Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Amulet (Tamat)

Bimabet
Bab 8

Jason menyukai hari Sabtu. Dia bisa tidur sesukanya, dan setelah mengerjakan beberapa tugas pagi di sekitar rumah, sisa hari itu adalah miliknya. Dengan kalung itu, akhir pekan ini menjanjikan sesuatu yang ekstra spesial.

Pagi ini ia bangun dengan kebugaran dalam langkahnya, dengan kenangan malam sebelumnya masih segar dalam pikirannya. Kemampuan barunya membuka peluang yang sangat luas yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya. Adegan antara Danny dan Chief Lobeaux benar-benar mengejutkannya. Meskipun ia tak yakin ia bisa melihat salah satu dari mereka dengan cara yang sama lagi.

Setelah membersihkan kamarnya, dan mengatur barang-barang yang berserakan di garasi, ia sedang memotong rumput di halaman depan ketika ia menangkap gerakan dari sudut matanya. Menenggok, ia melihat Sam dan ibunya sedang mengeluarkan mobil mereka untuk pergi ke suatu tempat. Ibunya kembali ke dalam, tapi Sam melihat Jason menatapnya. Dia tersenyum dan melambaikan tangan, memberi isyarat baginya untuk mendekat.

Dia mematikan mesin pemotong rumput dan menuju seberang, kaos putih usangnya tak menyembunyikan banyak keringat yang membasahi dada dan lengannya. Efeknya tak bisa diabaikan oleh Sam, dan ia melihat mata Sam mengamati tubuhnya saat mereka bertemu di pagar.

"Kau terlihat keren hari ini Jason," katanya dengan senyum senang.

"Aku merasa kotor," katanya, malu karena cara Sam memandangnya.

"Kotor itu kadang-kadang bagus," jawabnya.

Ngomong-ngomong tentang keren, Sam tampak sangat seksi hari ini, dengan celana jeans dipotong pendek, dan tank top oranye yang memeluk lekuk payudaranya dan memperlihatkan perutnya. Garis-garis bra-nya terlihat, dan pikirannya mengembara saat ia bertanya-tanya apakah itu adalah bra yang sama ia telah pakai dua malam lalu.

"Kau sendiri lumayan keren hari ini, Sam," ia mendengar dirinya mengatakan itu, dan segera jadi memerah.

Tapi Sam berseri-seri oleh pujiannya, wajahnya berbinar sambil tersenyum.

"Kalian akan pergi keluar?" Ia bertanya, mengangguk ke arah mobil.

"Ya, ibu dan aku akan pergi ke Mall. Ini ritual kami di hari Sabtu pagi."

Mrs. Scott keluar rumah lagi. Jason menyadari tubuhnya masih terlihat cukup bagus untuk usianya, dan jika Sam mewarisi gen darinya, berarti Sam beruntung. Ia menyadari bahwa ia sedang memikirkan Mrs. Scott sebagai seorang wanita untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Dia bertanya-tanya apa yang menyebabkan itu, dan ingat Mrs. Lobeaux tadi malam. Ya Tuhan. Pikirannya mulai bergulir pada pertanyaan bagaimana Mrs. Scott terlihat saat memberikan blowjob. Tidak tidak tidak dia mengulangi dalam hati, sampai gambaran itu memudar.

"Jason Selamat pagi," kata Mrs. Scott sopan, datang ke tempat Sam dan dia berdiri, "Apa yang telah kau lakukan?"

Jason telah jadi favoritnya ketika masih anak kecil. Dia menikmati kunjungan Jason sehari-hari untuk bermain dengan Sam, dan ia akan selalu memastikan untuk menyediakan banyak makanan ringan yang ia sukai. Tapi itu berubah selama masa nakalnya. Terlalu banyak kejadian putrinya pulang menangis dan telah mengeraskan hatinya terhadap dia. Sekarang, Mrs. Scott sopan padanya karena Sam memintanya padanya, tapi tak ada kehangatan di belakangnya. Jason mengerti alasannya kenapa.

"Tidak banyak Mrs. Scott," jawabnya.

"Sam," katanya, "ketika aku ke dalam rumah, aku mendapat telepon dari tante Carol. Nenek mengalami masalah dengan pipa air lagi, dan aku harus menelepon dan memanggil tukang ledeng untuknya. Ini mungkin akan memakan waktu cukup lama, jadi kau punya sekitar 45 lima menit sebelum kita pergi."

"Nggak masalah ma. Aku akan jalan-jalan sebentar."

Mrs. Scott berbalik dan kembali ke dalam rumah.

Sam beralih ke Jason. "Hei, kau ingin jalan-jalan denganku? Aku punya sesuatu yang aneh untuk kuberitahu padamu."

"Aneh?"

"Ya. Mau pergi?"

Biasanya ia akan mencoba mengelak untuk jalan-jalan dengan Sam. Tapi setelah pengalamannya dua malam yang lalu, ia tampak berbeda baginya. Dia benar-benar berharap untuk ngobrol dengannya.

"Jika kau nggak masalah aku pakai baju seperti ini, ayo."

"Sama sekali nggak," katanya, dan ia memperhatikan Sam mengamati tubuhnya.

"Ok, beri aku satu menit untuk menyelesaikan memotong rumput dan mengembalikan pemotong rumputnya."

Beberapa menit kemudian mereka berangkat, berencana untuk mengambil rute yang panjang di sekitar kompleks akan membawa mereka kembali tepat waktu.

"Jadi, hal aneh apa yang ingin kau beritahu padaku?" Tanya Jason.

"Beberapa malam lalu, setelah kita ngobrol di depan rumahku, aku mimpi tentang kamu."

Matanya melebar. "Bermimpi? mimpi seperti apa?" Biasanya dia tak akan peduli kalau Sam bermimpi tentang dia, tapi, mengingat apa yang terjadi, Ia penasaran.

"Itu mimpi yang aneh. Nggak seperti mimpi normal biasa."

"Tentang apa?"

"Yah, seperti aku bilang, aneh. aku terbaring di tempat tidurku tertidur, dan kau ada di sana, menjagaku. Melindungiku."

Jason tak bisa bicara.

"Sulit menjelaskannya," lanjutnya, "tapi itu membuatku merasa aman, karena tahu kau ada di sana menjagaku."

"Wah aneh." Dia tak bisa memikirkan hal lain untuk dikatakan.

"Yah, tapi aku menyukainya. Itu sangat bagus."

Jason memutuskan untuk bercanda. "Apakah kau pakai piyama merah muda itu? Yang dulu sering aku olok-olok ketika kita masih kecil? Ingat ketika aku memanggilmu Peter Cottontail?"

Sam tertawa. "Aku ingat. Tapi nggak, aku nggak pakai itu lagi. Aku..." dan Sam berhenti dan pipinya langsung memerah.

"Apa?"

"Aku nggak pakai apa-apa," tuntasnya, dan bertambah merah.

Dia juga memerah, tetapi mengatakan, "Jadi tunggu, dalam mimpi kau berbaring telanjang di tempat tidur, dan aku mengawasimu, dan tak terjadi apapun?"

"Kau bersikap baik malah. Bahkan menarik selimut di atas"

Jason menatapnya, tak dapat berkata-kata lagi. Apakah mungkin dia telah terbangun dan entah bagaimana caranya tahu ia ada di sana? Itu sangat tak mungkin, mengingat apa yang telah Sam lakukan di depannya.

"Jadi, mm, dimana aku menontonmu?"

"Aku tak tahu. Itu aneh juga. Rasanya seperti kau ada di sana tapi kau nggak benar-benar ada."

Jason merasakan dorongan yang tiba-tiba untuk mengalihkan pembicaraan tentang dirinya. Dia semakin dekat dengan kebenaran. Dia berseru hal pertama yang muncul dipikirannya.

"Jadi apa kau bermimpi telanjang, atau apa kau benar-benar telan ...?" Di tengah kalimat dia menyadari apa yang ia katakan, dan suaranya melemah. Dia meringis dalam hati. Dasar idiot.

Ia melirik dan melihat Sam memberinya ekspresi aneh. Tapi dia tersenyum juga, yang merupakan pertanda baik.

Dia berpikir Sam akan mengatakan sesuatu, tapi ia terus saja tersenyum padanya dan memberinya tatapan aneh itu.

Akhirnya, ia berkata, "Apa?"

"Jason Clark Ramsey, kau dalam masalah besar!"

Jason langsung tertawa. Sam sering mengatakan itu padanya sepanjang waktu ketika mereka masih kecil. Dia pernah mendengar ibu Jason mengatakan padanya sekali ketika mereka pulang belepotan lumpur dari satu petualangan mereka di hutan dengannya. Sam akan mengatakan padanya ketika mereka sedang bermain Go Fish dan Sam memegang kartu besar. Atau ketika dia akan bersendawa sangat keras setelah minum Cola, yang biasanya diikuti dengan ibunya mengatakan dengan tegas mengingatkan dia atas sikapnya.

"Aku sudah lupa tentang semua itu," katanya, masih tersenyum. "Kau bisa meniru ibuku dengan sempurna."

"Aku masih bisa mendengar ibumu berteriak padamu. Kita berdua tertutup lumpur, bahkan sampai ke rambut, dan kita berjalan pulang tanpa tahu sedikitpun bahwa kita akan mendapat masalah."

"Itu salahmu."

"Salahku?"

"Ya, kau ingat kan? Kita ada di sungai dan sangat becek karena hujan turun, dan kau bilang kau pernah mendengar ibumu bilang akan pergi ke spa untuk mandi lumpur. Jadi kita melihat ada lumpur dan memutuskan, siapa yang butuh spa?"

Sam menyeringai. "Oh ya. Aku ingat sekarang. Sepertinya ide yang bagus saat itu."

"Selalu seperti itu, kan? Seperti saat kita memasukkan mantel bulu ibumu di mesin cuci."

"Yah," katanya, "atau ketika kita menelepon 911 karena kita mendengar orang tuamu di kamar tidur mengeluarkan suara aneh dan kita pikir mereka terluka."

Jason meringis. "Butuh waktu bertahun-tahun untuk memblokir dari ingatanku, tapi terima kasih untuk mengingatkannya."

Sam tertawa. "Maaf."

"Kupikir itu setelah orang tua kita berkumpul dan memasang pagar pemisah. Mereka pikir akan lebih aman jika kita berpisah."

Sam tertawa kecil. "Kupikir mereka benar."

Mereka berjalan beberapa saat tanpa berbicara, lalu ia berkata, "Keduanya."

"Keduanya?"

"Jawaban atas pertanyaanmu tadi," katanya sambil nyengir.

Jason teringat pertanyaannya dan tersipu.

"Mm, jadi, kau biasanya seperti itu?"

"Nggak, aku biasanya pakai piyama merah muda dengan kaki di dalamnya."

Dia tertawa. "Masih punya itu hah?"

"Tapi untuk menjawab pertanyaanmu, Mr. Penasaran, nggak, itu bukan kebiasaanku. Aku barusan mandi dan lelah, jadi aku berbaring istirahat sedikit dan tahu-tahu aku sudah tidur."

Pikirannya melayang kembali tentang apa yang telah benar-benar dia lakukan sebelum tidur, dan ia memandang Sam. Jason punya perasaan dia juga berpikir tentang hal itu.

Ketika ia memandangnya, ia teringat deskripsi Donna tentang Sam. Sangat cantik. Pada saat ini, ia harus setuju dengan Donna. Dia selalu menganggap Sam sebagai cewek kecil yang jadi teman bermainnya, bahkan saat ia semakin dewasa dan mulai berubah. Tapi apa yang dilihatnya malam kemarin telah mengguncang gambar lama tentang dia, dan sekarang ia melihat hal-hal yang ia lewatkan olehnya.

Mereka tiba di sebuah persimpangan, dan saat mereka menyeberang jalan, Jason melihat sebuah mobil menuju kearah mereka. Tanpa pikir panjang, ia mengambil tangan Sam dan bergegas membimbingnya menyeberangi jalan. Ketika mereka sampai di trotoar, dia menunduk dan melihat apa yang telah dilakukannya, dan melepaskan genggaman tangannya. Apa itu tadi? Jason melirik untuk melihat reaksinya, tapi Sam hanya tampak tersenyum puas.

Mereka semakin dekat dengan jalan menuju rumah mereka, dan ketika mereka melewati sebuah bangku, ia bertanya, "Bisakah kita berhenti di sini sebentar?"

Sam tampak penasaran, tapi berkata, "Tentu."

Mereka duduk dan Jason mulai mengumpulkan pikirannya. Dia sudah berpikir untuk menceritakan ini padanya, dan ingin melakukannya dengan benar.

"Sam," ia memulai, "Saat kita nggak berteman dulu, aku benar-benar melakukan hal-hal jahat padamu, dan aku ingin minta maaf."

Sam tersenyum lembut. "Jason, kau seorang anak laki-laki, dan aku adalah anak perempuan yang selalu mengikutimu. Aku pikir ada hukum alam yang menyatakan bahwa anak laki-laki harus bersikap jahat pada anak perempuan pada usia itu."

Dia menggelengkan kepala. "Nggak, itu berbeda. Kebanyakan anak laki-laki dan perempuan nggak punya persahabatan seperti kita. Dan aku jahat padamu meskipun yang kau mau hanya persahabatan. Ketika aku berpikir tentang beberapa hal yang kita ... aku ... lakukan padamu, aku merasa sangat malu."

Sam diam sejenak sebelum menjawab. "Itu memang menyakitkan. Tapi aku selalu tahu ada sesuatu yang istimewa di antara kita. Aku tahu kita akhirnya akan berteman baik lagi."

"Dan kau benar. Disinilah kita, bersahabat lagi."

"Ya, sahabat." Sam tersenyum, tapi ada sesuatu di balik matanya dan ia tahu ia telah mengatakan sesuatu yang salah.

Itu adalah gilirannya untuk berhenti sejenak dan berpikir. Dia memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. "Ada sebuah lukisan di perpustakaan di atas tangga - satu karya Monet kupercaya - dan aku berjalan melewatinya selama bertahun-tahun berpikir itu hanya gumpalan warna. Lalu suatu hari di kelas Seni kami membahas tentang lukisan klasik, dan lukisan itu adalah salah satunya. Guru bicara tentang apa arti lukisan itu, dan semua benda di dalamnya disimbolisasikan. Waktu berikutnya saat aku berada di perpustakaan aku melihat lukisan itu dengan sudut pandang yang benar-benar baru."

Dia menatapnya, alisnya berkerut.

"Sama juga dengan manusia," lanjutnya. "kau memnadang mereka dengan satu sudut pandang selama bertahun-tahun, dan kemudian sesuatu terjadi dan kau memahami sesuatu di dalamnya yang kau nggak lihat sebelumnya."

Dia menatapnya. "Jason, apa kau ngomongin tentang kita?"

"Aku selalu melihat kau sebagai teman Sam, dan aku masih melakukannya. Tapi sesuatu terjadi baru-baru ini dimana aku mulai melihatmu secara berbeda."

"Berbeda? Bagaimana?"

"Yah," ia ragu-ragu, "Bagiku, kau selalu jadi temanku, yang kebetulan seorang cewek. Namun belakangan, aku lebih banyak memikirkan tentang aspek ceweknya."

Sam tersenyum. "Aspek cewek? aku sendiri juga bertanya-tanya kapan kau akan menyadarinya."

Jason tersipu. "Aku mungkin agak lambat menyadarinya tapi aku nggak buta."

Sam tertawa. "Jadi Jason, apa yang kau pikirkan tentang aspek cewekku?"

Jason menyeringai. "aku akan menolak menjawab pertanyaan itu."

Sam akan meresponnya ketika terdengar suara klakson mobil. Mereka mendongak dan melihat ibunya berhenti di tepi jalan.

"Sam," katanya, "aku selesai lebih cepat dari yang kukira. kau siap pergi?"

"Tunggu sebentar, Ma," jawab Sam, dan berbalik kembali ke arah Jason. "Kita akan melanjutkan ini nanti mister. kau nggak akan lepas dari pembicaraan ini dengan mudah."

Jason tertawa. "Aku menunggunya." Dan dia serius.

"Mau melakukan sesuatu nanti?" Tanyanya.

"Tentu. Gimana kalau kita pergi ke suatu tempat dan ngobrol lagi?"

"Tempat Angelo?" Katanya. "Kita bisa ketemu di tempatku sekitar jam delapan, dan jalan kaki?"

"Ini kencan."

Sam berseri-seri menatapnya. Jason pikir matanya tampak menakjubkan.

"Nanti," katanya, dan melompat dari bangku dan pergi ke mobil. Sam tampak senang.

Dia melihat mobil menghilang di jalan, dan kata-kata terakhirnya kembali terngiang. Hah, pikirnya, kukira itu benar-benar kencan.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Wah bikin penasaran + konak... Ayo dilanjut gan... :bacol:
 
maaf agak lama....beberapa hari nggak bisa login

Bab 9

Jason memutuskan untuk menghabiskan sisa paginya dengan mencari petualangan lain dengan kalung itu. Tapi setelah pengalamannya dengan Danny dan Chief Lobeaux malam kemarin, ia dalam suasana hati untuk sesuatu yang sedikit lebih normal. Mungkin jalan-jalan di sekitar blok, untuk melihat apa yang bisa ia temukan? Ia menilai apakah ia harus pergi dengan berpakaian dan membawa itu kalung di sakunya, atau pergi telanjang mengenakan kalung itu. Menyimpulkan bahwa mungkin sulit untuk menemukan tempat untuk melepas pakaian, ia memilih yang terakhir. Pagi itu bagus, tetapi tidak terlalu panas, dan ia akan nyaman tanpa pakaian. Dia mulai terbiasa dengan ini.

Dia berjalan mengelilingi blok sekitar rumahnya, tapi tidak melihat sesuatu yang menarik. Kebanyakan adalah orang di halaman rumah mereka membersihkan rumput, atau keluar menuju ke dalam mobil mereka. Saat ia kembali ada didekat rumahnya, ia pikir pencariannya akan jadi sia-sia.

Tapi dua pintu sebelum rumahnya dan di seberang jalan, dia ingan itu adalah rumah keluarga Raders, di mana Tom dan Beth Rader tinggal. Mereka pasangan muda, hampir belum setahun menikah, dan pindah ke lingkungan itu musim semi lalu, tepat setelah mereka menikah. Jason bertemu mereka musim panas lalu ketika Tom meminta bantuannya untuk memotong rumput mereka beberapa kali ketika ia keluar kota untuk perjalanan bisnis panjang. Mereka berdua sekitar pertengahan dua puluhan, lebih dekat dengan usia Jason daripada orang tuanya. Athletik dan sehat, mereka sering turun di taman bermain tenis satu sama lain.

Dia kadang-kadang mendengar orang tuanya membicarakan tentang mereka ketika mereka pikir Jason tidak bisa dengar, dan rang tuanya memberi nama panggilan untuk pasangan Raders dengan sebutan 'Kelinci'. Jason tak yakin apa yang mereka maksud, sampai suatu hari di musim panas lalu dia berdiri di dalam pintu depan, sementara orang tuanya sedang duduk bersama di ayunan di luar rumah. Pasangan Raders itu berada di luar di halaman mereka, di mana Tom pemangkasan pagar dan Beth penyiangan bunga-bunga. Kemudian Tom berjalan ke arah di mana Beth berlutut di bedeng bunga, membungkuk, dan mencium bagian belakang lehernya. Beth berdiri, berbalik, dan mereka berpelukan. Tom memegang tangan Beth dan membawanya ke dalam rumah.

Orang tuanya jelas tak tahu bahwa Jason berdiri dalam jarak pendengaran, karena ibunya berkata, "Lihat mereka seperti kelinci lagi."

Ayahnya tertawa kecil. "Aku ingat saat-saat seperti itu."

"Kupikir kita tak pernah berhubungan seks sesering mereka berdua," kata ibunya, "Mereka lengket satu sama lain setiap menit dalam sehari."

Jason pikir telinganya salah dengar. Apakah dia benar-benar barusan mendengar ibunya berkata begitu? Dia mundur dengan cepat dan tenang menjauh dari pintu, bersumpah untuk tak pernah menguping orang tuanya lagi.

Saat mendekati rumah Rader, keberuntungan bersamanya. Mobil mereka baru saja masuk ke halaman rumah mereka, dan dari cara mereka berpakaian sepertinya mereka baru saja tenis di taman. Ia tahu ia harus bergerak cepat, jadi ia berbalik dan mengikuti mobil mereka di jalan masuk. Pintu garasi terbuka, dan mobil meluncur kedalamnya. Jason datang setelah mereka, dengan pintu bergulir di belakangnya.

Dia berdiri di pojok mengamati mereka keluar dari mobil dan ia memasuki rumah mereka melalui pintu samping.

Dia mendengar Beth berkata, "Kau simpan dulu raketnya dan aku akan menyiapkan shower."

Mereka menutup pintu di belakang mereka, dan Jason menunggu beberapa menit sebelum ia mencoba untuk membukanya. Menyelinap kedalam, ia mencoba untuk mengorientasikan dirinya di dalam rumah. Dia melihat tangga ada di dekat pintu depan dan mengarah naik ke lantai dua. Di bagian atas tangga ke samping adalah kamar mandi, dan ia bisa mendengar suara shower mengalir. Pintu terbuka dan ia mengintip ke dalam.

Pemandangan yang indah sudah menunggunya. Beth sudah telanjang, dan ia sedang membungkuk di bak mandi, menempatkan tikar mandi ke dalamnya. Dia memiliki sudut pandang yang sempurna tepat pada pantatnya, dan jelas bisa melihat bibir berbulu di bawahnya. Mereka terlihat begitu mengundang, ia terpesona.

Saking terpesonanya, ia hampir tak mendengar suara dari belakangnya. Bergerak cepat, ia nyaris terlambat bergeser ke samping saat Tom berjalan melewatinya. Mereka begitu dekat dia bisa merasakan udara bergerak melewati kulitnya ketika Tom lewat. Jantung Jason mulai berdegup cepat, karena dia sadar dia hampir saja ketahuan.

Tom, yang juga telanjang, pasti juga menikmati pemandangan yang sama seperti Jason, karena ia muncul di belakang Beth, meraih pinggulnya, dan menekan tubuhnya pada pantat Beth.

"Tommy," ia tertawa, "kau hampir membuatku terjatuh."

"Aku memegangimu sayang," katanya, dan dia benar. Dia memegang pantatnya dengan kencang dan menempelkan pangkal pahanya, dan memang Beth jelas tak mungkin jatuh. Dia adalah seorang wanita bertubuh mungil, tetapi memiliki bentuk tubuh yang kuat dan ramping. Payudaranya kecil dan bulat, yang mana Jason hanya bisa mengira lewat baju tipis yang biasanya dipakai. Dia tidak sabar menunggu Beth untuk berdiri sehingga dia bisa melihat payudaranya secara langsung.

Tom berbadan tinggi, tetapi juga ramping dan berotot. Setiap kali mereka berdiri di samping istrinya, Beth hanya setinggi dadanya.

Ketika dulu Jason memotong rumput rumah mereka, dan Tom ada di halaman dan Beth sendirian di rumah, ia sering berfantasi tentang dia. Dia telah mendengar cerita-cerita tentang ibu rumah tangga yang merayu remaja laki-laki, dan membayangkan apa yang bisa terjadi antara Beth dan dia. sayangnya, tak ada yang pernah terjadi, dan satu-satunya interaksi yang mereka miliki adalah ketika dia kadang-kadang membawa keluar segelas jus jeruk. Atau mungkin juga bisa disebut untungnya, karena melihat otot-otot Tom, ia benar-benar tak ingin berada di posisi yang salah atau ia akan mendapat pelajaran yang keras.

Akhirnya, Tom melepaskan pegangannya, dan Beth berdiri, berbalik dan memeluk pinggangnya. Payudaranya kecil, tapi berbentuk sempurna, bagus dan bulat dengan puting kecil. Tangan Tom meluncur turun ke punggungnya, dan selanjutnya turun ke pantatnya, menangkupnya dan menarik agar mendekat. Beth memiringkan kepalanya ke belakang sambil menengadah, dan mereka mencium dalam. Jason mengawasi dan menjadi terangsang.

Setelah beberapa saat, mereka berpisah dan melangkah ke kamar mandi, mengeser pintu kaca menutupnya.

Pandangan melalui kaca agak terdistorsi karena air memercik dan membuatnya tak jelas, tapi ia masih bisa melihat sebagian besar dari apa yang sedang terjadi. Mereka mulai dengan ciuman, tapi kemudian memisahkan diri dan menyabuni badan mereka sendiri. Dia memperhatikan Beth menyebarkan busa di atas payudaranya yang mungil, dan menatap dengan penuh perhatian ketika ia berbalik dan membiarkan semprotan shower membilas mereka.

Sementara itu, Tom mulai mencuci kemaluannya. Sudah setengah keras dari ciuman penuh gairah mereka, tapi karena ia menggosokkan busa di atasnya, itu menegang lebih keras. Beth berbalik dan melihat apa yang sedang Tom lakukan. Beth perpura-pura menampar tangannya pergi, dan berkata, "Hei, itu pekerjaanku."

Dia mengambil sebatang sabun dan mengumpulkan busa di tangannya, dan mengulurkan tangan dan menggenggam miliknya, memberikan remasan kecil. Dia mulai dengan gerakan membelai, yang dengan cepat membuatnya tegang sepenuhnya. Tangannya memutar dan membelai secara bersamaan, masing-masing dalam arah yang berlawanan, dan Tom sepertinya sangat menikmati efeknya. Tangannya menemukan payudaranya dan meremas, dan kenikmatan akan sentuhannya muncul di wajah istrinya.

Mereka akhirnya berhenti dan menyelesaikan mandinya. Mematikan shower, mereka melangkah keluar dan mulai mengeringkan diri, dan penis Tom kaku dan terayun-ayun setiap dia bergerak. Beth pura-pura akan meraihnya, Tom tertawa dan bergeser menjauh dari jangkauannya.

Sambil menyeringai, Beth mencoba strategi yang berbeda. Bergerak mendekatinya, dia meletakkan tangannya di atas bahunya dan melompat, menarik tubuhnya ke atas dan melingkarkan kakinya di pinggang Tom. Saat ia menempel erat padanya, Tom menangkup kedua pantatnya, menahan berat tubuhnya. Mereka berciuman lagi, kali ini bibir mereka pada posisi sejajar, dan Tom mulai berjalan.

Jason harus memberi jalan mereka lagi, dan mereka berjalan melewatinya, Tom membawa istrinya dengan mudah di lorong dan masuk ke pintu yang terbuka. Setelah beberapa saat, Jason mendengar suara samar dari kasur yang tertekan.

Dia mengikuti mereka dengan perlahan, tak ingin mengeluarkan suara. Ketika ia sampai di sudut kamar, ia terkejut melihat Tom sudah memasuki istrinya.

Dari sudut pandang belakang mereka, Jason memiliki pandangan yang sempurna dari aksi mereka. Mereka berada di tempat tidur, Beth berbaring telentang, dan tangan Tom mengait di belakang lututnya dan menekannya di dekat bahunya. Jason memberikan nilai tinggi untuk kelenturan tubuh Beth. Posisinya menyebabkan kemaluannya miring ke atas, yang memberikan sudut lurus pada penisnya. Tom berlutut, dan ia menggunakan gerakan pinggulnya masuk dan keluar dari dalam dirinya.

"sayang," kata Tom, napasnya menjadi lebih cepat, "kau membuatku sangat tegang di kamar mandi. Aku nggak akan tahan lebih lama lagi."

Beth sambil terengah menjawabannya. "Nggak papa Tommy. Lakukan saja dengan keras sampai kau keluar."

Tommy melakukan apa yang dimintanya, meningkatkan kecepatan dan menekan pinggulnya ke dalam miliknya, berulang-ulang, tubuh mereka bertumbukan membuat suara keras.

Tom mengerang dan melengkung punggungnya oleh kenikmatan, menekan pinggulnya erat di pangkal pahanya, mengubur diri sepenuhnya di dalam dirinya. Beth mencakar kukunya dengan ringan di punggungnya dan pantat saat Tom keluar, tersenyum ke arahnya. Matanya mengamati saat kenikmatan pelan-pelan mulai memudar dari wajahnya dan berganti dengan kepuasan, dan kemudian Tom rileks ke dalam pelukannya. Dia melepaskan pegangan lututnya dan kakinya turun, masih melingkari pinggulnya. Berbaring seperti itu selama beberapa saat, mereka berbagi ciuman dan bisikan lembut, saat napasnya kembali normal.

Dia mengangkat tubuhnya, lalu berbaring di sampingnya, bersandar pada satu siku, dan berkata, "Katakan apa yang kau mau sayang."

Beth tersenyum ke arahnya, dan tampaknya mempertimbangkan pilihannya. Akhirnya dia memutuskan. "Aku mau tanganmu padaku."

"Posisi favorit kita?"

"Tentu saja."

Rasa ingin tahu Jason langsung tersulut.

Tom naik tempat tidur dan duduk dengan punggung menempel kepala tempat tidur, meregangkan kakinya dengan lutut ditekuk. Beth berpindah kedepannya dan duduk di antara kedua kakinya yang terbuka, menempelkan punggung Beth ke dadanya. Kaki Beth persis seperti suaminya - meregang dengan lutut ditekuk. Tapi kakinya datar di atas kasur pangkal pahanya terbuka untuk sentuhan Tom dan juga pandangan Jason. Bibirnya sedikit terbuka dan basah dengan cairan mereka berdua.

Tom menangkup payudaranya dari belakang dan menciumi lehernya. Beth mendesah dan bersandar semakin merapat, tubuhnya rileks. Satu tangan Tom meluncur ke bawah perutnya, dan ia menggerakkan sepasang jari ke atas celah basahnya. Jason bisa tahu kapan Tom mencapai klitorisnya, karena tubuh Beth mengejang pada saat yang sama.

Jason mengira Tom akan membuat istrinya orgasme dalam waktu singkat, dengan menggerakkan jari-jarinya dengan cepat. Tapi apa yang ia lihat malah mengejutkannya. Tom mulai dengan irama lambat, membelai klitorisnya dengan jari-jarinya melingkar dengan pelan. Beth benar-benar rileks, menyerahkan tubuhnya pada sentuhannya. Menit-menit berlalu, dan Tom sengaja menjaga kecepatannya itu. Mata Beth tertutup, dan napasnya ringan, disertai sesekali erangan lembut.

Tangan Tom yang lain bergantian di antara putingnya, meremas dengan pelan. Dia mencium telinganya dengan lembut, membisikkan kata-kata lembut yang Jason tak mungkin bisa dengar.

Jason belum pernah melihat atau membayangkan hal seperti ini. Persetubuhan mereka sebelumnya seperti apa yang ia kira - keras dan cepat dan eksplosif. Tapi sekarang lembut dan lambat, dan dia benar-benar bisa melihat cinta Tom pada Beth dari cara ia memeluk dan menyentuhnya. Beth telah menyerahkan diri pada sentuhannya, tapi ia juga menyerahkan dirinya untuk kenikmatannya. Setiap gerakan yang dibuatnya dilakukan dengan maksud membuatnya merasa nikmat. Jason baru sadar bahwa apa yang dilihatnya jelas membedakan antara berhubungan seks dengan bercinta. Kedua orang ini bercinta dan mengekspresikannya dengan tubuh mereka.

Tubuh Beth sedikit lebih aktif sekarang, dengan berkedut dan mengejang kecil melanda tubuhnya, dan pernapasannya meningkat sedikit. Tom mempertahankan ritmenya, membawa dia naik sedikit demi sedikit, bersikap seakan dia memiliki waktu sepanjang hari untuk melakukan ini padanya.

"Ya sayang oh," bisiknya lembut. "Aku hampir sampai sayang."

Pinggul Beth mulai bergoyang sedikit, bergerak seirama dengan jarinya. Cairan Tom sekarang menetes keluar dari pangkal paha beth, cairan putih mengalir lambat di antara bibir bagian dalamnya, turun ke celah pantatnya, dan akhirnya ke seprei.

Napasnya mantap, masuk dan keluar, membangun momentum seiring menit berlalu. Bibir Beth pada awalnya hanya sedikit terbuka, tapi sekarang mengeluarkan erangan lembut setiap kali membuang napas. Tangan Beth pindah berpegang di kedua sisi kaki Tom, jari-jarinya berkedut kecil seolah-olah mencari tempat untuk berpegang. Dia menemukannya, dan mencengkeram di atas lututnya, dan pengencangkan otot-otot tangannya, menunjukkan bahwa Beth sedang memegang dengan erat.

Sekarang erangan keras keluar diiringi napas yang pendek, dan tubuhnya kejang-kejang dengan sentakan kecil, Jason tahu Beth sudah dekat, siap untuk meledak.

Dan Tom masih terus menjaga ritme lambatnya, jari-jarinya dengan sabar membelai titik kenikmatannya, jarinya berputar beringsut sedikit menuju tepi.

Tiba-tiba Beth sampai ke tempat yang dituju. Tubuhnya melengkung dalam pelukannya seperti ada seseorang yang menyerumnya dengan defibulator. Beth mungkin akan melompat darinya jika dia tidak memeganginya erat-erat. Sebuah jeritan ekstasi yang spontan datang darinya, begitu tajam dan tiba-tiba hingga mengejutkan Jason. Dia bisa melihat otot menegang di kakinya saat ia mencoba menekan pinggulnya ke atas, menekan vaginanya yang berdenyut pada tangannya.

Beth memiringkan kepalanya jauh ke belakang bahunya, dan mulut Tom ditemukan mulutnya, dan meredam sisa suara erangannya. Tom memeluknya seperti itu ketika orgasme terus menggulung melanda tubuhnya, tubuhnya mengejang setiap beberapa saat. Akhirnya, orgasmenya mulai surut, dan setelah beberapa saat Beth jatuh lemas kembali kepelukannya, diam seperti boneka kain yang dibuang kecuali hanya napasnya yang mulai lambat. Tom terus dengan ringan mencium leher dan wajah, dan jari-jarinya masih terkubur di vaginanya, tetapi tidak lagi bergerak.

Pasangan itu berbaring bersama seperti itu selama beberapa saat, dan Jason pikir Beth sudah tertidur. Tapi ketika Tom membisikkan sesuatu ke telinganya, dia tersenyum dan berkata, "Ya, aku merasakannya. Di mana kau mau memasukannya?"
 
waaa, gak sabar menunggu kelanjutannya

misal gak keberatan pm link cerita aslinya suhu... ini dari Literotica kan?
 
:jempol: bukan hanya sekedar untuk merasa.. tetapi, untuk berbagi rasa...
 
lanjut kang

keren neh ngintipin org n PoV orang ketiga
 
Bab 10

Jason berbaring di tempat tidurnya, pikirannya dipenuhi dengan apa yang telah dilihatnya sebelumnya. Dia telah kembali beberapa saat yang lalu dari rumah pasangan Rader, dan sudah memuaskan diri dengan tangannya sendiri ketika kenangan dari Tom dan Beth masih segar dalam pikirannya. Ini sama sekali tidak seperti apa yang telah ia saksikan malam lalu antara Danny dan Chief Lobeaux, yang, bisa dikatakan, hanya pertukaran cairan tubuh. Dia telah menyaksikan seks antara dua orang yang saling mencintai, dan untuk beberapa alasan dia tak bisa paham, mengapa gambar Sam tetap datang ke pikiran. Dia merasa penasaran karena gambaran yang paling kuat bukanlah apa yang ada diantara kedua kakinya, tapi wajah Sam saat dia tidur dengan puas setelah itu.

Lamunannya terpotong oleh suara ibunya memanggilnya dari lantai bawah. Dia keluar di lorong ke puncak tangga, dan melihat ibunya berdiri di bagian bawah dengan telepon menempel dadanya.

"kau dapat telepon," katanya, lalu menambahkan dengan berbisik, "Ini cewek."

Jason bingung. Seorang cewek menelepon dia? Yang mana itu belum pernah terjadi sebelumnya. Siapa yang dia kenal yang akan meneleponnya? Sam akan datang jika ia ingin bicara, dan selain itu, ibunya akan mengenali suaranya.

"Siapa itu?" Tanyanya.

"Dia tidak bilang," ibunya menjawab, masih berbisik.

Jason melangkah menuruni tangga masih memakai kaus kaki, dan mengambil telepon. Mengangkat ke telinga, dia dengan gugup berkata,

"Halo?"

Sebuah suara merdu cewek berkata, "Jason? Apakah ini Jason?"

"Aku sendiri, mm, mm, ya, aku Jason."

"Hai Jason, kuharap kau nggak keberatan aku meneleponmu, ini Becky Johnson."

Otaknya langsung berhenti. Dia tak bisa berpikir. Dia tahu dia harus mengatakan sesuatu, tapi mulutnya tidak mau bekerja sama.

"Jason? kau masih di sana?"

"Hai Becky," itu yang bisa ia katakan. Suara itu tidak terdengar seperti suaranya sendiri.

Ibunya menatapnya penuh rasa ingin tahu, tapi ia tidak menyadarinya.

"Hai Jason," ulangnya, "Dengar, aku minta maaf mengganggumu seperti ini, dan aku tahu itu menit-menit terakhir, tapi aku bertanya-tanya apa kita bisa ketemu malam ini buat ngobrol."

"Ngobrol? Tentang apa? "Dia tergagap. Dia memukul telapak tangannya di dahinya. Dia mengoceh seperti idiot.

"Tentang sesuatu," katanya, "Apakah kau mau?"

"Tentu. Aku mau."

"Bagus. Bisakah kau menjemputku sekitar jam delapan? Apakah kau tahu di mana aku tinggal?"

"Yah," katanya, dan menyadari bahwa ia mungkin terdengar seperti penguntit.

"Sudah beres. Sampai nanti Jason. Bye."

"Bye," katanya, tapi ia mendengar bunyi dia menutup telepon ketika mengatakan itu.

Tertegun, ia berpaling ke ibunya yang masih berdiri mengawasinya, dan berkata, "Ma, aku perlu pinjam mobil malam ini."

Ibunya tersenyum, mengamatinya bergegas kembali menaiki tangga menuju kamarnya.

Dia berbaring di tempat tidurnya, pikirannya berputar kencang. Ini tak masuk akal. Mengapa dia menelepon? Apa yang dia ingin bicarakan?

Dia berpikir tentang percakapan kemarin malam dengan Donna, yang bertanya apakah dia tahu kenapa Becky tak pernah berbicara dengannya. Dia tahu sesuatu yang dia tidak mengatakan kepadanya, tetapi ia tidak tahu apa itu.

Tapi sekarang Becky menelepon. Pasti Donna telah berbicara dengannya. Jadi apapun alasan Donna pasti dia salah. Dia tersenyum sendiri.

Lima jam penuh penantian kemudian dia berhenti di depan rumah Becky Johnson, rumah modern besar di salah satu komplek baru di luar kota. Ia mengenakan pakaiannya yang paling keren - jaket hitam, celana hitam, kemeja hitam, dan dasi hitam. Adik perempuannya menilainya sebelum dia pergi, dan memberinya persetujuan. Dia bahkan mengenakan satu celana dalam baru. Bukan karena dia pikir itu penting, tapi siapa tahu. Dia memutuskan untuk meninggalkan kalung itu di rumah, menyembunyikannya ke dalam laci.

Ia menimbang untuk mampir sebentar membelikannya bunga di jalan, tapi dia telah mengatakan bahwa mereka bertemu untuk bicara, jadi memberi bunga mungkin terlalu menyolok.

Dia keluar dari mobil dan berjalan ke pintu depan, mengagumi rumput yang terawat baik terbelah oleh jalan setapak. Menekan bel pintu muncul nada elegan berpadu dari dalam. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, tapi tak ada siapapun di sana.

Bingung, ia menjulurkan lehernya untuk melihat ke dalam. "Halo?"

Ia kebetulan melihat ke bawah, di mana ia melihat anak kecil berdiri di ambang pintu yang terbuka. Anak itu tak mungkin lebih dari lima tahun.

"Um, hai bung kecil," kata Jason, berbicara dengan lambat dan keras sama seperti ketika orang berbicara dengan anak kecil dan orang asing, "Aku di sini untuk ketemu Becky. Apakah dia kakakmu?"

Anak itu menatapnya. Jason menunggu. Tapi anak itu terus menatap.

"Becky?" Dia mengulangi, "apa dia ada?"

Tak ada jawaban dari anak itu.

Jason berlutut pada satu lutut, tapi masih harus melihat ke bawah pada anak. Anak itu tidak terlihat autis.

"Hei," katanya,

"Becky? Kau tahu, cewek cantik yang tinggal di rumah ini? Bisakah kau pergi memanggilnya?"

Anak itu terus menatap, satu tangan di gagang pintu, yang lain pada bingkai pintu. Ini tidak berhasil. Dia mencoba lagi.

"Namaku Jason, siapa namamu?" Dia menawarkan jabat tangan pada anak. Tak ada respon.
Dia punya ide. Ia menekan tombol bel pintu lagi. Lonceng terdengar, kali ini jauh lebih keras dan pintu terbuka. Berhasil juga. Ia mendengar langkah kaki dan kemudian

"Joshi, pergi dari situ." Sebuah tangan dari balik pintu dan menarik Joshi pada bahunya, menariknya kembali ke dalam rumah.

Beberapa detik kemudian ia digantikan di ambang pintu oleh Becky, yang tampak sangat menakjubkan, terutama dari posisi Jason melihatnya, masih berjongkok dengan satu lutut. Dia mengenakan rok hitam pendek ketat, dengan sepatu hak tinggi hitam. Di atasnya, dia memakai atasan putih ketat yang memamerkan setiap lekuk tubuhnya, dan memiliki potongan garis leher yang rendah, yang memamerkan belahan payudaranya. Rambut hitamnya disisir ke belakang, dan dia memakai lipstik yang hanya dapat digambarkan sebagai merah darah.

Jason mencoba untuk tidak menatap terlalu lama, tapi ia tak bisa menahannya. Becky sepertinya tak keberatan, pada kenyataannya, ia sepertinya sudah biasa dikagumi seperti itu. Becky menatap kearah bawah dimana Jason setengah berlutut.

"Jika kau di sini untuk melamar, bukankah kita harus saling kenal satu sama lain dulu sebelum kita membuat suatu komitmen?"

"Hah?" Katanya, dan menyadari ia masih berlutut dan baru sadar akan leluconnya. Dia tertawa dan berdiri, lalu berkata, "Anak yang manis."

"Maaf tadi. Itu adikku Josh. Kami telah mengajarkan padanya jangan bicara dengan orang asing, dia belajar dengan baik. Kami juga mengajarinya agar jangan membuka pintu depan ketika bel pintu berdering, tapi dia nggak begitu bagus. Seperti baru saja kau melihat, dia membuka pintu dan berdiri di sana. Suatu kali seorang salesman berdiri di sini selama lima belas menit sebelum dia melihatnya. Nggak seperti kau, dia nggak cukup tanggap untuk membunyikan bel lagi."

"Nggak perlu minta maaf," katanya, "aku suka ditemani dia. Kupikir kami berbagi suatu tatapan yang berarti. Dia dan aku seperti ini sekarang" Ia mengangkat tangan dengan jari-jarinya dikaitkan.

Becky tertawa, dan dia tampak sedikit terkejut. "Kau siap untuk pergi?" Tanyanya.

Ibunya mengingatkan dia dua puluh kali sebelum ia pergi agar selalu membuka pintu mobil untuknya, karena, seperti katanya, "Kesan pertama adalah kesan abadi." Ibunya pasti akan bangga sebab ia mengingatnya.

Ketika mereka berada di dalam mobil, ia bertanya, "Ada tempat tertentu yang ingin kau tuju?"

"Aku belum makan. Ingin makan sesuatu?"

"Kedengarannya bagus," jawab Jason, tapi dia terlalu gugup untuk makan apapun.

"Bagaimana kalau Angelo?" Tanyanya.

"Angelo boleh juga," katanya, tapi ada sesuatu yang mengganggunya pikirannya. Sesuatu tentang Angelo. Oh yah, ia nanti juga akan ingat.

Mereka tiba di tempat nongkrong populer anak SMU, sebuah restoran Italia kecil di mana band-band lokal bermain pada Jumat malam. Ketika Jason berjalan masuk dengan Becky, ia bisa merasakan semua mata di tempat itu tertuju pada mereka. Beberapa anak menunjuk. Dia tersenyum dalam hati.

Mereka mendapat meja di belakang, dan ia menarik kursi bagi Becky saat ia akan duduk, kemudian menggantung jaketnya di bagian belakang kursi sebelum ia juga duduk. Si pelayan, seorang cewek berpenampilan eksotis dengan rambut gelap, datang dan mengambil pesanan soft drink mereka. Mereka mempelajari menu, dan memutuskan untuk berbagi sebuah pizza pepperoni. Setelah pelayan itu pergi dengan pesanan mereka, Jason menatap Becky mengharap dia mengatakan sesuatu.

"Apa?" Katanya, melihat pandangan bertanya di mata Jason.

"Aku ingin tahu apa yang ingin dibicarakan," katanya, mencoba terdengar acuh tak acuh.

"Oh, kau ternyata orang tak sabaran," katanya sambil tersenyum.

"Maaf," katanya, pikirannya bekerja. "Gimana kabarnya cheerleader?"

"Bagus. Kita akan berkompetisi tingkat negara bagian bulan depan, dan kupikir kami benar-benar punya kesempatan bagus untuk menang."

"Hebat, apakah kau pernah menang sebelumnya?"

"Tunggu sampai kau lihat kamar tidurku. Aku punya segala macam piala cheerleader dan selempang di sana. Ini seperti satu tempat pameran kecil."

Napasnya tercekat di tenggorokan. Apakah Becky bilang apa yang dia pikir akan dia lakukan?

"Bagaimana denganmu?" tanya Becky, "Apa yang kau lakukan untuk bersenang-senang?"

'Aku berubah jadi tak terlihat dan menonton orang di saat-saat intim mereka. Melihat satu pasangan hebat beberapa jam lalu.'

Dia bertanya-tanya seperti apa reaksinya jika benar-benar ia mengatakan itu.

"Nggak banyak. aku telah berkonsentrasi pada nilaiku belakangan ini. aku perlu dapat A semua untuk mendapat kesempatan beasiswa."

"Yah, aku tahu kau cukup cerdas. kau selalu tahu jawaban di kelas, dan ada juga desas-desus bahwa kau membantu Danny Mazzelli memperbaiki nilainya."

"Siapa yang bilang begitu?" Ia bertanya, tiba-tiba serius. Dia belum pernah memberitahu siapapun tentang itu, dan ia sangat yakin Danny tak akan pernah mengatakannya. Orang yang dicurigai adalah adik perempuannya, yang berada di rumah ketika mereka belajar, tapi dia bukan tipe orang yang suka mengoceh.

"Maaf," katanya, "aku nggak tahu itu masalah sensitif buatmu. Maksudku adalah itu pujian buatmu."

Tapi Jason masih tersinggung, marah karena orang menyebarkan rumor tentang dia.

"Hei," kata Becky, mencoba mengalihkan pembicaraan, "Apa kau pernah berada di sini saat band sedang bermain? Apa kau punya band favorit?"

"Aku biasanya selalu datang ke sini," katanya, dengan berseri, "Salah satu teman lama aku, Dustin Brown, biasanya bermain drum di band di sini. Dia adalah seorang drummer hebat. Sangat bagus sampai-sampai dia meninggalkan band dan pindah ke LA untuk cari peruntungan di sana. Belum dengar kabarnya dari dia dalam beberapa tahun, tapi aku masih berharap melihat dia muncul pada satu lagu hits suatu hari nanti."

"Apa kau pernah ke sini akhir-akhir ini menonton band?"

"Nggak juga," katanya, "kenapa?"

"Aku ingin tahu apakah kau mungkin mau datang nonton berdua kapan-kapan."

Ia menatap kembali. "Berdua, seperti kau dan aku sekarang?"

"Ya, apa salahnya? Kau dan aku berdua sekarang, kan?"

Dia menatapnya lama. Akhirnya, ia berkata, "Ada apa sebenarnya Becky?"

"Apa maksudmu?"

"Maksudku, kita belum pernah bicara sepatah katapun dalam dua tahun, dan sekarang kau sedang bicara tentang kita berdua seperti kita adalah pasangan."

"Jason," katanya, memegang tangannya, "beberapa cewek lebih kolot daripada yang lain."

"Aku nggak paham," kata Jason, tapi suka sentuhan tangannya.

"Beberapa cewek pergi keluar dan mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi ada juga cewek-cewek lain yang lebih tradisional, dan menunggu untuk di telepon."

Dia masih bingung. "Dan kau termasuk yang mana?"

"Sampai kemarin, aku adalah cewek tradisional, menunggu untuk di telepon.

Sekarang dia mulai mengerti.

"Tapi hari ini," lanjutnya, "aku memutuskan aku nggak mau menunggu lebih lama lagi. Waktuku hampir habis."

"Jadi ... tunggu dulu, kau bilang kau menunggu selama ini buatku untuk membuat langkah pertama?"

"Ini pizza kalian," kata pelayan, saat ia meletakkan nampan ke meja, bersama dengan dua piring dan setumpuk kecil serbet kertas. "Silahkan," tambahnya, dan pindah untuk mengambil pesanan dari meja lain.

"Itu yang aku katakan Jason," kata Becky, seolah-olah gangguan itu tak pernah terjadi, "Kebanyakan cewek nggak melihatmu seperti yang aku melihatmu. Mereka enggan untuk melihat ke dalam, tapi aku bisa melihat kau seorang yang istimewa."

Ia menatapnya lama. Ia telah membayangkan saat-saat seperti ini sejak ia melihatnya pertama kali di kelas. Akhirnya, ia berkata, "Aku nggak tahu harus bilang apa Becky."

"Katakan saja kau akan mencobanya denganku Jason. Itu saja permintaanku."

Jason tersenyum dan memegang tangannya. "Aku akan senang untuk mencobanya denganmu."

Dia tersenyum kembali. "Jadi hariku nggak sia-sia. kau lapar?"

Ia menyadari bahwa ternyata ia sangat lapar, dan pizza itu rasanya enak.

Mereka menyelesaikan makannya ketika ia mendengar seseorang memanggil namanya.

"Jason?" Itu adalah suara perempuan yang akrab ditelinganya.

Dia berbalik, dan untuk dua malam berturut-turut ia terkejut melihat wajah Donna.

"Donna!" Seru dia, dan melihat dia memakai seragam pelayan Angelo. "kau bekerja di sini?"

"Nggak, aku suka nongkrong di sini memakai ini."

Dia tertawa.

Donna memandang Becky, kembali ke Jason, kemudian kembali ke Becky.

"Hei Becky. Apa aku mengganggu kencan kalian?"

"Mungkin," kata Becky.

"Wah," jawab Donna. "Serius?"

Becky tersenyum. Donna kembali ke Jason.

"Hei, apa yang terjadi padamu tadi malam? kau berdiri di sampingku satu menit, dan menghilang menit berikutnya. aku merasa seperti Lois Lane."

"Ya, maaf soal itu. Tapi aku harus memastikan Danny baik-baik saja."

"Kau mengikuti mereka?" Tanya Donna dengan alis melengkung.

"Ya."

"Apakah Danny dalam masalah? Sebagian besar dari kita langsung pulang dari sana dan nggak mendengar apa yang terjadi."
"Nggak, Chief Lobeaux membiarkan dia pergi, itu hanya ancaman lidah." Dia tersenyum dalam hati karena pilihan kata-kata itu.

"Baguslah. Kupikir pasti dia menghabiskan malam di penjara."

"Jadi kalian berdua saling mengenal?" Sela Becky.

"Kami bertemu tadi malam di party-nya Danny," kata Jason.

"Kami ngobrol di sekitar api cukup lama. Donna sini yakin dia tahu sesuatu, dan aku yakin aku telah membuktikan dia salah. Benar kan Donna? "Dia tersenyum.

Donna tidak membalas senyumnya.

Becky menarik tangan Jason kearahnya. "Jason, bisakah kita pergi ke suatu tempat yang lebih privat? Aku butuh udara segar."

"Tentu Becky. Aku akan memanggil pelayan dulu."

"Aku akan mengurus tagihannya untukmu," kata Donna, masih melihat Jason tanpa tersenyum.

"Terima kasih."

Donna pergi dan Jason melihat Becky, yang sepertinya tampak kesal.

"Apa yang salah?"

"aku nggak suka dia," jawabnya.

"Donna?"

"Ya Donna. Aku punya permintaan Jason."

"Apa itu?"

"Jangan percaya apapun yang dikatakannya. Dia suka bohong. Dan kupikir dia lesbian."

"Ok," katanya dengan nada bertanya dalam suaranya.

Donna kembali dengan tagihan, menempatkannya terbalik atas meja di depan Jason, mengata apa yang biasa dikata "Semoga malam kalian menyenangkan" dan pergi.

Jason meninggalkan tip yang cukup banyak, dan pergi ke kasir untuk membayar tagihan. Becky mengatakan dia akan ke kamar kecil, dan pergi ke arah itu.

Saat ia akan menyerahkan tagihan ke kasir, dia melihat tulisan tangan dibaliknya. Menariknya kembali, ia membaca "Jangan percaya dia!D. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

Tapi itu akan jadi jauh lebih buruk.

Setelah membayar, ia berjalan keluar ke lobi untuk menunggu Becky, dan untuk kedua kalinya malam itu, seseorang memanggil namanya. Suara perempuan yang akrab ditelinganya.

"Jason!"

Dia berbalik dan ternyata Sam. Oh ya tuhan, dia lupa semua tentang dia!

"Sam!" Jawabnya, tak tahu harus berkata apa lagi.

"Kupikir kita seharusnya ketemu di tempatku," katanya, dan melihat bagaimana dia berpakaian. "Apakah kau datang dari acara pemakaman?"

"Um, Sam ..." ia tak bisa menemukan kata-katanya.

"Nggak papa Jason," katanya tersenyum, "kita di sini sekarang. Mari kita cari meja."

"Sam ..." ia memulai bicara, tetapi sebelum dia bisa bicara lebih banyak, Becky muncul di sampingnya, dan menyelipkan tangannya dilengannya.

Sam memandang Becky, dan menatap lengannya yang terkait dengan Jason. Ekspresi sedih datang diwajahnya.

"Sam," katanya, "ini Becky. Becky, ini adalah Samantha. "Dia berharap dia telah membawa kalung itu, karena dia benar-benar ingin menghilang saat ini.

Becky tersenyum. "Jason," katanya manis,

"Apa kita akan selalu ketemu cewek yang kau kenal setiap kali kita pergi?" Dia menambahkan, "Bisakah kita pergi sekarang? Jangan tersinggung Samantha, tapi aku sudah menunggu lama untuk mendapatkan orang ini sendiri. kau mengerti."

Jason memejamkan mata. Bagaimana mungkin sesuatu yang dia tunggu begitu lama akan berubah jadi begini mengerikan?

Dia membuka matanya dan menatap Sam. Raut wajahnya menunjukkan betapa hancur hatinya. Dia harus pergi.

"Maaf Sam," katanya, "Aku akan bicara dengan kau besok." Dia memegang tangan Becky dan membawanya keluar pintu, ke udara malam yang lebih segar.
 
Bab 11

"Apa sebenarnya itu tadi?" Kata Becky beberapa menit kemudian saat mereka berkendara, memecah kesunyian.

"Masalahnya rumit."

"Mantan pacar?"

"Bukan, sobat lama. Kami tetangga sebelah rumah sejak kita lahir."

"Aku tahu. Dan dia ingin menjadi lebih dari sekedar teman?"

"Aku nggak bisa bicara tentang ini sekarang."

"Maafkan aku sayang," katanya, dan meluncur ke arahnya dan menyandarkan kepala di bahunya, menggosok tangannya dengan ringan di perutnya.

Itu yang membangunkannya. Dia mengguncang lamunan pergi dari kepalanya. Di sini dia dengan gadis yang telah diimpikannya selama dua tahun terakhir, dan dia merusaknya dengan sikapnya. Sam akan ok. Mereka adalah teman, itu saja. Ia akan berbicara dengannya besok dan meluruskan permasalahannya.

Dia menarik satu tangan dari kemudi untuk memeluk bahunya. Becky mendesah dan meringkuk lebih dekat.

"Kita mau kemana?" Tanyanya.

"Aku mengira kau mau pulang."

"Perkiraanmu salah," katanya, menarik dirinya lebih dekat kepadanya.

"Benarkah? Di mana kau ingin pergi?"

"Di suatu tempat dimana kita bisa sendirian," katanya, napas hangat menghembus di lehernya.

Dia bisa merasakan penisnya pengerasan. Dia begitu dekat dan wanginya begitu nikmat.

"Kita bisa parkir di suatu tempat," usulnya.

"Aku suka ide itu. Gimana kalo Brady Overlook?"

Yang Brady Overlook adalah tempat bercumbu remaja lokal, setiap remaja tahu tempat itu. Jason belum pernah kesana, selain pada siang hari untuk menikmati pemandangan.

"Nah," katanya, "kita nggak akan benar-benar sendirian di sana. Aku pernah dengar itu akan cukup ramai pada Sabtu malam."

"Ayo kita pergi. aku nggak ingin berkeliling sepanjang malam mencari suatu tempat" Becky menekankan maksudnya dengan membiarkan tangannya jatuh ke bagian dalam paha Jason, Jari-jarinya hanya beberapa inci dari kemaluannya yang jadi bertambah keras.

Lima belas menit kemudian, ia mematikan mobilnya yang ia parkir di tempat berkerikil dari Overlook. Dia memarkir sejauh mungkin dari mobil lain di tempat parkir.

Jason memutuskan sudah gilirannya untuk mengambil inisiatif. Becky telah menelponnya, memberitahu padanya bahwa dia tertarik, dan Becky sudah menyarankan mereka untuk datang ke sini. Jason harus menunjukkan betapa ia menginginkannya.

Dia sudah menaruh satu lengan di bahunya, jadi ia berbalik dan menempatkan tangan lainnya di sekitar pinggangnya, dan menarik Becky kearahnya. Becky menyodorkan bibir merahnya dan memejamkan mata, menunggunya. Ia mencondongkan tubuhnya dan bibir mereka bertemu, dengan lembut pada awalnya, dan kemudian dengan bernafsu saat gairah mereka meningkat.

Dia seperti kabel bertegangan listrik dalam pelukannya, tubuh Becky bergerak terhadap tubuhnya dan payudara yang lembut menekan ke dadanya. Dia membuka bibir dan lidahnya melesat keluar, bertemu dan menyebabkan ia tersentak.

Setelah beberapa menit berciuman, dia merasa cukup berani untuk menangkup salah satu payudaranya, merasakan kelembutan di tangannya. Ketika ia membawa ibu jarinya di sekitar puting dan menyenggolnya, ia merasa putingnya sudah mengeras di bawah sentuhannya, dan Becky tersentak ke dalam mulutnya.

Becky mundur dan memisahkan diri darinya, dan Jason khawatir ia melakukan sesuatu yang salah. Tapi dia mengulurkan tangan dan menarik bagian bawah blusnya dari dari dalam roknya, dan dengan lancar menarik di atas kepalanya, melepas sepenuhnya. Jason menatap dengan mata terbelalak.

Bra-nya berwarna putih, dan sebagian besar tembus pandang. Ada renda halus di sekitarnya, dan ia bisa melihat sedikit putingnya yang gelap kontras dengan kulit pucatnya. Tapi dia tak sempat mengaguminya terlalu lama, karena dia meraih ke belakang dan dengan cekatan melepas kait di belakang punggungnya. Bra-nya menjadi kendur, dan dia menarik tali dari bahu masing-masing sebelum akhirnya mengangkatnya dan mengekspos seluruh payudaranya pada Jason.

Payudaranya adalah berbentuk sempurna. Jason menatapnya sejenak, mengamati keindahannya. Bulat dan kencang, seakan mengundang sentuhannya. Tangannya menangkupnya lagi, merasakan kulit yang luar biasa lembut. Becky tersentak lagi oleh sentuhannya, dan putingnya naik serentak. Dia mengejutkan Jason dengan mengaitkan tangannya di lehernya, dan menarik wajahnya ke dadanya. Tangannya tetap di lehernya, dan menggunakan tangannya yang lain untuk menangkup payudara sendiri dan membimbing putingnya ke dalam mulut Jason. Dia mengisap dengan rakus, bibirnya bergerak bersamaan saat lidahnya menyentil puting kerasnya. Ketika giginya menggigit dengan lembut, dia mengerang dan mendesaknya lebih keras kedadanya. Dia pindah ke puting lainnya, dan melakukan hal yang sama.

Becky mengganti posisi duduknya, membuat ruang agar tangannya bisa bergerak di antara mereka. Menggesernya ke bawah, tiba giliran Jason untuk terkesiap oleh kenikmatan dari sentuhannya. Dia mencengkeram batang kerasnya melalui celananya, meremas dengan lembut. Tangannya meluncur di atasnya, sampai ke bola sensitifnya, hingga menemukan ujung kepala dan menjalankan jari-jarinya sepanjang titik-titik sensitifnya. Dia belum pernah lebih setegang ini. Ereksinya terasa sakit karena tekanan, dan ia membutuhkan pelepasan.

Jason menggerakkan tangannya menelusuri ke bawah perutnya, dan ia duduk kembali di kursi, memberinya ruang baginya. Rok pendeknya terangkat, tapi melihat ke bawah dia masih tak tahu apa jenis celana dalam yang dia pakai. Tangan Jason turun ke paha bagian dalamnya, dan ia mulai dengan lambat bergerak ke atas. Dia merespon dengan membentangkan kakinya, mengundang untuk dieksplorasi. Tangannya bergerak lebih tinggi lagi, mencari sasaran. Akhirnya terjadi kontak, tapi bukan bahan sutra seperti yang dia kira, yang dia rasakan adalah kulit halus seluruhnya. Tangannya menangkup gundukan miliknya, yang benar-benar licin dan tanpa selembar benangpun disana.

Dia menarik kepalanya ke belakang dan menatap wajahnya dengan terkejut, tapi Becky tersenyum seksi dan menciumnya, menggunakan tangannya untuk menekan lebih ketat kearahnya, mendesak Jason melakukan lebih jauh. Dia menelusuri ujung jari di atasnya, dan kulit terasa lembut dan kenyal. Becky meregangkan kakinya lebih lebar dan mengangkat pinggulnya, dan jari-jarinya dengan alami menemukan celahnya, sedikit terbuka dan licin karena basah. Ia menelusuri jari telunjuknya lembut sepanjang celah itu, dan Becky gemetar karena sentuhannya.

"Rasanya enak, sayang," erangnya, suaranya berbisik lembut. "Tolong jangan berhenti."

Ia menemukan lubangnya dan perlahan-lahan menyelipkan jari di dalamnya. Dia begitu basah dan hangat. Dengan perlahan mendorong seluruh jarinya ke dalam dirinya, ia tak bisa percaya betapa ketatnya dia. Dia bertanya-tanya bagaimana kemaluannya bisa masuk ke sana. Setelah jarinya masuk seluruhnya, ia menyentuh ibu jarinya terhadap bagian atas kemaluannya, pada titik di mana bibir bawahnya bertemu. Dia bereaksi dengan mengerang pelan dan meraih lengannya, tubuhnya berkedut sedikit. Mengingat apa yang telah dilihatnya dari cewek-cewek beberapa hari terakhir, ia tahu ia telah menemukan sasarannya.

Dia merasakan tonjolan kecil, dan memutar dengan lembut di bawah ibu jarinya. Dia bereaksi dengan erangan lembut. Dia mulai memutar ibu jarinya dengan lembut, perlahan, seperti yang ia lihat ketika Tom melakukannya siang tadi, dan Becky menempel ketat kearahnya, tubuhnya bergetar. Dia ingin lakukan persis seperti apa yang Tom lakukan untuk Beth siang tadi, untuk membuat dia orgasme dengan hebat.

"Ya," bisiknya, "di situ. Ya sayang, di situ."

Ia melanjutkan gerakannya, dengan lambat dan lembut, yang memungkinkan tubuhnya untuk membangun kenikmatan dengan kecepatannya sendiri. Satu-satunya suara di dalam mobil adalah napasnya, panjang dan lambat pada awalnya, tetapi saat menit berlalu dan kenikmatan terlihat semakin meningkat, napasnya jadi lebih pendek dan tak teratur. Dia bisa merasakan tubuhnya perlahan-lahan menegang, seperti pegas yang ditekan semakin kencang.

penisnya sangat keras didalam celananya. Dia bertanya-tanya bagaimana rasanya jika ia memasukkannya ke dalam, menggantikan jarinya, tenggelam dalam suatu tempat yang ketat, hangat dan licin.

Becky mulai menggerakkan pinggulnya, menekan vagina kearah jarinya, tubuhnya secara tak sadar memintanya untuk menggerakkan jarinya lebih cepat. Dia merasakan dorongan untuk mengikuti keinginannya, mempercepat gerakan jarinya sampai dia meledak, tapi ia terus bergerak dengan lambat, tahu bahwa pada akhirnya, kenikmatannya akan lebih meningkat.

Menit-menit berlalu, dan napasnya perlahan-lahan tetapi terus-menerus meningkat intensitasnya. Ibu jarinya terus menjaga irama, bergerak dalam lingkaran kecil di atas benjolan klitorisnya, dan Becky memegang lengannya untuk pegangan, kukunya mencengkeram ke dalam kulitnya. Jason tahu dia semakin dekat. Tanda yang sama seperti Beth tunjukkan kini tampak nyata pada Becky. Napas berirama, erangan lembut setiap bernapas, otot-ototnya semakin tegang.

"Ya ya ya," bisiknya. "Nikmat sayang. Nikmat. Sudah hampir."

Berputar dan berputar ibu jarinya bergerak, menekan lembut di tonjolan itu, tanpa henti dengan perlahan menarik mendekatkan kenikmatan kearahnya. Becky membuat suara yang awalnya erangan rendah jauh di dalam dirinya, tetapi volumenya jadi semakin meningkat. Tubuhnya berhenti sejenak, seolah-olah bergetar di tepi jurang.

Tiba-tiba tubuhnya mengejang, dan jeritan keluar dari bibirnya. Pinggulnya terangkat dari kursi, dan menekan keras pada tangannya mengikuti gerakan melingkar. Dia bisa merasakan vaginanya meremas jarinya dengan erat dengan denyutan stabil. Mulutnya terbuka, dan wajahnya itu terkunci dalam sebuah ekspresi entah antara kesakitan atau kenikmatan.

Dia bertahan di sana untuk beberapa saat, dan rileks kembali turun ke kursi, matanya tertutup dan ekspresinya tampak tenang. Napasnya mulai melambat dan panjang. Jason memeluknya dengan lembut, menarik jari darinya, dan menutupi vaginanya dengan tangannya. Satu getaran kecil mengalir kearahnya.

Akhirnya dia membuka mata dan menatapnya. Dia bisa melihat pandangan terkejut di dalamnya. "Sialan," katanya, "aku tak mengira akan seperti ini."

Jason tersenyum.

"Di mana kau belajar melakukan itu?"

"Aku nggak tahu," katanya, sekarang merasa sedikit malu, "Mengambil dari sana-sini."

"Kupikir kau seorang perjaka."

"Memang," jawabnya, terkejut karena ia bisa mengakuinya begitu mudah.

"Tapi kau sudah pernah dengan cewek sebelumnya, kan? Maksudku, itu bukan pertama kali kau melakukannya."

"Belum pernah. Kau orang pertama yang pernah sedekat ini. Secara fisik."
"Itu luar biasa," katanya. Tapi sesuatu tampaknya mengganggunya, seakan sedang mencoba untuk membuat keputusan. Akhirnya dia berbicara.

"Jason, aku harus bilang padamu sesuatu," katanya, duduk dan bergerak sedikit menjauh dari dia, dan tangannya terlepas terlepas dari posisinya semula.

"Apa?" Dia merasa ketegangan di perutnya.

"kau perlu tahu yang sebenarnya."

"Yang sebenarnya? Tentang apa? "

"Tentang aku," katanya, "dan Danny."

"Danny?" Katanya, ekspresi kebingungan di wajahnya. "Apa hubungannya Danny dengan kita?"

"Aku benci harus menjadi orang yang mengatakan ini, tapi Danny sudah menyimpan rahasia darimu."

"Rahasia tentang apa?" Ketegangan di perutnya melilit sekarang.

"Rahasia tentang aku."

"Kau? Apa rahasianya?"

"Danny selalu tahu bahwa kau peduli tentang aku, dan tahu kau akan marah jika kau tahu dia dan aku terlibat."

"Dia dan kau terlibat? Apa maksudmu? "

"Danny dan aku pernah jadi kekasih selama setahun lebih."

"Nggak mungkin, itu nggak benar."

"Ini benar Jason. Ini sudah berakhir sekarang, tapi itu pernah terjadi."

"Nggak, dia nggak akan melakukannya."

"Jason, dengarkan aku. Aku minta kau untuk pergi keluar denganku malam ini, agar aku bisa mengatakan ini padamu. Itu salah gimana Danny sudah bohong padamu."

Jason tegas. "Kami bersahabat. Dia nggak akan melakukan itu padaku."

"Menurutmu siapa yang mengatakan padaku bahwa kau membantunya dalam ujiannya? Bagaimana aku tahu itu?"

Kepala Jason mulai berputar. Dia benar, dia tak mungkin tahu. Kalau tidak dia sendiri atau Danny yang memberitahunya. Tekadnya mulai runtuh.

"Seseorang bilang padaku agar aku nggak boleh percaya padamu," katanya, "Kenapa aku harus percaya padamu?"

Kilatan kemarahan melintas di matanya. "Karena itu benar."

"Kau bohong."

Wajahnya berubah, dan ketika dia berbicara ada kekejian di balik kata-katanya.

"Apa kau ingin mendengar rinciannya Jason?" Apakah kau ingin mendengar bagaimana aku mengisap penis besar Danny di jok belakang bus sekolah setiap perjalanan pulang pertandingan? Bagaimana dia selalu menyelinap ke kamar tidurku dan menyetubuhiku sepanjang malam?"

Jason melotot kearahnya, tapi tak berkata apapun.

"Pikirkan hal ini. Danny meniduri apapun yang bergerak. kau tahu itu. Alasan apa dia menolak mendekatiku? Lihat aku Jason. Aku adalah kepala cheerleader. Apakah kau benar-benar berpikir dia akan berhenti mendekatiku karena kamu? Kau pikir kau ini siapa?"

Dia akhirnya membentak. "Kau tahu apa? Persetan kau, dan persetan dengan Danny. Aku nggak butuh kalian. Pakai pakaian sialanmu. Aku akan antar kau pulang."

Mereka melaju dalam kebisuan selama perjalanan. Ketika mereka tiba di rumah Becky, ia keluar dari mobil tanpa mengucapkan sepatah katapun, dan Jason melesat pergi. Saat ia melangkah di jalan setapak depan rumahnya, bibir merahnya membentuk sebuah senyuman.
 
 
Bab 12

Jason terbangun dengan sakit kepala. Dia mengalami mimpi buruk di mana segala hal menjadi salah. Dia gagal ujian semua pelajaran sekolah, ia kehilangan kesempatan mendapatkan beasiswa, dan orang tuanya mengatakan bahwa dia harus pergi dari rumah, jadi sekarang dia gelandangan. Ketika ia terbangun, ia pikir bahwa peristiwa semalam menjadi bagian dari mimpi buruknya. Ketika dia ingat bahwa hal itu nyata, ia mengerang ke dalam bantalnya. Dia benar-benar mengacaukan segalanya.

Dia telah berhasil mengacaukan segalanya dengan gadis yang secara diam-diam ia cintai selama dua tahun terakhir, tepat ketika fantasinya hendak menjadi kenyataan. Dia ingin bersamanya, dan entah kenapa, pada akhirnya, ia mendorongnya menjauh, mungkin selamanya.

Plus, dia telah menyakiti Sam lagi. Dia telah memaafkannya atas semua kesalahan yang telah ia lakukan padanya, dan ia telah membayar kebaikannya dengan memperlakukan dia seperti kotoran. Sama seperti sebelumnya, ia mendorongnya jatuh ke tanah, dan berjalan pergi saat ia berdarah. Dia mungkin tidak memberikan luka yang berdarah kali ini, tapi apa yang ia lihat di wajahnya tadi malam jauh lebih buruk dari itu.

Dan, untuk membuat malamnya lebih spesial, ia baru tahu bahwa sahabatnya telah berbohong padanya cukup lama. Salah satu kualitas yang ia paling kagumi dari Danny yaitu kesetiaannya, telah lenyap sama sekali.

Tapi ia tidak bisa menilai Danny terlalu keras, kan? Lagi pula, jika ia bisa memperlakukan persahabatan dirinya dengan Sam seperti suatu hal yang tak penting, bagaimana ia bisa mengharapkan sesuatu yang lebih baik dari Danny? Dia tak pantas mendapat kesetiaan apapun.

Kehidupan menyebalkan. Dia bahkan tak bisa mencari kesenangan apapun dengan kalungnya hari ini.

Dia mendengar pintu mobil ditutup di halaman tetangga, dan ia bangkit untuk melihat ke luar jendela. Mr. dan Mrs. Scott bersiap-siap untuk pergi ke gereja. Sam biasanya pergi bersama mereka, tapi pagi ini ia tak kelihatan. Dia cepat-cepat memakai celana pendek dan kemeja, lalu berlari menuruni tangga dan keluar dari pintu depan.

"Mrs. Scott," panggilnya sambil bergegas menyeberangi halaman," Bolehkah aku bicara denganmu?"

Dia berhenti dengan tangan di gagang pintu mobil, dan memberinya tatapan dingin. "Kami sedang dalam perjalanan keluar," katanya, dan membuka pintu.

"Apakah Sam ada didalam?"

Mendengar ini, dia berjalan ke tempatnya berdiri di pagar, ekspresi wajahnya mengeras.

"Bukankah kau sudah cukup melukai putriku?" Katanya, matanya dingin hijaunya menatapnya.

"Mrs Scott, aku-"

"Aku tak tertarik pada alasanmu. Aku hanya tertarik pada kebahagiaan putriku, dan apa yang membuat dia bahagia adalah kau. aku tak tahu apa yang kau lakukan padanya tadi malam, tapi itu akibatnya. Aku tak ingin kau bergaul dengannya lagi" Dengan itu, dia berbalik dan berjalan kembali ke mobil, masuk, dan membanting pintu. Jason mengawasi mobil meluncur di jalan dan menghilang di tikungan, hatinya sakit.

Dia mendongak ke jendela kamar Sam, tapi tak ada tanda-tanda keberadaannya. Perasaannya mengatakan bahwa ia harus melihat dia sekarang, dan ia tahu hanya ada satu cara untuk melakukan itu. Dia kembali ke kamarnya untuk mengambil kalung itu.

Beberapa menit kemudian, dia menyelinap diam-diam melalui pintu belakang rumahnya, telinganya waspada mendengarkan tanda-tanda keberadaan Sam. Saat ia berdiri di dapur, ia mendengarkan setiap suara, tapi rumah itu benar-benar sepi. Setelah beberapa menit memastikan kondisi tetap sepi, ia menuju ke ruang tamu. Tak ada tanda keberadaan Sam sana. Dia pasti ada di atas, mungkin di kamar tidurnya.

Dia diam-diam berjalan menaiki tangga berkarpet, mengawasi dengan cermat kalau-kalau muncul suara berderit. Di ujung lorong ia berjalan sangat pelan, dan melihat pintu Sam sedikit terbuka. Ia menganggap Sam ada di sana sedang duduk dan mendengarkan, dan dia akan mendengar setiap suara kecil yang dibuatnya. Saat-saat yang tampaknya tak berujung kemudian, ia akhirnya di sana, dan memiringkan kepalanya untuk mendengarkan setiap suara dari dalam. Dia mendengar suara pernapasan berirama lembut dari seseorang, mungkin dia sedang tidur.

Dia menunggu diam selama beberapa menit untuk memastikan, kemudian merasa cukup percaya diri untuk mendorong pintu agar lebih terbuka. Dia memiliki firasat yang mengerikan bahwa pintunya akan menjerit keras pada engselnya, tapi pintunya berayun lancar tanpa suara. Dia melangkah ke dalam ruangan.

Sam di tempat tidur, kali ini mengenakan baju tidur putih yang mungkin panjangnya sampai ke ujung kaki ketika dia berdiri, tapi sekarang terlipat di sekitar pahanya. Dia berbaring miring pada posisi yang sama ketika ia meninggalkannya malam itu, dan sekali lagi, selimutnya telah didorong ke bawah tempat tidur.

Dadanya naik-turun dengan irama yang stabil, dan matanya tertutup tenang. Satu tangan berada di bawah bantal dekat kepalanya, dan yang lainnya diadakan ke dada, mengepalkan tinju.

Jason melihat sekeliling ruangan, dan tampak seolah-olah tak ada yang berubah sejak malam ia berada di sini. Ada setumpuk kecil pakaian di sudut kamar, dan ia tersenyum mengingat bagaimana ia melihatnya menaruh pakaiannya di sana, menendang dan melemparkannya dari seberang ruangan. Tapi senyumnya menghilang ketika dia mengenali pakaian yang ada di sana adalah pakaian yang dia pakai di restoran tadi malam. Kenangan itu datang kembali, membuat rasa sakit muncul kembali.

Ia mengalihkan pandangan matanya menjauh dan tatapannya mendarat di kolase foto di dinding. Ini tampak sama seperti malam yang lalu - tidak, ada sesuatu yang berbeda. Dia berjalan mendekat untuk melihat lebih jelas. Ada satu foto yang hilang, meninggalkan bercak putih kosong diatasnya. Melihat foto-foto yang lain, ia mencoba mengingat foto yang mana yang sudah hilang. Setelah beberapa saat itu ia mengenalinya. Itu adalah salah satu foto dari Sam dan dia, berpakaian seperti bajak laut.

Dia melihat sekeliling ruang mencarinya, tapi ia tak bisa ditemukannya. Dengan sedikit takut-takut ia memeriksa keranjang sampah dari rotan kecil disebelah meja riasnya, mengharapkan menemukannya foto yang tercabik-cabik dan dibuang ke dalamnya, tapi disana juga tak ada.

Sam membuat suara bergumam kecil, dan ia menatapnya. Setelah Sam tenang kembali, ia berjalan menuju ke tempat tidur ke sisi Sam berbaring, dan memandang dari atas. Dia tampak tenang berbaring di sana, dengan rambut merahnya lembut menyebar di atas bantal di sekitar kepalanya, dan kulit krim putihnya begitu sempurna kontras dengan warna rambutnya. Bulu matanya panjang dan kulit pipinya lembut dan halus. Dia belum pernah memperhatikan itu sebelumnya. Mungkin karena kacamatanya, atau mungkin karena ia tak pernah melihat cukup dekat.

Dia tampak cantik. Kata itu muncul di kepalanya sebelum ia bisa menghentikannya, tapi itu kata yang tepat. Kata yang sempurna. Bagaimana ia bisa begitu buta sampai-sampai ia tak melihat ini sebelumnya? Cewek ini ada dihadapannya seumur hidupnya, dan ia selalu memandang Sam dengan matanya yang dulu, bukan apa yang ada sekarang ini.

Ia berlutut di samping tempat tidur dan meletakkan lengannya dengan lembut di atas tempat tidur, tangannya lurus di atas sprei dan hampir menyentuh tangan Sam. Ia mengamati seluruh wajahnya, seolah-olah melihatnya untuk pertama kalinya. Hidungnya mancung di antara kedua matanya. Bibirnya penuh, sedikit terbuka dan warna pucat yang indah alami berwarna merah muda yang tak membutuhkan bantuan apapun dari lipstik untuk membuatnya menarik. Telinga yang sempurna dengan gumpalan rambut berbaring di atasnya.

Kata-kata Donna tadi beberapa malam yang lalu datang kembali padanya, dan ia menyadari sebenarnya apa yang ia cari seluruh hidupnya: Sam adalah kepingannya yang hilang. Jika disatukan akan pas dengan sempurna.

"Jason?"

Suara Sam mengejutkannya. Itu sangat pelan dan lembut ia hampir tak bisa mendengarnya, dan pada awalnya dia bertanya-tanya apakah ia hanya salah dengar. Napasnya tetap tak berubah, dan matanya tertutup. Dia pasti bicara dalam tidurnya.

Dia ingat mimpi Sam yang dia ceritakan kemarin. Apakah dia mimpi yang sama lagi? Bisakah Sam dengan cara entah bagaimana merasakan ia ada di sini? Ia memutuskan untuk mengambil resiko.

"Aku di sini Sam," bisiknya.

Dia bergerak sedikit, dan ia takut Sam terbangun, tapi dia diam lagi.

"Kau seharusnya melindungiku." Kata-kata itu cukup jelas, meskipun nyaris seperti bisikan.

Dia merasakan denyutan yang menyakitkan dalam hatinya.

"Maafkan aku Sam." Suaranya tersendat.

"Aku sendirian sekarang," desahnya, "Aku takut."

"kau nggak sendirian Sam, Aku di sini bersamamu." Secara naluriah, ia mengambil tangannya, dan menyadari apa yang telah dilakukannya, melihat wajahnya dengan waspada.

Sam terus bernapas dengan pelan.

Dia merasakan sesuatu di tangannya, dan melihat ke bawah, melihat sedikit warna putih menyembul dari ujung kepalan tangannya. Dia dengan lembut membuka jari-jarinya, dan melihat segenggam kertas tebal yang kusut. Menarik dari tangannya, ia mulai membukanya, menarik lipatan itu untuk diratakan. Dia tahu apa itu sebelum ia selesai melakukannya - itu foto mereka.

Dia menatap foto itu, mencoba meratakannya pada sprei. Tetesan basah jatuh ke atasnya, dan dia sadar bahwa itu adalah air matanya sendiri. Dia mengusap matanya agar ia bisa melihat foto itu lebih jelas, dan tersenyum lagi pada kenangannya yang datang kembali.

Dia berdiri dari tempat tidur dan berjalan kembali ke pigura, membawa serta foto itu. Setelah mengambil pigura itu dari dinding, ia melepas karton dibagian belakang dan menaruh foto itu kembali di posisinya semula. Ia memasang kartonnya lagi dan menaruh kembali pigura pada gantungannya.

Ia yakin Sam pasti akan melihatnya, tapi ia tak peduli. Foto itu tempatnya ada di sana, sama seperti halnya ia dengannya. Dan sementara foto mungkin mudah untuk dipasang kembali, ia tahu ia akan melakukan apapun agar dirinya bisa kembali dengan Sam.

Dia kembali ke samping tempat tidur dan berlutut di sampingnya lagi, meraih tangannya yang kini kosong kedalam genggamannya, ia tak lagi perduli akan membangunkannya.

"Sam, kau bisa mendengarku?"

Dia menggeliat lagi. "Jason?"

"Sam, aku ingin kau tahu sesuatu." Ia berhenti sejenak dan menarik napas. "Aku mencintaimu. aku rasa aku selalu mencintaimu. Aku tahu kau marah padaku, dan kau berhak melakukannya. Tapi aku berjanji hal ini: Ketika kau hanya mendengarku bilang aku mencintaimu dalam mimpi, suatu hari nanti aku akan bilang padamu saat kau terjaga."

Dia membungkuk dan menciumnya lembut di pipi. Sebelum ia pergi, ia sekali lagi menarik selimut dan menutupi tubuhnya.
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd