Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT ANCAMAN YANG SEMPURNA

Status
Please reply by conversation.
jgn banyakan diasain lawan ridwan hu...ntr jd ga berujung dan ngalor ngidul wetan kulon lho....critanya...
save maya dan soraya...jgn diapa2in lho selain ridwan...
ato...hihihihi....suhu dalang akan mendapat ANCAMAN YG SEMPURNA....
ha..ha...ha...ha...ha....( tawa paling jahat )...
 
usul itu critain ridwan balas sobari dgn pretelin cewek2nya dan bikin sobari susah hidupnya...hahaha...( tawa jahat lagi )...
 
BAGIAN XIII a

***

Dalam kelelahannya, pikiran Ridwan mulai berangsur-angsur normal setelah beberapa saat tadi dikuasai napsu berahi yang luar biasa dahsyatnya. Napasnya masih memburu, sementara Soraya bersandar lemas dibahunya dengan mata terpejam dan napas tersengal-sengal seperti baru saja sprint jarak jauh, telanjang dan berkeringat dalam pangkuannya. Wangi rambut dan halus tubuh perempuan itu hampir kembali membangkitkan birahinya. Setelah menghela napas dalam, dia mengguncang pelan bahu Soraya yang segera merengek manja.

“Mbak...!” bisiknya pelan.
“Emmhhh...,” Soraya sama sekali tak membuka matanya, hanya memperbaiki posisi kepalanya di bahu pemuda itu.

“Mbak...!”
Yang merengek ternyata malah Wildan, bayi yang masih menetek di payudara bulat ibunya.

Dengan malas-malasan, Soraya membuka matanya, duduk tegak di pangkuan Ridwan. Sementara penis pemuda itu yang sudah setengah lemas, masih tertancap di vagina Soraya yang banjir cairan birahi mereka berdua. Tangannya membetulkan posisi anaknya yang sedikit melorot dari gendongannya, sebelah tangannya mengelus halus pipi Ridwan.

“Makasih ya, Wan...,” bisiknya lembut, mengecup mulut Ridwan.
“Berat, Mbak. Pegel!” ujar Ridwan, nyengir.

Keduanya tertawa renyah. Kemudian Soraya bangkit berdiri.

“Plop!” terdengar bunyi pelan ketika penis Ridwan terlepas dari lubang vagina Soraya.
“Mbak mesti mandi lagi nih,” kerling Soraya, menggoda.
“He-emh, saya juga mesti pulang. Khawatir ibu ..., ibu curiga.”
“Nggak nemenin Mbak dong.”
“Wahhh, bahaya ahhh...,” sahut Ridwan meringis.
“Bahaya kenapa?”
“Banyak bahayanya, Mbak!”
“Idih, penakut!”
“Bukannya penakut, cuma kan yang kita lakuin ini salah, wajar lahhh.” Ridwan membela diri.
“Lho..., terus yang kamu sama Bu Maya?” ada kilat cemburu di mata bening itu.
“Kumohon, Mbak,” kata Ridwan dengan sorot mata bingung.
“Iyyyaaa, ya udah. Bersih-bersih dulu sanah. Mbak mau taruh Ridwan di atas dulu. Mau langsung pulang atau mau bantu gosok punggung Mbak dulu di kamar mandi?” goda Soraya melirik nakal.
“Hush!” Ridwan nyengir sambil garuk-garuk kepala.
Soraya tertawa geli. Kemudian melenggang dengan tubuh telanjang naik ke lantai dua.
“Mbak, kunci pintu dulu!” seru Ridwan.
Soraya menengok sambil mengedipkan matanya, “Kan ada kamu yang janji mo jaga rumah, dan kali aja kedinginan di luar terus masuk. Jadi nggak usah repot-repot ketuk pintu, hi-hi-hi.”
“Whaduhhh!” Seringai Ridwan dengan wajah susah.
Sebenarnya Soraya hendak melanjutkan ucapannya dengan ‘dan kamu jadi nggak ada waktu buat main dengan Bu Maya’, namun kata-kata itu segera ditelan kembali, saat berpikir bahwa ucapannya akan membuat Ridwan serba salah.
“Ya udah, selesai Mbak membersihkan tubuh, nanti mbak kunci pintunya deh,” katanya kemudian. Sambil memberi ciuman dari jarak jauh.

*

Keluar dari rumah Soraya, Ridwan celingak-celinguk sebentar, khawatir ada yang curiga kepadanya malam-malam keluar dari rumah orang yang suaminya sedang tugas luar. Untunglah suasana sudah sangat sepi sekali.
Sampai di rumahnya, ternyata pintu sudah terkunci!
Dengan bingung Ridwan mengetuk pintu sambil memanggil pelan ibunya.
Tak ada jawaban. Dia mencoba mengintip ke dalam rumahnya. Dari celah gorden sedikit, di dalam sudah sepi sekali.

“Celaka!” keluhnya dalam hati.
Dengan hati merasa bersalah, dia berjalan menuju ke samping rumah menuju letak jendela kamarnya.
“Bu...!” panggilnya sambil mengetuk berulang-ulang.
Sepi.
“Bu...!” Ridwan mengeraskan nada suaranya.
Masih tak ada reaksi dari dalam kamarnya.
“Apa mungkin ia tidak tidur di kamar gue?” hati Ridwan bertanya-tanya. Ketika dia kembali mau mengetuk dan memanggil dengan suara lebih keras. Tiba-tiba terdengar suara orang bercakap-cakap dari arah gang depan yang tak lama kemudian suara-suara tersebut seolah sedang masuk ke deretan kontrakannya. Suara percakapan itu makin mirip bisikan, yang ditangkap telinga Ridwan hanyalah kata ‘Maya’!
Keningnya segera berkerut. Dengan penasaran dia melangkah ke depan, sempat menangkap dua sosok tubuh gempal yang langsung masuk ke rumah kontrakan deret paling ujung.
“Si Hendi? Ngapain dia ngomongin bini gue?” kata Ridwan dalam hatinya dengan curiga. Entah apa yang direncakan satpam konveksi itu dengan teman jaganya. Kalau tidak salah mengenali, temannya itu bernama Rosid.

Dia masih membenci pria paruh baya itu yang berani-beraninya menyentuh tubuh ibunya yang kini sudah dianggapnya sebagai istri tersebut. Suatu waktu dia memang ingin membuat perhitungan dengan Si Pak Hendi itu. Namun percakapan antara Pak Hendi dan temannya yang kebetulan hanya kata ‘Maya’ saja yang didengarnya. Jelas telah membuatnya penasaran. Dan didorong oleh rasa penasaran itulah, Ridwan kini mengendap-endap menuju rumah kontrakan ujung dengan harapan dia bisa memperoleh kejelasan dari percakapan satpam konveksi itu dengan temannya barusan.

Gorden rumah kontrakan Pak Hendi ternyata tertutup rapat. Pemuda itu merasa kesulitan untuk mengintip mencari tahu kegiatan di dalam rumah. Kupingnya segera ditempelkan ke pintu, berharap dapat mencuri dengar percakapan di dalam rumah tersebut.

“Bini gue udah molor, Sid! Lu paranin sono dah, gue mo mandi! Biasain rayu dulu, kalo lu maen terkam aja bisa dicakar tu singa betina, Sid, hek-hek-hek!” terdengar Pak Hendi tertawa terkekeh-kekeh.
“Justru itu yang gue demen dari bini lu, Ndi! Cakaran sama geramannye itu bikin kangen,” tawa orang ke dua yang tak dikenal oleh Ridwan.
Ridwan mengerutkan kening dengan hati bingung, “Yang bener aja, masa bini dipake temen? Udah nggak waras Si Hendi kali ya! Ato kuping gue yang salah denger?” ujar hati pemuda itu sedikit penasaran.

Didorong rasa penasarannya, Ridwan memutar menuju sisi kanan rumah kontrakan Pak Hendi, dengan maksud mengintip atau sedikitnya bisa mencuri dengar apa yang terjadi di dalam kamar rumah tersebut.

Sayang sekali, jendela tertutup rapat tanpa menyisakan celah sedikit pun untuknya mengintip. Saking penasarannya, Ridwan menempelkan kupingnya di jendela kayu kamar itu karena sayup-sayup dia mendengar suara percakapan.

“Gue ngantuk, Sid!” terdengar suara perempuan yang langsung dikenal Ridwan sebagai Rohanah, istri dari Pak Hendi yang usianya sudah setengah baya.

“Ane kangen, Mpok,” terdengar suara teman dari Si Pak Hendi.
“Geli, Sid ah. Laki gue kemane?”
“Barusan mo mandi katenye, ..., tetek lu mpok, duhhh!”
“Shhh..., pelan-pelan, Begok! Sakit!”
“Et deh, galak amat! Tapi ude basah nih!”
“Uhhhh..., kampret lu ah. Maen plorotin celana bini orang ..., aaahhhsssh. Iyeee, di ssshitu, Siiid. Mhhh..., ngerti banget lu!”
Erangan dan rintihan diselingi percakapan mesum di dalam kamar, membuat birahi Ridwan kembali naik. Ingin rasanya dia mencongkel daun jendela supaya bisa menyaksikan adegan mesum dari istri Pak Hendi dan temannya itu.

Sementara Ridwan sedang mencuri dengar di luar jendela kamar rumah kontrakan Pak Hendi. Maya, ibunya Ridwan sedang terduduk keheranan di dalam kamar anaknya yang sudah menjadi kamar pengantin mereka. Ia memang sebetulnya belum tertidur, tahu waktu Ridwan mengetuk pintu rumah juga jendela kamar. Namun dikarenakan rasa marah yang timbul dari kecemburuannya. Ia berusaha mendiamkan saja. Namun ketika suara ketukan itu berhenti, ia mulai menduga-duga, apakah anaknya itu kembali lagi ke rumah Soraya? Kalau benar begitu dugaannya, hati Maya tambah sakit.

Sebetulnya banyak yang ingin dikatakan Maya kepada Ridwan. Namun keinginannya itu terganjal saat ternyata Ridwan pulang bersama-sama Soraya yang merangkul mesra anaknya itu. Lalu tanpa sempat beromong-omong banyak, Ridwan malah ikut mengantarkan tas bayi ke rumah Soraya hingga kejadian yang menyakitkan hatinya itu. Menyesal ia sebetulnya sampai mengintip ke rumah Soraya.

Saat itu Maya memang sedang dalam keadaan sangat gelisah.
Tadi siang Sobari nekad datang ke rumah kontrakannya, di saat ia hanya berdua dengan Rudi, suaminya yang sedang terlelap di kamarnya. Sobari berusaha merayunya sambil menebarkan ancaman akan menyebarkan kisah terlarang antara ia dengan Ridwan, anaknya.

Dalam keadaan kepepet, ia masih bisa memberi alasan bahwa dirinya sedang berhalangan, alias sedang mens. Sobari sempat menggerayanginya kalau saja tidak secara kebetulan suaminya berseru-seru dari dalam kamar. Yang akhirnya mampu mencegah Sobari melakukan sesuatu terhadap dirinya.
Hanya saja Sobari sebelum pergi sempat mengatakan bahwa dia akan kembali seusai mens dirinya sudah selesai.

Dalam kegundahan dan kegelisahannya Maya berpikir akan memaksa Ridwan untuk pindah jauh dari tempat tersebut. Kalau bisa, kembali ke Lembang, Bandung, tempat kelahiran Maya.

Hanya sayang, kejadian malam itu benar-benar membuat dada Maya serasa pecah oleh setumpuk masalah yang menekannya dengan beban yang sangat berat. Dengan hati penuh kecurigaan, Maya ke luar kamar, mencoba mendengarkan suasana di luar rumah kontrakannya. Sepi sekali.

Rasa curiga bahwa Ridwan kembali ke rumah Soraya semakin menebal. Dengan rasa cemburu yang makin membesar, Maya memutar kunci pintu rumah, kemudian membukanya, entah dikarenakan rasa cemburunya yang tanpa sadar menginginkan dirinya untuk kembali ke rumah Soraya, siapa tahu dia bisa mengganggu mereka.

Saat dirinya sudah berada di luar pintu, sesosok tubuh yang datang dari deretan kontrakannya, melangkah cepat. Dan tanpa basa-basi ...., memeluk dan memondongnya kembali ke dalam rumah!

Hampir saja Maya menjerit kaget kalau saja ia tidak segera mengenali sosok tersebut yang bukan lain adalah Ridwan!

“Lepas!” seru Maya meronta.

Ridwan tak memperdulikan seruan ibunya itu, dengan satu kaki dia mendorong pintu sampai tertutup. Kemudian dengan cepat memondong tubuh montok ibunya ke dalam kamar. Maya tak henti-hentinya terus meronta, bahkan sesekali memukul. Rasa marah dan cemburunya seolah mendapat pelepasan.

“Tidak mau! Hentikan!” seru Maya kembali.
“Ssshhh!” desis Ridwan menyumbat mulut ibunya dengan mulutnya. Tubuhnya telah menindih tubuh montok itu yang terus memberontak. Ke dua tangannya mulai bergentayangan.

“Wan...!” terdengar isak tertahan.
Ridwan menghentikan cumbuannya. Menatap bingung sepasang mata yang mulai merebak air matanya.

“Hey, kenapa, Sayang?” tanya Ridwan, membelai lembut rambut ibunya.
Maya melengos, mendorong tubuh Ridwan yang sedang menindihnya hingga terguling ke sampingnya. Kemudian ia membalikkan tubuhnya memunggungi Ridwan yang segera memeluknya hangat. Bahunya terguncang-guncang menahan tangis.

“Kenapa, Sayang? Ada apa?” tanya Ridwan kembali, mengelus pipi halus ibunya itu.
“Ngapain pulang? Kenapa nggak terus puas-puasan di rumah seberang sana!” sahut Maya ketus di tengah isak tertahannya.

Tubuh Ridwan seolah kaku sesaat.

“Maafkan Ridwan, Bu!” jawab Ridwan dengan suara sedih.

“Nggak ada yang perlu dimaafkan! Kamu udah dapet yang lebih muda, yang lebih cantik, yang lebih..., yang lebih...,” isak tangisnya kembali pecah.

Ridwan kembali memeluk tubuh ibunya, lebih erat.

“Ridwan mengaku salah, Bu. Ridwan mohon maaf, tapi..., tapi tidak ada pilihan lain. Mbak Soraya..., Mbak Soraya udah tahu hubungan kita, Bu!” ujar Ridwan perlahan.

“A.., apa?” seru Maya dengan suara tercekat. Tubuhnya berbalik. Wajahnya hampir beradu dengan wajah anaknya.

Ridwan mengangguk, “Iy-yya. Mbak Soraya mengancam Ridwan, Bu.”

“Duh! Gimana dooong? Kan ibu sudah bilang kalau kita lebih baik pindah jauh dari tempat ini!” kata Maya dengan suara panik dan raut muka ketakutan.

“Kayanya memang itu jalan terbaik buat kita. Besok Ridwan mau coba cari tau!”

Maya menghela napas lega. Lupa akan kemarahan dan rasa cemburunya, ia balas memeluk dan menyelusupkan kepalanya di dada anaknya. Seolah ingin mencari rasa nyaman dan rasa aman di dalam pelukan hangat Ridwan yang segera membelainya dengan penuh kasih sayang.

“Tenangkan hati, Sayang. Ridwan akan bertanggung jawab sepenuhnya apabila ada hal-hal yang di luar dugaan kita berdua. Ridwan udah sangat jatuh cinta pada ibu, di tempat baru nanti, di mana orang-orang tidak tau tentang hubungan kita yang sesungguhnya. Ridwan akan menikahi ibu,” hibur Ridwan sambil menarik dagu ibunya, kemudian memagut bibir basah dan lunak itu dengan lembut.

“Terima kasih, Sayang. ..., Ikh! Dalam keadaan begini masih sempet-sempetnya bangun,” kata Maya tersenyum geli, ketika tanpa sengaja pahanya menyentuh selangkangan Ridwan dan merasakan benda besar yang mengganjal keras di sana.

“Tau nggak? Barusan Ridwan mengintip kejadian gila di kamar Si Hendi!” kata Ridwan sambil iseng meremas bokong padat ibunya.

“Kejadian gila apa?” tanya Maya ingin tahu. Tubuhnya sedikit menggelinjang ketika jari-jari anaknya menggelitik belahan payudaranya.
“Mbak Rohanah, sedang mesum dengan temannya Si Hendi, dan gilanya, Si Hendi ada dan tahu perbuatan mereka! Benar-benar mereka sudah edan! Kalau kamu yang kaya gitu, wahhh, bisa Ridwan cekek mati tuh!” jelas Ridwan sambil kembali memagut bibir basah ibunya, tanpa menyadari tubuh ibunya itu sempat mengejang kaku saat mendengar kata-kata terakhirnya barusan.

“Mmhh ..., emang tidak puas tadi dapet dari Soraya?” desis Maya agak ketus, mencoba mengalihkan percakapan.

“Mmm, yang tadi itu terpaksa! Kalo yang ini udah ketauan nikmatnya,” sahut Ridwan sambil menarik payudara ibunya dari belitan beha. Langsung diremas dan dihisap-hisapnya.

“Tapi janji ya, kita pindah secepatnya dari tempat ini! ..., enggghhh!” ujar Maya lagi sambil memejamkan mata menikmati cumbuan panas anaknya itu.

“Hmmmh...,” desis Ridwan tidak jelas. Karena mulutnya sedang sibuk mencucup-cucup puting payudara montok itu yang sudah mengeras.

Tangan Maya tidak tinggal diam, menyelusup ke balik celana training Ridwan, mencari-cari tonggak kaku kebanggaannya.

Rintihan dan erangan mulai terdengar di kamar tersebut. Sebentar saja keduanya sudah telanjang bulat. Saling cumbu, saling belai, saling hisap. Vagina Maya sudah sangat basah dipermainkan jari-jari Ridwan.

Didera napsu berahi yang tinggi, hilang sudah rasa cemburu dan amarah dari Maya tadi terhadap Ridwan. Yang tersisa hanyalah deru napas panas serta birahi yang mendaki puncak tertinggi dari kepuasan dan kenikmatan tiada tara.

Stamina Ridwan memang luar biasa sekali. Padahal tadi sudah dikuras habis oleh kebinalan dari Soraya. Namun memang pada dasarnya usianya masih muda, seakan-akan tenaganya tak pernah akan habisnya. Napsu birahinya seperti badai yang mengamuk di samudera luas tak bertepi. Dahsyat dan sangat bertenaga.

Segala kematangan dan kelihaian Maya yang makin terasah, sama sekali tak mampu menaklukan singa muda itu. Berkali-kali ia harus bertekuk lutut dalam permainan panas anaknya itu. Singa muda yang liar dan ganas.

Maya benar-benar kepayahan meladeni tenaga ganas anaknya.
Dalam posisi menungging, sentakan terakhir pada bokong bulat penuh itu, begitu dalam dan panas. Kepala penis Ridwan berkedut-kedut, menyemburkan lahar panas yang luar biasa banyaknya. Dalam geraman dan desisan liar, keduanya terkulai lemas ketika terdengar dentang tiang listrik yang dipukul peronda berbunyi empat kali. Di kamar satunya lagi, ada sosok lain yang ikut terkulai lemas setelah hobi mengintipnya terpuaskan oleh permainan panas dari ibu dan anak itu.

Sosok yang terkulai lemas dengan napas tinggal satu-satu itu bukan lain adalah Rudi, suami Maya, bapaknya RIdwan. Tersengal-sengal dalam dera napsu yang membuncah tak mendapat pelampiasan. Menekan berat dadanya, hingga jantungnya yang rapuh tak mampu menahan beban berlebihan. Dan dalam satu tarikan napas yang dalam dan berat. Sosok kurus kering itu melepas nyawanya dengan senyum mengerikan tercetak jelas dalam mulut keriputnya!

*

Kita tinggalkan sementara keadaan di rumah kontrakan Ridwan dan Maya, yang mungkin akan sedikit berbeda setelah paginya mengetahui kematian dari Rudi.

Kita mundur sedikit ke malam saat Soraya hampir di perkosa oleh Anto, sekuriti bank tempat Soraya bekerja.

Saat itu Sobari baru saja menyemburkan spermanya di dalam vagina gemuk ibunya, ketika mendengar ketukan pintu yang berulang-ulang.

“Sapa tuh, Ri?” tanya Bu Jaenab melepaskan pagutan Sobari.
“Tauk! Ganggu orang lagi enak-enak aja!” sahut Sobari tidak perduli, malah anteng meremas-remas payudara besar ibunya.
Ketukan pintu terus terdengar.
“Liat dulu sono ah,” kata Bu Jaenab menarik bokong besarnya agar penis Sobari yang masih tertanam di vaginanya terlepas.
“Ahhh, Si Nadi juga pasti denger. Biar die aja yang bukain!” tukas Sobari masih tidak peduli.
“Bukan gitu. Gimana kalo tu orang tetangga rumah ade perlu? Bisa mampus kita kalo ketauan. Udah sono bukain!” kata Bu Jaenab lagi mendorong tubuh Sobari dengan nada sedikit ketakutan.

“Yaelaaah,” gerutu Sobari mengelap penisnya yang masih basah oleh lendir orgasme ibunya juga spermanya, dengan malas-malasan dia mengenakan celana kolornya, dengan tanpa memakai baju dan tubuh masih berkeringat dia keluar kamar sambil sebelumnya iseng menepok bokong besar ibunya yang segera balas menggaplok.

Begitu pintu terbuka, Sobari melongo dengan wajah keheran-heranan menatap sesosok tubuh yang basah kuyup dan belepotan tanah juga wajah berlumur darah.

“Ri, tolongin gue!” kata sosok tubuh itu menyeringai kesakitan.
“Lah, Bang Anto? Busyeeet! Abis berantem ma siape, Bang?” seru Sobari kaget.
“Ntar gue ceritain. Yang penting tolongin gue dulu!” sahut sosok itu yang bukan lain adalah Anto, pria yang mencoba memperkosa Soraya namun keburu ditolong Ridwan. Anto memang babak belur dihajar habis-habisan oleh pemuda itu. Yang akhirnya dia kabur lintang pukang sampai-sampai motornya pun ditinggal.

Setelah kabur jauh dan menyadari orang yang memukulinya tidak mengejar. Anto tak berani pergi sampai ke pinggir jalan raya. Dia memutar-mutar bingung, sampai terpikir bahwa tak jauh dari situ ada rumah kawannya yang bukan lain adalah Sobari. ke rumah Sobari lah akhirnya yang menjadi tujuannya, karena rumahnya sendiri jauh dari situ.

Tanpa dipersilahkan oleh yang punya rumah, Anto nyelonong masuk, namun langkahnya tertahan ketika melihat Pak Nadi dan Bu Jaenab, bapak ibunya Sobari berdiri dengan rasa ingin tahu di depan kamar masing-masing.

“Eeeh, Encing. Maaf ganggu, Cing!” kata Anto menahan sakit.

“Lu Anto? Ngape itu muka babak belur gitu?” tanya Bu Jaenab yang saking buru-burunya hanya mengenakan kain sarung yang dililit sembarangan.

“Aye berantem, Cing! Lawan maennye keroyokan, kepaksa mingggat dah, daripada mati. Cuma rumah Sobari yang paling deket, kepaksa aye ngganggu bentar buat bersih-bersih sama ngumpet!” sahut Anto nyengir.

“Et deh, demen banget lu cari ribut, To..., To!” kata Bu Jaenab geleng-geleng kepala.
“Namenye juga ditantang, kirain atu lawan atu, eh, bawa pasukan. Sial bener dah!” jawab Anto cari alasan.
“Ribut ma anak mane, Bang? Biar ane kumpulin bocah buat bales dendam!” tanya Sobari sambil menutup pintu rumahnya. Khawatir lawan mengejar Anto sampai ke rumahnya.
“Ntar gue ceritain dah, yang penting gue mo bersih-bersih dulu. Ringsek badan gue digebukin sepuluh orang!”
“Ya udeh, bersihin dulu badan lu sonoh!” kata Bu Jaenab sambil kembali masuk ke kamarnya, begitu juga Pak Nadi mamsuk ke kamar yang lain. Seandainya saja keadaan saat itu normal, tentu akan mengherankan Anto melihat ke dua suami istri itu masuk ke kamar yang berbeda.

Setelah diberi handuk dan pakaian ganti oleh Sobari, Anto pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Anto memang dikenal jagoan di wilayah itu. Sobari termasuk salah satu anak buahnya, makanya di bengkel pun Sobari memang sedikit ditakuti kedekatannya dengan Anto. Jadi tidak heran kalau Anto sering terlibat perkelahian dengan orang lain.

Selesai mandi dan berganti baju, Sobari masih menunggunya di kamar tengah.
“Mo makan dulu, Bang?” tawar Sobari.
Anto menggeleng, “Kaga, gue cuma mo istirahat dulu. Di mana gue numpang tidur, Ri?”
“Di kamar sono aja, Bang. Noh, kamar yang itu! Kecil sih, tapi cukup buat tidur mah,” tunjuk Sobari ke sebuah kamar di samping kamar orang tuanya.
“Oke deh. Makasih banget ya, Ri,” kata Anto sambil menuju ke kamar yang ditunjukkan oleh Sobari.
“sama-sama, Bang. Kalo butuh ape-ape, jangan sungkan-sungkan bilang aje,” kata Sobari lagi.
“Siiip,” sahut Anto mengacungkan jempolnya.

Sambil merebahkan tubuhnya yang terasa ringsek, Anto sama sekali tak bisa langsung memejamkan matanya. Hatinya masih dipenuhi rasa penasaran akan kejadian tadi. Sayang sekali dia tidak bisa mengenali musuh yang telah mengganggu pelampiasan hasratnya kepada Soraya.

Kini langkahnya agak terhalang karena Soraya tentu tidak akan tinggal diam, bagus Cuma lapor ke perusahaan saja yang hanya akan memecatnya, kalau sampai perrempuan itu melapor ke polisi, bisa mampus dirinya.

Lama Anto melamun sampai dia samar-samar mendengar bisik-bisik di kamar sebelahnya. Dia segera menajamkan pendengarannya, kebetulan tempat tidur tersebut rapat ke dinding kayu itu sehingga dia bisa mendengar percakapan sayup-sayup dari kamar sebelahnya.

“Ssshh, jangan gila, Ri ah!” begitu yang terdengar oleh kupingnya. Anto seperti salah dengar, seingatnya kamar itu adalah kamar orangtua Sobari karena sekilas dia melihat Bu Jaenab masuk ke kamar tersebut. Eh, tapi tunggu dulu, bukankah tadi bokap Si Sobari masuk ke kamar yang satunya lagi? Kata hati Anto kebingungan. Dikiranya karena kepalanya pernah terhantam tongkat jadi sedikit pusing.

“Sst, diem-diem aja, Mak. Bang Anto mungkin udeh tidur. Tanggung nih!” terdengar samar suara lagi. Tapi Anto berani bersumpah bahwa itu suara Sobari.

“Apa-apaan ini?” Anto mulai penasaran. Kupingnya ditempelkan ke dinding kayu pemisah kamar tersebut.
Terdengar rintihan dan erangan yang sangat pelan sekali.

“Edan! Apa-apaan Si Sobari masa...,” dengan penasaran yang teramat sangat. Anto mencari-cari celah barangkali dia bisa melihat kejadian di dalam kamar itu.

Dan celah itu pun ditemukannya dengan susah payah.

Saat dia mengintip. Hampir saja dia berteriak sambil menggaplok kepalanya sendiri.

Walau pun celah itu sangat kecil tidak bisa menampakkan seluruh yang terjadi di kamar tersebut. Namaun Anto masih bisa melihat sesosok tubuh montok tengah bergoyang erotis di atas tubuh lain yang tengah berbaring yang Anto sangat yakin sekali itu adalah Sobari. karena Anto hanya bisa melihat setengah badan dari dua orang yang sedang bersetubuh itu.

Anto bisa meyakinkan bahwa sosok tubuh montok itu adalah Bu Julaeha, karena dia kenal dengan Lastri istri Sobari tubuhnya mungil tidak tinggi besar seperti sosok itu.

“Anjiiing! Bajingan Si Sobari. Emak sendiri dimakan. Gila!” makinya dalam hati, Anto menelan ludah. Dia jadi berpikir, jadi jangan-jangan mereka tukar pasangan, Si Pak Nadi sama istrinya Sobari.
Anto mencubit tangannya, sambil berharap dia tengah bermimpi.

***

BERSAMBUNG KE BAGIAN XIII b
(Besok malam)
Lebih dari 5000 kata, Gan. Terpaksa di bagi dua... Lanjut besok aja yaaa :Peace:
 
Anto yang notabene bos si sobari aja kalah sama ridwan, komo si sobari bisa bisa, jadi lumpia basah dah tuh wkwk=))

duh kok kematian pak rudi serem yah :takut: apalagi dengan seringaianya :hua:

duh mamah maya :panlok3:

yah biasanya langsung di post'in kang lanjutanya?
 
Duh rudy tragis benar nasibmu :((, ridwan maya kabur gmn nasib mbak soraya hu ;)
 
waduhhh.....nama2 di tiap kejadian ternyata saling berkaitan, ditambah suka ngintip semuanya...bisa berimbas ke pertumpahan lendir ini jadinya...hehehehe...
 
di tunggu next up nya gan,.
pengen tau siapa yang bakalan hidup dalam tekanan,. siapa yang di ancam dan siapa yang mengancam, menunggu konflik berikut nya dari TS,. :beer:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd