Chapter 1:
A Little Thing Called Present
Pada suatu malam...
Bel pintu rumah berbunyi, dan seorang wanita dengan bergegas menuju ke depan untuk membuka pintunya. Wanita itu bersih, ayu, cantik, juga terawat, walau hanya memakai pakaian biasa warna bumi, celemek, dan tanpa perhiasan berlebih. Dia tersenyum saat melihat sosok yang ada di depan pintu.
"Sayang, kamu sudah pulang?"
Di hadapannya adalah seorang pria, mungkin berusia jauh lebih tua daripada istrinya ini, dengan kacamata yang miring dan raut muka yang lelah, namun melihat istrinya yang tersenyum manis di hadapannya, rasa lelah itu pun seolah sirna.
"Bos mengajakku minum-minum lagi tadi. Aku mau menolak tapi tidak enak, kamu tahu kan kalau aku sedang berusaha mendapatkan promosi di tempat kerja?"
"Iya, aku paham koq. Ya sudah, kamu istirahat dulu ya, aku lagi masak, air mandi sudah aku panasin, abis itu kita makan bareng, ya?"
Dengan penuh kasih sayang, sang istri membantu suaminya melepas jas kerja dan menyimpankan tas suaminya dengan baik.
"Terima kasih, Miho, kamu memang istri yang baik. Aku beruntung bisa menikah denganmu."
"Sudahlah, kita kan suami istri. Ayo mandi dulu, setelah ini kita makan, ya?"
=================
Apakah ini kehidupanku? Tentu saja bukan. Ini adalah adegan pembuka salah satu film JAV yang bertemakan netorare alias perselingkuhan. Setelah adegan pertama yang penuh kasih sayang ini, berikutnya si tokoh jahat akan datang, entah itu anak tiri, bapak mertua, bos, rekan kerja, atau tetangga mesum, yang akan menyikat si istri yang baik ini hingga akhirnya menjadi budak seksnya.
Tak sampai berapa lama, sang istri, Miho Tsuno, sudah berada di dalam cengkeraman pria lain, melakukan perlawanan yang sia-sia dan setengah hati supaya tidak diperkosa. Lalu sebagaimana diduga, si pemerkosa akhirnya berhasil menaklukkan sang istri yang enggan, menanamkan kontol pixelated-nya ke dalam memek pixelated sang istri, crot dalam kemudian si pemerkosa pun berlalu dengan puas, meninggalkan sang istri yang hancur hatinya karena gagal menjaga kehormatannya.
Selesai? Tentu saja tidak...
Pemerkosaan itu akan berulang kembali di saat sang suami sedang pergi atau bekerja. Namun kali ini sang istri melakukannya dengan lebih sukarela, nyaris tiada keengganan, bahkan dia yang sering mengambil inisiatif. Dengan si pemerkosa berkali-kali mencuci otak sang istri setiap kali kontol pixelated-nya bergerak keluar masuk, bahwa si pemerkosa-lah yang diinginkan oleh sang istri, bukan sang suami yang selalu digambarkan payah, lemah, dan tidak bisa memberikan kepuasan seksual pada sang istri sebagaimana diberikan si pemerkosa. Pada saat itu, ngentotnya mereka sudah bukan lagi merupakan pemerkosaan, namun lebih pada persetubuhan yang panas dan penuh cinta, dengan tubuh kedua insan ini mengucurkan peluh tanda persetubuhan yang berlangsung dengan luar biasa, kemudian sang istri pun melakukan gaya yang tak dia berikan pada sang suami, hanya untuk si pemerkosa, yang kini sudah berubah menjadi bull.
Menyaksikan bagaimana Miho Tsuno melayani sang bull, dada ukuran C nya yang bergoyang-goyang, lalu senyum di wajahya yang eksotis dan sensual kepada si bull, sambil tubuhnya yang mulus berkulit agak gelap itu berguncang ditubruk berkali-kali oleh pinggul si bull, dengan erangan dan lenguhannya yang khas.
Pada saat itulah biasanya kontolku menegang luar biasa hingga memerah, lalu kubetot sambil kukocok dengan kencang sembari mendengarkan lenguhan Miho Tsuno yang terasa bagaikan alunan simfoni di telinga. Sambil membayangkan bahwa bull itu adalah aku, dan di hadapanku, dengan senyumannya adalah Miho Tsuno, aktris JAV kesukaanku, dengan parasnya yang mirip paras orang Indonesia.
Aku seolah bisa mendengarnya mengatakan:
"Yah, terusss Erik-san... Teruuuss.... Aaaahhh... Sebentar lagi Miho keluaaaarggh...."
Aku mempercepat goyanganku pada Miho, yang ekspresi mukanya semakin menegang, disertai urat-urat di lehernya yang mengencang, menandakan waktunya sudah tiba untuk sebuah pelepasan besar.
"Aku keluaaaaaaaaar!!!!!"
Kontol yang kubetot berguncang dengan luar biasa, bagaikan hewan liar yang berdenyut memuntahkan lahar warna putih bak susu kental manis. "Susu" itu terasa hangat dan agak lengket di jari-jariku, yang berusaha mengendalikan muntahan yang kontol yang masih berdenyut. Lalu semuanya gelap untuk sementara.
Saat kubuka mata, Miho Tsuno sudah tak lagi di hadapanku, kembali lagi ke dalam layar kecil, berbaring lemas dengan napas terengah-engah, sementara si bull dengan bangganya men-zoom bagian memek Miho yang walau tertutup oleh pixel, masih menunjukkan pejunya yang mengalir. Miho bergidik sesekali, dan otot selangkangannya merapat, dan bahkan pixel pun tak bisa menutupi memeknya yang berkedut mengeluarkan kelebihan peju si bull yang tak tertampung.
"Kimochi..."
Di tengah napasnya yang terengah-engah, Miho tersenyum sambil melihat si bull dengan mata yang berbinar. Yah, senyum yang menunjukkan bahwa si bull telah berhasil mengalahkan sang suami yang payah dan lemah itu. Senyum yang juga membuatku terusik, karena hari ini, akulah si suami yang payah itu.
=================
Suatu Siang di Tahun 2021
(Versi Dunia Tanpa COVID)
Aku lemah? Oh, tentu saja bukan itu maksudnya. Aku memang bukan seperti gigolo atau tokoh film porno dalam JAV, secara teknik okelah kuakui, mereka lebih jago daripadaku, jelas. Namun kurasa aku amat mampu untuk memuaskan wanita, atau dalam kasus ini, istriku. Terakhir kali saat kami bercinta, kami bisa melakukannya 4 jam tanpa berhenti dan orgasme yang aku atau istriku lakukan sudah tak terhitung lagi, karena we just don't keep tally on those. Mengesankan? Boleh jadi, andai aku bisa ingat "terakhir kali" itu kapan.
Sebelumnya, perkenalkan, namaku adalah Erik Setiyadi, usiaku 37 tahun, local natives (but who cares, right?), tinggi badan 184 cm, berat badan; entahlah, aku tidak ingat kapan terakhir menimbang. Ukuran Mr. P? Sekitar 14 atau 15 cm, standar saja lah. Pendek kata, tak ada masalah apa-apa dengan fisikku, atau ketahananku. Tapi kenapa aku menyebut diriku sendiri sebagai suami payah? Bersabarlah, kalian akan tahu jawabannya...
Motor yang kukendarai menembus angin malam yang menerpa panas. Ya, pada musim-musim ini suhu udara cukup panas sehingga angin yang bertiup pun ikut hangat. Namun semua itu tak kupedulikan. Aku bersiul pulang dari kerja, dengan sebuah tas kresek putih menggantung di gantungan motorku. Isinya adalah martabak manis, kesukaan istriku. Membayangkan akan memberikan hal favoritnya membuatku tersenyum, hingga tak terasa aku sampai di rumah.
"DING DONG!"
Suara bel pintu yang kupencet terdengar keras namun pintu tak kunjung terbuka. Apakah tidak ada orang? Gak mungkin, suara TV-nya aja masih kedengeran dari sini. Jangan-jangan istriku tidak dengar, maka kupencet beberapa kali belnya.
"DING DONG! DING DONG! DING DONG!"
"Iyaaaa!!! Udah denger!!!"
Pintu dibuka dengan agak kasar. Di sana, istriku tampak berdiri dengan muka ketus tanpa senyum sama sekali. Wajahnya masih polos berminyak, rambutnya acak-acakan, dengan daster lusuh compang-camping yang sudah dari kapan kusuruh untuk membuangnya. Dia menatapku dengan marah, di gendongannya ada anak kami yang baru berusia 2 tahun menangis kencang.
"Aku tuh udah denger kamu pulang! Gak perlu kamu mencet bel ampe berkali-kali!"
"Ya maaf, kirain kamu lagi ada di belakang."
"Nih, gara-gara suara bel si Vino jadi kebangun terus nangis gini!"
"Ya sudah, mana sini, biar aku yang ndiemin."
Aku mengulurkan tangan, namun bukannya dia menyerahkan Vino padaku malah dia semakin menjauhkannya dariku.
"Heh, nggak pernah baca artikel ya?? Kamu itu baru pulang kerja, kotor, badan penuh kuman. Kamu mau kalau Vino sakit??"
"Tapi kan, Ma..."
"Nggak ada tapi-tapi! Abis mandi baru kamu boleh megang-megang Vino. Sekarang mana titipan aku?"
"Titipan apa ya, Ma?"
"Aku kan tadi WA, nitip kalau pulang tolong beli lampu sekalian soalnya lampu dapur udah kedip-kedip. Sekarang, mana lampunya?"
Sial, yah, aku ingat bahwa istriku mengirimkan WA soal ini, tapi karena tadi sedang ada rapat, maka aku tak memperhatikannya. Aku hanya membuka pesannya lalu menulis "OK" dan sudah, setelah itu aku lupa...
"Belum beli??" hardik istriku.
"Iya, Ma, lupa tadi..."
"Astaga, kamu kan udah bilang mau beliin, Erik! Tahu sendiri aku nggak bisa kerja kalau lampunya masih kayak gitu. Pikiranmu ke mana sih, Erik?? Bego banget!"
Kalau dia sudah memanggilku dengan nama, percayalah, itu artinya dia sedang marah besar.
"Terus kamu beli apaan itu, heh??"
Pandangan istriku kali ini mengarah pada tas kresek putih yang kubawa. Aku pun dengan tersenyum memberikannya padanya.
"Ini, Mas tadi beli martabak manis kesukaanmu."
"Cokelat keju?? Ya ampun, Erik, kan kemaren aku udah bilang, jangan kasih aku martabak cokelat keju dulu!! Aku ini lagi program diet, kalau kamu beliin makanan kayak gini, kapan dietku bisa berhasil??"
"Yah, kan sekali-kali, Ma..."
"Atau kamu emang pengen ya, badanku jadi gembrot, jadi kamu ada alesan buat selingkuh ama yang lain, gitu??"
"Ya ampun, demi Tuhan, enggak, Ma, aku nggak ada niat gitu..."
"Ah alesan, emang kamu sejak kapan juga udah nggak pernah perhatiin aku ngomong apa. Coba sekarang apa alesannya? Di kantor sibuk lagi??"
"Kan kamu tahu sendiri, Ma, menjelang akhir tahun kantor kan emang sibuk..."
"Sibuk kerjaan atau jangan-jangan ada cewek baru di kantor yang cantiknya kayak si Bella, makanya kamu kayaknya betah banget di sono?"
"Astaga, Ma, enggak, sumpah demi Tuhan!"
"Aah udahlah, pusing aku di rumah hari ini. Kamu urus-urus sendiri aja, aku mau nidurin si Vino dulu. Bete aku."
"Terus martabaknya gimana?"
"Ya kamu yang beli, kamu yang tanggung jawab lah abisin. Lagian ya, kamu belinya pasti di depan In**maret kan?? Duitnya kan bisa buat beli lampu di sono. Emang dasar laki udah nggak perhatian!!"
Istriku pun berlalu sambil mengomel, dan aku lebih dari paham untuk tak mengganggunya untuk saat ini.
Sambil menghela napas panjang, aku meletakkan martabak di atas meja makan. Dulu kami berdua akan makan martabak semacam ini dengan senang, tapi saat ini, terlalu besar untuk kuhabiskan sendiri, mungkin akan kubawa jadi bekal besok.
Oh ya, itu tadi istriku, namanya Rini Widiyani, atau biasa dipanggil Rini saja, atau aku memanggilnya "Sayang" atau sekarang "Mama", setelah kami punya anak. Kalau kalian bertanya apakah memang dia seperti itu? Tidak, dulu waktu kami menikah, dia tidak seperti itu. Dia cantik, meski tidak berlebihan. Tingginya 172 cm, hampir sepantaran denganku sehingga saat kami berjalan dulu, orang selalu bilang bahwa kami serasi. Matanya agak sipit dengan kulit putih bersih, namun dia bukan keturunan Tionghoa (atau anak gaul sekarang menyebutnya "Chindo"), dia local natives juga, campuran Betawi-Sunda. Posturnya ideal proporsional dengan dada ukuran 32 C yang pas bagiku, karena memang aku suka yang tocil. Dia juga dulu modis, ceria, supel, pintar membawa diri entah di mana pun, dan itu membuatku mantap menikahinya dulu.
Namun itu dulu...
Sekarang dia hanya seperti ibu rumah tangga biasa yang setiap hari kerjanya mengomel dan menggerutu. Apalagi setelah anak kami, Vino, lahir. Mukanya menjadi semakin suram, kucel, jarang merawat diri hingga lemak mulai bermunculan di mana-mana. Rambutnya juga sering berantakan dan hanya diikat saja, hingga terlihat kusam dan pecah-pecah, dan berkali-kali dia mengeluh soal rambutnya yang sering rontok. Begitu pula soal dalaman, toketnya yang dulu kencang kini mulai agak menggelambir dengan kanan dan kiri sedikit tidak seimbang, dan pantatnya yang dulu membulat pun kini agak turun. Areolanya hitam pekat dan melebar, tak seperti dulu yang masih cokelat gelap, dan bulu jembutnya kini amat lebat sehingga menutupi bagian selangkangannya. Jangan salah, aku memang tak mempermasalahkan bulu jembut lebat, tapi yang ini terlalu lebat karena Rini sudah jarang mencukurnya, dan terkadang memancarkan bau pesing yang tak tertahankan.
Pendek kata, semakin diriku sibuk di kantor karena tengah mengejar promosi dalam waktu dekat, semakin pula Rini jadi tak terurus di rumah, atau lebih tepatnya, dengan anak kami yang amat aktif, dia jadi tak punta waktu untuk itu, dan akhirnya jadi malas sama sekali. Sangat disayangkan, padahal apabila dia mau berdandan, dia bisa kembali cantik sebagaimana dulu saat aku menikahinya, namun dia semakin malas untuk berdandan. Bahkan seperti tadi, menyambutku pulang kerja saja dia ketus, apa pun yang kulakukan seolah salah baginya, dan selalu saja ada alasan untuknya marah-marah padaku. Padahal aku hanya ingin disambut dengan senyum dan wajah yang ceria setelah lelah seharian bekerja dan di jalan, apakah itu terlalu berlebihan?
=================
Singkat kata, akhirnya aku berhasil menjalani malam hingga berbaring di atas ranjang tanpa memancing kemarahan lagi dari Rini. Aku sudah selesai mandi dan makan, sendiri tentu saja, sementara istriku Rini berbaring di meringkuk, sepertinya kelelahan. Anak kami, Vino, sudah tidur pada sebuah ranjang kecil di samping ranjang kami.
Aku melihat ke arah Rini, yang tak bersuara, hanya suara napas yang teratur. Jam masih menunjukkan pukul 22.00, dan biasanya Rini belum tidur jam segini. Aku kemudian meletakkan tanganku pada pinggangnya dan memeluknya dari belakang. Tubuhnya agak bergerak sedikit sepertinya agak terganggu dengan gerakanku.
"Ma, udah bobo?"
Tak ada jawaban, jadi kutanya kembali...
"Ma, udah bobo?"
"Ugh, udaaah, Mas bobo juga gih, capek banget..."
Aku tersenyum. Kalau dia sudah memanggilku dengan "Mas", artinya dia sudah tidak marah lagi.
Aku memeluknya sekali lagi, kemudian tanganku pun sengaja kuhinggapkan pada dadanya yang masih tertutup daster. Aku bisa merasakan putingnya dari luar daster, karena Rini tak pernah tidur dengan mengenakan beha. Pelan-pelan kujepit dan kupencet puting itu dari luar.
"Hmmggh... Mas, udah ah, aku capek..."
Aku tidak menjawab, malah kali ini gantian mulutku kutempelkan di belakang telinganya dan beberapa kali dijulurkan lidah dan menggelitiki kupingnya.
"Udah ah, Mas, geli..."
Aku tak menghiraukannya. Malahan aku makin gencar melancarkan seranganku. Kedua tanganku memeluknya dari belakang, selain mencegahnya berontak, juga memainkan kedua susunya dari balik daster tipis. Lehernya pun tak lupa kuserang dengan berbagai cupangan, meski terhalang rambut, bahkan sampai telinganya pun kukulum dan dia berteriak tertahan akibat kegelian.
Aku mengubah posisiku dan kini berada di atasnya. Dia tampak melihatku agak khawatir dari balik remang-remang cahaya kamar.
"Mas, jangan aah..."
Tapi dia tak berkata-kata lagi karena bibirnya sudah aku lumat, dan lidahku pun menari-nari dalam mulutnya. Kurasakan lidahnya yang awalnya kaku mulai melemas dan ikut mengait lidahku. Aku pun berusaha melepas daster yang hanya ditahan oleh tiga buah kancing itu.
Entah berapa lama kucumbu dia, namun saat kami jeda sejenak, dasternya sudah melorot hingga ke perutnya, menampilkan susunya yang agak kendor dan membal dengan puting menghitamnya. Rini berusaha menutup dadanya, namun dengan cepat aku mementangkan kedua tangannya.
"Jangan, Mas, malu..."
"Malu ama siapa, Ma?"
"Ada Vino lho, tidur."
"Ah, sudahlah, biarin aja dia tidur."
"Tapi..."
Aku kembali mencumbunya, menghentikan protesnya. Tangan kananku yang tadinya menahan tangannya ganti memainkan kedua buah dadanya, sementara tangan Rini kuringkus jadi satu dengan tangan kiriku. Muka dan mulut Rini basah akibat liurku, dan aku beralih mencupang lehernya sambil memainkan putingnya yang kini terasa kaku.
Dari yang tadinya memberontak, kurasakan berontak itu mulai berubah menjadi geliat keenakan, bahkan tangannya pun tak lagi meminta lepas, hanya berusaha menahanku setengah hati, namun tentu saja aku masih bisa mencumbunya. Desahan pun mulai keluar dari mulutnya. Akhirnya, perlawanannya pun gugur sudah.
Sambil bangkit, aku pun menarik daster Rini hingga akhirnya lepas, menunjukkan tubuhnya yang nyaris telanjang, hanya menggunakan celana dalam lawas warna putih. Rini melipat kakinya agak meringkuk dengan kedua tangannya disilangkan di dada posisi tubuh bertumpu pada dinding sisi tempat tidur. Dia nampak imut sekali pada posisi itu, mengingatkan saat aku pertama kali memperawaninya malam itu. Aku berdiri lalu melepas semua pakaian di badanku.
"Mau ngapain??"
Rini memekik tercekat saat aku melepas celana kolorku dan kontolku yang sudah setengah tegang melenting keluar. Dia terpaku saat aku mendekatinya sambil memegang dan menggoyang-goyangkan kontolku. Posisi Rini saat ini seperti tengah berlutut di atasku dengan wajahnya tepat berada di depan kontolku.
Mungkin karena sudah lama, dia jadi agak kagok harus melakukan apa. Aku pun menempelkan kepala kontolku di bibirnya dengan pelan, seperti memakaikan lipstik padanya.
"Aaah, lengket aah..." jeritnya.
"Tapi suka, kan?"
Rini mencibir, tapi tangannya bergerak memegang kontolku, lalu menggosoknya perlahan dari atas ke bawah. Yah, jari lentiknya ini melingkari kontolku, sensasi itu selalu membangkitkan libidoku. Pelan-pelan kurasakan kontolku semakin mengeras dalam genggamannya. Rini itu punya wajah yang unik, di mana saat merengut dia justru terlihat manis, mengingatkanku pada masa-masa saat aku berpacaran dengannya.
Kami berpacaran dengan lurus, meski kadang-kadang agak menyerempet. Dalam hal ini, sepanjang pacaran, mentok yang kami lakukan hanyalah hand-job. Akulah lelaki beruntung pertama, sekaligus satu-satunya, yang pernah menelanjangi Rini, saat itu di kamar kosku yang menjadi saksi bisu saat aku dan Rini saling menstimulasi kelamin masing-masing hingga orgasme tanpa penetrasi. Tangan Rini mungil, dengan jari-jari panjang dan lentik serta halus, sehingga terasa nikmat saat melingkari dan menjelajahi kontolku. Dia juga terkadang memberiku blow-job, katanya suka dengan sensasi kontolku yang membesar di dalam kulumannya, namun hanya sekali saja aku ngecrot di dalam mulutnya, karena dia tidak suka. Dia juga kurang menyukai saat aku memberinya jilmek, meski pernah beberapa kali orgasme akibat itu.
"SLEP!"
Tahu-tahu saja aku merasakan kontolku basah dan hangat. Rupanya Rini sudah memasukkannya ke dalam mulut mungilnya.
"Aaah, yess..."
Aku melirik ke bawah, ke arah Rini yang menyepong kontolku. Rasanya masih sama, hanya saja dia tak menatapku kembali dengan sinar mata manja sebagaimana dulu. Aku akhirnya hanya berfokus menikmati kulumannya saja, juga pijatan lidahnya pada batang kontolku, yang terkadang dia jilat ujungnya dan disedot sejenak pada lubangnya, mengirimkan sensasi seperti tersetrum ke seluruh tubuhku hingga aku kelojotan dan lutut tiba-tiba seperti kehilangan kekuatan.
Rini mengeluarkan batangku dari mulutnya kemudian kembali mengocok dengan tangannya. Kontolku kini sudah lebih besar, lebih keras, dan licin akibat ludah dan air mazi. Rini tak begitu suka apabila sudah terlalu keras, karena membuat mulutnya pegal, begitu katanya.
Aku menatapnya ke bawah.
"Ngapain?" tanya Rini.
"Gak apa-apa."
"Tapi koq ngelihatinnya gitu?"
Belum sempat Rini bereaksi, aku langsung mendorongnya hingga rebah ke kasur, dan dengan cepat kutarik celana dalamnya hingga lepas sebelum dia sempat bereaksi. Kini Rini terbaring telanjang di kasur, masih agak kagok karena aku tiba-tiba mendorongnya.
"Mas, kamu ngapain... AAAAHHH!!!"
Tanpa memberinya kesempatan berpikir, dengan cepat aku menyeruduk ke selangkangannya, menahan kedua pahanya agar tidak berontak. Rini tahu apa yang akan terjadi. Dia berusaha bangun dan mendorong kepalaku, namun tidak bisa karena aku telah mengunci pahanya. Kini di hadapanku adalah hutan lebat warna hitam yang memisahkan mukaku dengan mekinya. Aku segera melahapnya, tak kupedulikan jembut yang terlepas dan menyangkut di mulut. Lidahku merangsek bagai penjelajah yang tengah membuka hutan rimba hitam ini untuk menemukan gua harta karun.
"AAAAHHH!!"
Rini memekik kencang, kali ini karena lidahku sudah mulai mengusap dan menjelajahi gua mekinya, membuatnya menggelinjang. Aku memejamkan mata berupaya mengerahkan semua kemampuan sensoriku ke dalam lidahku. Aku pelan-pelan mengingat kembali, jenggernya yang bagai keran, daging basah dan hangat berlendir, lalu sebuah benda yang agak keras mirip biji daging...
Sekali lagi Rini menggelinjang dan secara refleks merapatkan pahanya, menghimpit kepalaku yang masih menempel pada selangkangannya. Dia tak pernah suka saat kujilmek, padahal beberapa kali dia mendapatkan orgasme hebat dengan itu. Kurasakan otot-ototnya mulai menegang, dan lubangnya terasa bergerak membuka dan menutup.
"Uu.. Udaah... Lepassss..in... Mas..."
Aku dengar, namun tentu saja aku tak berniat untuk melepaskannya. Hanya saja tangannya kini semakin kuat mendorong kepalaku untuk menjauh. Aku tak mau membuat masalah, bila dia tidak suka, sebaiknya kuturuti saja, yang penting malam ini aku bisa ngentot kembali dengan istriku.
Aku berdiri dalam keadaan telanjang di atas kasurku, kemudian kembali merunduk di atas badan Rini, yang tampaknya sudah pasrah, namun dia masih melihat ke arah putra kami Vino yang tertidur. Sepertinya dia sadar tak ada gunanya menolakku, mungkin dia pun menginginkannya juga.
"Jangan ampe ribut ya Mas, please."
Aku mengangguk. Setidaknya supaya dia tenang, walau aku tahu itu agak mustahil akan terjadi. Kemudian aku berlutut dan menekuk kedua kaki istriku, lalu melebarkannya, sehingga bibir mekinya menyembul dari balik rimbunan hitam itu. Pelan-pelan kugoyang-goyangkan kontolku dengan tangan, memukul-mukulkannya ke sekitar area mekinya, membuat suara seperti saat kita memukul rumput. Setelah itu, pelan-pelan leher kontolku kucekik hingga ujung kepalanya memerah, dan kugesek-gesekkan di bibir mekinya yang kini mengkilat.
"HMPFHH..."
Rini agak mengejan saat kucoba memasukkan kepala kontolku pada lubang mekinya. Mungkin karena terkejut sehingga ototnya menegang dan aku merasakan kepala kontolku membentur semacam gerbang yang tertutup.
"Pelan-pelan, Mas..."
"Sakit ya?"
Rini tidak menjawab, tidak pula mengangguk, lalu tangan kanannya diarahkan ke bawah dan dengan telunjuk serta jari tengahnya, dia membuka bibir mekinya hingga lubangnya menjadi agak lebar.
Aku kembali menggosok-gosokkan kepala kontolku ke sana, dan menikmati sensasi geli-geli gatal menusuk saat lubang kontolku bersentuhan dengan daging kerasnya. Hingga tak sadar...
"Aaaaaah... Enaaaakk..."
"PLAAAK!!"
Rini menampar pelan pahaku.
"Bilangin jangan berisik!"
Ya, aku memang mengerang terlalu keras tadi, karena sensasi lubang kencing bersentuhan dengan itil memang sudah lama tak kurasakan. Ini jauh lebih menyenangkan daripada memakai tangan sendiri.
Aku kembali menggesek-gesekkan kontolku yang tegak sekeras baja, kali ini mengendalikan diri supaya tak mengerang terlalu keras.
"Aaaah... Ssshhh..."
Rini kembali mengerang lirih saat kepala kontolku mulai mengetuk pintu lubang kenikmatannya. Aku tersenyum karena sudah tidak ingat lagi kapan kami bercinta sambil berteriak atau mendesah lepas. Rasanya sudah lama sekali, sehingga kini aku ingin menikmatinya lebih lama, dan memperlambat tempoku.
"Aahh, iyaahh... Iyaa Mas, terus... Aaah..."
Sepertinya Rini pun setuju juga dengan improvisasiku. Aku berlutut, menggunakan lututnya sebagai tumpuan, mengatur supaya kontolku bergerak dengan perlahan tapi mantap, membelai relung-relung di dalam lubang memeknya, ah yah, rasa yang dulu... Seolah kepala kontolku mengingat kembali, walau memang agak berbeda dibandingkan sebelum putra kami lahir.
Rini pun turut memegang dan meremas-remas susunya yang walau sedang tapi agak kendor, meski dari raut wajahnya, sepertinya dia tak mendapatkan kenikmatan dari itu. Yah, Rini waktu itu pernah bilang bahwa setelah melahirkan susunya menjadi agak kurang sensitif. Mungkin karena muscle memory mengingat gerakan meremas dan mengenyot yang dilakukan anakku saat menyusu membuatnya jadi lebih "kebal", sehingga aku harus berusaha amat keras apabila ingin merangsangnya hanya lewat susu.
Tapi, ngomong-ngomong soal anakku, aku tiba-tiba melirik, dan tampak tidur Vino mulai agak menggeliat-geliat dengan raut mukanya yang seperti orang merengut. Gawat! Kalau Vino bangun duluan bisa-bisa gagal persetubuhanku malam ini, dalam keadaan kentang pula.
Tanpa memberi tahu Rini lagi, aku langsung saja tancap gas dan menggenjot Rini lebih cepat. Rini tampak terkejut dan memasang raut muka protes.
"Mas, pelan-pelan, Mas, kayak tadi aja... Aaahh..."
Aku tak menjawab dan meneruskan tempoku, berpacu dalam nafsu mencoba untuk orgasme sebelum anakku bangun. Rini mendesah semakin keras, yah, memang inilah Rini yang kukenal, dengan desahannya yang kencang seiring dengan genjotanku yang brutal.
Aku sudah tak memikirkan apa-apa lagi, tidak juga pada Vino atau siapa pun, dalam pikiranku hanyalah birahi ini harus dituntaskan saat ini juga!
"MH..MH..MHASSH... PEHLHAN-PEHLHAN MHASSH... NHANTHIH VHINHO BHANGH-UUUUNNH... AAAAHHH... AHHH! AHHH!!!
Suara kecipak dan benturan saat pinggul kami beradu menjadi semakin kencang dan keras, begitu pula desahan dan lenguhanku serta Rini. Tak ada lagi yang ingat untuk memelankan volume... Aku merasa desakan cairan mani mulai mengumpul di pangkal kontolku, begitu pula otot-otot pinggul dan meki Rini mulai menegang dan berkedut. Sebentar lagi... Yah, sebentar lagi...
"WAAAAAAA!!!! WAAAAA!!!!! WAAAAA!!!!"
Seperti yang kutakutkan, Vino terbangun dan menangis. Namun aku sudah tak lagi berpikir soal itu. Sebentar lagi, yaah, sebentar lagi, sudah tinggal di ujung, dan...
"BUKKKK!!!"
Tiba-tiba saja kontolku tercabut paksa dari meki Rini dengan sensasi seperti benturan pada dadaku, dan aku pun melayang ke belakang hingga terguling jatuh dari tempat tidur.
Aku masih syok saat kulihat Rini menurunkan kakinya, kemudian dengan kesal melompat dari tempat tidur dan menuju ke ranjang Vino, masih tanpa memakai pakaian.
"MAKANYA KALAU GUE BILANG BERHENTI ITU YA LO BERHENTI!!! GAK LIHAT APA ANAK LO NANGIS GITU!!???"
Aku masih terperangah. Kiranya tadi Rini pasti menggunakan kakinya untuk menendangku hingga jatuh terguling dari tempat tidur. Ulu dadaku mendadak terasa menyesak. Ya, saking dipenuhi nafsu untuk melepaskan birahi, aku tak mendengar Rini yang menyuruhku berhenti saat Vino menangis. Apalagi dia menggunakan "lo" dan "gue" yang merupakan level kemarahan tertinggi.
"Aku..."
"Udah, diem lo! Tidur di luar sono, SEKARANG!"
Aku langsung mengambil bantal dan melipir keluar saat Rini menenangkan dan menidurkan Vino. Kulempar bantal ke sofa di ruang tamu lalu merebahkan diri di sana. Yah, selama beberapa lama, sofa ini memang telah menjadi akrab denganku.
Setiap kali Rini sedang marah besar atau kesal dengan kelakuanku, dia selalu menyuruhku tidur di luar. Awalnya kukira dia hanya bercanda, tapi kemudian dia sungguh-sungguh bahkan sampai memukulku dengan sapu. Hal ini menjadi sering terutama setelah Vino lahir, dari mulai alasannya aku masih bau, sampai mendengkur keras. Bahkan terkadang tanpa alasan apa pun, ketika Vino mengigau pun Rini bisa mengusirku dari kamar. Dia selalu bilang bahwa susah untuk menidurkan Vino saat dia terbangun. Aku pernah coba membantunya tapi menyerah setelah beberapa kali, karena Vino tak pernah mau kutidurkan di pelukanku. Akhirnya, ya sudahlah, biar aku saja yang mengalah.
Sejak kapan Rini berperilaku seperti ini, aku sudah tak bisa mengingatnya. Mungkin saat aku mulai sibuk di kantor karena mengejar promosi, namun untuk ini dia pun sudah tahu dan paham risikonya. Jadi kenapa??
Ah sudahlah, pikiranku buntu akibat kentang, sehingga aku pun melakukan yang biasa kulakukan. Kuambil hapeku dan memutar film JAV di sana. Kemudian pelan-pelan kukocok kontolku yang masih setengah tegang itu, disertai desahan dari Miho Tsuno. Malam itu, bukan istriku, namun Miho Tsuno-lah yang sekali lagi menjadi pelampiasan keluarnya spermaku.
Next >>> Memories