Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT [No SARA] Panah Asmara (True Story)

Part 7
Masa Lalu Biarlah Masa Lalu, Jangan Kau Ungkit...


Semenjak kami sering bercinta, hubunganku dengan Nira semakin erat. Nira semakin terang-terangan membuka semua cerita yang selama ini dianggapnya sebagai sebuah aib. Masa lalunya, kisah cintanya, perjuangannya, suaminya, mertuanya, keluarganya bahkan hingga perasaannya padaku. Selama ini Nira selalu menyimpan semuanya sendirian. Sebagai anak tertua dari 3 bersaudara, dia merasa wajib menjadi sosok kuat bagi adik-adiknya. Padahal dibalik kemandirian dan kegigihannya, tersimpan hati yang rapuh sebagaimana fitrahnya sebagai seorang wanita. Sekuat-kuat wanita, tak akan pernah bisa berdiri sendiri. Mereka tetap membutuhkan laki-laki, hanya saja kasang ego mereka membuat mereka merasa lebih mampu hidup tanpa laki-laki.

"Aku pernah menjalin hubungan dengan beberapa laki-laki namun berakhir tidak menyenangkan" ucap Nira sore itu saat kami duduk di sebuah taman.
"Berapa orang?" Tanyaku sambil mencari korek di saku celana.
"Beberapa, tapi yang belum aku lupakan ada 3 orang Bi" Mata Nira menatap awan dikejauhan mencoba mengingat-ingat.
"Memangnya seperti apa endingnya?" Tanyaku penasaran. Baru kali ini Nira mengungkit-ungkit kisah cintanya.
"Yang pertama itu seorang Brimob. Kami gak pacaran, hanya teman dekat. Tapi aku tau dia menyukaiku"
"Kenapa gak jadian?"
"Dia ngajak nikah. Gak pake pacaran"
"Nah itu bagus. Laki-laki baek, gak ngajak pacaran. Tapi langsung nikah" aku menimpali.
"Taaruf maksudnya Bi?" Nira kaget lalu menoleh.
"Bukan. Tapi berteman, saling mengenal dengan tujuan baik, lalu melamar. Ngapaen pake pacaran"
"Kalo gak pacaran gimana caranya saling tau kebaikan dan keburukan masing-masing Bi?" Tanya Nira.
"Kamu gak perlu pacaran hanya untuk mengetahui seseorang itu baik atau tidak. Justru pacaran itu membuat kita menjadi sosok munafik"
"Kok gitu?"
"Iya. Karena saat kita pacaran, kita hanya ingin menunjukkan hal-hal baik kita pada pasangan. Bahkan tak jarang kita terpaksa melakukan sesuatu demi pasangan, bukan karena kita memang ingin melakukannya. Jika ingin saling mengenal, baik buruknya seseorang, cobalah menjadi sahabat atau teman dekatnya. Maka kita akan mengetahui semua baik dan buruknya. Kita seringkali merasa harus tampil rapi, cantik, wangi di depan pacar. Sedangkan di depan sahabat, kita bisa tampil apa adanya menjadi diri kita sendiri. Bahkan kentutpun tak perlu sungkan di depan sahabat"
"Iya juga sih Bi"
"Makanya...."
"Eh..tapi ada juga kok sahabat yang jahat, nusuk dari belakang atau manfaatin kita kam Bi" Nira memotong ucapanku.
"Itu sih bukan sahabat"
"Trus?"
"Itu namanya Monyet" kami lalu tertawa. Nira kemudian melanjutkan ceritanya bagaimana dia dan Brimob itu menjalin pertemanan tetapi akhirnya berujung dengan pernikahan si Brimob dengan salah satu teman akrab Nira.

Nira kemudian bercerita tentang mantannya yang kebetulan sekota dengan kami. Seorang laki-laki baik, jangankan mengajak untuk ngesex, berpegang tangan saja laki-laki itu sudah keringatan. Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
"Ih Bi jangan gitu ah, gitu-gitu dia baik banget sama aku lho" protes Nira.
"Iya iya maaf. Tapi kenapa kalian bisa putus?" Aku penasaran.
"Waktu itu aku yang sudah ingin segera menikah. Tapi dia gak berani"
"Bhuaahahahahaha" aku semakin terpingkal-pingkal dan Nira cemberut.
"Pantesan dia gak brani nikah, lha pegangan tangan aja keringatan. ahahahhahah" aku menimpali.
"Bukan begitu Bi sayang. Dia tu gak berani nikah karena dia belum bekerja. Dia mikirin bagaimana ngasi aku nafkah ntar"
"Lho? Ngapaen dia mikir sejauh itu sih? Nikah ya nikah aja"
"Ya harus mikirin sih Bi, anak orang mau dikasi makan apa?" Protes Nira.
"Gini lho Huni. Semua manusia yang lahir ke dunia susah ditentukan jumlah rejekinya. Yang berbeda adalah kualitas rejeki itu. Kalo kita ditakdirkan dapat uang satu juta, mau bagaimanapun, ya tetap satu juta dapatnya. Tapi apakah satu juta itu dalam bentuk uang, kesehatan, barang, atau penghargaan, itu tergantung ikhtiar kita. Begitu juga cara mendapatkannya. Halal dan haramnya uang satu juta itu, kita yang menentukan. Setiap manusia sudah ditentukan jumlah rejekinya oleh Allah. Nikah itu bukan membuat manusia susah kok. Rejeki setelah menikah ya tetap segitu. Kalaupun rejeki nambah, itu adalah rejeki pasangan kita yang dititipkan melalui kita"
"Tapi kan ada tuh, orang-orang yang setelah menikah tambah kaya, tambah banyak uang, tambah sukses" Nira bertanya.
"Ya karena memang sudah waktunya dia mendapatkan itu, dan juga karena itu sebenarnya adalah gabungan antara rejeki suami, istri, anak, mertua, saudara ipar, bahkan mungkin keponakan" aku menambahkan. "Intinya, kalo memang mau menikah, ya menikah saja. Masalah rejeki, Allah sudah menentukan jumlahnya kok"
"Gitu ya Bi?" Nira manggut-manggut mencoba memahami penjelasanku.
"Ah..kalo aku jadi dia, ada cewek yang kusayangi ngajak nikah, udah ta bawa ke penghulu. Selama dia mau hidup bersama dalam miskin dan kaya, gak neko-neko, selalu nyemangatin suami buat nyari nafkah, aku nikahi tu cewek"
"Ya beda orang beda juga cara mikirnya Bi" ucap Nira.
"Nah, yang ketiga?" Tanyaku
"Yang ketiga tu, dia mirip sama kamu Bi" Nira menunduk. Terdiam sejenak lalu mengangkat wajahnya menatap langit yang mulai mendung
"Cara bicaranya, bahasa tubuhnya, cara menanggapi sikapku, cara memahamiku, semuanya sama" ucap Nira.
"Jangan diceritakan kalo memang itu pahit" aku mencoba sok bijak padahal penasaran dengan laki-laki yang membuat Nira menahan air mata saat mengingatnya.
"Dia baik banget Bi, tapi juga brengsek" Nira hendak melanjutkan ceritanya, tapi dia terdiam kembali. Menarik nafas dan sekilas terlihat raut kesedihan bercampur dengan kebencian di wajahnya. Entah masa lalu apa yang telah terjadi. Antara penasaran dan ketidakrelaan bercampur aduk dalam pikiranku. Ingin kukorek lagi namun setetes air terjatuh dari matanya, membuatku diam. Membiarkannya meluapkan kesedihan adalah salah satu cara memahami seorang wanita. Aku bisa saja berlagak gentle dengan menghapus air matanya, lalu merangkulnya, merebahkan kepalanya dipundakku dan membiarkannya menumpahkan segala kesedihan itu dalam tangis haru biru seperti di film-film drama korea. Toh taman ini sangat sepi. Tak ada orang selain kami berdua.

Tapi aku tak melakukan itu, bukan karena takut. Bukan!! Ketahuilah, langsung merangkul wanita saat dia menangis bukanlah sebuah hal yang tepat. Karena itu justru membuatmu terlihat mencari kesempatan. Biarkan dia menangis sejenak, lalu diamlah tanpa melakukan apapun. Kemudian, pegang tangannya. Tak perlu menatap wajahnya, karena itu justru membuatnya malu. Hal itu akan membuatmu terlihat sedang menghancurkan kepercayaan dirinya. Cukup genggam tangannya, lalu pandanglah lurus ke depan seakan-akan kau menatap masa depan. Dan ucapkan...
"Sudahlah. Itu masa lalu. Tak perlu diungkit. Semua orang pernah sedih, tapi semua orang berhak untuk bahagia. Aku gak perlu tau masa lalumu jika itu membuatmu tak nyaman. Karena aku masuk dalam kehidupanmu untuk mengajakmu tertawa" aku berkata dengan pelan, mencoba menenangkan seorang ustzah nan jelita yang sedang menangis disampingku. Lalu perlahan genggamanku dibalasnya, Nira menggenggam tanganku dengan erat. Dan dia kemudian menyandarkan kepalanya dipundakku. Menangis sejadi-jadinya. Ah,,benar sekali bukan?? Tak perlu menawarkannya pundakmu, cukup yakinkan dia bahwa kau adalah tempat paling nyaman baginya, maka dia akan menyandarkannya sendiri. Tak perlu kau korek masa lalunya, karena jika kau telah menjadi diary baginya, dia akan menuliskan semua ceritanya, aibnya, hingga keluh kesahnya padamu. Begitu pula Nira yang sudah menemukan diarynya.
"Bi, aku cerita yah. Tapi kamu harus janji..." Belum selesai Nira bicara aku langsung memotong ucapannya.
"Ceritakan jika itu tak membuatmu sedih Hun. Aku akan selalu jadi pendengarmu seperti selama ini aku lakukan"


Bersambung....
 
Terakhir diubah:
Part 6
Masa Lalu Biarlah Masa Lalu, Jangan Kau Ungkit...


Semenjak kami sering bercinta, hubunganku dengan Nira semakin erat. Nira semakin terang-terangan membuka semua cerita yang selama ini dianggapnya sebagai sebuah aib. Masa lalunya, kisah cintanya, perjuangannya, suaminya, mertuanya, keluarganya bahkan hingga perasaannya padaku. Selama ini Nira selalu menyimpan semuanya sendirian. Sebagai anak tertua dari 3 bersaudara, dia merasa wajib menjadi sosok kuat bagi adik-adiknya. Padahal dibalik kemandirian dan kegigihannya, tersimpan hati yang rapuh sebagaimana fitrahnya sebagai seorang wanita. Sekuat-kuat wanita, tak akan pernah bisa berdiri sendiri. Mereka tetap membutuhkan laki-laki, hanya saja kasang ego mereka membuat mereka merasa lebih mampu hidup tanpa laki-laki.

"Aku pernah menjalin hubungan dengan beberapa laki-laki namun berakhir tidak menyenangkan" ucap Nira sore itu saat kami duduk di sebuah taman.
"Berapa orang?" Tanyaku sambil mencari korek di saku celana.
"Beberapa, tapi yang belum aku lupakan ada 3 orang Bi" Mata Nira menatap awan dikejauhan mencoba mengingat-ingat.
"Memangnya seperti apa endingnya?" Tanyaku penasaran. Baru kali ini Nira mengungkit-ungkit kisah cintanya.
"Yang pertama itu seorang Brimob. Kami gak pacaran, hanya teman dekat. Tapi aku tau dia menyukaiku"
"Kenapa gak jadian?"
"Dia ngajak nikah. Gak pake pacaran"
"Nah itu bagus. Laki-laki baek, gak ngajak pacaran. Tapi langsung nikah" aku menimpali.
"Taaruf maksudnya Bi?" Nira kaget lalu menoleh.
"Bukan. Tapi berteman, saling mengenal dengan tujuan baik, lalu melamar. Ngapaen pake pacaran"
"Kalo gak pacaran gimana caranya saling tau kebaikan dan keburukan masing-masing Bi?" Tanya Nira.
"Kamu gak perlu pacaran hanya untuk mengetahui seseorang itu baik atau tidak. Justru pacaran itu membuat kita menjadi sosok munafik"
"Kok gitu?"
"Iya. Karena saat kita pacaran, kita hanya ingin menunjukkan hal-hal baik kita pada pasangan. Bahkan tak jarang kita terpaksa melakukan sesuatu demi pasangan, bukan karena kita memang ingin melakukannya. Jika ingin saling mengenal, baik buruknya seseorang, cobalah menjadi sahabat atau teman dekatnya. Maka kita akan mengetahui semua baik dan buruknya. Kita seringkali merasa harus tampil rapi, cantik, wangi di depan pacar. Sedangkan di depan sahabat, kita bisa tampil apa adanya menjadi diri kita sendiri. Bahkan kentutpun tak perlu sungkan di depan sahabat"
"Iya juga sih Bi"
"Makanya...."
"Eh..tapi ada juga kok sahabat yang jahat, nusuk dari belakang atau manfaatin kita kam Bi" Nira memotong ucapanku.
"Itu sih bukan sahabat"
"Trus?"
"Itu namanya Monyet" kami lalu tertawa. Nira kemudian melanjutkan ceritanya bagaimana dia dan Brimob itu menjalin pertemanan tetapi akhirnya berujung dengan pernikahan si Brimob dengan salah satu teman akrab Nira.

Nira kemudian bercerita tentang mantannya yang kebetulan sekota dengan kami. Seorang laki-laki baik, jangankan mengajak untuk ngesex, berpegang tangan saja laki-laki itu sudah keringatan. Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
"Ih Bi jangan gitu ah, gitu-gitu dia baik banget sama aku lho" protes Nira.
"Iya iya maaf. Tapi kenapa kalian bisa putus?" Aku penasaran.
"Waktu itu aku yang sudah ingin segera menikah. Tapi dia gak berani"
"Bhuaahahahahaha" aku semakin terpingkal-pingkal dan Nira cemberut.
"Pantesan dia gak brani nikah, lha pegangan tangan aja keringatan. ahahahhahah" aku menimpali.
"Bukan begitu Bi sayang. Dia tu gak berani nikah karena dia belum bekerja. Dia mikirin bagaimana ngasi aku nafkah ntar"
"Lho? Ngapaen dia mikir sejauh itu sih? Nikah ya nikah aja"
"Ya harus mikirin sih Bi, anak orang mau dikasi makan apa?" Protes Nira.
"Gini lho Huni. Semua manusia yang lahir ke dunia susah ditentukan jumlah rejekinya. Yang berbeda adalah kualitas rejeki itu. Kalo kita ditakdirkan dapat uang satu juta, mau bagaimanapun, ya tetap satu juta dapatnya. Tapi apakah satu juta itu dalam bentuk uang, kesehatan, barang, atau penghargaan, itu tergantung ikhtiar kita. Begitu juga cara mendapatkannya. Halal dan haramnya uang satu juta itu, kita yang menentukan. Setiap manusia sudah ditentukan jumlah rejekinya oleh Allah. Nikah itu bukan membuat manusia susah kok. Rejeki setelah menikah ya tetap segitu. Kalaupun rejeki nambah, itu adalah rejeki pasangan kita yang dititipkan melalui kita"
"Tapi kan ada tuh, orang-orang yang setelah menikah tambah kaya, tambah banyak uang, tambah sukses" Nira bertanya.
"Ya karena memang sudah waktunya dia mendapatkan itu, dan juga karena itu sebenarnya adalah gabungan antara rejeki suami, istri, anak, mertua, saudara ipar, bahkan mungkin keponakan" aku menambahkan. "Intinya, kalo memang mau menikah, ya menikah saja. Masalah rejeki, Allah sudah menentukan jumlahnya kok"
"Gitu ya Bi?" Nira manggut-manggut mencoba memahami penjelasanku.
"Ah..kalo aku jadi dia, ada cewek yang kusayangi ngajak nikah, udah ta bawa ke penghulu. Selama dia mau hidup bersama dalam miskin dan kaya, gak neko-neko, selalu nyemangatin suami buat nyari nafkah, aku nikahi tu cewek"
"Ya beda orang beda juga cara mikirnya Bi" ucap Nira.
"Nah, yang ketiga?" Tanyaku
"Yang ketiga tu, dia mirip sama kamu Bi" Nira menunduk. Terdiam sejenak lalu mengangkat wajahnya menatap langit yang mulai mendung
"Cara bicaranya, bahasa tubuhnya, cara menanggapi sikapku, cara memahamiku, semuanya sama" ucap Nira.
"Jangan diceritakan kalo memang itu pahit" aku mencoba sok bijak padahal penasaran dengan laki-laki yang membuat Nira menahan air mata saat mengingatnya.
"Dia baik banget Bi, tapi juga brengsek" Nira hendak melanjutkan ceritanya, tapi dia terdiam kembali. Menarik nafas dan sekilas terlihat raut kesedihan bercampur dengan kebencian di wajahnya. Entah masa lalu apa yang telah terjadi. Antara penasaran dan ketidakrelaan bercampur aduk dalam pikiranku. Ingin kukorek lagi namun setetes air terjatuh dari matanya, membuatku diam. Membiarkannya meluapkan kesedihan adalah salah satu cara memahami seorang wanita. Aku bisa saja berlagak gentle dengan menghapus air matanya, lalu merangkulnya, merebahkan kepalanya dipundakku dan membiarkannya menumpahkan segala kesedihan itu dalam tangis haru biru seperti di film-film drama korea. Toh taman ini sangat sepi. Tak ada orang selain kami berdua.

Tapi aku tak melakukan itu, bukan karena takut. Bukan!! Ketahuilah, langsung merangkul wanita saat dia menangis bukanlah sebuah hal yang tepat. Karena itu justru membuatmu terlihat mencari kesempatan. Biarkan dia menangis sejenak, lalu diamlah tanpa melakukan apapun. Kemudian, pegang tangannya. Tak perlu menatap wajahnya, karena itu justru membuatnya malu. Hal itu akan membuatmu terlihat sedang menghancurkan kepercayaan dirinya. Cukup genggam tangannya, lalu pandanglah lurus ke depan seakan-akan kau menatap masa depan. Dan ucapkan...
"Sudahlah. Itu masa lalu. Tak perlu diungkit. Semua orang pernah sedih, tapi semua orang berhak untuk bahagia. Aku gak perlu tau masa lalumu jika itu membuatmu tak nyaman. Karena aku masuk dalam kehidupanmu untuk mengajakmu tertawa" aku berkata dengan pelan, mencoba menenangkan seorang ustzah nan jelita yang sedang menangis disampingku. Lalu perlahan genggamanku dibalasnya, Nira menggenggam tanganku dengan erat. Dan dia kemudian menyandarkan kepalanya dipundakku. Menangis sejadi-jadinya. Ah,,benar sekali bukan?? Tak perlu menawarkannya pundakmu, cukup yakinkan dia bahwa kau adalah tempat paling nyaman baginya, maka dia akan menyandarkannya sendiri. Tak perlu kau korek masa lalunya, karena jika kau telah menjadi diary baginya, dia akan menuliskan semua ceritanya, aibnya, hingga keluh kesahnya padamu. Begitu pula Nira yang sudah menemukan diarynya.
"Bi, aku cerita yah. Tapi kamu harus janji..." Belum selesai Nira bicara aku langsung memotong ucapannya.
"Ceritakan jika itu tak membuatmu sedih Hun. Aku akan selalu jadi pendengarmu seperti selama ini aku lakukan"


Bersambung....
Suhu bener² kelas kakap nih...bravo
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd