Chapter 13 : Terseret Dendam Masa Lalu
Aku jadi teringat dengan awal pertemuanku dengan Anis, dia mengutarakan maksudnya ke Gunung Kemukus waktu itu.
"Anis ke sini dan nekat nelakukan ritual, agar Anis bisa bertemu dengan Kang Gobang. " itulah yang dikatakan Anis waktu itu. Trrnyata Anis sudah mengetahui keberadaan ayahnya di Gunung Kemukus.
Aku menatap ke dua gadis cantik yang duduk dengan gelisah. Sesekali mereka melihat ke arahku seperti terdakwa yang sedang menunggu vonis bersalah mereka.
"Sebenarnya ayah kalian meninggal karena apa?" pertanyaan yang akan membuat ke dua gadis itu terluka, tapi aku harus tahu penyebab kematiannya. Yeruyama aku harus tahu apa hubungan ayahku dengan Pak Shomad.
"Ayah meninggal karena dibunuh oleh seseorang." Rani menjawab sedih. Kesedihan karena diingatkan kematian ayahnya yang begitu tragis.
"Ayah kalian pasti meninggalkan uang cukup banyak, kalian bisa hidup dengan uang itu. Kalian bisa pulang ke rumah kalian." aku berusaha mengorek lebih dalam kondisi mereka yang sebenarnya.
"Ayah memang meninggalkan kami uang dan rumah. Tapi kami takut pulang. Musuh ayah banyak." Rani memberanikan diri menatapku. Tatapan yang ingin dikasihani.
Aku menarik nafas, tidak tahu melakukan apa dengan ke dua gadi cantik ini. Kehidupanku sendiri sudah pelik, ditambah dengan mereka. Mau jadi apa hidupku nanti. Merwka berdua cantik, tentu banyak pria yang bersedia menampung hidup mereka.
"Tolong kami, A. Jangan usir kami dari sini. Kami takut." Rani berjongkok dihadapanku, tangannya mengelus pahaku. Dia tentu berpikir akan menyogokku dengan tubuhnya. Niatnya terlihat jelas olehku. Apa lagi mereka telah menyerahkan keperawanan mereka kepadaku. Melayaniku setiap saat bukan lagi masalah buat mereka.
Ahirnya aku menyanggupi untuk membiarkan ke dua gadis itu tetap di markas sambil menunggu langkah apa yang akan diambil Mang Karta maupun Bi Narsih. Saat ini aku masih begitu bergantung pada mereka. Aku meninggalkan ke dua gadis itu.
Aku memacu motor ke rumah Bi Narsih. Aku ingin tahu tentang siapa Pak Shomad sehingga photo bersama dengan ayahku dan Mang Karta. Markas dan rumah Mang Karta lumayan jauh.
******
Aku senang sekali melihat Mang Karta sudah bisa berjalan normal walau lukanya masih dibalut perban dan harus melakukan kontrol rutin ke RS. Mang Karta tertawa menyambut kedatangannku.
"Jalu, dari mana saja kamu baru datang?" tangannya mengelur rambutku seperti yang selalu dilakukannya saat aku masih kecil.
"Ujang, Mang!" aku protes dengan panggilan namaku yang mengingatkanku dengan ayahku. Jalu adalah satu satunya warisan yang kudapatkan dari ayahku, sosok yang sudah terlanjur aku benci. Sedangkan Ujang adalah nama panggilan yang disematkan oleh Mang Karta sejak aku kecil dan selalu aku pakai hingga sekarang.
"Kamu sebentar lagi punya anak, jadi bapak. Kalau anak kamu lelaki, akan kamu panggil Ujang. Masa ada dua Ujang di dalam satu rumah." Mang Karta kembali tertawa lucu membayangkan ada dua Ujang dalam satu rumah. Ayah dan anak.
"Jalu sekarang nama yang paling cocok buat kamu. Terdengar gagah dan keren." Mang Karta meneruskan perkataannya. Tangannya merangkul pundakku, mengajakku masuk ke dalam rumah.
"Nama kampungan." aku tetap belum mau dipanggil Jalu walau itu adalah nama yang tertulis di KTP dan KK.
Di dalam Bi Narsih sudah menyiapkan kopi dan pisang goreng kesukaanku dan Mang Karta. Entah kenapa, apa yang disukai Mang Karta pasti aku akan ikut menyukainya. Secara tidak sadar sejak kecil aku selalu ingin meniru apa yang dilakukan Mang Karta. Bahkan aku menganggap diriku sebagai anak Mang Karta dari pada anak ayahku.
"Kopinya, Jang." aku senang sekali mendengar Bi Narsih masih memanggilku Ujang, aku memeluk dan mencium pipinya sebagai ucapan terima kasih. Begitu menyadari kehadiran Mang Karta, aku tersipu malu.
"Mang Karta kenapa gak pernah cerita tentang Pak Shomad?" tanyaku sambil menyerahkan photo dan surat tantangan yang kubawa dari Gunung Kemukus.
Mang Karta membuka amplop berisi photo dan juga surat tantangan. Wajahnya terlihat kaget dan tegang. Ekspresi wajahnya terlihat jelas. Lalu Mang Karta menyerahkan photo dan surat ke Bi Narsih yang melihatnya sekilas. Wajah Bi Narsih terlihat lebih tenang dibandingkan Mang Karta. Ekspresi wajahnya lebih datar. Kemampuanny mengendalikan diri Bi Narsih memang luar biasa.
Mang Karta melihat Bi Narsih seperti meminta pertimbangan apa yang harus dilakukannya. Wajahnya terlihat letih.
"Ini Kang Shomad, Ayahmu dan juga Mamangmu dulunya adalah tiga serangkai. Tuga serangkai yang selalu bersama, belajar silat dan ilnu kanuragan di tempat yang sama. Kang Shomad adalah kakaknya Mang Kardi almarhum suami Bibi." Bi Narsih tidak meneruskan ceritanya. Bi Narsih melihat ke Mang Karta seakan minta bantuan untuk meneruskan ceritanya yang terhenti.
"Ayahmu dan Shomad sama sama mencintai ibumu, tapi ayahmu yang berhasil mendapatkan ibumu." Mang Karta meneruskan cerita Bi Narsih.
"Sebelum ayahmu menikahi ibumu, ayahmu dan Shomad berkelahi untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan ibumu. Ayahmu kalah dan hampir terbunuh kalau saja Mamang tidak keburu datang. Mamang berusaha melerai perkelahian mereka, tapi Shomad marah dan menyerang Mamang. Jadi Mamang dan ayahmu berkelahi melawan Shomad, kami mengeroyoknya hingga Shomad kalah dan meninggalkan kami. Tapi Shomad mengancam akan membalas dendam dan menghancurkan kami." Mang Karta terdiam mengingat kejadian yang lampau. Kejadian yang tidak pernah dia bayangkan akan berbuntut panjang.
"Saat aku dan Gobang menjadi jawara di beberapa tempat di Jakarta, ternyata Shomad sudah lebih dulu jadi Jagoan di beberapa tempat. Bahkan dia dibekingi orang orang penting. Dia juga mengendalikan jaringan narkoba dan prostitusi terbesar di Jakarta." Mang Karta meminum kopi yang sudah dingin. Entah apa yang dirasakannya saat ini.
"Suatu hari Shomad mengajak kami bertemu, dia mengajak kami bekerja sama merampok beberapa toko emas terbesar di Jakarta yang menurut informasi yang dia terima, ada emas batangan yang cukup banyak. Mamang tidak mau ikut. Jadi yang ikut ayahmu, Shomad dan juga Codet. Ternyata perampokan itu sebuah jebakan yang dipersiapkan Shomad buat ayahmu. Di toko terahir yang dirampok, ayahmu ditinggalkan sendiri. Ayahmu dikepung polisi, untung Japra berhasil menyelamatkan ayahmu yang waktu itu sudah mulai keracunan. Japra membawa ayahmu pulang, seminggu kemudian Mamag dan ayahmu bertarung dan ayahmu hanyut di sungai. Jadi begitu polisi datang mereka tidak menemukan ayahmu. Mungkin itu alasan ayahmu memalsukan kematiannya." Mang Karta menyudahi ceritanya yang cukup panjang.
"Lalu, kenapa setelah kematian ayah, Pak Shomad tidak mendekati ibu?" tanyaku heran.
"Karena kakekmu masih hidup dan Shomad tidak akan berani memaksa ibumu." Bi Narsih menjelaskan.
Aku ingat, Abah atau Kakekku adalah guru silat paling dihormati.
Kisah yang panjang dan masih terus berlanjut hingga sekarang. Bi Narsih dan Mang Karta belum tahu aku sudah menikahi Anis keponakan istrinya Pak Shomad. Apa reaksi mereka kalau tahu aku sudah bermain api dengan musuh terbesar ayahku. Untuk sementara aku harus tetap merahasiakannya.
"Sekarang Kang Karta percaya sama Narsih kan, kalau Kang Karta sedang diadu domba dengan Kang Gobang oleh seseorang. Kuat dugaan Narsih orang itu adalah Kang Shomad. Dan pasti ada penghianat di antara kita. Kang Karta harus lebih berhati hati jangan gampang terprovokasi." Bi Narsih menatap Mang Karta.
"Iya. Akang akan mendengar pendapat Narsih sekarang." Mang Karta menepuk pundak Bi Narsih.
Berarti Codet juga terlibat menjebak ayahku. Apa mungkin ayahku terlibat dalam rencana pembunuhan Codet. Bisa jadi ayahku dendam dan merencanakan pembunuhan Codet.
Lalu kenapa Pak Shomad menyuruhku menikahi Anis kalau dia tahu aku adalah anak musuh besarnya. Aneh sekali. Aku tidak biasa berpikir rumit, bagiku semua hal harus dipikirkan dan dijalani secara sederhana dan apa adanya. Bukan dengan tipu muslihat yang licik dan culas sperti sekarang.
"Sekarang apa yang akan kamu lakukan setelah kehilangan posisi kamu di Club malam?" tanya Mang Karta membuyarkan lamunanku.
"Kembali ngurus kios di pasar." aku menjawab dengan suara agak tersedak karena kaget oleh pertanyaan Mang Karta yang tiba tiba.
"Kamu bisa melupakan kejadian yang saat ini sedang kamu hadapi?" kembali Mang Karta bertanya.
"Maksud Mang Karta?" tanyaku tidak mengerti arah pembicaraanya.
"Kamu sudah tahu tentang ayah kamu dan secara tidak langsung kamu sudah terlibat di dalamnya. Apa kamu bisa menghindar dari semuanya?" Bi Narsih menjelaskan maksud Mang Karta. Matanya menyelidiki pikiranku. Entah bagaimana caranya Bi Narsih selalu bisa membaca apa yang aku pikirkan. Inilah salah satu hal yang membuatku takluk dan kagum kepadanya.
"Ayahmu sedang berusaha menyingkirkanmu dari perselisihan masa lalu kami. Tapi ayahmu salah, kamu sudah terjerumus terlalu jauh. Shomad telah menyeretmu dalam perselisihan ini dan itu yang tidak diketahui oleh ayahmu." Bi Narsih berusaha menjelaskan situasi yang sedang kuhadapi. Situasi yang menyeretku.
"Ujang gak tau, Bi.!" Situasi yang kuhadapi terlalu rumit. Aku hanya bisa berharap keluargaku tidak ikut terseret dalam situasi ini.
"Mamang sudah berencana untuk bergerak, karena hanya ini cara bertahan terbaik." Mang Karta terlihat menari nafas gelisah.
Aku tidak tahu apa yang dimaksud bergerak oleh Mang Karta. Dunia yang begitu asing, penuh dengan tipu daya yang licik. Dunia yang tidak cocok buatku yang berpikiran lurus. Lalu sekarang apa yang harus kulakukan kalau menurut Bi Narsih aku sudah terseret terlalu jauh dan sulit untuk mundur. Apa Bi Narsih tahu hubunganku dengan Anis?
"Ujang pulang dulu, ada Ambu di rumah." kataku berpamitan setelah otakku tidak lagi mampu berpikir. Biarlah semuanya mengalir seperti air. Aku hanua ingin bisa menikmati hidup dengan orang yang kucintai. Itulah impianku dan impian semua orang.
******
"Ningsih mana Lis?" aku tidak melihat Ningsih sejak aku pulang. Di kamar juga tidak ada, hanya ada Ambu yang sedang asik menonton tv.
"Lagi bantuin ibu di warung. Kan rencananya warung mau dipindah ke pinggir jalan raya." Jawab Lilis yang sedang asik membaca tabloid wanita kesukaanya.
"Kok A Ujang gak tahu warung mau dipindah ke depan?" tanyaku heran. Sejak aku pulang dari Kemukus aku belum menemui ibuku. Lilis dan Ningsih tidak menyinggung hal itu.
"Makanya kalau pulang dari mana mana temuin Ibu. Lihat keadaanya. Ibu tinggal di belakang bukan di kampung." Lilis mencibir ke arahku. Bibirnya yang merah alami terlihat sangat menggemaskan.
Aku duduk di samping Lilis dan menciun bibirnya yang menggemaskan. Lilis membalasnya dengan mesra, kami berciuman tanpa menghiraukan kehadiran Ambu diantara kami.
"Kalian ini, kalau mau ciuman di kamar. Jangan di depan Ambu. Kalau Ambu kepengen bagaimana?" suara Ambu tidak mampu mengusik keasikanku mencumbu bibir Anis yang sangat menggairahkan.
"Ambu pengen ikutan?" tanya Lilis tertawa setelah ciuman panjang kami selesai. Matanya melihat ambj dengan senyum menggoda.
"Hush, Ambu masa disuruh nyobain punya mantu sendiri." Ambu yerlihat tersipu malu dengan godaan Lilis.
"Gak apa apa, Ambu. Kan Ambu udah pernah nyobain kontol A Ujang." Lilis semakin memancing Ambu untuk bergabung. Benar benar gila apa yang dilakukan Lilis. Apa calon istriku punya kelainan sehingga terobsesi melakukan 3some dengan ibunya sendiri.
"Ich, jangan sembarangan kalo ngomong." Ambu terlihat kaget, wajahnya menjadi merah.
"Lilis liat sendiri, Ambu ngentot sama A Ujang di sini. Tapi Lilis gak marah. Lilis pengen 3some sama Ambu." Lilis berjalan menghampiri Ambu dan menarik tangannya masuk kamar. Herannya Ambu tidak berusaha menolak tarikan tangan anaknya yang sudah kerasukan sex.
Aku terkejut dengan kegilaan Lilis, namun tak ayal mataku melihat pantat Ambu yang gempal bergoyang goyang memancing birahiku yang tiba tiba bangkit membayangkan 3some dengan ibu dan anak yang sama sama cantik.
"Jang, kok bengong aja?" goda Ambu yang sudah bisa mengendalikan dirinya dan terbawa oleh kegilaan anaknya. Yangannya melambai agar aku mengikuti masuk kamar.
Aku tidak bisa menolak keinginan Ibu dan anak yang menjadikanku pejantan tangguh. Hidupku berubah menjadi budak sex sejak aku mekakukan ritual di Gunung Kemukus. Mulai dari kegilaan Bi Narsih dan Desy yang menjeratku dalam hubungan terlarang ibu dan anak. Sekarangpun aku kembali terjerat hubungan terlarang Lilis dan Ambu.
Di kamar aku melihat Lilis menelanjangi Ambu yang berdiri pasrah membiarkan anak yang sudah dibesarkannya berbuat semaunya. Apa yang mendasari Ambu berbuat begitu? Kasih sayang seorang ibu atau demi kepuasan sex yang membutakan akal sehat. Hanya Ambu yang bisa menjawabnya. Sedangkan aku sebagai mantu yang berbakti adalah memenuhi keinginan liarnya.
"A, kok diem aja? Liat tetek Ambu sudah keras pengen diisep.!" protes Lilis menyadarkanku yang terpesona oleh keindahan tubuh bugil mertuaku yang montok tapi kulitnya begitu putih dan halus seperti kulit anak anaknya.
Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, tanganku meremas dada Ambu yang besar dan masih kencang diusianya yang ke 50. Dengan posisi masih berdiri aku membungkuk menghisap pentil dadanya yang sudah mengeras. Harum sekali dada Ambu.
"Aduh, mantu kurang ajar, tetek merua sendiri diembat." Ambu menekan kepalaku ke dadanya yang indah dan menggiurkan setiap pria yang melihatnya.
Sensasi sangat berbeda menngumuli payudar montok ibu mertuaku dihadapan anaknya yang begitu menikmati tontonan gratis di depan matanya.
Posisi berdiri dengan badan membungkuk mempermainkan dada montok Ambu, tidak begitu leluasa, leher dan punggungku terasa sangat pegal. Aku mengangkat Ambu dan merebahkannya di atas springbed empuk.
Lilis menarik tanganku saat akan menyusul Ambu, tangannya begitu cekatan menelanjangiku dan membebaskan kontolku dari kurungannya yang terasa pengap. Lilis rupanya ingin merangsangku lebih dulu, dia berjongkok membelai kontolku dan melahapnya dengan rakus.
"Aduh Lilis, !" aku mengerang nikmat merasakan kontolku terbenam di mulut Lilis yang terasa hangat dan nikmat. Lilis terlihat begutu menikmatinya, tidak ada rasa jijik menggerakkan kontolku dalam mulutnya yang selalu dijaga kebersihannya.
"Udah sayang!" aku berusaha menjauhkan kontolku dari mulut Lilis, kutarik tangannya dengan lembut agar berdiri sejajar denganku. Perlahan aku melepaskan seluruh pakaian yang menempel di Tubuhnya, dimulai dengan jilbabnya hingga ahirnya tubuhbya bugil seperti aku dan Ambu.
Tiba tiba Ambu menarikku ke dalam pelukannya. Bibirnya menyanbar mulutku dengan bernafsu. Tidak ada lagi rasa malu yang menghalangi nafsunya. Ambu begitu ganas mencumbuku di hadapan anaknya. Semuanya buta oleh nafsu yang menjerumuskan manusia berprilaku sebagai binatang yang melanggar norma norma.
Ambu mendorongku rebah, wajahnya langsung menghampiri kontolku yang sudah tegang sempurna. Sungguh liar mertuaku ini, melahap kontolku yang baru saja keluar dari mulut anaknya. Tanpa sadar aku menjambak rambut Ambu yang tebal dan masih tetap hitam. Tanpa kisadari, aku menggerakkan kepala Ambu memompa kontolku. Sungguh menantu sangat kurang ajar. Hampir saja aku memuntahkan pejuh ke mulut Ambu,. Aku segera menarik Ambu menjauh dari kontolku.
"Udah ,Mbu. Ujang pengen ngejilatin memek Ambu." aku menarik Ambu agar terlentang. Kakinya tanpa kusuruh langsung mengangkang lebar selebarnya memperlihatkan memek tembemnya yang indah tanpa bulu.
Tanpa menunggu waktu, aku membenamkan wajahku di selangkangan Ambu yang menebarkan aroma memabukkan, sehingga setiap pria yang mengirup dan melihatnya akan kehilangan kesadarannya. Kehilangan akal sehatnya. Begitu juga aku yang kehilangan kesadaran, memek wanita yang sudah melahirkan istriku kujilati dengan rakus. Setiap cairan yang keluar dari memeknya kuseruput hingga tidak tersisa.
Tiba tiba pintu kamar terbuka disertai teriakan Ningsih yang terkejut melihatku sedang menjilati memeknya Ambu dalam keadaan tubuh kami bugil.
Bersambung....
Chapter 14 : Dendam Tanpa Ahir
"A Ujang..!" Ningsih melihat ke arah kami bergantian dengan mata terbelalak.
Lilis yang berhasil mengendalikan diri lebih dahulu segera merangkul Ningsih dan mengajaknya masuk menghampiriku yang masih kaget dengan kehadirannya yang begitu tiba tiba.
"Teteh yang pengen ngerasaim A Ujang ngentotin Ambu. Jangan marah sama A Ujang dan Ambu ya, Ningsih!" Lilis merangkul Ningsih disertai pemintaan maaf.
Berbeda dengan Ambu yang tidak terkejut maupun takut melihat kedatangan Ningsih, dia justru menarikku dan mendorongku celentang lalu meraih kontolku yang langsung dikangkanginya. Ambu menekan.pinggulnya hingga kontolku amblas di memeknya yang hangat dan basah.
"Ambu,!" aku terkejut saat kontolku sudah tertelan memeknya. Tanpa memperdulikan kehadiran Ningsih, Ambu malah memompa kontolku dengan liar.
Ningsih tertawa geli melihatku dan Lilis yang ketakutan dengan kehadirannya. Dia malah terlihat tenang melihat Ambu sedang memompa kontolku.
"Kok Ningsih malah ketawa?" Lilis bertanya heran melihat keanehan Ningsih. Ningsih tidak marah seperti dugaannya.
"Kan waktu Ambu ke sini Ningsih pernah minta Ambu ngentot sama A Ujang, Ningsih pengen ngintip A Ujang lagi ngentot sama Ambu, gak taunya Teh Lilis ngidam yang sama." perkataan Ningsih membuatku dan Lilis bengong. Pantes Ambu tidak terusik dengan kehadiran Ningsih, malah semakin agresif.
"Uh, ennnak banget kontol mantu Ambu." Ambu mendesis lirih, pinggulnya bergoyang menggoda ke dua anaknya.
Benar benar keluarga gila, ibu dan anak mempunyai nafsu sama besar. Norma norma kehidupan telah sirna, terjatuh ke jurang nista yang menyeret mereka menjadi pemuja birahi. Tanggallah hubungan ibu dan anak. Keberanianku muncul, rasa sungkan sudah hilang ke dasar jiwaku yang terdalam. Tanganku meremas dada Ambu yang bergoyang indah, memancing setiap pria untuk menjamahnya. Mungkin ini yang dibilang posisi WOT.
Mendengar apa yang dikatakan Ningsih membuat Lilis terlihat lega. Lilis mengangkangi wajahku. Dalam keadaan biasa, aku pasti akan marah saat pantanya yang montok tepat di atas wajahku. Lidahku langsung menyapu memek Lilis dengan rakus. Bahkan cairan memeknya menetes ke mulutku. Dunia yang gila, aku melayani nafsu dua oranga wanita yang bukan istriku, sementara istriku menjadi penonton.
"Edun, memek ambu ennnak dientot mantu.... Ambu kelllluarrrrr, Jang...!" aku tidak bisa melihat espresi Ambu saat mendapatkan orgasme, wajahku tertutup pantat indah Lilis yang menggerakkan memeknya di mulutku.
Aku bisa merasakan, Ambu bangun dari pangkuanku. Melepaskan kontolku dari jepitan memeknya. Lilis segera menggantikan posisi Ambu, memeknya memeknya segera menelan kontolku yang berlumuran lendir memek Ambu.
Pandangan mataku terbebas, baru aku bisa melihat wanita yang aku cintai begitu asik menonton suaminya sedang melayani nafsu sex kakak dan ibunya. Bibirnya tersenyum manis melihatku.
"Enak gak memek Ambu, A?" Ningsih mencium bibirku. Kami berciuman saat Lilis memacu kontolku dengan lembut, sangat lembut gesekan yang terjadi antara kontolku dan dinding memeknya yang lembut dan lunak.
"Ampun A, memek Lilis enak banget disodok kontol A Ujang....!" Lilis begitu menikmati kegilaan kami dalam berpacu birahi. Tidak ada lagi batas abtara kakak ipar maupun ibu mertua, semuanya lebur dalam nafsu birahi purba.
"A, enak gak memek Ambu?" Ningsih kembali bertanya setelah bibir kami terlepas. Matanya menatapku lembut dan sorot matanya terlihat aneh. Sorot mata yang tidak kuketahui maknanya.
"Ningsih gak marah?" tanyaku heran melihat sorot matanya yang berbinar indah.
"Lilis kelllluarrrrr, A....!" kurasakan memek Lilis berkedut menyambut orgasme yang dahsyat. Bisa kurasakan Lilis menekan pinggulnya dengan keras.
"Ningsih kok gak buka baju?" tanyaku heran melihat Ningsih yang berpakaian lengkap dengan jilbab yang membuat wajahnya semakin cantik. Ya, sekarang Ningsih memakai jilbab.
"Ningsih cuma pengen nonton..." Ningsih tertawa melihat Lilis bangkit dari pangkuanku, sehingga kontolku terlepas masih dalam keadaan tegak perkasa.
"Aa belom keluar...!" protesku entah ke siapa.
"Sini keluarin di memek Ambu." kata Ambu berbaring di sampingku dengan kaki mengangkang lebar memperlihatkan belahan memek tembemnya yang mulus tanpa bulu. Benar benar tidak ditumbuhi bulu, bukan karena dicukur.
"Tuh katanya keluarin di memek Ambu.!" Ningsih membantuku bangun. Aku segera merangkak di atas tubuh montok Ambu yang sangat menggiurkan, tubuhnya tidak kalah dengan wanita berusia 30an mungkin terbiasa bekerja membuat tubuhnya tetap kencang.
Ningsih memegang kontolku dan mengarahkan ke memek Ambu yang agak terbuka siap menerima hujaman kontolku yang perkasa. Dengan mudah kontolku menembus lobang yang telah melahirkan istriku. Sensasi yang sangat dahsat kurasakan saat kontolku memompa memeknya. Bukan rasanya yang berbeda, tapi sensasinya yang sangat jauh berbeda. Aku tidak bisa menggambarkannya secara detil, karena hanya busa dirasakan.
Dan sensasinya mampu membuatku tidak mampu bertahan lebih lama lagi, pejuhku memancar dengan deras ke dasar lobang terdalam. Lobang yang telah melahirkan wanita yang sangat kucintai.
"Ambu, Ujang kelllluarrrrr...!" aku mengeram memuntahkan sejuta kenikmatan tiada tara.
"Ambu juga kelllluarrrrr lagi, Jang...!" Ambu memelukku dengan keras, bibirnya menggigit bibirku hingga berdarah.
Aku berteriak kecil membuat Ambu menyadari yelah menggigit bibirku hingga berdarah.
"Aduh maaf, Jqng. Ambu gak sadar gigit bibir kamu, saking enaknya dientot kamu." kata Ambu menatapku dengan perasaan bersalah.
"Gak apa apa, Mbu. Lilis dan Ningsih juga sering gigit pundak Ujang." kataku membelai pipi ambu yang halus dan terlihat masih kencang. Orang yang baru mengenalnya pasti tidak akan percaya Ambu sudah berumur 50 tahun.
"A, ditungguin Ibu. Ada yang mau dibicarain. Penting." Ningsih menyadarkanku dari pesona Ambu yang begitu menggairahkan. Ambu masih berada di atas tubuhku dengan kontolku masih dalam cengkeraman memek Ambu.
Ambu tertawa dan bangkit dari atas tubuhku, membuatku meringis gilu dan nikmat saat kontolku terlepas dari memeknya.
******
"Jang duduk, ibu mau bicara.!" kata ibu menyuruhku duduk di hadapannya. Ibuku duduk di samping Mang Udin yang terlihat sudah lebih segar. Aku kagum dengan kemampuan Mang Udin yang bisa pulih dengan cepat padahal lukanya cukup parah bahkan nyaris merenggut nyawanya.
"Mau bicara apa, Bu?" aku sudah menebak, pasti ibu akan membicarakan masalah pernikahannya dengan Mang Udin, itu sebabnya Mang Udin ada di sini mendampingi ibuku.
"Mang Udin mau menikahi ibumu, tapi...?" Mang Udin tidak meneruskan perkataanya, wajahnya terlihat gelisah. Mungkin dia takut aku tidak setuju. Aku berusaha sabar menunggu Mang Udin menyelesaikan perkataanya.
Aku tidak bisa menghalangi keinginan Ibu untuk menikah lagi. Sudah saatnya Ibu bahagia setelah belasan tahun mengorbankan hidupnya untuk membesarkan anak anaknya. Mungkin dengan menikah lagi ibu akan menemukan kebahagiaannya. Ada seseorang yang akan selalu menjaganya, karena sekuat apapun kami berusaha untuk membahagiakan dan menjaga ibuku, akan berbeda rasanya kalau yang menjaga dan yang membahagiakannya adalah suaminya. Aku merasa yakin Mang Udin akan mampu melakukannya.
"Ujang setuju kalau ibu mau nikah lagi." kataku memecahkan keheningan yang berlangsung agak lama.
"Terimaksih, Jang. Ibu bahagia bisa mengerti keinginan Ibu, tapi persoalannya...!" kembali ibu tidak meneruskan ucapannya seperti yang dilakukan Mang Udiin. Aku ikut gelisah melihat wajah ibu dan Mang Udin yang gelisah. Sebenarnya apa yang akan mereka bicarakan sampai susah untuk mengucapkannya. Aku sudah menyatakan persetujuanku, lalu apa lagi yang menghalangi mereka untuk menikah. Apa ayahku yang menjadi halangan mereka untuk menikah?
"Ada seseorang yang tidak akan membiarkan Ibu menikah dengan pria lain." kata ibu dengan sura gemetar. Entah takut atau marah.
Atau mungkin aku yang marah mendengar ada seseorang yang berusaha menghalangi kebahagian ibuku. Siapa orang yang berani melakukannya? Dia akan berhadapan denganku karena ingin merusak kebahagiaan ibuku.
"Siapa orang yang berani menghalangi ibu buat menikah? Apa ayah?" tanyaku marah. Orang itu akan menyesal karena berani melakukannya.
"Shomad..." ibuku berkata pelan, nyaris tidak terdengar olehku. Mendengar nama itu kembali disebut membuatku tertegun kaget.
Berarti benar cerita Mang Karta dan Bi Narsih tentang cinta segitiga antara ayahku, Ibu dan Pak shomad. Apa benar dia yang merusak kebahagiaan keluargaku terutama ibuku. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, aku akan berusaha melindungi kebahagiaan ibuku dengan taruhan nyawaku.
"Siapa sebenarnya Pak Shomad itu, Bu?" tanyaku pura pura tidak mengenal pria yang menjadi momok buat ibuku.
"Ayahmu, Mang Karta dan Shamad adalah sahabat karib. Mereka berguru silat ke Abahmu (kakekku). Shomad dulu mengejar ngejar ibu, tapi ibu lebih memilih ayahmu. Karena ibu jatuh cinta ke ayahmu. Sampai terjadi perkelahian antara ayahmu dan Shomad, Untung Mang Karta bisa melerai perkelahian mereka. Ahirnya itu menikah dengan ayahmu. Sedangkan Shomad hilang entah ke mana. Setelah menikah ibu ikut ayahmu tinggal di Jakarta. Saat kamu berusia 1 tahun, ibu kembali bertemu dengan Shomad di Jakarta.." ibuku terdiam beberapa saat seperti berusaha mengingat kejadian lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
"Suatu hari ayahmu datang dengan Shomad, ternyata setelah perkelahian itu Shomad nerantau ke Jakarta. Ayahmu waktu itu masih jadi kuli angkut pasar dengan Mang Karta. Tapi semenjak bertemu dengan Shomad, ayahmu dan Mang Karta malah jadi preman pasar. Padahal ibu tidak setuju ayahmu jadi preman seperti itu. Ibu lebih senang ayahmu jadi kuli angkut dapat uang halal dari pada jadi preman dengan uang banyak tapi hasil dari meras orang. Uang haram." kembali ibu terdiam. Matanya terlihat berlinang tanpa dapat dicegahnya.
Hatiku miris setiap kali melihat ibuku bersedih. Aku sadar bahwa aku belum bisa membahagiakannya. Sekuat apapun aku berusaha mengambil tanggung jawab ayahku untuk membahagiaknnya, ternyata aku belum bisa membahagiakannya. Bahkan aku selalu membuatnya terluka. Aku ingat saat aku pergi pertama kali merantau ke Jakarta, menurut cerita yang aku dengar, hampir setiap hari ibu menangisiku karena merasa gagal.
"Ahirnya ibu memutuskan untuk kembali ke kampung karena tidak rela melihat ayahmu semkin tidak terkendali menjadi jagoan yang ringan tangan. Hingga ahirnya ayahmu dianggap mati karena hanyut di sungai." ibuku menarik nafas panjang berusaha mengumpulkan kekuatannya yang semakin terkikis.
"Suatu hari Shomad datang melamar ibu setelah kematian ayahmu. Tapi ibu menolaknya. Shomad marah dan mengancam akan membunuh siapa saja pria yang berni mendekati ibu. Abah marah mendengar ancaman Shomad dan mengusir Shomad sampai terjadi perkelahian. Untung abahmu bisa mengalahkan Shomad." kata ibuku mengahiri ceritanya.
Ternyata almarhum abah seorang jawara silat yang hebat. Aku beruntung telah berhasil menyerap seluruh ilmu silatnya sampai berumur 15 tahun. Aku dilatih oleh Abah. Satu satunya kelemahanku adalah aku belum terlatih dalam pertempuran jalanan sehingga aku mudah dikalahkan. Aku masih terlalu hijau.
"Yang mencelakai Mang Udin adalah Shomad..!" kata Mang Udin membuatku sangat terkejut dan juga lega karena bukan ayahku yang melakukannya.
"Shomad membuktikan ancamannya untuk mencelakai siapa saja pria yang mendekati ibu." ibu mengusap air mata yang tiba tiba membasahi pipinya yang halus. Ibuku benar benar cantik dan kecatikannya selalu membuat kagum Lilis dan istriku Ningsih.
Aku benar benar marah dengan Shomad. Keinginanku untuk keluar dari dunia hitam harus aku tarik. Aku harus bergabung dengan Mang Karta dan Bi Narsih menyusun rencana untuk menghancurkan Shomad agar ibuku bisa bahagia tanpa ada yang menggunya.
Benar kata Bi Narsih, aku tidak bisa mundur. Secara tidak langaung aku telah diseret oleh Shomad dalam dendam masa lalunya. Aku adalah anak pion yang digunakan untuk memancing ayahku keluar dari tempat persembunyiannya.
"Jadi yang membuat Mang Udin hampir tewas adalah, Shomad?" aku benar benar tidak pernah menduganya.
Belum sempat Mang Udin menjawab, dari arah pintu yerdengar ucapan salam. Betapa terkejutnya aku melihat Ayahku dan Bu Dhea berdiri di depan pintu.
"Kang Gobang?" ibuku berteriak melihat ayahku berdiri di ambang pintu. Matanya melotot seperti melihat hantu yang sangat menakutkan.
"Aku akan membiarkanmu menikahi mantan istriku Kokom kalau kamu bisa mengalahkanku, Tompel!" ayahku berkata dingin tidak menghiraukan keberadaanku dan juga ibu. Matanya tertuju ke arah Mang Udin, tatapan matanya begitu dingin dan penuh ancaman.
Mendengar ayahku berani mengancam dan mengusik kebahagiaan ibuku, membuatku sangat marah. Kebencianku semakin menumpuk dan berubah menjadi kemarahan yang tidak mampu lagi aku tahan. Mang Udin sedang terluka, tentu Mang Udin tidak akan mampu menghadapi ayahku. Untuk bergerak saja dia harus menahan sakit.
Tanla memberi peringatan, aku mendorong ayahku keluar menuju pekarangan. Ayahku hanya tertawa kecil sambil mundur ke belakang mencari ruang yang lebih luas. Dia menatapku tajam, setajam sembilu. Di pekarangan ayahku memasang kuda kuda siap menerima seranganku.
"Pergi dari sini, jangan pernah berani mengganggu ibuku lagi atau kamu akan kubunuh...!" kataku mengancam dan aku sendiri kaget dengan ancaman yang keluar dari mulutku. Aku belum pernah mengancam orang.
Ayahku hanya tertawa dingin dan tiba tiba kepalan tanganya mengarah ke arah wajahku, cepat dan bertenaga.
Bersambung...
Chapter 15 Antara Benci dan Rindu
Reflek aku menangkis dan sekaligus membalas pukulannya sama sama mengarah ke dagunya yang terbuka tanpa pertahanan. Perkiraan yang salah, karena dengan sedikit gerakan pukulanku dapat dihindari. Dan sebuah tendangan balasan tepat mengarah ke arah perutku. Cepat tanpa terlihat. Tapi naluriku bisa merasakannya. Reflek aku bergerak mundur menghindar.
"Hahaha, reflek dan instingmu sudah semakin bagua, Jalu." ayahku terlihat tersenyum sinis, melihatku yang bisa menghindar dari tendangannya yang licik dan tidak terlihat.
Aku menatapnya marah, pandangan matanya yerlihat seperti melecehkanku. Aku bergerak memulai serangan dengan kekuatan penuh dan tidak terduga, aku yakin apabila tepat mengenai dagunya akan berakibat patal. Hanya dengan sedikit gerakan pukilanku meleset mwmbuat tubuhku terhuyung karena tenaga yang kukerahkan terlalu bertenaga. Belum sempat aku mengendalikan diri, swbuah sapuan di kak membuatku terjatuh.
Reflek aku berguling menjauh darinya, mengambil jarang apa bila dia melakukan serangan susulan. Benar benar jago tua yang hebat dan berpengalaman, aku dapat dijatuhkan dengan cepat. Padahal aku merasa kemampuan bertarung jalananku sudah meningkat, tapi aku bisa dijatuhkan dengan singkat.
"Kamu seperti Karta, bertindak dengan emosi. Kamu tolol karena tidak bisa mengendalikan diri." dia menatapku, tidak bergerak melakukan serangan susulan seperti perkiraanku.
Mendengar perkataannya yang kuanggap sebagai sebuah penghinaan untukku dan Mang Karta, membuatku semakin marah. Aku bangkit dan melakukan serangan bertubi tubi dengan jurus jurus Cimande yang kupelajari dari Abah. Jurus jurus yang sudah kulatih selama belasan tahun. Hebat, ayahku bisa bergerak cepat mwnangkis atau kadang menghindari semua seranganku. Bahkan kadang pukulannya malah tepat mengenai dadaku. Herannya pukulannya yang cepat terasa tidak bertenaga saat mengenaiku.
Dia benar benar menganggapku remeh, seranganku semakin tidak terkendali untuk segera menjatuhkannya. Dia harus tahu, aku tidaklah selemah yang disangkannya. Jurus jurusku sudah terlatih dan pukulanku sudah sangat kuat. Kulatih setiap hari memukul samsak sehingga tanganku menjadi kapalan.
Dan tanpa bisa kuhindari, sebuah bantingan yang sangat cepat dan akurat membuatku terjatuh untuk kedua kalinya.
"Anak tolol, kendalikan dirimu saat bertarung. Jangan terpancing oleh musuhmu." ayahku berkata dengan suara dingin.
"Bukan begitu cara bertarung yang benar, Jang. Lihat ibu." kata ibu yang tiba tiba sudah bergerak menyerang ayahku.
Aku kaget melihat ibu menyerang ayahku dengan cepat. Gerakannya terlihat cepat dan bertenaga. Bahkan bisa dikatakan lembut sesuai dengan kodratnya sebagai wanita. Aku tahu ibuku ahli bela diri karena kadang kami berlatih bersama. Tapi yang membuatku terkejut adalah ibu berani menghadapi pertempuran yang sesungguhnya.
Ibu yang selama.ini kuanggap sebagai wanita yang lembut sekarang berubah menjadi singa betina yang garang. Ayahku terlihat sangat kaget melihat ibuku bisa bertarung dengan hebat. Gerakannya cepat dan bertenaga walau masih tetap terlihat luwes tidak mengurangi kodratnya sebagai wanita.
Tidak sperti saat menghadapiku, ayahku terlihat sangat berhati hati melayani serangan ibuku
Dia bukan hanya sekedar menghindar, bahkan terlihat membalas serangan ibuku dengan bersungguh. Hebat, ibuku bisa menghindari pukulan ayahku bahkan membalasnya.
"Cukup..!" teriak ayahku meloncat mundur. Matanya menatap kagum ibuku yang berdiri dengan kuda kuda yang kokoh.
"Kita sudah tidak ada hubungan apa apa lagi, Kang. Jangan pernah mengganggu kami." ibuku berkata dengan tenang.
"Aku datang bukan untuk mengganggu kalian, aku hanya ingin kamu menasihati Jalu agar tidak ikut campur urusan kami para orang tua." ayahku berkata dingin. Matanya menatapku tajambisa Mendengar perkataannya yang melecehkan dan juga melihat keberanian ibu. Harga diriku sebagai lelaki terusik. Aku kembali menyerangnya dengan cepat, hanya saja sekarang emosi dan kemarahanku mulai berkurang bahkan bisa kukendalikan. Sekarang aku bertarung demi harga diriku. Aku berusaha tenang dan konsentrasi dalam setiap gerakanku.
Hasilnya sungguh luar biasa. Ayahku terlihat kaget menghadapi seranganku. Bahkan beberapa kali seranganku hampir mengenainya dan membuatnya tidak bisa terus bertahan. Dia membalas serabganku dengan bersungguh sungguh. Sekarang aku bisa menghadapi serangannya dengan tepat. Aku bisa dengan cepat mengambil keputusan kapan harus menghindari serangan, kapan harus menangkis serangannya dan pada saat yang tepat aku membalas serangannya.
"Bagus, harus seperti ini bertarung." kata ayahku sambil membalas pukulanku yang bisa dihindarinya dengan susah payah.
"Sudah, cukup..!" teriakan Mang Udin terdengar berpengaruh.
Terbukti ayahku mundur dan menyuruhku berhenti.
"Cukup Jalu, kamu hebat. Ingat, saat bertarung harus seperti tadi, kendalikan emosimu. " kata ayahku sambil menatap ibuku.
"Aku tidak akan mengganggu kalian kalau kalian akan menikah. Hanya aku ingin kalian tetap waspada, Shomad tidak akan diam. Terima kasih sudah menjadi ibu yang baik untuk anak anakku." katanya dengan wajah menunduk lalu pergi meninggalkan kami begitu saja.
Tidak ada salam perpisahan, ayahku pergi begitu saja meninggalkan kami yang berdiri mematung melepaskan kepergiannya. Entah apa yang kurasakan saat ini. Aku sendiri tidak tahu. Ada rasa benci yang membuatku sangat marah melihat wajahnya. Dan satu sisi aku juga tidak bisa memungkiri betapa aku sangat merindukan kehadirannya.
Aku tersadar saat ibu memelukku dan mengajakku masuk ke dalam. Langkahku terasa ringan mengikuti langkah kaki ibu. Pikiranku kosong.
******
Pov Anis
Anis mengelus lerutnya yang semakin membesar. Kehamilan yang membuat sangat marah dan membenci dirinya sendiri. Kenapa harus dirinya harus mengalami penderitaan yang terus menerus seolah tanpa ahir. Kecantikan yang dimilikinya justru membuatnya menderita dan terjerumus ke dalam lembah nista yang berkepanjangan.
Dimulai dari perkenalannya dengan Gobang, lalu mereka melakukan ritual di Gunung Kemukus. Anis merelakan keperawanannya demi cintanya kepada pria itu. Tindakan yang disesalinya seumur hidup.
Sehabis ritual pria itu mengingkari janjinya, mencampakkanya begitu saja. Sakit membutakan matanya, dia ingin membalasnya. Dan seorang pria datang dengan janji manis lainnya. Namanya Codet. Pria itu mengaku kenal dengan seorang dukun sakti yang mampu membuat seseorang bertekuk lutut dan tergila gila kepadanya.
Anis percaya karena Codet dengan wajahnya buruk mempunyai seorang istri yang sangat cantik. Dia sangat berharap dengan bantuan Codet dia bjsa membjat pria itu bertekuk lutut mengemis cinta kepadanya. Tentu tidak ada yang gratis di dunia ini. Anis hatus rela melayani nafsu sex Codet agar mendapatkan bantuan pria itu. Sekali lagi dia melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya.
Anis hamil dan pria itu justru menghilang stelah meminum obat yang diberikan olehnya. Terpaksa Anis menerima Codet sebagai suaminya untuk menutupi aibnya dan juga aib keluarganya.
Setelah sekian belas tahun Anis mendapatkan kabar dari seorang temannya yang melihat pria itu berada di Gunung Kemukus. Dengan tekad bulat Anis mendatangi Gunung Kemukus berharap dengan pria itu dan yang ditemuinya justru anak pria itu. Entah kenapa justru Anis kembali jatuh cinta pada orang yang salah. Dia jatuh cinta pada anak pria itu. Dia berharap bisa memiliki anak pria itu.
Beruntung dia mempunyai seorang paman, atau lebih tepatnya suami dari Bibinya yang bersedia membantunya untuk mendapatkan pria itu. Sekali lagi tidak ada yang gratis dalam hidup ini. Bantuan yang ditawarkan harus dibayar dengan kehangatan tubuh indahnya yang membuat setiap lelaki ingin mencicipinya walau hanya semalam.
Sekali lagi Anis membiarkan pamannya mencicipi kehangatan tubuhnya dan kembali musibah itu datang, Anis hamil bukan dari pria yang dicintainya. Anis merasa bersukur karena Pamannya menepati janji. Anis dapat menikah dengan pria yang dicintainya walau harus mengandung anak pamannya.
Saat Anis larut dalam masa lalunya, pamannya masuk dan memeluknya dari belakang. Anks bisa melihat wajah pamannya dari kaca meja rias. Wajah yang ahir ahir ini membuatnya merasa muak dan takut. Tapi dia tidak mempunyai pilihan lain. Anis harus bersedia melayani nafsu pamannya agar Ujang tetap menjadi suaminya. Dia tidak mau kehilangan pria yang dicintainya.
Anis pasrah saat pamanya mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di ranjang besi. Anis memalingkan wajahnya saat pria itu menciumi wajahnya dan beralih ke leher jenjangnya. Anis mengutuk pria tua itu yang meremas dadanya dengan kasar. Sakit bukan hanya di tubuhnya tapi juga sampai dengan dengan jiwanya.
Hampir saja air matanya keluar saat pria itu menelanjangi tubuhnya. Tanpa pemanasan, pria itu memaaukkan kontolnya ke dalam memeknya yang masih kering. Anis merintih kesakitan, memeknya seperti bergesekan dengan amplas, air matanya mengalir tanpa bisa ditahannya.
Pamannya memompa memeknya dengan kasar tanpa memperdulikannya yang merintih kesakitan. Justru pamannya seperti menikmati melihat air matanya dan jerit kesakitannya. Dia berharap pamannya segera memuntahkan pejuhnya agar dia tidak tersiksa lebih lama lagi.
Tapi keinginanya bertolak belakang dengan kenyataan yang dialaminya. Pamanya tidak juga memuntahkan pejuhnya. Anis tahu pamannya bisa bertahan lama. Kontol pamannya mampu bertahan lama dan Anis harus merasakan sakit itu selama lebih dari sepuluh menit.
Anis memejamkan matanya membayangkan Ujang yang sedang memacu memeknya, berharap dengan cara itu rasa sakitbya akan berkurang dan berganti dengan rasa nikmat yang akan membawanya ke puncak kenikmatan. Tapi banyangan Ujang buyar saat pamannya membisikkan sesuatu yang membuatnya ketakutan. Sebuah ancamab yang akan dilaksanakan oleh pamannya.
"Tolong, jangan lakukan itu..!" Anis memohon. Rasa takutnya mengalihkan rasa sakit di memeknya.
"Asal kamu mau melakukan sesuatu untukku..!" pamannya tertawa licik. Kontolnya semakin cepat memompa memeknya.
Anis bergidik ngeri melihat seringai licik pamannya sehingga memeknya yang terasa sakit tidak dirasakannya lagi. Dia harus mencegah pamannya mencelakai suaminya. Satu satunya pria yang dicintainya. Pria yang membuatnya bisa tersenyum lepas.
"Apa yang harus Anis lakukan?" Anis merintih menahan isak tangisnya.
Pamannya tidak menjawab, pria itu memompa memeknya dengan brutal. Ahirnya kontol pria itu memuntahkan cairan pejuh yang sudah menghamilinya.
*†****
Aku menatap kagum dengan kemampuan ibuku dalam sebuah pertarungan yang sebenarnya. Sehingga ayahku terlihat kewalahan menghadapi serangannya yang terarah dan penuh perhitungan.
"Kamu sudah hebat. Jurus, reflek, kecepatan dan juga kekuatanmu sudah mumpuni. Satu satunya kelemahan kamu adalah tidak mampu mengontrol emosimu." Mang Udin memberi tahukan kelemahanku dalam pertarungan jalanan.
"Kamu seperti Kang Karta. Selalu mengikuti kata hati dan tidak bisa berpikir panjang." ibu meneruskan perkataan Mang Udin.
Ya memang benar, aku gampang terpancing dan terbawa suasana. Aku selalu bertindak tanpa berpikir lagi. Sesuatu yang kutiru dari Mang Karta tanpa aku sadari. Tidak heran Bi Narsih selalu menyamakan aku dengan Mang Karta.
"Kamu itu lebih cocok jadi anak Mang Karta dari pada anak Kang Gobang." itu yang selalu dikatakan Bi Narsih kepadaku dan selalu diamini oleh ibuku. Jujur, aku selalu senang kalau dibandingkan dengan Mang Karta. Aku bahagia sekali mendengarnya.
"Kamu harus belajar mengendalikan dirimu, Jang." ibu membelai rambutku.
"Tadi setelah ibumu bertarung dengan Kang Gobang, gaya bertarungmu langsung berubah. Kamu bisa mengimbangi Kang Gobang bahkan membuatnya sedikit kewalahan. Ingat, belajar menguasai diri, karena yang kita hadapi adalah Shomad yang pernah menhebak ayahmu dan juga ham0ir membunuhku." kata Mang Udin tenang.
Aku tersenyum malu karena diberitahukan kelemahanku. Sekali lagi aku melihat ibuku dengan perasaan kagum. Wanita yang terlihat lembut dan lemah ini ternyata mempunyai kemampuan bela diri yang menakjubkan.
"Terus kita harus bagaimana? Apa kita biarkan Shomad terus menerus mengganggu ibu?" tanyaku menhembalikan topik pembicaraan ke Shomad.
"Kita saat ini menunggu intruksi dari Bibimu, dia lebih tahu apa yang harus kita lakukan." kata ibuku yang terlihat lebih tenang.
"Kang Gobang juga sudah mulai bergerak, dia pasti sudah menyebar orang orangnya di sekitar sini untuk menjaga ibu dan keluargamu dari gangguan Shoy." Mang Udin menambahkan perkataan ibu dan itu membuatku sedikit lebih tenang. Entah dari mana Mang Udin tahu ayahku sudah menyebar orang orangnya untuk melindungi keluargaku. Mungkin karena pengalamannya berkecimpung di dunia hitam cukup lama.saat.
"A Ujang, ada telpon...!" kata Lilis yang tiba tiba datang tanpa mengucapkan salam.
"Dari siapa, Lis?" tanyaku heran melihat wajah Lilis yang terlihat merah seperti menahan marah. Matanya menatapku tajam penuh ancaman.
"Dari Anis, istri muda kamu..!" aku berharap apa yang kudengar dari mulut Lilis itu salah.
"Siapa, Lis?" tanyaku berusaha memastikan apa yang kudengar.
"Dari Anis istri muda kamu....!" Lilis berkata dengan suara keras.
Bersambung.
Maaf, apdet lebih pendek.
Chapter 16 : Lilis Sang Ratu
Aku terkejut saat nama Anis disebut, ini adalah musibah yang menghancurkan hidupku. Aku bisa kehilangan istri yang kucintai. Aku berusaha mengendalikan diri dan seribu kebongan melintas di pikiranku. Satu satunya cara untuk menyelamatkan keutuhan keluargaku.
"Anis siapa, Lis?" tanyaku dengan mimik wajah kubuat seheran mungkin. Aku sangat jarang berbohong dan aku tidak tahu kebohonganku akan berhasil atau tidak. Tapi yang jelas aku harus bisa mempertahankan keutuhan rumah tanggaku.
"Anis keponakannya Pak Shomad..!" Lilis menjawb dengan mimik wajah yang sangat meyakinkan. Mimik wajah yang terlihat sangat marah.
Aku menoleh ke arah ibu dan Mang Udin, meminta pertolongan yang bisa mereka berikan. Pertolongan yang mampu menyelamatkanku.
"Maksud Lilis keponakan Shomad yang dari Karawang?" tanya Mang Udin terlihat tegang.
"Iya,.!" jawaban yang hanya satu kata dan mengandung ancaman yang tidak main main.
"Si Shomad benar benar bajingan. Dia tidak bisa menyentuh Kang Gobang, sekarang dia mau menghancurkan rumah tangga keponakanku. Shimad....!" wajah Mang Udin tiba tiba menjadi pucat, tangannya mendekap dadanya pas di bagian yang terluka.
"Mang, kenapa?." Lilis menjerit maget melihat Mang Udin yang kesakitan. Perhatian kami teralihkan ke Mang Udin yang menahan sakit.
Aku memapah Mang Udin ke kamar dan merebahkannya di atas kasur busa yang digelar di atas lantai. Tidak ada ranjamng, has para perantau.
Ibu segera mengambil obat penghilang sakit. Diberikan ke Mang Udin dengan segelas air putih. Mang Udin langsung meminumnya. Kami menunggu gelisah reaksi obat yang agak lama. Bahkan terasa lama. Kami semua terdiam dengan pikiran kami masing masing membuat suasana semakin mencekam.
15 menit ahirnya Mang Udin terlihat tenang. Rasa sakitnya mungkin sudah berkurang jauh terlihat dari wajahnya yang mulai bisa tersenyum. Kami menarik nafs lega.
"Lis, kamu tahu siapa Shomad dan Anis?" tanya Mang Udin menatap keponakannya dengan lembut. Keponakan yang sudah menjadi yatim piatu saat berusia 1 tahun. Sejak itu Lilis dirawat oleh uwanya yang belum mempunyai anak.
"Anis katanya istri Ujang. " suara Lilis kembali ketus menahan kemarahan yang bisa meledak kapan saja. Sama seperti kemarahanku kepada Anis yang sudah mengingkari janjinya untuk tidak merusak rumah tanggaku.
Mungkin bukan masalah buatku keluar dari rumah Lilis. Aku bisa membawa ibuku, tabungan yang diwariskan Pak Budi cukup membuat hidupku bergelimang harta, apa lagi aku sempat melihat tabunganku bertambah secara misterius. Entah berasal dari mana, ada sejumlah uang yang sangat besar ditransfer ke rekeningku. Ditambah dengan emas batangan yang terimpan di Gunung Kemukus.
Bukan masalah harta yang menjadi persoalan. Tapi aku tidak mau kehilangan wanita yang paling aku cintai, istriku. Apa lagi sebebtar lagi anakku akan lahir. Aku akan mempertahankan keluargaku apapun yang akan terjadi.
"Shomad adalah orang yang menghancurkan keluarga Ujang." lalu Mang Udin mulai menceritakan kejadian yang menimpa keluargaku karena ulah Shomad. Bahkan Mang Udin juga menceritakan bahwa yang meracun ayahku adalah Anis atas perintah Shomad.
"Jadi Anis disuruh Shomad buat menghancurkan kiya semua?" tanya Lilis terkejut. Lilis menatapku, tatapan yang aku kenal. Tatapan yang penuh cinta.
"Maafin Lilis A, udah nuduh A Ujang yang bukan bukan." Lilis memelukku sebagai permintaan maaf. Aku melihat wajah ibuku terlihat aneh melihat Lilis memelukku. Aku tidak tahu kenapa wajah ibuku menjadi seperti itu.
"Lilis pulang dulu, sepertinya sedang ada pembicaraan serius." Lilis mencium tanganku dan sekali lagi aku melihat wajah ibuku yang terasa semakin aneh. Lilis bergantian mencium tangan ibu dan Mang Udin lalu meninggalkan kami.
"Ada hubungan apa kamu sama Lilis?" nada suara Ibu terdengar tajam, tatapan matanyapun terasa tajam dan dingin.
Baru aku sadar arti tatapan ibuku. Perlahahan aku menjelaskan rencana pernikahanku dengan Lilis setelah melahirkan. Aku tidak menceritakan bahwa anak yang dikandung Lilis adalah anakku, karena itu adalah aib almarhum Pak Budi, biarlah itu tetap menjadi rahasia kami.
"Tidak boleh, Lilis itu kakak ipar kamu. Haram hukumnya menikahi saudara kandung dan seayah istrimu
" bentak ibu membuatku terkejut. Ibuku sangat jarang marah apa lagi membentakku.
"Ningsih dan Lilis bukan saudara seayah maupun seibu. Lilis itu anak adiknya Imas yang meninggal waktu bayi, sedangkan ayah Lilis meninggal sebelum Lilis lahir. Sejak itu Lilis dirawat oleh Imas yang belum punya anak. Jadi Ujang bisa menikah dengan Lilis." Mang Udin menerangkan ke Ibuku tentang hubungan Ningsih dan Lilis.
"Kok bisa kamu mau menikahi Lilis? Bagaimana dengan Ningsih?" ibuku menarik nafas lega setelah mengetahui hubungan Lilis dan Ningsih.
"Ningsih ngedukung, Ambu dan Abah juga sudah menyetujui." kataku setelah lepas dari semua masalah yang tiba tiba datang dan pergi secepatnya. Aku menarik nafas lega, urusanku sekarang hanya dengan Shomad.
*******
Aku membuka brankas di kamar Pak Budi, aku akan berusaha mencari petunjuk yang lebih detil. Mungkin ada sesuatu yang aku lewatkan. Entajlah aku sendiri tidak tahu apa yang kucari.
Sedang asik aku memeriksa semua isi brankas terutama berkas berkas yang tidak kutahu fungsinya. Lilis masuk dan ikut berjongkok di sampingku.
"Nyari apa, A?" tanya Lilis memperhatikan wajahku yang terlihat bodoh karena tidak tahu apa yang kucari.
"Petunjuk..!" kataku singkat. Karena hanya satu kata itu yang kutahu dan selebihnya aku tidak tahu.
"Petunjuk apa? Keterlibatan almarhum dengan bisnis haramnya?" Lilis menatapku tanpa sedetikpun berpaling dari wajahku membuatku sedikit jengah.
"Hihihi, A Ujang diliatin gitu aja langsung merah mukanya." Lilis menciumku mesra. Lilis mengambil buku agenda Pak Budi, di dalamnya ada secarik kertas bukti transfer dari Komar dengan jumlah yang sangat besar dan juga bukti tranfer Pak Budi untuk Mas Gatot dengan jumlah sama dengan yang diterima Pak Budi.
"A Ujang tahu siapa Komar?" Lilis bertanya sambil memperl8hatkan nama Komar.
Hampir saja aku menggeleng, tapi tiba tiba aku teringat sesuatu. Bukankah Komar adalah nama asli Codet. Berarti Codet terlibat dengan rencana ritual di Gunung Kemukus. Aku menatap Lilis, berusaha mencari kebenaran yang sebenarnya.
"Tujuan Lilis ke Gunung Kemukus murni buat ritual dengan A Ujang." Lilis menerangkan, dia bisa menebak pikiranku.
"Aa liat ini..!" Lilis mengambil buku Diary Pak Budi dan membuka halaman yang ternyata sudah ditandai oleh Lilis. Aku tidak tahu maksud Lilis memperlihatkan halaman yang sudah ditandai. Tidak ada hal yang istimewa. Pak Budi hanya menulis keinginanya memberikan cucu ke orang tuanya.
"Halaman ini disobek beberapa lembar dan Lilis menemukan sobekannya di tempat sampah. Lilis menemukannya di tempat sampah dan menyimpannya." kata Lilis, lalu berjalan ke arah brankasnya dan membukanya. Lilis mengambil 4 lembar kertas yang ternyata sobekan buku diary Pak Budi. Lilis menyerahkannya kepadaku.
Hebat, kembali aku menyadari kecerdasan calon istriku ini. Aku tidak pernah menyangka dia akan berbuat sejauh dan seteliti ini. Entah alasan apa yang membuatnya menjadi begitu.
Lembar pertama.
Dear Diary, sekarang aku sudah sampai di Gunung Kemukus seperti yang sudah kurencanakan, aku bertemu dengan Wati dan Ujang. Kami akan bertukar pasangan biar aku bebas menjalankan misiku mencari keberadaan Gobang seperti yang disuruh Shomad melalui Codet.
Berarti aku mempunyai dua misi, misi pertama adalah mencari Codet. Aku akan memancingnya keluar dari tempat persembunyiannya dengan menjadikan anaknya sebagai umpan agar dia mau keluar dari persembunyiannya.
Misi ke dua tentu saja aku sangat berharap Lilis hamil dalam ritual ini. Hamil oleh pemuda culun, sungguh ironis membayangkan istriku akan hamil oleh pemuda tolol yang diam diam dicintai istriku. Membuatku cemburu.
Lembar ke dua.
Aku dan Wati berkeliling mencari Gobang. Kami sengaja mengajak Wati berpencar agar kemungkinannya semakin besar menemukan Gobang. Belum lagi kami berpencar, aku melihat Japra Aku bersorak kegiranngan. Aku yakin itu Japra. Di mana ada Japra pasti ada Gobang.
Aku mengikutinya hingga Gemolong bersama Wati. Sampai Gemolong aku menyuruh Wati kembali ke Gunung Kemukus agar aku bisa lebih leluasa mengutit Japra.
Shit, aku kehilangan jejak.
Lembar ke tiga.
Ada seseorang yang berhianat, dia tahu tujuanku mencari Gobang. Aku mulai mencurigai Dhea sebagai kaki tangan Gobang.
Satu satunya harapanku menyelamatkan bisnisku yang mulai mendekati kehancuran adalah menemukan Gobang, Shomad menjanjikanku uang yang bisa menyelamatkan bisnisku.
Lembar ke empat.
Kurang ajar, ternyata Codet menipuku. Bukan hanya aku yang tertipu, tapi juga Shomad. Codet ternyata kebih licik dari Shomad. Emas hasil rampokan ternyata disimpan olehnya. Gobang hanya mendapatkan sebagian saja.
Kalau ini aku sudah tahu, yang tidak aku tahu adalah Codet menyimpan sebagian besar emas hasil rampokan. Dari mana Pak Budi mengetahuinya. Ada sesuatu yang aneh di sini.
Aku menatap kagum dengan kecerdasan Lilis. Kecantikannya berpadu dengan kecerdasannya. Kombinasi yang sempurna.
"Bisnis hitam Shomad sedang sekarat, makanya dia mencari ayah A Ujang untuk mendapatkan emas hasil rampokan, tapi dia sendiri sudah tertipu oleh Codet yang menyimpan emas hasil rampokan yang lebih besar." kata Lilis menerangkan dengan tenang. Dia begitu yakin dengan analisanya yang brilian.
Apakah itu sebabnya Shomad menyingkir ke Cirebon, karena bisnisnya sudah hancur. Aku berusaha menganalisa keadaan yang saat ini sedang kuhadapi. Aku baru sadar, musuh yang aku hadapi berada di tempat tersembunyi dan aku tepat berada di tengah tengah lapangan terbuka menjadi sasaran empuk.
"Lalu A Ujang harus bagaimana?" tanyaku nyaris putus asa dengan situasi yang aku hadapi. Situasi yang tidak pernah aku inginkan.
"A Ujang harus nengorek keterangan dari anak Codet sebelum orang orangnya Shomad menadapatkan ke dua gadis itu. Kalau itu sampai yerjadi, Shomad mendapatkan emas itu, dia akan dengan mudah menghabisi kita semua." Lilis terlihat tenang, seolah apa yang dikatamannya sudah dipikir matang matang.
Aku tidak habis pikir bagaimana dia bisa nengetahui semuanya sedangkan aku masih meraba harus melakukan apa. Lilis sudah mengambil kesimpulan dan juga mengambil keputusan yang menurutku sangat sulit.
"Sekarang A, jangan ditunda lagi. Aa akan ditemani oleh bekas anak buah Pak Budi yang paling loyal dan sekarang mereka dibawah komando Lilis." suara Lilis terdengar tegas membuatku sadar dari lamunanku.
"Tapi, Lis?" aku tidak meneruskan perkataanku. Bukankan mengorek keterangan dari ke dua anak gadis itu bisa kulakukan besok. Sekarang justru aku ingin mendengar cerita Lilis bagaimana dia bisa mengetahui semuanya. Bagaimana wanita seanggun dia bisa mendapatkan informasi yang aku sendiri baru mengetahuinya sekarang.
"Gak ada tapi tapian, tadi Anis nelpon. Lilis curiga itu cuma untuk mengalihkan perhatian kita." kata Lilis tegas. Kelembutannya hilang. Dia terlihat seperti Ratu yang perintahnya adalag mutlak harus dilaksanakan.
Aku segera berganti pakaian yang lbisa membuatku bergerak lincah kalau harus menghadapi pertarungan yang bisa terjadi kapan saja. Yernyata benar, di depan sudah ada 5 orang bertampang sangar menungguku. Kami segera berangkat ke markas Mang Karta dengan membawa mobil.
Ternyata apa yang ditakutkan Lilis benar benar terjadi. Markas Mang Karta ada yang menyerang. Di dalam terjadian perkelahian tidak seimbang. Beberapa anak buah Mang Karta bergelimpangan terluka. Bahkan pagar besar sudah hampir rubuh.
Bersambung