sukaniqab
Semprot Kecil
PART 5
NAMAKU LARISSA
NAMAKU LARISSA
Namaku Larissa. Sebetulnya kehidupanku adalah model hidup yg diimpikan banyak orang: cantik, pintar, dan berasal dari keluarga yg relatif berada dan tumbuh dengan nilai-nilai islam yg baik.
Hijabku lebar dan selalu menutupi dada dan bagian pantat.
Aku juga tak memungkiri bahwa banyak wanita lain yg iri dan ingin menjadi sepertiku.
Namun itu semua tak seperti yg terlihat. Sebagai seorang aktivis kampus, aku merasa memiliki dua wajah. Semua bermula ketika masa Madrasah Aliyah, aku berkenalan dengan dunia p o r n o g r a f i.
Sejak saat itu, diam-diam di dalam kamar yg sepi, ketika aku hanya sendiri, aku sering meraba daerah kemaluanku sendiri. Pertama hal tersebut kuanggap tabu, namun sekali mencoba, aku jadi ketagihan.
Aku melakukannya lagi, dan lagi, dan lagi. Terus hingga saat ini.
Mulai dari meremas dadaku sendiri, sampai memasukkan jari ke dalam liang menuju peranakanku. Tentu aku masih berhati-hati agar keperawananku terjaga.
Semua kulakukan sambil membayangkan bahwa akulah yg menjadi artis wanita dalam video-video syur yg kutonton diam-diam.
Dosa dan kesalahan ini sudah berulang kali kucoba hentikan, tapi keinginan dan nafsuku terlanjur meninggi.
Banyak pula orang tak tahu, hidupku berubah sejak aku menikah. Lebih tepatnya, dipaksa menikah muda.
Awalnya kupikir menikah adalah jalan keluar dari libido yg tak terbendung. Aku akhirnya punya penyaluran dari hal-hal yg di keluargaku dianggap tabu.
Dari luar, orang melihatku sebagai aktivis kampus lugu dengan hijab yg menutupi semua aurat. Namun di dalam...
Namun di dalam, aku tak lebih dari wanita yg isi kepalanya hanya s e k s semata.
Kehidupan perkuliahanku terganggu. Kini kegiatanku berkutat di dapur dan kasur. Jadwal belajarku sering berantakan. Aku hampir tak punya waktu untuk membaca.
Rohim, nama suamiku.
Profesinya sebagai seorang p o l i s i membuatku yakin dia adalah suami yg tepat. Punya penghasilan, pemahaman agama yg baik, walau wajahnya tak sesuai dengan yg kuidam-idamkan.
Mas Rohim adalah calon suami yg disodorkan Abi karena keluarganya adalah kolega Abi saat mengambil beasiswa S3 di Mesir. Aku melihat sosok Mas Rohim sebetulnya unik.
Ia anti mainstream dengan tak mengikuti jejak orang tuanya yg berasal dari kalangan akademisi.
Malam pertama kami lalui dengan banyak bercerita. Aku sebetulnya sudah berharap agar malam itu menjadi malam yg istimewa. Malam yg indah, ketika darah perawanku menetes ditusuk barang perjaka.
Namun Mas Rohim sepertinya tak siap. Buyar sudah imajinasi liarku...
Ambyar.
Aku berharap merengkuh kenikmatan paripurna khas pasangan yg baru menikah.
Ia memilih untuk mengenalku lebih jauh dengan bercakap-cakap. Memang, masa taaruf kami cukup singkat.
Aku menilainya sebagai lelaki yg kaku. Mungkin karena kami berbeda latar belakang.
Malam kedua, walau persetubuhan terjadi, aku merasa ada yg kurang. Aku tak merasakan getaran apapun.
Selaput dara milikku robek begitu saja. Tak ada kenikmatan, tak ada rasa lelah.
Mas Rohim ternyata tak sekuat bayanganku. Ia lelaki yg tak pandai memberikan aku rangsangan hebat, walau aku begitu menginginkannya di awal permainan kami.
Hal yg cukup memalukan dalam kehidupan berumah tangga ini akhirnya berlanjut ke bulan-bulan awal perkawinan.
Aku menduga, aku terpapar terlalu banyak bahan-bahan vulgar, sehingga harapanku ttg kehidupan s e k s setelah nikah tak sebanding dengan realitanya.
Barang Mas Rohim terlalu loyo dan cepat aus. Ia selalu keluar duluan sebelum aku mulai menikmati persenggamaan.
Tadinya, sebagai seorang istri sholehah yg taat suami, aku menerima ini sebagai ujian sepasang suami-istri.
Namun setelah kurang lebih 6 bulan pernikahan, akhirnya aku bicara juga. Bahwa ada masalah intim yg aku miliki. Bahwa ada hakku sebagai istri yg luput ia tunaikan.
Adalah hakku untuk mendapat kepuasan lahir batin. Aku menyampaikan padanya dengan hati-hati, takut kalau ia tersinggung.
Inilah jeritan hati seorang wanita. Sepatutnya ia mendengarkanku, daripada kutimbun dan jadi penyakit di pikiran.
Tadinya ia kaget dan kecewa. Ia meminta maaf dan berjanji untuk mulai mengonsumsi obat-obatan herbal untuk menambah vitalitasnya.
Aku jadi makin merasa canggung ketika ia malah menyarankanku untuk membeli sebuah 'alat bantu' yg sebetulnya sering kulihat di adegan dewasa.
Ukurannya sengaja kupilih yg tak terlalu besar. Hanya sedikit lebih panjang dan besar dari milik Mas Rohim.
Tak kusangka ia akan sejauh itu. Ditambah, ia membelikanku beberapa CD film dengan konten 21+ untuk kunikmati.
Aku juga jadi sering melirik ke arah ikhwan-ikhwan di kampus. Banyak juga mahasiswa angkatan atas yg ganteng, gagah, tinggi besar, yg kubayangkan dengan paksa berusaha melepas jilbabku dan memompaku habis-habisan.
Dan aku yakin banyak pula ikhwan yg menjadikanku fantasi.
Ah, entahlah... Haruskah aku merasa senang dengan keputusan Mas Rohim? Atau justru merasa bersalah?
Bukankah ini hal yg dilarang agama?
Bukankah ini bentuk khianat cinta, karena aku membayangkan disetubuhi oleh pria lain yg bukan suamiku? Yg lebih perkasa dan tahan lama?
Hatiku campur aduk tak karuan. Di satu sisi aku butuh kepuasan, namun di sisi lain aku punya norma agama yg harus kuikuti. Aku punya Mas Rohim.
Beberapa hari berlalu dengan aku sering menggunakan d i l d o. Tentu semua aku lakukan ketika Mas Rohim sedang tak ada di rumah.
Ia mengizinkanku dengan syarat aib ini tetap berada di dalam rumah petak kami yg sederhana, tak sampai diketahui orang.
Tentu.
Tentu aku ingin dinilai sebagai seorang akhwat sholehah yg taat suami, dengan seabreg prestasi kampus, dan hijab lebar yg menutup setiap lekuk tubuhku.
Istri mana yg ingin orang tahu bahwa suaminya tak punya kuasa di atas ranjang? Tak ada istri yg ingin orang tahu kalau ia mendapat kepuasan berbekal karet berbentuk p e n i s, bukan dari daging asli milik suami.
Pagi ini, setelah aku berbenah di rumah, kembali aku mengelus-elus barang itu. Kugunakan ia seperti hari-hari sebelumnya.
TV kecil kami mulai menampilkan adegan demi adegan terlarang. Aku mulai berfantasi. Ceritanya tentang seorang istri yg dicabuli oleh teman kantor suaminya.
Teman kantornya mengetahui bahwa si istri sering ditinggal dinas ke luar kota oleh suami. Dengan mengetahui jadwal keberangkatan kerja suaminya, si teman kantornya ini akhirnya pura-pura bertandang ke rumah istrinya yg sendirian.
Mereka pun akhirnya melakukannya.
Ugh, badanku mulai panas dingin ketika video menampilkan foreplay aktor lelaki. Kupilin putingku dengan tangan kiri, dengan tangan kananku memainkan k l e n t i t ku sendiri. Setelah puas dengan tangan, aku mengambil mainan itu.
Adegan dilanjutkan dengan kegiatan inti: ketika tanpa sensor p e n i s aktor pria yang besarnya di atas normal mulai menancap keluar masuk v a g i n a aktor wanita yg sempit.
"Ohh... Yess... Please harder... Please don't tell my husband... Goodd... Please... Don't stop... Uuhh..."
Si wanita berteriak antara kesakitan dan keenakan.
Sedang asyiknya beradu dengan alat karet itu, tiba-tiba...
"Assalaamu'alaikum!"
Sebuah salam dengan suara berat mengagetkanku. Segera kupelankan suara dari TV dan kuhentikan kocokan ringanku. Aku takut terdengar dan ketahuan.
Ya ampun, semoga itu berasal dari tetangga sebelah. Aku tak berharap kedatangan tamu saat ini. Lagi nanggung!
TOK TOK TOK.
Astaga, sepertinya benar suara itu di depan rumahku. Karena suara ketukan berasal dari pintuku. Segera kukemas seadanya barang-barang memalukan milikku.
Kulap m e m e k ku yg sudah separuh basah. Kukenakan gamisku tanpa dalaman, dan buru-buru aku bersiap keluar kamar. Berharap semua ini berlangsung singkat.
TOK TOK TOK TOK.
"Assalaamu'alaikum!" Suara itu menjadi lebih keras dari sebelumnya.
Kupandang diriku di cermin. Barusan, aku adalah wanita haus s e k s yg sering ber m a s t u r b a s i. Namun di luar, kupastikan aku akhwat anggun dengan gamis yg panjang dan jilbab lebar.
Kulangkahkan kaki menuju pintu ruang depan.
Aku bertanya dalam hati, siapakah gerangan pria di depan rumahku ini? Mau apa dia pagi-pagi begini?
"Wa'alaikumussalaam," jawabku, sebelum ia menyelesaikan salamnya yg ketiga kali.
Kuintip keadaan di luar dari jendela, setelah sebelumnya kusingkap sebagian gordenku. Sesosok lelaki yg tinggi besar dan mengenakan topi berdiri membelakangi pintu.
Siapa dia?
Tamu suamiku? Pengantar paket? Tetangga yg baru kukenal?
Hatiku menjadi was-was. Aku berdoa semoga dia tak bermaksud jahat.
Kubuka kunci rumah dua kali. Sebelumnya aku sudah berjaga-jaga seandainya Mas Rohim pulang mendadak dari tempatnya bekerja.
Kubuka pintu sedikit saja, masih ragu dengan lelaki tak dikenal ini.
"Ng... Maaf, cari siapa ya, Bang?" tanyaku keheranan.
Ia melepas topi dan kacamata hitamnya.
Waahh... Orangnya sungguh tampan. Hidungnya mancung. Alisnya melengkung tajam. Bibirnya tipis dan cenderung kemerahan. Wajahnya putih terkesan terawat. Rambutnya ikal agak kecoklatan.
Begitu ia tersenyum, dadaku bergemuruh.
Eh, tunggu sebentar... Sepertinya aku mengenalinya. Kalau tidak salah, dia kakak tingkatku yg pernah mengambil mata kuliah yg sama.
"Ukhti, ana Ahmad, kita satu kelas di Etika dan Komunikasi Bisnis," terangnya.
Kucoba mengingat kembali. Sepertinya namanya bukan itu.
"Akh Joe, ya?" tanyaku tak yakin.
Ia mengangguk. Ternyata benar ia kakak tingkatku di kuliah. Banyak yg terpesona dengan kegantengannya, termasuk aku.
Kucoba menahan diri untuk tak salah tingkah. Gawat urusannya kalau dia tahu aku adalah salah satu penggemarnya.
"Oohh... Afwan, ana sempat lupa. Ana kira siapa... Soalnya antum jarang masuk kelas," lanjutku.
Ia maklum.
"Ya, ada apa, akhi?" tanyaku lagi.
Ternyata ia hendak meminta bahan kuliah untuk ujian minggu depan. Ada-ada saja. Hi hi hi, sudah mau ujian baru sibuk mau belajar.
Seingatku dia memang jarang berangkat kuliah. Kalaupun datang, sering terlambat.
Kudengar dari gosip antar akhwat, dia tinggal sebatang kara karena orang tuanya tak ada, dan sibuk dengan bisnis warisan.
Aku tak pernah memastikan kabar itu.
Kusuruh ia menunggu, sementara aku masuk ke dalam rumah.
"Oh ya, ana tadi mampir ke toko roti, ini ada sedikit untuk ukhti." Kalimatnya memaksaku untuk berbalik, sambil menyerahkan sebuah bungkusan plastik.
Hah... Cheese cake! Darimana dia tahu kesukaanku? Mataku berbinar. Senyumku mengembang. Aku keheranan, namun tetap berterima kasih
Kusuruh ia menunggu, lalu kututup pintu depan.
Kudekap dua kotak kue itu ke dapur. Lalu kusiapkan bersama dengan teh hangat ala kadarnya. Kurasa aku akan menghabiskan waktu agak lama dengan akh Joe.
Apakah aku perlu ke kamar untuk memakai dalaman?
Ah, rasanya ia juga tak memperhatikan sampai sedetail itu. Toh jilbabku menutupi dada dan bagian belakang. Aku cuek saja.
Setelah kuhidangkan di teras, aku kembali lagi masuk ke dalam untuk mencari bahan kuliah yg ia minta.
"Ah, ini dia," kataku dalam hati.
Kubawa ke teras dan kuserahkan tumpukan kertas yg diperlukan. Tentunya tanpa tangan kami harus saling bersentuhan.
Ingat, di lingkungan sekitar, aku adalah seorang akhwat sholehah yg sangat menjaga diri dari hubungan yang tidak sesuai syar'i.
Kulihat ia sudah meminum sedikit teh yg kusajikan. Heran, tak ada kendaraan yg parkir di depan.
"Hm, antum tadi naik apa?" tanyaku bingung.
"Naik ojek," jawabnya singkat.
Wah, jarang-jarang ada orang kaya naik ojek.
Hihihi... Setahuku ia pernah berangkat kuliah dengan sebuah mobil mewah, yg aku pun tak hafal sebutannya.
Akh Joe mulai bertanya macam-macam. Tentang tetangga sebelahku, Mbak Winarti, yg bekerja sebagai teller di Bank Syariah. Lalu tentang keseharianku.
Kami ngobrol agak lama. Aku berusaha tak terlihat canggung saat berinteraksi. Kukesampingkan kesan bahwa seorang aktivis dakwah kampus hanyalah orang-orang eksklusif yg tak bisa bersosialisasi.
"Afwan, ana dengar antum mualaf ya akhi?" Aku mulai bertanya hal-hal pribadi
Entahlah, sepertinya aku ingin menyelami lebih dalam kehidupannya.
Boleh jadi di antara kami ada sedikit kesamaan. Ia sendirian, sedangkan aku kesepian.
"Oh, iya... Benar, Ukh..." Ia mulai bercerita. "Dulu almarhum Papa yg convert duluan, menyusul Mama dan ana."
Sepertinya ia anak tunggal.
"Papa kena stroke di usia yg relatif muda. Akhirnya Papa meninggal. Nggak lama, Mama juga sakit dan nyusul Papa..."
Ia bercerita seolah tanpa beban. Semuanya mengalir. Aura kesedihan sedikit menyeruak. Aku jadi tak enak.
"Afwan kalau ana jadi mengingatkan antum dengan masa lalu..." kataku. "Jadi, sekarang antum tinggal sama siapa?" Aku tak sanggup menyembunyikan penasaranku.
"Alhamdulillah masih ada Mang Ujang dan Bi Inah. Mereka udah ikut Papa sejak ana kecil, jadi udah kayak keluarga sendiri."
Untuk hidup, ana nerusin bisnis Papa yg mulai banyak dilepas ke orang..." jelasnya panjang.
Terjawab sudah mengapa ia tak sering kulihat di kampus. Memang sulit membagi waktu ketika kewajibanmu bukan hanya kuliah saja.
Aku semestinya bersyukur, beruntung pekerjaan rumah belum terlalu banyak. Dan... Aku dan Mas Rohim belum diberi momongan. Mungkin kuliahku akan sulit selesai kalau hidupku seruwet Joe.
Obrolan kami mengalir terus, dan terus, dan lagi, hingga waktu berlalu lama.
Tehnya pun sudah hampir habis, demikian pula cheese cake yang kuhidangkan.
Walaupun lebih banyak aku yang ngunyah sih, hi hi hi...
"Akhi, antum kok dipanggil 'Joe'? Atau, lebih sering dipanggil 'Ahmad'?" Lagi-lagi aku bertanya hal-hal tak penting. Sekadar memperpanjang obrolan.
Sembari ia bicara, kuperhatikan terus wajahnya yang ganteng. Jika diperhatikan sepintas, mirip Rezky Aditya, artis terkenal yg sering muncul di sinetron TV itu tuh...
Duh, kok aku jadi menghayal gini sih. Sadar dong Rissa, kamu sudah punya suami!
"Sebetulnya nama asli ana cuma 'Jonathan Nainggolan', tapi setelah Papa masuk islam, mungkin beliau pengen anaknya punya kelakuan yang baik. Jadi, nama ana ditambah 'Ahmad' di depannya... "
Ia bercerita sampai matanya sedikit berkaca-kaca.
"Tapi, sayang harapan Papa belum kesampaian," terangnya lagi, menyiratkan kenangan.
Kalimatnya barusan, membuatku semakin kagum pada sosoknya. Sayup-sayup di dalam hatiku bertambah satu nama yg tak biasa.
Sampai tiba-tiba, akh Joe izin untuk memakai toilet rumahku.
"Eh?! Ng... Anu... Akhi, boleh sih... Tapi..." Aku bingung dan salah tingkah. Antara malu dan tak menduga ia akan sampai kebelet begini.
Salahku juga sih, mengapa kami mengobrol terlalu lama.
"Ng... Iya, afwan ya rumahnya berantakan," kataku. Aku berharap dia maklum dan segera menuntaskan hajatnya, sementara aku menunggu di teras saja.
Ia melangkahkan kakinya mantap, toh tak mungkin sampai tersesat di kontrakanku yg sempit.
Aku membolak-balik lembar materi kuliah, menyicil belajar untuk ujian pekan depan.
Semenit berlalu. Lalu 5 menit. Kemudian 20 menit. Tak ada tanda-tanda akh Joe telah menuntaskan hajatnya.
Ah, atau... Aku lupa, apakah pintu kamarku tadi telah kututup rapat?
Bisa bahaya jika ia mengintip masuk dan melihat tumpukan VCD p o r n o ku yg berantakan.
Dengan perlahan aku masuk ke dalam rumah. Cemas kalau apa yg kutakutkan sungguh terjadi.
Benar saja!
Pintu kamarku terbuka lebih lebar dari biasanya. Aku mengintip ke dalam. Di kamarku yg masih berantakan karena belum kukemasi dari 'kenakalan' tadi, Joe berdiri membelakangiku.
"Akh Joe, antum cari apa?" Aku menegurnya agak kasar. Ia pun terlihat kaget.
Jantungku berdetak dengan ritme cepat. Apakah dia mengetahui rahasia 'kecil'-ku? Jika iya, apakah ia akan menutup mulutnya?
"Eh, anu, Ukhti... Maaf... Ana tadi penasaran... Kamar anti terbuka, jadi ana masuk, dan..." dengan terbata-bata ia menyusun alasan.
Tak sepatutnya ia menyelonong masuk tanpa seizinku. Sang pemilik rumah.
"Maafkan kelancangan ana, Ukhti..." Ia melanjutkan penjelasan. Sepertinya ia berusaha agar aku tak marah.
"Tadi, ana melihat ini..." katanya. sambil menunjukkan barang yg sering membantuku klimaks.
"Aahh... "
Aku kaget seraya menutup mulut. Kakiku lemas. Nyaliku ciut. Kupandang sekilas area di samping TV. D i l d o milikku tak ada di tempatnya semula.
Benar, itu milikku. Terbongkar sudah aibku selama ini.
"To... Tolong... Kembalikan sini, akhi..." Aku berusaha meraih barang itu dari tangannya. Ia menepis lalu menghindar.
Badanku yg mungil bukan lawan sepadan untuk otot-ototnya yg kekar. Ia juga lebih tinggi dariku.
Sebisa mungkin aku memungut kembali martabatku yg hancur berkeping.
"Tenang saja, ini akan tetap jadi rahasia kita berdua, ana jamin." Ia berusaha berdiplomasi. Namun, apa yg diinginkannya? Apa harga yg harus kubayar untuk pertukaran ini?
Kubayangkan reputasiku yg akan hancur. Harga diriku serasa berserakan di lantai yg kotor.
Dari seorang akhwat kelas kakap, yg disegani oleh baik akhwat adik tingkat maupun ikhwan-ikhwan aktivis kampus lainnya, menjadi sosok hina dan durjana.
Aku malu sekali.
"Ukhti, apakah ukhti juga suka nonton video syur?" tanyanya frontal.
Ya ampun.
Hatiku sudah porak poranda, kini ia menyebut satu per satu dosaku yg lain. Aku hanya bisa terdiam.
Jiwaku sedih bukan main. Tanpa terasa, aku terisak. Pandanganku mulai kabur, terhalang air dari pelupuk mataku sendiri.
"Ana mohon akhi..." kataku lirih. "Ha—hanya kita saja yg tahu, to—tolong jaga kehormatan ana dan suami," aku memelas.
Wajahnya berubah menjadi seram. Semula aku melihat wajah baik, ganteng dan polos. Kini aku melihat wajah buas dan senyum kelicikan.
"Ukhti Rissa..." Ia melangkah ke arahku.
"Apakah... Ukhti ingin sesuatu yg lebih besar dari ini?" Tiruan p e n i s itu ia elus-elus di depanku.
"Ma—maksud, Akhi?" bentakku dengan suara serak dan bergetar.
Aku semakin ketakutan. Apakah... Apakah ia ingin menyetubuhiku? Sebagai ganti jasa tutup mulut?
Ku ingin berteriak, tapi nafasku tersengal. Joe semakin mendekat, dapat kurasakan lenguhan udara dari hidungnya.
Pada siapa aku meminta tolong? Kami hanya berdua di dalam rumah ini.
Jika sampai orang tahu aku mengizinkan seorang lelaki masuk tanpa sepengetahuan suami, apa kata orang-orang nanti?
Kepalaku tak dapat berpikir jernih lagi.
Oh, tidak... Aku... Apakah aku harus pasrah saja? Oh Tuhan, Ampuni aku...
"Akhi... To—tolong, hentikan... Cu-cukup akhi..." kataku patah-patah dan semakin lemah. Dayaku telah hilang.
Semua rayuan ia keluarkan. Kata-kata gombal yg tak pantas kudengar. Kalimat menjijikkan yg membuat bulu kudukku merinding.
Langit menggelap. Kini aku tak bisa melihat sinar mentari pagi yg hangat. Cuaca yg cepat berubah, menjadi penanda hariku yg buruk.
Oh, tidak... Apa yg sebetulnya ia inginkan?
"Ukhti, jangan pakai ini lagi..." katanya sambil melempar d i l d o ke rak TV.
Tanpa jeda, ia buka resleting celananya, serta merta ia keluarkan isi tonjolan hidup yg sedari tadi ia pakai menggodaku.
TOWEWEWWW...
Astaga!!
Mulutku menganga jauh lebih lebar dari sebelumnya. I—ini... Ap—apakah itu... Tanpa sadar aku menelan air liur.
Aku terkejut. Benda itu... Benda itu begitu tebal dan masif. Dengan galur urat berwarna ungu. Ujungnya berlendir dan mengkilat diterpa sinar dari lampu kamar yg tak terlalu terang.
Baru kali ini aku melihat secara langsung p e n i s lelaki sebesar ini! Ini... Ini... Sungguhan??
Aku memang sering melihat adegan tanpa sensor, namun tak kusangka di depan wajahku kini, daging sosis jumbo ini berayun-ayun seakan menyuruhku untuk menggenggamnya.
Selintas, aku teringat para pemain lelaki di film biru yg sering kutonton.
Aku kembali membayangkan bila batang sepanjang itu merangsek masuk ke dalam lubang kewanitaanku.
Uhhh...
Mengapa badanku jadi panas dingin begini? Mataku berkunang-kunang. Lisanku kelu. Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku. Kuusahakan melawan.
Ini keliru. Semuanya ini keliru. Aku tak sepatutnya diam. Tapi badanku lemas tanpa daya.
"Hiks... Ana mohon, akhi... To—tolong, hentikan..." Dengan sisa-sisa tenaga aku mengiba, berharap dia menghentikan semua ini. Atau, aku berharap semuanya hanya mimpi di pagi hari yg mendung.
Kupalingkan wajahku darinya. Titik-titik air telah berkumpul di ujung mata. Aku takut bercampur malu, dan tak tahu harus berbuat apa.
"Ukhti sayang..." Ia kembali merayuku. Kali ini Joe mulai meraba tanganku, yg kurespon dengan cepat menariknya menjauh.
Tekadku agar ia berhenti sepertinya sia-sia. Ia mulai mengelus pipiku. Aku diam tanpa perlawanan berarti. Aku sudah lelah. Apakah sebaiknya aku menerima takdir burukku ini?
JEGERR.
Suara petir di langit mengagetkanku, seperti speaker besar yang diletakkan di langit-langit kamar
Suara keras itu sekaligus menjadi pembuka hujan rintik, senada dengan aliran air mataku yg mulai menetes.
"Ukhti terlalu cantik untuk menjadi istri yg ditelantarkan..." Joe tak henti-hentinya merayu.
Ditelantarkan? Itukah hidup yg kurasakan bersama Mas Rohim?
Tidak.
Ia justru sangat memperhatikanku. Ia bekerja keras mencari nafkah untukku, turut membiayai kuliahku, walaupun...
Walaupun... Aku masih berharap staminanya senantiasa penuh sampai kudapatkan kepuasan maksimal khas hubungan suami istri.
Aku tak ingin mengkhianati suamiku yg telah susah payah mencari uang halal untuk makan kami.
Diraihnya tanganku, lalu diarahkan ke alat vitalnya yg super besar. Kulirik kembali barang terlarang itu. Posisinya menggantung kaku, seakan siap mengoyak apapun yg menghalangi.
Ia mengecup pipiku penuh kemesraan. Kembali dadaku bergemuruh. Pikiranku berkecamuk. Air mataku masih mengalir.
Perasaan apa ini? Semacam ada kekuatan aneh yg mempengaruhiku untuk mengikuti kemauan akh Joe. Kekuatan gaib yg membisikkan ke bagian tengkuk, agar aku tak melawan.
"Ja—Jangan akhi... Ini... Ini salah..." Aku masih berusaha terlihat jual mahal, walau di dalam darahku berdesir keinginan yg besar untuk merasakan sesuatu yg tak kudapat dari Mas Rohim.
"Oohh... Jadi, yg kamu lakukan barusan, ketika suamimu sedang tak di rumah, itu hal yg benar?"
"Ayolah... Jangan munafik..."
Joe membentakku dengan agak keras. Logat Bataknya sedikit keluar.
"Apa bedanya dengan yg akan kita lakukan nanti?" katanya lagi.
Jantungku serasa berhenti. Ia benar. Mau dengan p e n i s dari karet ataupun p e n i s betulan, sebetulnya sama saja.
Ketika aku meraih klimaks dari film p o r n o, aku membayangkan akulah artis wanitanya.
Saat Mas Rohim menunaikan kewajiban 'malam jumat'-nya, yg kubayangkan juga bukan dia, tapi pria lain. Pria yg lebih perkasa, lebih besar p e n i s nya, lebih tahan lama pula di ranjang.
Bukankah aku telah menjalani perselingkuhan, jauh sebelum persetubuhanku dengan Joe nanti?
Aku merasa lunak...
Kuputuskan pasrah saja, dan berharap tak ada orang yg tahu kejadian ini selain kami berdua. Aku mulai menyusun pembenaran dari dosa-dosaku ini.
Aku adalah korban. Benar... Aku ini korban!
Joe menggenggam kedua tanganku, dan menggiringku ke ranjang. Ranjang sederhana yg aku dan Mas Rohim selalu pakai untuk tidur bersama.
Bayangan adegan panas yg telah khatam kutonton beberapa kali muncul lagi di ingatanku.
Aku lupa dengan suamiku sendiri. Saat ini yg kupentingkan hanya agar semua ini cepat berlalu.
Masih dalam keadaan full berhijab, Joe mulai menggerayangi tubuhku. Ia tak segan mencium, menjilati, meremas mesra, semua bagian tubuhku.
Pemanasan seperti ini tak pernah kudapat dari Mas Rohim. Ia selalu ingin cepat dan klimaks sendirian, meninggalkanku tanpa rasa nikmat yg dahsyat.
"Hmm... Cup... Slurp..."
Cairan di rongga kewanitaanku serasa mendidih. Aku pun makin bernafsu. Aku jadi ingin lebih.
Rasa gatal menyeruak dari dalam Miss V. Rasa apa ini? Mengapa aku jadi begini? Oh tidak... Aku mulai membalas setiap ciumannya.
Entah mengapa kurasa akh Joe jauh lebih berpengalaman soal percintaan.
"Akhi..." kataku pelan. "Pintu depan dikunci aja..."
Rontok sudah pertahananku. Jebol sejebol-jebolnya. Akh Joe serasa mendapat angin segar. Ia bergegas menuju pintu ruang tamu.
Aku hanya terbaring diam. Malu sekali rasanya. Malu tapi nafsu. Apakah aku ini wanita bodoh?
Aku berbalik menghadap dinding, membelakangi pintu. Tak lama, Joe kembali. Dapat kudengar ia mengunci pintu kamarku pula.
CEKLEK.
Tuntas sudah. Kini aku menjadi miliknya seutuhnya. Walau sesekali aku masih sesenggukan.
"Larissa... Sayangku..." Ia mengelus pinggulku. "Kamu nggak pake CD, ya? Hi hi hi..."
Aku diam saja. Pagi ini, urat maluku telah putus berkali-kali. Ia kembali memberiku cumbuan yang dahsyat. Jauh lebih dahsyat, sehingga aku balik mencumbunya.
Tangannya mulai mempermainkan payudaraku sebelah kanan. Ah, nyeri sekali rasanya. Aku menjerit kecil.
"Waahh... Nggak pake bra juga? Emangnya tadi lagi ngapain, hayoo..." Ia menggodaku lagi.
"Mmppfff... Ahhh... Sss... Akhi... Mmmff... Cupp..."
Aku menggelinjang...
Kunikmati permainan terlarang ini. Gilanya, kami melakukan ini dengan aku masih berhijab. Lengkap dengan kaus kakiku.
"Kita akan ke surga. Bersama-sama..." Ia terus-terusan memberi kalimat-kalimat romantis. Hatiku berbunga-bunga.
Mungkin aku bukan wanita satu-satunya di hati Joe, tapi tak dapat kusembunyikan betapa aku senang diperlakukan seperti ini.
Foreplay kami berlangsung cukup lama.
Ia melepaskan pelukannya padaku, dan bergerak menjauh. Dilepasnya semua pakaiannya, menyisakan boxernya saja.
Aku semakin bergairah. Kulihat tonjolan yang berkedut di dalam celananya. Ada sedikit cairan di ujungnya. Ah... Aku menelan ludah.
"Ana lepas gamisnya ya Ukh... " bisiknya.
Aku hanya bisa mengangguk pasrah. "A—Ana... Juga... Udah ga tahan, akhi..." jawabku jujur.
Pelan-pelan, ia lucuti semua pakaianku. Putingku yang kaku dan menegang sudah minta dikenyot.
Saat sampai di bagian paling sensitif, ia tiba-tiba menghirupnya. Aku terpekik ringan. Tak kusangka ia akan melakukannya. Mas Rohim tak pernah berbuat seperti itu.
"Hhmmmm... Aromanya aku suka, Ukh..." katanya. Aku tersipu. Kututupi bagian v a g i n a ku dengan kedua tangan.
"Kok, malu?" katanya. Tanganku berpindah dari kemaluan ke wajah.
"Anggap ana ini suami anti saja," katanya.
"Nggak bisa, akhi... Antum... Antum beda..."
"Hlo, kenapa?"
"Pun—punya suami ana, gak sebesar punya antum..."
Aku memuji batang kejantanannya. Tak kuduga aku akan berkata kotor seperti itu. Ah, sudahlah. Sudah terlanjur basah, ya sudah, berenang sekalian.
Tinggal hijabku saja yang tersisa.
Akh Joe mulai menatapku dari ujung ke ujung. Ia seperti macan yang lapar, sedangkan aku seperti kelinci lucu yang tak berdaya.
"Ukhti, sudah siap?"
Aku mengangguk tanpa suara.
Ia melepas penutup terakhirnya.
WOOOSSHH...
Batangnya langsung mencuat, seperti tak sabar ingin berontak keluar sedari tadi. Aku terpana. Kuperhatikan lekat-lekat barang itu lagi. Ini kali kedua aku melihat p e n i s seorang lelaki secara langsung, selain milik suamiku.
Inikah yang dinamakan K O N T O L ??
Ukurannya yang triple XL, membuatku tak yakin bisa muat di dalam m e m e k ku yg celahnya sempit.
"Akhi... Mem—memangnya bisa masuk?" tanyaku polos.
"Makanya kita coba yuk," katanya, dilanjutkan dengan menindihku.
Ya ampun, seorang pria ganteng dengan badan kekar...
Pria ini... Akan menyetubuhiku, mungkin tak sekali. Berkali-kali. Aku akan klimaks, dan Miss V-ku akan menyemburkan cairan cinta. Deras.
Ah, kelamin kami saling bertemu. Bibir kami saling melumat. Aku merasakan sedang terbang menuju langit ke-7.
Celah Miss V ku sudah becek. Bukan... Bukan becek. Tapi banjir!
"Rissa..." Ia memandangku dekat-dekat.
"Hm..."
"Sayangku..."
Ya ampun. Aku dipanggil 'sayang'...
"Ikhlaskan tubuhmu untukku..."
Tentu saja. Aku akan merelakan tubuhku untuk lelaki ini.
Lelaki yg memperlakukanku bagai putri raja. Yg tak langsung saja main sodok, namun terlebih dahulu memberi bumbu dan makanan pembuka dengan kata-kata sayang.
Lelaki yg membelai wajahku, menciumi hidung, mengelus paha dan setiap lekuk tubuhku. Aku begitu menikmati setiap aksinya.
Ia mulai menggesek-gesek p e n i s nya di bibir bawahku, menggodaku yang sudah tak kuasa menahan gatal birahi.
"Duhh... Akhii... Please, jangan main-main lagi, Akh... Duh... Ssshh... Ah... Enak... Masukin akhi..."
Aku mulai meracau dan tak sadarkan diri.
"Masukin apa, Ukhti?"
"Masukin... Kon—K O N T O L antum... Cepaaat... Akhi... Aduhhh... Ngghh..."
"Kamu udah nggak tahan buat di-e n t o t ya, Ukhti..."
"Iyaa... Cepat e n t o t ana, Akh..."
Mulutku seperti sudah tak peduli dengan statusku.
Kata-kataku barusan bukanlah kata-kata yang biasa kuucapkan. Bukanlah kata yg keluar dari seorang akhwat sholehah. Kataku barusan adalah kata seorang wanita yang tak kuat menahan rangsangan.
Dan momen itu pun tiba... Tanpa aba-aba...
ZLEBB!
Entah berapa sentimeter panjangnya, namun aku merasakan benda keras, hangat, dan berair, mulai merangsek masuk dalam tubuhku.
"Uugghhh..."
Aku hanya bisa melenguh dengan keras.
Mataku terpejam. Kepalaku mendongak ke atas. Punggungku melengkung. Urat leherku seperti mau putus. Kuremas bantal kuat-kuat. Badanku seperti tersetrum.
Otakku seperti telah dialiri hormon kebahagiaan level tertinggi. Joe mundur untuk bersiap menekan p e n i s nya lagi.
Akankah ia menusukkan sosis jumbo itu lebih dalam lagi?
SLOOOPPPSS...
"Oooouucchh..." Aku mengerang jauh lebih keras.
Dapat kulihat batang berlendir itu kini telah ambles seluruhnya ke dalam liangku yang sempit dan lembab.
Aku merasakan sedikit sakit. Belum pernah ada benda asing yang masuk sejauh ini sebelumnya.
Tidak pula milik Mas Rohim suamiku.
"Am—ampun akhi... Punya ant—antum... Kegedean, Akhi..." ratapku.
Ia sepertinya memaklumi, dengan membiarkan k o n t o l nya hinggap menetap dan merasakan pijatan dinding daging m e m e k ku.
"Punya kamu sempit juga, Ukh... Enak banget... Ahh..." kata Joe.
Tak lama, ia mulai bergerak maju mundur. Aku sungguh menikmati perzinahan ini. Biarlah kutanggung segala resikonya.
Kusilangkan kakiku di pinggangnya yang putih dan atletis. Uhhh... Setiap sodokannya begitu berharga, aku dibuatnya terbuai dalam permainan cinta luar biasa.
"Sssshh... Ahhh... Ouhh... Akhii... Jang—jangan... Stop... Ahhh... Ana... Ana bisa ping—pingsan, akh... Hmmmpfff... Am—ampun... Perihh... Gilaaa... Duhhh... Ffff..."
Aku meracau kesetanan. Tak kusangka bisa senikmat ini, walau perbedaan dengan d i l d o milikku hanya beberapa sentimeter saja.
Entah akh Joe pakai gaya apa, namun tak pernah kurasa pergumulan sehebat ini dengan Mas Rohim.
Kupandang langit-langit kontrakanku. Kulihat lampu kamarku tiba-tiba serasa membayang menjadi dua. Aku terbuai.
Sesekali kugigit lengan Joe yg besar dan kucakar punggungnya karena tak kuasa menahan geram.
Entah berapa lama kami beradu di ranjang ini. Ranjang yg kunodai dengan perselingkuhan nikmat. Oh maafkan aku Mas Rohim, engkau sepertinya bukan tandingan.
Akh Joe menggenjotku makin cepat. Tidak... Apakah... Apakah ia akan menumpahkan 'saos mayonaise'-nya di dalam rahimku yg hangat? Apakah aku akan hamil darinya?
Masa bodo! Kujawab dengan yakin di dalam hati.
Aku... Aku menginginkan anak. Aku tak peduli apakah itu dari suamiku sendiri ataukah Joe. Aku ingin punya anak.
Kakiku berpindah ke pundaknya. Serangannya semakin buas. Pertahananku bobol. Aku melepas orgasme pertamaku...
"Aahhhhhhhh... Akh Joooee..." Aku menggelepar, terhentak beberapa kali. Liang v a g i n a ku mengeluarkan semprotan kecil.
Cret cret ccret...
Ia tampak puas, walau belum keluar. Senyumnya penuh arti, seakan menungguku bangkit di ronde selanjutnya.
Nafasku ngos-ngosan, sedangkan ia masih terlihat perkasa.
Rehatku belum selesai, saat Joe mulai menghisap i t i l ku dengan keras.
"Ooohh... Ja—jangan akh, ana malu... Jorok..." aku mendorong kepalanya pelan.
"Tidak apa-apa sayang, yg penting ukhti terpuaskan," katanya.
Ia pilin pentilku yg seperti bakso mini mentah, warnanya masih merah.
"Akhii... Oohh... Teruuss... Nikmatnya akhi..."
Zret zrett zrettt.
Kurasa aku mendapat orgasme lagi.
"Antum... Hebat sekali... Ana belum pernah seperti ini..."
Aku puas sekali. Kini ingin sekali aku melihatnya puas pula, dengan menyemburkan isi kantong s p e r m a nya. Kalau perlu sampai kopong!
Tiba-tiba...
VRROOMM.
Jantungku berdegum. Aku kaget setengah mati. Bukankah itu...
"Astaga! It—itu, suara motor suami ana!"
Kami kalang kabut dan buru-buru berkemas.
"Ba—bagaimana ini, Ukh?" tanyanya dengan panik.
Tak boleh ada dua orang panik bersamaan. Aku harus tenang. Kucoba berpikir...
Sepertinya aku punya akal.
Kucium ia dengan mesra. Kuberi kecupan pada kekasih gelapku yg tampan. Ia harus kuamankan.
"Cepat, masuk ke dalam." Aku menunjuk ke arah lemari. Hanya itu satu-satunya harapanku. Aku yakin Mas Rohim hanya pulang sebentar.
"Ap—Appa?!" teriaknya.
Akh Joe seakan tak terima dengan keputusanku. Tapi aku tetap memaksanya.
Kami sadar tak punya pilihan. Akhirnya badannya yg tinggi besar harus sedikit meringkuk di lemariku yg tak begitu tinggi.
Aku bersiap bak istri sholehah yg siap menyambut suaminya pulang. Kupasang topengku, walau baru saja aku melakukan dosa besar.
Akan aku selamatkan usia pernikahan ini sekuatku.
Kuseka wajahku dengan telapak tangan, mencoba menyamarkan sisa-sisa kegiatan ranjangku.
TOK TOK TOK TOK.
Suara pintu diketuk diikuti suara salam yg parau. Benar, itu suamiku.
"Wa'alaikumsalaam..." jawabku sambil berlari kecil ke arah depan. Kulirik lelaki nomor duaku di lemari. Kupikir dia akan baik-baik saja.
Aku tak punya pilihan, apalagi dia. Kami berdua masih berharap, lebih tepatnya, berspekulasi.
GELEGER.
Suara petir yg besar kembali terdengar. Namun hujan belum turun. Suara-suara itu membuat perasaanku makin berantakan. Kalau aku ketahuan bagaimana?
Kuyakinkan diriku kembali. Semuanya akan baik-baik saja.
"Kok, Abi pulang cepat? Ada masalah?" aku bertanya ingin tahu. Tak biasanya jam segini dia sudah di rumah.
"Gapapa Umi... Abi cuma mau ambil berkas..." katanya. Aku mengelus dada di dalam hati. Berarti ini tak akan lama.
Matanya menyapu seisi ruangan.
Aku menjadi gentar, takut bila kedokku terbuka.
Ia memandang teras sekilas.
"Tadi ada tamu ya, Mi?"
Ya ampun! Aku lupa membereskan meja depan!
"Umi, kok keringetan? Habis nyuci?"
Aku menarik nafas panjang. Kukumpulkan energi untuk jawaban yg logis dan terkesan normal.
"Iya Abi, tadi ada temen kuliah dateng, bawain cheese cake."
Kukembangkan senyum terbaik untuk melapisi kebohongan demi kebohongan. Tapi, aku tak berbohong. Memang benar ada teman kuliah yg datang membawakan kue lezat.
Hanya saja, aku tak perlu cerita bahwa temanku itu seorang lelaki, dan kini masih kaku bersembunyi di dalam lemari dengan hanya bercelana pendek.
"Maaf Abi, tadi Umi habis... Habis... Pake 'itu'," kataku lagi, setengah berbisik.
"Hi hi hi... Iya nggak papa, Umi. Pake aja."
Jawaban suamiku membuatku lebih tenang. Semoga ia tak berpikir macam-macam lagi.
Kami sama-sama berjalan ke arah dalam rumah. Tiba-tiba dalam benakku tercetus sebuah ide gila. Sebuah ide yg timbul begitu saja.
Bagaimana bila suamiku ini kuajak bersenggama saja?
Fantasiku membuncah. Ingin rasanya aku digarap oleh dua orang pria sekaligus. Setidaknya, walaupun beda waktu, masih dalam rentang yg tak terpaut jauh.
Liangku semakin gatal saja bila membayangkannya. Kuputuskan untuk berpose nakal dan menyeru Mas Rohim layaknya wanita panggilan.
"Abiii..." aku menggeram sambil bernafsu.
Ia menyahut dan masuk ke kamar. Kugoda dia dengan gerakan-gerakan dan pose sensual.
"Abi... Yuk 'main' bentar... Umi kepingin..." Aku lakukan itu sambil mengelus lekuk badanku yg mendekati sempurna.
Adakah pria bodoh yg menolak ajakan akhwat seksi sepertiku?
Kurasa ia akan bernafsu juga dan mengikutiku bugil.
"Eh? Tapi Abi kan mesti buru-buru... Ini juga mau hujan..." Ternyata ia menolak dengan halus.
Tapi aku belum menyerah. Kuangkat gamisku dan kuelus bagian paling sensitifku. Aku mengerang lembut dan makin menggila.
"Bentar aja Bi... Umi mohon... Langsung aja, maen cepet..."
Suamiku tampak berpikir sebentar. Akhirnya ia menelan ludah.
"O—Oke... Abi jadi nggak tahan juga nih..."
Akhirnya Mas Rohim menuruti permintaan birahiku yg gatal. Ia mulai menanggalkan baju dinasnya, memperlihatkan badannya yg hitam walau agak kurus.
"Berdoa dulu, Mi," katanya.
"Iya Abi, mudah-mudahan kita dikaruniai anak yg sholeh dan ganteng seperti Abinya." Kata-kataku amat manis, walau aku berharap ketampanan anakku berasal dari Joe.
"Ugh..." Mas Rohim memulai penetrasinya.
Sama seperti yg sudah-sudah, ia memang sudah biasa seperti itu.
Tanpa fore play.
Aku menungging dengan masih berpakaian lengkap. Wajahku menghadap lemari. Kupandang pintu lemari paling ujung yg isinya Akh Joe. Pasti dia sedang mengintip sambil terangsang.
Aku sengaja mengeluarkan desahan-desahan palsu. Aku tak begitu menikmati p e n i s suamiku sendiri yg berukuran mini. Tak seperti d i l d o, tak pula seperti milik akh Joe yg besar dan panjang.
"Uh ugh ah oh..."
Tak seberapa lama...
"Aaahhh..." Mas Rohim mengejang duluan. Sedangkan aku masih datar saja. Akhirnya persenggamaan palsu ini berakhir. S p e r m a suamiku menetes dari celah m e m e k ku.
Aku berpura-pura puas.
"Nanti kita lanjutin lagi ya, kalau Abi pulang..." kataku sambil mengecupnya.
"Umi masakin air panas, ya?" Aku berbasa-basi. Aku tahu dia akan menolaknya.
"Udah, ga usah," jawab suamiku sambil mengenakan pakaiannya kembali. Dia tak cukup punya waktu. Pekerjaannya menunggunya. Sedangkan aku, menunggu dikerjai.
Ia memang terbiasa mandi di posko tempatnya bekerja.
JEDARR.
Suara halilintar diikuti gerimis kecil. Kuharap hujan ini akan menambah nikmat pergelutanku dengan akh Joe nanti.
Mas Rohim bergegas mengemasi barang-barangnya. Lalu berjalan ke luar kamar.
Kupandang wajah suamiku. Suami yg telah aku khianati. Hatiku menjadi iba, tapi aku tak berdaya melawan keinginan s e k s bersama lawan jenis yg lebih dahsyat. Kebutuhan yg tak kudapat darinya.
Apakah... Aku salah?
"Abi berangkat dulu ya, Mi..." akhirnya ia tiba di depan pintu.
Kucium punggung tangannya.
Tapi... Ada perasaan aneh sedari tadi yg menyelimuti hatiku. Ekspresi wajahnya tak seperti biasanya. Kosong dan seperti tak di sini. Bahkan ia lupa mencium keningku sebelum berangkat.
Ah, mungkin pekerjaannya sedang berat. Aku harus memaklumi itu. Ia pasang helmnya dan bersiap naik ke motor.
HACHUU.
Astaga! Suara orang bersin terdengar begitu jelas dari dalam rumah!
Itu pasti akh Joe! Ia tak dapat menahan bersinnya.
Aku kaget dan langsung berpikir mencari jawaban bila suamiku juga ikut mendengarnya.
"Suara apa itu?"
Glek, dia mendengarnya!
Nadanya bertanya bercampur rasa curiga. Kuharap ia tak langsung merangsek ke dalam rumah kembali. Aku harus melindungi Joe.
"Suara? Geledek kali, Bi?" jawabku dengan wajah polos tanpa dosa. Kutunggu reaksinya. Kubuat nada bicaraku sedatar mungkin tanpa rasa panik.
Aku yakin di dalam, akh Joe sedang berjuang untuk mencapai tujuan kami yg sama: jangan sampai ketahuan!
"Hm. Ya sudah, Abi berangkat ya."
"Iya, Abi. Nanti keburu makin deres."
"Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalaam."
Aku bernafas lega. Semoga saja tak ada suara bersin lagi dari arah dalam rumah, karena biasanya orang bersin butuh 2 kali.
Aku memandangi bayangan motor suamiku yg makin lama semakin kecil, lalu menghilang di kejauhan.
Kukemasi teras depan, lalu masuk ke dalam. Kututup pintu, dan mengintip ke arah luar jendela, takut kalau suamiku kembali lagi.
Tiba-tiba... Hap! Akh Joe memelukku dari belakang.
"Aahhh..." aku berteriak kecil. "Kaget, tahu! Ana deg-degan dari tadi!" protesku.
"Hei. Bukan kamu yg berada di dalam lemari," Joe membela diri sambil tertawa.
Ia mulai menggerayangiku lagi, meraba susuku yg cukup besar dari belakang. Aku mendesah pelan. Kubalas ciumannya. Kami tak tahan dimabuk nafsu. Tubuh kami saling mendekap.
"Kita lanjutkan di sini saja, yuk," ajaknya.
Aku mengangguk sepakat. Ia kunci pintu dua kali.
CTEK. CTEK.
"Rissa..." Ia mendesakku ke dinding. Nafasku tak beraturan. Sekujur badanku mulai hangat.
"Akh Joe..."
Gamisku... Penutup auratku... Kutanggalkan semuanya. Aku siap dibuahi. Tak peduli dari benih siapa aku memperoleh keturunan.
Rahimku siap menampung sel kelamin jantan akh Joe.
Tampak akh Joe telah menyiapkan torpedonya yg basah dan licin di pintu liang betinaku.
"Ehmmm..." aku hanya bisa mendesah dan menahan kedutan demi kedutan.
Ia mengangkat sebelah kakiku, lalu tanpa aba-aba, disodoknya kuat-kuat batang kejantanannya. Aku tak butuh foreplay lagi.
"Aarrgghh..." aku terpekik karena sedikit kesakitan.
Kami bermain di ruang tamu. Beresiko, tapi justru di situ kenikmatannya.
Slorp slorp plok plak.
Tongkat tumpulnya beradu dengan jepitanku. Yang bisa kudengar hanya suara-suara kecipak.
Kami saling berciuman, berpagut mesra. Gaya bercinta macam apakah ini? Gaya bercinta yg terpikir pun tidak pernah di benakku. Sungguh pengalaman n g e n t o t yg luar biasa.
Aku makin lemas.
Sepertinya akh Joe tahu, sehingga diangkatnya sebelah kakiku. Kini aku sudah sepenuhnya bergantung di lengannya yg kuat dan kekar. Kulingkarkan kedua tanganku di lehernya.
Punggungku merasa gesekan dingin dari dinding. Selangkanganku pegal.
Sesekali pinggulku turut bergoyang demi gesekan-gesekan yg lebih agresif lagi.
Cret cret cret...
Cairan m e k i ku mulai meleleh, penanda aku telah dilanda orgasme lagi.
Tapi akh Joe sepertinya masih memompaku terus-terusan.
Tak dipedulikannya v a g i n a ku yg sudah licin dan basah, walau masih terasa sempit dan menggigit.
Zlop zlop zlop zlop.
"Enak, sayang? Engh?" Ia sengaja membangkitkan birahiku lagi. Tak kubalas pertanyaannya, cukup dengan erangan-erangan kenikmatan.
"Ahh... Oohh... Nnggh... Mmff... Ouchh..."
Lututku gemetaran. Aku melenguh dan memeluknya lebih erat. Daguku menempel di pundak kanannya. Kuku-kukuku mencoba mencakar punggung dan tulang belikat akh Joe. Aku menyerah. Ia terlalu buas. Aku butuh jeda.
"Aaahhhh... Ssttoopp... Kumohoon..." Aku mengharap belas kasihannya. Sodokannya melambat. Kutepuk-tepuk punggungnya seperti pegulat yg kalah di arena.
M e m e k ku telah mengeluarkan 'liur' yg banyak sekali. Pegangan tanganku tak sekuat awal permainan.
Akh Joe membopongku kembali ke kamar. Aku memeluknya seperti pasangan yg dimabuk cinta pada malam pertama. Ia telah memberi arti baru persetubuhan bagiku, bahwa bermain cinta bisa seindah ini.
Ia menghempaskan tubuhku di ranjang dengan lembut.
Sembari ia mengunci pintu, kuminum air dari gelas di samping TV. Aku kehausan.
"Larissa, nungging dong..." ia menyuruhku dengan setengah memaksa. Ya ampun, belum ada dua menit p e n i s nya tercabut, aku sudah mau digarap lagi.
Akh Joe... Antum makan apa sih? Kuat banget! Sate kuda, ya?
Mungkin aku perlu dikasari agar nafsuku menanjak kembali.
"Nggghh..." Aku hanya bisa memelas saat jilbabku dilepasnya.
Dengan posisi menungging seperti ini, kurasa torpedonya akan menerobos lebih dalam. Ia mulai meremas-remas pantatku. Aku pun tak kuasa menahan rangsangan. Aku pasrah dan berharap akh Joe cepat mengeluarkan sperm...
"Nngaaahhhhhh..."
Belum selesai aku menarik nafas, batang daging yg berurat dan tegang itu dimasukkan sedalam-dalamnya menuju pangkal rahimku.
Kecipak kecipok plok plok plok.
Seperti yg tak mengenal rasa capek, ia mulai goyangan maju-mundur enaknya.
Edan... Inikah rasanya di p e r k o s a tapi pengen nambah??
Ia mengasariku dengan menarik rambutku yg panjang. Leherku jadi tegang. Belum cukup sampai di situ, tangan kiriku diraihnya pula.
Ya Tuhan, tak dapat kulukiskan betapa aku bak menenggak narkoba dan kecanduan digagahi seperti ini. Setiap kali p e n i s akh Joe maju ke depan, tangannya menarik rambut dan tanganku ke belakang.
"Ahhh... Oohh... Ihhh... Akhii... Enn... Enaakk... Dalemmm... Sssh... Gateell... Oouucchh..."
Kegatalan. Mungkin itulah yg tepat menggambarkan kondisiku sekarang. Tak sanggup aku menggaruk diriku sendiri... Aku butuh k o n t o l, yg mampu menggerus dinding m e m e k ku yg gatal.
Terbayang kenikmatan yg sama yg dirasa aktor dan aktris film dewasa yg rutin kutonton.
Di tengah permainan liar akh Joe yg beringas, mendadak ia menghentikan goyangannya.
"Eh? Kok, berhenti? Ayo akhi, e n t o t ana dari belakang, akhi... Uugh..."
Tak ada lagi rasa malu, gengsi, harga diri, apapun namanya, di diriku. Akulah akhwat hyperseks.
Yg kuperlukan hanya tusukan-tusukan yg dalam dan menghanyutkan. Akulah akhwat binal yg berdahaga.
Kugoyang pantatku sendiri agar k o n t o l Joe kembali tercelup dalam liangku yg hangat. Dapat kubayangkan ia tersenyum puas. Aku yg semula sok jual mahal, kini menistakan diri...
Lalu ia mulai lagi mengayunku di dalamnya samudera birahi yg terlarang. Pinggangnya bergerak maju mundur seirama dengan pantatku yg mundur-maju.
Kami seperti dua orang dalam tim renang indah yg menyelaraskan gerakan sesuai irama.
"Terus akhi... Awas kalau antum sampe berhenti... Terus... Ohhh... Ssshh... Sedap... Gila gila gila..."
Aku merengek agar gerakannya semakin cepat dan menghentak. Kedua gunung dagingku yg kencang dan menggoda berayun seperti buah pepaya ranum. Ia remas dan usap sampai aku lupa diri.
Ia mencubit payudara ku gemas. Kulihat dari cermin, sampai memerah bekasnya, sangat kontras dengan kulitku yg putih seperti orang Tiong Hoa.
Leherku dihisapnya, seperti drakula penyedot darah wanita perawan. Aku menggelinjang keenakan. Kurasa ia masih jauh dari rasa lelah.
Kecepatan sodokannya sama sekali tak menurun.
"Terus, Akhi... Ahh... Enaakk..."
Aku telah lupa daratan. Lupa pada akhwat lain yg satu grup pengajian denganku. Akhwat-akhwat yg sedikit iri aku telah menikah dengan usia yg relatif muda.
Kalau saja... Kalau saja mereka semua tahu, n g e n t o t itu senikmat ini, pastilah tak akan ada akhwat tua yg masih berharap ada ikhwan datang melamar.
Justru akhwat yg akan agresif minta dinikahi!
Joe membantuku berdiri, demi gaya yg lain, walau masih mirip. Gaya ini... Gaya yg pernah kulihat dari film dewasa. Aku paham maksudnya.
Dengan sisa-sisa tenaga yg tersisa, dan tubuh penuh dengan peluh, aku sandarkan kedua tanganku di lemari kaca.
Kukagumi dadanya yg bidang dan terbentuk. Ia pasti sering berolahraga.
Ia memberi tanda agar aku meregangkan kedua kakiku lebih lebar. Posisiku agak berjinjit karena tinggi badan kami tak setara.
Zzruuutt.
"Ngggghhhh..."
Aku kembali meringis merasakan keperihan karena saking besarnya alat kelamin akh Joe yg semakin lancar menusuk-nusuk.
Lendir dan cairan cinta kami berpadu. Ia membuat p e n i s nya ambles tenggelam ditelan kelaminku.
"Uuhhh... Nngghh... Iiihhh... Amm... Puunn..."
Aku mulai berisik lagi. Semua bagian tubuhku yg sensitif: dada, leher, belakang telinga, pantat, bawah pusar, tengkuk, semuanya, telah dieksplorasinya.
Masing-masing meninggalkan tanda yg beragam, mulai dari garis kemerahan hingga bekas gigitan yg ringan.
"Mau cepet-cepet apa santai?" tanyanya sambil berbisik.
"Cepet... Aja... Cap—capek..." jawabku sembari ngos-ngosan.
Sodokannya ia percepat bagai mesin.
Cepik cepok cpok plok plok plak pak plok.
Badanku kelojotan sambil berusaha tetap berdiri dalam posisi ini. Lututku lemas. Kakiku pegal. Selangkanganku bagai mati rasa.
"Aku dikit lagi keluar," katanya sambil tetap terus memompa. Aku pun tak sabar untuk beristirahat. Aku lelah.
Blop slop zlop plop plak.
"Akk—ku jugaa..." jawabku lemah tanpa daya. Kelihatannya ia sudah siap memuntahkan seluruh isi kantung zakarnya.
"Keluarin di dalem apa di luar?" tanyanya hati-hati.
"Dal—dalem aja..." kataku yakin. Biarlah aku mengandung dan melahirkan anak dari hubungan gelap kami. Hubungan kami memang gelap, tapi kuyakin masa depan anakku secerah mentari.
Tangannya mencengkeram lenganku.
"Akhii... Ana... Ma—mau... Samp—pai..." kata-kataku terputus.
Otot-otot v a g i n a ku serasa makin menegang dan mencengkeram p e n i s Joe yg berukuran raksasa.
Pada akhirnya puncak s e k s kami tiba...
"Aaaahhh... Aarggh... Aghh..."
Tubuhku terjulur keras. Sekujur badanku seperti terkena sengatan listrik. Mulutku separuh terbuka dan megap-megap.
Kutepuk-tepuk paha akh Joe sebagai ganti isyarat kibaran bendera putih.
Aku sudah tak kuat lagi melanjutkan persetubuhan ini.
Berbarengan dengan itu, dapat kurasakan cairan mani nya yg kental panas seperti lelehan keju mozarella bercampur saos mayo.
Ia pun kaku. Dapat kulihat dari cermin matanya terpejam merengkuh kepuasan orgasme.
"Aaaahhhh..." pekiknya.
Zzzrooooott... Zzrooottt... Croootttt... Crot...
Hangat. Lengket. Nikmat. Berjuta rasanya. Sulit kuceritakan.
P e j u h yg putih kekuningan masuk hingga ke lubang peranakanku, berkejaran secepat kilatan petir demi memenangkan tempat di sel betinaku.
Zrot... Crut... Cret...
Ia kembali memuntahkan yg tersisa dari isi sepasang bijinya, dengan pompaan yg lebih lemah.
Aku bergidik seperti ayam perempuan selesai dibuahi. Tubuhku merinding. Kakiku lemas. Bibirku yg berusaha mencari nafas lalu dilumatnya dengan ganas.
Cup... Slurp... Hmmpphh...
Aku jadi makin kesulitan bernafas.
"Terima kasih, Ukhti..." bisiknya di telingaku.
PLOP.
P e n i s nya dicabut. Aku lalu dibopong menuju ranjang. Ia menyelimutiku dengan sarung.
Hawa panas dalam tubuhku tak berhenti membuatku berkeringat. Udara kamar dipenuhi nafas-nafas yg tersengal karena aktivitas 'berat'.
JEGHERR.
Suara petir di langit memberi tanda bahwa hujan masih lebat. Gesekan listrik ribuan volt di angkasa berdesakan menuju tanah yg netral.
TES. TES. TES.
Air menetes dari langit-langit kontrakanku, hal biasa saat hujan sederas ini.
Aku merasakan kepuasan yg sempurna. Memadu kasih dengan pujaan hati, mau di kamar hotel berbintang lima, ataukah di kontrakan butut yg bocor seperti ini, sebetulnya sama saja.
Sama-sama bikin enak. Sama-sama buat anak.
Aku terpejam dan mulai mengantuk kelelahan. Kusenderkan diriku di dalam dekap peluk akh Joe yg hangat.
"Terima kasih, Akhi... Jauh lebih perkasa antum dibanding suami ana..."
Kuceritakan pula tentang asal muasal alat bantu s e k s yg dibelikan suami. Tentang diriku yg selalu tak puas, dan ingin lebih, dan terus, dan lagi...
Akh Joe mengecup keningku. Momen romantis seperti ini jarang kudapat dari Mas Rohim.
Setiap kali selesai, aku hanya ditinggalkan begitu saja, sedang ia langsung tidur mendengkur.
Aku merasa nyaman dan tenang di dekapan Joe. Angin yg mengintip masuk ke dalam kamar membuatku separuh menggigil. Di luar dingin, namun kulitku terasa hangat menempel di kulitnya.
Mataku semakin berat. Kami tertidur dalam selimut yg sama. Entah berapa lama kami terpejam, aku terbangun kembali karena ingin pipis. Ternyata hujan telah tuntas membilas tanah.
Kuperhatikan bulu-bulu halus di dadanya.
Kapankah aku akan bersamanya kembali, merajut benang pergumulan, memandang lekat rahangnya yg cadas sambil bercengkerama dalam obrolan penuh tawa ringan, saling goda dan raba penuh canda?
Mataku tertuju ke area bawah pusarnya. Lebih tepatnya, ke tonjolan besar di balik celananya
Aku menelan air liurku sendiri.
Kupikir lagi, kok bisa benda sebesar dan sepanjang itu masuk hingga ke pangkal sumur kewanitaanku? Ah, segera kuhapus bayangan indah persenggamaan kami tadi. Kalau diingat terus nanti malah bikin gatal dan kepengen lagi.
Aku bangkit menuju WC.
Jalanku sedikit tertatih. Area sekitar selangkangan ku masih terasa pedas dan ngilu. Saat berjongkok pun aku masih harus berpegangan supaya tak tumbang.
Surrr... Kutuntaskan hajatku, lalu segera keluar.
Kuperhatikan jam dinding, masih 11:40. Masih lebih setengah jam lagi menuju dzuhur.
Aku kembali masuk ke kamar. Kulihat lagi pejantanku yg pulas kecapekan. Aduhai, keren dan macho sekali dia tatkala tidur.
Kuperhatikan lagi area bawah pusarnya. Kuberanikan diri untuk mengelus dan menggenggam p e n i s akh Joe.
Perlahan, kupelorotkan celananya.
Amboooii...
Tak kusangka, walau dalam keadaan tak aktif pun, ukurannya membuatku sulit menutupinya dengan dua kepalan tangan.
Tak dapat kupercaya, inilah muasal aku jadi merem-melek seperti kesurupan.
"Hhmmm... " Joe mendesah pelan. Kuperhatikan ia masih begitu lelap. Jagoanku rupanya sangat kelelahan. Kuusahakan burungnya saja yg bangun, bukan dia.
Kupandang dekat-dekat benda spektakuler itu. Guratannya seakan membentuk ulir-ulir layaknya mata bor dari daging. Uratnya menonjol, biru kehitaman. Pucuknya seperti jamur berwarna merah, agak mengkilap.
Bijinya besar, tapi terlihat kempes. Mungkin karena habis terkuras, menyiram liang rahimku. Agak mengkerut, mungkin karena kedinginan. Bulu kemaluannya rapi, seperti padang rumput yg setiap hari dipangkas.
Dengan hati-hati aku mulai mengocok batang milik akh Joe.
Ahhh...
Selama ini aku tak pernah mau bila disuruh mengulum milik suamiku. Ada perasaan jijik dan mual. Namun setelah melihat dari dekat milik akh Joe, mendadak aku berubah pikiran.
Aku mulai dengan menggenggamnya, lalu kujilat ujungnya seperti menjilat es krim. Hmmm, sedikit asin bercampur gurih. Entah rasa apa ini, namun kuteruskan saja.
Kumasukkan ujung p e n i s nya, lalu masih di dalam mulutku, kumainkan lidahku melingkar.
Slurp... Cusrpp... Hmmm...
Dapat kurasakan belahan lubang p e n i s akh Joe yg agak berlendir.
Kucoba menelan terong impor ini lebih dalam, tapi agak seret. Oh mungkin kurang basah. Aku menganga lebih lebar. Benda itu masih lunglai dan tak sepanjang ketika n g a c e n g.
Kugerakkan kepalaku turun naik, sambil air liurku membantu agar makin licin. Lidahku masih menari membelai. Kusedot-sedot 'pisang' hidupnya perlahan. Kuusahakan tak mengenai gigi.
Benda ini terlampau panjang dan besar, mulutku tak cukup.
Tanganku membantu mengocok dengan gerakan memutar. Pelan-pelan, ukurannya semakin terasa jumbo.
Aku menelannya. Mula-mula hanya ujungnya, lalu semakin dalam. Lalu semakin dalam lagi. Semakin dalam... Sampai... Kurasa aku kewalahan...
Ujung k o n t o l nya hampir menyentuh pangkal tenggorokanku. Aku menarik nafas. Mataku berair. Aku tak tahan, mungkin aku memang belum berpengalaman dan harus banyak belajar lagi.
Kujilat bijinya, kuremas dengan tanganku. Wah, rasanya ada kelereng besar di dalamnya. Hi hi hi...
"Nggg... Hmm..."
Gawat. Sepertinya dia akan terbangun. Aku segera memasukkan p e n i s nya ke dalam celananya lagi.
Aduh, susah amat, kegedean ih... Ah, akhirnya berhasil.
Kuseka bibirku yg tipis dan berlumuran ludah. Aku kembali berbaring di dadanya dan berpura-pura masih tidur.
Ia kemudian bangkit dan mulai mengenakan pakaiannya kembali. Sepertinya ia tak sadar burungnya kujadikan eksperimen dan bahan latihan fellatio. Hi hi hi...
Bergegas ia mengemasi barang-barangnya. Ia hendak pulang.
Mendadak aku merasa kehilangan. Bukan hanya soal permainan hebat yg diberikannya, tapi juga karena aku jatuh cinta padanya.
Ada perasaan tak biasa ketika ia mendekapku hingga dadaku sesak.
Ahmad Jonathan Nainggolan. Nama itu kini tersemat di hatiku, terukir walau tak terlalu dalam. Bersanding, sekaligus bersaing, dengan Rohim.
"Kalau besok, antum gak kuliah, akhi?" tanyaku. Sekadar ingin tahu kapan kami akan bersua lagi. Dadaku sudah dirundung rindu, walau kini ia masih di hadapanku.
Ia tersenyum nakal. Seolah ia tahu aku bakal kangen padanya.
"Emang ukhti kuat tiap hari?" katanya sambil menggoda. Aku cuma tersenyum.
Hiiii... Dasar cabul, hi hi hi... Tapi aku suka!
Setelah siap, ia pesan ojek online dari handphone-nya yg mewah. Jauh sekali dengan aku dan Mas Rohim yg ekonominya sulit.
Ah, tapi aku selalu bersyukur. Banyak hal baik terjadi pada kehidupan kami. Kadang suka dan duka datang silih berganti.
Setelah mengucap salam, ia pergi. Agak jauh titik jemputnya dari rumahku, mungkin agar tak dicuriga orang. Entahlah...
Sebentar lagi adzan dzuhur berkumandang. Aku memanaskan air hangat untuk mandiku sendiri.
Setelah mengganti pakaianku dengan hanya handuk yg terlilit, kuingat-ingat lagi peristiwa hari ini.
Ahh... Pipiku bersemu merah. Kupandangi kompor usangku.