Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Moga cepet sembuh suhu, effect di vaksin bisa beberapa hari nyeri ama pegel nya
 
Bab V:
You are Loved, by Us






Rea pernah mengaku pada Narto, kapan dia pertama kali bisa melihat hantu. Saat itu, usianya tepat menginjak sembilan belas. Dia pikir, pagi itu akan berjalan seperti biasa. Seperti ulang tahunnya yang sebelum-sebelumnya. Tapi pemandangan pertama yang menyambut Rea di ulang tahun kesembilan belasnya adalah sepasang kaki pucat milik ibunya, yang berayun pelan dan tergantung setengah meter dari permukaan ranjang Rea.

Kemudian, saat prosesi pemakaman, Rea mulai bisa melihat bayangan-bayangan hitam lalu lalang di sekitar area pekuburan. Belum begitu jelas, saat itu. Tapi cukup mengganggu Rea karena bayangan-bayangan itu seperti mengikutinya, kemana pun dia pergi. Lalu, semakin hari, penglihatannya semakin jelas. Bentuk-bentuk asing yang dilihatnya tak lagi berbentuk siluet hitam, tapi sudah mewujud sempurna menjadi makhluk-makhluk transparan. Bentuknya pun macam-macam.

Jangan tanya bagaimana hal itu mempengaruhi psikisnya. Mental Rea sudah hancur-hancuran akibat trauma atas bunuh diri ibunya, lalu kini makhluk-makhluk aneh yang sebelumnya tak bisa dia lihat, mulai berdatangan dan menerornya. Tanpa tahu waktu dan tempat. Mereka tidak perduli apa yang sedang Rea lakukan. Saat mata bertemu mata, di situ mereka tahu bahwa Rea dapat melihat mereka.

Rea yang tadinya ceria, berubah muram dan pendiam. Wajahnya sering menunduk, untuk menghindari pemandangan mengerikan di depannya yang tak bisa orang biasa lihat. Headset selalu terpasang di kedua telinganya, karena bisikan-bisikan mengganggu dari makhluk-makhluk itu dengan mudah bisa membuatnya tertekan. Rea jadi depresi hanya dalam hitungan bulan.

Narto adalah orang yang berjasa bagi Rea, karena berhasil menyelamatkannya dari depresi akibat kemampuan barunya. Narto mengajari Rea banyak hal yang berkaitan dengan kemampuan Rea. Narto pula yang melatih Rea untuk membiasakan diri dengan kemampuan itu, bahkan melatihnya untuk berkomunikasi dengan 'mereka'.

Berkat Narto pula, Rea jadi bisa mengklasifikasikan wujud-wujud aneh yang tadinya tak bisa dia lihat. Secara garis besar, mereka semua adalah hantu, tapi dia mengklasifikasikan makhluk-makhluk tak kasat mata yang mengambil bentuk manusia, sebagai arwah penasaran yang masih bergentayangan karena urusan mereka yang belum selesai. Bentuknya hampir selalu sesuai dengan kondisi terakhir mereka sesaat sebelum mati.

Lalu ada hantu yang mengambil bentuk template berdasarkan buah ketakutan dari pikiran manusia, semisal pocong, kuntilanak dan sundel bolong. Sejatinya, mereka adalah jin yang mengambil wujud tersebut untuk mendulang energi dari ketakutan manusia. Kata Narto, emosi negatif adalah makanan utama makhluk-makhluk tersebut. Ketakutan, adalah salah satunya.

Terakhir, ada makhluk-makhluk yang mengambil bentuk aneh; bisa bentuk hewan dengan ukuran tubuh yang ganjil, atau manusia tapi dengan beberapa keanehan pada bagian tubuhnya, atau bahkan campuran keduanya. Narto menyebut mereka sebagai siluman. Para siluman berasal dari jin yang sedang menuntut ilmu tertentu, beberapa bahkan ada yang berasal dari manusia yang mencari kesaktian dari jin tingkat tinggi.

Tapi ada satu makhluk yang pernah Rea lihat dulu, yang berkeliaran di koridor rumahnya menuju kamar Ratih. Wujudnya tinggi dan besar, sampai-sampai dia berjalan dengan lutut-lututnya yang menekuk, karena jika dia berdiri maka akan menembus plafon koridor. Badannya bungkuk, kulitnya hitam dengan bulu-bulu halus di permukaannya. Rea bisa melihat sepasang tangan panjangnya yang menjuntai ke lantai, dan kuku-kuku mirip gergajinya bergesekan dengan lantai keramik. Rea tidak sempat melihat sisi depan makhluk itu, karena sudah keburu menghilang saat masuk ke kamar Ratih.

Awalnya, Rea menyangka makhluk itu termasuk ke dalam siluman. Tapi aura yang terpancar darinya begitu pekat, hingga menguar di udara dan membuat nuansa jadi kelam. Saat itu, jarak antara Rea dan makhluk itu cukup jauh, tapi kengerian yang dia timbulkan dari keberadaannya mampu sampai ke tempat Rea berada. Saat makhluk itu menghilang, Rea baru sadar kalau sekujur tubuhnya basah akibat keringat dingin.

Tak pernah ada siluman yang punya aura semengerikan itu, pikir Rea. Di benaknya, saat itu, hanya ada satu kata yang muncul.

Iblis.



———


Meruyung – Depok, 2021

Rea jatuh terduduk setelah dikagetkan oleh kepala Ningsih yang menggelinding dan mengenai kakinya. Setengah dari wajah Ningsih berlumuran darah, bercipratan sampai menodai rambut berubannya. Ponselnya terlempar ke samping saat Rea jatuh, lalu cahaya senter dari ponsel tersebut mengarah ke atas. Rea, samar-samar, bisa melihat darah ada di sekitar ruangan. Di tembok, sofa, lantai bahkan plafon. Sebrutal apa peristiwa yang terjadi saat itu, tanya Rea dalam hati.

Kekagetannya berlangsung cukup lama. Rea hanya diam mematung dalam duduknya, berusaha mencerna apa yang terjadi. Dia merunutkan informasi-informasi baru yang tampil acak-acakan di kepala. Kepala Bu Ningsih, Pak Narto yang duduk dengan leher patah, darah, potongan tubuh disana-sini, semua dia susun perlahan di dalam otaknya. Lalu, satu kesimpulan muncul. Pak Narto dan Bu Ningsih telah dibunuh, pikir Rea. Tapi oleh siapa?

Kesimpulan itu justru memicu perubahan emosi yang hadir secara mendadak. Dada Rea sesak oleh emosi sedih yang meluap-luap. Air mata berlinangan pada wajahnya yang tanpa ekspresi. Sampai akhirnya, ekspresi datar itu perlahan berubah ke bentuk lain. Kesedihan. Seiring air mata yang semakin deras mengucur, Rea tak mampu menahan luapan kesedihan karena mendapati dua orang tersayangnya telah dibunuh secara keji.

Rea menangis sejadi-jadinya, di depan mayat kedua paman dan bibinya.

“Ini... kok gini... padahal baru ditinggal sebentar...”

Rea berusaha lari dari fakta yang terjadi. Sekeras apapun dia berpikir bahwa ini hanya mimpi buruk, rasa sakit yang dia terima akibat menjambak rambutnya begitu nyata. Semua ini terlalu berlebihan, bahkan untuk jadi sekedar mimpi buruk.

Lalu Rea teringat akan urgensi yang sedang dia tanggung. Maka, dia cepat-cepat menguasai diri. Menyimpan frustasi untuk diluapkan nanti. Rea pun mengelap air mata di wajahnya dengan menggunakan bagian lengan jaket. Lalu, dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

Rea membulatkan niat. Prioritas utama adalah kembali ke rumah. Dia akan kembali ke sini untuk mengurus jasad paman dan bibinya nanti. Tapi sebelum pergi, Rea melihat ke kepala Ningsih, sekali lagi. Tangannya meraih wajah Ningsih. Lalu dalam satu kali sapuan tangan, mata melotot Ningsih pun memejam. Rea memberikan penghormatan terakhirnya, kepada bibi yang telah merawat dan menganggapnya sebagai anak sendiri selama ini.

“Ibu, Bapak... Rea pasti akan nguburin kalian dengan layak,” ucapnya, pada kepala Ningsih yang tergeletak di lantai.

“Rea, Ibu di sini.”

Suara yang begitu dikenalnya itu spontan membuat Rea memalingkan wajah ke asal suara. Ningsih berdiri di pinggir sofa. Tubuh transparannya hampir membuatnya tersamarkan oleh gelapnya ruangan.

“Ibu... sejak kapan?” tanya Rea, lirih. Ada banyak pertanyaan yang berebut antrian di kepalanya, menunggu untuk terucap. Tapi hanya satu itu yang keluar.

“Lho, dari tadi. Sejak ibu ngegelindingin kepala ibu sendiri buat narik perhatian kamu. Eh, kamunya malah nangis kejer gitu sampe ga ngeh ada ibu.” Ningsih melayang perlahan, mendekati Rea. Tubuh transparannya menembus meja. “Tapi rasanya lucu, ya, Nak. Bisa gelindingin kepala kita sendiri.”

Rea tahu itu adalah upaya Ningsih untuk menghiburnya, tapi candaan gelap seperti itu malah terasa semakin mengiris perasaannya.

“Rea, dengerin Ibu baik-baik. Waktu Ibu ga banyak. Ibu sudah pakai sebagian besar energi Ibu untuk gerakin kepala Ibu tadi. Dengan energi yang tersisa ini, Ibu mau Rea lakuin sesuatu untuk Ibu.”

Rea kembali menyeka air mata yang keluar dari pelupuk mata. “Bilang aja, Bu. Pasti Rea lakuin.”

“Inget kotak kayu yang selalu Ibu bilang untuk jangan dibuka?”

“Yang isinya cincin-cincin batu akik itu, Bu?”

Ningsih spontan mengayunkan tangannya ke kepala Rea, berusaha menjitaknya. Tapi sayang, upayanya sia-sia karena tangan itu hanya menembus kepala Rea. “Anak bandel, dibilang jangan dibuka, malah dibuka.”

Entah Rea mesti bereaksi apa. Dirinya ingin tertawa karena sikap Ningsih, tapi juga tak mampu menahan kesedihan karena dia tahu, bahwa sebentar lagi, dia akan berpisah dengan bibi yang paling dia sayangi, selamanya.

Rea segera bergegas ke laci tempat kotak kayu itu tersimpan. Tak lama, Rea kembali, bersama dengan kotak kayu di tangan. Ningsih lalu menyuruh Rea untuk membuka kotak kayu tersebut.

“Kamu ga cocok pake cincin-cincin itu. Jadi keliatan kayak bapak-bapak, Rea.”

Rea spontan menengok ke asal suara. Narto tengah berdiri, sambil memandangi jasadnya sendiri yang duduk kaku di kursi. Lalu, Narto berjalan mendekati Rea.

“Pake,” ucap Narto, tegas.

Rea segera memakai kelima cincin bermahkotakan batu mulia itu di kedua jari-jari tangannya. Dua di telunjuk dan jari tengah tangan kiri, sisanya di jari telunjuk, tengah dan manis pada tangan kanan.

Narto menyembunyikan kedua tangannya ke belakang, lalu agak membungkuk ke Rea. Tidak, tepatnya ke cincin-cincin di tangannya. “Tolong bantu saya untuk yang terakhir kali, Mbah-Mbahku. Keponakan saya amat sangat butuh pertolongan Mbah sekalian,” ucapnya, dengan intonasi penuh hormat.

Tiba-tiba, seekor harimau putih muncul entah dari mana, menghampiri Rea. Kehadirannya seketika membuat Rea merasa tertekan oleh aura hebat yang terpancar darinya. Harimau itu tampak memakai ornamen-ornamen emas macam kalung dan pelindung lengan di leher dan sekujur tubuhnya. Harimau itu menatap tajam dan dalam ke Narto, lalu menggeram kecil. Sekali lagi, Narto membungkuk hormat, disusul Ningsih sedetik kemudian.

“Rea, harimau tadi namanya Mbah Bramasta, salah satu penunggu di cincin yang kamu pake. Beliau pemimpin pasukan jin yang akan kamu bawa. Kamu butuh kekuatan beliau dan yang lain untuk melawan iblis yang telah membunuh kami. Kemungkinan, iblis itu sedang ke rumah kamu. Ayo, berangkat sekarang. Yang lain sudah ada di luar, nunggu kamu,” ucap Narto, lirih.

“Habis ini, kita ga akan ketemu lagi, Nak. Ibu akan kangen banget sama kamu,” tambah Ningsih. Kesedihan tampak jelas dari raut wajah tuanya.

“Bapak, Ibu, Rea minta maaf.”

Narto dan Ningsih saling berpandangan. Mereka bingung, atas alasan keponakannya minta maaf ke mereka.

“Rea tahu, Bapak sama Ibu jadi begini gara-gara Rea. Mungkin alasannya belum jelas Rea tahu, tapi firasat Rea bilang gitu. Rea bisa ngerti kalau Bapak sama Ibu benci sama Rea sekarang. Rea terima,” lanjutnya, lirih.

Narto dan Ningsih kembali berpandangan. Lalu, mereka berdua tersenyum bersamaan.

“Bapak yang minta maaf, Re. Bapak sempat kalut di ujung ajal tadi, sempat punya pikiran nyesel sudah angkat kamu jadi anak kami. Tapi pas tadi Bapak lihat kamu nangisin Bapak dan Ibu, Bapak sadar kalau... Bapak ga perlu nyesel.”

“Kami ga pernah sebegitunya disayang, Rea. Ibu beruntung banget bisa hidup bareng kamu. Bisa disayang sama anak sebaik kamu.”

Ningsih mendekati Rea, lalu memeluknya. Disusul Narto yang melakukan hal yang sama. Pelukan mereka, kini terasa oleh Rea. Narto dan Ningsih menggunakan energi terakhir mereka untuk bisa memeluk Rea, dengan pelukan paling hangat yang pernah mereka berikan, seumur hidup mereka. Rea tak bisa menahan air mata yang kembali tumpah.

“Rea, dengerin Ibu. Bapak dan Ibu ga marah. Sama sekali. Karena meskipun kamu bukan darah daging kami...”

Tubuh transparan milik Narto dan Ningsih memudar dengan cepat hingga Rea tak bisa mengantisipasinya. Mereka hilang seutuhnya, hanya suara lirih Ningsih yang masih terdengar di telinga Rea. Meresap hingga ke hatinya.

“...kamu tetap kebanggaan kami.”

Rea menyeka air matanya lagi. Pemuda itu pun menarik napas panjang, lalu membulatkan tekad. Dia bersumpah, akan membuat kedua orang yang disayanginya itu bangga. Kali ini, sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya.

Rea keluar rumah, lalu menutup pintu. Dia pun terpaku pada ruangan kosong di depan rumah pamannya itu. Karena di mata Rea, ruangan kosong itu sekarang penuh dengan makhluk-makhluk halus dengan berbagai wujud, melayang di udara, dalam jumlah ratusan.

Mbah Bramasta muncul dari udara kosong. Kaki-kakinya menjejak di rerumputan halaman rumah. Di belakangnya tampak seekor ular raksasa yang memakai mahkota emas, makhluk berbadan manusia perempuan dan berkaki kambing, seekor beruang hitam dengan duri-duri panjang di punggungnya, dan makhluk berwujud manusia normal—laki-laki, tapi mempunyai sepasang tanduk panjang yang mencuat ke atas di kepalanya, serta membawa tongkat kayu. Di belakang mereka, makhluk-makhluk halus yang Rea lihat tadi sedang melayang di udara, kini menjejak tanah. Mereka berbaris dengan rapi.

“Dari terawanganku, yang sedang mengamuk di rumahmu adalah ibumu sendiri, Ratih. Dia menyerap terlalu banyak energi negatif, sehingga bisa mewujud secara fisik ke dimensi manusia. Kamu harus cepat, keluargamu dalam bahaya. Biar iblis yang bekerja sama dengan Ratih kami yang hadapi,” tutur Mbah Bramasta.

Rea buru-buru menuju ke motornya, tapi segera dicegah oleh Mbah Bramasta. “Biar kubantu. Kendaraan manusia masih terlalu lambat. Bocah, tutup matamu,” perintahnya.

Rea menuruti perintah Mbah Bramasta. Lalu, harimau putih itu menyuruh Rea membuka kembali matanya. Rea langsung terngaga, karena mendapati saat ini dia berada di jalan utama komplek perumahannya. Dia merinding seketika karena baru saja mengalami fenomena teleportasi, yang dia kira selama ini hanya cerita yang dibuat-buat saja.

Rea menengok ke Mbah Bramasta, yang berada di sampingnya. Dia menyimpan kagum dalam hati, pada sosok siluman harimau putih yang berasosiasi dengan pamannya itu.

Tapi suasana komplek perumahannya sekarang begitu mencekam. Keadaan sekitarnya gelap gulita karena mati lampu serentak. Jalan utama yang biasanya dilewati kendaraan pun, kini tampak lengang. Hanya cahaya dari bulan purnama yang membekali penglihatan Rea saat ini.

Meski hanya remang-remang, Rea melihat ada sosok tinggi besar yang sedang berdiri di tengah jalan, berlawanan dengan dirinya berdiri sekarang. Samar-samar, Rea bisa melihat wajah bayi dari sosok itu. Sesosok wajah bayi yang menyeringai jahat, dengan sebuah mata merah menyala di dahinya. Rea bisa merasakan ada aura jahat yang begitu pekat dari sosok itu. Hal yang sama, dirasakan Mbah Bramasta berikut pasukannya.

Mbah Bramasta memutar tubuhnya ke belakang, ke arah pasukannya. “Kalian sudah puas hidup cukup lama, benar?” lalu, dia kembali menghadap depan. Sorot matanya begitu tajam menatap sosok tersebut. Dia menggeram marah.

“Ini yang terburuk dari yang terburuk. Kita berhadapan dengan Akoman¹,” ucapnya, lantang.



———


Pondok Indah – Jakarta Selatan, 2021

Sesosok pemuda berambut hitam sebahu berjalan santai menyusuri jalan utama komplek perumahan Pondok Indah. Di sampingnya, hadir seorang anak kecil berambut kuning keemasan, yang berjalan riang menemani sang pemuda. Sepasang mata biru laut milik anak kecil tersebut tampak menyala terang saat terkena pantulan cahaya purnama, terlihat kontras dengan gelapnya suasana sekitar.

“Denne djevelen er virkelig bemerkelsesverdig, ikke sant?”² tanya anak kecil itu, kepada si pemuda.

“En av de verste.”³

“Så skynd deg, ellers mister du den gutten også i denne verdenen!”

Si pemuda, melirik sinis kepada anak kecil di sebelahnya. “Du er så bråkete, for en Einherjar⁵,”⁶ keluhnya.

“Jeg tar det som et kompliment, Morning Star.”⁷

Tiba-tiba, pemuda itu menghentikan langkahnya. Pandangannya menerawang ke arah yang jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Ada sesuatu yang dirasakannya. Sesuatu yang sanggup membuat bulu-bulu halus di tubuhnya meremang seketika.

Dalam sekejap, semua cahaya lampu yang berada di sekitar mereka, hilang tak berbekas. Kegelapan total serentak menyelimuti sekitar.

“Føler du det også?”⁸ tanyanya kepada si anak kecil. Ada intonasi tegang pada suaranya.

Anak kecil itu mengangguk. Dalam hatinya, tiba-tiba ada keengganan untuk meneruskan langkahnya sekarang. Tapi dia tahu, melangkah mundur hanya akan membuatnya terlihat seperti seorang pengecut, dan itu akan melukai harga dirinya.

“There will be carnage, Einherjar,” ucap pemuda itu lagi.








—Bersambung.



Catatan Kaki:

Akoman, dikenal juga dengan nama Aka Manah, Akem Manah atau Akvan, adalah iblis pertama yang mencoba menggoda dan melukai Zoroaster/Zarathustra (seorang nabi bangsa Iran kuno yang menemukan aliran kepercayaan yang saat ini dikenal sebagai Zoroastrinisme) atas suruhan dari iblis Ahriman. Namanya berasal dari mitologi Zoroastrian, yang memiliki arti 'terbuat dari iblis'. Dalam etimologi modern, Akoman atau Aka Manah berarti pikiran atau niat jahat.¹

“Iblis ini benar-benar luar biasa, bukan?”² (Norwegia)

“Salah satu yang terburuk.”³ (Norwegia)

“Jadi ayo cepat, atau kau akan kehilangan anak itu di dunia ini juga!”⁴ (Norwegia)

Dalam mitologi Nordik, Einherjar adalah orang-orang (terutama prajurit) yang mati di medan perang dan dibawa ke Valhalla oleh para Valkyrie. Di Valhalla, para Einherjar memakan isi perut dari binatang malam bernama Sæhrimnir (yang kembali dihidupkan oleh para dewa Nordik untuk jadi makanan Einherjar lagi), dan oleh para Valkyrie mereka diberi minuman yang disebut mead. Para Einherjar berlatih di Valhalla sebagai persiapan berperang saat Ragnarok.⁵

“Kamu sangat berisik, ya, untuk seorang Einherjar.”⁶ (Norwegia)

“Aku anggap itu sebagai pujian, Bintang Fajar.”⁷ (Norwegia)

“Apa kamu merasakannya juga?”⁸ (Norwegia)


 
Terakhir diubah:
Abis ini, saya mau lanjut rehat dulu, ya. Maafin. Soalnya rasa nyerinya makin parah. Do'ain semoga segera sembuh, biar bisa update lagi.

Buat komen yang belum dibales, maaf ya, saya akan bales satu persatu kalau udah lebih fit badannya. Untuk sementara ini, saya izin rehat dulu.

Terima kasih banyak bagi yang sudah mampir, baca, kasih like dan komen, ya. Apresiasi kalian menyenangkan!

Btw, saya mabok ngedit catatan kakinya...
 
Terakhir diubah:
Abis ini, saya mau lanjut rehat dulu, ya. Maafin. Soalnya rasa nyerinya makin parah. Do'ain semoga segera sembuh, biar bisa update lagi.

Buat komen yang belum dibales, maaf ya, saya akan bales satu persatu kalau udah lebih fit badannya. Untuk sementara ini, saya izin rehat dulu.

Terima kasih banyak bagi yang sudah mampir, baca, kasih like dan komen, ya. Apresiasi kalian menyenangkan!

Btw, saya mabok ngedit catatan kakinya...
smoga lekas sembuh suhu..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd