Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Ahmad Jonathan

Bimabet
PART 5
NAMAKU LARISSA

Namaku Larissa. Sebetulnya kehidupanku adalah model hidup yg diimpikan banyak orang: cantik, pintar, dan berasal dari keluarga yg relatif berada dan tumbuh dengan nilai-nilai islam yg baik.

Hijabku lebar dan selalu menutupi dada dan bagian pantat.

Aku juga tak memungkiri bahwa banyak wanita lain yg iri dan ingin menjadi sepertiku.

Namun itu semua tak seperti yg terlihat. Sebagai seorang aktivis kampus, aku merasa memiliki dua wajah. Semua bermula ketika masa Madrasah Aliyah, aku berkenalan dengan dunia p o r n o g r a f i.

Sejak saat itu, diam-diam di dalam kamar yg sepi, ketika aku hanya sendiri, aku sering meraba daerah kemaluanku sendiri. Pertama hal tersebut kuanggap tabu, namun sekali mencoba, aku jadi ketagihan.

Aku melakukannya lagi, dan lagi, dan lagi. Terus hingga saat ini.

Mulai dari meremas dadaku sendiri, sampai memasukkan jari ke dalam liang menuju peranakanku. Tentu aku masih berhati-hati agar keperawananku terjaga.

Semua kulakukan sambil membayangkan bahwa akulah yg menjadi artis wanita dalam video-video syur yg kutonton diam-diam.

Dosa dan kesalahan ini sudah berulang kali kucoba hentikan, tapi keinginan dan nafsuku terlanjur meninggi.

Banyak pula orang tak tahu, hidupku berubah sejak aku menikah. Lebih tepatnya, dipaksa menikah muda.

Awalnya kupikir menikah adalah jalan keluar dari libido yg tak terbendung. Aku akhirnya punya penyaluran dari hal-hal yg di keluargaku dianggap tabu.

Dari luar, orang melihatku sebagai aktivis kampus lugu dengan hijab yg menutupi semua aurat. Namun di dalam...

Namun di dalam, aku tak lebih dari wanita yg isi kepalanya hanya s e k s semata.

Kehidupan perkuliahanku terganggu. Kini kegiatanku berkutat di dapur dan kasur. Jadwal belajarku sering berantakan. Aku hampir tak punya waktu untuk membaca.

Rohim, nama suamiku.

Profesinya sebagai seorang p o l i s i membuatku yakin dia adalah suami yg tepat. Punya penghasilan, pemahaman agama yg baik, walau wajahnya tak sesuai dengan yg kuidam-idamkan.

Mas Rohim adalah calon suami yg disodorkan Abi karena keluarganya adalah kolega Abi saat mengambil beasiswa S3 di Mesir. Aku melihat sosok Mas Rohim sebetulnya unik.

Ia anti mainstream dengan tak mengikuti jejak orang tuanya yg berasal dari kalangan akademisi.

Malam pertama kami lalui dengan banyak bercerita. Aku sebetulnya sudah berharap agar malam itu menjadi malam yg istimewa. Malam yg indah, ketika darah perawanku menetes ditusuk barang perjaka.

Namun Mas Rohim sepertinya tak siap. Buyar sudah imajinasi liarku...

Ambyar.

Aku berharap merengkuh kenikmatan paripurna khas pasangan yg baru menikah.

Ia memilih untuk mengenalku lebih jauh dengan bercakap-cakap. Memang, masa taaruf kami cukup singkat.

Aku menilainya sebagai lelaki yg kaku. Mungkin karena kami berbeda latar belakang.

Malam kedua, walau persetubuhan terjadi, aku merasa ada yg kurang. Aku tak merasakan getaran apapun.

Selaput dara milikku robek begitu saja. Tak ada kenikmatan, tak ada rasa lelah.

Mas Rohim ternyata tak sekuat bayanganku. Ia lelaki yg tak pandai memberikan aku rangsangan hebat, walau aku begitu menginginkannya di awal permainan kami.

Hal yg cukup memalukan dalam kehidupan berumah tangga ini akhirnya berlanjut ke bulan-bulan awal perkawinan.

Aku menduga, aku terpapar terlalu banyak bahan-bahan vulgar, sehingga harapanku ttg kehidupan s e k s setelah nikah tak sebanding dengan realitanya.

Barang Mas Rohim terlalu loyo dan cepat aus. Ia selalu keluar duluan sebelum aku mulai menikmati persenggamaan.

Tadinya, sebagai seorang istri sholehah yg taat suami, aku menerima ini sebagai ujian sepasang suami-istri.

Namun setelah kurang lebih 6 bulan pernikahan, akhirnya aku bicara juga. Bahwa ada masalah intim yg aku miliki. Bahwa ada hakku sebagai istri yg luput ia tunaikan.

Adalah hakku untuk mendapat kepuasan lahir batin. Aku menyampaikan padanya dengan hati-hati, takut kalau ia tersinggung.

Inilah jeritan hati seorang wanita. Sepatutnya ia mendengarkanku, daripada kutimbun dan jadi penyakit di pikiran.

Tadinya ia kaget dan kecewa. Ia meminta maaf dan berjanji untuk mulai mengonsumsi obat-obatan herbal untuk menambah vitalitasnya.

Aku jadi makin merasa canggung ketika ia malah menyarankanku untuk membeli sebuah 'alat bantu' yg sebetulnya sering kulihat di adegan dewasa.

Ukurannya sengaja kupilih yg tak terlalu besar. Hanya sedikit lebih panjang dan besar dari milik Mas Rohim.

Tak kusangka ia akan sejauh itu. Ditambah, ia membelikanku beberapa CD film dengan konten 21+ untuk kunikmati.

Aku juga jadi sering melirik ke arah ikhwan-ikhwan di kampus. Banyak juga mahasiswa angkatan atas yg ganteng, gagah, tinggi besar, yg kubayangkan dengan paksa berusaha melepas jilbabku dan memompaku habis-habisan.

Dan aku yakin banyak pula ikhwan yg menjadikanku fantasi.

Ah, entahlah... Haruskah aku merasa senang dengan keputusan Mas Rohim? Atau justru merasa bersalah?

Bukankah ini hal yg dilarang agama?

Bukankah ini bentuk khianat cinta, karena aku membayangkan disetubuhi oleh pria lain yg bukan suamiku? Yg lebih perkasa dan tahan lama?

Hatiku campur aduk tak karuan. Di satu sisi aku butuh kepuasan, namun di sisi lain aku punya norma agama yg harus kuikuti. Aku punya Mas Rohim.

Beberapa hari berlalu dengan aku sering menggunakan d i l d o. Tentu semua aku lakukan ketika Mas Rohim sedang tak ada di rumah.

Ia mengizinkanku dengan syarat aib ini tetap berada di dalam rumah petak kami yg sederhana, tak sampai diketahui orang.

Tentu.

Tentu aku ingin dinilai sebagai seorang akhwat sholehah yg taat suami, dengan seabreg prestasi kampus, dan hijab lebar yg menutup setiap lekuk tubuhku.

Istri mana yg ingin orang tahu bahwa suaminya tak punya kuasa di atas ranjang? Tak ada istri yg ingin orang tahu kalau ia mendapat kepuasan berbekal karet berbentuk p e n i s, bukan dari daging asli milik suami.

Pagi ini, setelah aku berbenah di rumah, kembali aku mengelus-elus barang itu. Kugunakan ia seperti hari-hari sebelumnya.

TV kecil kami mulai menampilkan adegan demi adegan terlarang. Aku mulai berfantasi. Ceritanya tentang seorang istri yg dicabuli oleh teman kantor suaminya.

Teman kantornya mengetahui bahwa si istri sering ditinggal dinas ke luar kota oleh suami. Dengan mengetahui jadwal keberangkatan kerja suaminya, si teman kantornya ini akhirnya pura-pura bertandang ke rumah istrinya yg sendirian.

Mereka pun akhirnya melakukannya.

Ugh, badanku mulai panas dingin ketika video menampilkan foreplay aktor lelaki. Kupilin putingku dengan tangan kiri, dengan tangan kananku memainkan k l e n t i t ku sendiri. Setelah puas dengan tangan, aku mengambil mainan itu.

Adegan dilanjutkan dengan kegiatan inti: ketika tanpa sensor p e n i s aktor pria yang besarnya di atas normal mulai menancap keluar masuk v a g i n a aktor wanita yg sempit.

"Ohh... Yess... Please harder... Please don't tell my husband... Goodd... Please... Don't stop... Uuhh..."

Si wanita berteriak antara kesakitan dan keenakan.

Sedang asyiknya beradu dengan alat karet itu, tiba-tiba...

"Assalaamu'alaikum!"

Sebuah salam dengan suara berat mengagetkanku. Segera kupelankan suara dari TV dan kuhentikan kocokan ringanku. Aku takut terdengar dan ketahuan.

Ya ampun, semoga itu berasal dari tetangga sebelah. Aku tak berharap kedatangan tamu saat ini. Lagi nanggung!

TOK TOK TOK.

Astaga, sepertinya benar suara itu di depan rumahku. Karena suara ketukan berasal dari pintuku. Segera kukemas seadanya barang-barang memalukan milikku.

Kulap m e m e k ku yg sudah separuh basah. Kukenakan gamisku tanpa dalaman, dan buru-buru aku bersiap keluar kamar. Berharap semua ini berlangsung singkat.

TOK TOK TOK TOK.

"Assalaamu'alaikum!" Suara itu menjadi lebih keras dari sebelumnya.

Kupandang diriku di cermin. Barusan, aku adalah wanita haus s e k s yg sering ber m a s t u r b a s i. Namun di luar, kupastikan aku akhwat anggun dengan gamis yg panjang dan jilbab lebar.

Kulangkahkan kaki menuju pintu ruang depan.

Aku bertanya dalam hati, siapakah gerangan pria di depan rumahku ini? Mau apa dia pagi-pagi begini?

"Wa'alaikumussalaam," jawabku, sebelum ia menyelesaikan salamnya yg ketiga kali.

Kuintip keadaan di luar dari jendela, setelah sebelumnya kusingkap sebagian gordenku. Sesosok lelaki yg tinggi besar dan mengenakan topi berdiri membelakangi pintu.

Siapa dia?

Tamu suamiku? Pengantar paket? Tetangga yg baru kukenal?

Hatiku menjadi was-was. Aku berdoa semoga dia tak bermaksud jahat.

Kubuka kunci rumah dua kali. Sebelumnya aku sudah berjaga-jaga seandainya Mas Rohim pulang mendadak dari tempatnya bekerja.

Kubuka pintu sedikit saja, masih ragu dengan lelaki tak dikenal ini.

"Ng... Maaf, cari siapa ya, Bang?" tanyaku keheranan.

Ia melepas topi dan kacamata hitamnya.

Waahh... Orangnya sungguh tampan. Hidungnya mancung. Alisnya melengkung tajam. Bibirnya tipis dan cenderung kemerahan. Wajahnya putih terkesan terawat. Rambutnya ikal agak kecoklatan.

Begitu ia tersenyum, dadaku bergemuruh.

Eh, tunggu sebentar... Sepertinya aku mengenalinya. Kalau tidak salah, dia kakak tingkatku yg pernah mengambil mata kuliah yg sama.

"Ukhti, ana Ahmad, kita satu kelas di Etika dan Komunikasi Bisnis," terangnya.

Kucoba mengingat kembali. Sepertinya namanya bukan itu.

"Akh Joe, ya?" tanyaku tak yakin.

Ia mengangguk. Ternyata benar ia kakak tingkatku di kuliah. Banyak yg terpesona dengan kegantengannya, termasuk aku.

Kucoba menahan diri untuk tak salah tingkah. Gawat urusannya kalau dia tahu aku adalah salah satu penggemarnya.

"Oohh... Afwan, ana sempat lupa. Ana kira siapa... Soalnya antum jarang masuk kelas," lanjutku.

Ia maklum.

"Ya, ada apa, akhi?" tanyaku lagi.

Ternyata ia hendak meminta bahan kuliah untuk ujian minggu depan. Ada-ada saja. Hi hi hi, sudah mau ujian baru sibuk mau belajar.

Seingatku dia memang jarang berangkat kuliah. Kalaupun datang, sering terlambat.

Kudengar dari gosip antar akhwat, dia tinggal sebatang kara karena orang tuanya tak ada, dan sibuk dengan bisnis warisan.

Aku tak pernah memastikan kabar itu.

Kusuruh ia menunggu, sementara aku masuk ke dalam rumah.

"Oh ya, ana tadi mampir ke toko roti, ini ada sedikit untuk ukhti." Kalimatnya memaksaku untuk berbalik, sambil menyerahkan sebuah bungkusan plastik.

Hah... Cheese cake! Darimana dia tahu kesukaanku? Mataku berbinar. Senyumku mengembang. Aku keheranan, namun tetap berterima kasih

Kusuruh ia menunggu, lalu kututup pintu depan.

Kudekap dua kotak kue itu ke dapur. Lalu kusiapkan bersama dengan teh hangat ala kadarnya. Kurasa aku akan menghabiskan waktu agak lama dengan akh Joe.

Apakah aku perlu ke kamar untuk memakai dalaman?

Ah, rasanya ia juga tak memperhatikan sampai sedetail itu. Toh jilbabku menutupi dada dan bagian belakang. Aku cuek saja.

Setelah kuhidangkan di teras, aku kembali lagi masuk ke dalam untuk mencari bahan kuliah yg ia minta.

"Ah, ini dia," kataku dalam hati.

Kubawa ke teras dan kuserahkan tumpukan kertas yg diperlukan. Tentunya tanpa tangan kami harus saling bersentuhan.

Ingat, di lingkungan sekitar, aku adalah seorang akhwat sholehah yg sangat menjaga diri dari hubungan yang tidak sesuai syar'i.

Kulihat ia sudah meminum sedikit teh yg kusajikan. Heran, tak ada kendaraan yg parkir di depan.

"Hm, antum tadi naik apa?" tanyaku bingung.

"Naik ojek," jawabnya singkat.

Wah, jarang-jarang ada orang kaya naik ojek.

Hihihi... Setahuku ia pernah berangkat kuliah dengan sebuah mobil mewah, yg aku pun tak hafal sebutannya.

Akh Joe mulai bertanya macam-macam. Tentang tetangga sebelahku, Mbak Winarti, yg bekerja sebagai teller di Bank Syariah. Lalu tentang keseharianku.

Kami ngobrol agak lama. Aku berusaha tak terlihat canggung saat berinteraksi. Kukesampingkan kesan bahwa seorang aktivis dakwah kampus hanyalah orang-orang eksklusif yg tak bisa bersosialisasi.

"Afwan, ana dengar antum mualaf ya akhi?" Aku mulai bertanya hal-hal pribadi

Entahlah, sepertinya aku ingin menyelami lebih dalam kehidupannya.

Boleh jadi di antara kami ada sedikit kesamaan. Ia sendirian, sedangkan aku kesepian.

"Oh, iya... Benar, Ukh..." Ia mulai bercerita. "Dulu almarhum Papa yg convert duluan, menyusul Mama dan ana."

Sepertinya ia anak tunggal.

"Papa kena stroke di usia yg relatif muda. Akhirnya Papa meninggal. Nggak lama, Mama juga sakit dan nyusul Papa..."

Ia bercerita seolah tanpa beban. Semuanya mengalir. Aura kesedihan sedikit menyeruak. Aku jadi tak enak.

"Afwan kalau ana jadi mengingatkan antum dengan masa lalu..." kataku. "Jadi, sekarang antum tinggal sama siapa?" Aku tak sanggup menyembunyikan penasaranku.

"Alhamdulillah masih ada Mang Ujang dan Bi Inah. Mereka udah ikut Papa sejak ana kecil, jadi udah kayak keluarga sendiri."

Untuk hidup, ana nerusin bisnis Papa yg mulai banyak dilepas ke orang..." jelasnya panjang.

Terjawab sudah mengapa ia tak sering kulihat di kampus. Memang sulit membagi waktu ketika kewajibanmu bukan hanya kuliah saja.

Aku semestinya bersyukur, beruntung pekerjaan rumah belum terlalu banyak. Dan... Aku dan Mas Rohim belum diberi momongan. Mungkin kuliahku akan sulit selesai kalau hidupku seruwet Joe.

Obrolan kami mengalir terus, dan terus, dan lagi, hingga waktu berlalu lama.

Tehnya pun sudah hampir habis, demikian pula cheese cake yang kuhidangkan.

Walaupun lebih banyak aku yang ngunyah sih, hi hi hi...

"Akhi, antum kok dipanggil 'Joe'? Atau, lebih sering dipanggil 'Ahmad'?" Lagi-lagi aku bertanya hal-hal tak penting. Sekadar memperpanjang obrolan.

Sembari ia bicara, kuperhatikan terus wajahnya yang ganteng. Jika diperhatikan sepintas, mirip Rezky Aditya, artis terkenal yg sering muncul di sinetron TV itu tuh...

Duh, kok aku jadi menghayal gini sih. Sadar dong Rissa, kamu sudah punya suami!

"Sebetulnya nama asli ana cuma 'Jonathan Nainggolan', tapi setelah Papa masuk islam, mungkin beliau pengen anaknya punya kelakuan yang baik. Jadi, nama ana ditambah 'Ahmad' di depannya... "

Ia bercerita sampai matanya sedikit berkaca-kaca.

"Tapi, sayang harapan Papa belum kesampaian," terangnya lagi, menyiratkan kenangan.

Kalimatnya barusan, membuatku semakin kagum pada sosoknya. Sayup-sayup di dalam hatiku bertambah satu nama yg tak biasa.

Sampai tiba-tiba, akh Joe izin untuk memakai toilet rumahku.

"Eh?! Ng... Anu... Akhi, boleh sih... Tapi..." Aku bingung dan salah tingkah. Antara malu dan tak menduga ia akan sampai kebelet begini.

Salahku juga sih, mengapa kami mengobrol terlalu lama.

"Ng... Iya, afwan ya rumahnya berantakan," kataku. Aku berharap dia maklum dan segera menuntaskan hajatnya, sementara aku menunggu di teras saja.

Ia melangkahkan kakinya mantap, toh tak mungkin sampai tersesat di kontrakanku yg sempit.

Aku membolak-balik lembar materi kuliah, menyicil belajar untuk ujian pekan depan.

Semenit berlalu. Lalu 5 menit. Kemudian 20 menit. Tak ada tanda-tanda akh Joe telah menuntaskan hajatnya.

Ah, atau... Aku lupa, apakah pintu kamarku tadi telah kututup rapat?

Bisa bahaya jika ia mengintip masuk dan melihat tumpukan VCD p o r n o ku yg berantakan.

Dengan perlahan aku masuk ke dalam rumah. Cemas kalau apa yg kutakutkan sungguh terjadi.

Benar saja!

Pintu kamarku terbuka lebih lebar dari biasanya. Aku mengintip ke dalam. Di kamarku yg masih berantakan karena belum kukemasi dari 'kenakalan' tadi, Joe berdiri membelakangiku.

"Akh Joe, antum cari apa?" Aku menegurnya agak kasar. Ia pun terlihat kaget.

Jantungku berdetak dengan ritme cepat. Apakah dia mengetahui rahasia 'kecil'-ku? Jika iya, apakah ia akan menutup mulutnya?

"Eh, anu, Ukhti... Maaf... Ana tadi penasaran... Kamar anti terbuka, jadi ana masuk, dan..." dengan terbata-bata ia menyusun alasan.

Tak sepatutnya ia menyelonong masuk tanpa seizinku. Sang pemilik rumah.

"Maafkan kelancangan ana, Ukhti..." Ia melanjutkan penjelasan. Sepertinya ia berusaha agar aku tak marah.

"Tadi, ana melihat ini..." katanya. sambil menunjukkan barang yg sering membantuku klimaks.

"Aahh... "

Aku kaget seraya menutup mulut. Kakiku lemas. Nyaliku ciut. Kupandang sekilas area di samping TV. D i l d o milikku tak ada di tempatnya semula.

Benar, itu milikku. Terbongkar sudah aibku selama ini.

"To... Tolong... Kembalikan sini, akhi..." Aku berusaha meraih barang itu dari tangannya. Ia menepis lalu menghindar.

Badanku yg mungil bukan lawan sepadan untuk otot-ototnya yg kekar. Ia juga lebih tinggi dariku.

Sebisa mungkin aku memungut kembali martabatku yg hancur berkeping.

"Tenang saja, ini akan tetap jadi rahasia kita berdua, ana jamin." Ia berusaha berdiplomasi. Namun, apa yg diinginkannya? Apa harga yg harus kubayar untuk pertukaran ini?

Kubayangkan reputasiku yg akan hancur. Harga diriku serasa berserakan di lantai yg kotor.

Dari seorang akhwat kelas kakap, yg disegani oleh baik akhwat adik tingkat maupun ikhwan-ikhwan aktivis kampus lainnya, menjadi sosok hina dan durjana.

Aku malu sekali.

"Ukhti, apakah ukhti juga suka nonton video syur?" tanyanya frontal.

Ya ampun.

Hatiku sudah porak poranda, kini ia menyebut satu per satu dosaku yg lain. Aku hanya bisa terdiam.

Jiwaku sedih bukan main. Tanpa terasa, aku terisak. Pandanganku mulai kabur, terhalang air dari pelupuk mataku sendiri.

"Ana mohon akhi..." kataku lirih. "Ha—hanya kita saja yg tahu, to—tolong jaga kehormatan ana dan suami," aku memelas.

Wajahnya berubah menjadi seram. Semula aku melihat wajah baik, ganteng dan polos. Kini aku melihat wajah buas dan senyum kelicikan.

"Ukhti Rissa..." Ia melangkah ke arahku.

"Apakah... Ukhti ingin sesuatu yg lebih besar dari ini?" Tiruan p e n i s itu ia elus-elus di depanku.

"Ma—maksud, Akhi?" bentakku dengan suara serak dan bergetar.

Aku semakin ketakutan. Apakah... Apakah ia ingin menyetubuhiku? Sebagai ganti jasa tutup mulut?

Ku ingin berteriak, tapi nafasku tersengal. Joe semakin mendekat, dapat kurasakan lenguhan udara dari hidungnya.

Pada siapa aku meminta tolong? Kami hanya berdua di dalam rumah ini.

Jika sampai orang tahu aku mengizinkan seorang lelaki masuk tanpa sepengetahuan suami, apa kata orang-orang nanti?

Kepalaku tak dapat berpikir jernih lagi.

Oh, tidak... Aku... Apakah aku harus pasrah saja? Oh Tuhan, Ampuni aku...

"Akhi... To—tolong, hentikan... Cu-cukup akhi..." kataku patah-patah dan semakin lemah. Dayaku telah hilang.

Semua rayuan ia keluarkan. Kata-kata gombal yg tak pantas kudengar. Kalimat menjijikkan yg membuat bulu kudukku merinding.

Langit menggelap. Kini aku tak bisa melihat sinar mentari pagi yg hangat. Cuaca yg cepat berubah, menjadi penanda hariku yg buruk.

Oh, tidak... Apa yg sebetulnya ia inginkan?

"Ukhti, jangan pakai ini lagi..." katanya sambil melempar d i l d o ke rak TV.

Tanpa jeda, ia buka resleting celananya, serta merta ia keluarkan isi tonjolan hidup yg sedari tadi ia pakai menggodaku.

TOWEWEWWW...

Astaga!!

Mulutku menganga jauh lebih lebar dari sebelumnya. I—ini... Ap—apakah itu... Tanpa sadar aku menelan air liur.

Aku terkejut. Benda itu... Benda itu begitu tebal dan masif. Dengan galur urat berwarna ungu. Ujungnya berlendir dan mengkilat diterpa sinar dari lampu kamar yg tak terlalu terang.

Baru kali ini aku melihat secara langsung p e n i s lelaki sebesar ini! Ini... Ini... Sungguhan??

Aku memang sering melihat adegan tanpa sensor, namun tak kusangka di depan wajahku kini, daging sosis jumbo ini berayun-ayun seakan menyuruhku untuk menggenggamnya.

Selintas, aku teringat para pemain lelaki di film biru yg sering kutonton.

Aku kembali membayangkan bila batang sepanjang itu merangsek masuk ke dalam lubang kewanitaanku.

Uhhh...

Mengapa badanku jadi panas dingin begini? Mataku berkunang-kunang. Lisanku kelu. Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku. Kuusahakan melawan.

Ini keliru. Semuanya ini keliru. Aku tak sepatutnya diam. Tapi badanku lemas tanpa daya.

"Hiks... Ana mohon, akhi... To—tolong, hentikan..." Dengan sisa-sisa tenaga aku mengiba, berharap dia menghentikan semua ini. Atau, aku berharap semuanya hanya mimpi di pagi hari yg mendung.

Kupalingkan wajahku darinya. Titik-titik air telah berkumpul di ujung mata. Aku takut bercampur malu, dan tak tahu harus berbuat apa.

"Ukhti sayang..." Ia kembali merayuku. Kali ini Joe mulai meraba tanganku, yg kurespon dengan cepat menariknya menjauh.


Tekadku agar ia berhenti sepertinya sia-sia. Ia mulai mengelus pipiku. Aku diam tanpa perlawanan berarti. Aku sudah lelah. Apakah sebaiknya aku menerima takdir burukku ini?

JEGERR.

Suara petir di langit mengagetkanku, seperti speaker besar yang diletakkan di langit-langit kamar

Suara keras itu sekaligus menjadi pembuka hujan rintik, senada dengan aliran air mataku yg mulai menetes.

"Ukhti terlalu cantik untuk menjadi istri yg ditelantarkan..." Joe tak henti-hentinya merayu.

Ditelantarkan? Itukah hidup yg kurasakan bersama Mas Rohim?

Tidak.

Ia justru sangat memperhatikanku. Ia bekerja keras mencari nafkah untukku, turut membiayai kuliahku, walaupun...

Walaupun... Aku masih berharap staminanya senantiasa penuh sampai kudapatkan kepuasan maksimal khas hubungan suami istri.

Aku tak ingin mengkhianati suamiku yg telah susah payah mencari uang halal untuk makan kami.

Diraihnya tanganku, lalu diarahkan ke alat vitalnya yg super besar. Kulirik kembali barang terlarang itu. Posisinya menggantung kaku, seakan siap mengoyak apapun yg menghalangi.

Ia mengecup pipiku penuh kemesraan. Kembali dadaku bergemuruh. Pikiranku berkecamuk. Air mataku masih mengalir.

Perasaan apa ini? Semacam ada kekuatan aneh yg mempengaruhiku untuk mengikuti kemauan akh Joe. Kekuatan gaib yg membisikkan ke bagian tengkuk, agar aku tak melawan.

"Ja—Jangan akhi... Ini... Ini salah..." Aku masih berusaha terlihat jual mahal, walau di dalam darahku berdesir keinginan yg besar untuk merasakan sesuatu yg tak kudapat dari Mas Rohim.

"Oohh... Jadi, yg kamu lakukan barusan, ketika suamimu sedang tak di rumah, itu hal yg benar?"

"Ayolah... Jangan munafik..."

Joe membentakku dengan agak keras. Logat Bataknya sedikit keluar.

"Apa bedanya dengan yg akan kita lakukan nanti?" katanya lagi.

Jantungku serasa berhenti. Ia benar. Mau dengan p e n i s dari karet ataupun p e n i s betulan, sebetulnya sama saja.

Ketika aku meraih klimaks dari film p o r n o, aku membayangkan akulah artis wanitanya.

Saat Mas Rohim menunaikan kewajiban 'malam jumat'-nya, yg kubayangkan juga bukan dia, tapi pria lain. Pria yg lebih perkasa, lebih besar p e n i s nya, lebih tahan lama pula di ranjang.

Bukankah aku telah menjalani perselingkuhan, jauh sebelum persetubuhanku dengan Joe nanti?

Aku merasa lunak...

Kuputuskan pasrah saja, dan berharap tak ada orang yg tahu kejadian ini selain kami berdua. Aku mulai menyusun pembenaran dari dosa-dosaku ini.

Aku adalah korban. Benar... Aku ini korban!

Joe menggenggam kedua tanganku, dan menggiringku ke ranjang. Ranjang sederhana yg aku dan Mas Rohim selalu pakai untuk tidur bersama.

Bayangan adegan panas yg telah khatam kutonton beberapa kali muncul lagi di ingatanku.

Aku lupa dengan suamiku sendiri. Saat ini yg kupentingkan hanya agar semua ini cepat berlalu.

Masih dalam keadaan full berhijab, Joe mulai menggerayangi tubuhku. Ia tak segan mencium, menjilati, meremas mesra, semua bagian tubuhku.

Pemanasan seperti ini tak pernah kudapat dari Mas Rohim. Ia selalu ingin cepat dan klimaks sendirian, meninggalkanku tanpa rasa nikmat yg dahsyat.

"Hmm... Cup... Slurp..."

Cairan di rongga kewanitaanku serasa mendidih. Aku pun makin bernafsu. Aku jadi ingin lebih.

Rasa gatal menyeruak dari dalam Miss V. Rasa apa ini? Mengapa aku jadi begini? Oh tidak... Aku mulai membalas setiap ciumannya.

Entah mengapa kurasa akh Joe jauh lebih berpengalaman soal percintaan.

"Akhi..." kataku pelan. "Pintu depan dikunci aja..."

Rontok sudah pertahananku. Jebol sejebol-jebolnya. Akh Joe serasa mendapat angin segar. Ia bergegas menuju pintu ruang tamu.

Aku hanya terbaring diam. Malu sekali rasanya. Malu tapi nafsu. Apakah aku ini wanita bodoh?

Aku berbalik menghadap dinding, membelakangi pintu. Tak lama, Joe kembali. Dapat kudengar ia mengunci pintu kamarku pula.

CEKLEK.

Tuntas sudah. Kini aku menjadi miliknya seutuhnya. Walau sesekali aku masih sesenggukan.

"Larissa... Sayangku..." Ia mengelus pinggulku. "Kamu nggak pake CD, ya? Hi hi hi..."

Aku diam saja. Pagi ini, urat maluku telah putus berkali-kali. Ia kembali memberiku cumbuan yang dahsyat. Jauh lebih dahsyat, sehingga aku balik mencumbunya.

Tangannya mulai mempermainkan payudaraku sebelah kanan. Ah, nyeri sekali rasanya. Aku menjerit kecil.

"Waahh... Nggak pake bra juga? Emangnya tadi lagi ngapain, hayoo..." Ia menggodaku lagi.

"Mmppfff... Ahhh... Sss... Akhi... Mmmff... Cupp..."

Aku menggelinjang...

Kunikmati permainan terlarang ini. Gilanya, kami melakukan ini dengan aku masih berhijab. Lengkap dengan kaus kakiku.

"Kita akan ke surga. Bersama-sama..." Ia terus-terusan memberi kalimat-kalimat romantis. Hatiku berbunga-bunga.

Mungkin aku bukan wanita satu-satunya di hati Joe, tapi tak dapat kusembunyikan betapa aku senang diperlakukan seperti ini.

Foreplay kami berlangsung cukup lama.

Ia melepaskan pelukannya padaku, dan bergerak menjauh. Dilepasnya semua pakaiannya, menyisakan boxernya saja.

Aku semakin bergairah. Kulihat tonjolan yang berkedut di dalam celananya. Ada sedikit cairan di ujungnya. Ah... Aku menelan ludah.

"Ana lepas gamisnya ya Ukh... " bisiknya.

Aku hanya bisa mengangguk pasrah. "A—Ana... Juga... Udah ga tahan, akhi..." jawabku jujur.

Pelan-pelan, ia lucuti semua pakaianku. Putingku yang kaku dan menegang sudah minta dikenyot.

Saat sampai di bagian paling sensitif, ia tiba-tiba menghirupnya. Aku terpekik ringan. Tak kusangka ia akan melakukannya. Mas Rohim tak pernah berbuat seperti itu.

"Hhmmmm... Aromanya aku suka, Ukh..." katanya. Aku tersipu. Kututupi bagian v a g i n a ku dengan kedua tangan.

"Kok, malu?" katanya. Tanganku berpindah dari kemaluan ke wajah.

"Anggap ana ini suami anti saja," katanya.

"Nggak bisa, akhi... Antum... Antum beda..."

"Hlo, kenapa?"

"Pun—punya suami ana, gak sebesar punya antum..."

Aku memuji batang kejantanannya. Tak kuduga aku akan berkata kotor seperti itu. Ah, sudahlah. Sudah terlanjur basah, ya sudah, berenang sekalian.

Tinggal hijabku saja yang tersisa.

Akh Joe mulai menatapku dari ujung ke ujung. Ia seperti macan yang lapar, sedangkan aku seperti kelinci lucu yang tak berdaya.

"Ukhti, sudah siap?"

Aku mengangguk tanpa suara.

Ia melepas penutup terakhirnya.

WOOOSSHH...

Batangnya langsung mencuat, seperti tak sabar ingin berontak keluar sedari tadi. Aku terpana. Kuperhatikan lekat-lekat barang itu lagi. Ini kali kedua aku melihat p e n i s seorang lelaki secara langsung, selain milik suamiku.

Inikah yang dinamakan K O N T O L ??

Ukurannya yang triple XL, membuatku tak yakin bisa muat di dalam m e m e k ku yg celahnya sempit.

"Akhi... Mem—memangnya bisa masuk?" tanyaku polos.

"Makanya kita coba yuk," katanya, dilanjutkan dengan menindihku.

Ya ampun, seorang pria ganteng dengan badan kekar...

Pria ini... Akan menyetubuhiku, mungkin tak sekali. Berkali-kali. Aku akan klimaks, dan Miss V-ku akan menyemburkan cairan cinta. Deras.

Ah, kelamin kami saling bertemu. Bibir kami saling melumat. Aku merasakan sedang terbang menuju langit ke-7.

Celah Miss V ku sudah becek. Bukan... Bukan becek. Tapi banjir!

"Rissa..." Ia memandangku dekat-dekat.

"Hm..."

"Sayangku..."

Ya ampun. Aku dipanggil 'sayang'...

"Ikhlaskan tubuhmu untukku..."

Tentu saja. Aku akan merelakan tubuhku untuk lelaki ini.

Lelaki yg memperlakukanku bagai putri raja. Yg tak langsung saja main sodok, namun terlebih dahulu memberi bumbu dan makanan pembuka dengan kata-kata sayang.

Lelaki yg membelai wajahku, menciumi hidung, mengelus paha dan setiap lekuk tubuhku. Aku begitu menikmati setiap aksinya.

Ia mulai menggesek-gesek p e n i s nya di bibir bawahku, menggodaku yang sudah tak kuasa menahan gatal birahi.

"Duhh... Akhii... Please, jangan main-main lagi, Akh... Duh... Ssshh... Ah... Enak... Masukin akhi..."

Aku mulai meracau dan tak sadarkan diri.

"Masukin apa, Ukhti?"

"Masukin... Kon—K O N T O L antum... Cepaaat... Akhi... Aduhhh... Ngghh..."

"Kamu udah nggak tahan buat di-e n t o t ya, Ukhti..."

"Iyaa... Cepat e n t o t ana, Akh..."

Mulutku seperti sudah tak peduli dengan statusku.

Kata-kataku barusan bukanlah kata-kata yang biasa kuucapkan. Bukanlah kata yg keluar dari seorang akhwat sholehah. Kataku barusan adalah kata seorang wanita yang tak kuat menahan rangsangan.

Dan momen itu pun tiba... Tanpa aba-aba...

ZLEBB!

Entah berapa sentimeter panjangnya, namun aku merasakan benda keras, hangat, dan berair, mulai merangsek masuk dalam tubuhku.

"Uugghhh..."

Aku hanya bisa melenguh dengan keras.

Mataku terpejam. Kepalaku mendongak ke atas. Punggungku melengkung. Urat leherku seperti mau putus. Kuremas bantal kuat-kuat. Badanku seperti tersetrum.

Otakku seperti telah dialiri hormon kebahagiaan level tertinggi. Joe mundur untuk bersiap menekan p e n i s nya lagi.

Akankah ia menusukkan sosis jumbo itu lebih dalam lagi?

SLOOOPPPSS...

"Oooouucchh..." Aku mengerang jauh lebih keras.

Dapat kulihat batang berlendir itu kini telah ambles seluruhnya ke dalam liangku yang sempit dan lembab.

Aku merasakan sedikit sakit. Belum pernah ada benda asing yang masuk sejauh ini sebelumnya.

Tidak pula milik Mas Rohim suamiku.

"Am—ampun akhi... Punya ant—antum... Kegedean, Akhi..." ratapku.

Ia sepertinya memaklumi, dengan membiarkan k o n t o l nya hinggap menetap dan merasakan pijatan dinding daging m e m e k ku.

"Punya kamu sempit juga, Ukh... Enak banget... Ahh..." kata Joe.

Tak lama, ia mulai bergerak maju mundur. Aku sungguh menikmati perzinahan ini. Biarlah kutanggung segala resikonya.

Kusilangkan kakiku di pinggangnya yang putih dan atletis. Uhhh... Setiap sodokannya begitu berharga, aku dibuatnya terbuai dalam permainan cinta luar biasa.

"Sssshh... Ahhh... Ouhh... Akhii... Jang—jangan... Stop... Ahhh... Ana... Ana bisa ping—pingsan, akh... Hmmmpfff... Am—ampun... Perihh... Gilaaa... Duhhh... Ffff..."

Aku meracau kesetanan. Tak kusangka bisa senikmat ini, walau perbedaan dengan d i l d o milikku hanya beberapa sentimeter saja.

Entah akh Joe pakai gaya apa, namun tak pernah kurasa pergumulan sehebat ini dengan Mas Rohim.

Kupandang langit-langit kontrakanku. Kulihat lampu kamarku tiba-tiba serasa membayang menjadi dua. Aku terbuai.

Sesekali kugigit lengan Joe yg besar dan kucakar punggungnya karena tak kuasa menahan geram.

Entah berapa lama kami beradu di ranjang ini. Ranjang yg kunodai dengan perselingkuhan nikmat. Oh maafkan aku Mas Rohim, engkau sepertinya bukan tandingan.

Akh Joe menggenjotku makin cepat. Tidak... Apakah... Apakah ia akan menumpahkan 'saos mayonaise'-nya di dalam rahimku yg hangat? Apakah aku akan hamil darinya?

Masa bodo! Kujawab dengan yakin di dalam hati.

Aku... Aku menginginkan anak. Aku tak peduli apakah itu dari suamiku sendiri ataukah Joe. Aku ingin punya anak.

Kakiku berpindah ke pundaknya. Serangannya semakin buas. Pertahananku bobol. Aku melepas orgasme pertamaku...

"Aahhhhhhhh... Akh Joooee..." Aku menggelepar, terhentak beberapa kali. Liang v a g i n a ku mengeluarkan semprotan kecil.

Cret cret ccret...

Ia tampak puas, walau belum keluar. Senyumnya penuh arti, seakan menungguku bangkit di ronde selanjutnya.

Nafasku ngos-ngosan, sedangkan ia masih terlihat perkasa.

Rehatku belum selesai, saat Joe mulai menghisap i t i l ku dengan keras.

"Ooohh... Ja—jangan akh, ana malu... Jorok..." aku mendorong kepalanya pelan.

"Tidak apa-apa sayang, yg penting ukhti terpuaskan," katanya.

Ia pilin pentilku yg seperti bakso mini mentah, warnanya masih merah.

"Akhii... Oohh... Teruuss... Nikmatnya akhi..."

Zret zrett zrettt.

Kurasa aku mendapat orgasme lagi.

"Antum... Hebat sekali... Ana belum pernah seperti ini..."

Aku puas sekali. Kini ingin sekali aku melihatnya puas pula, dengan menyemburkan isi kantong s p e r m a nya. Kalau perlu sampai kopong!

Tiba-tiba...

VRROOMM.

Jantungku berdegum. Aku kaget setengah mati. Bukankah itu...

"Astaga! It—itu, suara motor suami ana!"

Kami kalang kabut dan buru-buru berkemas.

"Ba—bagaimana ini, Ukh?" tanyanya dengan panik.

Tak boleh ada dua orang panik bersamaan. Aku harus tenang. Kucoba berpikir...

Sepertinya aku punya akal.

Kucium ia dengan mesra. Kuberi kecupan pada kekasih gelapku yg tampan. Ia harus kuamankan.

"Cepat, masuk ke dalam." Aku menunjuk ke arah lemari. Hanya itu satu-satunya harapanku. Aku yakin Mas Rohim hanya pulang sebentar.

"Ap—Appa?!" teriaknya.

Akh Joe seakan tak terima dengan keputusanku. Tapi aku tetap memaksanya.

Kami sadar tak punya pilihan. Akhirnya badannya yg tinggi besar harus sedikit meringkuk di lemariku yg tak begitu tinggi.

Aku bersiap bak istri sholehah yg siap menyambut suaminya pulang. Kupasang topengku, walau baru saja aku melakukan dosa besar.

Akan aku selamatkan usia pernikahan ini sekuatku.

Kuseka wajahku dengan telapak tangan, mencoba menyamarkan sisa-sisa kegiatan ranjangku.

TOK TOK TOK TOK.

Suara pintu diketuk diikuti suara salam yg parau. Benar, itu suamiku.

"Wa'alaikumsalaam..." jawabku sambil berlari kecil ke arah depan. Kulirik lelaki nomor duaku di lemari. Kupikir dia akan baik-baik saja.

Aku tak punya pilihan, apalagi dia. Kami berdua masih berharap, lebih tepatnya, berspekulasi.

GELEGER.

Suara petir yg besar kembali terdengar. Namun hujan belum turun. Suara-suara itu membuat perasaanku makin berantakan. Kalau aku ketahuan bagaimana?

Kuyakinkan diriku kembali. Semuanya akan baik-baik saja.

"Kok, Abi pulang cepat? Ada masalah?" aku bertanya ingin tahu. Tak biasanya jam segini dia sudah di rumah.

"Gapapa Umi... Abi cuma mau ambil berkas..." katanya. Aku mengelus dada di dalam hati. Berarti ini tak akan lama.

Matanya menyapu seisi ruangan.

Aku menjadi gentar, takut bila kedokku terbuka.

Ia memandang teras sekilas.

"Tadi ada tamu ya, Mi?"

Ya ampun! Aku lupa membereskan meja depan!

"Umi, kok keringetan? Habis nyuci?"

Aku menarik nafas panjang. Kukumpulkan energi untuk jawaban yg logis dan terkesan normal.

"Iya Abi, tadi ada temen kuliah dateng, bawain cheese cake."

Kukembangkan senyum terbaik untuk melapisi kebohongan demi kebohongan. Tapi, aku tak berbohong. Memang benar ada teman kuliah yg datang membawakan kue lezat.

Hanya saja, aku tak perlu cerita bahwa temanku itu seorang lelaki, dan kini masih kaku bersembunyi di dalam lemari dengan hanya bercelana pendek.

"Maaf Abi, tadi Umi habis... Habis... Pake 'itu'," kataku lagi, setengah berbisik.

"Hi hi hi... Iya nggak papa, Umi. Pake aja."

Jawaban suamiku membuatku lebih tenang. Semoga ia tak berpikir macam-macam lagi.

Kami sama-sama berjalan ke arah dalam rumah. Tiba-tiba dalam benakku tercetus sebuah ide gila. Sebuah ide yg timbul begitu saja.

Bagaimana bila suamiku ini kuajak bersenggama saja?

Fantasiku membuncah. Ingin rasanya aku digarap oleh dua orang pria sekaligus. Setidaknya, walaupun beda waktu, masih dalam rentang yg tak terpaut jauh.

Liangku semakin gatal saja bila membayangkannya. Kuputuskan untuk berpose nakal dan menyeru Mas Rohim layaknya wanita panggilan.

"Abiii..." aku menggeram sambil bernafsu.

Ia menyahut dan masuk ke kamar. Kugoda dia dengan gerakan-gerakan dan pose sensual.

"Abi... Yuk 'main' bentar... Umi kepingin..." Aku lakukan itu sambil mengelus lekuk badanku yg mendekati sempurna.

Adakah pria bodoh yg menolak ajakan akhwat seksi sepertiku?

Kurasa ia akan bernafsu juga dan mengikutiku bugil.

"Eh? Tapi Abi kan mesti buru-buru... Ini juga mau hujan..." Ternyata ia menolak dengan halus.

Tapi aku belum menyerah. Kuangkat gamisku dan kuelus bagian paling sensitifku. Aku mengerang lembut dan makin menggila.

"Bentar aja Bi... Umi mohon... Langsung aja, maen cepet..."

Suamiku tampak berpikir sebentar. Akhirnya ia menelan ludah.

"O—Oke... Abi jadi nggak tahan juga nih..."

Akhirnya Mas Rohim menuruti permintaan birahiku yg gatal. Ia mulai menanggalkan baju dinasnya, memperlihatkan badannya yg hitam walau agak kurus.

"Berdoa dulu, Mi," katanya.

"Iya Abi, mudah-mudahan kita dikaruniai anak yg sholeh dan ganteng seperti Abinya." Kata-kataku amat manis, walau aku berharap ketampanan anakku berasal dari Joe.

"Ugh..." Mas Rohim memulai penetrasinya.

Sama seperti yg sudah-sudah, ia memang sudah biasa seperti itu.

Tanpa fore play.

Aku menungging dengan masih berpakaian lengkap. Wajahku menghadap lemari. Kupandang pintu lemari paling ujung yg isinya Akh Joe. Pasti dia sedang mengintip sambil terangsang.

Aku sengaja mengeluarkan desahan-desahan palsu. Aku tak begitu menikmati p e n i s suamiku sendiri yg berukuran mini. Tak seperti d i l d o, tak pula seperti milik akh Joe yg besar dan panjang.

"Uh ugh ah oh..."

Tak seberapa lama...

"Aaahhh..." Mas Rohim mengejang duluan. Sedangkan aku masih datar saja. Akhirnya persenggamaan palsu ini berakhir. S p e r m a suamiku menetes dari celah m e m e k ku.

Aku berpura-pura puas.

"Nanti kita lanjutin lagi ya, kalau Abi pulang..." kataku sambil mengecupnya.

"Umi masakin air panas, ya?" Aku berbasa-basi. Aku tahu dia akan menolaknya.

"Udah, ga usah," jawab suamiku sambil mengenakan pakaiannya kembali. Dia tak cukup punya waktu. Pekerjaannya menunggunya. Sedangkan aku, menunggu dikerjai.

Ia memang terbiasa mandi di posko tempatnya bekerja.

JEDARR.

Suara halilintar diikuti gerimis kecil. Kuharap hujan ini akan menambah nikmat pergelutanku dengan akh Joe nanti.

Mas Rohim bergegas mengemasi barang-barangnya. Lalu berjalan ke luar kamar.

Kupandang wajah suamiku. Suami yg telah aku khianati. Hatiku menjadi iba, tapi aku tak berdaya melawan keinginan s e k s bersama lawan jenis yg lebih dahsyat. Kebutuhan yg tak kudapat darinya.

Apakah... Aku salah?

"Abi berangkat dulu ya, Mi..." akhirnya ia tiba di depan pintu.

Kucium punggung tangannya.

Tapi... Ada perasaan aneh sedari tadi yg menyelimuti hatiku. Ekspresi wajahnya tak seperti biasanya. Kosong dan seperti tak di sini. Bahkan ia lupa mencium keningku sebelum berangkat.

Ah, mungkin pekerjaannya sedang berat. Aku harus memaklumi itu. Ia pasang helmnya dan bersiap naik ke motor.

HACHUU.

Astaga! Suara orang bersin terdengar begitu jelas dari dalam rumah!

Itu pasti akh Joe! Ia tak dapat menahan bersinnya.

Aku kaget dan langsung berpikir mencari jawaban bila suamiku juga ikut mendengarnya.

"Suara apa itu?"

Glek, dia mendengarnya!

Nadanya bertanya bercampur rasa curiga. Kuharap ia tak langsung merangsek ke dalam rumah kembali. Aku harus melindungi Joe.

"Suara? Geledek kali, Bi?" jawabku dengan wajah polos tanpa dosa. Kutunggu reaksinya. Kubuat nada bicaraku sedatar mungkin tanpa rasa panik.

Aku yakin di dalam, akh Joe sedang berjuang untuk mencapai tujuan kami yg sama: jangan sampai ketahuan!

"Hm. Ya sudah, Abi berangkat ya."

"Iya, Abi. Nanti keburu makin deres."

"Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalaam."

Aku bernafas lega. Semoga saja tak ada suara bersin lagi dari arah dalam rumah, karena biasanya orang bersin butuh 2 kali.

Aku memandangi bayangan motor suamiku yg makin lama semakin kecil, lalu menghilang di kejauhan.

Kukemasi teras depan, lalu masuk ke dalam. Kututup pintu, dan mengintip ke arah luar jendela, takut kalau suamiku kembali lagi.

Tiba-tiba... Hap! Akh Joe memelukku dari belakang.

"Aahhh..." aku berteriak kecil. "Kaget, tahu! Ana deg-degan dari tadi!" protesku.

"Hei. Bukan kamu yg berada di dalam lemari," Joe membela diri sambil tertawa.

Ia mulai menggerayangiku lagi, meraba susuku yg cukup besar dari belakang. Aku mendesah pelan. Kubalas ciumannya. Kami tak tahan dimabuk nafsu. Tubuh kami saling mendekap.

"Kita lanjutkan di sini saja, yuk," ajaknya.

Aku mengangguk sepakat. Ia kunci pintu dua kali.

CTEK. CTEK.

"Rissa..." Ia mendesakku ke dinding. Nafasku tak beraturan. Sekujur badanku mulai hangat.

"Akh Joe..."

Gamisku... Penutup auratku... Kutanggalkan semuanya. Aku siap dibuahi. Tak peduli dari benih siapa aku memperoleh keturunan.

Rahimku siap menampung sel kelamin jantan akh Joe.

Tampak akh Joe telah menyiapkan torpedonya yg basah dan licin di pintu liang betinaku.

"Ehmmm..." aku hanya bisa mendesah dan menahan kedutan demi kedutan.

Ia mengangkat sebelah kakiku, lalu tanpa aba-aba, disodoknya kuat-kuat batang kejantanannya. Aku tak butuh foreplay lagi.

"Aarrgghh..." aku terpekik karena sedikit kesakitan.

Kami bermain di ruang tamu. Beresiko, tapi justru di situ kenikmatannya.

Slorp slorp plok plak.

Tongkat tumpulnya beradu dengan jepitanku. Yang bisa kudengar hanya suara-suara kecipak.

Kami saling berciuman, berpagut mesra. Gaya bercinta macam apakah ini? Gaya bercinta yg terpikir pun tidak pernah di benakku. Sungguh pengalaman n g e n t o t yg luar biasa.

Aku makin lemas.

Sepertinya akh Joe tahu, sehingga diangkatnya sebelah kakiku. Kini aku sudah sepenuhnya bergantung di lengannya yg kuat dan kekar. Kulingkarkan kedua tanganku di lehernya.

Punggungku merasa gesekan dingin dari dinding. Selangkanganku pegal.

Sesekali pinggulku turut bergoyang demi gesekan-gesekan yg lebih agresif lagi.

Cret cret cret...

Cairan m e k i ku mulai meleleh, penanda aku telah dilanda orgasme lagi.

Tapi akh Joe sepertinya masih memompaku terus-terusan.

Tak dipedulikannya v a g i n a ku yg sudah licin dan basah, walau masih terasa sempit dan menggigit.

Zlop zlop zlop zlop.

"Enak, sayang? Engh?" Ia sengaja membangkitkan birahiku lagi. Tak kubalas pertanyaannya, cukup dengan erangan-erangan kenikmatan.

"Ahh... Oohh... Nnggh... Mmff... Ouchh..."

Lututku gemetaran. Aku melenguh dan memeluknya lebih erat. Daguku menempel di pundak kanannya. Kuku-kukuku mencoba mencakar punggung dan tulang belikat akh Joe. Aku menyerah. Ia terlalu buas. Aku butuh jeda.

"Aaahhhh... Ssttoopp... Kumohoon..." Aku mengharap belas kasihannya. Sodokannya melambat. Kutepuk-tepuk punggungnya seperti pegulat yg kalah di arena.

M e m e k ku telah mengeluarkan 'liur' yg banyak sekali. Pegangan tanganku tak sekuat awal permainan.

Akh Joe membopongku kembali ke kamar. Aku memeluknya seperti pasangan yg dimabuk cinta pada malam pertama. Ia telah memberi arti baru persetubuhan bagiku, bahwa bermain cinta bisa seindah ini.

Ia menghempaskan tubuhku di ranjang dengan lembut.

Sembari ia mengunci pintu, kuminum air dari gelas di samping TV. Aku kehausan.

"Larissa, nungging dong..." ia menyuruhku dengan setengah memaksa. Ya ampun, belum ada dua menit p e n i s nya tercabut, aku sudah mau digarap lagi.

Akh Joe... Antum makan apa sih? Kuat banget! Sate kuda, ya?

Mungkin aku perlu dikasari agar nafsuku menanjak kembali.

"Nggghh..." Aku hanya bisa memelas saat jilbabku dilepasnya.

Dengan posisi menungging seperti ini, kurasa torpedonya akan menerobos lebih dalam. Ia mulai meremas-remas pantatku. Aku pun tak kuasa menahan rangsangan. Aku pasrah dan berharap akh Joe cepat mengeluarkan sperm...

"Nngaaahhhhhh..."

Belum selesai aku menarik nafas, batang daging yg berurat dan tegang itu dimasukkan sedalam-dalamnya menuju pangkal rahimku.

Kecipak kecipok plok plok plok.

Seperti yg tak mengenal rasa capek, ia mulai goyangan maju-mundur enaknya.

Edan... Inikah rasanya di p e r k o s a tapi pengen nambah??

Ia mengasariku dengan menarik rambutku yg panjang. Leherku jadi tegang. Belum cukup sampai di situ, tangan kiriku diraihnya pula.

Ya Tuhan, tak dapat kulukiskan betapa aku bak menenggak narkoba dan kecanduan digagahi seperti ini. Setiap kali p e n i s akh Joe maju ke depan, tangannya menarik rambut dan tanganku ke belakang.

"Ahhh... Oohh... Ihhh... Akhii... Enn... Enaakk... Dalemmm... Sssh... Gateell... Oouucchh..."

Kegatalan. Mungkin itulah yg tepat menggambarkan kondisiku sekarang. Tak sanggup aku menggaruk diriku sendiri... Aku butuh k o n t o l, yg mampu menggerus dinding m e m e k ku yg gatal.

Terbayang kenikmatan yg sama yg dirasa aktor dan aktris film dewasa yg rutin kutonton.

Di tengah permainan liar akh Joe yg beringas, mendadak ia menghentikan goyangannya.

"Eh? Kok, berhenti? Ayo akhi, e n t o t ana dari belakang, akhi... Uugh..."

Tak ada lagi rasa malu, gengsi, harga diri, apapun namanya, di diriku. Akulah akhwat hyperseks.

Yg kuperlukan hanya tusukan-tusukan yg dalam dan menghanyutkan. Akulah akhwat binal yg berdahaga.

Kugoyang pantatku sendiri agar k o n t o l Joe kembali tercelup dalam liangku yg hangat. Dapat kubayangkan ia tersenyum puas. Aku yg semula sok jual mahal, kini menistakan diri...

Lalu ia mulai lagi mengayunku di dalamnya samudera birahi yg terlarang. Pinggangnya bergerak maju mundur seirama dengan pantatku yg mundur-maju.

Kami seperti dua orang dalam tim renang indah yg menyelaraskan gerakan sesuai irama.

"Terus akhi... Awas kalau antum sampe berhenti... Terus... Ohhh... Ssshh... Sedap... Gila gila gila..."

Aku merengek agar gerakannya semakin cepat dan menghentak. Kedua gunung dagingku yg kencang dan menggoda berayun seperti buah pepaya ranum. Ia remas dan usap sampai aku lupa diri.

Ia mencubit payudara ku gemas. Kulihat dari cermin, sampai memerah bekasnya, sangat kontras dengan kulitku yg putih seperti orang Tiong Hoa.

Leherku dihisapnya, seperti drakula penyedot darah wanita perawan. Aku menggelinjang keenakan. Kurasa ia masih jauh dari rasa lelah.

Kecepatan sodokannya sama sekali tak menurun.

"Terus, Akhi... Ahh... Enaakk..."

Aku telah lupa daratan. Lupa pada akhwat lain yg satu grup pengajian denganku. Akhwat-akhwat yg sedikit iri aku telah menikah dengan usia yg relatif muda.

Kalau saja... Kalau saja mereka semua tahu, n g e n t o t itu senikmat ini, pastilah tak akan ada akhwat tua yg masih berharap ada ikhwan datang melamar.

Justru akhwat yg akan agresif minta dinikahi!

Joe membantuku berdiri, demi gaya yg lain, walau masih mirip. Gaya ini... Gaya yg pernah kulihat dari film dewasa. Aku paham maksudnya.

Dengan sisa-sisa tenaga yg tersisa, dan tubuh penuh dengan peluh, aku sandarkan kedua tanganku di lemari kaca.

Kukagumi dadanya yg bidang dan terbentuk. Ia pasti sering berolahraga.

Ia memberi tanda agar aku meregangkan kedua kakiku lebih lebar. Posisiku agak berjinjit karena tinggi badan kami tak setara.

Zzruuutt.

"Ngggghhhh..."

Aku kembali meringis merasakan keperihan karena saking besarnya alat kelamin akh Joe yg semakin lancar menusuk-nusuk.

Lendir dan cairan cinta kami berpadu. Ia membuat p e n i s nya ambles tenggelam ditelan kelaminku.

"Uuhhh... Nngghh... Iiihhh... Amm... Puunn..."

Aku mulai berisik lagi. Semua bagian tubuhku yg sensitif: dada, leher, belakang telinga, pantat, bawah pusar, tengkuk, semuanya, telah dieksplorasinya.

Masing-masing meninggalkan tanda yg beragam, mulai dari garis kemerahan hingga bekas gigitan yg ringan.

"Mau cepet-cepet apa santai?" tanyanya sambil berbisik.

"Cepet... Aja... Cap—capek..." jawabku sembari ngos-ngosan.

Sodokannya ia percepat bagai mesin.

Cepik cepok cpok plok plok plak pak plok.

Badanku kelojotan sambil berusaha tetap berdiri dalam posisi ini. Lututku lemas. Kakiku pegal. Selangkanganku bagai mati rasa.

"Aku dikit lagi keluar," katanya sambil tetap terus memompa. Aku pun tak sabar untuk beristirahat. Aku lelah.

Blop slop zlop plop plak.

"Akk—ku jugaa..." jawabku lemah tanpa daya. Kelihatannya ia sudah siap memuntahkan seluruh isi kantung zakarnya.

"Keluarin di dalem apa di luar?" tanyanya hati-hati.

"Dal—dalem aja..." kataku yakin. Biarlah aku mengandung dan melahirkan anak dari hubungan gelap kami. Hubungan kami memang gelap, tapi kuyakin masa depan anakku secerah mentari.

Tangannya mencengkeram lenganku.

"Akhii... Ana... Ma—mau... Samp—pai..." kata-kataku terputus.

Otot-otot v a g i n a ku serasa makin menegang dan mencengkeram p e n i s Joe yg berukuran raksasa.

Pada akhirnya puncak s e k s kami tiba...

"Aaaahhh... Aarggh... Aghh..."

Tubuhku terjulur keras. Sekujur badanku seperti terkena sengatan listrik. Mulutku separuh terbuka dan megap-megap.

Kutepuk-tepuk paha akh Joe sebagai ganti isyarat kibaran bendera putih.

Aku sudah tak kuat lagi melanjutkan persetubuhan ini.

Berbarengan dengan itu, dapat kurasakan cairan mani nya yg kental panas seperti lelehan keju mozarella bercampur saos mayo.

Ia pun kaku. Dapat kulihat dari cermin matanya terpejam merengkuh kepuasan orgasme.

"Aaaahhhh..." pekiknya.

Zzzrooooott... Zzrooottt... Croootttt... Crot...

Hangat. Lengket. Nikmat. Berjuta rasanya. Sulit kuceritakan.

P e j u h yg putih kekuningan masuk hingga ke lubang peranakanku, berkejaran secepat kilatan petir demi memenangkan tempat di sel betinaku.

Zrot... Crut... Cret...

Ia kembali memuntahkan yg tersisa dari isi sepasang bijinya, dengan pompaan yg lebih lemah.

Aku bergidik seperti ayam perempuan selesai dibuahi. Tubuhku merinding. Kakiku lemas. Bibirku yg berusaha mencari nafas lalu dilumatnya dengan ganas.

Cup... Slurp... Hmmpphh...

Aku jadi makin kesulitan bernafas.

"Terima kasih, Ukhti..." bisiknya di telingaku.

PLOP.

P e n i s nya dicabut. Aku lalu dibopong menuju ranjang. Ia menyelimutiku dengan sarung.

Hawa panas dalam tubuhku tak berhenti membuatku berkeringat. Udara kamar dipenuhi nafas-nafas yg tersengal karena aktivitas 'berat'.

JEGHERR.

Suara petir di langit memberi tanda bahwa hujan masih lebat. Gesekan listrik ribuan volt di angkasa berdesakan menuju tanah yg netral.

TES. TES. TES.

Air menetes dari langit-langit kontrakanku, hal biasa saat hujan sederas ini.

Aku merasakan kepuasan yg sempurna. Memadu kasih dengan pujaan hati, mau di kamar hotel berbintang lima, ataukah di kontrakan butut yg bocor seperti ini, sebetulnya sama saja.

Sama-sama bikin enak. Sama-sama buat anak.

Aku terpejam dan mulai mengantuk kelelahan. Kusenderkan diriku di dalam dekap peluk akh Joe yg hangat.

"Terima kasih, Akhi... Jauh lebih perkasa antum dibanding suami ana..."

Kuceritakan pula tentang asal muasal alat bantu s e k s yg dibelikan suami. Tentang diriku yg selalu tak puas, dan ingin lebih, dan terus, dan lagi...

Akh Joe mengecup keningku. Momen romantis seperti ini jarang kudapat dari Mas Rohim.

Setiap kali selesai, aku hanya ditinggalkan begitu saja, sedang ia langsung tidur mendengkur.

Aku merasa nyaman dan tenang di dekapan Joe. Angin yg mengintip masuk ke dalam kamar membuatku separuh menggigil. Di luar dingin, namun kulitku terasa hangat menempel di kulitnya.

Mataku semakin berat. Kami tertidur dalam selimut yg sama. Entah berapa lama kami terpejam, aku terbangun kembali karena ingin pipis. Ternyata hujan telah tuntas membilas tanah.

Kuperhatikan bulu-bulu halus di dadanya.

Kapankah aku akan bersamanya kembali, merajut benang pergumulan, memandang lekat rahangnya yg cadas sambil bercengkerama dalam obrolan penuh tawa ringan, saling goda dan raba penuh canda?

Mataku tertuju ke area bawah pusarnya. Lebih tepatnya, ke tonjolan besar di balik celananya

Aku menelan air liurku sendiri.

Kupikir lagi, kok bisa benda sebesar dan sepanjang itu masuk hingga ke pangkal sumur kewanitaanku? Ah, segera kuhapus bayangan indah persenggamaan kami tadi. Kalau diingat terus nanti malah bikin gatal dan kepengen lagi.

Aku bangkit menuju WC.

Jalanku sedikit tertatih. Area sekitar selangkangan ku masih terasa pedas dan ngilu. Saat berjongkok pun aku masih harus berpegangan supaya tak tumbang.

Surrr... Kutuntaskan hajatku, lalu segera keluar.

Kuperhatikan jam dinding, masih 11:40. Masih lebih setengah jam lagi menuju dzuhur.

Aku kembali masuk ke kamar. Kulihat lagi pejantanku yg pulas kecapekan. Aduhai, keren dan macho sekali dia tatkala tidur.

Kuperhatikan lagi area bawah pusarnya. Kuberanikan diri untuk mengelus dan menggenggam p e n i s akh Joe.

Perlahan, kupelorotkan celananya.

Amboooii...

Tak kusangka, walau dalam keadaan tak aktif pun, ukurannya membuatku sulit menutupinya dengan dua kepalan tangan.

Tak dapat kupercaya, inilah muasal aku jadi merem-melek seperti kesurupan.

"Hhmmm... " Joe mendesah pelan. Kuperhatikan ia masih begitu lelap. Jagoanku rupanya sangat kelelahan. Kuusahakan burungnya saja yg bangun, bukan dia.

Kupandang dekat-dekat benda spektakuler itu. Guratannya seakan membentuk ulir-ulir layaknya mata bor dari daging. Uratnya menonjol, biru kehitaman. Pucuknya seperti jamur berwarna merah, agak mengkilap.

Bijinya besar, tapi terlihat kempes. Mungkin karena habis terkuras, menyiram liang rahimku. Agak mengkerut, mungkin karena kedinginan. Bulu kemaluannya rapi, seperti padang rumput yg setiap hari dipangkas.

Dengan hati-hati aku mulai mengocok batang milik akh Joe.

Ahhh...

Selama ini aku tak pernah mau bila disuruh mengulum milik suamiku. Ada perasaan jijik dan mual. Namun setelah melihat dari dekat milik akh Joe, mendadak aku berubah pikiran.

Aku mulai dengan menggenggamnya, lalu kujilat ujungnya seperti menjilat es krim. Hmmm, sedikit asin bercampur gurih. Entah rasa apa ini, namun kuteruskan saja.

Kumasukkan ujung p e n i s nya, lalu masih di dalam mulutku, kumainkan lidahku melingkar.

Slurp... Cusrpp... Hmmm...

Dapat kurasakan belahan lubang p e n i s akh Joe yg agak berlendir.

Kucoba menelan terong impor ini lebih dalam, tapi agak seret. Oh mungkin kurang basah. Aku menganga lebih lebar. Benda itu masih lunglai dan tak sepanjang ketika n g a c e n g.

Kugerakkan kepalaku turun naik, sambil air liurku membantu agar makin licin. Lidahku masih menari membelai. Kusedot-sedot 'pisang' hidupnya perlahan. Kuusahakan tak mengenai gigi.

Benda ini terlampau panjang dan besar, mulutku tak cukup.

Tanganku membantu mengocok dengan gerakan memutar. Pelan-pelan, ukurannya semakin terasa jumbo.

Aku menelannya. Mula-mula hanya ujungnya, lalu semakin dalam. Lalu semakin dalam lagi. Semakin dalam... Sampai... Kurasa aku kewalahan...

Ujung k o n t o l nya hampir menyentuh pangkal tenggorokanku. Aku menarik nafas. Mataku berair. Aku tak tahan, mungkin aku memang belum berpengalaman dan harus banyak belajar lagi.

Kujilat bijinya, kuremas dengan tanganku. Wah, rasanya ada kelereng besar di dalamnya. Hi hi hi...

"Nggg... Hmm..."

Gawat. Sepertinya dia akan terbangun. Aku segera memasukkan p e n i s nya ke dalam celananya lagi.

Aduh, susah amat, kegedean ih... Ah, akhirnya berhasil.

Kuseka bibirku yg tipis dan berlumuran ludah. Aku kembali berbaring di dadanya dan berpura-pura masih tidur.

Ia kemudian bangkit dan mulai mengenakan pakaiannya kembali. Sepertinya ia tak sadar burungnya kujadikan eksperimen dan bahan latihan fellatio. Hi hi hi...

Bergegas ia mengemasi barang-barangnya. Ia hendak pulang.

Mendadak aku merasa kehilangan. Bukan hanya soal permainan hebat yg diberikannya, tapi juga karena aku jatuh cinta padanya.

Ada perasaan tak biasa ketika ia mendekapku hingga dadaku sesak.

Ahmad Jonathan Nainggolan. Nama itu kini tersemat di hatiku, terukir walau tak terlalu dalam. Bersanding, sekaligus bersaing, dengan Rohim.

"Kalau besok, antum gak kuliah, akhi?" tanyaku. Sekadar ingin tahu kapan kami akan bersua lagi. Dadaku sudah dirundung rindu, walau kini ia masih di hadapanku.

Ia tersenyum nakal. Seolah ia tahu aku bakal kangen padanya.

"Emang ukhti kuat tiap hari?" katanya sambil menggoda. Aku cuma tersenyum.

Hiiii... Dasar cabul, hi hi hi... Tapi aku suka!

Setelah siap, ia pesan ojek online dari handphone-nya yg mewah. Jauh sekali dengan aku dan Mas Rohim yg ekonominya sulit.

Ah, tapi aku selalu bersyukur. Banyak hal baik terjadi pada kehidupan kami. Kadang suka dan duka datang silih berganti.

Setelah mengucap salam, ia pergi. Agak jauh titik jemputnya dari rumahku, mungkin agar tak dicuriga orang. Entahlah...

Sebentar lagi adzan dzuhur berkumandang. Aku memanaskan air hangat untuk mandiku sendiri.

Setelah mengganti pakaianku dengan hanya handuk yg terlilit, kuingat-ingat lagi peristiwa hari ini.

Ahh... Pipiku bersemu merah. Kupandangi kompor usangku.
 
TRIPLE UPDATE...LARISSA...
cem ukhtie istrinya si....itu.......
Hahahaha....


Nuhun suhu @sukaniqab :D:):coli::coli::coli::ampun::ampun::ampun::ampun:

Hanya kebetulan sama aja. :)

Btw, cerita PoV Larissa awalnya sih nggak ada. Tapi karena desakan pembaca, dan gw kalah polling juga, akhirnya terbitlah part ini. Seperti biasa, kripik pedasnya gw terima ya... Terima kasih dan selamat membaca.
 
PART 6
NAMAKU ROHIM

Namaku Rohim. Keberuntungan dan nasib baik telah membawaku menuju tujuan yg sering diimpikan banyak pria: menikahi gadis yg cantik dan sholehah.

Ya, tentu aku pantas untuk merasa beruntung.
Namanya Larissa. Ia adalah anugerah terindah yg dikirimkan Tuhan padaku. Kami berkenalan lewat jalur taaruf, karena orang tua kami saling kenal sejak lama.

Aku beberapa kali menjalani proses serupa sebelumnya, dan berakhir dengan kegagalan.
Banyak akhwat yg menolakku. Aku sadar, tampangku jauh dari tampan, dan terlebih, hidupku masih pas-pasan.

Ambisi orang tua yg membuatku menjalani kehidupan yg tak kuharapkan. Profesiku kini adalah paksaan karena pekerjaan ini terlihat mentereng dan bermasa depan cerah.
Entahlah…

Menurut sebagian besar orang mungkin terkesan keren dan berwibawa, walau pada realitanya tak seperti yg diduga.

“Membela kebenaran, membasmi kejahatan.”

Pada hakikatnya, semua itu omong kosong.
Aku terkungkung dalam sebuah sistem amburadul, di mana setiap orang di sekelilingku tak lebih dari preman yg berseragam. Orientasi uang membuat segalanya terlihat beraroma busuk.

Aku tak bisa mengatakan bahwa uangku didapat dari hal-hal yg 100 persen baik.

Tapi bisa kukatakan, aku tak bisa membedakan lagi mana hartaku yg halal dan mana yg haram. Semuanya terlihat abu-abu dan samar.

Ini membuatku bingung dan stress.

Didikan 6 tahun yg kudapat di pesantren yg keras, tak serta merta membuat semuanya menjadi lebih baik.
Aku tetap merasa depresi. Haruskah aku berhenti bekerja saja? Mau kuberi makan apa istriku kelak?

Terlebih, apa yg kudapat di pondok, amat sangat tak bersambung dengan pekerjaanku ini.
Masalah ini kupendam dalam diamku semata. Tak berani aku membantah orang tuaku, karena aku yakin hanya dengan cara seperti itulah hidupku senantiasa lancar.

Hanya doa ibuku saja yg menghantarkanku menuju jalan hidup seperti ini.
Tak pernah kubayangkan aku akan lulus dan memperoleh pangkat (yg walaupun masih rendahan), memberikanku nafkah, mematri rutinitas harianku, hingga puluhan tahun sampai pensiun kelak.

Hidup dengan penghasilan pas-pasan, kalau tak mau dibilang nestapa, sering membuatku merenung.
Hubunganku dengan Larissa tak seperti hubungan suami istri pada umumnya. Ia banyak bicara hal-hal yg tak kupahami. Tentang kehidupan kampus (yg tak pernah kubayangkan), kegiatan dakwah, istilah akademisi, dan entah apa lagi.

Aku merasa komunikasi kami terlalu berjarak dan hambar
Pada akhirnya ia pun mengeluhkan hal itu. Kupikir karena kami berbeda latar belakang dan pendidikan.

Masalah lain yg juga berat kupikul adalah hasrat seksual Larissa yg tak kumengerti.
Ia selalu meminta jatah, seringnya di saat badan dan pikiranku sudah lelah. Singkat kata, ia hyper-s e k s.

Sampai pada akhirnya, dengan sangat terpaksa aku harus merelakan posisi p e n i s ku digantikan oleh sebatang alat dari karet yg lebih bisa memuaskannya.
Kuberi juga ia tontonan yg vulgar dan membangkitkan birahinya. Biarlah ia larut dalam imajinasinya sendiri.

Aku sadar, aku tak dapat memuaskannya di ranjang. Ditambah, aku ragu dengan kesuburanku. Hingga berbulan-bulan kami menikah, belum ada tanda-tanda rahimnya terisi.
Suatu saat, aku berpikir.

Bagaimana bila kuikhlaskan saja ia disetubuhi oleh pria lain?

Yg lebih perkasa, lebih tampan, dan lebih segalanya dariku, demi mendapat keturunan? Ide tak waras ini terngiang terus di alam pikiranku, walau tak pernah kubicarakan dengan Larissa langsung
Siapapun orangnya, yg penting aku ridho.

Hari ini, setelah pulang dari shubuh di masjid, seperti biasa aku membaringkan diri di kamar kami yg sederhana. Kutatap langit-langit dengan pandangan hampa. Pikiranku berkecamuk, karena uang kontrakan yg tak kunjung lunas kubayar.
Aku sedang tak ada uang, sedang gajian bulanan yg tak seberapa, masih harus kutunggu beberapa hari lagi. Pengeluaran kami fokus pada uang kuliah Larissa.

Istriku sudah selesai mengaji. Ia bersiap untuk berbelanja di warung sayur langganan.
Entah mengapa, tak seperti biasanya, ia memutuskan untuk jalan kaki saja.

“Kan, jauh?” cegahku. “Mas antar aja, ya? Pakai motor.”

Ia menggeleng. “Sekalian olahraga,” katanya. “Lagian hari ini belanjaan kayaknya nggak banyak, Mas…” lanjutnya lagi.
Sebuah kode bahwa uang belanjanya sudah banyak terpangkas.

“Tapi nanti aku mampir di rumah Bude Sam, ya?” lanjutnya lagi sambil berkaca. Kulihat bayangan wajahnya di cermin. Sungguh cantik dan menggoda. Aku juga berpikir agar ia memakai cadar, agar tak dilirik ikhwan lainnya.
“Agak lama mungkin, Bi. Tergantung titipan jahitannya seberapa banyak,” tukasnya. Bude Sam adalah penjahit senior di kampung ini.

Untuk menambah penghasilan keluarga, istriku mengerjakan jahitan yg sederhana dari Bude Sam. Yah, semacam outsourcing begitu lah…
Larissa sebetulnya sempat meminta mesin jahit yg lebih modern. Tapi kendalaku lagi-lagi soal uang.

“Ya sudah, hati-hati ya, Mi…” pesanku. Setelah mencium tanganku, ia mengucap salam dan berangkat.
Aku kembali berbaring, dan pikiranku kembali melayang soal uang. “Mungkin aku harus ke pegadaian,” batinku memberi usul.

Saat mataku separuh terpejam karena kantuk, aku merasa mendengar seseorang berteriak.

“Tolooong…”
Suaranya kecil dan samar-samar, namun aku yakin aku tak sedang bermimpi. Segera aku bangkit, memasang sarungku dengan ketat, lalu beranjak keluar dari rumah.

“Tooloooongg…”

Suara itu makin keras.
Suara itu makin keras. Sepertinya berasal dari kontrakan di sebelahku. Segera kuintip dari jendelanya yg terbuka sedikit.

“Mbak Win?! Mbak Winarti?! Ada apa, Mbak?” Aku berteriak. Berusaha agar suaraku bisa terdengar juga olehnya. Kurasa ia ada di area belakang rumah.
“Mas Rohim!? A—A—Ada ular, Mas!”

Waduh!

“Tunggu sebentar, ya Mbak! Mbak sekarang di mana?!” Aku berteriak lagi.

“Di—di WC, Mas! U—ularnya di depan pintu, sa—saya nggak bisa buka!”
Dengan terbata-bata, ia menjelaskan kondisi terkininya.

“To—tolongin saya, Mas!”

Ah, ternyata pintu rumahnya tak terkunci. Aku masuk dan separuh berlari ke arah belakang.

“Mbak Win? Ularnya persis di depan pintu?” tanyaku dari luar WC.
WC semua kontrakan Pak Larso ini layoutnya sama. Posisinya terpisah dari bangunan utama, dengan dinding depan dari seng dan atap genteng tanah liat, tanpa langit-langit.

“Masih Mas, saya udah siram ta—tapi dia nggak mau pindah.” Aku menangkap kepanikannya.
Aku mulai berpikir. Mbak Win tidak bisa membuka kunci pintu WC. Sepertinya aku harus membuka atap genteng, supaya aku bisa masuk.

“Saya masuk dari atas atap ya, Mbak?” Aku meminta persetujuannya. Kugeser kursi meja dan siap kunaiki. Aku juga perlu tahu keadaan di dalam.
“Ja—jangan, Mas… Tarik aja pintunya, ga saya kunci,” terangnya.

Ha? Bagus kalau begitu, ini jauh lebih mudah dari yg kukira.

“Eh… Nggg… An—anu Mas, tolong ambilin pakaian saya di jemuran,” pintanya.

Heh? Ja—jadi… Dia lagi bugil sekarang?
Ah, benar juga. Mungkin tadi dia lagi mandi. Pikiranku jadi teralihkan. Bayangan seorang wanita tanpa busana terlintas di benakku.

“Oh, ba—baik Mbak,” jawabku. Lamunanku buyar. Kuambil sembarang pakaian dari jemurannya yg didominasi lingerie dan pakaian dalam.

Duh…
Lalu kuambil sebilah tangkai bekas pel yg ujungnya sedikit berkarat. Yg kubayangkan adalah posisi Mbak Win agak jauh dari pintu, sedangkan aku dihalangi ular.

Akan kugunakan tongkat pel ini untuk memberi pakaian padanya.
Perlahan, kubuka pintu WC.

KRIEETT.

Suara pintu WC berdecit. Aku intip sedikit, memang benar ada ular. Tak terlalu besar. Mungkin masuk dari lubang pembuangan air.

“Aw—awas Mas, ularnya di depan pintu…” kata Mbak Win menyuruhku waspada.
Kubuka pintu makin lebar.

“Ma—maaf ya, Mbak…” kataku sedikit tak enak.

Aku menyodorkan pakaiannya dengan tangkai pel. Mataku mau tak mau melirik ke arahnya.

Ya Tuhan…
Sekilas, terlihat kemolekan tubuh Mbak Win. Montok, tak kalah dengan bodi istriku. Ia hanya menutupi bagian dadanya dengan tangan, dan bagian kemaluannya dengan sebuah gayung.

Badannya masih separuh basah, dengan rambut yg diikat ke atas. Warna kulitnya putih bersih dan mulus.
Salah satu putingnya terlihat olehku. Pikiranku melayang menuju hal-hal yg tidak-tidak. Aku tak dapat menyembunyikan hasratku.

Detak di dadaku makin kencang. Lelaki manapun pasti akan kikuk berada di situasi ini.

“Ja—jangan ngintip ya, Mas,” pintanya.
Aku hanya berdehem. Padahal, “Aduh, terlanjur Mbak!” kataku dalam hati.

Ia mengambil pakaiannya. Pintu WC kembali kututup. Sembari menunggunya memakai pakaian, kuatur nafasku agar normal kembali. ‘Otong’ milikku perlu ditenangkan.
Mbak Win tetanggaku ini sehari-hari bekerja sebagai karyawan di bank syariah. Penampilannya agak modis, walau masih berhijab. Dari keterangan istriku, usianya memang lebih tua dariku. Hanya saja ia belum menikah. Perawan tua.
Mungkin itu semacam kutukan orang-orang yg bekerja di bank. Terlalu sibuk bekerja, sehingga lupa menikah.

“Su—sudah dipakai, Mbak?” tanyaku. Di tanganku sudah ada karung goni yg kudapat juga di sekitar situ. Tak kusangka di sini banyak bertebaran barang-barang bekas.
“Bentar Mas, dikit lagi,” katanya. Aku maklum, menunggu istriku sendiri pakai jilbab saja lamanya minta ampun.

“Sudah, Mas…” katanya lagi.

“Ularnya masih di tempat tadi, Mbak?” tanyaku memastikan.

“I—iya Mas, masih diem aja,” terangnya.
Pintu WC kubuka kembali. Dengan tongkat pel bekas, kuarahkan ular menuju karung goni yg sudah kurenggangkan.

Ah, susah sekali sih… Ular ini seperti tak mau menuruti kemauanku.

“Hati-hati, Mas,” nasihat Mbak Win.
“I—iya, Mbak… Tapi ular ini sepertinya nggak berbisa,” kataku sok tahu. Padahal aku senewen juga.

Ah, akhirnya ular ini bisa kumasukkan ke dalam karung.

Segera kuikat dengan tali seadanya, lalu kututup dengan bak, ditambah kutimpa dengan pecahan batu bata sebagai pemberat.
Kucuci tanganku dengan air dari dalam ember.

“Aman Mbak,” kataku sambil mengeringkan tangan dengan kaosku. Ia segera menghambur keluar kamar mandi.

“Hiiii… Ak—aku takut, Mas.” Tak kusangka ia berlari ke arahku sambil menutup matanya dengan tangan.
Badannya merapat ke dadaku. Secara refleks kupegang kedua lengannya.

“Su—sudah, Mbak, sudah aman,” kataku menenangkannya.

Yang justru tidak tenang adalah ‘ular’ milikku yg sejak tadi aktif. Masih terbayang dalam ingatanku, tubuh bahenol dan putih Mbak Win.
“Te—terima kasih banyak ya, Mas Rohim,” katanya sambil menatapku. Ia sudah agak tenang. Jilbab dan bajunya masih basah.

“Sama-sama, Mbak,”

Kami berdua terdiam dalam momen yg menggantung. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Ia pun hanya memandang ke bawah.
“Mas…” panggilnya.

“Kenapa, Mbak?”

“Mmm… Ta—tadi… Mas ngintip aku, ya?”

Pertanyannya menusuk. Aku jadi salah tingkah. Tak bisa kupungkiri, keindahan tubuhnya yg tanpa busana mengganggu pikiranku.

“Eh, ma—maaf Mbak, i—iya Mbak, kelihatan sedikit,” kataku gelagapan.

“Kelihatan apanya, Mas?” tanyanya lagi, semakin memancing. Senyumnya nakal. Matanya menyipit, memberi kode khusus.

Aku tak pernah sedekat ini saat bicara dengannya.

“An—anu, Mbak… I—itu… Maaf ya, saya pulang aja deh,” kataku. Suasana canggung ini tak boleh kubiarkan berlarut.
“Ih, Mas… Ularnya Mas Rohim minta dimasukin karung juga tuh,” katanya sambil mengerling ke arah sarungku.

Ah, aku cuma pakai celana pendek dan sarung. Tonjolannya tentu sangat kentara.

“Mas pengen, ya?” katanya semakin frontal menggodaku.
Aku menelan ludah.

Tiba-tiba, ia mencium bibirku. Hanya sepersekian detik setelahnya, segera kulepas pagutannya.

“Eh? Mbak Win? Sudah Mbak, cukup…” Aku menghentikannya, logikaku masih berada di atas rasa nafsuku. Aku ini pria yg telah beristri.
“Nanti kita ketahuan, Mbak…” kataku lagi, berusaha menghilangkan rasa bersalah karena menolaknya.

Kupegang pergelangan tangannya agar menjauh, namun tiba-tiba ia mengarahkan tanganku ke salah satu buah dadanya.
“Memangnya Mas nggak pengen, ya?” Ia semakin agresif saja.

ASTAGA.

Dapat kurasakan daging empuk dan sedikit kenyal miliknya. Ditambah bajunya yg sedikit basah, membuat bayangan puting susunya membekas.
Belum selesai urusan di pegunungan Mbak Win, aku dibuat tersentak, ketika tiba-tiba ia berjongkok sambil memelorotkan sarungku.

“Aduh… Mbak… Ma—mau ngapain, Mbak? Ja—jangan Mbak, bahaya nanti kalau ada yg tahu,” kataku sambil berusaha menutupi area kemaluan.
Ia sudah lupa diri, beringas dan seperti hendak memperkosaku saja.

“Ih, Mas… Jangan jual mahal gitu dong, hi hi hi hi…” ia masih terus berusaha melucuti celana pendekku.

“Mas tenang aja, nikmatin aja ya,” katanya lagi.

TOWEWEWEW…
Burungku mengacung tegak berdiri dan memberi hormat, saat tak ada lagi penutup. Tanpa aba-aba, Mbak Win langsung menggenggam dan menghisap batang kejantananku.

“Ohhhh… Mbak… Hen—hentikan, Mbak… Nanti istri saya dateng… Ahh… Ssshhh… Hhmmm… Mbak… Stop… Aduhhhhh… Ahhh…”
Tanpa memperdulikan eranganku, ia terus memberikan pelayanan lewat mulutnya. Sesekali ia menatap mataku manja, seolah sudah sering melakukan ini sebelumnya.

“Ja—jangan-jangan, dia sudah nggak perawan lagi?” pikirku.
Sedotannya makin buas, dan aku dalam posisi serba salah, antara harus menikmati, atau mengingat statusku yg sudah menikah?

Akan kuberi jawaban apa jika istriku tahu suaminya sedang berdua saja dengan perempuan lain di rumah sebelah?
Lama-kelamaan, aku justru semakin enjoy dengan perlakuan tak lazimnya ini.

“Aduh Mbak… Ohhh… Enak… Terus Mbak…”

Sudahlah, lebih baik aku pasrah saja.

Aku kini terbuai oleh permainan lidah Mbak Win.
Peduli setan jika istriku tiba-tiba datang. Nanti kukatakan saja aku habis menolong Mbak Winarti karena rumahnya kemasukan ular.

Toh aku punya buktinya.

Kuhitung, aku masih punya waktu ‘bermain’ hingga nanti Larissa benar-benar pulang.
Aku bagai kucing yg disuapi ikan asin. Belum pernah p e n i s ku dioral seperti ini oleh istriku. Larissa selalu enggan, entah karena jijik, mual, atau tak tahan dengan aromanya.

Ini adalah pengalaman pertama dan luar biasa untukku.
Mbak Winarti sepertinya sudah hapal dengan apa yg harus dilakukannya. Pipinya sampai kempot ketika menghisap, dan gerakan kepalanya yg maju mundur membuatku merem melek.

Lebih edan lagi, ini semua ia lakukan sambil masih mengenakan jilbab.
Kuanggap ini semua pelampiasan atas ‘kebebasan’ yg telah kuberikan pada istriku. Kebebasan untuk memuaskan hasrat seksualnya dengan mainan dari karet.

Sudah sering aku diajak oleh rekan-rekanku untuk ‘jajan’ di luar, tapi selama ini imanku masih kuat menampik semua godaan itu.
Namun kini, berbeda…

Aku bukan berniat selingkuh, tapi nikmat ini datang sebagai sebuah nasib mujur. Entah mengapa aku merasa harus berterima kasih pada ular di WC tadi. Akhirnya aku bisa ‘jajan’ tanpa keluar uang.

“Oohhh… Ssshhh… Jago banget kamu, Mbak…” desahku.
Sesekali aku turut bergoyang mengikuti gerakan mulutnya. Dengan rakus, ia lahap batang p e l i r ku hingga ke pangkal, sampai ujung kepala burungku menyentuh rongga kerongkongannya.

“Hebat sekali kamu, Mbak…” pujiku lagi.
“Mmmmm… Slurrpp… Cupp… Hhhmm… Srruupp…” Mbak Win bersemangat menjalankan tugasnya.

“Ahhh… Mas… Lanjut di kamar aja yuk, Mas?” katanya setelah mencabut sosisku. Tangannya berputar-putar dan mengocok batangku yg berlumuran liur. Ia mengusap mulutnya dengan punggung tangan.
Sebetulnya aku bisa menghindar, dan kabur secepat kilat. Tapi setan telah menguasai ubun-ubunku. Gelora nafsuku bergejolak tak terbendung. Aku telah terlanjur berkubang di lumpur dosa.

Nanggung!

Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan mantap.
Ia masuk ke kamar duluan. Kuperhatikan bongkahan pantatnya yg padat dan terayun seirama langkahnya.

Aku memberinya tanda bahwa aku akan menutup pintu depan.

Kuperhatikan sekilas kondisi di luar rumah. Sepertinya aman.

CEKLEK.
Aku masih bisa menggunakan alasan “menolong Winarti menangkap ular” jika nanti kami terciduk sedang berdua. Beres!

Aku masuk ke kamar Mbak Win dan mengunci pintunya dari dalam.

CEKLEK.
Di atas ranjang yg besar, ia telah menungguku dengan pose menantang. Senyumnya mengembang, seolah bangga aku yg terlihat alim dari luar, berhasil jatuh ke pelukannya.

“Sini, Mas…” katanya sambil menepuk-nepuk kasur yg terlihat lebih empuk dari kasur yg ada di rumahku.
Bagai sapi ditusuk hidungnya, aku menuruti kemaluan, eh, kemauannya. Aku merangkak dari ujung tempat tidur menuju Mbak Win yg sedang melepas jilbabnya.

Rambutnya tergerai indah, legam dan terawat. Lehernya putih, juga bagian dadanya. Ia begitu cantik.
Tak kusangka aku akan bersetubuh dengan wanita yg bukan istriku. Kupandang lekat-lekat setiap bagian tubuhnya. Begitu sempurna, dan menundang hasrat.

Aroma sabun selepas mandi yg segar, ditambah temaram lampu kontrakan kamar yg romantis. Ah, kutatap menu santapan gratisku ini.
“Kok ngeliatinnya gitu amat sih, Mas?”

“He he he, habis Mbak cantik sih…”

“Gombal ah, Larissa kan lebih cantik?”

“Susu Mbak lebih besar…”

“Hi hi hi… Emangnya pernah lihat, Mas?”

“Kan barusan tadi, di WC,” jawabku jujur.
“Tuh kan tadi beneran ngintip…” protesnya sambil bersungut.

“Ayo Mbak, aku udah nggak tahan, keburu istriku pulang nanti…” kataku sambil mulai menyerangnya.

“Sabar dong, Mas… Hi hi hi… Isepin ini dulu,” katanya sambil membuka kancing bajunya.
Terpampang di depanku, dua buah gunung dari daging dengan ukuran dan bentuk yg makin membuatku terangsang. Puting susu Mbak Win tampak mengeras, dengan warna pink merona. Warna payudara nya putih, dengan urat nadi berwarna kebiruan yg halus.

Aku terpana dengan pemandangan ini.
“Isep sendiri nggak bisa, Mbak?” godaku.

“Hi hi hi… Ada-ada aja deh Mas, emangnya nyampe?” sahutnya sewot. Lucunya, ia lalu berusaha menyentuhkan puting susunya dengan lidahnya sendiri.

“Sini, aku bantuin, Mbak,” kataku bersemangat.
Ia membuka semua pakaiannya, hingga tinggal tersisa celana dalamnya saja.

Tanpa banyak bicara lagi, kuremas bukit kembarnya dan kujilat pentilnya bergantian.

“Awww… Ssshh ahh… Pelan-pelan Mas, pake per—perasaan…” desahnya.
Bagai bayi raksasa yg sedang menyusu, aku kulum dan kenyot ujung buah pepaya mengkal di hadapanku ini. Bentuknya yg lebih besar dari milik istriku membuatku semakin bernafsu.

“Mmm… Slurrpp… Sss… Clupp… Plopp…”
Mbak Win menggigit bibir bawahnya sambil mengejang sesekali. Kesegaran buah dadanya membuat aku betah berlama-lama di area ini. Ia pun menjambak rambutku, memohon untuk menambah intensitas keliaran lidahku.

“Ssshhh… Iya terus, Mas… Gitu… Uuuhhh… Nggg…”
Erangannya tak berhenti.

“Ak—aku udah bas—basah nih, Mas…” akhirnya pertahanannya jebol juga setelah beberapa menit aku memberinya kepuasan lewat mulut dan jemari tanganku.

Aku sadar tak punya banyak waktu. Sebaiknya segera kulanjutkan gairah birahiku menuju fase selanjutnya.
“Ayo Mbak, lanjut ke menu utama,” kataku berseloroh.

“Hi hi hi hi,” sahutnya sambil tertawa genit.

Kulihat celana dalam Mbak Win sudah becek. Aku tak tahu apakah karena mandi tadi atau karena ia sudah tak tahan lagi ingin kugenjot.

“Hmmm… Mas Rohim…”

Ia seperti mencari sesuatu di dalam laci meja samping tempat tidur.

“Pake ini dulu, ya, Mas?” Ia membuka kotak kecil dengan dominan warna merah muda.

“Kon-kondom?” kataku terkejut. “Tap—tapi, saya belum pernah pakai, Mbak,” tukasku jujur.
“Hi hi hi, polos amat sih, Mas? Hm, berarti sama selain Rissa belum pernah, ya?” mata Mbak Win meledekku nakal.

Sebetulnya aku sering melihat benda itu, namun tak pernah terbersit di pikiranku untuk memakainya.
Lagipula, untuk apa? Justru aku menginginkan Larissa hamil. Eh, tunggu dulu…

“Supaya aku nggak bunting, sama gak ketularan penyakit, Mas,” jawabnya vulgar, bagai dapat membaca isi kepalaku.

“Cara pakainya gimana, Mbak?” tanyaku lugu.
“Hi hi hi, sini… Pisang Mas Rohim kan udah mau mateng tuh, tinggal dibungkusin ini, deh…”

SLOPPP.

Kuperhatikan karet bening yg mengkilap, seperti selongsong peluru. Bentuk pisangku malah lebih mirip sosis separuh matang.
Kulihat Mbak Win telah mengambil posisi. Entah kapan ia membuka celana dalamnya. Bulu-bulu halus menutupi area kemaluannya. Kuperhatikan lagi, kaki dan tangannya juga berbulu. Bahkan di dadanya ada bulu!

Mungkin benar kata orang, makin berbulu makin gampang sange.
Kuperlakukan ia layaknya istriku saja. Tanpa perlu kata pengantar lagi, kumasukkan batang kejantananku menuju lubang surganya.

ZZZLOOPP.

“Ahhh… “ erangku sambil menahan nikmat.
M e m e k nya jauh lebih longgar daripada milik Larissa. Mungkin benar dugaanku, ia sudah tak perawan lagi. Bahkan mungkin sudah berkali-kali ia melakukan ini dengan pria lain.

Tapi aku tak mau membahas itu. Kunikmati saja apam legit gratis ini apa adanya tanpa banyak mengeluh.
“Ngggghhh… Ssssh…” Mbak Win mulai mendesis keenakan.

Dengan cepat, lendir putih mulai melumasi sosisku seiring sodokan demi sodokan yg kuberikan pada pertengahan selangkangan Mbak Win.

PLAK PLOK SLOP CROP COP PAK.

Sesekali kulihat ia menggigit bibirnya sendiri.
Suara kecipak diiringi desahan Winarti mulai membahana. Kututup mulutnya dengan tanganku, takut kedengaran dari luar kontrakan ini.

“Hmmppfff… Ngghh… Sss… Fff… Hggg…”

Tangannya berusaha melepaskan diri, namun lenganku lebih kuat.
“Ssstt… Jangan berisik, Mbak… Ntar ketahuan!” Jariku kutempelkan di depan bibirnya.

“Aduh… Masss… Hen… Hennak… Engh… Kasarin aku, Maas… B a n g s at… Enak a n j i n g…”
Ia meronta-ronta sambil meremas onderdilnya sendiri. Sinting, bisa jadi Winarti ini sebetulnya maniak juga, bahkan lebih parah dari istriku.

Setelah beberapa saat, ia mencengkeram pantatku. Kakinya menjepit kedua pahaku.
Ia mengejang, mendapatkan kepuasan perdananya.

“Aaahhh… Maasss… “

Pekikannya melengking, matanya terpejam, peluhnya melebur bersama keringatku. Aku turut ngos-ngosan, namun belum kelelahan. Jauh dari itu.

ANEH BIN AJAIB!
Biasanya aku KO duluan jika satu ring bersama istriku. Apa karena jepitan Winarti yg kurang menggigit, ataukah karena kulit p e n i s ku sudah dilapisi rubber tipis pemati rasa?

Ah, aku jadi makin bersemangat! Darah mudaku mendidih.
Tak akan kusia-siakan momen ini. Kulirik jam weker di atas meja.

“Hmm… Sepertinya aku masih punya banyak waktu,” pikirku.

“Ngos… Ngos… Hosh… Hosh… Ampun… Mas…” Winarti minta jeda.

Aku memulai babak kedua dengan gaya menyamping.
PLOP PLOP ZRUTT CIPAK CPOK.

Bunyi belut keluar masuk sarang kepiting kembali mengudara. Nafsuku begitu besar, tenagaku kuporsir. Aku harus merengkuh kenikmatan dari Mbak Win.

Setelah beberapa saat…

“Aaaahhhhh… Nggkk… Ohh…”
Mbak Win meluapkan puncak rasanya. Sedangkan aku masih menyimpan energi maksimal untuk ronde selanjutnya.

Begitulah pagi itu kami lalui. Ronde demi ronde. Gaya demi gaya. Di tiap akhir gaya, selalu ada desahan nikmat Mbak Win, dan desiran v a g i n a nya yg bertambah becek.
“Ooohhhh…”

SERRRRR.

Dapat kurasakan dari lubang sempitnya, cairan cinta yg hangat dan sedikit lengket.

Lalu terjadi lagi…

“Arrrghhh… Maasss…”

Dan lagi…

“Yeesssss enggghhh…”

SERRRR.

Lalu, lagi…

“Aahhhhkkk… Ahk… Ahk…”

SERRRRR. NNYUT. NYUTT.

Sekali lagi…
“Maaassssss!!”

CURRRR. PRUT. PUTT.

Dan, lagi.

“Sssshhhh… Hek… Hek…”

Kali ini ia seperti menyerah. Suaranya serak nyaris tak terdengar lagi. Tenaganya terkuras.

“Am—ampun Mas Rohim… Aku rehat dulu…”
Dan di titik ini aku diam mematung. Ada apa dengan alat kelaminku? Pinggangku memang agak pegal, nafasku megap-megap, namun staminaku masih prima. Rohim junior masih tegak minta jatah.

Oh. Tidak. Kenapa jadi begini?

Apakah… Apakah ini karena…
Karena ini perselingkuhan pertamaku? Aku menikmati hubungan intim ini, tapi tongkat hansipku ini seperti menolak untuk bekerja sama. Aku tak kunjung bisa ‘keluar’.

Apakah karena ini sekadar hubungan intim tanpa rasa cinta?
Kami sekadar berhubungan layaknya binatang, aku tak memiliki perasaan apapun pada Winarti. Hanya nafsu semata.

“Mas Rohim, nggak keluar-keluar juga?” tanyanya, mungkin ikut bingung juga.

“Iya, Mbak,” jawabku lirih. “Mungkin kita coba sekali lagi?” kataku masih bersemangat.
Kurasa kami sudah mencoba banyak sekali gaya, bahkan dengan posisi Mbak Win di atas, bagai memegang tali kekang, dan aku sebagai kudanya.

Ia melirik ke arah jam weker di meja.

“Kita lanjutin kapan-kapan, ya Mas…” katanya.
“Aku masih punya waktu,” kataku berharap ia masih mau melayaniku.

“Tapi aku nggak, Mas. Aku bisa telat masuk kerja,” Ia memunguti pakaiannya. “Terima kasih ya Mas,” ia mengecup bibirku mesra sekali, lalu beranjak bersiap ke kamar mandi.
Wajahku meraut sedikit rasa kecewa. Kuperhatikan lagi sekeliling isi kamar ini dengan tatapan kosong.

“Mbak Win?”

“Ya, Mas?”

“Hmm… Apa… Apakah Mbak sering melakukan ini?” tanyaku, tak mampu menyembunyikan rasa penasaran.
“Hi hi hi… Mas Rohim… Mas Rohim… Kamu ini lugu atau bodoh, sih?”

Hah? Maksudnya apa? Sungguh aku tak paham.

Ia menghampiriku dan melingkarkan kedua tangannya di leherku. Tatapan matanya menyimpan keheranan dan sendu sekaligus. Sangat ambigu.
“Ya zaman sekarang cari calon nasabah susah Mas, aku harus banyak improvisasi.”

GLEK.

Aku tak habis pikir. Seorang wanita berhijab, sehari-hari menutup auratnya rapat. Dengan mudahnya menjajakan tubuh demi karir.
Tidak. Ia bukan pelacur. Ia pekerja kantoran. Apakah ia kekurangan uang? Kurasa tidak juga. Lalu, apa? Apa yg dibutuhkannya?

Aku jadi merasa bersalah dengan apa yg terjadi pagi ini. Segalanya serba kusut. Mungkin tak seharusnya ini terjadi. Apakah tak seharusnya aku menolongnya?
Ah, mengapa harus ambil pusing? Biarkan saja aku dapat barang bekas, selama masih gratis sih, bodo amat!

Mbak Win bersiap-siap mandi lagi.

“Hati-hati, ada ular lagi, Mbak,” godaku.

“Hush! Mas! Jangan ngaco, dong!” Ia mencubit lenganku sambil bersungut.
“Awww…” Kuelus bekas cubitannya. “Nanti kalau jadi merah, ditanyain istriku,” kataku.

“Biarin! Pokoknya temenin ke belakang, aku tuh masih merinding, tauk!” Mulutnya masih bersungut.

“Iy—iya, Mbak,” jawabku terpaksa. “Mau dimandiin sekalian nggak?” godaku lagi.
“Hiihh… Cepetan Mas, nanti aku telat nih,” katanya tanpa basa-basi lagi. “Terus yg di dalem karung, gimana?” tanyanya.

“Ya udah nanti aku buang ke kebunnya Cak Sumo, di tepi sungai,” jawabku sekenanya. “Eh, Mbak… Ngg… “
“Lebih baik jangan cerita apa-apa soal ular, ya? Nanti istriku malah tanya macam-macam,” usulku.

“Beres, Mas… Hi hi hi,” katanya sambil membuat isyarat ‘OK’ dengan tangan.

Setelah Mbak Win selesai mandi, aku pun pamit.
Dengan sangat hati-hati, kupantau dulu area sekitar kontrakan kami. Takut kalau ada yg kebetulan lewat, bisa bubar rumah tanggaku.

Ular kutaruh di gantungan motorku. Lalu aku masuk ke dalam untuk mengambil kuncinya.

ASTAGA.
Aku kaget ketika melihat handphoneku. Ada belasan panggilan tak terjawab dari Larissa.

Pikiranku kalut. Ada apa dengannya? Segera kulihat WhatsApp. Notifikasinya banyak sekali. Semua darinya.
‘Abi, umi di rumah bude sam, bawaannya banyak, jmpt ya’
‘Abi ?’
‘Abi di rumah?’
‘Tidur ya?’
‘Biiii…’
:(
‘Abi angkat telponnya……’
‘Ya udah aku tungguin di sini aja ya’

Itu 30 menit lalu.
‘Abi… Belum bangun ya?’

Itu 10 menit lalu.

Ya ampun. Semoga dia masih betah di sana. Rumah Bude Sam memang lumayan jauh kalau harus jalan kaki.

‘Maaf abi baru bangun, oke tunggu ya.’ Demikian pesanku singkat.
Kutekan tombol ‘Send’, lalu secepat kilat aku mengganti baju, celana pendek, dan sarungku. Segera kurendam bersama dengan pakaian kotor lainnya.

Aku berkaca.

Kuharap tak ada bekas permainan terlarangku dengan Mbak Win. Entah itu aroma, bekas lipstik, gigitan, apapun.
Segera kupacu motor tuaku. Tak lupa, kubuang bukti terakhirku ke kebun Cak Sumo. Untung lokasinya searah dengan tujuanku.

“Selesai,” kataku dalam hati. Aku pun melanjutkan perjalanan.

Tak lama, aku melihat sosok wanita berhijab berjalan kaki berlawanan arah.
“Hlo? Mi? Kok, jalan kaki?”

Segera kumatikan motor, lalu kupeluk erat tubuhnya. Ia pasti lelah harus jalan kaki sambil membawa buntalan besar kain.

“Duh Abi apa-apaan sih? Malu tauk kalau dilihat orang…” tukasnya sewot.

“Umi ga liat WA Abi terakhir?” tanyaku.
“Yg mana? Hape umi abis baterai tadi,” jawabnya. “Mau pake ojek, sayang duitnya. Motor Bude udah dibawa Mbak Wiji. Ya udah aku jalan aja, toh kalau Abi jemput kita bakalan ketemu di jalan,” jelasnya memberondong.

Aku hanya mengangguk-angguk sambil menggaruk kepala yg tak gatal.

Memang semua ini salahku. Kubantu ia membawa barang. Kami pun pulang.

Sepanjang perjalanan, tangannya memelukku mesra. Kurekatkan tangan kiriku di atas tangannya, menambah romantisme kami. Yang ia tak tahu, pagiku telah diisi wanita lain.

Sesampainya di rumah, kulirik sekilas kontrakan Mbak Win. Sepertinya dia sudah berangkat kerja. Semoga saja rahasia kami akan tetap menjadi rahasia.

"Abi, tahu nggak, jadi Bude Sam itu dapat orderan dari salah satu pabrik konveksi, nah dia mau cari orang lagi buat bantuin bikin jahitan yang kecil-kecil." Seperti biasa, istriku bercerita panjang lebar.
Aku hanya bisa mendengarkan, sambil masih memikirkan dosa yang kulakukan.

"Alhamdulillah kan, ya?" katanya. "Iya, alhamdulillah," jawabku seadanya, tanpa mendengar 100 persen apa yang diucapkan istriku.

Aku beranjak untuk mandi. Segarnya air dingin membantu menenangkan pikiranku.

Seperti biasa, istriku sudah menyiapkan sarapan dan pakaian kerjaku. Lengkap dengan bekal makan siang, serta sepatuku yg licin mengkilat. Dengan energi yg baru, aku siap berangkat kerja.

“Abi pergi, assalaamu’alaikum.”

Kukecup keningnya, dan ia pun mencium tanganku. “Wa’alaikumsalaam. Jangan lupa bekalnya dihabiskan, kalau ada waktu luang baca quran sama dhuhanya dibanyakin…”

Seperti biasa, ia memberondongku dengan pesan beraneka ragam. Pikiranku kusut, jadi kalimat istriku hanya terdengar seperti tiga buah kereta panjang yg lewat di samping telingaku. Berdengung memanjang.

Entah apa jadinya bila ia sampai tahu suaminya baru saja menjadi ahli maksiat. Berzina. Aku jadi merasa bersalah, tak seharusnya ia kukhianati. Penyesalanku dalam dan tak ada guna lagi.

“Abi?! Kok, bengong sih?”

Aku jadi kaget.

“Eh, i—iya,” kataku. “Lagi mikir kerjaan,” tukasku beralasan.

Di kantor, aku kembali mengawang-awang tak karuan. Antara nikmat yg diberikan Mbak Win, dengan rasa takut ketahuan istri, campur aduk seperti es buah. Pekerjaanku tak terurus. Aku kehilangan konsentrasi.

“Ya Tuhan, Ampuni hambaMu ini…” kataku dalam hati. Aku mencoba menenangkan diri. Tapi gagal.

Waktu berjalan begitu lambat, namun jam istirahat makan siang masih amat lama.

CUKUP.

Kuputuskan kembali ke rumah sebentar. Aku tahu hari ini Larissa tak kuliah. Segera kuambil kunci dan kupacu motor bututku agar aku bisa kembali ke kantor sebelum siang.

"Mau ke mana?" salah seorang rekan kerjaku bertanya.

"Ng… Aku pulang sebentar cak, mau ambil dokumen," kataku berbohong.

GELEGER.

Langit menggulita. Perasaanku semakin tak enak. Mendung seperti berkejar-kejaran dengan motorku yg tak bisa kencang kupacu. Aku harus sampai lebih dulu dibandingkan air hujan ke tanah.

Awan gelap di atas kepalaku kalah tebal dengan rasa rindu pada istriku.

VRROOMM.

Akhirnya. Aku sampai di depan rumah kontrakan kami yang kecil.

Ada hal yg berbeda. Sepi. Bukan, lebih tepatnya, terlalu sepi. Aku juga tidak paham, sepertinya ada hal yg luput jadi perhatianku.

“Ah, mungkin tadi ada tamu,” batinku, setelah melihat ada suguhan di teras yg belum dikemas.

“Masih ada hal yg janggal,” pikirku. Aku berjalan begitu lambat, sejak turun dari motor, hingga ke teras rumah. Jantungku berdegup kencang.

“Ada apa denganku? Apa aku sedang tak sehat?” batinku mulai memikirkan hal yg aneh-aneh, tapi entah apa.

TOK TOK TOK.

Kuketuk pintu perlahan dan kuucap salam. Ada selang waktu yg cukup panjang sampai istriku menjawab. Mungkin ia kelelahan dan tertidur.

KRIETT.

Istriku membuka pintu dan menyandarkan wajahnya di kusen.

"Kok, Abi pulang cepat? Ada masalah?"

"Gapapa Umi… Abi cuma mau ambil berkas…” jawabku beralasan. Ia tak tahu di dalam dadaku tersimpan rasa rindu yg menggunung, hampir meledak.

"Tadi ada tamu ya, Mi?" tanyaku penasaran. “Umi, kok keringetan? Habis nyuci?”

"Iya Abi, tadi ada temen kuliah dateng, bawain cheese cake." Senyumnya mengembang. Alhamdulillah, rejeki, pikirku. Mengingat aku sedang tak punya cukup uang untuk membelikannya buah tangan.

"Maaf Abi, tadi Umi habis… Habis… Pake 'itu'," katanya lagi, setengah berbisik.

"Hi hi hi… Iya nggak papa, Umi. Pake aja." Aku tertawa ringan melihat tingkahnya. Ternyata ia sedang horni. Ya sudah, tak apa. Aku maklum.

Aku lalu berpura-pura mengaduk-aduk rak buku, mengambil apapun sebagai alasan aku pulang. Sejak kami menikah, lebih sering aku gengsi mengaku bahwa aku rindu pada istriku.

Hatiku ingin memeluknya erat, tapi lidahku kelu. Bukan sifatku untuk bersikap romantis.

"Abiii…" panggil Larissa dari dalam kamar.

Aku berjalan memenuhi panggilan manjanya.

GLEK.

Kutelan air liurku saat sampai di pintu. Ia sudah berpose menantang sambil mengelus payudaranya yg indah, masih dalam balutan gamis.

"Abi… Yuk 'main' bentar… Umi kepingin…” godanya.

"Eh? Tapi Abi kan mesti buru-buru… Ini juga mau hujan…” aku menolak dengan halus. Gawat kalau keterusan lalu aku basah sebelum sampai kantor lagi.

Tapi rayuan Larissa makin buas.

"Bentar aja Bi… Umi mohon… Langsung aja, maen cepet…”

Aku jadi terangsang melihat kebinalan istriku. Ah, ya sudah. Hitung-hitung sebagai pengganti karena tadi pagi aku tak kunjung “keluar” dikocok Mbak Win.

"O—Oke… Abi jadi nggak tahan juga nih…"

Akhirnya mulai kulepas celana dinasku. Larissa langsung ambil posisi menungging menghadap lemari kami. Ternyata dia sudah tak sabar. Apa dia belum selesai bermain dengan alat bantunya itu?

"Berdoa dulu, Mi," kataku memulai.

"Iya Abi, mudah-mudahan kita dikaruniai anak yg sholeh dan ganteng seperti Abinya." Aku mengangguk saja dengan 'bualan' istriku ini, daripada harus menunda penetrasiku.

BLESS.

Batangku yang tak seberapa panjang menginisiasi serangan pertama.

"Ugh… Sshhh… Hmm… Mas Rohim… Enak Mas…"

Istriku mulai mendesah.

Panjang torpedo kapal selamku memang mini. Jauh berbeda panjangnya dengan milik aktor-aktor film biru yang kubelikan untuk istriku. Entah mengapa ia begitu menikmatinya.

Kurasa karena memang ia tak punya pilihan. Dalam hati, aku mengasihani diriku sendiri.

Slop. Josh. Plok. Plok. Slep.

Kepala jamurku keluar masuk. Kunikmati halalnya tubuh istri montokku ini. Jepitannya sungguh berbeda dengan jepitan Mbak Winarti tadi pagi. Sangat menggigit.

"Aaahhh…" Aku mengejang duluan. Cairan madu warna bening menetes dari celah v a g i n a Larissa. Aku sangat puas, lalu terduduk bersandar ke dinding.

"Nanti kita lanjutin lagi ya, kalau Abi pulang…" kata Larissa sambil mengecupku.

Mataku sedikit berkunang karena mencapai klimaks. Permainan ini terlalu cepat, berbeda dengan permainan terlarangku pagi tadi dengan Mbak Winarti.

Aku masih bertanya-tanya, apakah aku bisa tahan lama karena memakai kondom?

GLEK!

Di tengah pikiranku yang masih mengawang-awang, pandanganku terhenti pada sesuatu yang membuat jantungku seakan mau lepas. "Tidak… Tidak mungkin…" batinku.

Dari celah pintu lemari yg terbuka sedikit, dapat kutangkap sepasang mata yang mengintip ke arah luar. Aku yakin sekali ada seorang lelaki di dalam lemari!

Tapi, siapa? Pencuri kah? Atau… Jangan-jangan…

Aku mencoba tenang. Otakku berputar secepat yang aku bisa. Kupandang istriku. Istri yang seharusnya menjadi orang yang aku percaya. Apakah…

Apa mungkin istriku sendiri yang menyembunyikan orang ini ke dalam lemari? Apakah ia berani berselingkuh dan mengkhianatiku??

Derap darah yang mengalir di sekujur badanku semakin melaju tak teratur.

Tunggu dulu… Mungkin saja lelaki ini tadinya tamu istriku barusan?

Segera aku bangkit keluar ruangan. Aku butuh udara segar. Segera kupakai kembali pakaian dinasku. Kutolak tawaran Larissa yang hendak membuatkanku air hangat untuk mandi. Pikiranku kacau.

Aku butuh jeda.

JEDARR.

Suara petir menggelegar. Aku kaget dan bertambah cemas. Kukemasi barang-barangku. Kuusahakan Larissa tak mengetahui kalau aku sudah melihat rahasia kecilnya.

"Abi berangkat dulu ya, Mi…" entah bagaimana aku bisa sampai di depan pintu. Kepalaku sedang kosong. Semua tindakanku bak pesawat tanpa awak. Sekadar bergerak.

HACHUU.

"Suara apa itu?" Aku yakin sekali mendengar suara bersin dari dalam rumah. Itu pasti suara bersin lelaki dalam lemari!

Larissa, bagaimana engkau akan mengaku? Sampai kapan kau menyembunyikan kebohongan ini?

"Suara? Geledek kali, Bi?"

Dengan kepolosan dan wajah tanpa salah, istriku tenang bereaksi. Bicaranya datar, seolah tak terjadi apa-apa. Ia masih berusaha menyembunyikan si lelaki dalam lemari.

Tak kusangka. Istri sholehahku. Wanita berhijab lebarku. Alasan aku berjuang bekerja keras setiap hari. Orang yang ingin kubuat bahagia selain kedua orang tuaku.

Ia telah menukar pengabdian padaku dengan seorang lelaki yang entah siapa. Tapi kuputuskan untuk turut berpura-pura tak tahu.

"Hm. Ya sudah, Abi berangkat ya."

"Iya, Abi. Nanti keburu makin deres."

"Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalaam."

Hatiku hancur berderai, tanpa sisa. Mataku bahkan tak mampu untuk mengeluarkan tangis, saking pedihnya perasaan yg kutanggung. Biarlah gerimis hujan ini menjadi wakil air mataku.

GELEGARRR.

Langit pun menemani gemuruh di dadaku. Berorkestra. Mengaduk perasaan.

Aku masih penasaran, apakah memang benar istriku sampai berani menyembunyikan seorang pria di dalam rumah? Mau apa dia? Atau, mau apa mereka berdua?

Motorku melambat. Jemariku gemetaran. Aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri, melihat bahwa istriku memang telah benar-benar bermain gila dengan lelaki yg bukan suaminya.

Kumatikan mesin motor. Kuperhatikan sekeliling. Bak seorang maling di siang bolong, aku separuh berlari kembali ke arah rumahku. Kulewati kebun kosong dan semak belukar yg jarang dilewati orang.

Aku seperti penjahat, walau tugasku membasmi penjahat. Sebuah ironi. Namun rasa ingin tahuku harus terbayar. Dengan mengendap-endap, aku tiba di bagian samping rumah. Dari sini, terasku sudah terlihat.

Perlahan, sembari menunduk, aku naik ke teras, berjinjit-jinjit. Pintu rumah telah tertutup. Tapi, samar-samar aku mendengar suara aneh dari ruang tamu.

Semakin dekat, dan semakin dekat. Baru kusadari, suara ini suara istriku yg merintih. Apa…

Apakah perkiraanku benar??

Kuberanikan diri mengintip dari jendela ke arah dalam. Pemandangan selanjutnya yg kulihat, amat sangat membuat perasaanku pilu.

Nafasku tercekat. Detak jantungku serasa berhenti. Dadaku sesak menahan amarah. Mataku melotot.

“Ahhh… Ohh… Nggghh… Mmff… Ouchh…”

Di ruang tamu, istriku sedang meraung keenakan, disetubuhi sambil berdiri, oleh seorang pria bertubuh kekar dan besar.

Tak kusangka… Istriku yg kupikir taat pada suami, telah nyata mengkhianatiku. Semuanya kulihat dalam keadaan sadar. Ini bukan mimpi.

Badanku lemas hingga ke tulang. Ototku serasa tak bersendi. Langit serasa runtuh. Lantai tempatku berpijak serasa luruh ke dasar bumi.

Tak kuasa, kuhentikan melihat pergumulan mereka berdua. Cukup sudah. Kualihkan pandanganku ke luar. Kusandarkan punggungku di dinding.

Penglihatanku mulai kabur. Tak terasa, air mataku tumpah. Menetes bak hujan. Deras seperti dicurah. Kutahan suara isakku agar tak terdengar. Segera aku pergi dari rumahku sendiri dengan kecamuk batin luar biasa.

Tak kusangka hijab Larissa yang lebar harus jebol juga. Ini semua karena salahku yg tak mampu memberi kebahagiaan duniawi padanya.

Siapa gerangan pria itu? Jika memang ia lebih baik, biarlah istriku mengandung benih darinya. Aku rela. Aku ridho. Aku ikhlas bila harus membesarkan anak dari istriku, walau bukan anakku.

Aku kembali mengendap, menuju motor yang kuparkir jauh dari rumah. Segera kunyalakan barang butut itu. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, aku bertekad kembali ke kantor.

Gemuruh petir membuat batinku makin kacau. Hitamnya langit jadi saksi buruknya hariku. Aku tak berharap setelah ini ada pelangi. Kususuri rintik hujan dengan kesenduan yang membuncah.

Apakah ini semua terjadi karena dosaku tadi pagi bersama Mbak Winarti? Bisa saja. Tuhan Membalasku dengan caraNya sendiri, tunai bagai karma tanpa menunggu hari berbeda.

Isi pikiranku meracau. Segunung pertanyaan menabrakku dengan keras. Ada apa dengan istriku sebenarnya? Atau… Mungkinkah ia kena pelet?

Aku akhirnya tiba di kantor dengan muka muram. Tak kupedulikan atasan dan rekanku yang bertanya. Mereka tak tahu jiwaku merasa lebih kerdil dari angka penghasilanku.

***

Kulalui waktu tersisa di kantor dengan ala kadarnya. Kucoba menyibukkan diri hingga sampai jam pulang. Waktu terasa berjalan seperti kura-kura pesakitan.

Aku berjanji akan menyimpan amarahku.

Aku berikrar agar Larissa jangan sampai tahu bahwa aku telah memergokinya. Membuktikan dengan mataku sendiri. Aku masih sangat mencintainya, walaupun hati dan tubuhnya lebih memilih pria lain. Aku tak perduli. Inilah tekadku.

Aku ingin berdamai pada diriku sendiri. Ia pasti memiliki alasan memalingkan cinta.

Aku tiba di depan rumahku. Kuyakin lelaki itu sudah pulang. Larissa tak mungkin menyembunyikannya hingga sesore ini. Ini jam kepulanganku.

Dari luar, semuanya tampak sepi. Kutiru burung di sore hari yang pulang dalam keadaan damai dan kenyang. Kutarik nafas dan kulangkahkan kaki menuju pintu.

"Assalaamu'alaikum." Kulepas sepatu dinasku. Ingin kupersembahkan senyum terbaikku. Apapun yang terjadi, biduk pernikahan ini harus kuselamatkan. Aku harus tegar.

"Assalaamu'alaikum?"

Tak ada jawaban dari dalam. Aku mulai cemas. Di mana Larissa?

Kubuka pintu. Tak terkunci. Batinku was-was. Langkahku tertahan ketika samar-samar kudengar suara isak tangis dari dalam kamar.

"Ada apa ini?" kataku dalam hati. Kuteruskan melangkah menuju kamar. Tampak pintuku seperti rusak karena hentakan keras. Aku makin tak tenang.

"Umi??"

Kulihat kamarku berantakan. Cermin di lemari pecah. Dan… Ini? Seperti ada percikan darah di lantai.

"Umi?? Ada apa?!?"

Aku berlari memeluk istriku. Tangisnya meledak dan semakin keras. Nafasnya tak teratur. Tubuhnya dingin sekali seperti habis melihat hantu.

"Ma—Maafkan Umi ya Bii…" katanya sambil sesenggukan.

Aku tak tahu apa yang terjadi. Padaku. Pada istriku yang kucinta. Pada kehidupanku. Semuanya terlihat remang.


CATATAN PENULIS:
Jika agan semua telah sampai pada Part ini, gw ucapin selamat. Karena ini membuktikan agan semua banyak yang gabut :D

Jujur gw merasa di bagian ini gw sangat berusaha mengeksploitasi tokoh selain Joe. Dan kepiluan yang dirasakan oleh seorang suami yang dikhianati istrinya, gw tumpahkan dalam cerita ini. Mungkin gw gagal dalam mendramatisir, tapi setidaknya gw dapat suatu hal baru. Teknik kepenulisan yang gw pelajari, gw coba terapkan di bagian ini. Gw harap suhu-suhu semua berkenan untuk membimbing gw jika ada hal-hal yang gw perlu improve. Yah namanya juga masih cupu di forum.

Ujung dari cerita Joe belum selesai. Di Part selanjutnya masih ada kejutan-kejutan lain. Gw harap agan-agan semua menikmati cerita ini sebagai hiburan di kala senggang. Jangan terlalu serius ya, entar lecet.

Salam
sukaniqab
 
:beer::mantap:
Wah, permintaannya yang model begini aja ane memahaminya susah luar biasa Om...

Tapi nanti di part ke 10-11, ane akan bikin kejutan, si Joe akan jatuh miskin.
Jangan di buat misquen hu saran ane, biar aja tetap pada jalur nyaa yg penting ada bumiil-bumil hijabnya suhu hehe
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd