tangannya mulai melepaskan kancing kemeja Dhea yang tidak mampu menutupi tonjolan dadanya yang besar. Dada yang sangat dikaguminya.

Suara ketukan di pintu membuyarkan keasikan Gobang. Suara Japra tidak mungkin diabaikan begitu saja. Sahabatnya itu pasti membawa berita yang penting. Dhea sudah begitu paham, sehingga wanita itu segera turun dari pangkuannya. Sambil memakai kancing yang sempat terlepas, Dhea berjalan ke pintu dan membukanya.

Tanpa menoleh ke Dhea, Japra masuk dan duduk di hadapan Gobang. Wajahnya yang selalu serius terlihat lebih tegang dari biasanya.

"Shomad sudah keluar dari sarangnya, saat ini dia sudah berada di Jakarta. Dan menurut informasi, yang membunuh Codet adalah orang kita yang berhianat dan membelot ke Shomad." Japra terlihat gelisah. Shomad sudah menjadi momok yang menakutkan.

Gobang berusaha tenang walau hatinya agak gentar mendengar Shomad sudah keluar dari sarangnya. Ini adalah pilihan yang sudah direncanakannya selama belasan tahun. Ternyata hatinya tetap saja nerasa gentar menyebut nama itu.

"Kirim seseorang untuk mendekati anak anak Codet yang sekarang berada di markas Karta, pancing ke dua gadis itu untuk keluar dari sana. Pasti mereka telah memberikan sesuatu yang membuat Karta sangat bernafsu ingin membunuhku." Gobang sendiri merasa ragu akan mendapatkan sesuatu dari anak gadis Codet. Tidak ada salahnya mencoba.

Harusnya ke dua gadis itu tetap di tangannya, tapi kenapa Dhea menyerahkan ke dua gadis itu ke tangan Jalu. Jalu masih terlalu polos, dia tidak tahu apa yang sedang dihadapinya.

"Maafkan saya Kang, suduah menyerahkan ke dua anak gadis Codet itu ke tangan Jalu." Dhea seperti bisa membaca pikiran Gobang.

"Jalu masih terlalu polos," gumam Gobang mengabaikan perminraan maaf Dhea.

Japra bangun tanpa bersuara meninggalkannya berdua dengan Dhea. Japra sangat hafal dengan sifat Gobang yang akan segera tenang setelah melampiaskan nafsu sexnya.

Melihat Japra keluar, Dhea segera mengunci pintu, lalu tangannya dengan cekatan membuka seluruh pakaiannya sambil berjalan perlahan mendekati Gobang yang duduk memandangi gundiknya yang bertingkah binal. Pakaian Dhea berceceran di lantai dan tubuhnya sudah polos saat berada tepat di hadapan Gobang.

Ini hal yang paling Gobang sukai dari gundiknya ini, kebinalan yang mampu menyeretnya menjadi kuda jantan liar. Ini pula yang membuat Gobang bisa sejenak melupakan kepedihannya kehilangan orang orang yang dicintainya.

Dengan kasar Gobang mengangkat tubuh montok Dhea yang dibopong masuk kamar dengan diuringi tawa cekikin Dhea. Gobang tahu, Dhea sangat suka main kasir. Mereka pasangan yang cocok, karena pada dasarny Gobang seorang yang kasar dan terbiasa memaksakan kehendaknya untuk mendapatkan sesuatu. Mereka bisa saling melengkapi tanpa mereka sadari.

Gobang yang selama belasan tahun dalam pengasingannya selalu dihantui oleh rasa bersalah terhadap keluarganya tidak menyadari bahwa dia mulai jatuh cinta kepada gundiknya yang rutin mengunjunginya 2 minggu sekali. Dia selalu berusaha meyakinkan dirinya bahwa Dhea hanyalah bekas seorang pelacur yang diangkat derajatnya demi kepentingannya.

Gobang melempar tubuh bugil Dhea ke atas springbed besar, dengan tergesa gesa dia melepaskan seluruh pakaiaannya. Lalu menyusul Dhea naik springbed yang bergiyang. Tangannya dengan kasar meremas dada jumbo Dhea membuat wanita itu menjerit nikmat, terlebih saat putingya yang mengeras dihisap dengan rakus oleh Gobang.

Memeknya yang beberapa hari terahir ini rutin dicukur menjadi sasaran empuk jemari Gobang yang masuk ke dalamnya. Dengan kasar jari Gobang mengocok memek Dhea, hal yang tidak akan berani dilakukannya kepada Kokom mantan istrinya. Ya, Kokom bukan lagi istrinya, karena dia sudah meninggalkannya selama belasan tahun. Semua orang menganggapnya sudah mati.

Gobang beringsut menuju memek Dhea, wajahnya terbenam di selangkangan Dhea yang begitu menikmati perlakuan kasar Gobang. Jerit kesakitan bercampur dengan kenikmatan terdengar terus menerus dari bibir sensual Dhea. Lidah Gobang denagan liar mempermainkan memek dan itil Dhea membuat wanita cantik itu mengeram menggapai orgasmenya.

Gobang tertawa senang bisa menaklukan gundiknya yang liar dan binal. Dia bangkit berdiri, tangannya menjambak rambut Dhea agar bangkit. Kontolnya yang besar dijejalkan ke mulut Dhea yang masih kelelahan akibat orgasme dahsyatnya.

Satu hal yang paling disukai oleh Gobang saat Dhea nenyepong kontolnya persis seperti bintang porno yang sering dilihatnya di film porno. Dhea akan berusaha memasukkan seluruh batang kontol hingga menyentuh tenggorokannya. Wanita itu akan melotot menahan nafas sekuat yang dia bisa lalu melepaskan kontolnya yang akan dikocok dengan cepat sehingga Gobang menyerah.

Gobang mendorong Dhea, lalu menindihnya. Kontolnya dengan kasar masuk memek Dhea yang sudah sangat basah.

Dhea menyambutnya dengan menaikkan pinggulnya berusaha mendapatkan orgasme secepat yang dia bisa. Dan selalu dia busa mendapat orgasme dengan cepat. Dhea mengerang dan menggigit pundak Gobang yang berotot. Heran, giginya tidak pernah bisa melukainya.

Sekali lagi Gobang merasa bangga telah berhasil menaklukkan gundiknya yang binal. Dia membalikkan tubuh Dhea agar menungging, tanganya meraih sebuah botol yang terletak di meja kecil di samping ranjang. Cairan pelumas untuk anus Dhea.

Dengan kasar Gobang menghujamkan kontolnya ke lubang anus Dhea membuat wanita itu menjerit kesakitan. Justru rasa sakit seperti itu yang membuat Dhea bisa mencapai multi orgasme yang sangat dahsyat.

Gobang begitu menikmati lobang anus Dhea, rambut Dhea dijambak untuk mendapatkan sensasi yang lebih dahsyat lagi. Yang akan membuatnya cepat mendapatkan orgasme. Dan perjuangan Gobang untuk mendapatkan orgasme tercapai, kontolnya menyemburkan cairan pejuh ke lobang anus Dhea yang juga mendapatkan orgasme terdahsyatnya.

*****

Aku terbangun dalam pelukan Lilis yang masih terlelap dengan tubuh bugil. Kebugilan kami hanya tertutup oleh selimut tebal yang hangat. Tumben, Lilis belum bangun jam 6. Biasabya dia yang pertama bangun, lalu akan membangunkan Ningsih dan aku untuk Sholat shubuh berjama'ah. Mungkin Lilis kelelahan setelah semalam aku menggumulinya hingga 4 x.

"Lis, bangun sayang. Sudah jam 6." aku membelai pipnya yang halus yang bersandar di dadaku.

"Ehmm, astagfirullah. Lilis jesiangan." Lilis langsung bangun setelah mebyadari jam di meja menunjukkan angka 6.

Kami bergegas bangun, hampir saja aku keluar kamar dalam keadaan bugil kalau Lilis tidak mengingatkan ada Ambu. Benar saja ternyata Ambu sudah bangun dan sedang memasak nasi goreng dibantu Ningsih.

"Ambu, kok Lilis gak dibangunin?. Jadi kesiangan." protes Lilis manja sambil mencium pipi Ambu penuh kasih sayang.

"Tadi udah Ningsih bangunin, Teh Lilis sama A Ujang gak bangun bangun. Semalam emangbya maen berapa ronde? Itunya A Ujang juga pasti belum dicuci." Ningsih yang menjawab porno, padahal ada Ambu bersama kami membuatku tersipu malu melihat lirikan Ambu.

Selesai mandi dan sarapan aku pamitan mau ke pasar melihat kios yang selama ini dikelola oleh Ningsih dan Lastri. Sekarang aku akan fokus di kios dan tidak perlu pusing memikirkan Club yang sudah bukan menjadi milikku lagi. 2 emas batangan yang kuambil dari brankas yang tersimpan di Gunung Kemukus bisa aku pakai untuk mengembangkan kios dan juga warung Mie Ayam ibuku.

Aku juga akan berbicara ke ibu dan Mang Udin, kalau benar hubungan mereka serius, aku akan mendesak mereka untuk segera menikah. Mang Udin akan aku suruh fokus jualan mie ayam dan bakso. Biar ibu yang masak. Tapi itu nanti akan kubicarakan setelah Ambu pulang ke Garut.

Akh mengeluarkan motor yang baru saja aku beli minggu yang lalu dan belum sempat aku pakai. Saat aku sedang memanaskan motor GL Proku, datang orang yang mengantarkan surat dari ayahku dan tiket bis ke Solo. Hm ada masalah apa lagi, ini.

Orang itu memberiku selembar kertas lalu pergi dengan tergesa gesa. Aku segera membacanya.

Aku ingin ibu kalian segera menikah dengan Udin Tompel.

Gobang Ayahmu.


Permainan apa pula ini? Kenapa ayahku seperti mengerti dengan pikiranku dan apa alasannya mengijinkan ibu menikah dengan Mang Udin? Aku harus berhati hati dengan kelicikannya.

Aku meremas kertas dari ayahku dan membuangnya ke tempat sampah. Aku mengurungkan niatku ke kios. Surat yang kuterima nengingatkanku dengan dua anak gadis Codet yang sekarang berada di markas Mang Karta. Aku tidak tahu kenapa surat yang kuterima justru mengingatkanku dengan dua gadis itu. Apa hubungannya? Nanti pasti ada jawabannya setelah bertemu dengan mereka.

Tidak memerlukan waktu lama untuk sampai markas Mang Karta. Para penjaga langsung bersiaga melihat kehadiranku. Begitu aku membuka helm, mereka segera membiarkanku masuk. Tak ada tegur sapa dariku maupun mereka. Aku segera masuk ke bagian belakang bangunan utama. Ada sekitar 10 rumah berjejer rapi dengan model yang sama. Aku memarkirkan motorku du depan rumah yang terletak di tengah.

Rani dan Rini yang sedang duduk diteras kegirangan melihatku datang. Mereka berebutan memelukku seperti sudah lama sekali kami tidak bertemu.

Aku segera menarik tangan me dua gadis itu masuk ke dalam rumah. Aku segera mengunci pintu agar tidak ada yang melihat kami ataupun menguping pembicaraan kami.

"Bukan ayah kalian yang menyuruh kalian untuk menemuiku dan memberikan surat ke Pak Karta,? Jawab dengan jujur!" kalimat yang kuucapkan membuatku kaget sendiri. Bagaimana bisa aku menuduh mereka begitu saja. Entah kenapa aku bisa berpikir begitu. Aku sendiri heran.

Kulihat wajah kedua gadis itu menjadi sangat pucat. Mereka melihatku dengan wajah ketakutan.

"Yang menyuruh kami adalah...!" Rani tidak meneruskan kalimatnya. Dia terlihat sangat ketakutan.

"Siapa..?" tanyaku berusaha selembut mungkin, tapi justru suaraku menjadi bergetar. Aku senang bisa memecahkan sebuah teka teki yang rumit walau belum tahu jawabannya.

"Mamahnay Ratna." Rini yang menjawab.

Jawaban yang membuatku sangat terkejut. Nafasku terasa sesak dan pikiranku seperti kosong.

Bersambung.....
 
Chapter 13 : Terseret Dendam Masa Lalu

Aku jadi teringat dengan awal pertemuanku dengan Anis, dia mengutarakan maksudnya ke Gunung Kemukus waktu itu.

"Anis ke sini dan nekat nelakukan ritual, agar Anis bisa bertemu dengan Kang Gobang. " itulah yang dikatakan Anis waktu itu. Trrnyata Anis sudah mengetahui keberadaan ayahnya di Gunung Kemukus.

Aku menatap ke dua gadis cantik yang duduk dengan gelisah. Sesekali mereka melihat ke arahku seperti terdakwa yang sedang menunggu vonis bersalah mereka.

"Sebenarnya ayah kalian meninggal karena apa?" pertanyaan yang akan membuat ke dua gadis itu terluka, tapi aku harus tahu penyebab kematiannya. Yeruyama aku harus tahu apa hubungan ayahku dengan Pak Shomad.

"Ayah meninggal karena dibunuh oleh seseorang." Rani menjawab sedih. Kesedihan karena diingatkan kematian ayahnya yang begitu tragis.

"Ayah kalian pasti meninggalkan uang cukup banyak, kalian bisa hidup dengan uang itu. Kalian bisa pulang ke rumah kalian." aku berusaha mengorek lebih dalam kondisi mereka yang sebenarnya.

"Ayah memang meninggalkan kami uang dan rumah. Tapi kami takut pulang. Musuh ayah banyak." Rani memberanikan diri menatapku. Tatapan yang ingin dikasihani.

Aku menarik nafas, tidak tahu melakukan apa dengan ke dua gadi cantik ini. Kehidupanku sendiri sudah pelik, ditambah dengan mereka. Mau jadi apa hidupku nanti. Merwka berdua cantik, tentu banyak pria yang bersedia menampung hidup mereka.

"Tolong kami, A. Jangan usir kami dari sini. Kami takut." Rani berjongkok dihadapanku, tangannya mengelus pahaku. Dia tentu berpikir akan menyogokku dengan tubuhnya. Niatnya terlihat jelas olehku. Apa lagi mereka telah menyerahkan keperawanan mereka kepadaku. Melayaniku setiap saat bukan lagi masalah buat mereka.

Ahirnya aku menyanggupi untuk membiarkan ke dua gadis itu tetap di markas sambil menunggu langkah apa yang akan diambil Mang Karta maupun Bi Narsih. Saat ini aku masih begitu bergantung pada mereka. Aku meninggalkan ke dua gadis itu.

Aku memacu motor ke rumah Bi Narsih. Aku ingin tahu tentang siapa Pak Shomad sehingga photo bersama dengan ayahku dan Mang Karta. Markas dan rumah Mang Karta lumayan jauh.

******

Aku senang sekali melihat Mang Karta sudah bisa berjalan normal walau lukanya masih dibalut perban dan harus melakukan kontrol rutin ke RS. Mang Karta tertawa menyambut kedatangannku.

"Jalu, dari mana saja kamu baru datang?" tangannya mengelur rambutku seperti yang selalu dilakukannya saat aku masih kecil.

"Ujang, Mang!" aku protes dengan panggilan namaku yang mengingatkanku dengan ayahku. Jalu adalah satu satunya warisan yang kudapatkan dari ayahku, sosok yang sudah terlanjur aku benci. Sedangkan Ujang adalah nama panggilan yang disematkan oleh Mang Karta sejak aku kecil dan selalu aku pakai hingga sekarang.

"Kamu sebentar lagi punya anak, jadi bapak. Kalau anak kamu lelaki, akan kamu panggil Ujang. Masa ada dua Ujang di dalam satu rumah." Mang Karta kembali tertawa lucu membayangkan ada dua Ujang dalam satu rumah. Ayah dan anak.

"Jalu sekarang nama yang paling cocok buat kamu. Terdengar gagah dan keren." Mang Karta meneruskan perkataannya. Tangannya merangkul pundakku, mengajakku masuk ke dalam rumah.

"Nama kampungan." aku tetap belum mau dipanggil Jalu walau itu adalah nama yang tertulis di KTP dan KK.

Di dalam Bi Narsih sudah menyiapkan kopi dan pisang goreng kesukaanku dan Mang Karta. Entah kenapa, apa yang disukai Mang Karta pasti aku akan ikut menyukainya. Secara tidak sadar sejak kecil aku selalu ingin meniru apa yang dilakukan Mang Karta. Bahkan aku menganggap diriku sebagai anak Mang Karta dari pada anak ayahku.

"Kopinya, Jang." aku senang sekali mendengar Bi Narsih masih memanggilku Ujang, aku memeluk dan mencium pipinya sebagai ucapan terima kasih. Begitu menyadari kehadiran Mang Karta, aku tersipu malu.

"Mang Karta kenapa gak pernah cerita tentang Pak Shomad?" tanyaku sambil menyerahkan photo dan surat tantangan yang kubawa dari Gunung Kemukus.

Mang Karta membuka amplop berisi photo dan juga surat tantangan. Wajahnya terlihat kaget dan tegang. Ekspresi wajahnya terlihat jelas. Lalu Mang Karta menyerahkan photo dan surat ke Bi Narsih yang melihatnya sekilas. Wajah Bi Narsih terlihat lebih tenang dibandingkan Mang Karta. Ekspresi wajahnya lebih datar. Kemampuanny mengendalikan diri Bi Narsih memang luar biasa.

Mang Karta melihat Bi Narsih seperti meminta pertimbangan apa yang harus dilakukannya. Wajahnya terlihat letih.

"Ini Kang Shomad, Ayahmu dan juga Mamangmu dulunya adalah tiga serangkai. Tuga serangkai yang selalu bersama, belajar silat dan ilnu kanuragan di tempat yang sama. Kang Shomad adalah kakaknya Mang Kardi almarhum suami Bibi." Bi Narsih tidak meneruskan ceritanya. Bi Narsih melihat ke Mang Karta seakan minta bantuan untuk meneruskan ceritanya yang terhenti.

"Ayahmu dan Shomad sama sama mencintai ibumu, tapi ayahmu yang berhasil mendapatkan ibumu." Mang Karta meneruskan cerita Bi Narsih.

"Sebelum ayahmu menikahi ibumu, ayahmu dan Shomad berkelahi untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan ibumu. Ayahmu kalah dan hampir terbunuh kalau saja Mamang tidak keburu datang. Mamang berusaha melerai perkelahian mereka, tapi Shomad marah dan menyerang Mamang. Jadi Mamang dan ayahmu berkelahi melawan Shomad, kami mengeroyoknya hingga Shomad kalah dan meninggalkan kami. Tapi Shomad mengancam akan membalas dendam dan menghancurkan kami." Mang Karta terdiam mengingat kejadian yang lampau. Kejadian yang tidak pernah dia bayangkan akan berbuntut panjang.

"Saat aku dan Gobang menjadi jawara di beberapa tempat di Jakarta, ternyata Shomad sudah lebih dulu jadi Jagoan di beberapa tempat. Bahkan dia dibekingi orang orang penting. Dia juga mengendalikan jaringan narkoba dan prostitusi terbesar di Jakarta." Mang Karta meminum kopi yang sudah dingin. Entah apa yang dirasakannya saat ini.

"Suatu hari Shomad mengajak kami bertemu, dia mengajak kami bekerja sama merampok beberapa toko emas terbesar di Jakarta yang menurut informasi yang dia terima, ada emas batangan yang cukup banyak. Mamang tidak mau ikut. Jadi yang ikut ayahmu, Shomad dan juga Codet. Ternyata perampokan itu sebuah jebakan yang dipersiapkan Shomad buat ayahmu. Di toko terahir yang dirampok, ayahmu ditinggalkan sendiri. Ayahmu dikepung polisi, untung Japra berhasil menyelamatkan ayahmu yang waktu itu sudah mulai keracunan. Japra membawa ayahmu pulang, seminggu kemudian Mamag dan ayahmu bertarung dan ayahmu hanyut di sungai. Jadi begitu polisi datang mereka tidak menemukan ayahmu. Mungkin itu alasan ayahmu memalsukan kematiannya." Mang Karta menyudahi ceritanya yang cukup panjang.

"Lalu, kenapa setelah kematian ayah, Pak Shomad tidak mendekati ibu?" tanyaku heran.

"Karena kakekmu masih hidup dan Shomad tidak akan berani memaksa ibumu." Bi Narsih menjelaskan.

Aku ingat, Abah atau Kakekku adalah guru silat paling dihormati.

Kisah yang panjang dan masih terus berlanjut hingga sekarang. Bi Narsih dan Mang Karta belum tahu aku sudah menikahi Anis keponakan istrinya Pak Shomad. Apa reaksi mereka kalau tahu aku sudah bermain api dengan musuh terbesar ayahku. Untuk sementara aku harus tetap merahasiakannya.

"Sekarang Kang Karta percaya sama Narsih kan, kalau Kang Karta sedang diadu domba dengan Kang Gobang oleh seseorang. Kuat dugaan Narsih orang itu adalah Kang Shomad. Dan pasti ada penghianat di antara kita. Kang Karta harus lebih berhati hati jangan gampang terprovokasi." Bi Narsih menatap Mang Karta.

"Iya. Akang akan mendengar pendapat Narsih sekarang." Mang Karta menepuk pundak Bi Narsih.

Berarti Codet juga terlibat menjebak ayahku. Apa mungkin ayahku terlibat dalam rencana pembunuhan Codet. Bisa jadi ayahku dendam dan merencanakan pembunuhan Codet.

Lalu kenapa Pak Shomad menyuruhku menikahi Anis kalau dia tahu aku adalah anak musuh besarnya. Aneh sekali. Aku tidak biasa berpikir rumit, bagiku semua hal harus dipikirkan dan dijalani secara sederhana dan apa adanya. Bukan dengan tipu muslihat yang licik dan culas sperti sekarang.

"Sekarang apa yang akan kamu lakukan setelah kehilangan posisi kamu di Club malam?" tanya Mang Karta membuyarkan lamunanku.

"Kembali ngurus kios di pasar." aku menjawab dengan suara agak tersedak karena kaget oleh pertanyaan Mang Karta yang tiba tiba.

"Kamu bisa melupakan kejadian yang saat ini sedang kamu hadapi?" kembali Mang Karta bertanya.

"Maksud Mang Karta?" tanyaku tidak mengerti arah pembicaraanya.

"Kamu sudah tahu tentang ayah kamu dan secara tidak langsung kamu sudah terlibat di dalamnya. Apa kamu bisa menghindar dari semuanya?" Bi Narsih menjelaskan maksud Mang Karta. Matanya menyelidiki pikiranku. Entah bagaimana caranya Bi Narsih selalu bisa membaca apa yang aku pikirkan. Inilah salah satu hal yang membuatku takluk dan kagum kepadanya.

"Ayahmu sedang berusaha menyingkirkanmu dari perselisihan masa lalu kami. Tapi ayahmu salah, kamu sudah terjerumus terlalu jauh. Shomad telah menyeretmu dalam perselisihan ini dan itu yang tidak diketahui oleh ayahmu." Bi Narsih berusaha menjelaskan situasi yang sedang kuhadapi. Situasi yang menyeretku.

"Ujang gak tau, Bi.!" Situasi yang kuhadapi terlalu rumit. Aku hanya bisa berharap keluargaku tidak ikut terseret dalam situasi ini.

"Mamang sudah berencana untuk bergerak, karena hanya ini cara bertahan terbaik." Mang Karta terlihat menari nafas gelisah.

Aku tidak tahu apa yang dimaksud bergerak oleh Mang Karta. Dunia yang begitu asing, penuh dengan tipu daya yang licik. Dunia yang tidak cocok buatku yang berpikiran lurus. Lalu sekarang apa yang harus kulakukan kalau menurut Bi Narsih aku sudah terseret terlalu jauh dan sulit untuk mundur. Apa Bi Narsih tahu hubunganku dengan Anis?

"Ujang pulang dulu, ada Ambu di rumah." kataku berpamitan setelah otakku tidak lagi mampu berpikir. Biarlah semuanya mengalir seperti air. Aku hanua ingin bisa menikmati hidup dengan orang yang kucintai. Itulah impianku dan impian semua orang.

******

"Ningsih mana Lis?" aku tidak melihat Ningsih sejak aku pulang. Di kamar juga tidak ada, hanya ada Ambu yang sedang asik menonton tv.

"Lagi bantuin ibu di warung. Kan rencananya warung mau dipindah ke pinggir jalan raya." Jawab Lilis yang sedang asik membaca tabloid wanita kesukaanya.

"Kok A Ujang gak tahu warung mau dipindah ke depan?" tanyaku heran. Sejak aku pulang dari Kemukus aku belum menemui ibuku. Lilis dan Ningsih tidak menyinggung hal itu.

"Makanya kalau pulang dari mana mana temuin Ibu. Lihat keadaanya. Ibu tinggal di belakang bukan di kampung." Lilis mencibir ke arahku. Bibirnya yang merah alami terlihat sangat menggemaskan.

Aku duduk di samping Lilis dan menciun bibirnya yang menggemaskan. Lilis membalasnya dengan mesra, kami berciuman tanpa menghiraukan kehadiran Ambu diantara kami.

"Kalian ini, kalau mau ciuman di kamar. Jangan di depan Ambu. Kalau Ambu kepengen bagaimana?" suara Ambu tidak mampu mengusik keasikanku mencumbu bibir Anis yang sangat menggairahkan.

"Ambu pengen ikutan?" tanya Lilis tertawa setelah ciuman panjang kami selesai. Matanya melihat ambj dengan senyum menggoda.

"Hush, Ambu masa disuruh nyobain punya mantu sendiri." Ambu yerlihat tersipu malu dengan godaan Lilis.

"Gak apa apa, Ambu. Kan Ambu udah pernah nyobain kontol A Ujang." Lilis semakin memancing Ambu untuk bergabung. Benar benar gila apa yang dilakukan Lilis. Apa calon istriku punya kelainan sehingga terobsesi melakukan 3some dengan ibunya sendiri.

"Ich, jangan sembarangan kalo ngomong." Ambu terlihat kaget, wajahnya menjadi merah.

"Lilis liat sendiri, Ambu ngentot sama A Ujang di sini. Tapi Lilis gak marah. Lilis pengen 3some sama Ambu." Lilis berjalan menghampiri Ambu dan menarik tangannya masuk kamar. Herannya Ambu tidak berusaha menolak tarikan tangan anaknya yang sudah kerasukan sex.

Aku terkejut dengan kegilaan Lilis, namun tak ayal mataku melihat pantat Ambu yang gempal bergoyang goyang memancing birahiku yang tiba tiba bangkit membayangkan 3some dengan ibu dan anak yang sama sama cantik.

"Jang, kok bengong aja?" goda Ambu yang sudah bisa mengendalikan dirinya dan terbawa oleh kegilaan anaknya. Yangannya melambai agar aku mengikuti masuk kamar.

Aku tidak bisa menolak keinginan Ibu dan anak yang menjadikanku pejantan tangguh. Hidupku berubah menjadi budak sex sejak aku mekakukan ritual di Gunung Kemukus. Mulai dari kegilaan Bi Narsih dan Desy yang menjeratku dalam hubungan terlarang ibu dan anak. Sekarangpun aku kembali terjerat hubungan terlarang Lilis dan Ambu.

Di kamar aku melihat Lilis menelanjangi Ambu yang berdiri pasrah membiarkan anak yang sudah dibesarkannya berbuat semaunya. Apa yang mendasari Ambu berbuat begitu? Kasih sayang seorang ibu atau demi kepuasan sex yang membutakan akal sehat. Hanya Ambu yang bisa menjawabnya. Sedangkan aku sebagai mantu yang berbakti adalah memenuhi keinginan liarnya.

"A, kok diem aja? Liat tetek Ambu sudah keras pengen diisep.!" protes Lilis menyadarkanku yang terpesona oleh keindahan tubuh bugil mertuaku yang montok tapi kulitnya begitu putih dan halus seperti kulit anak anaknya.

Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, tanganku meremas dada Ambu yang besar dan masih kencang diusianya yang ke 50. Dengan posisi masih berdiri aku membungkuk menghisap pentil dadanya yang sudah mengeras. Harum sekali dada Ambu.

"Aduh, mantu kurang ajar, tetek merua sendiri diembat." Ambu menekan kepalaku ke dadanya yang indah dan menggiurkan setiap pria yang melihatnya.

Sensasi sangat berbeda menngumuli payudar montok ibu mertuaku dihadapan anaknya yang begitu menikmati tontonan gratis di depan matanya.

Posisi berdiri dengan badan membungkuk mempermainkan dada montok Ambu, tidak begitu leluasa, leher dan punggungku terasa sangat pegal. Aku mengangkat Ambu dan merebahkannya di atas springbed empuk.

Lilis menarik tanganku saat akan menyusul Ambu, tangannya begitu cekatan menelanjangiku dan membebaskan kontolku dari kurungannya yang terasa pengap. Lilis rupanya ingin merangsangku lebih dulu, dia berjongkok membelai kontolku dan melahapnya dengan rakus.

"Aduh Lilis, !" aku mengerang nikmat merasakan kontolku terbenam di mulut Lilis yang terasa hangat dan nikmat. Lilis terlihat begutu menikmatinya, tidak ada rasa jijik menggerakkan kontolku dalam mulutnya yang selalu dijaga kebersihannya.

"Udah sayang!" aku berusaha menjauhkan kontolku dari mulut Lilis, kutarik tangannya dengan lembut agar berdiri sejajar denganku. Perlahan aku melepaskan seluruh pakaian yang menempel di Tubuhnya, dimulai dengan jilbabnya hingga ahirnya tubuhbya bugil seperti aku dan Ambu.

Tiba tiba Ambu menarikku ke dalam pelukannya. Bibirnya menyanbar mulutku dengan bernafsu. Tidak ada lagi rasa malu yang menghalangi nafsunya. Ambu begitu ganas mencumbuku di hadapan anaknya. Semuanya buta oleh nafsu yang menjerumuskan manusia berprilaku sebagai binatang yang melanggar norma norma.

Ambu mendorongku rebah, wajahnya langsung menghampiri kontolku yang sudah tegang sempurna. Sungguh liar mertuaku ini, melahap kontolku yang baru saja keluar dari mulut anaknya. Tanpa sadar aku menjambak rambut Ambu yang tebal dan masih tetap hitam. Tanpa kisadari, aku menggerakkan kepala Ambu memompa kontolku. Sungguh menantu sangat kurang ajar. Hampir saja aku memuntahkan pejuh ke mulut Ambu,. Aku segera menarik Ambu menjauh dari kontolku.

"Udah ,Mbu. Ujang pengen ngejilatin memek Ambu." aku menarik Ambu agar terlentang. Kakinya tanpa kusuruh langsung mengangkang lebar selebarnya memperlihatkan memek tembemnya yang indah tanpa bulu.

Tanpa menunggu waktu, aku membenamkan wajahku di selangkangan Ambu yang menebarkan aroma memabukkan, sehingga setiap pria yang mengirup dan melihatnya akan kehilangan kesadarannya. Kehilangan akal sehatnya. Begitu juga aku yang kehilangan kesadaran, memek wanita yang sudah melahirkan istriku kujilati dengan rakus. Setiap cairan yang keluar dari memeknya kuseruput hingga tidak tersisa.

Tiba tiba pintu kamar terbuka disertai teriakan Ningsih yang terkejut melihatku sedang menjilati memeknya Ambu dalam keadaan tubuh kami bugil.

Bersambung....


Chapter 14 : Dendam Tanpa Ahir

"A Ujang..!" Ningsih melihat ke arah kami bergantian dengan mata terbelalak.

Lilis yang berhasil mengendalikan diri lebih dahulu segera merangkul Ningsih dan mengajaknya masuk menghampiriku yang masih kaget dengan kehadirannya yang begitu tiba tiba.

"Teteh yang pengen ngerasaim A Ujang ngentotin Ambu. Jangan marah sama A Ujang dan Ambu ya, Ningsih!" Lilis merangkul Ningsih disertai pemintaan maaf.

Berbeda dengan Ambu yang tidak terkejut maupun takut melihat kedatangan Ningsih, dia justru menarikku dan mendorongku celentang lalu meraih kontolku yang langsung dikangkanginya. Ambu menekan.pinggulnya hingga kontolku amblas di memeknya yang hangat dan basah.

"Ambu,!" aku terkejut saat kontolku sudah tertelan memeknya. Tanpa memperdulikan kehadiran Ningsih, Ambu malah memompa kontolku dengan liar.

Ningsih tertawa geli melihatku dan Lilis yang ketakutan dengan kehadirannya. Dia malah terlihat tenang melihat Ambu sedang memompa kontolku.

"Kok Ningsih malah ketawa?" Lilis bertanya heran melihat keanehan Ningsih. Ningsih tidak marah seperti dugaannya.

"Kan waktu Ambu ke sini Ningsih pernah minta Ambu ngentot sama A Ujang, Ningsih pengen ngintip A Ujang lagi ngentot sama Ambu, gak taunya Teh Lilis ngidam yang sama." perkataan Ningsih membuatku dan Lilis bengong. Pantes Ambu tidak terusik dengan kehadiran Ningsih, malah semakin agresif.

"Uh, ennnak banget kontol mantu Ambu." Ambu mendesis lirih, pinggulnya bergoyang menggoda ke dua anaknya.

Benar benar keluarga gila, ibu dan anak mempunyai nafsu sama besar. Norma norma kehidupan telah sirna, terjatuh ke jurang nista yang menyeret mereka menjadi pemuja birahi. Tanggallah hubungan ibu dan anak. Keberanianku muncul, rasa sungkan sudah hilang ke dasar jiwaku yang terdalam. Tanganku meremas dada Ambu yang bergoyang indah, memancing setiap pria untuk menjamahnya. Mungkin ini yang dibilang posisi WOT.

Mendengar apa yang dikatakan Ningsih membuat Lilis terlihat lega. Lilis mengangkangi wajahku. Dalam keadaan biasa, aku pasti akan marah saat pantanya yang montok tepat di atas wajahku. Lidahku langsung menyapu memek Lilis dengan rakus. Bahkan cairan memeknya menetes ke mulutku. Dunia yang gila, aku melayani nafsu dua oranga wanita yang bukan istriku, sementara istriku menjadi penonton.

"Edun, memek ambu ennnak dientot mantu.... Ambu kelllluarrrrr, Jang...!" aku tidak bisa melihat espresi Ambu saat mendapatkan orgasme, wajahku tertutup pantat indah Lilis yang menggerakkan memeknya di mulutku.

Aku bisa merasakan, Ambu bangun dari pangkuanku. Melepaskan kontolku dari jepitan memeknya. Lilis segera menggantikan posisi Ambu, memeknya memeknya segera menelan kontolku yang berlumuran lendir memek Ambu.

Pandangan mataku terbebas, baru aku bisa melihat wanita yang aku cintai begitu asik menonton suaminya sedang melayani nafsu sex kakak dan ibunya. Bibirnya tersenyum manis melihatku.

"Enak gak memek Ambu, A?" Ningsih mencium bibirku. Kami berciuman saat Lilis memacu kontolku dengan lembut, sangat lembut gesekan yang terjadi antara kontolku dan dinding memeknya yang lembut dan lunak.

"Ampun A, memek Lilis enak banget disodok kontol A Ujang....!" Lilis begitu menikmati kegilaan kami dalam berpacu birahi. Tidak ada lagi batas abtara kakak ipar maupun ibu mertua, semuanya lebur dalam nafsu birahi purba.

"A, enak gak memek Ambu?" Ningsih kembali bertanya setelah bibir kami terlepas. Matanya menatapku lembut dan sorot matanya terlihat aneh. Sorot mata yang tidak kuketahui maknanya.

"Ningsih gak marah?" tanyaku heran melihat sorot matanya yang berbinar indah.

"Lilis kelllluarrrrr, A....!" kurasakan memek Lilis berkedut menyambut orgasme yang dahsyat. Bisa kurasakan Lilis menekan pinggulnya dengan keras.

"Ningsih kok gak buka baju?" tanyaku heran melihat Ningsih yang berpakaian lengkap dengan jilbab yang membuat wajahnya semakin cantik. Ya, sekarang Ningsih memakai jilbab.

"Ningsih cuma pengen nonton..." Ningsih tertawa melihat Lilis bangkit dari pangkuanku, sehingga kontolku terlepas masih dalam keadaan tegak perkasa.

"Aa belom keluar...!" protesku entah ke siapa.

"Sini keluarin di memek Ambu." kata Ambu berbaring di sampingku dengan kaki mengangkang lebar memperlihatkan belahan memek tembemnya yang mulus tanpa bulu. Benar benar tidak ditumbuhi bulu, bukan karena dicukur.

"Tuh katanya keluarin di memek Ambu.!" Ningsih membantuku bangun. Aku segera merangkak di atas tubuh montok Ambu yang sangat menggiurkan, tubuhnya tidak kalah dengan wanita berusia 30an mungkin terbiasa bekerja membuat tubuhnya tetap kencang.

Ningsih memegang kontolku dan mengarahkan ke memek Ambu yang agak terbuka siap menerima hujaman kontolku yang perkasa. Dengan mudah kontolku menembus lobang yang telah melahirkan istriku. Sensasi yang sangat dahsat kurasakan saat kontolku memompa memeknya. Bukan rasanya yang berbeda, tapi sensasinya yang sangat jauh berbeda. Aku tidak bisa menggambarkannya secara detil, karena hanya busa dirasakan.

Dan sensasinya mampu membuatku tidak mampu bertahan lebih lama lagi, pejuhku memancar dengan deras ke dasar lobang terdalam. Lobang yang telah melahirkan wanita yang sangat kucintai.

"Ambu, Ujang kelllluarrrrr...!" aku mengeram memuntahkan sejuta kenikmatan tiada tara.

"Ambu juga kelllluarrrrr lagi, Jang...!" Ambu memelukku dengan keras, bibirnya menggigit bibirku hingga berdarah.

Aku berteriak kecil membuat Ambu menyadari yelah menggigit bibirku hingga berdarah.

"Aduh maaf, Jqng. Ambu gak sadar gigit bibir kamu, saking enaknya dientot kamu." kata Ambu menatapku dengan perasaan bersalah.

"Gak apa apa, Mbu. Lilis dan Ningsih juga sering gigit pundak Ujang." kataku membelai pipi ambu yang halus dan terlihat masih kencang. Orang yang baru mengenalnya pasti tidak akan percaya Ambu sudah berumur 50 tahun.

"A, ditungguin Ibu. Ada yang mau dibicarain. Penting." Ningsih menyadarkanku dari pesona Ambu yang begitu menggairahkan. Ambu masih berada di atas tubuhku dengan kontolku masih dalam cengkeraman memek Ambu.

Ambu tertawa dan bangkit dari atas tubuhku, membuatku meringis gilu dan nikmat saat kontolku terlepas dari memeknya.

******

"Jang duduk, ibu mau bicara.!" kata ibu menyuruhku duduk di hadapannya. Ibuku duduk di samping Mang Udin yang terlihat sudah lebih segar. Aku kagum dengan kemampuan Mang Udin yang bisa pulih dengan cepat padahal lukanya cukup parah bahkan nyaris merenggut nyawanya.

"Mau bicara apa, Bu?" aku sudah menebak, pasti ibu akan membicarakan masalah pernikahannya dengan Mang Udin, itu sebabnya Mang Udin ada di sini mendampingi ibuku.

"Mang Udin mau menikahi ibumu, tapi...?" Mang Udin tidak meneruskan perkataanya, wajahnya terlihat gelisah. Mungkin dia takut aku tidak setuju. Aku berusaha sabar menunggu Mang Udin menyelesaikan perkataanya.

Aku tidak bisa menghalangi keinginan Ibu untuk menikah lagi. Sudah saatnya Ibu bahagia setelah belasan tahun mengorbankan hidupnya untuk membesarkan anak anaknya. Mungkin dengan menikah lagi ibu akan menemukan kebahagiaannya. Ada seseorang yang akan selalu menjaganya, karena sekuat apapun kami berusaha untuk membahagiakan dan menjaga ibuku, akan berbeda rasanya kalau yang menjaga dan yang membahagiakannya adalah suaminya. Aku merasa yakin Mang Udin akan mampu melakukannya.

"Ujang setuju kalau ibu mau nikah lagi." kataku memecahkan keheningan yang berlangsung agak lama.

"Terimaksih, Jang. Ibu bahagia bisa mengerti keinginan Ibu, tapi persoalannya...!" kembali ibu tidak meneruskan ucapannya seperti yang dilakukan Mang Udiin. Aku ikut gelisah melihat wajah ibu dan Mang Udin yang gelisah. Sebenarnya apa yang akan mereka bicarakan sampai susah untuk mengucapkannya. Aku sudah menyatakan persetujuanku, lalu apa lagi yang menghalangi mereka untuk menikah. Apa ayahku yang menjadi halangan mereka untuk menikah?

"Ada seseorang yang tidak akan membiarkan Ibu menikah dengan pria lain." kata ibu dengan sura gemetar. Entah takut atau marah.

Atau mungkin aku yang marah mendengar ada seseorang yang berusaha menghalangi kebahagian ibuku. Siapa orang yang berani melakukannya? Dia akan berhadapan denganku karena ingin merusak kebahagiaan ibuku.

"Siapa orang yang berani menghalangi ibu buat menikah? Apa ayah?" tanyaku marah. Orang itu akan menyesal karena berani melakukannya.

"Shomad..." ibuku berkata pelan, nyaris tidak terdengar olehku. Mendengar nama itu kembali disebut membuatku tertegun kaget.

Berarti benar cerita Mang Karta dan Bi Narsih tentang cinta segitiga antara ayahku, Ibu dan Pak shomad. Apa benar dia yang merusak kebahagiaan keluargaku terutama ibuku. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, aku akan berusaha melindungi kebahagiaan ibuku dengan taruhan nyawaku.

"Siapa sebenarnya Pak Shomad itu, Bu?" tanyaku pura pura tidak mengenal pria yang menjadi momok buat ibuku.

"Ayahmu, Mang Karta dan Shamad adalah sahabat karib. Mereka berguru silat ke Abahmu (kakekku). Shomad dulu mengejar ngejar ibu, tapi ibu lebih memilih ayahmu. Karena ibu jatuh cinta ke ayahmu. Sampai terjadi perkelahian antara ayahmu dan Shomad, Untung Mang Karta bisa melerai perkelahian mereka. Ahirnya itu menikah dengan ayahmu. Sedangkan Shomad hilang entah ke mana. Setelah menikah ibu ikut ayahmu tinggal di Jakarta. Saat kamu berusia 1 tahun, ibu kembali bertemu dengan Shomad di Jakarta.." ibuku terdiam beberapa saat seperti berusaha mengingat kejadian lebih dari dua puluh tahun yang lalu.

"Suatu hari ayahmu datang dengan Shomad, ternyata setelah perkelahian itu Shomad nerantau ke Jakarta. Ayahmu waktu itu masih jadi kuli angkut pasar dengan Mang Karta. Tapi semenjak bertemu dengan Shomad, ayahmu dan Mang Karta malah jadi preman pasar. Padahal ibu tidak setuju ayahmu jadi preman seperti itu. Ibu lebih senang ayahmu jadi kuli angkut dapat uang halal dari pada jadi preman dengan uang banyak tapi hasil dari meras orang. Uang haram." kembali ibu terdiam. Matanya terlihat berlinang tanpa dapat dicegahnya.

Hatiku miris setiap kali melihat ibuku bersedih. Aku sadar bahwa aku belum bisa membahagiakannya. Sekuat apapun aku berusaha mengambil tanggung jawab ayahku untuk membahagiaknnya, ternyata aku belum bisa membahagiakannya. Bahkan aku selalu membuatnya terluka. Aku ingat saat aku pergi pertama kali merantau ke Jakarta, menurut cerita yang aku dengar, hampir setiap hari ibu menangisiku karena merasa gagal.

"Ahirnya ibu memutuskan untuk kembali ke kampung karena tidak rela melihat ayahmu semkin tidak terkendali menjadi jagoan yang ringan tangan. Hingga ahirnya ayahmu dianggap mati karena hanyut di sungai." ibuku menarik nafas panjang berusaha mengumpulkan kekuatannya yang semakin terkikis.

"Suatu hari Shomad datang melamar ibu setelah kematian ayahmu. Tapi ibu menolaknya. Shomad marah dan mengancam akan membunuh siapa saja pria yang berni mendekati ibu. Abah marah mendengar ancaman Shomad dan mengusir Shomad sampai terjadi perkelahian. Untung abahmu bisa mengalahkan Shomad." kata ibuku mengahiri ceritanya.

Ternyata almarhum abah seorang jawara silat yang hebat. Aku beruntung telah berhasil menyerap seluruh ilmu silatnya sampai berumur 15 tahun. Aku dilatih oleh Abah. Satu satunya kelemahanku adalah aku belum terlatih dalam pertempuran jalanan sehingga aku mudah dikalahkan. Aku masih terlalu hijau.

"Yang mencelakai Mang Udin adalah Shomad..!" kata Mang Udin membuatku sangat terkejut dan juga lega karena bukan ayahku yang melakukannya.

"Shomad membuktikan ancamannya untuk mencelakai siapa saja pria yang mendekati ibu." ibu mengusap air mata yang tiba tiba membasahi pipinya yang halus. Ibuku benar benar cantik dan kecatikannya selalu membuat kagum Lilis dan istriku Ningsih.

Aku benar benar marah dengan Shomad. Keinginanku untuk keluar dari dunia hitam harus aku tarik. Aku harus bergabung dengan Mang Karta dan Bi Narsih menyusun rencana untuk menghancurkan Shomad agar ibuku bisa bahagia tanpa ada yang menggunya.

Benar kata Bi Narsih, aku tidak bisa mundur. Secara tidak langaung aku telah diseret oleh Shomad dalam dendam masa lalunya. Aku adalah anak pion yang digunakan untuk memancing ayahku keluar dari tempat persembunyiannya.

"Jadi yang membuat Mang Udin hampir tewas adalah, Shomad?" aku benar benar tidak pernah menduganya.

Belum sempat Mang Udin menjawab, dari arah pintu yerdengar ucapan salam. Betapa terkejutnya aku melihat Ayahku dan Bu Dhea berdiri di depan pintu.

"Kang Gobang?" ibuku berteriak melihat ayahku berdiri di ambang pintu. Matanya melotot seperti melihat hantu yang sangat menakutkan.

"Aku akan membiarkanmu menikahi mantan istriku Kokom kalau kamu bisa mengalahkanku, Tompel!" ayahku berkata dingin tidak menghiraukan keberadaanku dan juga ibu. Matanya tertuju ke arah Mang Udin, tatapan matanya begitu dingin dan penuh ancaman.

Mendengar ayahku berani mengancam dan mengusik kebahagiaan ibuku, membuatku sangat marah. Kebencianku semakin menumpuk dan berubah menjadi kemarahan yang tidak mampu lagi aku tahan. Mang Udin sedang terluka, tentu Mang Udin tidak akan mampu menghadapi ayahku. Untuk bergerak saja dia harus menahan sakit.

Tanla memberi peringatan, aku mendorong ayahku keluar menuju pekarangan. Ayahku hanya tertawa kecil sambil mundur ke belakang mencari ruang yang lebih luas. Dia menatapku tajam, setajam sembilu. Di pekarangan ayahku memasang kuda kuda siap menerima seranganku.

"Pergi dari sini, jangan pernah berani mengganggu ibuku lagi atau kamu akan kubunuh...!" kataku mengancam dan aku sendiri kaget dengan ancaman yang keluar dari mulutku. Aku belum pernah mengancam orang.

Ayahku hanya tertawa dingin dan tiba tiba kepalan tanganya mengarah ke arah wajahku, cepat dan bertenaga.

Bersambung...



Chapter 15 Antara Benci dan Rindu


Reflek aku menangkis dan sekaligus membalas pukulannya sama sama mengarah ke dagunya yang terbuka tanpa pertahanan. Perkiraan yang salah, karena dengan sedikit gerakan pukulanku dapat dihindari. Dan sebuah tendangan balasan tepat mengarah ke arah perutku. Cepat tanpa terlihat. Tapi naluriku bisa merasakannya. Reflek aku bergerak mundur menghindar.

"Hahaha, reflek dan instingmu sudah semakin bagua, Jalu." ayahku terlihat tersenyum sinis, melihatku yang bisa menghindar dari tendangannya yang licik dan tidak terlihat.

Aku menatapnya marah, pandangan matanya yerlihat seperti melecehkanku. Aku bergerak memulai serangan dengan kekuatan penuh dan tidak terduga, aku yakin apabila tepat mengenai dagunya akan berakibat patal. Hanya dengan sedikit gerakan pukilanku meleset mwmbuat tubuhku terhuyung karena tenaga yang kukerahkan terlalu bertenaga. Belum sempat aku mengendalikan diri, swbuah sapuan di kak membuatku terjatuh.

Reflek aku berguling menjauh darinya, mengambil jarang apa bila dia melakukan serangan susulan. Benar benar jago tua yang hebat dan berpengalaman, aku dapat dijatuhkan dengan cepat. Padahal aku merasa kemampuan bertarung jalananku sudah meningkat, tapi aku bisa dijatuhkan dengan singkat.

"Kamu seperti Karta, bertindak dengan emosi. Kamu tolol karena tidak bisa mengendalikan diri." dia menatapku, tidak bergerak melakukan serangan susulan seperti perkiraanku.

Mendengar perkataannya yang kuanggap sebagai sebuah penghinaan untukku dan Mang Karta, membuatku semakin marah. Aku bangkit dan melakukan serangan bertubi tubi dengan jurus jurus Cimande yang kupelajari dari Abah. Jurus jurus yang sudah kulatih selama belasan tahun. Hebat, ayahku bisa bergerak cepat mwnangkis atau kadang menghindari semua seranganku. Bahkan kadang pukulannya malah tepat mengenai dadaku. Herannya pukulannya yang cepat terasa tidak bertenaga saat mengenaiku.

Dia benar benar menganggapku remeh, seranganku semakin tidak terkendali untuk segera menjatuhkannya. Dia harus tahu, aku tidaklah selemah yang disangkannya. Jurus jurusku sudah terlatih dan pukulanku sudah sangat kuat. Kulatih setiap hari memukul samsak sehingga tanganku menjadi kapalan.

Dan tanpa bisa kuhindari, sebuah bantingan yang sangat cepat dan akurat membuatku terjatuh untuk kedua kalinya.

"Anak tolol, kendalikan dirimu saat bertarung. Jangan terpancing oleh musuhmu." ayahku berkata dengan suara dingin.

"Bukan begitu cara bertarung yang benar, Jang. Lihat ibu." kata ibu yang tiba tiba sudah bergerak menyerang ayahku.

Aku kaget melihat ibu menyerang ayahku dengan cepat. Gerakannya terlihat cepat dan bertenaga. Bahkan bisa dikatakan lembut sesuai dengan kodratnya sebagai wanita. Aku tahu ibuku ahli bela diri karena kadang kami berlatih bersama. Tapi yang membuatku terkejut adalah ibu berani menghadapi pertempuran yang sesungguhnya.

Ibu yang selama.ini kuanggap sebagai wanita yang lembut sekarang berubah menjadi singa betina yang garang. Ayahku terlihat sangat kaget melihat ibuku bisa bertarung dengan hebat. Gerakannya cepat dan bertenaga walau masih tetap terlihat luwes tidak mengurangi kodratnya sebagai wanita.

Tidak sperti saat menghadapiku, ayahku terlihat sangat berhati hati melayani serangan ibuku
Dia bukan hanya sekedar menghindar, bahkan terlihat membalas serangan ibuku dengan bersungguh. Hebat, ibuku bisa menghindari pukulan ayahku bahkan membalasnya.

"Cukup..!" teriak ayahku meloncat mundur. Matanya menatap kagum ibuku yang berdiri dengan kuda kuda yang kokoh.

"Kita sudah tidak ada hubungan apa apa lagi, Kang. Jangan pernah mengganggu kami." ibuku berkata dengan tenang.

"Aku datang bukan untuk mengganggu kalian, aku hanya ingin kamu menasihati Jalu agar tidak ikut campur urusan kami para orang tua." ayahku berkata dingin. Matanya menatapku tajambisa Mendengar perkataannya yang melecehkan dan juga melihat keberanian ibu. Harga diriku sebagai lelaki terusik. Aku kembali menyerangnya dengan cepat, hanya saja sekarang emosi dan kemarahanku mulai berkurang bahkan bisa kukendalikan. Sekarang aku bertarung demi harga diriku. Aku berusaha tenang dan konsentrasi dalam setiap gerakanku.

Hasilnya sungguh luar biasa. Ayahku terlihat kaget menghadapi seranganku. Bahkan beberapa kali seranganku hampir mengenainya dan membuatnya tidak bisa terus bertahan. Dia membalas serabganku dengan bersungguh sungguh. Sekarang aku bisa menghadapi serangannya dengan tepat. Aku bisa dengan cepat mengambil keputusan kapan harus menghindari serangan, kapan harus menangkis serangannya dan pada saat yang tepat aku membalas serangannya.

"Bagus, harus seperti ini bertarung." kata ayahku sambil membalas pukulanku yang bisa dihindarinya dengan susah payah.

"Sudah, cukup..!" teriakan Mang Udin terdengar berpengaruh.

Terbukti ayahku mundur dan menyuruhku berhenti.

"Cukup Jalu, kamu hebat. Ingat, saat bertarung harus seperti tadi, kendalikan emosimu. " kata ayahku sambil menatap ibuku.

"Aku tidak akan mengganggu kalian kalau kalian akan menikah. Hanya aku ingin kalian tetap waspada, Shomad tidak akan diam. Terima kasih sudah menjadi ibu yang baik untuk anak anakku." katanya dengan wajah menunduk lalu pergi meninggalkan kami begitu saja.

Tidak ada salam perpisahan, ayahku pergi begitu saja meninggalkan kami yang berdiri mematung melepaskan kepergiannya. Entah apa yang kurasakan saat ini. Aku sendiri tidak tahu. Ada rasa benci yang membuatku sangat marah melihat wajahnya. Dan satu sisi aku juga tidak bisa memungkiri betapa aku sangat merindukan kehadirannya.

Aku tersadar saat ibu memelukku dan mengajakku masuk ke dalam. Langkahku terasa ringan mengikuti langkah kaki ibu. Pikiranku kosong.

******

Pov Anis

Anis mengelus lerutnya yang semakin membesar. Kehamilan yang membuat sangat marah dan membenci dirinya sendiri. Kenapa harus dirinya harus mengalami penderitaan yang terus menerus seolah tanpa ahir. Kecantikan yang dimilikinya justru membuatnya menderita dan terjerumus ke dalam lembah nista yang berkepanjangan.

Dimulai dari perkenalannya dengan Gobang, lalu mereka melakukan ritual di Gunung Kemukus. Anis merelakan keperawanannya demi cintanya kepada pria itu. Tindakan yang disesalinya seumur hidup.

Sehabis ritual pria itu mengingkari janjinya, mencampakkanya begitu saja. Sakit membutakan matanya, dia ingin membalasnya. Dan seorang pria datang dengan janji manis lainnya. Namanya Codet. Pria itu mengaku kenal dengan seorang dukun sakti yang mampu membuat seseorang bertekuk lutut dan tergila gila kepadanya.

Anis percaya karena Codet dengan wajahnya buruk mempunyai seorang istri yang sangat cantik. Dia sangat berharap dengan bantuan Codet dia bjsa membjat pria itu bertekuk lutut mengemis cinta kepadanya. Tentu tidak ada yang gratis di dunia ini. Anis hatus rela melayani nafsu sex Codet agar mendapatkan bantuan pria itu. Sekali lagi dia melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya.

Anis hamil dan pria itu justru menghilang stelah meminum obat yang diberikan olehnya. Terpaksa Anis menerima Codet sebagai suaminya untuk menutupi aibnya dan juga aib keluarganya.

Setelah sekian belas tahun Anis mendapatkan kabar dari seorang temannya yang melihat pria itu berada di Gunung Kemukus. Dengan tekad bulat Anis mendatangi Gunung Kemukus berharap dengan pria itu dan yang ditemuinya justru anak pria itu. Entah kenapa justru Anis kembali jatuh cinta pada orang yang salah. Dia jatuh cinta pada anak pria itu. Dia berharap bisa memiliki anak pria itu.

Beruntung dia mempunyai seorang paman, atau lebih tepatnya suami dari Bibinya yang bersedia membantunya untuk mendapatkan pria itu. Sekali lagi tidak ada yang gratis dalam hidup ini. Bantuan yang ditawarkan harus dibayar dengan kehangatan tubuh indahnya yang membuat setiap lelaki ingin mencicipinya walau hanya semalam.

Sekali lagi Anis membiarkan pamannya mencicipi kehangatan tubuhnya dan kembali musibah itu datang, Anis hamil bukan dari pria yang dicintainya. Anis merasa bersukur karena Pamannya menepati janji. Anis dapat menikah dengan pria yang dicintainya walau harus mengandung anak pamannya.

Saat Anis larut dalam masa lalunya, pamannya masuk dan memeluknya dari belakang. Anks bisa melihat wajah pamannya dari kaca meja rias. Wajah yang ahir ahir ini membuatnya merasa muak dan takut. Tapi dia tidak mempunyai pilihan lain. Anis harus bersedia melayani nafsu pamannya agar Ujang tetap menjadi suaminya. Dia tidak mau kehilangan pria yang dicintainya.

Anis pasrah saat pamanya mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di ranjang besi. Anis memalingkan wajahnya saat pria itu menciumi wajahnya dan beralih ke leher jenjangnya. Anis mengutuk pria tua itu yang meremas dadanya dengan kasar. Sakit bukan hanya di tubuhnya tapi juga sampai dengan dengan jiwanya.

Hampir saja air matanya keluar saat pria itu menelanjangi tubuhnya. Tanpa pemanasan, pria itu memaaukkan kontolnya ke dalam memeknya yang masih kering. Anis merintih kesakitan, memeknya seperti bergesekan dengan amplas, air matanya mengalir tanpa bisa ditahannya.

Pamannya memompa memeknya dengan kasar tanpa memperdulikannya yang merintih kesakitan. Justru pamannya seperti menikmati melihat air matanya dan jerit kesakitannya. Dia berharap pamannya segera memuntahkan pejuhnya agar dia tidak tersiksa lebih lama lagi.

Tapi keinginanya bertolak belakang dengan kenyataan yang dialaminya. Pamanya tidak juga memuntahkan pejuhnya. Anis tahu pamannya bisa bertahan lama. Kontol pamannya mampu bertahan lama dan Anis harus merasakan sakit itu selama lebih dari sepuluh menit.

Anis memejamkan matanya membayangkan Ujang yang sedang memacu memeknya, berharap dengan cara itu rasa sakitbya akan berkurang dan berganti dengan rasa nikmat yang akan membawanya ke puncak kenikmatan. Tapi banyangan Ujang buyar saat pamannya membisikkan sesuatu yang membuatnya ketakutan. Sebuah ancamab yang akan dilaksanakan oleh pamannya.

"Tolong, jangan lakukan itu..!" Anis memohon. Rasa takutnya mengalihkan rasa sakit di memeknya.

"Asal kamu mau melakukan sesuatu untukku..!" pamannya tertawa licik. Kontolnya semakin cepat memompa memeknya.

Anis bergidik ngeri melihat seringai licik pamannya sehingga memeknya yang terasa sakit tidak dirasakannya lagi. Dia harus mencegah pamannya mencelakai suaminya. Satu satunya pria yang dicintainya. Pria yang membuatnya bisa tersenyum lepas.

"Apa yang harus Anis lakukan?" Anis merintih menahan isak tangisnya.

Pamannya tidak menjawab, pria itu memompa memeknya dengan brutal. Ahirnya kontol pria itu memuntahkan cairan pejuh yang sudah menghamilinya.

*†****

Aku menatap kagum dengan kemampuan ibuku dalam sebuah pertarungan yang sebenarnya. Sehingga ayahku terlihat kewalahan menghadapi serangannya yang terarah dan penuh perhitungan.

"Kamu sudah hebat. Jurus, reflek, kecepatan dan juga kekuatanmu sudah mumpuni. Satu satunya kelemahan kamu adalah tidak mampu mengontrol emosimu." Mang Udin memberi tahukan kelemahanku dalam pertarungan jalanan.

"Kamu seperti Kang Karta. Selalu mengikuti kata hati dan tidak bisa berpikir panjang." ibu meneruskan perkataan Mang Udin.

Ya memang benar, aku gampang terpancing dan terbawa suasana. Aku selalu bertindak tanpa berpikir lagi. Sesuatu yang kutiru dari Mang Karta tanpa aku sadari. Tidak heran Bi Narsih selalu menyamakan aku dengan Mang Karta.

"Kamu itu lebih cocok jadi anak Mang Karta dari pada anak Kang Gobang." itu yang selalu dikatakan Bi Narsih kepadaku dan selalu diamini oleh ibuku. Jujur, aku selalu senang kalau dibandingkan dengan Mang Karta. Aku bahagia sekali mendengarnya.

"Kamu harus belajar mengendalikan dirimu, Jang." ibu membelai rambutku.

"Tadi setelah ibumu bertarung dengan Kang Gobang, gaya bertarungmu langsung berubah. Kamu bisa mengimbangi Kang Gobang bahkan membuatnya sedikit kewalahan. Ingat, belajar menguasai diri, karena yang kita hadapi adalah Shomad yang pernah menhebak ayahmu dan juga ham0ir membunuhku." kata Mang Udin tenang.

Aku tersenyum malu karena diberitahukan kelemahanku. Sekali lagi aku melihat ibuku dengan perasaan kagum. Wanita yang terlihat lembut dan lemah ini ternyata mempunyai kemampuan bela diri yang menakjubkan.

"Terus kita harus bagaimana? Apa kita biarkan Shomad terus menerus mengganggu ibu?" tanyaku menhembalikan topik pembicaraan ke Shomad.

"Kita saat ini menunggu intruksi dari Bibimu, dia lebih tahu apa yang harus kita lakukan." kata ibuku yang terlihat lebih tenang.

"Kang Gobang juga sudah mulai bergerak, dia pasti sudah menyebar orang orangnya di sekitar sini untuk menjaga ibu dan keluargamu dari gangguan Shoy." Mang Udin menambahkan perkataan ibu dan itu membuatku sedikit lebih tenang. Entah dari mana Mang Udin tahu ayahku sudah menyebar orang orangnya untuk melindungi keluargaku. Mungkin karena pengalamannya berkecimpung di dunia hitam cukup lama.saat.

"A Ujang, ada telpon...!" kata Lilis yang tiba tiba datang tanpa mengucapkan salam.

"Dari siapa, Lis?" tanyaku heran melihat wajah Lilis yang terlihat merah seperti menahan marah. Matanya menatapku tajam penuh ancaman.

"Dari Anis, istri muda kamu..!" aku berharap apa yang kudengar dari mulut Lilis itu salah.

"Siapa, Lis?" tanyaku berusaha memastikan apa yang kudengar.

"Dari Anis istri muda kamu....!" Lilis berkata dengan suara keras.

Bersambung.

Maaf, apdet lebih pendek.



Chapter 16 : Lilis Sang Ratu


Aku terkejut saat nama Anis disebut, ini adalah musibah yang menghancurkan hidupku. Aku bisa kehilangan istri yang kucintai. Aku berusaha mengendalikan diri dan seribu kebongan melintas di pikiranku. Satu satunya cara untuk menyelamatkan keutuhan keluargaku.

"Anis siapa, Lis?" tanyaku dengan mimik wajah kubuat seheran mungkin. Aku sangat jarang berbohong dan aku tidak tahu kebohonganku akan berhasil atau tidak. Tapi yang jelas aku harus bisa mempertahankan keutuhan rumah tanggaku.

"Anis keponakannya Pak Shomad..!" Lilis menjawb dengan mimik wajah yang sangat meyakinkan. Mimik wajah yang terlihat sangat marah.

Aku menoleh ke arah ibu dan Mang Udin, meminta pertolongan yang bisa mereka berikan. Pertolongan yang mampu menyelamatkanku.

"Maksud Lilis keponakan Shomad yang dari Karawang?" tanya Mang Udin terlihat tegang.

"Iya,.!" jawaban yang hanya satu kata dan mengandung ancaman yang tidak main main.

"Si Shomad benar benar bajingan. Dia tidak bisa menyentuh Kang Gobang, sekarang dia mau menghancurkan rumah tangga keponakanku. Shimad....!" wajah Mang Udin tiba tiba menjadi pucat, tangannya mendekap dadanya pas di bagian yang terluka.

"Mang, kenapa?." Lilis menjerit maget melihat Mang Udin yang kesakitan. Perhatian kami teralihkan ke Mang Udin yang menahan sakit.

Aku memapah Mang Udin ke kamar dan merebahkannya di atas kasur busa yang digelar di atas lantai. Tidak ada ranjamng, has para perantau.

Ibu segera mengambil obat penghilang sakit. Diberikan ke Mang Udin dengan segelas air putih. Mang Udin langsung meminumnya. Kami menunggu gelisah reaksi obat yang agak lama. Bahkan terasa lama. Kami semua terdiam dengan pikiran kami masing masing membuat suasana semakin mencekam.

15 menit ahirnya Mang Udin terlihat tenang. Rasa sakitnya mungkin sudah berkurang jauh terlihat dari wajahnya yang mulai bisa tersenyum. Kami menarik nafs lega.

"Lis, kamu tahu siapa Shomad dan Anis?" tanya Mang Udin menatap keponakannya dengan lembut. Keponakan yang sudah menjadi yatim piatu saat berusia 1 tahun. Sejak itu Lilis dirawat oleh uwanya yang belum mempunyai anak.

"Anis katanya istri Ujang. " suara Lilis kembali ketus menahan kemarahan yang bisa meledak kapan saja. Sama seperti kemarahanku kepada Anis yang sudah mengingkari janjinya untuk tidak merusak rumah tanggaku.

Mungkin bukan masalah buatku keluar dari rumah Lilis. Aku bisa membawa ibuku, tabungan yang diwariskan Pak Budi cukup membuat hidupku bergelimang harta, apa lagi aku sempat melihat tabunganku bertambah secara misterius. Entah berasal dari mana, ada sejumlah uang yang sangat besar ditransfer ke rekeningku. Ditambah dengan emas batangan yang terimpan di Gunung Kemukus.

Bukan masalah harta yang menjadi persoalan. Tapi aku tidak mau kehilangan wanita yang paling aku cintai, istriku. Apa lagi sebebtar lagi anakku akan lahir. Aku akan mempertahankan keluargaku apapun yang akan terjadi.

"Shomad adalah orang yang menghancurkan keluarga Ujang." lalu Mang Udin mulai menceritakan kejadian yang menimpa keluargaku karena ulah Shomad. Bahkan Mang Udin juga menceritakan bahwa yang meracun ayahku adalah Anis atas perintah Shomad.

"Jadi Anis disuruh Shomad buat menghancurkan kiya semua?" tanya Lilis terkejut. Lilis menatapku, tatapan yang aku kenal. Tatapan yang penuh cinta.

"Maafin Lilis A, udah nuduh A Ujang yang bukan bukan." Lilis memelukku sebagai permintaan maaf. Aku melihat wajah ibuku terlihat aneh melihat Lilis memelukku. Aku tidak tahu kenapa wajah ibuku menjadi seperti itu.

"Lilis pulang dulu, sepertinya sedang ada pembicaraan serius." Lilis mencium tanganku dan sekali lagi aku melihat wajah ibuku yang terasa semakin aneh. Lilis bergantian mencium tangan ibu dan Mang Udin lalu meninggalkan kami.

"Ada hubungan apa kamu sama Lilis?" nada suara Ibu terdengar tajam, tatapan matanyapun terasa tajam dan dingin.

Baru aku sadar arti tatapan ibuku. Perlahahan aku menjelaskan rencana pernikahanku dengan Lilis setelah melahirkan. Aku tidak menceritakan bahwa anak yang dikandung Lilis adalah anakku, karena itu adalah aib almarhum Pak Budi, biarlah itu tetap menjadi rahasia kami.

"Tidak boleh, Lilis itu kakak ipar kamu. Haram hukumnya menikahi saudara kandung dan seayah istrimu
" bentak ibu membuatku terkejut. Ibuku sangat jarang marah apa lagi membentakku.

"Ningsih dan Lilis bukan saudara seayah maupun seibu. Lilis itu anak adiknya Imas yang meninggal waktu bayi, sedangkan ayah Lilis meninggal sebelum Lilis lahir. Sejak itu Lilis dirawat oleh Imas yang belum punya anak. Jadi Ujang bisa menikah dengan Lilis." Mang Udin menerangkan ke Ibuku tentang hubungan Ningsih dan Lilis.

"Kok bisa kamu mau menikahi Lilis? Bagaimana dengan Ningsih?" ibuku menarik nafas lega setelah mengetahui hubungan Lilis dan Ningsih.

"Ningsih ngedukung, Ambu dan Abah juga sudah menyetujui." kataku setelah lepas dari semua masalah yang tiba tiba datang dan pergi secepatnya. Aku menarik nafas lega, urusanku sekarang hanya dengan Shomad.

*******

Aku membuka brankas di kamar Pak Budi, aku akan berusaha mencari petunjuk yang lebih detil. Mungkin ada sesuatu yang aku lewatkan. Entajlah aku sendiri tidak tahu apa yang kucari.

Sedang asik aku memeriksa semua isi brankas terutama berkas berkas yang tidak kutahu fungsinya. Lilis masuk dan ikut berjongkok di sampingku.

"Nyari apa, A?" tanya Lilis memperhatikan wajahku yang terlihat bodoh karena tidak tahu apa yang kucari.

"Petunjuk..!" kataku singkat. Karena hanya satu kata itu yang kutahu dan selebihnya aku tidak tahu.

"Petunjuk apa? Keterlibatan almarhum dengan bisnis haramnya?" Lilis menatapku tanpa sedetikpun berpaling dari wajahku membuatku sedikit jengah.

"Hihihi, A Ujang diliatin gitu aja langsung merah mukanya." Lilis menciumku mesra. Lilis mengambil buku agenda Pak Budi, di dalamnya ada secarik kertas bukti transfer dari Komar dengan jumlah yang sangat besar dan juga bukti tranfer Pak Budi untuk Mas Gatot dengan jumlah sama dengan yang diterima Pak Budi.

"A Ujang tahu siapa Komar?" Lilis bertanya sambil memperl8hatkan nama Komar.

Hampir saja aku menggeleng, tapi tiba tiba aku teringat sesuatu. Bukankah Komar adalah nama asli Codet. Berarti Codet terlibat dengan rencana ritual di Gunung Kemukus. Aku menatap Lilis, berusaha mencari kebenaran yang sebenarnya.

"Tujuan Lilis ke Gunung Kemukus murni buat ritual dengan A Ujang." Lilis menerangkan, dia bisa menebak pikiranku.

"Aa liat ini..!" Lilis mengambil buku Diary Pak Budi dan membuka halaman yang ternyata sudah ditandai oleh Lilis. Aku tidak tahu maksud Lilis memperlihatkan halaman yang sudah ditandai. Tidak ada hal yang istimewa. Pak Budi hanya menulis keinginanya memberikan cucu ke orang tuanya.

"Halaman ini disobek beberapa lembar dan Lilis menemukan sobekannya di tempat sampah. Lilis menemukannya di tempat sampah dan menyimpannya." kata Lilis, lalu berjalan ke arah brankasnya dan membukanya. Lilis mengambil 4 lembar kertas yang ternyata sobekan buku diary Pak Budi. Lilis menyerahkannya kepadaku.

Hebat, kembali aku menyadari kecerdasan calon istriku ini. Aku tidak pernah menyangka dia akan berbuat sejauh dan seteliti ini. Entah alasan apa yang membuatnya menjadi begitu.

Lembar pertama.

Dear Diary, sekarang aku sudah sampai di Gunung Kemukus seperti yang sudah kurencanakan, aku bertemu dengan Wati dan Ujang. Kami akan bertukar pasangan biar aku bebas menjalankan misiku mencari keberadaan Gobang seperti yang disuruh Shomad melalui Codet.

Berarti aku mempunyai dua misi, misi pertama adalah mencari Codet. Aku akan memancingnya keluar dari tempat persembunyiannya dengan menjadikan anaknya sebagai umpan agar dia mau keluar dari persembunyiannya.

Misi ke dua tentu saja aku sangat berharap Lilis hamil dalam ritual ini. Hamil oleh pemuda culun, sungguh ironis membayangkan istriku akan hamil oleh pemuda tolol yang diam diam dicintai istriku. Membuatku cemburu.


Lembar ke dua.

Aku dan Wati berkeliling mencari Gobang. Kami sengaja mengajak Wati berpencar agar kemungkinannya semakin besar menemukan Gobang. Belum lagi kami berpencar, aku melihat Japra Aku bersorak kegiranngan. Aku yakin itu Japra. Di mana ada Japra pasti ada Gobang.

Aku mengikutinya hingga Gemolong bersama Wati. Sampai Gemolong aku menyuruh Wati kembali ke Gunung Kemukus agar aku bisa lebih leluasa mengutit Japra.

Shit, aku kehilangan jejak.


Lembar ke tiga.

Ada seseorang yang berhianat, dia tahu tujuanku mencari Gobang. Aku mulai mencurigai Dhea sebagai kaki tangan Gobang.

Satu satunya harapanku menyelamatkan bisnisku yang mulai mendekati kehancuran adalah menemukan Gobang, Shomad menjanjikanku uang yang bisa menyelamatkan bisnisku.


Lembar ke empat.

Kurang ajar, ternyata Codet menipuku. Bukan hanya aku yang tertipu, tapi juga Shomad. Codet ternyata kebih licik dari Shomad. Emas hasil rampokan ternyata disimpan olehnya. Gobang hanya mendapatkan sebagian saja.


Kalau ini aku sudah tahu, yang tidak aku tahu adalah Codet menyimpan sebagian besar emas hasil rampokan. Dari mana Pak Budi mengetahuinya. Ada sesuatu yang aneh di sini.

Aku menatap kagum dengan kecerdasan Lilis. Kecantikannya berpadu dengan kecerdasannya. Kombinasi yang sempurna.

"Bisnis hitam Shomad sedang sekarat, makanya dia mencari ayah A Ujang untuk mendapatkan emas hasil rampokan, tapi dia sendiri sudah tertipu oleh Codet yang menyimpan emas hasil rampokan yang lebih besar." kata Lilis menerangkan dengan tenang. Dia begitu yakin dengan analisanya yang brilian.

Apakah itu sebabnya Shomad menyingkir ke Cirebon, karena bisnisnya sudah hancur. Aku berusaha menganalisa keadaan yang saat ini sedang kuhadapi. Aku baru sadar, musuh yang aku hadapi berada di tempat tersembunyi dan aku tepat berada di tengah tengah lapangan terbuka menjadi sasaran empuk.

"Lalu A Ujang harus bagaimana?" tanyaku nyaris putus asa dengan situasi yang aku hadapi. Situasi yang tidak pernah aku inginkan.

"A Ujang harus nengorek keterangan dari anak Codet sebelum orang orangnya Shomad menadapatkan ke dua gadis itu. Kalau itu sampai yerjadi, Shomad mendapatkan emas itu, dia akan dengan mudah menghabisi kita semua." Lilis terlihat tenang, seolah apa yang dikatamannya sudah dipikir matang matang.

Aku tidak habis pikir bagaimana dia bisa nengetahui semuanya sedangkan aku masih meraba harus melakukan apa. Lilis sudah mengambil kesimpulan dan juga mengambil keputusan yang menurutku sangat sulit.

"Sekarang A, jangan ditunda lagi. Aa akan ditemani oleh bekas anak buah Pak Budi yang paling loyal dan sekarang mereka dibawah komando Lilis." suara Lilis terdengar tegas membuatku sadar dari lamunanku.

"Tapi, Lis?" aku tidak meneruskan perkataanku. Bukankan mengorek keterangan dari ke dua anak gadis itu bisa kulakukan besok. Sekarang justru aku ingin mendengar cerita Lilis bagaimana dia bisa mengetahui semuanya. Bagaimana wanita seanggun dia bisa mendapatkan informasi yang aku sendiri baru mengetahuinya sekarang.

"Gak ada tapi tapian, tadi Anis nelpon. Lilis curiga itu cuma untuk mengalihkan perhatian kita." kata Lilis tegas. Kelembutannya hilang. Dia terlihat seperti Ratu yang perintahnya adalag mutlak harus dilaksanakan.

Aku segera berganti pakaian yang lbisa membuatku bergerak lincah kalau harus menghadapi pertarungan yang bisa terjadi kapan saja. Yernyata benar, di depan sudah ada 5 orang bertampang sangar menungguku. Kami segera berangkat ke markas Mang Karta dengan membawa mobil.

Ternyata apa yang ditakutkan Lilis benar benar terjadi. Markas Mang Karta ada yang menyerang. Di dalam terjadian perkelahian tidak seimbang. Beberapa anak buah Mang Karta bergelimpangan terluka. Bahkan pagar besar sudah hampir rubuh.

Bersambung
 
Chapter 17 : Tato Tersembunyi

Kami segera turun dan membantu anak buah Mang Karta terlihat kewalahan menghadapi orang yang melakukan penyerangan. Ada sedikit kehawatiranku bagaimana kalau ternyata orang yang datang malah menyerang orang Mang Karta karena mereka tidak saling mengenal. Bagaimana cara mereka mengenal kawan dan lawan. Saat aku sedang bingung, tiba tiba salah seorang rombonganku berteriak.

"Jalu....!" suaranya terdengar kencang, aneh kenapa harus berteriak memanggil namaku. Belum sempat aku mengomel ada jawaban susul menyusul dari orang yang sedang berkelahi.

"Narsih..!" disusul jawaban dari beberapa orang. Mungkin ini cara mengenali kawan maupun lawan.

Tanla aba aba orang orang yang datang bersamaku langsung menyerang dengan membawa pentungan. Dalam sekejap terjadi pertarungan antar kelompok.

Aku terpana melihatnya, aku seperti sedang melihat adegan film di layar biokop. Dan sebuah pentungan yang mengarah ke leherku menyadarkanku. Ini bukan adegan film, tapi pertarungan yang sesungguhnya dan aku terlibat di dalamnya.

Reflek aku menghindar dan membalas dengan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahangnya. Orang itu terjungkal dan tidak mampu bangun lagi.

Aku ikut merangsek baju. Setiap kali aku berhadapan dengan orang yang bekum aku kenal, aku akan bertanya. Jalu, apa bila dia menjawab Narsih berarti dia anak buah Mang Karta. Ternyata orang yang menyerang markas Mang Karta jumlahnya dua puluh lebih. Anak buah Mang Karta yang tidak siap menghadapi serbuan sudah banyak yang tinggal 5 orang yang masih bertahan dibantu oleh 5 orang yang aku bawa, jadi jumlah kami hanya sebelas orang.

Tiba tiba aku sadar kedatanganku untuk menyelamatkan Rani dan Rini. Aku segera berlari masuk tapi langkahku terhenti oleh dua oranv yang menghadang dan melakukan serangan menggunakan pentungan kayu ruyung. Kayu ruyung itu mengarah ke wajahku, reflek aku menangkisnya sehingga pentungan itu terpental dan saat itulah pentungan ruyung temannya menghantam ke arah tulang rusukku. Dengan cepat aku menghindar ke samping sambil menarik tangan temannya ke samping. Buk, ruyung yang mengarah ke tulang rusukku menghantam temannya sendiri tepat mengenai kepalanya. Orang itu menjerit dan tergeletak pingsan.

Kesempatan yang tidak kusia siakan saat orang yang menyerangku kaget, kakiku menendang selangkangannya dengan telat membuat bergulingan menahan sakit. Dan saat bersamaan temannya yang lain jatuh menimpa kepalanya menyebabkan ke dua orang itu pingsan bersamaan.

Tidak membuang waktu aku masuk mencari Rani dan Rini, aku tidak perlu khawatir dengan pertarungan di depan. Orang yang kubawa ternyata semuanya sangat tangguh. Mereka dalam waktu singkat bisa melumpuhkan orang yang menyerang markas Mang Karta. Sekarang aku fokus menyelamatkan Rani dan Rini sebelum terlambat.

Benar saja, aku melndengar Rani dan Rini berteriak minta tolong. Rani dan Rini terlihat ditarik dua orang. Tanpa berpikir lagi aku segera menyerang salah satu orang yang menarik tangan Rani, pukupanku tepat mendarat di rahangnya. Salah satu bagian tubuh paling lemah. Membuat orang itu terpelanting jatuh dan sebelum orang itu jatuh menyentuh tanah, aku sudah menendang temannya yang lain. Tepat mengenai ulu hatinya. Dalam waktu singkat aku melumpuhkan ke dua orang yang sedang menarik Rani.

Melihat ke dua temannya rubuh, ke dua orang yang sedang memegang Rini segera melepaskan tangan Rini. Mereka berniat melarikan diri. Wajah mereka terlihat pucat mematung melihat ke arah depannya. Ternyata dia sudah dikepung anak buah Mang Karta dan orang yang aku bawa. Sepertinya pertempuran sudah selesai dan dimenangkan oleh pihakku.

"Dengar, semua temanmu sudah kami lumpuhkan. Bawa mereka pergi dari sini." kata orang yang menjadi penaggung jawab markas.

Dengan di bantu anak buah Mang Karta dan Lilis, kami mengangkat para penyerang yang terluka masuk mobil mereka. Sementara sebagian anak buah mang karta segera menolong temannya yang terluka. Saat aku akan membantu, mereka melarangnya dengan alasan ada urusan yang lebih penting yang harus aku kerjakan.

Aku segera mengajak Rani dan Rini masuk rumah yang pintunya rusak karena dibuka paksa. Bahkan pintu kamar tempat persembunyian ke dua gadis itu juga rusak. Untung pintu kamar yang satunya lagi masih utuh, aku mengajak masuk Rani dan Rini ke dalam kamar yang pintunya masih utuh. Hanya ada kasur lantai di kamar ini, tapi masih lebih baik kalau dibandingkan waktu aku masih jualan mie ayam, aku tidur hanya beralaskan kardus bekas untuk penghalang dinginnya lantai.

Aku mengambil air minum dari dapur dan memberikannya kepada dua gadis cantik yang terlihat pucat dan gemetar sekujur tubuhnya karena pengalami peristiwa dahsyat yang menguncang jiwanya.

Suasana terasa hening. Jujur, aku juga sedikit tergumcang dengan peristiwa yang aku alami. Bertarung secara kelompok yang baru pertama kali aku alami. Aku tidak tahu dalam pertempuran tadi apakah memakan korban jiwa apa tidak. Mungkin saja akan ada yang mati. Apakah polisi urusan ini akan berahir di kantor polisi atau tidak.

"Rani takut, A." suara Rani yang bergetar mengembalikan kesadaranku. Mengembalikan misi yang aku terima untuk mengorek keterangan di mana Codet menyimpan semua emas rampokan belasan tahun silam.

"Sudah aman. Mereka hanya menginginkan Emas yang disimpan oleh ayahmu." kataku jujur. Karena aku tidak tahu harus memulai dari mana mengorek keterangan kedua gadis yang sedang terguncang jiwanya, ini.

"Emas?" kami gak tahu menahu soal itu. Ayah cuma meninggalkan kami tabungan dan deposito cukup besar. Sedangkan emas, ayah gak pernah membicarakannya." Rani menjawab. Wajahnya terlihat bingung saat aku menyebut tentang emas. Aku tidak tahu apa Rani berbohong apa tidak. Aku tidak terlalu fokus melihat mimik wajahnya.

"Surat surat tabungan dan deposito kalian disimpan dimana?" tanyaku berusaha fokus melihat mimik wajah mereka. Bisa saja mereka berbohong. Sudah saatnya aku tidak mudah percaya sehingga aku mudah terkecoh.

"Kami tidak tahu tentang surat surat tabungan maupun deposito. Kami hanya diberi no rekening. Setelah situasi aman kami bisa mengambil tabungan dan bunga deposito dari bank dengan membawa no rekening. Semuanya akan diatur oleh pihak Bank." Rani menjawab dengan mimik wajah serius. Aku tidak mengerti tentang nomer rwkening apa bisa digunakan mengambil uang tanpa membawa buku tabungan atau surat lainnya.

Apa mungkin Codet menyimpan emasnya juga di Bank. Itu akan aku tanyakan ke Lilis. Sepertinya dia tahu banyak tentang banyak hal. Aku harus lebih berhati hati pada Lilis sekarang. Dia tidak bisa diabaikan begitu saja.

"Berarti kalia disuruh menghapal nomer rekeningnya?" tanyaku. Aku harus mengorek keterangan di mana emas itu. Tapi aku tidak tahu caranya. Apa aku harus memaksa mereka agar mengaku. Bisa saja mereka benar benar tidak tahu menahu. Bukankah itu artinya aku mengacaukan semuanya.

"Kami gak disuruh menghafal nomernya. Tapi nomer rekeningnya ditato di payudara kami." selesai berkata Rani membuka baju dan juga Bra. Benar saja, di bagian bawah dadanya ada tato angka. Agak tertutup karena dadanya mulai mengendur. Apa bila dadanya tidak dinaikkan ke atas, tato angka itu akan tertutup payudaranya.

"Di payudara Rini juga ada." Rani menoleh ke arah Rini yang tanpa disuruh membuka baju dan Bra, dadanya yang ukurannya lebih besar dari milik Rani mau tidak mau membuatku terangsang.

Tato angka Rini terletak di bagian yang sama dengan yang dimiliki Rani. Sehingga tidak akan terlihat tanpa mengangkat payudaranya ke atas. Benar benar cara yang cerdas. Tapi bagai mana cara ke dua gadis itu membaca angka angka di payudaranya tanpa bantuan orang lain. Apa lewat cermin.

Rani benar benar agresih, dia mendekatkan dadanya ke wajahku sehingga aku bisa mencium wanginya yang memabukkan, kulitnya yang putih dan halus sehingga urat uratnya yang biru terlihat jelas memancing birahiku.

Putingnya menyentuh bibirku, terlalu sayang aku lewatkan begitu saja. Pandangan dan pikiranku teralih dari tato angka yang tertulis di bagian bawah dada indahnya. Aku melahap puting dada yang sudah mengeras dengan lahap sambil meremas payudara montok yang menjadi idaman setiap pria yang merasa dirinya normal.

Rini bukan hanya menyerahkan payudaranya untuk aku eksploitasi, tangannya menurunkan celana dalamnga sehingga memeknya yang berbulu jarang terbuka tanpa perlindungan. Rjni meraih tangan kiriku dan menurunkannya ke memeknya. Tanganku bersentuhan dengan jembut jarangnya dan jariku menyelinap masuk lobang memeknya yang terasa basah.

"Jilatin memek Rini, A..!" Rini mendesah manja saat jariku mengorek ngorek memeknya. Dia segera terlentang dan melepas celana dalamnya. Kemudian pahanya mengangkang lebar mempertontonkan memeknya yang berwarna pink.

Rani terpancing dengan keagresipan adiknya. Dia menarik kaosku lepas melalui kepala. Bahkan celana pangsi yang biasa aku gunakan berlatih silatpun tidak luput dari aksinya. Celana pangsi dan CD ku melorot hingga dengkul melepaskan kontolku dari kandangnya yang pengap.

Rani melahap kontolku sambil mengocok batangnya dengan gemas. Dia ternyata sangat cepat belajar. Tangan dan mulutnya mulai luwes memperlakukan kontolku yang semakin mengeras.

"Kak Rani, Rini pengen dijilatin memeknya." prites Rini melihatku disabotase kakaknya yang terlihat cuek dengan rengekan manjanya.

Rani begutu asik memanjakan kontolku. Setelah kejadian mengangkan tadi, Rani menganggap kontolku sebagai obat yang mampu menenagkan jiwanya yang terguncang.

"Ennak banget sepongan kamu...!" aku memegang kepali Rani yang bergerak mengocok kontolku dengan cepat.

Aku melihat Rini terlihat jengkel melihat Rani dengan sengaja memonopoliku. Rini bangun dan mendorong dadaku tiba tiba sehingga aku hampir terengkang ke belakang. Setelah melihat wajahnya yang memelas, aku merebahkan tubuh ke kasur lantai, sementara Rani terus mempermainkan kontolku dengan liar.

Rini segera berjongkok di atas wajahku, memeknya ditempelkan ke mulutku yang dengan suka rela menjilatinya. Aroma memek Rini yang alami sangat aku suka. Untuk sesaat aku bisa melupakan semua masalah yang sedang aku hadapi. Aku begitu menikmati dimanjakan dua gadis cantik yang secara suka rela menyerahkan tubuhnya untuk kunikmati.

Saat aku fokus memanjakan memek Rini, kurasakan kontolku terbenam dalam lobang sempit yang hangat dan licin. Rupanya Rani sudah memasukkan kontolku ke dalam memeknya, bisa kurasakan pantatnya bersentuhan dengan pinggangku. Rani begutu menikmati gesekan kontolku di dinding memeknya, dia bergerak perlahan diiringi desis kenikmatan.

Aku kembali fokus memanjakan memek Rini yang semakin basah saja sehingga cairan memeknya ada yang menetes masuk mulutku, nikmat sekali rasanya. Apa lagi melihat Rini yang menggeliat keenakan membuatku semakin bersemangat memberinya kenikmatan.

"Kontol A Ujang enak, sampe mentok memek Raniii..!" terdengar perkataan Rani yang asik memompa kontolku. Dia begitu menikmati hujaman kontolku di lobang memeknya.

Ahirnya kurasakan memek Rani berkedut merema kontolku dengan keras, jepitanya semakin terasa.

"Aa, Raniii kelllluarrrrr...?" Rani menjerit lirih merasakan puncak orgasme membawanya ke dalam lingkaran badai kenikmatan, kemudian tubuhnya seperti terhempas kehilangan tenaga saat badai kenikmatan meninggalkan tubuhnya.

"Kak, gantian..!" Rini menoleh ke arah Rani yang masih menduduki kontolku. Kemudian Rini bangkit dari wajahku dan merebahkan tubuhnya di sampingku. Rupanya dia ingin aku yang mengendalikan permainan.

Rani teryawa geli melihat adiknya yang berbaring dengan kaki mengangkang lebar. Rani bangkit dari atas tubuhku membuat kontolku terlepas dari jepitan memeknya. Rani merebahkan tubuhnya di pojok menghadap tembok.

Aku segera merangkak di atas tubuh Rini yang dengan cepat memegang kontolku agar tepat berada di lobang memeknya. Kontolku dengan mudah menyusup masuk lobang sempit yang basah dan hangat. Lobang yang memberikan kenikmatan luar biasa sehingga membuat manusia lupa diri.

"Ennak, Aa..." Rini memelukku, bibirnya mencium bibirku dengan mesra mengiringi hentakan kontolku yang bergerak di dalam memeknya.

Puas menciumi bibirku, Rani menjilati puting dadaku, nikmat sekali rasany. Aku melihat Rani yang tidur menyamping menghadap tembok. Mataku tertuju ke arah lehernya yang agak terbuka sedikit. Aku melihat sebuah tato angka yang terletak tepat di belakang kuping. Bukan, bukan angka. Tapi sebuah tulisan kecil yang tidak bisa aku baca karana jaraknya.

Apakah nungkin ini sebuah petunjuk keberadaan emas yang sedang dicari Shomad. Emas hasil rampokan sepuluh Toko emas terbesar di Jakarta. Aku terus berpikir tanpa berhenti memompa memek Rini yang terasa semakin basah sehingga menimbulkan bunyi cukup nyaring.

"A Ujang, kok liatin kak Rani mulu? A Ujang lag ngentotin Rini, tau..!" Rini menarik wajahku dan kembali berciuman panjang mengayuh badai birahi yang sebentar lagi akan melempar kami ke langit ke tujuh.

"Aa, Rini kelllluarrrrr...!/" Rini semakin erat memelukku, kakinya melingkari pinggangku sehingga aku tidak mampu bergerak memompa memeknya dan aku tidak bisa menahan diri lagi. Kontolku mengeluarkan pejuh ke dasr memek Rini yang terlihat begitu bahagia karena mendapatkan puncak orgasme yang dahsyat.

Beberapa saat kami berpelukan hingga ahirnya badai orgasme kami berlalu. Aku bangun dari atas tubuh Rini, kembali aku melihat ke arah tato di belakang telanga Rani.

Bisa saja itu hanya tato biasa seperti tato kebanyakan. Tapi kenapa tatonya berada di tempat tersembunyi, bukan di tempat yang bisa terlihat seperti orang ditato pada umumnya. Agar mereka bisa memperlihatkan tato kepada setiap orang sebagai sebuah karya seni.

Tato ke dua gadis ini terletak di tempat yang sangat tersembunyi, bahkan pemilik tato sendiri tidak akan bisa melihat atau membacabya tanpa bantuan orang lain. Ini sangat aneh. Dan sangat mungkin sebuah petunjuk yang mengarah ke tempat emas emas itu disimpan oleh Codet.

Aku melihat ke Rini yang tidur terlentang. Matanya terpejam menikmati sensasi dahsyat yang baru saja dialaminya. Perlahan aku menggeser dudukku mendekat ke arah Rani agar bisa membaca tulisan di belakang kupingnya. Sebagian tato itu agak tertutup rambut, perlahan aku menyingkirkan rambut yang menutupi tulisan yang kecil hingga ahirnya aku bisa membacanya. Aku yakin sangat yakin, tato ini menyebutkan di mana emas itu disimpan.

Bersambung.
 
Chapter 18 Berburu Emas

Aku kecewa karena tato ini tidak menyebutkan suatu tempat, tapi sebuah nama. Apa hubungannya dengan orang yang ditulis namanya di sini? Apa hubungannya dengan emas yang dibawa lari Codet. Atau tidak ada hubungannya sama sekali.

"Aa liat tato di kuping Kak Rani ya?" tabya Rini mengejutkanku. Ternyata dia memperhatikan gerak gerikku yang mungkin mencurigakan.

"Orang itu yang tahu di mana emas itu disimpan." Rini menjelaskan. Dia bisa menebak tujuanku, berarti dia benar benar tahu tentang emas itu.

"Rini tahu tentang emas itu?" tanyaku. Mengorek keterangan bukanlah kemampuanku.

"Ayah pernah cerita tentang emas yang tersimpan di suatu tempat. Tapi ayah tidak menerangkan di mana. Katanya untuk keselamatan kami." aku berusaha mendengar dengan teliti, mencari petunjuk yang mungkin tanpa sadar keluar dari bibirnya. Bahkan sampai kata terahirnya aku belum bisa mengambil sebuah kesimpulan.

"Kalau kami tahu tempat emas itu disembunyikan, kami akan dibunuh. Itu sebabnya ayah tidak pernah memberi tahu kami." Rini mengahiri ceritanya dan kembali memelukku. Bibirnya kembali melumatku dengan bernafsu sehingga dadanya yang besar menempel hangat.

Kubiarkan Rini mencumbu bibirku dengan nafsunya yang besar, mungkin itu bisa menimbulkan kepercayaannya kepadaku sehingga dia mau membantuku menemukan emas yang tersimpan entah di mana.

"Berapa usiamu?" tanyaku sesaat setelah bibir kami terpisah. Gadis ini sangat manja dan lebih agresif dibandingkan kakaknya.

"16 tahun. Pas waktu A Ujang merawanin Rini bertepatan dengan ulang tahun Rini." Rini tersenyum menggodaku. Tangannya membelai kontolku yang setengah tertidur sehabis pertempuran tadi.

"Kamu bisa bantu aku menemukan emas itu sebelum orang itu menemukannya? Kalau orang itu menemukannya lebih dulu, nyawa kita semua yang berkaitan dengan emas akan dibunuhnya." aku coba merayu Rini untuk mendapatkan emas itu. Mungkin benar yang dikatakan Lilis, kalau Shomad menemukan emas itu, maka dia mempunyai dana untuk membangun sebuah kartel mafia yang lebih besar. Maka nyawa kami semua akan terancam.

"Ayah memang benar menyuruh kami menemui A Ujang, kami tidak tahu alasannya. Tapi sebelum kami bertemu A Ujang, Mamahnya Ratna lebih dulu menemui kami dan menyuruh kami menyerahkan surat ke Pak Karta. Kami tidak tahu isi surat itu." Rini berusaha mengalihkan pembicaraan tentang emas.

"Itu kan sudah kalian ceritakan. Sekarang kita harus fokus menemukan emas itu." kataku, tidak mau perhatianku teralih.

"Kami tidak tahu di mana emas itu. Bahkan tato yang kami buat itu atas perintah ayah agar kami tidak keceplosan bicara saat seseorang memaksa kami." Rini terlihat kesal karena aku mulai mendesaknya.

"Bagaimana kalian tidak akan keceplosan bicara ? Bisa saja kalian menunjukkan tato kalian ke orang yang mengancam atau menyiksa kalian." kataku mencoba beragumentasi. Hatiku bersorak kegirangan karena bisa bicara lancar.

"Kami ke sini karena menurut ayah cuma A Ujang yang bisa membantu kami menemukan emas itu. Ayah juga menyuruh kami memperlihatkan tato yang kami miliki. Karena ini hanya sebuah petunjuk yang harus bisa dipecahkan." Rini terlihat tersinggung. Nada suaranya terdengar meninggi.

"Tapi kalian..." aku kehabisan kata melihat raut wajah Rini yang terlihat marah dan suaranya yang nyaring membangunkan Rani.

"Ada apa, ini?" Rani memandangi kami bergantian dengan mimik wajah bingung.

"A Ujang tidak percaya kita tidak tahu menahu tentang emas itu." Rini menurunkan nada suaranya yang sempat meninggi.

Rani menatapku dengan wajah tenang. Kembali dia memperlihatkan tato angka yang berada di bagian bawah payudaranya sehingga tidak akan terlihat tanpa menaikkan payudaranya ke atas. Sekali lagi aku hanya melihat deretan angka yang menurutku tidak bermakna katena tidak mengetahui artinya. Tapi bagi orang yang mengerti, bisa jadi deretan angka itu sangat berarti.

Aku hampir putus asa, misi pertamaku hampir gagal total. Satu satunya petunjuk yang jelas hanyalah sebuah nama yang tertulis di belakang telinga Rani

Aku melihat Rini yang duduk memperhatikan gerak gerikku yang terlihat gelisah. Aku memperhatikan payudaranya yang ranum dan besar. Seperti mengerti apa yang kumau, Rini menekan payudaranya ke atas sehingga aku bisa melihat deretan angka di tempat yang sama seperti yang dimiliki Rani. Tapi dengan susunan angka yang berbeda.

"Sedang tato dibelakang kuping Xxxxx, Rani tidak tahu itu nama siapa. Di belakang kuping Rini juga ada." Rani menjelaskan.

Aku menoleh ke arah Rini yang asik mendengarkan pembicaraan kami. Pembicaraan yang membuat aku berpikir keraa. Aku tidak mau misi pertamaku gagal dan dikatain TOLOL atau BLOON oleh Lilis karena gagal.

"Ini.?" Rinj membelakangiku dan memperlihatkan tato yang bertuliskan Xxxxxx. Bukankah itu nama daerah yang berada di Gunung Kemukus.

Berarti petunjuk ini secara tidak langsung menunjukan tempat keberadaan ayahku. Dan artinya emas yang dimaksud sudah kudapatkan atau sudah kutemukan. Berarti ayahku tahu di mana emas itu berada. Sepertinya begitu.

"Boleh aku lihat tato di payudara kalian?" bisa saja tato itu nomer kombinasi brankasku.10 1 12 15., benar, di payudara Rini angkanya sama dengan kombinasi brankasku.

*†****

Aku pulang pagi harinya dengan hati kecewa karena hasil yang aku dapatkan jauh dari yang aku inginkan. Semuanya kembali ke satu titik yang sudah aku ketahui dengan jelas.

Lilis tersenyum melihatku wajahku yang tegang dan pakaianku yang kusut sehabis pertarungan melawan para penyerang gelap dan juga pertempuran nikmat semalaman dengan dua gadis cantik yang liar.

"Gagal?" itu perkataan pertama yang keluar dari bibir tipisnya yang dalam keadaan normal akan membuatku tergoda menciumnya.

"Ambu hari ini mau pulang, A Ujang mandi dulu biar seger." Lilis tersenyum. Senyum yang menohok hatiku dan seperti sebuah senyum sinis yang melecehkan ketidak mampuanku. Atau mungkin perasaanku saja.

Hatiku agak terhibur melihat Ningsih datang mencium tanganku lalu mengandeng tanganku masuk ke dalam.

"Mandi dulu, A. Ambu mau pulang." Ningsih tersenyum, senyum terindah yang membuatku bisa melupakan apa yang aku alami. Aku mengikuti Ningsih ke kamar mandi, sementara Ningsih mengambil handuk bersih.

Badanku terasa segar sehabis mandi. Aku ke ruang keluar, ternyata semuanya sudah berkumpul menungguku. Ibu dan Mang Udin juga sudah ada. Mungkin kabar Ambu yang akan pulang sudah diketahui oleh Ibu. Yang aku heran kenapa Mang Udin memaksakan diri untuk datang. Bukankah lukanya masih belum pulih sama sekali.

"Mang Udin sudah mendingan sakitnya?" tanyaku hawatir, entah kenapa aku sangat menghawatirkan Mang Udin? Mungkin karena aku berharap Mang Udin bisa membahagiakan ibuku setelah penderitaan selama puluhan tahun.

"Sudah mendingan, Jang." Mang Udin tertawa melihat kehawatiranku yang dianggapnya berlebihan.

Tadinya aku mau mengantar Ambu sampai Garut, tapi Ambu bersikeras mau pulang sendiri dan akan datang kembali bersama Abah saat mendekati kelahiran Lilis dan Ningsih. Ahirnya aku mengalah dan mengantar Ambu sampai Terminal Bis yang tidak terlalu jauh dari rumah. Aku menunggu bis yang ditumpangi Ambu berangkat. Setelah bis berangkat, aku segera berjalan meninggalkan terminal menuju tempat parkir motor.

"Jang..!" suara wanita memanggilku dari arah belakang. Suara yang sangat aku kenal.

"Mbak Wati, dari mana?" tanyaku heran melihat Mbak Wati berjalan cepat menyusulku. Lucu melihat Mba Wati berjalan begitu, dadanya terlihat bergoyang goyang. Apa mungkin dia tidak memakai Bra? Tapi kan gak mungkin Mbak Wati keluar rumah tanpa Bra.

"Dari Bekasi ke rumah saudara. Kamu sendiri dari mana?" Mbak Wati menjawab dengan nafas terengah engah. Dengan memakai jilbab, Mbak Wati terlihat lebih cantik.

"Nganter Ambu ke terminal." jawabku. Setelah basa basi ala kadarnya, aku mengajak Mbak Wati pulang bareng.

"Wah hebat, kamu sudah punya motor." kata Mbak Wati membuatku jengah.

Aku membonceng Mbak Wati yang memeluk pinggangku dengan erat sehingga payudara montoknya menekan punggungku. Tiba tiba aku teringat dengan sobekan kertas Diary almarhum. Bukankah Pak Budi mengajak Mbak Wati mencari ayahku Gobang dan juga mengikuti Japra hingga Gemolong, sama denga tulisan tato di belakang telinga Rini. Betapa bodohnya aku, kenapa baru terpikir sekarang.

"Mbak, kita nyari tempat dulu, yuk ! Ada yang mau saya tanyakan." kataku dengan suara keras agar terdengar.

"Ngobrol nya di rumah aja. Sekalian sama Mas Gatot." Mbak Wati berkata kencang mengimbangi suara mesin motor.

Aku mengangguk setuju, Mas Gatot pasti tahu banyak. Bukankah dia menerima banyak uang dengan jumlah besar. Itu artibya dia tahu banyak. Kenapa sejak awal aku tidak berpikir seperti itu. Kenapa pikiranku muter muter gak jelas.

Sesampainya di rumah Mbak Wati, kulihat Mas Gatot sedang asik membaca majalah yang berbau mistik. Majalah yang sampulnya membuatku merinding ngeri.

"Masuk Jang," Mas Gatot merangkulku. Dia selalu senang melihat kehadiranku sesama mantan penjual mie ayam. Bekas teman seperjuangan menaklukan kota Bogor. Atau lebih tepatnya sebagai seorang pengidap kelaianan jiwa yang merasa puas melihat istrinya disetubuhi pria lain.

Perubahan hidup mereka sangat pesat. Terahir aku berkunjung ke sini belum ada kursi di ruang tamu. Sekarang aku melihat sofa tamu yang terlihat masih baru. Dari mana mereka mendapatkan uang yang merubah perekonomian mereka hanya dalam waktu relatif singkat.

Saat aku akan duduk di ruang tamu, Mas Gatot malah menarikku masuk ke ruangan tengah. Sebuah kursi empuk yang bisa diduduki beberapa orang menghadap ke TV besar lengkap dengan sound system membuatku semakin terpesona oleh kehidupan mereka dalam waktu singkat.

Aku menghempaskan pantatku di sofa empuk yang terasa nyaman. Tidak lama Mbak Wati membawakan kopi hitam kesukaanku. Kopi has kebanggaan orang Bogor. Mbak Wati duduk di sampingku sedangkan Mas Gatot duduk di kursi yang hanya cukup untuk satu orang yang terpisah oleh sebuah meja kecil.

"Mbak Wati tahu siapa orang yang dicari oleh almarhum Pak Budi di Gunung Kemukus?" aku bertanya tanpa menunggu waktu lebih lama lagi. Aku harus bergerak cepat jangan sampai didahului oleh musuh yang tidak terlihat. Musuh yang bersembunyi dalam kegelapan.

"Kok nanya begitu kamu cemburu ya?" jawaban yang gak nyambung. Tangan Mbak Wati justru mengelus selangkanganku, menggoda kontolku yang tertidur pulas. Aku melihat Mas Gatot yang menahan nafas melihat aksi istrinya yang kurang ajar.

"Aku serius, Mbak!" aku memindahkan tangan Mbak Wati dengan halus agar tidak menyinggungnya.

"Ich, kamu simbong amat. Mentang mentang punya istri cantik." Mbak Wati mencubit pahaku dengan gemas.

"Jawab dulu, Mbak..!" aku memegang tangan Mbak Wati agar tidak gerayangan seperti tadi.

"Gak mau, nanti seperti waktu itu, udah dukasih tau, kamu malah ninggalin Mbak gitu aja. Mana memek Mbak udah senut senut." Mbak Wati ngeyel, tanpa basa basi dia memelukku dan mencium bibirku dengan ganas.

Aku gelagapan mendapat serangan mendadak dari Mbak Wati. Aku sempat melihat Mas Gatot menggeser meja yang berada di hadapan kami agar menjauh dan tidak menghalangi aksi Mbak Wati yang liar.

Ahirnya aku menyerah, gairahku mulai terpancing dan mulai membalas ciuman Mbak Wati dengan bernafsu. Mendapat respon dariku, Mbak Wati naik ke pangkuanku dan kembali mencium bibirku dengan bernafsu. Aku meremas pantatnya yang montok dengan gemas.

"Mbak, aku buka baju dulu nanti kusut." kataku. Kemeja yang aku kenakan sangat mudah kusut, apa lagi wangi parfum Mbak Wati kalau menenpel pada bajuku akan menambah masalahku yang sudah bertumpuk.

Mbak Wati tertawa senang karena bisa menaklukanku kali ini. Dia turun dari pangkuanku dan membantuku melepas kemeja dan juga celanaku hingga bugil. Mas Gatot mengambil bajuku dan mengantungnya agar tidak kusut. Suami gila, pikirku. Dia begitu bergairah melihat istrinya akan disetubuhi pria lain.

Mbak Wati segera membuka baju muslimya termasuk jilbab yang membuatnya menjadi semakin cantik. Walau tubuh Mbak Wati mulai gemuk, tetap saja mampu membangkitkan nafsuku. Apa lagi dia wanita pertama yang meregut keperjakaanku. Wanita pertama yang memperkenalkanku dengan kenikmatan sex.

Mbak Wati berjongkok di selangkanganku yang duduk santai. Tanpa meminta ijin Mbak Wati meraih kontolku yang mulai bangun dari tidurnya, wajahnya menoleh ke arah Mas Gatot sambil menjilat kontolku. Reflek aku ikutan menoleh melihat Mas Gatot yang menelan ludah melihat aksi istrinya yang binal menjilati kontolku.

Perlahan Mbak Wati memasukkan kontolku kedalam mulutnya, matanya tak perna lepas dari suaminya yang blingsatan menahan gairahnya. Mbak Wati mulai mengocok kontolku dengan mulutnya, berkonsentrasi penuh tanpa menghiraukan kehadiran suaminya yang menonton tanpa berkedip.

"Mbak, gantian aku pengen jilatin memek Mbak. Kangen banget sama bau memek pertama yang aku entot." aku menarik Mbak Wati bangun dan kusuruh duduk menyender. Pahanya terbuka lebar memperlihatkan memeknya yang hitam dan tembem.

Aku berjongkok menghadap ke arah memek Mbak, perlahan aku menjilatiny beberapa kali membuat Mbak Wati merintih keenakan.

"Mbak tau siapa yang dicari Pak Budi?" tanyaku sambil terus menjilati memeknya dengan buas.

"Gobang..!" Pak Budi yang menjawab. Benar dugaanku dia tahu banyak.

"Lalu kenapa harus ngajak saya ke Gunung Kemukus?" tanyaku heran. Aku berhenti menjilati memek Mbak Wati, perlahan kontolku mengarah ke belahan memek Mbak Wati yang menatap sayu ke arah kontolku yang sudah menegang sempurna. Aku menggerakkan kontolku naik turun menyusuri memek Mbak Wati tanpa memasukkannya.

"Masukin Jang, Mbak gak tahan..!" Mbak Wati merintih memohon agar aku segera memasukan kontolku ke lobang memeknya yang sangat basah.

"Buat mancing Gobang keluar dari persembunyian. Buruan Jang, entot istriku." kata Mas Gatot tidak sabar, dia mendorong pantatku sehingga kontolku amblas di dalam memek istrinya dengan mudah diiringi rintihan nikmat Mbak Wati saat kontolku menerobos memeknya.

"Gila, kontolmu ennnak banget..!" Mbak Wati terpejam menikmati kehadiran kontolku dalam jepitan memeknya. Memek pertama yang aku masuki. Memek pertama yang berkenalan dengan kpntolku.

Aku begitu hafal dengan keinginan Mbak Wati juga keinginan Mas Gatot melihat istrinya dientot dengan keras walau tidak kasar. Aku tau Mas Gatot sangat menikmati tontonan yang tersaji di depannya, melihat istrinya menggelinjang nikmat oleh sodokan demi sodokan kontolku yang bertenaga. Melihat tanganku saat meremas payudara istrinya yang montok.

"Mbak ketemu sama Gobang gak?" tanyaku menatap Mbak Wati yang sangat menikmati sodokan kontolku.

"Nanti Mbak cerita.... Mbak kelllluarrrrr...!" aku melihat Mbak Wati mengejang menyambut orgasme pertamannya. Nafasnya tersengal sengal merasakan puncak dunia yang hanya dapat diperoleh saat sedang bersetubuh.

Aku justru semakin mempercepat kocokanku di memeknya. Mas Gatot terlihat sudah bugil sambil mengocok kontolnya. Rupanha mas Gatot mulai terangsang melihat istrinya menikmati kocokan kontolku.

Hingga ahirnya akupun meraih orgasmeku setelah bertahan lama tanpa merubah posisi, entah berapa kali Mbak Wati mendapatkan orgasmenya.

"Mbak....aku kelllluarrrrr..!" aku membenamkan kontolku hingga dasar memek Mbak Wati dan menyemburkan pejuh ke dalamnya.

"Mbak juga kelllluarrrrr lagi...!" Mbak Wati menari tubuhku dalam pelukannya yang erat. Setelah pelukan Mbak Wati mengendor, aku segera mencabut kontolku dari memeknya yang terbuka, dari dalambya mengalir cairan pejuhku.

Tanpa merasa jijik dengan cairan pejuhku yang keluar dari memek istrinya, Mas Gatot malah memasukan kontolnya ke dalam memek istrinya dan langsung menggenjotnya dengan cepat. Dengan sabar aku menunggu suami istri itu bersetubuh sambil ngopi dan merokok. Tidak sampai 5 menit Mas Gatot mendapatkan orgasmenya.

Aku memakai pakaiaku lagi setelah mencuci kontolku yang belepotan lendir memek Mbak Wati. Mas Gatot dan Mbak Wati duduk berpelukan masih dalam keadaan bugil. Mereka terlihat sangat menikmati apa yang telah kami lakukan.

"Waktu Mbak dan Pak Budi mau pulang, Mbak bertemu dengan anak buah Gobang yang kami ikuti sampai Gemolong. Dia yang bilang bahwa Pak Budi ditipu Codet. Codet yang membawa sebagian besar emas rampokan. Kami di bawa kembali ke Gunung Kemukus tanpa sepengetahuan kalian. Kami bertemu Kang Gobang, kami juga diperlihatkan brankas berisi emas. Pak Budi mendapatkan 2 batangan emas, sedang Mbak cuma dapat perhiasan kalung, anting dan juga gelang yang sekarang Mbak pakai." Mbak Wati mengahiri ceritanya.

Setelah mendengar apa yang mereka katakan, Ahirnya aku pulang. Aku percaya mereka tidak terlibat terlalu jauh. Aku memacu motor dengan cepat agar secepatnya sampai rumah. Aku harus menceritakan senua informasi yang aku dapat, mungkin Lilis bisa mendapatkan petunjuk di situ.

Sampai rumah aku melihat ada beberapa orang duduk di teras depan rumah. Tampabg mereka sangar dan aku tidak mengenal mereka. Sementara pintu rumah terbuka dab aku melihat ada dua orang yang berdiri sehingga menghalangi pandanganku siapa orang yang duduk di kursi.

Bersambung
 
Chaptet 19 : Penghianat

Aku masuk tanpa mengucapkan salam. Lilis tersenyum menyambut kedatanganku lalu bangun mencium tanganku. Wajahnya terlihat tenang membuatku lega. Setidaknya orang orang yang jumlahnya 10 orang ini bukanlah lawan, mungkin saja mereka adalah kawan jadi kehawatiranku tidak beralasan sama sekali.

"A, kenalin mereka adalah teman teman Mang Udin yang akan menjaga kita dari ancaman." Lilis mengenalkan mereka satu persatu. Ternyata ke 10 orang itu adalah jago bayaran yang bertugas melindungi keluargaku. 7 orang di antara mereka akan tinggal di rumah yang tepat berhadapan dengan rumah kami. Ternyata rumah kosong itu adalah rumah Lilis warisan dari Pak Budi. Sedangkan sisanya akan tinggal di rumah kontrakan yang tepat berada di belakang.

Gila, Lilis seperti sedang membangun sebuah benteng dengan grombolan preman untuk melindungi kami, lalu dari mana dia mendapatkan uang untuk membayar mereka, tentu bukan uang sedikit. Jumlahnya pasti besar. Kalau Mang Karta rasanya tidak aneh dia bisa membangun sebuah markas. Mang Karta hanya menyediakan rumah untuk mereka para preman yang sudah insyaf dan menempuh jalan baru. Mereka berjualan keliling untuk mata pencaharian mereka. Tapi Lilis sengaja mengumpulkan orang yang harus digaji. Sebegitu besarkah rasa takut Lilis sampai harus menggaji orang.

Setelah memberi instruksi ahirnya mereka bubar menuju posisi yang harus mereka tempati. 7 orang segera masuk rumah yang sudah hampir setahun kosong yang terletak di seberang rumah yang kami tempati sedangkan sisanya menuju rumah kontrakan di belakang.

"Uang dari mana untuk membayar mereka, Lis?" tanyaku setelah mereka pergi meninggalkan kami di ruang tamu.

"Kita tidak punya kewajiban untuk menggaji mereka. Merwka dikirim ayah buat melindungi kita dari ancaman musuh musuh ayah." Lilis menjawab tenang.

"Siapa yang Lilis maksud ayah?" tanyaku heran. Apa mungkin ayahku yang sengaja mengirim orang untuk melindungi kami atau hanya untuk mengawasi gerak gerik kami.

"Ayah Gobang." Lilis terlihat benar benar tenang lebih tenang dari biasanya.

"Untuk apa?" ya, apa sebenarnya tujuan ayahku. Aku harus memberi tahu Bi Narsih. Mungkin dia tahu apa tujuan ayahku yang sebenarnya.

"Tentu saja untuk melindungi kita dari bahaya, apa lagi Shomad sudah mulai bergerak. Dia tidak akan segan segan menghabisi kita." Lilis mengingatkanku tentang bahaya yang sedang kami hadapi.

Tiba tiba aku teringat dengan 5 orang yang mengikutiku ke Markas Mang Karta semalam, aku tidak melihat mereka tadi. Apa mereka juga orang kirimana ayahku.

"5 orang yang kemarin apa anak buah ayah?" tanyaku curiga, bisa saja mereka diakui sebagai anak buah almarhum Pak Budi padahal anak buah ayahku.

"Itu anak buah almarhum, sayang." Lilis malah tertawa melihat kecurigaanku yang berlebihan.

"A Ujang istirahat dulu, sepertinya A Ujang cape banget. Semalam habis berkelahi dengan grombolan Shomad." tanpa menunggu jawabanku, Lilis menuntunku masuk kamar Ningsih. Ningsih yang sedang duduk di ruang keluarga menatap heran tanpa bicara melihat Lilis menuntunku masuk kamar. Baru saja aku merebahkan diri, Ningsih masuk.

"A, ada telpon dari Lastri katanya penting." kata Ningsih.

"Bilang, nanti aja nelpon lagi." kata Lilis.

"Tadi juga Ningsih sudah bilang begitu, tapi katanya penting benar." Ningsih membela diri.

"Iya, biar A Ujang angkat." kataku melerai cekcok kecil dua adik beradik. Aku segera mengangkat gagang telpon yang berada di ruang tamu.

"Hallo, ada apa Las?" tanyaku.

"Hallo, A. Bisa ke pasar sekarang gak? Penting banget, A..!" suara Lastri terdengar cemas. Aku menyanggupi untuk datang saat itu juga.

"Lis, Ning Aa mau ke pasar katanya penting banget." aku berpamitan walau dari wajahku kedua wanita yang menjadi pendamping hidupku itu terlihat keberatan. Tapi aku juga tidak bisa menolak panggilan Lastri, apa lagi aku sangat jarang ke pasar. Malah Ningsih yang rutin ke pasar melihat kios dua hari sekali.

"A Ujang ditemenin sama anak buah almarhum ya!" Lilis menawariku pengawal untuk menemaniku. Tentu saja aku menolak mentah mentah. Aku seorang pemain solo tidak perlu pengawal. Setelah berdebat agak lama ahirnya Lilis mengalah.

"Bener A Ujang gak butuh pengawal?" sekali lagi Lilis bertanya saat mengantarku ke dalam garasi mengambil motor yang terparkir di sana.

"Masa ke kios aja harus bawa pengawal, Lis. Aman kok." kataku sambil mencium keningnya dengan mesra. Tidak aku perdulikan wajahnya yang terlihat cemas saat mencium tanganku.

Aku segera memacu motor dengan kecepatan sedang. Namun saat motor yang kukendarai memasuki jalan raya utama sebuah mobil berhenti tepat di depan memaksaku menghentikan motorku. Saat itulah dari arah belakang ada motor lain yang berhenti tepat di sampingku. Ternyat dua orang yang membuntutiku ke Gunung Kemukus. Mau apa mereka menghentikanku, apa ada masalah sangat penting. Atau mereka disuruh mengawalku seperti saat di Gunung Kemukus

"Kang, turun dulu" kata orang yang dibonceng turun lebih dulu.

Tanpa curiga aku turun, ini adalah kesalahan fatal. Aku tidak memperhatikan gulungan koran yang dipegang orang itu. Terlambat buat menyadarinya, sebuah pisau belati yang tertutup gulungan koran sudah menusuk perutku. Aku terhuyung ke belakang sambil memegang perutku yang bersimbah darah. Sebuah tendangan menghantam kepalaku.

******

Pov Lilis

Lilis menjatuhkan telpon yang diterimanya yang mengabarkan Ujang masuk RS karena percobaan pembunuhan. Belum pernah Lilis sepanik ini, orang yang dicintainya sekarat di RS.

"Teh, ada apa?" Ningsih kaget melihat Lilis yang jatuh terduduk di kursi yang tepat berada di samping meja tempat telpon berada.

"A Ujang masuk RS, kondisinya kritis." Lilis tidak mampu menahan tangisnya. Ketegaran dan kekuatan yang selama ini dimilikinya hilang tidak berbekas. Lilis menangis sekeras kerasnya dalam pelukan Ningsih yang tertegun tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ahirnya Ningsih ikut menangis mendengar kabar dari kakaknya. Mereka menangis sambil berpelukan.

Tiba tiba Lilis sadar tidak tahu di RS mana Ujang saat ini dirawat. Dia telah menjatuhkan gagang telpon sebelum orang itu selesai bicara. Lilis segera mengambil gagang telpon yang menggantung karena dijatuhkan Lilis.

"Hallo....hallo....halo..!" sia sia Lilis memanggil orang yang menelponnya tadi. Telpon sudah terputus.

"Kita ke RS, ajak ibu sekalian." Lilis berkata tegas. Dia harus bisa mengendalikan diri dan mencari RS tempat Ujang dirawat. Walau belum mengetahui di mana Ujang dirawat, tapi Lilis berusaha berpikir sederhana, pasti dibawa ke RS terdekat dari tempat kejadian yang tidak jauh dari rumah. Lilis tahu RS mana itu.

Ningsih disuruhnya bersiap, lalu Lilis pergi menemui calon ibu mertua mengabarkan kejadian yang menimpa Ujang. Lilis takjub melihat Ibu yang terlihat lebih tegar dan tenang mendengar kabar keadaan Ujang. Mereka langsung ke RS dengan naik mobil yang dibawa Lilis.

Sesampai RS Lilis turun sendiri, sementara Ningsih dan ibu disuruh menunggu di mobil sampai mendapatkan kepastian Ujang dirawat.RS ini. Dengab tergesa gesa setengah berlari Lilis memasuki RS dan bertanya ke bagian IGD apakah ada pasien baru masuk dengan nama Jalu. Lilis berteriak nyaring tanpa mampu ditahannya karena benar ada pasien bernama.Jalu.

******

Pov Ningsih

Ningsih berdiri gelisah, air matanya sudah habis menangisi keadaan suaminya yang masih dalam keadaan kritis sejak kemaren belum sadarkan diri. Seseorang berusaha membunuhnya, untung ada orang yang melihat dan membawanya ke RS sehingga byawanya bisa diselamatkan sementara. Sementara. Ningsih kembali terjatuh, untung ada seseorang yang dengan sigap menahan tubuhnya. Orang itu memapahnya duduk di bangku ruang tunggu RS.

"Kita berdoa supaya Ujang sembuh." suara ibu mertuanya terdengar serak karena sama.seperti dirinya, ibu mertuanyapun menangis semalaman.

"Iya, bu..!" Ningsih berusaha untuk lebih tegar menghadapi semuanya. Harus siap kehilangan orang yang dicintainya demi anak yang masih dalam kandungannya. Apa pun yang terjadi dia harus tetap tegar

Pertama kali mereka bertemu di Gunung Kemukus, Ningsih datang untuk melakukan Ritual Sex di Gunung Kemukus, ritual yang harus dilakukannya untuk membuang semua kesialannya. Walau untuk itu dia harus kehilangan keperawanannya. Pria yang beruntung mendapatkan keperawanannya adalah Ujang. 3 x Ningsih mau menikah dan 3 x pula calon suaminya meninggal tidak wajar. Apakah semua kesialannya masih belum berahir dan sekarang harus kehilangan suami dan juga ayah dari anaknya yang akan segera lahir.

Ningsih menggigit bibir hingga berdarah. Rasa sakit akibat luka dibibir tidak dirasakannya. Rasa was was dan takut kehilangan pria yang dicintainya menghilangkan rasa sakit di bibirnya yang terluka kalau saja Ibu mertuanya tidak melihat, darah dari lukanya akan mengalir jatuh. Ibu mertuanya dengan sigap membersihkan darah di bibirnya, herannya tidak ada rasa sakit maupun perih saat kapas menyentuh lukanya.

Ningsih tidak bereaksi saat ibu mertua memeluknya dan mendekap kepalanya menyender ke dada waniya yang sudah melahirkan suaminya. Satu satunya keinginammya adalah Ujang bangun dan memeluknya sambil mengatakan semuanya baik baik saja tidak ada yang perlu dihawatirkan.

"Ning, makan dulu! Dari kemarin Ningsih belum makan. Kasian si Dede." Ningsih menatap Ningsih yang datang membawa bungkusan nasi yang dibelinya entah di mana. Perlahan Ningsih menggeleng.

"Ningsih harus makan, Teteh suapin ya?" Lilis membuka salah satu bungkisan da memberikan satu bungkus untuk ibu yang terpaksa menerima bungkusan nasi.

Ningsih memaksakan diri menerima suapan nasi yang teras pait, bahkan mulutnya tidak mampu mengunyah nasi yang berada di dalam mulutnya. Tanpa mengunyahnya lagi Ningsih menelannya dengan bantuan air yang diminumnya.

******

Aku terbangun di sebuah ruangan terbuka yang gelap. Satu satunya penerangan adalah bintang bintang yang bertebaran di langit. Kasur yang aku tiduri berubah menjadi batu besar pipih yang biasa aku temui di lereng Gunung Salak. Susunan batu yang biasa di sebut megalitikum, atau Abah almarhum kakekku menyebutnya Salaka Dhomas. Aku ingat sering diajak ke sini oleh kakekku untuk mengasah indra dan insting bersilatku.

"Ini adalah tempat ibadah para penganut Agama Sunda Purba. Sunda wiwitan atau yang sekarang dikenal dengan nama buhun. Di sini dulu guru silat Abah sering melatih Abah hingga mencapai kemampuan seperti sekarang." kembali semua ingatan itu muncul.

Abah mulai bersilat dengan jjrus jurus yang sudah kuhafal.diluar kepala. Jurus yang terlihat cepat dan bertenaga, jurus yang mudah dingat dan dipraktekan. Tapi yang paling sulit adalah melatih reflek dan juga naluri. Ada yang aneh, du dalam kegelapan aku bisa melihat semua gerakan Abah tanpa ada satupun yang aku lewati.

"Abah...!" aku berteriak memanggilnya ketika Abah tiba tiba lenyap dari hadapanku. Suasana sangat sepi tanpa ada suara apaun, bahkan suara daun yang bergoyang terkena anginpun tidak terdengar. Hanya suara nafasku yang berat terdengar jelas.

Kembali aku kehilangan kesadaranku. Saat aku terbangun bukan lagi di Salaka Dhomas tempat yang sering aku kunjungi bersama Abah. Sekarang aku berada di sebuah tempat yang tidak asing lagi, Gunung Kemukus dan aku berada di Bangsal Sonyoyuri tempat Pangeran Samudra dimakamkan. Lalu siapa yang ada di sampingku berdoa dengan khusus sampai menangis. Suara isak tangisnya terdengar menggangguku. Aku menoleh ke arah suara yang mengganggu itu. Bukankah yang menangis adalah Ningsih? Tapi aku tidak bisa melihat wajahnya yang sperti tertutup kabut gelap. Begitu khusu Ningsih berdoa untuk dirinya agar tidak kehilangan orang orang yang dicintainya. Agar semua kesialannya hilang.

Suasana sekelilingku kembali berubah, bukan lagi bangsal Sonyoyuri, tapi aku sedang terbaring di sebuah ranjang besi. Ada apa dengan tanganku? Aku melihat dua buah botol berisi cairan tergantung di atasku. Satu botol berwarna merah membuatku ngeri. Apa mungkin botol itu berisi darah? Darah dari mana? Apa diambil dari tubuhku.

"A, bangun !" suara Ningsih terdengar samar samar memanggilku. Mataku terlalu berat untuk terbuka. Aku mendengar suara pintu yang terbuka dengan keras. Mataku tetap tidak mampu terbuka.

Seseorang masuk mendatangiku. Aku berusaha bergerak bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, bisa saja orang itu yang menusuk dadaku. Aku memaki dengan kata kata paling kasar yang pernah aku dengar. Orang itu menempelkan sesuatu di dadaku. Benda itu terasa dingin, tapi entah kenapa tubuhku tidak bisa bergerak. Aku berusaha sekuat mungkin menyingkirkan benda itu tapi kedua tanganku tidak mampu aku gerakkan.

"Alhamdulillah Bu, masa kritisnya sudah lewat." itu suara lelaki. Apa Ningsih atau Lilis selingkuh dan menghianatiku. Aku marah dan terus memaki dengan kata kata kasar. Kata kata yang tidak pernah aku ucapkan.

Di mana aku sekarang? Di mana lelaki yang tadi meraba dadaku? Tempat apa ini? Hanya sebuah tanah lapang yang luas tanpa ada bangunan maupun pohon. Apakah aku berada di padang pasir yang tidak berujung seperti yang sering aku lijat dalam film film. Tapi kenapa aku tidak menginjak pasir melainkan tanah yang keras dan juga tempat ini tidak mempunyai matahari padahal sekelilingku terang benderang seperti siang hari.

Hei siapa itu? Ada 2 orang datang menghampiriku, wajah mereka terlihat sangat menyeramkan dan mereka sangat tinggi dan sangat besar. Tinggiku hanya seperut mereka. Aku berteriak sekeras kerasnya meminta tolong kepada siap saja yang bisa mendengar suaraku.

"Ibuuuu, tolong Ujang...!" aku berteriak memanggil ibu saat salah seorang di antara mereka menari tanganku. Reflek tanganku memukul perut orang itu. Buk, pukulan yang sangat keras dan berakibat fatal buat diriku sendiri. Aku merasakan sakit yang luar biasa di perutku. Tempat yang sama dengan pukulanku yang mengenai perut orang itu.

Aku menyerah kalah, orang itu menyeretku ke pinggir sebuah jurang yang sangat dalam sehingga dasarnya tidak terlihat. Apakah orang ini akan melemparku ke.dalam jurang yang dalam ini?

Bersambung
 
Chapter 20 : Duel Hidup dan Mati Dua Musuh Bebuyutan

Tiba tiba ada yang menarikku terlepas dari orang yang akan melemparku ke jurang dalam tanpa dasar. Aku mengenal wajah orang yang menolongku, Abah telah berhasil menyelamatkanku dari orang yang menyeramkan itu dan membawaku berlari dan berlari semakin cepat. Kakiku ikut berlari berusaha mengimabangi kecepatan lari abah yang sangat luar bias sehingga aku merasa kakiku seperti tidak menginjak tanah. Herannya nafasku berjalan normal seperti saat aku berjalan. Nafasku tidak tersengal sengal.

Entah ke mana Abah mengajakku berlari melewati jalan setapak di tengah hutan. Aneh, di tengah hutan lebat ada jalan setapak, terlihat sering dilewati orang. Bahkan tidak ada akar di sepanjang jalan setapak yang aku lalui. Padahal jalan di hutan bukanlah jalan setapak buatan manusia, tapi jalan yang dibuat binatang buas terutama babi hutan. Sehingga akan selalu dipenuhi akar akaran dari pohon pohon besar yang berada di sekelilingnya. Dunia seperti apa yang sebenarnya aku masuki.

Ahirnya kami sampai di tanah lapang. Sepertinya aku mengenal tempat ini? Ya ini adalah pekarangan rumahku di kampung yang biasa dijadikan tempat berlatih silat murid murid Abah yang lumayan banyak.

"Belum waktunya, Jang..!" Abah tersenyum dengan senyum hasbya yang memperlihatkan mulutnya yang sudah ompong. Senyum yang kadang membuatku mentertawakannya. Apa lagi aku mendengar dari orang orang bahwa Abah memang tidak mempunyai gigi sejak bayi. Hal yang menurutku tidak masuk akal, tapi itulah kenyataannya.

"Jang....!" seseorang memanggilku dari belakang. Suara yang selalu membuatku takut sejak kecil. Aku berbalik ke arah asal suara itu. Ayahku berdiri dengan pakaian yang biasa dikenakan oleh para jawara. Pakaian serba hitam. Di pinggangnya tergantung senjata yang mengerikan, sebuah gobang sepanjang satu meter. Gobang yang menurut cerita telah memakan korban jiwa. Gobang warisan turun temurun

"Pulang Jalu, tempatmu bukan di sini." tiba tiba ayahku meraih tanganku dan melemparkan tubuhku tanpa bisa aku hindari.

Tubuhku melayang dan jatuh di sebuah ranjang besi di sebuah ruangan yang sekeliling dindingbya berwarna putih. Perutku terasa sakit dan sekujur tubuhku terasa mati rasa karena lama tidak bergerak.

"Aduh sakit... Air..!" tenggorokanku terasa sangat kering.

"Alhamdulillah, Teh A Ujang sudah sadar." jerit bahagia terdengar dari sampingku. Aku melihat Ningsih duduk dengan berlinang air mata melihatku.

"Alhamdulillah, A. Ahirnya A Ujang sadar." Suara Lilis terdengar dari sisi yang lainnya.

Perlahan ingatanku pulih. Aku teringat kejadian seseorang yang aku kenal saat di Gunung Kemukus. Seseorang yang disuruh mengikutiku ternyata seorang penghianat. Dia telah menusuk perutku hingga aku terjatuh di pinggir jalan. Tapi untungnya aku mampu bertahan, dengan perut terluka aku meminta bantuan tukang becak membawaku ke RS terdekat yang jaraknya hanya 3 km dari tempat kejadian. Bahkan aku sempat memberikan kartu namaku ke tukang becak untuk menelpon Lilis dan mengabarkan keadaanku sebelum ahirnya aku kehilangan kesadaranku.

"Ning, haus..!" ucapku lemah.

"Nanti A, nunggu dokter.." Ningsih tidak memenuhi keinginanku. Apa sebabnya ? Sebelum emosiku meledak pintu terbuka.

Ternyata yang datang dokter yang menanganiku. Dia memeriksa keadaanku dengan teliti.

"Anda sudah bisa melewati masa kritis. Luar biasa, kalau bukan anda, mungkin sudah mati." aku tidak tahu perkataan dokter sebagai sebuah pujian atau sekedar basa basi.

*******

Ahirnya aku diperbolehkan pulang oleh dokter setelah dirawat hampir tiga minggu. Aku rindu dengan suasana rumah. Aku rindu dengan kamar Ningsih dan juga kamar Lilis yang harum dan empuk. Aku rindu tidur dalam pelukan Ningsih ataupun Lilis. Aku sudah sangat merindukan semua suasana seperti itu. Suasana yang membuatku merasa nyaman dan dimanjakan oleh dua bidadari yang selalu mendampingiku.

Kabar kepulanganku sudah di dengar oleh Bi Narsih dan Mang Karta yang menyempatkan datang menjemputku di RS. Tentu saja Mang Udin juga datang, apa lagi selama di RS ibuku tidak pernah mau pulang, dia selalu mendampingi dan berjaga bergantian dengan Ningsih dan Lilis yang setia menungguku di RS walau aku berulang kali menyuruh mereka pulang. Tentu aku juga hawatir dengan kondisi kehamilan mereka.

Ningsih mendorongku yang duduk di kursi roda sementara Lilis menggenggam tanganku seakan tidak mau kehilanganku. Dan seseorang berdiri menungguku, matanya tajam menatapku. Mang Karta dan Mang Udin langsung bersiaga menghadapi segala kemungkinan yang tidak terduga. Aku masih terlalu lemah untuk bisa bergerak.

Ayahku hanya menatapku tanpa bersuara, kami salaing bertatapan cukup. Tiada yang memulai pembicaraan hanya pikiran kami yang berbicara. Lalu ayahku meninggalkan kami tanpa sepatahpun kata yang terucap.

"Mau apa, dia?" pertanyaan yang sebenarnya aku tujukan pada diriku sendiri.

"Jangan dipikirin, yang paling penting kamu harus sembuh." Mang Karta menjawab tenang.

Aku memandang punggung ayahku yang menjauh. Tiba tiba aku teringat dengan mimpiku tentang ayahku. Apakah ini adalah mimpi biasa atau sebuh pertanda. Entahlah.

Ya, kejadian penusukan yang membuatku koma seminggu lebih membuatku sadar, bahwa selama ini aku dikelilingi orang yang setiap saat bisa menikamku dari belakang. Situasi yang disebabkan oleh dendam masa lalu yang menyeretku dalam pusaran demdam dan kebencian bahkan nyawaku sendiri dipertaruhkan.

Sudah saatnya aku bangkit dan mulai bergerak melawan
Sudah saatnya aku menyerang sebelom mereka kembali menikamku. Satu satunya yang bisa aku andalkan adalah Lilis. Walau aku tahu dia wanita lemah, tapi dia mempunyai kecerdasan yang dapat menuntunku. Kecerdasan yang bisa membaca rencana lawan.

Aku menatap Lilis yang memegang tanganku sementara Ningsih kembali mendorong kursi rodaku menuju mobil yang sudah siap membawa kami pulang ke rumah.

Lega sekali saat aku menginjakkan kakiku kembali di rumah. Rasanya sudah sangat lama aku tidak pulang. Aku berjalan dengan dipapah Lilis dan Ningsih. Mereka memapahku dengan sangat berhati hati memasuki rumah.

"A Ujang mau tidur di kamar mana?" tanya Lilis.

Aku ragu untuk menjawabnya kalau aku ingin tidur d kamar Ningsih. Aku takut melukai hati Lilis karena aku lebih memilih tidur dengan Ningsih dari pada dengannya. Dan ternyata Lilis tidak perlu mendengar jawabanku.

"Lilis tahu, A Ujang pengen tidur di tempat Ningsih." Lilis tersenyum mengerti apa yang menjadi keinginanku.

*******


Gobang memegang senjata kesayangannya, sebuah gobang sepanjang satu meter yang sudah memakan banyak korban jjwa. Surat tantangan sudah dikirim ke musuh bebuyutan yang pernah menjadi sahabatnya. Tekadnya sudah bulat, salah satu di antara mereka harus mati agar tidak ada lagi korban orang yang tidak bersalah terutama keluarganya.

"Aku minta Kang Gobang membatalkan rencana berduel dengan, Shomad." kembali Dhea berusaha membujuk rencananya berduel dengan Shomad.

"Salah satu dari kami harus mati, agar tidak ada lagi korban dari keluarga dan orang orang yang aku cintai." Gobang tidak mengalihkan pandangannya dari senjata yang sudah terhunus. Senjata yang tidak akan masuk ke dalam sarungnya sebelum menghirup darah seperti kebiasaannya sejak dulu. Semacam prinsip yang harus dipegang teguh hingga maut memisahkannya dengan senjatang sebuah gobang sepanjang satu meter yang berat.

Perlahan Gobang menatap Dhea yang melihatnya debgan wajah gelisah. Wanita yang setia menyiapkan sebuah rencana yang tidak terpikir olehnya. Tidak sia sia menyelamatkan Dhea dari lembah nista, dari seorang pelacur berubah menjadi seperti sekarang. Wanita yang bisa menjalankan bisnis prostitusi kelas atas dengan konsumen para pengusaha kakap dan para pejabat. Mungkin ini terahir kali dia menatap wanita ini.

Gabang meletakkan senjatanya di atas meja, dipeluknya Dhea dengan penuh kemesraan. Aneh sekali, kenapa dia bisa memeluk Dhea selembut dan semesra ini. Hal yang belum pernah dilakukan sejak mengenal Dhea.

"Jaga anak kita dan besarkan dia. Kalau aku mati, tinggalkan dunia yang sudah membesarkanmu" Gobang mencium bibir Dhea dengan mesra dan sangat lama. Sepertinya sangat berat melepaskan bibirnya dari bibir wanita yang telah mengabdikan hidupnya. Perlahan Gobang melepaskan pelukannya.

Gobang mengambil senjatanya lalu berjalan tanpa menoleh ke belakang. Gobang takut, saat menoleh ke belakang niatnya akan melemah. Gobang berjalan dengan tangan mengepal diikuti Japra yang setia mengiringi langkahnya yang terasa berat.

Mobil sudah disiapkan, Gobang masuk ke dalam mobil terdepan berdua dengan Japra. Sedang dua mobil lagi diisi oleh anak buahnya sekedar berjaga jaga kalau Shomad main kotor mengeroyoknya. Ini adalah duel hidup dan mati, tidak ada yang boleh ikut campur dalam duel ini.

Ahirnya mereka sampai di tempat yang sudah ditentukan, sebuah tempat yang akan menjadi saksi duel dua orang jago tua. Yang akan menjadi saksi salah satu di antara mereka akan mati meregang nyawa.

Dengan langkah mantab Gobang melangkah ke dalam sebuah bangunan kosong yang terbengkalai sehingga dipenuhi oleh rumput ilalang yang tumbuh liar. Gobang menggerakkan senjatanya sebagai pemanasan agar otot ototnya menjadi lebih rileks.

Shomad sudah berdiri menunggu, di belakangnya berdiri anak buahnya yang lumayan banyak. Tangannya memegang sebuah golok sepanjang 70 centi meter. Sama seperti senjata yang dipegang Gobang, senjata Shomad juga sudah banyak memakan korban jiwa. Golok yang mengandung racun. Jangankan yertusuk, yergores sedikit saja bisa berakibat nyawa melayang.

"Ini cuma antara kita berdua, Shomad...!" Gobang berkata dingin.

"Tentu, ini antara kita berdua." Shaomad menjawab dingin.

Tak ada yang bicara, mereka sama sama menggenggam senjata dengan erat, saling mencari kelemahan untuk memulai serangan. Gobang bergerak satu langkah diikuti Shoad. Kembali mereka saling menatap dengan sudut mata. Kuda kuda sudah terpasang kokoh hanya tinggal menunggu waktu salah seorang akan memulai serangan. Serangan yang paling mematikan dan tidak terduga.

Ternyata yang memulai serangan adalah Shomad, goloknya menyabet ke arah leher. Langsung mengarah ke tempat paling mematikan. Sebuah gerak tipu yang memancing Gobang menangkisnya sehingga pertahanannya agak terbuka. Shomad merubah serangannya menjadi sebuah tusukan yang mengarah dada Gobang. Gerak tipu yang sangat mematikan, andai yang dihadapinya bukan Gobang. Pasti lawannya sudah tertusuk golok yang beracun.

Tapi Gobang sudah tau arah serangan Shomad bisa berubah karena sudah terlatih puluhan tahun. Kaki kirinya melangkah ke kanan sehingga tusukan Shomad lolos dan saat bersamaan senjatanya membabat leher Shomad dengan cepat. Gerakan senjatanya dari atas ke bawah mempunyai dua fungsi, saat sabetannya meleset, senjatanya akan mampu menangkis serangan balasan Shomad. Ya, inilah inti dari Cimande, menyerang sekaligus bertahan.

Dan tepat seperti yang dipikirkan Gobang, Shomad berhasil mengelak dan senjatanya menyerang dari bawah ke atas mengarah perutnya. Gobang tidak menarik serangannya, tapi meneruskannya memapas ke bawah. Trang. Kedua senjata mereka beradu sehingga menimbulkan percik apai. Posis Gobang lebih unggul, sehingga Shomad agar terhuyung ke belakang. Gobang tidak meruskan serangannya karena akan sangat berbahaya. Posisi Shomad memang terlihat tidak menguntungkan, tapi kalau dia memaksakan diri menyerang, bisa menjadi bumerang buat dirinya.

Melihat Gobang hanya menunggu, kembali Shomad memulai serangan, sekarang lebih cepat dan mematikan dari pada tadi. Tekadnya sudah bulat salah satu diantara mereka harus mati hari ini. Tak ada pilihan buat mundur lagi. Kembali mereka saling serang dengan ganas. Senjata mereka bergerak berusaha membinasakan musuh secepatnya hingga pada saat yang tepat sebuah tendangan Gobang mengenai perut Shomad dengan telak membuat Shomad jatuh bergulingan di tanah.

Pada saat itulah terjadi situasi yang tidak terduga. Seorang wanita tiba tiba berlari menghampiri Shomad dengan senjata terhunus menikam Shomad yang tergeletak di tanah. Tapi Shomad jago tua yang sangat berpengalam, melihat sebuah senjata mengarah ke lehernya, reflek dia menangkis hingga senjata wanita itu terlepas dari pegangannya. Tanpa rasa belas kasihan, Shomad menusuk perut wanita yang menyerangnya. Bles, goloknya tertancap di perut wanita itu.

Bersambung......
 
Chapter 21 : Serigala Berbulu Domba

Semua yang melihat terbelalak kaget melihat seorang wanita tiba tiba masuk ke gelanggang pertarungan dan menyerang Shomad. Mereka terfokus pada pertarungan itu sehingga tidak menyadari kehadiran seorang wanita yang mencari kesempatan untuk menyerang Shomad dan kesempatan itu datang saat Shomad terjatuh. Kesempatan yang tidak disia siakannya. Wanita itu menyerang Shomad dengan sebilah golok, tapi Shomad bukanlah jawara mentah. Dia seorang jawara yang sudah sangat berpengalaman dan bisa melihat serangan yang datang tiba tiba. Reflek menanggkis senjata wanita itu hingga terpental dan membalas serangannya dengan sebuah tusukan tepat mengarah perut wanita itu. Tusukan mematikan tanpa sempat melihat siapa yang menyerangnya.

Tubuh wanita itu jatuh menindih Shomad yang tidak bisa menghindar karena goloknya menancap hingga menembus punggung. Saat itulah Shomad melihat wajah wanita yang menyerangnya, reflek dia melepaskan goloknya dan membalikkan tubuh wanita yang sedang meregang nyawa itu terlentang.

"Anissssss...!" Shomad meraung menangisi Anis yang sedang meregang nyawa. Menangisi wanita yang sedang mengandung anaknya, anak yang sangat dinantikannya sejak puluhan tahun lamanya.

Kesempatan buat Gobang untuk mengahiri dendam puluhan tahun. Dendam yang berimbas kepada anaknya yang tidak tahu menahu urusanya. Dengan sekali serangan mematikan akan mengahiri semuanya. Cukup satu serangan, maka Shomad akan menjadi mayat. Cukup satu kali serangan yang menikam jantung, maka semuanya akan berahir dan dia bisa hidup lebih tenang.

Tapi Gobang bukanlah seorang pengecut. Gobang adalah seorang jawara yang mempunyai harga diri yang tinggi, seorang jawara yang angkuh dan merasa dirinya hebat tidak tertandingi. Seorang yang memegang teguh jiwa Satrua, seseorang yang memegang teguh filosofi pendekar silat aliran Cimande. Pantang baginya menyerang musuh dari belakang.

Gobang tetap berdiri melihat Shomad menangisi wanita yang ahirnya dia kenal sebagai Anis, wanita yang pernah menyerahkan keperawanannya dalam sebuah ritual Sex di Gunung Kemukus belasan tahun yang lalu. Tidak ada keinginannya menyerang Shomad yang membelakanginya sambil memeluk mayat Anis yang tewas seketika.

Gobang terkejut melihat Japra meloncat mendekati Shomad dengan senjata terhunus siap memenggal leher Shomad tanpa ampun. Ini adalah pertarungan antar jawara tidak boleh dinodai oleh tipu muslihat licik yang akan mencoreng namanya.

"Japra, hentikan..!" Gobang bergerak menarik pundak Japra. Reflek Japra membalikkan badannya dan sebuah kejadian tidak terduga yang tidak pernah terbersit di pikiran Gobang terjadi. Golok Japra menusuk tepat di jantung Gobang yang terbelalak kaget.

Gobang adalah jawara yang sudah sangat berpengalaman. Gerak refleknya sudah terasah lewat latihan puluhan tahun. Reflek Gobang membalas dengan sebuah tusukan mematikan tepat mengarah perut dan Japra yang sudah bersiap bisa menghindar dengan mudah, Gobang yang sekarat terjatuh ke depan, senjatanya menusuk punggung Shomad yang berada di depannya. Gobang meregang nyawa dengan mata melotot di atas punggung Shomad, senjatanya tembus menusuk ulu hati Shomad. Ke dua jawara tua yang tidak pernah menyangka akan mengahiri hidupnya dengan tragis.

******

Dhea menyambut kedatangan Japra tanpa beranjak dari kursi empuk yang didudukinya. Kursi yang didapatkannya dengan menghalalkan segala cara bahkan dengan melenyapkan nyawa ayahnya sendiri yang telah menjualnya ke setiap lelaki hidung belang yang berani membayar mahal untuk mendapat kehangatan tubuhnya di atas ranjang. Di meja kerjanya bertebaran berkas yang sedang dikerjakannya. Berkas yang berisi pelimpahan kekuasaan dari Gobang ke dirinya. Dia yang sekarang menjadi big bos. Bukan karena kehebatan bertarungnya, tapi kehebatan otaknya.

"Bagaimana?" tanya Dhea tegang menanti jawaban Japra.

"Semuanya sudah berjalan baik. Gobang dan Shomad sudah mati. " Japra menjawab tenang. Senyum licik terlihat jelas di bibirnya.

Dhea tertawa kecil, ahirnya dia bisa melenyapkan semua penghalangnya, yang tersisa hanyalah kerikil kerikil kecil yang bisa dilenyapkan kapan saja. Bukan sebuah ancaman berbahaya.

Dhea melangkah mendekati Japra yang berdiri. Tanpa bicara Dhea berjongkok di hadapan Japra, tangannya mengelus kontol yang masih tersembunyi di balik celana pangsi, dengan satu kali gerakan celana yang dikenakan Japra melorot ke bawah membebaskan kontolnya dari tempat perlindungannya.

Jari lentik Dhea membelai kantong peler Japra, menggodanya agar kontolnya yang masih tidur bangun menunjukkan keperkasaannya. Lidahnya mulai menjilati batang kontol yang masih tertidur. Perlahan kontol Japra mulai terusik godaan liar lidah wanita cantik yang secara sembunyi sembunyi sering memberinya kenikmatan. Tapi sekarang tidak perlu lagi melakukannya dengan sembunyi sembunyi. Penghalang terbesar sudah tewas menjadi mayat. Tidak ada lagi yang perlu dihawatirkan.

Dhea melahap kontol Japra dengan bernafsu berusaha membuatnya semakin tegang maksimal agar bisa memberikan yang juga maksimal. Dhea berubah menjadi seperti pelacur yang berusaha memberikan pelayanan maksimal kepada Japra yang sudah menjalankan rencananya hingga berhasil.

Kontol Japra yang tertidur menjadi semakin tegang hingga batas maksimal, tidak kalah dengan milik Gobang. Kontol yang selalu mampu memberikannya kepuasan maksimal dan meraih multi orgasme yang berkesinambungan. Japra menggerakkan pinggulnya mengocok mulut Dhea dengan kasar, sesuatu yang sangat disukai oleh Dhea.

Japra menarik Dhea bangun, tangannya yang kekar mengangkat tubuh Dhea ke dalam kamar yang berada di ruang kerja. Kamar kecil yang hanya digunakan untuk beristirahat setelah lelah bekerja.

Japra membaringkan Dhea di atas ranjang yang diperuntukka untuk satu orang. Dengan tergesa gesa Japra menelanjangi Dhea. Dhea hanya tertawa melihat Japra yang begitu beringas menelanjanginya. Japra yang dianggapnya sebagai boneka yang bisa digerakka sesuka hatinya.

Dhea membiarkan payudaranya menjadi mainan Japra, pria kasar yang sama saja dengan pria lain yang menganggap tubuhnya sebagai pemuas nafsu. Yang menganggap dirinya tidak lebih dari seorang pelacur. "Tapi aku adalah pelacur yang menjadi Ratu." gumam Dhea. Gumaman samar yang tidak terdengar oleh Japra yang begitu asik menciumi sekujur tubuhnya.

Dhea merintih nikmat saat kepala Japra terbenam di selangkangannya. Lidahby begitu liar menjilati memeknya dibarengi jari Japra yang mengorek ngorwk memeknya. Entah kenapa Dhea sangat menikmati diperlakukan kasar seperti itu. Bahkan Dhea mendapatkan orgasmenya dengan cepat. Tubuhnya melenting mengiringi kenikmatan dahsyat yang membuatnya ketagihan.

"Kang Japra, entot Dhea sekarang. Sodomi Dhea..!" tidak perlu menunggu perintah kedua, dengan hanya membuka celana, Japra menindih Dhea, kontolnya menerobos masuk memeknya hingga dasar terdalam.

Japra langshng mengocok memek Dhea dengan brutal membuat ranjang ikut terguncang. Saking basahnya memek Dhea, terdengar bunyi keras saat kontol Japra menerobos masuk.

"Memek kamu enak banget. Pantes si Gobang doyan memek kamu." Dhea hanya mencibir mendengar ocehan Japra yang begitu melecehkannya.

Dhea sudah terbiasa mendengar pujian pria hidung belang yang memuji kenikmatan memeknya. Kata kata yang akan terdengar kasar dan melecehkan apa bila didengar wanita baik baik. Yapi dirinya tidak lebih mantan pelacur bahkan hingga kinipun dia tetaplah seorang pelacur dengan imbalan yang tidak main main. Dan kematian Gobang dan Shomad adalah imbalan yang wajar demi posisi big bis dunia hitam. Imbalan yang tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaannya selama ini.

Dan untuk kedua kalinya Dhea mendapatkan orgasmenya, dia tidak perduli perlakuan Japra yang menganggapnya sebagai pelacur murahan yang terus memompa memeknya dengan kasar. Rasa sakitnya berubah menjadi kenikmatan tiada taranya bahkan mengantarkannya pada orgasme yang terus menerus.

"Kang, entot bool Dhea. Sodomi Dhea..!" Dhea mendorong Japra dari atas tubuhnya. Dhea menungging mempersiapkan lobang anusnya dioles dengan jelly khusus pelumas anus.

"Buruan, Kang." tanpa belas kaaian Japra memasukkan kontolnya ke dalam anus.

Dhea melenguh nikmat. Rasa sakinya tidak sebanding dengan rasa nikmat yang membuat sekujur tubuhnya merinding. Sodokan kontol Japra membuat tubuhnya berguncang dengan keraa. Sesekali Japra menampar pantatnya dengan keras meninggalkan warna merah. Dhea berteriak histeris menikmati rasa sakit yang mampu membuatnya orgasme berulang ulang.

Hingga ahirnya Japra tidak mampu lagi bertahan, Japra menyemburkan pejuhnya ke dalam lobang anus Dhea. Orgasme terhebat yang dialaminya setelah membunuh Gobang.

"Kita harus berhati hati dengan, Lilis. Dia sangat cerdas. " Dhea berkata setelah badai orgasmenya reda. Dhea sangat mengenal Lilis jauh sebelum mengenal Ujang. Lilis bisa membahayakan posisinya.

********

"A, makan bubur dulu ya!" Ningsih berusaha membujukku untuk makan bubur buatannya. Terpaksa aku memakannya. Benar benar tidak enak rasanya selama beberapa minggu harus makan bubur karena dokter melarangku makan nasi dan yang keras keras. Bahkan aku belum boleh ngopi dan juga merokok hingga kesehatanku pulih.

"Lain kali A Ujang harus hati hati. Itu sebabnya Lilis selalu nyuruh orang buat ngawal A Ujang. Karena Lilis hawatir kejadian buruk menimpa A Ujang. Lilis gak mau harus kehilangan A Ujang." perkataan yang sudah diucapkan puluhan kali oleh Lilis.

Setelah kejadian penusukan aku baru tau, orang yang menusukku ternyata sudah dipecat oleh Lilis. Waktu aku bertanya kenapa Lilis memecat orang itu? Lilis hanya menjawab, orang itu sudah berhianat.

Lalu siapa orang yang sudah berniat membunjhku. Siapa otak di balik semua inj. Apakah orang yang sama dengan orang yang mencelakai Mang Udin dan mengadu domba ayahku dan Mang Karta? Apakah orang itu adalah Shomad.

Sudah saatnya aku membuat perhitungan dengan, Shomad. Tapi bagaimana caranya? Ssdangkan menurut cerita Mang Karta dan Ibu, ayahku sendiri tidak mampu menghadapinya. Apakah aku bisa mengalahkan Shomad? Hal yang rasanya mustahil. Aku terlalu hijau untuk bisa menghadapi jawara tangguh yang sudah sangat berpengalaman.

Lalu aku harus bagaimana? Berdiam diri saja. Itu artinya aku akan menjadi mangsa yang mudah dihabisi. Aku harus melawan sebelum dia menghabisi nyawaku bahkan mungkin nyawa keluargaku. Ya, apapun yang terjadi aku harus melawan.

Saat aku berpikir keras tentang langkah yang harus aku ambil, bel pintu terdengar nyaring mengagetkanku. Lilis segera ke depan membuka pintu. Tidak lama Lilis sudah kembali lagi.

"A, ada tamu. Katanya dia bernama Japra...!" kata Lilis.

Japra, bukankah dia disebutkan dalam buku Diary Pak Budi. Bahkan aku juga mendengar namanya dari Pak Tris.

Bersambung

Jangan lupa tanggapannga dan komentarnya. Siapa tau ada ide buat dijadiin cerita.
 
Chapter 22 : Jejak Sang Penghianat

"Gak usah ke depan, A. Kang Japra cuma mau ngabarin Ayah Gobang..." Lilis seperti ragu untuk meneruskan perkataanya.

"Kenapa, Lis?" tanyaku tidak sabar.

"Ayah Gobang meninggal..!" Jawab Lilis mengagetkanku. Rasanya seperti tidak percaya mendengar kabar yang tiba tiba ini. Entah kenapa tidak ada rasa sedih maupun kehilangan seperti saat Abah meninggal. Aku menangis sepanjang hari. Apa karena aku menganggap ayahku sudah lama mati.

"Ayahku meninggal?" tanyaku hanya untuk memastikan kabar yang tiba tiba ini. "Meninggal karena apa?" aku meneruskan pertanyaanku dengan suara datar seolah olah itu hal biasa bukan sebuah berita duka.

"Duel dengan, Shomad. Keduanya tewas berbarengan." Lilis memperhatikan wajahku. Mungkin merasa aneh dengan responku yang dingin.

Shomad, mereka berduel dan mereka mati berbarengan. Kembali perkataan Lilis terdengar dan semakin jelas menyadarkanku.

Penyebab kematian ayahku justru membuatku terkejut. Apa mungkin ayahku menyangka dalang yang berusaha membunuhku adalah Shomad sehingga dia sengaja mengajak Shomad duel hingga mereka berdua sama sama tewas. Dengan kematian ayahku dan Shomad, berarti masalah di keluargaku sudah selesai. Dendam puluhan tahun sudah berahir. Entah kenapa aku justru merasa lega. Dan raut wajahku tidak lepas dari perhatian Lilis.

"A Ujang lega mendengar kabar Ayah A Ujang dan Shomad meninggal?" Lilis menatapku tajam. Aku heran bagai caranya sampai Lilis tahu apa yang aku pikirkan. Benar benar wanita cerdas yang mampu membaca pikiran lawan bicaranya. Andai aku mempunyai kemampuan seperti itu, aku tidak akan gampang dicelakai orang.

"Bukankah itu artinya masalah kita sudah berahir?" tanyaku memastikan apa yang aku katakan itu benar. Tentu saja benar, tidak ada lagi dendam antara dua musuh bebuyutan yang sudah tewas bersamaan.

"A Ujang gak sedih ?" Lilis menatapku heran.

"Dia memang ayah Aa, tadi selama belasan tahun semua orang tahu dia sudah meninggal, saat Aa tahu dia masih hidup rasanya aneh. Kalau sekarang dia benar benar meninggal, Aa memang sudh sewajarnya." kataku tenang. Mungkin aku anak durhaka. Entahlah.

"A Ujang sekarang istirahat ya. Biar cepet sembuh. Lilis mau ke Ibu ngabarin Ayah Gobang meninggal" Lilis menuntunku masuk kamar Ningsih yang sejak tadi hanya diam mendengarkan pembicaraan kami.

Aku merebahkan tubuhku di spring bed empuk yang nyaman. Aku tau, kematian ayahku akan menjadi biasa saja bagi kami. Tidak akan ada tahlilan selama seminggu. Karena setahun sekali kami selalu mengadakan tahlil untuk ayahku. Bahkan waktu kematian pertamanya kami mengundang orang untuk mengaji di makamnya selama 40 hari 40 malam karena kematiannya yang tidak wajar kami anggap sebagai karma dari perbuatannya.

*****

Setelah mengabarkan kematian Gobang ke calon ibu mertua dan juga Mang Udin, Lilis masuk kamar almarhum Pak Budi yang sekarang menjadi ruang kerjanya berdua dengan Ujang. Entah kenapa mendengar kematian Gobang dan Shomad membuatnya ketakutan, ada sesuatu yang menurutnya janggal. Sesuatu yang sangat mengerikan sedang mengintai keluarganya. Orang orang yang dicintainya.

Lilis membuka brankas miliknya mencari buku Diary peninggalan mendiang suaminya. Buku DIARY selama.sepuluh tahun, selama itu pula suaminya selalu menulis di buku DIARY. Dan inilah satu satunya petunjuk yang dia punya.

10 tahun bukan waktu yang sebentar menjadi istri seorang pria homo dan selama 10 tahun mendiang suaminya hanya menyentuhnya beberapa kali. Satu satunya yang dilakukan suaminya adalah mendidik Lilis mengetahui seluk beluk bisnis mendiang suaminya. Lilis diajari semua hal yang berkaitan dengan bisnisnya.

"Untuk apa Lilis diajari hal begini?" tanya Lilis pada suatu waktu

"Agar kamu bisa mengambil alih semua aset Aa kalau teejadi sesuatu pada A Budi." jawaban yang dirasanya mengada ada. Dan yernyata apa yang pernah dikatakan mendiang suaminya terjadi. Dan Lilis sudah terbiasa melakukan hal hal yang biasa dan dikerjakan olehnya.

Lilis melakukannya dengan terpaksa, belajar tentang Akutansi, Manajemen dan banyak hal berkaitan dengan bisnis yang dikelola mendiang suaminya secara otodidak. Puluhan bahkan ratusan buku yang tebal tebal jadi makanan sehari harinya. Pada ahirnya dia sangat menyukainya. Inilah satu satunya cara untuk menghilangkan beban hidup yang dirasakannya. Inilah cara untuk tetap membuatnya waras.

Begitu besarkah kepercayaan mendiang suaminya atau hanya untuk menutupi rasa bersalahnya yang tidak mampu memberikan kebahagiaan kepadanya. Sebagai penembus rasa bersalahnya.

Lilis mengabaikan hal itu. Sekarang dia merasakan sebuah bahaya mengintai yang siap mencelakakan dirinya dan orang orang yang dicintainya.

Lilis membatalkan niatnya membaca tumpukan buku DIARY mendiang suaminya yang sudah dibacanya berulang kali. Rasanya tidak ada satupun yang terlewat. Lagi pula dengan membacanya kembali dia tidak akan dapat mengetahui penyebab kematian Gobang. Lilis hanya merasa ada hubungan dengan rencana pembunuhan pria yang dicintainya Ujang, dengan kematian Gobang.

Lalu kenapa Gobang mengirim orang orangnya untuk melindungi mereka. Apa ini karena Gobang mencium sesuatu yang tidak beres sehingga dia harus mengirim orang orangnya untuk melindungi semua keluarganya. Sepertinya begitu.

Lilis mengangkat gagang telpon yang berada di meja, dia harus menelpon seseorang untuk memastikan bahwa orang yang dikirim Gobang bukanlah penghianat yang dikirim untuk mengawasi keluarganya. Kecurigaannya semakin kuat mengingat kejadian pria yang dicintainya hampir terbunuh.

******

"Kang Gobang dan Shomad tewas...!" Narsih terduduk lesu mendengar kabar yang diterimanya dari Dhea lewat telpon. Dia nyaris tidak mempercayai dengan apa yang didengarnya tadi. Matanya menatap kosong. Narsih berusaha mengendalikan dirinya. Perlahan Narsih mengatur nafasnya agar lebih tenang.

Baru jam 3 sore, berarti masih 2-3 jam lagi Kang Karta pulang. Narsih ingin segera memberitahukan kabar yang diterimanya tentang kematian Gobang. Kabar yang diterima dari Dhea. Dia harus merundingkan segala sesuatunya dengan Karta. Narsih merasakan ada sesuatu yang janggal di sini. Tapi dia belum tahu kejanggalan seperti apa.

Sudah hampir satu tahun dia memantau gerakan Shomad yang tenang. Hingga ahirnya sejak beberapa bulan lalu tiba tiba ada gerakan dari mendiang Budi yang mengorek keterangan tentang Gobang. Narsih benar kaget, apa lagi Budi bahkan mencium keberadaan Gobang di Gunung Kemukus. Hanya Narsih yang tahu di mana Gobang berada, lalu dari mana Budi tahu Gobang ada di Gunung Kemukus?

Narsih benar benar merasa tertipu, ternyata niat Budi yang sebenarnya ke Gunung Kemukus adalah mencari keberadaan Gobang. Budi bahkan sengaja melibatkan Ujang untuk memancing Gobang keluar dari tempat persembunyiannya.

Siapa yang bermain di balik semua ini? Apa Dhea? Lalu motivasinya apa.

Narsih duduk dengan lesu, semua kecerdasannya berusaha digunakan untuk menemukan jawaban dari teka teki yang dihadapinya. Telpon yang berbunyi mengagetkannya. Segera Narsih mengangkatnya, ternyata dari Lilis menanyakan tentang orang yang dikirim Gobang untuk menjaga keluarganya. Lilis curiga ada penghianat yang mengawasi gerak gerik mereka sehingga Ujang hampir tewas terbunuh

Mungkin Lilis benar, bertepatan dengan kedatangan orang yang dikirim Gobang, Ujang celaka dan hampir tewas dibunuh. Ini sudah jelas, ada orang yang menginginkan kematian mereka. Dimulai dengan mencelakai Ujang untuk memancing kemarahan Gobang yang langsung menantang duel Shomad. Lalu mereka sama sama tewas. Dengan begitu orang itu akan mampu menguasai dunia hitam yang ditinggalkan Shomad dan Gobang.

*****

Hampir dua minggu beristirahat total di rumah tanpa mengerjakan apa pun membuatku merasa jenuh. Aku benar benar dimanjakan oleh dua bidadari cantik yang setia melayaniku. Mereka begitu ketat melarangku melakukan sesuatu yang mereka anggap berat. Menurut mereka dokter menyuruhku beristirahat total selama sebulan dan luka diperutku dinyatakan sembuh.

Hari hari yang aku lalui terasa membosankan, lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur dan sebuah hobi baru yang muncul karena aktifitas fisikku yang terbatas. Membaca. Berbagai macam buku aku baca walau kadang kala aku tidak mengerti arti yang terkandung dalam buku itu. Yang penting buatku adalah membaca agar waktu bisa berjalan lebih cepat lagi hingga aku sembuh. Membosankan memang.

Waktu terasa berjalan dengan lambat hingga ahirnya dokter menyatakan luka dalam bekas operasiku dinyatakan sembuh dan aku bisa beraktifitas dengan normal, hal yang pertama aku lakukan adalah berlatih silat di halaman belakang dengan ditemani Mang Udin yang menjadi spring fatnerku. Jurus jurus silat yang sangat aku rindukan kembali aku mainkan dengan sangat bersemangat sampai tidak memperhitungkan staminaku yang jauh berkurang.

Walau awalnya gerakanku masih terasa kaku. Mang Udin begitu sabar meladeniku, tidak memaksaku untuk bergerak secepat dan sekuat dirinya. Aku baru sembuh jadi harus mulai beradaptasi kembali. Yang paling kurasakan adalah gerak reflekku yang jauh berkurang.

"Jangan dipaksakan, Jalu. " kata Mang Udin melihatku yang ngos ngosan kehabisan nafas. Staminaku terkuras dalam waktu singkat.

"Besok lagi kita latihan, Mang Udin mau ngurus pernikahan yang tinggal beberapa hari lagi." kata Mang Udin menyudahi latihan kami.

Ya, pernikahan Mang Udin dan ibuku tinggal beberapa hari lagi dan aku tidak membantu. Bahkan bisa dikatakan tidak membantu sama sekali karena kondisiku. Untung saja Lilis bisa menangani semuanya. Wanita yang hebat dan aku beruntung mendapatkannya. Mereka sepertinya tidak membutuhkan bantuanku karena semuanya sudah selesai. Mang Udin pergi hanya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Kematian ayahku seperti sudah dilupakan sama sekali.

Tidak ada yang bisa dikerjakan untuk membantu pernikahan ibuku. Lilis juga masih melarangku untuk ke pasar melihat kios. Terlalu berbahaya menurut Lilis setelah kejadian tempo hari.

Ingin aku menelpon Anis, tapi tidak bisa aku lakukan di rumah tanpa diketahui Lilis dan Ningsih atau salah satu diantara mereka. Bisa kacau kalau mereka tahu tentang hubunganku dengan Anis. Padahal aku sangat ingin tahu tentang keadaabya setelah Shomad tewas.

"A Ujang dari tadi melamun saja. Lagi mikirin apa, sich?" tabya Ningsih memeluk leherku dari belakang membuatku terkejut. Aku bisa mencium bau tubuh Ningsih yang khas dan membuatku merasa nyaman setiap kali berdekatan dengannya. Hampir dua bulan aku tidak memberinya nafkah batin dan sekarang gairahku bangkit saat Ningsih mencium leherku.

"Duduk donk, Ning. Aa kangen..!" kataku menyuruh Ningsih duduk di sampingku.

"Aa ada ada aja, tiap saat Ningsih ada masa bilang kangen." Ningsih menggodaku. Ningsih tetap memelukku dari belakang sambil menciumi leherku.

"Sama Lilis gak kangen, A?" tanya Lilis yang tiba tiba muncul dari kamar kerja bekas kamar mending Pak Budi.

Perutnya terlihat semakin membuncit sama dengan Ningsih. Mereka sepertinya akan melahirkan dalam waktu bersamaan. Menurut perkiraan dokter 3 bulan lagi aku akan menjadi seorang ayah dari dua anak yang akan lahir dari dua wanita. Aku benar benar bahagia masih punya kesempatan melihat ke dua anakku yang akan segera lahir. Lilis duduk disampingku.

"A Ujang udah kuat belom ngelayanin kami berdua?" Lilis berbisik menggodaku. Tangannya meraba kontolku yang sudah mulai tegang akibat Ningsih yang terus menerus mencium leherku.

"A Ujang sudah bangun aja kontolnya..!" Lilis berseru takjub.tanpa meminta persetujuanku Lilis membuka celana pangsi yang kupakai buat berlatih silat sehingga kontolku terbebas dari kurungannya.

"Lilis gak sabar amat, sudah kangen sama kontol Aa ya?" aku berbalik menggoda Lilis yang mengabaikannya. Aku melenguh nikmat saat kontolku mulai masuk mulutnya yang mungil.

"Teh Lilis curang, Ningsih yang ngebangunin kontol A Ujang, malah Teh Lilis yang nyamber duluan." Ningsih merajuk manja melihat Lilis yang bernafzu nyepong kontolku yang besar sehingga dia harus membuka mulutnya lebih lebad lagi.

Aku nenoleh ke arah Ningsih yang masih memeluk leherku. Tanpa perlu nenjelaskan maksudku Ningsih mencium bibirku dengan mesra. Kami berciuman dengan penuh perasaan. Ciuman yang penuh cinta dan kasih sayang.

Aku merasakan kontolku tidak lagi disepong. Ternyata Lilis sudah berdiri membuka bajunya hingga bugil. Perutnya yang buncit tidak mengurangi keundahan tubuhnya. Payudaranyapun terlihat semakin membengkak. Aku tergoda untuk menghisapnya, apakah sudah mengeluarkan ASI apa belum. Tapi keinginanku harus kupendan, Lilis membelakangiku, tanganya meraih kontolku yang sudah tegak sempurna agar berada pas di lobang memeknya yang pasti sudah basah.

Perlahan Lilis menurunkan pinggulnya menelan seluruh batang kontolku hingga tidak ada yang tersisa. Begitu nikmat membuat bulu di sekujur tubuhku merinding nikmat setelah 2 bulan kltidak pernah menikmatinya.

Ningsih kulihat berjalan ke hadapan kami dalam keadaan sudah bugil. Dia berdiri dihadapan Lilis, entah apa yang diinginkannya.

"Teh, jilatin memek Ningsih, donk!" kata yang diucapkan Ningsih membuatku terkejut. Bagaimana bisa Ningsih meminta Lilis menjilati memeknya. Itukan artinya jeruk makan jeruk.

Gila, Lilis mengabulkan keinginan Ningsih, sementara pinggulnya terus bergerak mengocok kontolku, wajahnya terbenam di selangkangan Ningsih yang menatap sayu ke arahku. Pemandangan yang membuatku semakin bergairah menikmati sensasi yang terasa semakin dahsyat.

"Ternyata enak juga memek Ningsih dijilatin Teh Lilis...!" Ningsih mendesis nikmat saat jilatan demi jilatan Lilis menggegelitik itilnya, tangannya memegang kepala Ningsih.

"Aa, Lilis gak kuat mauuu kelllluarrrrr..." Lilis menjauhkan wajahnya dari selangkangan Ningsih, tpinggulnnya semakin cepat bergoyang menyambut birahi pertamanya setelah dua bulan.

"Gantian Terus, memek Ningsih udah gatel..!" Ningsih menarik tangan Lilis yang masih menikmati sisj sisa orgasmenya.

"Ningsih, masih enak nich..!" kata Lilis sambil tertawa menggoda tapi Lilis tetap bangun juga sehingga kontolku terlepas dari memeknya.

Melihat kontolku sudah terlepas dari cengkeraman memek Lilis, Ningsih langsung berjongkok dan melahap kontolku yang basah oleh lendir memeknya Lilis. Tidak ada rasa jijik, Ningsih begitu menikmati menjilati kontolku. Nikmat, sangat nikmat.

"Udah, Ningsih. Aa gak kuat pengen ngentot...!" aku menarik Ningsih bangun. Aku menyuruh Ningsih duduk di sofa dengan kaki mengangkang lebar sehingga memeknya yang indah terlihat agak membuka. Memek yang sebentar lagi akan mengeluarkan anakku.


Perlahan kontolku menerobos masuk memek Ningsih yang memejamkan matanya menikmati kontolku. Satu satunya kontol yang bisa menikmati memeknya.

"Ennnnak, A...!" Ningsih tersenyum bahagia. Aku bergerak pelan agr anakku tidak terganggu oleh persetubuhan ke dua orang tuanya.

"A Ujang ngentotin kami, biar waktu lahiran lebih gampang..!" Lilis mencium bibirku yang sedang menggenjok memek Ningsih.

Mendengar apa yang dikatakan Lilis membuatku semakin bergairah mengocok memek Ningsih. Mungkin benar yang dikatakannya, seorang wanita yang sedang hamil tua harus sering sering dientot agar lobangnya semakin melar sehingga memudahkan persalinannya. Ini bukan hanya sekedar sex, ini adalah tugas mulia seorang ayah untuk memberi jalan kepada anaknya.

"Terus A, entot Ningsih, enak banget kontol.. A Ujang..!" wajah cantik istriku terlihat semakin cantik saja.

Aku semakin termotivasi memberikannya kenikmatan tiada tara. Aku akan membayar lunas hutangku selama dua bulan. Aku pasti bisa memberikan kenikmatan kepada dua bidadari cantik yang menjadi pendampingku. Kontolku bergerak semakin gencar memompa memek Ningsih hingga ahirnya Ningsih tidak mampu bertahan dari badai birahi. Tubuhnya menggeliat menyambut orgasmenya.

"Aa, Ningsih kelllluarrrrr..." Ningsih menjerit kecil menyambut puncak kenikmatannya. Memeknya berkedut kencang meraih puncak orgasmenya. Orgasme yang sangat dahsyat. Yang menarikku dalam pusaran badai kenikmatan.

"Aa juga kelllluarrrrr..!" aku mengeram, kontolku terbenam hingga dasar memek Ningsih disertai semburan pejuhku yang sangat banyak. Kandungan selama dua bulan aku tumpahkan semuanya.

Suara dering telpon mengagetkan kami yang kelelahan setelah mengarungi badai birahi yang dahsyat. Bahkan dengus nafas kami belum juga pulih. Lilis segera mengangkat telpon yang tepat di samping Ningsih yang masih kelelahan menikmati sisa sisa orgasmenya yang dahsyat.

"Hallo....iya Bi, Lilis ngerti..!" Lilis menutup telpon. Hanya beberapa kata.

"Siapa, Lis?" tanyaku heran.

"Kita sudah tau siapa yang menghianatii kita. Untung saja A Ujang lolos dari maut. " kata Lilis membuatku terkejut.

Bersambung...
 
Bimabet
Chapter 23 : Introgasi

"Siapa?" tanyaku heran.

"Lastri, dia yang memancing A Ujang keluar agar mereka punya kesempatan menikam A Ujang. Tujuannya agar Ayah Gobang marah dan menantang Shomad duel hidup dan mati. Saat duel itulah seseorang akan memanfaatkan kesempatan." Lilis menerangkan panjang lebar. Wajahnya tenang tidak terkejut kalau Lastri yang melakukan penghianatan itu.

Aku benar benar terkejut bagaimana bisa Lastri menghianatiku dan menyebabkanku hampir tewas. Apakah Anis pun akan menghianatiku seperti Lastri menghianatiku? Tapi aku berharap dengan kematian ayahku semuanya akan berahir.

"Setelah kematian ayah semuanya sudah berahir..!" kataku berusah mengabaikan Lastri yang sudah berhianat. Bisa saja dia tidak tahu apa apa.

"Belum berahir, A. Mereka masih menginginkan sesuatu yang Ayah Gobang simpan dan kunci mendapatkannya justru ada di tangan Ujang." Lilis menerangkan semua yang dia tahu bahkan tidak aku ketahui sama sekali.

"Kunci apa? Aku tidak tahu apa apa."kataku heran. Mereka mengincar sesuatu yang tidak aku ketahui. Aku yakin yang mereka incar adalah emas yang tersimpan entah di mana.

Ting tong, bel membuat percakapan kami terhenti. Lilis segera memakai pakaiannya lengkap dengan jilbab. Ningsih masuk kamar dengan membawa pakaiannya yang berserakan di lantai. Aku yang paling cepat memakai celana pangsiku tidak memerlukan waktu sampai satu menit.

Aku segera membuka pintu dan terkejut melihat siapa yang datang. Ternyata Lastri diapit oleh dua orang pria yang selalu berjaga di rumah yang berhadapan dengan rumah yang kutempati.

"Ada apa ini?" tangaku heran. Walau menurut Lilis, Lastri adalah orang yang menghianatiku. Tetapi aku tidak melihat sebuah kejanggalan atau belum menemukan sebuah alasan yang tepat untuk memahaminya. Bisa saja penghianat itu salah satu orang yang dikirim mendiang ayahku untuk berjaga jaga mengawasi kami dan itu alasan paling masuk akal.

"Masuk, Las.. Dan kalian boleh kembali ke pos kalian." Lilis berkata dari belakangku. Lastri berjalan masuk. Wajahnya menunduk ketakutan. Lastri duduk dengan wajah tertunduk. Lilis duduk di hadapan Lastri. Sesaat tidak ada yang berbicara. Lilis hanya memperhatikan gerak gerik Lastri.

"Las, kamu yang ngasih informasi saat aku hampir tewas karena tertusuk? Atau nungkin kamu sengaja nyuruh aku datang ke kios agar seseorang bisa membunuhku" tanyaku meniru gaya di film film saat sang mengintrogasi musuhnya walau gaya introgasiku terkesan sangat amatir.

"Saya cuma disuruh..." singkat sekali jawaban Lastri yang tidak berani menatap wajah kami.

"Siapa yang nyuruh?" Lilis bertanya dengan nada suara datar.

"Gak tahu." dua kata, hanya dua kata yang tidak menunjukkan apa apa.

"Untuk apa?" Lilis kembali bertanya menggunakan dua kata sama halnya dengal Lastri.

"Gak tahu," jawaban yang sama seperti yang tadi.

Lilis tertawa kecil mendengar introgasinya yang mungkin sia sia. Amatir, pikirku. Mungkin Lilis cerdas, tapi apa kecerdasanya bisa digunakan untuk mengorek sebuah informasi. Sedangkan aku tidak tahu bagaimana cara mengintrogasi seseorang. Apa harus menggunakan kekerasan atau dengan ancaman seperti dalam film film. Sepertinya aku tidak bisa melakukan ke duanya.

Ningsih muncul dengan membawa nampan berisi minuman dan makanan ringan untuk tiga orang. Minuman dan makanan ringan, sebenarnya kami sedang menjamu seorang tamu atau sedang mengorek keterangan dari orang yang katanya penghianat. Atau mungkin ini cara introgasi ala Lilis.

"Minum dulu, Las." Lilis menyuruh Lastri minum. Tidak terlihat adanya tekanan yang seharusnya dilakukan dalam sebuah introgasi. Ini seperti sebuah jamuan untuk seorang teman yang sedang berkunjung.

Lastri terlihat bingung melihat Lilis yang tidak menunjukan ancaman ataupun tekanan. Bahkan yang terlihat adalah tawaran persahabatan. Bukan hanya Lastri yang jelas jelas terlibat bingung, aku lebih bingung lagi.

Dengan ragu Lastri meminum air sirup yang mampu menyegarkan tenggorokannya. Atau bisa membuatnya lengah dengan maksud tersembunyi Lilis.

"Aneh ya, kamu gak tahu siapa yang nyuruh kamu dan maksudnya apa, tapi kok kamu mau?" Lilis berkata, nada suaranya yang tadi datar berubah menjadi dingin. Aku bisa merasakan sebuah ancaman tersembunyi yang mulai diarahkan ke Lastri.

"Pak.Japra..!" Lastri mulai mengatakan sebuah nama. Sebuah nama yang membuatku takjub karena tidak menyangka orang itu yang menyuruh Lastri.

"Kamu kenal Japra di mana?" desak Lilis.

"Di Gunung Kemukus." tanya jawab yang menjengkelkan. Lastri hanya menjawab apa yang ditanyakan bukannya menceritakan kronologinya secara gamblangbsehingga aku tidak perlu menebak nebak arah yang sebenarnya.

"Kamu pernah di Gunung Kemukus?" tanya Lilis kaget. Lilis tentu saja tidak tahu kalau Lastri pernah jadi penghuni Gunung Kemukus karena ini hanya rahasia kami. Makanya aku tidak heran kalau Lastri mengenal Japra.

"Iya, saya pernah beberapa bulan tinggal di Gunung Kemukus. Bukankah kita pernah ketemu di sana?" tanya Lastri yang mulai berani menatap Lilis.

"Sudah kuduga Japra yang menyuruh kamu.. Tugas kamu apa?" tanya Lilis.

"Mengawasi Kang Ujang." lagi dan lagi Lastri hanya menjawab pertanyaan dari Lilis. Seperti tanga jawab di selembar kertas ujian. Dan ini benar benar membosankan.

"Coba ceritakan bagaimana kamu sampai disuruh mengawasi aku dan berapa kamu dibayar?" tanyaku. Kesabaranku sudah habis dengan tanya jawab yang hanya membuang buang waktu dan tenaga saja.

Lastri melihatku, dia terlihat ragu untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya. Apa dia dibawah ancaman yang bisa membahayakan jiwanya? Itu bukan urusanku. Yang jadi urusanku adalah kenapa dia mengawasiku dan bahkan hampir menyebabkanku hampir tewaa.

"Pak Japra hanya nyuruh saya ngawasi Kang Ujang, saya bersumpah. Hanya itu tugas saya. Saya mau karena saya ingin bisa kuliah." aku tidak tahu apakah Lastri menjawab jujur atau hanya mencari selamat.

"Kamu kenal Pak Gobang?" Lilis bertanya lagi. Akuntidak kenapa Lilis menanyakan hal itu.

"Kenal, beliau tokoh masyarakat yang sangat dihormati di Gunung Kemukus. Beliau orang dermawan dan selalu siap bila dimintai bantuan." Lastri menatapku. "Wajah Kang Ujang sangat mirip dengan Pak Gobang." lastri melanjutkan perkataannya.

"Dan kamu hampir saja membuat Kang Ujang hampir terbunuh karena informaaimu. Siapa yang menyuruhmu menelpon Kang Ujang sebelum Kang Ujang ditikam seseprang?" tanya Lilis. Heran, hanya untuk menyakan siapa yang menyuruh Lastri menelponku agar datang ke kios harus melakukan pertanyaan yang berbelit belit seperti ini. Kenapa tidak ditanyakan sejak tadi, pasti sekarang intrigasinya sudah selesai.

"Ada seseorang yang menitipkan ini untuk Kang Ujang." kata Lastri memberikan sebuah amplop yang mungkin berisi surat. Aneh, kenapa tidak memberikannya langsung kepadaku. Dan siapa orang yang menitipkan suratnya kepadaku.

Aku seger mengambil surat dari tangan Lastri dan langsung membukanya. Aneh, ini adalah surat dari ayahku, kenapa harus dititipkan ke Lastri, kenapa tidak menyuruh anak buahnya memberikan surat ini untukku.

"Jangan tanya kenapa aku menitipkan surat ini ke Lastri, karena hanya inilah cara paling aman untuk kita berkomunikasi. Hati hatilah dengan orang sekelilingmu.

Mereka tidak membutuhkan emas yang tersimpan aman. Tapi tujuan mereka yang sebenarnya adalah sebuah buku berisi nama nama yang terlibat dalam sebuah jaringan besar yang melibatkan nama orang orang penting. Buku yang bisa membuatmu terbunuh karena mengetahuinya. Berkas itu tersimpan bersamaan dengan emas hasil rampokan yang sempat disembunyikan Codet, tapi aku berhasil mengambilnya kembali dan sekarang tersimpan aman.

Hati hatilah dengan orang orang yang berada di sekitarmu.

Ayahmu


Aku memberikan surat dari ayahku ke Lilis yang langsung membacanya. Semoga Lilis bukan salah satu orang yang dicurigai oleh ayahku. Rasanya Lilis tidak mungkin menghianatiku. Aku percaya itu.

********

Aneh, kenapa Lilis menyuruhku pengantar Lastri pulang ke kontrakannya? Bukankah dia yang.dari kemarin melarangku ke kios sekedar melemaskan otot. Bahkan sekarang kenapa aku harus pergi tanpa pengawalan padahal dia juga yang menganjurkanku selalu dikawal ke manapun aku pergi. Benar benar aneh. Apakah aku sudah benar benar aman sekarang?

Ahirnya aku sampai di kontrakan Lastri yang masih terkunci karena Heny pasti belum pulang kerja. Aku duduk di atas karpet yang terhampar di lantai, sementara Lastri membuatkanku minuman. Untung Lilis tidak menyuruhku langsung pulang sehingga aku bisa mengorek keterangan yang belum aku mengerti.

"Minum dulu, A..!" Lastri memberiku segelas kopi susu, padahal aku tidak suka kopi susu. Kecuali susu wanita tentunya. Apa lagi susu perawan.

"Berarti kamu kenal ayahku?" tanyaku.

"Semua penduduk Gunung Kemukus pasti kenal dengan Pak Gobang dan Pak Japra." Lastri tersenyum menatapku. "Alhamdulillah A Ujang selamat dari orang yang berniat jahat. Untung yang nusuk A Ujang sudah ditangkap polisi." kata Lastri sambil memelukku.

Orang yang menangkapku ditangkap polisi? Kenapa aku baru mendengar kabarnya sekarang? Seharusnya kalau benar orang itu tertangkap, seharusnya polisi menghubungiku untuk meminta keterangan. Kenapa ini tidak ada kabar sama sekali.

"Siapa yang bilang orang yang menusukku sudah tertangkap?" tanyaku heran.

"Eh..ittu...kirrrain Lastri sudah tertangkap." Lastri menjawab gugup. Untuk menutupi kegugupannya Lastri mencium bibirku dengan mesra. Sepertinya dia ingin mengalihkan perhatianku. Gadis ini tidak tahu aku sangat ahli mengorek keterangan saat berhubungan sex.

Aku membalas ciuman Lastri sementara tanganku meremas dadanya yang mungil. Ciumanku beralih ke lehernya yang jenjang. Aku menciuminya dengan lembut membuat Lastri menggelinjang nikmat.

"Kamu dapat informasi dari man, Las?" tanyaku berbisik disertai jilatan di belakang telinganya.

"Gak ada, A. Lastri kirain sudah tertangkap...!" Lastri masih berusaha mengelak dari pertanyaanku.

Keras kepala, gadis ini masih berusaha tidak mengakuinya. Harus aku beri pelajaran. Aku segera menggendong Lastri masu kamar, tapi aku salah kamar, karena kamar yang aku masuki ternyata kamar Heny kakaknya.

"Salah kamar, A..!" Lastri mengingatkanku. Peringatannya terlambat karena aku sudah membawabya masuk ke dalam kamar Heny. Ada sebuah photo Heny yang membuatku terkejut.

Aku segera keluar kamar Heny dan masuk kamar Lastri yang berada di sebelahnya. Perlahan aku menaruh tubuh Lastri ke atas kasur busa di atas lantai. Aku segera membuka pakaian Lastri yang pasrah tubuhnya kutelanjangi. Tidak ada nada protes.

Seperti ingin membalas perbuatanku, Lastri balas menelanjangiku dan kemudian mendorong tubuhku agar terlentang di kasur busa yang hanya cukup untuk satu orang. Lastri langsung melahap kontolku yang masih setengah tidur, dia begitu pintar menggoda kontolku hingga bangkit sempurna menunjukkan urat uratnya yang melingkar mengelilingj batangnya yang besar dan panjang.

"Ko A Ujang bisa punya kontol segede ini?" tanya Lastri sambil membelai kontolku dengan lembut.

"Kamu suka, ya?" tanyaku menggoda dengan mengedut ngedutkan kontolku sehingga bergerak.

"Suka banget, A...Lastri kembali menjilati batang kontolku dan juga biji pelerku membuatku merintih nikmat. Hampir saja pejuhku muncrat, untungnya aku bisa menahannya.

" Udah, Las....nanti kontolku muncrat.. Gantian, aku pengen jilatin memek Lastri." kataku menarik Lastri agar menjauh dari kontolku.

"Gak boleh, Lastri bekas PSK, memek Lastri kotor." Lastri selalu menolak kalau aku ingin menjilati memeknya. Lastri meraih kontolku dan berjongkok diatasnya, kontolku tepat mengarah lobang memeknya yang sudah basah siap menerima penestrasi kontolku.

"Ahhhh, ennnak, A...!" Lastri mendesis nikmat saat kontolku perlahan menusuk memeknya yang licin dan mungil hingga seluruh kontolku tertelan oleh memeknya.

Harus kuakui walaupun Lastri sering melayani berbagai macam kontol, memeknya tetap menggigit memberikan kenikmatan maksimal. Gerakannya begitu teratur mengocok kontolku dengan posisi berjongkok, tidak membuat kontolku sakit.

"Mbak Heny ternyata polisi ya, Las?" tanyaku sambil memegang pinggang Lastri membantunya agar tidak cepat kelelahan mengocok kontolku.

"Eh, iyyya, enak banget kontol A Ujang...!" Lastri mendesis nikmat. Wajahnya terlihat bahagia bisa merasakan sodokan kontolku yang perkasa.

"Kok gak pernah pake seragam?" tanyaku sambil meremas payudara mungil Lastri dengan tangan kananku sedangkan jari kiriku menggelitik itilnya agar kenikmatan yang didapatkan Lastri lebih maksimal.

"Mbak Heny reserse...!" Lastri bergoyang semakin cepat memompa kontolku.

"Ampunnnn, Las kelllluarrrrr...!" Lastri menjerit mendapatkan orgasme. Wajahnya terlihat semakin cantik. Kubiarkan Lastri menikmati orgasmenya yang dahsat.

Lastri memelukku setelah orgasmenya selesai. Aku segera membalikkan tubuhnya tanpa melepaskan kontolku dari memeknya. Sekarang aku yang berada di atas tubuhnya. Tanpa menunggu aku langsung memompanya dengan cepat.

"Mbak Heny sedang menyelidiki aku, ya?" tanyaku sok tau atau sekedar menebak.

"Mbak Heny tadinya lagi nyelidiki Pak Budi, terus A, entot Lastri.. Enak banget, A..!" Lastri mencium bibirku dengan bernafsu. Pinggulku mengocok memeknya dengan cepat.

"Pangkat Mbak Heny apa?" tanyaku. Kocokanku semakin cepat memompa memeknya. Aku merasa akan segera mencapai puncak orgasme.

"Inspektur Satu... Terus A.... Lastri mau kellluar lagi....!" Lastri menggoyangkan pinggulnya menyambut hentakan kontolku.

Aku tidak mampu lagi bertahan, kontolku menyemburkan pejuh ke dalam memek Lastri. Bersamaan dengan lastri yang juga kembali mendapatkan orgasme ke duanya. Kami saling berpelukan hingga badai orgasme kami reda.

"Lastri tahu orang yang menusuk A Ujang sudah ditangkap dari Mbak Heny, ya?" tanyaku sudah mulai bisa menebak.

."iya, Mbak Heny sudah lama mengawasi jaringan Pak Budi." Kata Lastri membuatku terkejut. Lalu kenapa aku tidak tahu orang yang menusukku sudah ditangkap.

"Las, Lastri...!" terdengar suara seorang lelaki yang memanggil Lastri disertai ketukan di pintu.

"Itu suaminya Mbak Heny...,!" wajah Lastri langsung pucat.

Bersambung...

Ditunggu masukannya, semoga para pembaca berkenan memberi masukan dan idenya biar cerita ini gak mandek di tengah jalan. Kadang kala ane kehabisan ide, dan ide bisa didapat dari para pembaca
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd