Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kesepianku sebagai Istri

Bimabet
GODAAN

"Ah aku betul-betul masih cantik dan molek tubuh yang disebut gembul. Ilham benar, barangkali kalau aku...."
"Astaghfirullah, bisa-bisanya aku terpintas ingin bercerai dari suami"

"Hati-hati, kirim-kirim foto begini, misalkan ada yang lihat bagaimana? Hapus saja!".

Setelah mengirimkan foto beberapa pose menggoda dengan daster bunga-bungaan berbahan rayon tanpa lengan, suamiku malah marah-marah. Aku kecewa. Sudah susah payah bergaya hingga berdiri menyingkap bagian bawah daster yang nyaris terungkap paha dan selangkanganku yang agak basah, begitu juga kedua buah dada ini yang putingnya telah kumancungkan, hampir meluap tumpah ketika aku copoti kedua tali daster yang melingkar di ketiak.

Penyesalan senantiasa muncul belakangan kalau diingat-ingat pesan suami. Andai saja aku mendengarkan kata-kata Mas Pras saat itu, barangkali Mas Johari tidak akan menyimpan foto-foto sensualku selama tinggal jauh dari suami. Mas Pras pernah berpesan agar aku tidak lagi mengirimkan foto-fotoku yang erotis. Karena berselancar di dunia jaringan, semua serba mungkin. Aku malah meremehkan. Terjadilah ini semua. Bagaimanapun, aku mengirimkan agar Mas Pras terpengaruh, terpancing, ingin dimanja-manja, lalu keluar sifat nakalnya. Kalau saja dia peka, tak akan aku bela-bela mengirimkan potret lekak-lekuk tubuhku yang berpotensi memicu syahwat mata pria untuk melahapnya. Huh. Di samping itu, aku masih heran, bagaimana bisa Mas Johari mendapatkannya, ya? dari ponsel suamiku? jelas. Haduh. Aku bingung jadi harus bagaimana sekarang.

Akibat mengetahui Mas Johari menyimpan foto-foto sensualku, aku menjadi was-was, maka aku jarang berbicara berdua dengannya. Aku menghindari Mas Johari, kecuali saat ia bersama Mba Rini. Sikapku kepadanya berubah canggung. Aku khawatir sesuatu terjadi kepadaku. Aku berpandangan malah Mas Johari adalah ancamannya. Maafkan Aku Mba Rini. Aku tidak tahu bagaimana bilang ke kamu. Sebaliknya Aku ingin melaporkan ke Mas Pras. Akan tetapi pastinya dia akan terkejut, suka tidak suka. Mas Pras akan berbalik mengomeliku karena tidak dengar pesan-pesannya dulu. Kini aku sekadar bisa melamun, berharap Mas Johari dan Mba Rini mengakhiri perjalanan dan kembali ke kampung, agar hidupku normal lagi.

Pilihan terbaik yang mendesak bisa dilakukan sekarang adalah Aku terpaksa balik ke kandang. Balik ke situasi di mana mengurung diri dalam kesepian di kamar adalah sesuatu yang terbaik, kendati perlahan mengerikan, menghabiskan banyak waktu untuk sendiri menonton televisi, membereskan kamar, dan bermain ponsel. Mengapa masa kelam dan tertekan ini harus balik lagi, ya Tuhan? Aku pusing. Apakah dunia luar sudah takdirnya berbahaya bagi aku?

"Aku butuh pelindung. Mas pras, tolong temani aku di sini....", ujarku memeluk bantal sembari mengirimkan chat ke suami. Aku menitikkan air mata. Air mata kerinduan yang mengalir deras ketika melihat wajah mungil anakku yang tumbuh besar kurang belaian dan kasih sayang ibunya. Andai ayahnya mau mengerti.

Sikap Mas Johari semenjak aku menghindari berduaan dengannya tidak ada yang aneh. Dia belum sadar kalau aku telah mengetahui apa yang dia sembunyikan. Daripada dihantui kecemasan berlanjut, aku berupaya menelepon Mas Pras, syukurlah kali ini dia menjawab teleponku.

"Kamu tuh sudah kubilang, Maayaaaa.... Hati-hati...."

"Iya Mas, aku minta maaf, maafin aku Mas, aku menyesal banget..."

"Permintaan maafnya, mudah. Penyelesaian dengan Johari ini kita enggak tahu bagaimana membereskannya"

"Mas tinggal ngomong aja, ditelepon Mas Joharinya"

"Enggak segampang itu, Johari dan Rini kan kerabat kita. Jika Johari menyimpan foto itu sebabnya karena tertarik dengan kamu, bagaimana?"
"Masalah ini bisa merembet ke mana-mana"
"Bisa rusak hubungan keluarga"

"Terus aku harus bagaimana dong?"

"Sekarang hapus dulu semua foto aneh-aneh di hape kamu"

"Sudah, Mass, sudah..."
"Aku curiga dia ambilnya dari hape kamu"

"Iya, sepertinya, dia sering pinjam hapeku, aku lupa kalau kamu setelah mengirim foto tidak langsung menghapus sekaligus"

"Terus kita harus apa?"

"Kamu bersikap seperti biasa saja, nanti aku telepon Johari"

"Beneran begitu aja? Aku tetap cemas"

"Rini sedang sakit, jangan kasih beban pikiran dia"

"Baik, aku tunggu kabar dari kamu"
"Masalah ini, ibu jangan sampai tahu ya..."

"Iya, aku usahakan"

Kalau betul kata Mas Pras, Mas Johari sampai menaruh hati, duh kiamat! Mau ditaruh di mana wajah ibu dan keluarganya. Ah jangan-jangan betul sebab Mas Johari lebih sering mampir ke rumah daripada Mba Rini kalau aku sedang di kampung. Manalagi aku pernah menyusui anakku di hadapannya. Apakah saat itu ia sudah memendam syahwat. Ditambah ketika ia berkunjung hanya ditemani ibuku, aku sudah biasa saja dasteran mengemong anak di depannya.

"Pras pantes seger bener wajahnya semalam aku temui"
"Lama enggak dikasih jatah sih dia, ya? hahahaha"

"Langsung tubruk", sahut Ibu menambah gurauan.

"Kalau di kampung saja gregetannya, aku di Jakarta enggak pernah disusul"

"Malah keburu disusul yang lain"

"Sudah ibu bilang, kamu saja yang mengalah"

"Iya Bu, sedang aku usahakan. Namun seenggaknya, selagi aku usaha, Mas Pras ada ke Jakarta untuk mengunjungiku. Bukan melulu aku yang pulang"

"Aji, aji, mau ikut mamanya ke Jakarta, gak?", tanya Mas Johari kepada anakku saat bertamu ke rumahku bersama ibu di kampung.

Ketika aku pangku, anakku menarik-narik tali dasterku. Padahal, usianya sudah tidak pantas menyusu lagi.

"Jangan dong, jangan ditarik-tarik baju mamanya nanti copot, sini sama nenek, Ajiii...", rayu ibu membujuk cucunya yang masih ingin menyusu.

"Enggak mau kalah dengan bapaknya ya? Masih mau nenen sama mamahnya ya?", ujar Mas Johari bercanda diiringi tawa. Aku ketika itu memaklumi. Namun, kalau situasinya seperti sekarang. Jangan-jangan... Aku berharap Mas Pras segera memberi kabar. Kalut diriku di dalam kamar.

"Kalau aku ajak Ajii ke Jakarta bagaimana?"

"Boleh banget Mas, apalagi Mas paling bisa bujuk Mas Pras. Kalau belum bisa bujuk dia, bawa anakku jalan-jalan ke sini saja. Ada kerabat yang bisa nemenin juga gak apa-apa"

"Oke, aku coba ya"

"Terima kasih ya Mas"

"Santai saja, demi Aji bisa nenen lagi sama mamanya"
"Hehehe"

"Ih Mas Johari, anakku sudah enggak nenen lagi"

Di sisi lain, Mas Johari telah berjanji kepadaku akan membawa anakku jalan-jalan ke Jakarta. Aku sangat menantikan hal itu. Kalau menunggu gerak Mas Pras sepertinya hampir tidak mungkin. Ibu tidak berani temani anakku jalan-jalan ke Jakarta. Kerabat yang lain tidak diperkenankan oleh suamiku. Satu-satunya jalan ya dengan Mas Johari, meski sekarang dia telah berulah. Pada dasarnya Aku tetap harus menjaga hubungan baik dengan dia agar anakku bisa ke sini.

Malam harinya Mba Rini mengajak aku makan malam bersama di luar. Namun, karena aku sudah duluan membeli makan malam lewat ojek online. Aku tak pergi kemana-mana. Sambil menikmati makan malam seorang, aku video call dengan anakku dan suami. Mas Pras mengatakan ia masih sedang mencari waktu yang tepat bicara dengan Mas Johari. Masalah ini tidak bisa diselesaikan lewat sambungan telepon. Keduanya harus bertatap muka. Mas Pras mengingatkanku kembali. Dia memintaku bersikap normal saja dan merahasiakannya dari Mba Rini, khawatir tersangkut pikiran sepupuku itu.

Walau sedikit kecewa dengan penuturan suami, aku menganggap ada benarnya juga secara pelan mengurai benang kusut masalah Mas Johari. Oleh karena itu, aku tetap bersikap normal dengan Mas Johari di depan Mba Rini. Namun, terkadang saat aku berusaha menghindari berduaan dengan Mas Johari, ada saja momen tak sengaja yang mempertemukan kami.

"Ayo agak dicepetin larinya..."
"Hehe"

"Eh? Hehe", aku sekadar melempar senyum malu karena kecepatan berlariku berhasil disusul Mas Johari. Terlebih, aku sudah berangkat berlari dari tempat kos lebih pagi semata-mata menghindari berbarengan dengan Mas Johari.

"Kamu coba browsing ada bra khusus perempuan yang suka olahraga, May"

"Maksudnya Mas?"

"Iya daripada kamu risih dan ngumpet-ngumpet terus saat berlari"
"Kalau pakai bra biasa, ya yang terjadi payudara kamu kelihatan goyang"

"Hehehe begitu ya?", aku tertawa kecil. Mas Johari mengimbangi kecepatan berlariku.

"Iya, risih banget kan, kalau ada yang lihat"

"Bener banget Mas"

"Berhenti sebentar"

"Iya? Ada apa?", tanyaku heran.

"Posisi badanmu saat berlari juga salah"
"Coba lebih tegap kepala dan badanmu"

"Begini?"

"Sedikit lagi..."

"Begini?", Mas Johari bisa saja memanfaatkan keadaan. Aku hanya bisa menuruti dan mengiyakan karena dia memiliki jam terbang yang lebih tinggi daripada aku untuk olahraga ini. Sambil membetulkan posisi badanku. Ia sempat menyentuh pinggang, bokong, dan perutku dengan embel-embel kata "MAAF". Pundakku yang dibuka melebar. Kepalaku ditegapkan sembari memegang leher.

"Nah ini baru bener. Tapi ya emang kamu harus tetap beli bra khusus olahraga juga"
"Hehehe", ujar Mas Johari posisi pundakku yang dibuka melebar membuat sepasang gunung kembarku lebih menantang. Ia mengamati bagian dadaku.

"Iya betul sih, kalau berlari seperti ini, akunya yang belum nyaman dan terbiasa, yang lainnya enak dapat pemandangan gratisan"

"Supaya buah dada kamu tetap kencang juga, tidak kendur"
"Sayang saja, kalau sampai susu itumu kendur"

"Ck...", ucapan Mas Johari membuat mood berlariku jelek, kehilangan semangat. Kepadanya aku terpaksa mengaku lelah dan tidak meneruskan. Kami memutuskan jalan kaki. Padahal, aku sudah mempersilakan Mas Johari melanjutkan larinya tanpa harus merasa tidak enak. Aku yang justru risih kembali berduaan, sedangkan sedang berupaya menghindar dari dia.

"Ayo kita mulai lagi"

"Enggak, mas. Mas Johari aja yang lari duluan. Aku sudah lelah"

"Kok ditinggal sendiri. Gak mungkinlah. Mau Aku gendong?"
"Hehehe"

"Ish ngaco. Keberatan kali mas. Aku gemuk begini"

"Bukan gemuk. Semok badan kamu"

"Badan semok itu yang paling disenengin laki-laki ya Mas?"

"Enggak juga, hanya yang kamu itu bikin laki-laki gemes, pengen meluk, ngangenin"
"Lihat kan Mba Rini? Cuman ya dia udah mulai agak kurusan karena sakit"

"Terus kenapa Mas Pras, kurang perhatian ke aku? Apa karena dia lebih suka yang kurusan dan aku enggak menarik lagi?

"Woh bukan, itu beda kasus. Itu Pras saja yang betah dan sedikit malas di kampung. Pegang hape muluk, tetapi ya main game juga setahuku"

"Masih begitu-begitu aja ya?"

"Iya, yang sabar dan kuat ya, Maya"
"Aku dan Mba Rini akan terus bujuk dia"
"Kamu tetep fokus kerja

Beberapa topik kami bicarakan, terutama kondisi kesehatan Mba Rini. Akhir bulan ini mereka akan pulang ke kampung. Sesuatu yang sedang kutunggu-tunggu walau itu berarti aku akan kehilangan kerabat yang biasa menemaniku mengobrol. Siap tidak siap. Perjalanan kami pun tidak berujung sarapan, aku memilih buru-buru kembali ke tempat kos.

ALHAMDULILLAH

Kabar bahagia kepulangan Mas Johari dan Mba Rini sedikit menenangkan. Namun, seminggu terakhir jelang kepulangan mereka. Mba Rini menaruh curahan hati kepadaku di kamarnya ketika Mas Johari sedang berada di luar rumah. Ia mengatakan kalau memang suamiku sudah tidak bisa dibujuk lagi, alangkah lebih baik aku yang mengalah. Aku harus cari upaya mutasi ke kantor yang daerahnya dekat dengan tempat tinggalku. Kepadanya aku bilang, masalahku dengan suami bukan sebatas itu saja, melainkan perhatian yang nyaris jarang dia beri. Bagaimanapun sebagai perempuan dan istri aku perlu perhatian dari suami. Kami bercerita sambil rencana gantian memijat badan. Aku giliran pertama. Aku lepas baju tanpa lepas bra, maka Mba Rini lantas tertegun menatap tubuku.

"Badan kamu masih bagus"

"Ah badanku melar, lemak bertumpuk, badan emak-emak, banyak beban hidup", kataku memegang perut.

"Tandanya kamu sehat dan makmur"

"Enggak seperti waktu SMA, masih langsing dan belum ada beban"

"Para lelaki biasanya lebih seneng yang model kamu ini"
"Bersyukur harusnya kamu"

"Enggak ada senengnya, kalau bukan suami yang ngedeket. Lalat malah yang datang"

"Lalat mana yang datang? Kamu di sini tidak ada keluarga.

"Lalat yang aku maksud yang matanya jelalatan, Mba"
"Haha", aku bergurau.

"Kirain aku, betulan Lalat"
"Sudah, jangan dibahas lagi, tengkurap sini", sebelum tengkurap, aku mencopot bra dan meletakkannya di atas baju yang kutanggal.

Kemudian sambil dipijat, Mba Rini lanjut cerita bahwa Mas Johari sangat perhatian kepadanya hingga rela mengambil cuti dan pergi menemaninya terapi di Jakarta. Ia bangga dengan suaminya. Ah aku tidak perlu merasa iri. Kalau aku mau aku bisa merusak jalan cerita Mba Rini karena Mas Johari menyimpan foto-foto sensualku. Namun, aku menjaga perasaan dia. Mba Rini percaya dengan suaminya karena seumur-umur memang tidak ada tanda-tanda Mas Johari berpaling atau memiliki wanita idaman lain.

Jika sebelumnya aku yang lebih banyak cerita, sebaliknya giliran Mba Rini yang meluapkan isi hatinya. Ia mengatakan sakit yang dideritanya jadi menyusahkan Mas Johari kendati Mas Johari memaklumi. Mba Rini mencemaskan karena penyakitnya pekerjaan Mas Johari menjadi terganggu. Aku coba menetralkan perasaan Mba Rini. Perbincangan pun aku alihkan ke hal-hal yang menyenangkan bukan yang sedih agar emosi Mba Rini stabil.

Memijatnya tak lebih dari 1 jam. Namun pembicaraan kami tak mengenal waktu hingga Mas Johari yang habis kelayapan dari luar masuk ke dalam begitu saja, lupa mengetuk. Aku yang masih telanjang dada spontan kaget buru-buru mengambil bantal untuk menutupi tubuh karena jarak baju dan bra sulit dijangkau.

"Kamu ketuk pintu dulu, sudah tahu Maya lagi enggak pakai baju"

"Maaf, aku kira cuman ada kamu di dalam"

"Bagaimana? Sudah jalan-jalan cari bukunya?"

"Sudah, lumayan untuk bekal bahan ajar tambahan"

"Kamu habis pijat Maya?"

"Iya, sebetulnya aku giliran dapat juga,
"Lebih asyik ngobrolnya ya enggak dapat giliran"

"Kamu sama aku aja nanti hehehe", ucap Mas Johari ke Mba Rini sesekali memandangiku yang masih menutupi bagian dada dengan bantal. Kemudian Ia pamit keluar. Kesempatan itu aku gunakan untuk segera memakai pakaian kembali lalu masuk ke kamar. Lama kelamaan aku merasa main kucing-kucingan dengan Mas Johari. Benar-benar tidak bisa bersikap normal.

Puncaknya, menjelang kepulangan ke Yogyakarta, Mba Rini mengajakku makan malam sambil berbelanja di Mall. Aku bilang ke Mba Rini bahwa aku langsung dari kantor menuju Mall tempat kita bertemu. Yang terjadi adalah Mas Johari datang seorang. Kata Mas Johari Mba Rini menitip belanjaan dan cemilan saja kepada Mas Johari. Efek obat terapi membuat ia mengantuk. Dengan kerelaan sedikit terpaksa aku keliling dengan Mas Johari.

"Ini Maya, yang aku maksud ke kamu"

"Apa Mas?"

"Bra khusus olahraga"

"Mahal, Mas, online bisa lebih murah lagi"

"Yang ini original, bahannya bagus bukan katun yang kalau basah bikin lembab"

"Aku enggak punya uang untuk bra semahal itu"

"Aku saja yang belikan"

"Eitsss, Mas Johari, jangaaaaan!"

"Sudah, anggap ini supaya kamu rutin olahraganya, tidak malu-malu"

"Duh Mas ngerepotin banget"

"Enggak seberapa ini. Aku juga jarang ke Jakarta"
"Berapa ukuranmu yang pas? bilang ke Mbaknya"

Ketika sedang mencari-cari pakaian untuk Mba Rini, Mas Johari berhenti sejenak di sebuah outlet olahraga. Ia membelikanku bra olahraga berwarna abu-abu. Aku terpaksa menerima karena dia mendesak terus. Ketika aku berbicara dengan salesnya ia mendengarkan, termasuk mengetahui berapa ukuran lingkar payudaraku. Untung saja dia tidak meminta aku mencobanya lebih dahulu terus menunjukkan kepada dia bagus atau tidak. Terlepas dari sikap yang berlebihan itu, aku tetap berterima kasih kepada Mas Johari.

"Mas, jangan colek-colek. Maksudnya apa?!"

"Gemes sama lengan kamu"

"Jangan macem-macem!"

"Jangan marah dulu, aku bisa jelaskan nanti..."

"Ya tapi jangan pegang-pegang..."

Ketika berjalan menuju tempat makan, Mas Johari tiba-tiba mencolek lenganku. Ia juga sempat berupaya merangkul pinggangku. Namun, aku bisa mengelak. Aku lekas kehilangan kepercayaan kepadanya. Kalau aku mau, bisa aku adukan ke Mba Rini pulangnya nanti. Akan tetapi, aku perlu dengar alasannya dulu. Yang jelas aku tidak yakin alasan yang diberikan Mas Johari bisa kuterima dengan akal sehat. Ketika tiba di tempat makan malam, kami bicara menu yang dijual. Barulah ia mengemukakan alasan atas perbuatan yang tidak menyenangkan yang dilakukannya kepadaku.

"Kalau kita selingkuh, kamu berminat?"

"Ngaco!"

"Diem-diem saja, May. Aku bisa bantu kamu bawa Aji ke sisi kamu"
"Kita tidak perlu saling rusak rumah tangga"

"Mas seharusnya fokus ke kesehatan Mba Rini"

"Aku fokus kepada kesehatannya, tetapi apa dia memikirkan perihal kebutuhanku yang lain? Tidak. Aku perlu menagihnya kepada dia? Ya tidak mungkin"

"Kebutuhan apa yang mas maksud sih?"

"Kebutuhan yang kamu jarang dapatkan dari Pras"

"Astaghfirullah Mas. Bagaimana kamu bisa-bisanya sempat memikirkan hal begitu?"

"Aku tetap laki-laki biasa, May. Laki-laki normal. Laki-laki tulen"

"Mas itu punya Mba Rini yang sayang dengan Mas!"

"Iya aku tahu, sayang itu bukan sekadar perhatian saja. Ada hal-hal lain yang memang suami perlu dapatkan dari istrinya sebagi bentu sayangy tetapi tidak bisa"
"Aku rasa kamu yang bisa"

"Tidak mungkin, mas. Tidak mungkin!"

"Kamu belum mencoba"

"Tidak akan mau!"

"Aku tidak akan paksa kamu menjawab hari ini, masih banyak waktu. Selagi kamu sudah ada jawabannya, hubungi aku"
"Jangan jawab sekarang"

Makan malam dengan Mas Johari berubah bisu. Setiap ia bertanya aku jawab ala kadarnya. Menjelang kepulangan, kesan bahagia terhadap suami sepupuku ini luput seketika. Mba Rini yang tak bersalah ikut kena dampak diamku ketika mengantarkan kepulangannya di stasiun. Ia menanyakan kepadaku mengapa aku berbeda sekali. Aku bilang sedang banyak pekerjaan. Beban pikiranku kian bertambah ketika Mas Johari membisikkan sesuatu sebelum menyusul istrinya yang telah berjalan ke arah pemeriksaan tiket kereta api.

"Aku tunggu jawaban kamu, Maya. Aku bisa memberi lebih dari suamimu".



Sampai ketemu di bagian berikutnya. Terima kasih banyak bagi yang sudah singgah membaca.
 
Terakhir diubah:
GODAAN

"Ah aku betul-betul masih cantik dan molek tubuh yang disebut gembul. Ilham benar, barangkali kalau aku...."
"Astaghfirullah, bisa-bisanya aku terpintas ingin bercerai dari suami"

"Hati-hati, kirim-kirim foto begini, misalkan ada yang lihat bagaimana? Hapus saja!".

Setelah mengirimkan foto beberapa pose menggoda dengan daster bunga-bungaan berbahan rayon tanpa lengan, suamiku malah marah-marah. Aku kecewa. Sudah susah payah bergaya hingga berdiri menyingkap bagian bawah daster yang nyaris terungkap paha dan selangkanganku yang agak basah, begitu juga kedua buah dada ini yang putingnya telah kumancungkan, hampir meluap tumpah ketika aku copoti kedua tali daster yang melingkar di ketiak.

Penyesalan senantiasa muncul belakangan kalau diingat-ingat pesan suami. Andai saja aku mendengarkan kata-kata Mas Pras saat itu, barangkali Mas Johari tidak akan menyimpan foto-foto sensualku selama tinggal jauh dari suami. Mas Pras pernah berpesan agar aku tidak lagi mengirimkan foto-fotoku yang erotis. Karena berselancar di dunia jaringan, semua serba mungkin. Aku malah meremehkan. Terjadilah ini semua. Bagaimanapun, aku mengirimkan agar Mas Pras terpengaruh, terpancing, ingin dimanja-manja, lalu keluar sifat nakalnya. Kalau saja dia peka, tak akan aku bela-bela mengirimkan potret lekak-lekuk tubuhku yang berpotensi memicu syahwat mata pria untuk melahapnya. Huh. Di samping itu, aku masih heran, bagaimana bisa Mas Johari mendapatkannya, ya? dari ponsel suamiku? jelas. Haduh. Aku bingung jadi harus bagaimana sekarang.

Akibat mengetahui Mas Johari menyimpan foto-foto sensualku, aku menjadi was-was, maka aku jarang berbicara berdua dengannya. Aku menghindari Mas Johari, kecuali saat ia bersama Mba Rini. Sikapku kepadanya berubah canggung. Aku khawatir sesuatu terjadi kepadaku. Aku berpandangan malah Mas Johari adalah ancamannya. Maafkan Aku Mba Rini. Aku tidak tahu bagaimana bilang ke kamu. Sebaliknya Aku ingin melaporkan ke Mas Pras. Akan tetapi pastinya dia akan terkejut, suka tidak suka. Mas Pras akan berbalik mengomeliku karena tidak dengar pesan-pesannya dulu. Kini aku sekadar bisa melamun, berharap Mas Johari dan Mba Rini mengakhiri perjalanan dan kembali ke kampung, agar hidupku normal lagi.

Pilihan terbaik yang mendesak bisa dilakukan sekarang adalah Aku terpaksa balik ke kandang. Balik ke situasi di mana mengurung diri dalam kesepian di kamar adalah sesuatu yang terbaik, kendati perlahan mengerikan, menghabiskan banyak waktu untuk sendiri menonton televisi, membereskan kamar, dan bermain ponsel. Mengapa masa kelam dan tertekan ini harus balik lagi, ya Tuhan? Aku pusing. Apakah dunia luar sudah takdirnya berbahaya bagi aku?

"Aku butuh pelindung. Mas pras, tolong temani aku di sini....", ujarku memeluk bantal sembari mengirimkan chat ke suami. Aku menitikkan air mata. Air mata kerinduan yang mengalir deras ketika melihat wajah mungil anakku yang tumbuh besar kurang belaian dan kasih sayang ibunya. Andai ayahnya mau mengerti.

Sikap Mas Johari semenjak aku menghindari berduaan dengannya tidak ada yang aneh. Dia belum sadar kalau aku telah mengetahui apa yang dia sembunyikan. Daripada dihantui kecemasan berlanjut, aku berupaya menelepon Mas Pras, syukurlah kali ini dia menjawab teleponku.

"Kamu tuh sudah kubilang, Maayaaaa.... Hati-hati...."

"Iya Mas, aku minta maaf, maafin aku Mas, aku menyesal banget..."

"Permintaan maafnya, mudah. Penyelesaian dengan Johari ini kita enggak tahu bagaimana membereskannya"

"Mas tinggal ngomong aja, ditelepon Mas Joharinya"

"Enggak segampang itu, Johari dan Rini kan kerabat kita. Jika Johari menyimpan foto itu sebabnya karena tertarik dengan kamu, bagaimana?"
"Masalah ini bisa merembet ke mana-mana"
"Bisa rusak hubungan keluarga"

"Terus aku harus bagaimana dong?"

"Sekarang hapus dulu semua foto aneh-aneh di hape kamu"

"Sudah, Mass, sudah..."
"Aku curiga dia ambilnya dari hape kamu"

"Iya, sepertinya, dia sering pinjam hapeku, aku lupa kalau kamu setelah mengirim foto tidak langsung menghapus sekaligus"

"Terus kita harus apa?"

"Kamu bersikap seperti biasa saja, nanti aku telepon Johari"

"Beneran begitu aja? Aku tetap cemas"

"Rini sedang sakit, jangan kasih beban pikiran dia"

"Baik, aku tunggu kabar dari kamu"
"Masalah ini, ibu jangan sampai tahu ya..."

"Iya, aku usahakan"

Kalau betul kata Mas Pras, Mas Johari sampai menaruh hati, duh kiamat! Mau ditaruh di mana wajah ibu dan keluarganya. Ah jangan-jangan betul sebab Mas Johari lebih sering mampir ke rumah daripada Mba Rini kalau aku sedang di kampung. Manalagi aku pernah menyusui anakku di hadapannya. Apakah saat itu ia sudah memendam syahwat. Ditambah ketika ia berkunjung hanya ditemani ibuku, aku sudah biasa saja dasteran mengemong anak di depannya.

"Pras pantes seger bener wajahnya semalam aku temui"
"Lama enggak dikasih jatah sih dia, ya? hahahaha"

"Langsung tubruk", sahut Ibu menambah gurauan.

"Kalau di kampung saja gregetannya, aku di Jakarta enggak pernah disusul"

"Malah keburu disusul yang lain"

"Sudah ibu bilang, kamu saja yang mengalah"

"Iya Bu, sedang aku usahakan. Namun seenggaknya, selagi aku usaha, Mas Pras ada ke Jakarta untuk mengunjungiku. Bukan melulu aku yang pulang"

"Aji, aji, mau ikut mamanya ke Jakarta, gak?", tanya Mas Johari kepada anakku saat bertamu ke rumahku bersama ibu di kampung.

Ketika aku dipangku, anakku menarik-narik tali dasterku. Padahal, usianya sudah tidak pantas menyusu lagi.

"Jangan dong, jangan ditarik-tarik baju mamanya nanti copot, sini sama nenek, Ajiii...", rayu ibu membujuk cucunya yang masih ingin menyusu.

"Enggak mau kalah dengan bapaknya ya? Masih mau nenen sama mamahnya ya?", ujar Mas Johari bercanda diiringi tawa. Aku ketika itu memaklumi. Namun, kalau situasinya seperti sekarang. Jangan-jangan... Aku berharap Mas Pras segera memberi kabar. Kalut diriku di dalam kamar.

"Kalau aku ajak Ajii ke Jakarta bagaimana?"

"Boleh banget Mas, apalagi Mas paling bisa bujuk Mas Pras. Kalau belum bisa bujuk dia, bawa anakku jalan-jalan ke sini saja. Ada kerabat yang bisa nemenin juga gak apa-apa"

"Oke, aku coba ya"

"Terima kasih ya Mas"

"Santai saja, demi Aji bisa nenen lagi sama mamanya"
"Hehehe"

"Ih Mas Johari, anakku sudah enggak nenen lagi"

Di sisi lain, Mas Johari telah berjanji kepadaku akan membawa anakku jalan-jalan ke Jakarta. Aku sangat menantikan hal itu. Kalau menunggu gerak Mas Pras sepertinya hampir tidak mungkin. Ibu tidak berani temani anakku jalan-jalan ke Jakarta. Kerabat yang lain tidak diperkenankan oleh suamiku. Satu-satunya jalan ya dengan Mas Johari, meski sekarang dia telah berulah. Pada dasarnya Aku tetap harus menjaga hubungan baik dengan dia agar anakku bisa ke sini.

Malam harinya Mba Rini mengajak aku makan malam bersama di luar. Namun, karena aku sudah duluan membeli makan malam lewat ojek online. Aku tak pergi kemana-mana. Sambil menikmati makan malam seorang, aku video call dengan anakku dan suami. Mas Pras mengatakan ia masih sedang mencari waktu yang tepat bicara dengan Mas Johari. Masalah ini tidak bisa diselesaikan lewat sambungan telepon. Keduanya harus bertatap muka. Mas Pras mengingatkanku kembali. Dia memintaku bersikap normal saja dan merahasiakannya dari Mba Rini, khawatir tersangkut pikiran sepupuku itu.

Walau sedikit kecewa dengan penuturan suami, aku menganggap ada benarnya juga secara pelan mengurai benang kusut masalah Mas Johari. Oleh karena itu, aku tetap bersikap normal dengan Mas Johari di depan Mba Rini. Namun, terkadang saat aku berusaha menghindari berduaan dengan Mas Johari, ada saja momen tak sengaja yang mempertemukan kami.

"Ayo agak dicepetin larinya..."
"Hehe"

"Eh? Hehe", aku sekadar melempar senyum malu karena kecepatan berlariku berhasil disusul Mas Johari. Terlebih, aku sudah berangkat berlari dari tempat kos lebih pagi semata-mata menghindari berbarengan dengan Mas Johari.

"Kamu coba browsing ada bra khusus perempuan yang suka olahraga, May"

"Maksudnya Mas?"

"Iya daripada kamu risih dan ngumpet-ngumpet terus saat berlari"
"Kalau pakai bra biasa, ya yang terjadi payudara kamu kelihatan goyang"

"Hehehe begitu ya?", aku tertawa kecil. Mas Johari mengimbangi kecepatan berlariku.

"Iya, risih banget kan, kalau ada yang lihat"

"Bener banget Mas"

"Berhenti sebentar"

"Iya? Ada apa?", tanyaku heran.

"Posisi badanmu saat berlari juga salah"
"Coba lebih tegap kepala dan badanmu"

"Begini?"

"Sedikit lagi..."

"Begini?", Mas Johari bisa saja memanfaatkan keadaan. Aku hanya bisa menuruti dan mengiyakan karena dia memiliki jam terbang yang lebih tinggi daripada aku untuk olahraga ini. Sambil membetulkan posisi badanku. Ia sempat menyentuh pinggang, bokong, dan perutku dengan embel-embel kata "MAAF". Pundakku yang dibuka melebar. Kepalaku ditegapkan sembari memegang leher.

"Nah ini baru bener. Tapi ya emang kamu harus tetap beli bra khusus olahraga juga"
"Hehehe", ujar Mas Johari posisi pundakku yang dibuka melebar membuat sepasang gunung kembarku lebih menantang. Ia mengamati bagian dadaku.

"Iya betul sih, kalau berlari seperti ini, akunya yang belum nyaman dan terbiasa, yang lainnya enak dapat pemandangan gratisan"

"Supaya buah dada kamu tetap kencang juga, tidak kendur"
"Sayang saja, kalau sampai susu itumu kendur"

"Ck...", ucapan Mas Johari membuat mood berlariku jelek, kehilangan semangat. Kepadanya aku terpaksa mengaku lelah dan tidak meneruskan. Kami memutuskan jalan kaki. Padahal, aku sudah mempersilakan Mas Johari melanjutkan larinya tanpa harus merasa tidak enak. Aku yang justru risih kembali berduaan, sedangkan sedang berupaya menghindar dari dia.

"Ayo kita mulai lagi"

"Enggak, mas. Mas Johari aja yang lari duluan. Aku sudah lelah"

"Kok ditinggal sendiri. Gak mungkinlah. Mau Aku gendong?"
"Hehehe"

"Ish ngaco. Keberatan kali mas. Aku gemuk begini"

"Bukan gemuk. Semok badan kamu"

"Badan semok itu yang paling disenengin laki-laki ya Mas?"

"Enggak juga, hanya yang kamu itu bikin laki-laki gemes, pengen meluk, ngangenin"
"Lihat kan Mba Rini? Cuman ya dia udah mulai agak kurusan karena sakit"

"Terus kenapa Mas Pras, kurang perhatian ke aku? Apa karena dia lebih suka yang kurusan dan aku enggak menarik lagi?

"Woh bukan, itu beda kasus. Itu Pras saja yang betah dan sedikit malas di kampung. Pegang hape muluk, tetapi ya main game juga setahuku"

"Masih begitu-begitu aja ya?"

"Iya, yang sabar dan kuat ya, Maya"
"Aku dan Mba Rini akan terus bujuk dia"
"Kamu tetep fokus kerja

Beberapa topik kami bicarakan, terutama kondisi kesehatan Mba Rini. Akhir bulan ini mereka akan pulang ke kampung. Sesuatu yang sedang kutunggu-tunggu walau itu berarti aku akan kehilangan kerabat yang biasa menemaniku mengobrol. Siap tidak siap. Perjalanan kami pun tidak berujung sarapan, aku memilih buru-buru kembali ke tempat kos.

ALHAMDULILLAH

Kabar bahagia kepulangan Mas Johari dan Mba Rini sedikit menenangkan. Namun, seminggu terakhir jelang kepulangan mereka. Mba Rini menaruh curahan hati kepadaku di kamarnya ketika Mas Johari Ia mengatakan kalau memang suamiku sudah tidak bisa dibujuk lagi, alangkah lebih baik aku yang mengalah. Aku harus cari upaya mutasi ke kantor yang daerahnya dekat dengan tempat tinggalku. Kepadanya aku bilang, masalahku dengan suami bukan sebatas itu saja, melainkan perhatian yang nyaris jarang dia beri. Bagaimanapun sebagai perempuan dan istri aku perlu perhatian dari suami. Kami bercerita sambil rencana gantian memijat badan. Aku giliran pertama. Aku lepas baju tanpa lepas bra, maka Mba Rini lantas tertegun menatap tubuku.

"Badan kamu masih bagus"

"Ah badanku melar, lemak bertumpuk, badan emak-emak, banyak beban hidup", kataku memegang perut.

"Tandanya kamu sehat dan makmur"

"Enggak seperti waktu SMA, masih langsing dan belum ada beban"

"Para lelaki biasanya lebih seneng yang model kamu ini"
"Bersyukur harusnya kamu"

"Enggak ada senengnya, kalau bukan suami yang ngedeket. Lalat malah yang datang"

"Lalat mana yang datang? Kamu di sini tidak ada keluarga.

"Lalat yang aku maksud yang matanya jelalatan, Mba"
"Haha", aku bergurau.

"Kirain aku, betulan Lalat"
"Sudah, jangan dibahas lagi, tengkurap sini", sebelum tengkurap, aku mencopot bra dan meletakkannya di atas baju yang kutanggal.

Kemudian sambil dipijat, Mba Rini lanjut cerita bahwa Mas Johari sangat perhatian kepadanya hingga rela mengambil cuti dan pergi menemaninya terapi di Jakarta. Ia bangga dengan suaminya. Ah aku tidak perlu merasa iri. Kalau aku mau aku bisa merusak jalan cerita Mba Rini karena Mas Johari menyimpan foto-foto sensualku. Namun, aku menjaga perasaan dia. Mba Rini percaya dengan suaminya karena seumur-umur memang tidak ada tanda-tanda Mas Johari berpaling atau memiliki wanita idaman lain.

Jika sebelumnya aku yang lebih banyak cerita, sebaliknya giliran Mba Rini yang meluapkan isi hatinya. Ia mengatakan sakit yang dideritanya jadi menyusahkan Mas Johari kendati Mas Johari memaklumi. Mba Rini mencemaskan karena penyakitnya pekerjaan Mas Johari menjadi terganggu. Aku coba menetralkan perasaan Mba Rini. Perbincangan pun aku alihkan ke hal-hal yang menyenangkan bukan yang sedih agar emosi Mba Rini stabil.

Memijatnya tak lebih dari 1 jam. Namun pembicaraan kami tak mengenal waktu hingga Mas Johari yang habis kelayapan dari luar masuk ke dalam begitu saja, lupa mengetuk. Aku yang masih telanjang dada spontan kaget buru-buru mengambil bantal untuk menutupi tubuh karena jarak baju dan bra sulit dijangkau.

"Kamu ketuk pintu dulu, sudah tahu Maya lagi enggak pakai baju"

"Maaf, aku kira cuman ada kamu di dalam"

"Bagaimana? Sudah jalan-jalan cari bukunya?"

"Sudah, lumayan untuk bekal bahan ajar tambahan"

"Kamu habis pijat Maya?"

"Iya, sebetulnya aku giliran dapat juga,
"Lebih asyik ngobrolnya ya enggak dapat giliran"

"Kamu sama aku aja nanti hehehe", ucap Mas Johari ke Mba Rini sesekali memandangiku yang masih menutupi bagian dada dengan bantal. Kemudian Ia pamit keluar. Kesempatan itu aku gunakan untuk segera memakai pakaian kembali lalu masuk ke kamar. Lama kelamaan aku merasa main kucing-kucingan dengan Mas Johari. Benar-benar tidak bisa bersikap normal.

Puncaknya, menjelang kepulangan ke Yogyakarta, Mba Rini mengajakku makan malam sambil berbelanja di Mall. Aku bilang ke Mba Rini bahwa aku langsung dari kantor menuju Mall tempat kita bertemu. Yang terjadi adalah Mas Johari datang seorang. Kata Mas Johari Mba Rini menitip belanjaan dan cemilan saja kepada Mas Johari. Efek obat terapi membuat ia mengantuk. Dengan kerelaan sedikit terpaksa aku keliling dengan Mas Johari.

"Ini Maya, yang aku maksud ke kamu"

"Apa Mas?"

"Bra khusus olahraga"

"Mahal, Mas, online bisa lebih murah lagi"

"Yang ini original, bahannya bagus bukan katun yang kalau basah bikin lembab"

"Aku enggak punya uang untuk bra semahal itu"

"Aku saja yang belikan"

"Eitsss, Mas Johari, jangaaaaan!"

"Sudah, anggap ini supaya kamu rutin olahraganya, tidak malu-malu"

"Duh Mas ngerepotin banget"

"Enggak seberapa ini. Aku juga jarang ke Jakarta"
"Berapa ukuranmu yang pas? bilang ke Mbaknya"

Ketika sedang mencari-cari pakaian untuk Mba Rini, Mas Johari berhenti sejenak di sebuah outlet olahraga. Ia membelikanku bra olahraga berwarna abu-abu. Aku terpaksa menerima karena dia mendesak terus. Ketika aku berbicara dengan salesnya ia mendengarkan, termasuk mengetahui berapa ukuran lingkar payudaraku. Untung saja dia tidak meminta aku mencobanya lebih dahulu terus menunjukkan kepada dia bagus atau tidak. Terlepas dari sikap yang berlebihan itu, aku tetap berterima kasih kepada Mas Johari.

"Mas, jangan colek-colek. Maksudnya apa?!"

"Gemes sama lengan kamu"

"Jangan macem-macem!"

"Jangan marah dulu, aku bisa jelaskan nanti..."

"Ya tapi jangan pegang-pegang..."

Ketika berjalan menuju tempat makan, Mas Johari tiba-tiba mencolek lenganku. Ia juga sempat berupaya merangkul pinggangku. Namun, aku bisa mengelak. Aku lekas kehilangan kepercayaan kepadanya. Kalau aku mau, bisa aku adukan ke Mba Rini pulangnya nanti. Akan tetapi, aku perlu dengar alasannya dulu. Yang jelas aku tidak yakin alasan yang diberikan Mas Johari bisa kuterima dengan akal sehat. Ketika tiba di tempat makan malam, kami bicara menu yang dijual. Barulah ia mengemukakan alasan atas perbuatan yang tidak menyenangkan yang dilakukannya kepadaku.

"Kalau kita selingkuh, kamu berminat?"

"Ngaco!"

"Diem-diem saja, May. Aku bisa bantu kamu bawa Aji ke sisi kamu"
"Kita tidak perlu saling rusak rumah tangga"

"Mas seharusnya fokus ke kesehatan Mba Rini"

"Aku fokus kepada kesehatannya, tetapi apa dia memikirkan perihal kebutuhanku yang lain? Tidak. Aku perlu menagihnya kepada dia? Ya tidak mungkin"

"Kebutuhan apa yang mas maksud sih?"

"Kebutuhan yang kamu jarang dapatkan dari Pras"

"Astaghfirullah Mas. Bagaimana kamu bisa-bisanya sempat memikirkan hal begitu?"

"Aku tetap laki-laki biasa, May. Laki-laki normal. Laki-laki tulen"

"Mas itu punya Mba Rini yang sayang dengan Mas!"

"Iya aku tahu, sayang itu bukan sekadar perhatian saja. Ada hal-hal lain yang memang suami perlu dapatkan dari istrinya sebagi bentu sayangy tetapi tidak bisa"
"Aku rasa kamu yang bisa"

"Tidak mungkin, mas. Tidak mungkin!"

"Kamu belum mencoba"

"Tidak akan mau!"

"Aku tidak akan paksa kamu menjawab hari ini, masih banyak waktu. Selagi kamu sudah ada jawabannya, hubungi aku"
"Jangan jawab sekarang"

Makan malam dengan Mas Johari berubah bisu. Setiap ia bertanya aku jawab ala kadarnya. Menjelang kepulangan, kesan bahagia terhadap suami sepupuku ini luput seketika. Mba Rini yang tak bersalah ikut kena dampak diamku ketika mengantarkan kepulangannya di stasiun. Ia menanyakan kepadaku mengapa aku berbeda sekali. Aku bilang sedang banyak pekerjaan. Beban pikiranku kian bertambah ketika Mas Johari membisikkan sesuatu sebelum menyusul istrinya yang telah berjalan ke arah pemeriksaan tiket kereta api.

"Aku tunggu jawaban kamu, Maya. Aku bisa memberi lebih dari suamimu".



Sampai ketemu di bagian berikutnya. Terima kasih banyak bagi yang sudah singgah membaca.
wah mantep plotnya
 
Emang sih ini hanyalah cerita, tapi karakter si Maya kaya plin plan gitu....dia berusaha menghindar dari jauhari tapi di ajak ke mall mau juga wkwkwkwkwwk. aslinya pusing lama ngga ngewe kali ya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd