saul007
Semprot Kecil
Mbak ajeng melangkah kekamar mandi, “pinjam handuknya yah mas..” aku mengangguk. Aku kembali keteras aku bakar kembali rokok ku yang tadi ku matikan. Pikiranku berkecamuk menahan rasa khilaf dan penasaran. Bagaimana bisa, baru ketemu berapa jam, dia sudah mengajak ku bercumbu. “akh.. hari yang indah penuh dengan teka – teki.” Gumamku dalam hati.
Sekitar 15 menit aku menunggu diluar, dan sudah 2 batang rokok yang terbakar, aku masuk kedalam kamarku. Aku lihat mbak ajeng hanya mengenakan handuk yang menutupi dada hingga sebagian pahanya, sambil bercermin.
“jangan lirik lirik, nanti kepengen” mbak ajeng tersenyum genit kepadaku.
“hehehe.. sebenarnya sih pengen mbak, cumaa..” aku berjalan menghampiri dia, dan kuusap punggungnya.
“Cuma apa?” tanya mbak ajeng
“aku masih belum pede mbak, nanti yah janji deh setelah ketemu pak Sugeng, biar aku gk kelihatan lemas.”
“bener yah.. awas nanti kalau bohong”
Aku mengangguk, aku cium lehernya, dan kuraih bibirnya, aku lumat bibirnya kami bermain lidah, “mbak seksi banget kalau pake handuk gini,” bisikku lirih. Mbak ajeng hanya tersenyum genit, seakan akan menjual mahal.
“pakai bajunya mbak, sudah setengah 7, gk enak nanti sama pak Sugeng,”
Mbak ajeng melanjutkan dandannya, dan aku kekamar mandi, membasuh mukaku agar segar kembali. Kami berdua telanjang badan seakan akan mempunyai hubungan, tanpa rasa cuek dan rasa malu. Kami hanya saling melempar tatapan muka penasaran.
Setelah mbak ajeng selesai make up, kami berjalan keluar kamar ku, dan menuju parkiran mobil. Mbak ajeng menunjukkan arah tempat kami akan bertemu dengan pak Sugeng, lumayan jauh dari tempat homestay ku.
Diperjalanan mbak ajeng bercerita tentang pekerjaannya, dan bertanya tanya tentang latar belakang ku, pacarku, dan pekerjaanku. Jalanan Jogja waktu itu sedang lengang, jadi tidak terlalu macet. Sampailah kami disebuah resto dekat dengan universitas yang sangat terkenal.
“itu Pak Sugeng, yang pakai polo hitam,” ucap mbak Ajeng.
Aku hanya mengangguk, dan berjalan menuju meja yang dipesan.
“wihh.. orang jakarta, kok beda ya mas, ku lihat di CV mu sama aslinya,” ucap pak Sugeng
“hahaha, itu kan phas photo pak, beda dong dengan aslinya.” Kami berjabat tangan.
“monggo, dipesan dulu, baru nanti kita perkenalan singkat.” Tambah Pak Sugeng.
Perawakan Pak Sugeng, tidak seperti bos pada biasanya, badannya tegap, kumisnya tipis, dan rambutnya dengan model pompadour. Mbak Ajeng dihadapan Pak Sugeng tampak jaim, dan lebih banyak diam, dibanding didalam mobil tadi.
“coba ceritakan sedikit gimana kerjaanya dijakarta.” Tanya pak Sugeng, “jangan terlalu tegang, mbak Ajeng tau kok saya orangnya santai, dan pada tempatnya.”
“baik pak, dijakarta, saya hanya membantu dan membimbing teman teman satu team saya, satu team saya ada 7 orang.” Ucap ku.
“tapi kata bu dian, progress mu dijakarta cukup cepat yah, gampang berbaur, dan cepat dalam mengerjakan kerjaan.” Pak Sugeng bertanya detail.
“hah? Masa sih pak, saya hanya sesuai SOP yang ada, kalau dibilang cepat ya berarti team saya yang hebat pak, saya kan hanya membantu mereka, harusnya bapak memuji mereka, bukan saya.”
“mas nya terlalu low profile ya pak Sugeng,” timpal mbak ajeng sambil mengigit sedotan.
“biasa mbak Ajeng, kalau baru jumpa ya seperti ini, malu malu kucing, ha.. ha... ha” pak Sugeng tertawa.
Tak lama kemudian makanan kami datang, dan kami langsung menyantapnya. Jamuan makan malam yang sederhana tapi cukup mewah dimataku, maklum aku belum pernah makan dengan direktur, sekaligus, komisaris.
Disela sela makan, kaki mbak ajeng tiba tiba bermain dikakiku, aku langsung terdiam, dan mencoba bertahan. Kulihat mbak ajeng hanya tersenyum kecil, “aduhh.. sabar.. sabar, si tole gak boleh bangun.”
Tiba tiba ponsel Pak Sugeng berbunyi, nampaknya dari istrinya, pak Sugeng berjalan menjauhi meja kami sambil menerima telpon masuknya.
“mbak inilohh.. sabar toh mbakk,” bisikku ke mbak ajeng.
“aku gregetan liat ekspresi sok cool mu,” timpal mbak ajeng tertawa genit.
Pak Sugeng kembali bergabung dengan kami, “biasa Ibu Negara, minta dijemput abis gym,”
“hebat dong pak, bisa gym, zumba jg kah?” tanya ku coba mengakrabi
“iya mas, nanti kapan – kapan, misalnya ada waktu senggang, aku perkenalkan. Mbak Ajeng, nanti diurus yah billingnya, dan masukkin ke pengeluaran kantor saja.” Perintah pak Sugeng, dan bergegas pergi “maaf saya duluan, saya kira bisa ngobrol banyak.”
“baik pak, terima kasih banyak atas waktunya.” Ucapku.
Pak Sugeng berjalan meninggalkan kami, dan kulihat jam tangan ku, ternyata baru setengah 9, dan makanan kami juga belum habis.
“nanti anterin aku ke tugu yah mbak,” pintaku
“siap mas, kita makan dulu yah, lumayan gratisan... hehehe..” mbak ajeng tersenyum nakal.
Sekitar 15 menit aku menunggu diluar, dan sudah 2 batang rokok yang terbakar, aku masuk kedalam kamarku. Aku lihat mbak ajeng hanya mengenakan handuk yang menutupi dada hingga sebagian pahanya, sambil bercermin.
“jangan lirik lirik, nanti kepengen” mbak ajeng tersenyum genit kepadaku.
“hehehe.. sebenarnya sih pengen mbak, cumaa..” aku berjalan menghampiri dia, dan kuusap punggungnya.
“Cuma apa?” tanya mbak ajeng
“aku masih belum pede mbak, nanti yah janji deh setelah ketemu pak Sugeng, biar aku gk kelihatan lemas.”
“bener yah.. awas nanti kalau bohong”
Aku mengangguk, aku cium lehernya, dan kuraih bibirnya, aku lumat bibirnya kami bermain lidah, “mbak seksi banget kalau pake handuk gini,” bisikku lirih. Mbak ajeng hanya tersenyum genit, seakan akan menjual mahal.
“pakai bajunya mbak, sudah setengah 7, gk enak nanti sama pak Sugeng,”
Mbak ajeng melanjutkan dandannya, dan aku kekamar mandi, membasuh mukaku agar segar kembali. Kami berdua telanjang badan seakan akan mempunyai hubungan, tanpa rasa cuek dan rasa malu. Kami hanya saling melempar tatapan muka penasaran.
Setelah mbak ajeng selesai make up, kami berjalan keluar kamar ku, dan menuju parkiran mobil. Mbak ajeng menunjukkan arah tempat kami akan bertemu dengan pak Sugeng, lumayan jauh dari tempat homestay ku.
Diperjalanan mbak ajeng bercerita tentang pekerjaannya, dan bertanya tanya tentang latar belakang ku, pacarku, dan pekerjaanku. Jalanan Jogja waktu itu sedang lengang, jadi tidak terlalu macet. Sampailah kami disebuah resto dekat dengan universitas yang sangat terkenal.
“itu Pak Sugeng, yang pakai polo hitam,” ucap mbak Ajeng.
Aku hanya mengangguk, dan berjalan menuju meja yang dipesan.
“wihh.. orang jakarta, kok beda ya mas, ku lihat di CV mu sama aslinya,” ucap pak Sugeng
“hahaha, itu kan phas photo pak, beda dong dengan aslinya.” Kami berjabat tangan.
“monggo, dipesan dulu, baru nanti kita perkenalan singkat.” Tambah Pak Sugeng.
Perawakan Pak Sugeng, tidak seperti bos pada biasanya, badannya tegap, kumisnya tipis, dan rambutnya dengan model pompadour. Mbak Ajeng dihadapan Pak Sugeng tampak jaim, dan lebih banyak diam, dibanding didalam mobil tadi.
“coba ceritakan sedikit gimana kerjaanya dijakarta.” Tanya pak Sugeng, “jangan terlalu tegang, mbak Ajeng tau kok saya orangnya santai, dan pada tempatnya.”
“baik pak, dijakarta, saya hanya membantu dan membimbing teman teman satu team saya, satu team saya ada 7 orang.” Ucap ku.
“tapi kata bu dian, progress mu dijakarta cukup cepat yah, gampang berbaur, dan cepat dalam mengerjakan kerjaan.” Pak Sugeng bertanya detail.
“hah? Masa sih pak, saya hanya sesuai SOP yang ada, kalau dibilang cepat ya berarti team saya yang hebat pak, saya kan hanya membantu mereka, harusnya bapak memuji mereka, bukan saya.”
“mas nya terlalu low profile ya pak Sugeng,” timpal mbak ajeng sambil mengigit sedotan.
“biasa mbak Ajeng, kalau baru jumpa ya seperti ini, malu malu kucing, ha.. ha... ha” pak Sugeng tertawa.
Tak lama kemudian makanan kami datang, dan kami langsung menyantapnya. Jamuan makan malam yang sederhana tapi cukup mewah dimataku, maklum aku belum pernah makan dengan direktur, sekaligus, komisaris.
Disela sela makan, kaki mbak ajeng tiba tiba bermain dikakiku, aku langsung terdiam, dan mencoba bertahan. Kulihat mbak ajeng hanya tersenyum kecil, “aduhh.. sabar.. sabar, si tole gak boleh bangun.”
Tiba tiba ponsel Pak Sugeng berbunyi, nampaknya dari istrinya, pak Sugeng berjalan menjauhi meja kami sambil menerima telpon masuknya.
“mbak inilohh.. sabar toh mbakk,” bisikku ke mbak ajeng.
“aku gregetan liat ekspresi sok cool mu,” timpal mbak ajeng tertawa genit.
Pak Sugeng kembali bergabung dengan kami, “biasa Ibu Negara, minta dijemput abis gym,”
“hebat dong pak, bisa gym, zumba jg kah?” tanya ku coba mengakrabi
“iya mas, nanti kapan – kapan, misalnya ada waktu senggang, aku perkenalkan. Mbak Ajeng, nanti diurus yah billingnya, dan masukkin ke pengeluaran kantor saja.” Perintah pak Sugeng, dan bergegas pergi “maaf saya duluan, saya kira bisa ngobrol banyak.”
“baik pak, terima kasih banyak atas waktunya.” Ucapku.
Pak Sugeng berjalan meninggalkan kami, dan kulihat jam tangan ku, ternyata baru setengah 9, dan makanan kami juga belum habis.
“nanti anterin aku ke tugu yah mbak,” pintaku
“siap mas, kita makan dulu yah, lumayan gratisan... hehehe..” mbak ajeng tersenyum nakal.