Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Bidadari Badung

Status
Please reply by conversation.

adagiotempo

Suka Semprot
Daftar
3 Dec 2020
Post
17
Like diterima
0
Bimabet
Permisi suhu dan momod di cerbung. Ini cerita pertama saya di sini. Seluruh cerita yang ada di sini adalah fiksi dan murni imajinasi penulis. Mohon bantuannya. Terima kasih.

Pics-Art-12-18-03-59-05.jpg

PART 1 - MAJIKAN BARU

Happy Reading


Suasana terminal bus di sebuah kota di Jawa Tengah pagi itu sudah ramai calon penumpang dan para pengantarnya. Riuh para awak angkutan yang berteriak mencari penumpangnya, pedagang yang menjajakan dagangan mereka, petugas yang sibuk menjalankan tugasnya masing - masing, sampai penumpang yang tergopoh - gopoh mengangkat barang mereka ke bagasi bus. Mereka harus menunjukkan tiket bus baru bisa naik ke dalam bus.

Hari itu aku akan pergi ke Jakarta, berpisah jauh dari keluarga di kampung. Aku harus ke Ibukota untuk kuliah, keluargaku memang bukan tergolong orang mampu dan kaya. Tapi Ibu dan Bapak memiliki beberapa warisan yang diantaranya dijual untuk membiayai masuk kuliah. Awalnya aku tidak mau melanjutkan kuliah. Lebih baik aku bekerja bekerja sebagai buruh pabrik kecil di desa. Tapi kedua orang tuaku bersikeras agar aku melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Kelak kedua orang tuaku berharap aku bisa mendapatkan pekerjaan dan gaji yang lebih besar dari buruh pabrik. Karena Bapak dan Ibu juga keras hati, aku pun juga ingin di Jakarta sambil bekerja. Setidaknya bisa membantu biaya pendidikan. Pekerjaan Bapak yang sebagai petani sayur dan buah juga terbilang musiman. Jadi hasil panennya sulit untuk ditentukan keberhasilannya.

Kebetulan PakDe-ku bekerja sebagai seorang supir kantor di sebuah perusahaan di Jakarta. Dia memberitahu bahwa majikannya membutuhkan ART untuk di rumahnya, karena ART lama keluar. Ibu langsung menyetujui dan meminta aku untuk menerima tawaran PakDe. Siapa tahu ada peluang bagus bekerja di kota dan aku bisa membiayai kuliah dan syukur - syukur sedikit mengirimkan uang untuk orang tua.

Di kampung, aku termasuk kembang desa. Kulitku putih mulus seputih susu, rambut terurai panjang sepunggung, bentuk tubuh yang langsing ideal, tinggiku 165 cm. Turunan dari Bapak yang tinggi dan gagah. Sedangkan wajah cantikku dari Ibu yang dulu juga kembang desa.

Panggilan pemberitahuan agar segera naik bus sudah diumumkan, aku bersiap meraih tasku berisi beberapa pakaian. Tidak banyak, paling tidak sampai lima belas potong pakaian. Toh, kerjanya di rumah nanti. Tidak perlu pakaian bagus.

"Chika pamit ya, Bu? Pak?" Aku mencium punggung tangan kedua orang tuaku. Adikku yang lelaki tidak mau aku pamitin. Dia ngambek karena aku pergi. Kami memang cukup dekat dan akrab, sering membantunya belajar. Sekarang dia harus kehilangan sosok kakaknya yang kukiah di kota.

"Hati - hati ya, Nduk? Jaga diri baik - baik di sana ya?" ucap Ibuku menunduk, menyembunyikan kesedihannya. Matanya berkaca - kaca.

"Iya, Bu," jawabku singkat. Lalu mengacak - acak dan mencium rambut adikku yang bersembunyi di belakang Bapak.

Aku sendiri terus menahan isak tangis. Tidak tega bersedih di hadapan mereka. Aku harus tegar dan kuat. Tekadku ke Ibukota membantu mereka. PakDe membantu membawakan tasku ke bus. Tanganku melambai sebagai tanda perpisahan. Dan tidak menoleh sampai aku menaiki bus. Saat aku di atas bus, aku hanya bisa memandangi punggung mereka berjalan pulang. PakDe menepuk bahuku agar tidak menangis, tapi terlanjur air mataku sudah menetes di balik tirai jendela. Tidak pernah aku bayangkan bagaimana hidup jauh dari orang tua di usiaku yang menjelang 19 tahun.

Aku menyandarkan kepalaku di jendela begitu bus mulai berjalan perlahan meninggalkan terminal. Air mata dan ingusku meleleh, terisak. Aku biarkan agar terasa lega. Tak lagi terhimpit dalam dada. Berat rasanya hidup terpisah. Baru beberapa menit saja sudah dikekang kerinduan. Aku belum pernah tinggal sendiri yang harus berjarak dari orang tua. Kali ini, aku yang bersikeras ikut PakDe ke Jakarta.

Sepanjang perjalanan aku memandangi panorama indah yang belum pernah aku lihat, bangunan - bangunan bagus, bahkan Mall yang belum pernah aku masuki selama hidup. Jangankan Mall, tempat paling bagus yang pernah aku masuki hanya balai desa. Saking udiknya dan tidak pernah pergi kemana - mana. Antara kagum dan bingung menikmati perjalanan ini. Bagaimana nanti aku menyesuaikan diri dengan kehidupan baru di rumah majikan? Aku tidak bisa membayangkannya. Ah sudahlah, aku lelah. Mataku sudah sembab. Aku lebih baik tidur.

°°°

Sore hari, mobil yang PakDe bilang sebagai taksi online, berhenti di depan sebuah rumah besar. Gerbangnya cukup tinggi dan rapat. Dari luar aku hanya bisa memandangi atapnya saja.

"Ini rumah tempat aku kerja, PakDe?" tanyaku penasaran.

"Iya. Yang betah nanti di sini. Orangnya baik - baik kok. PakDe kenal. Setiap pagi PakDe dateng ke sini jemput Pak Boss terus anter ke kantor."

Kata PakDe aku tidak perlu ngekost. Selain mahal, aku juga memang sama sekali polos dan buta soal Ibukota Jakarta. PakDe khawatir tentang pergaulanku. Kalau tinggal di rumah Boss-nya, ia dan istrinya mudah mengawasiku setiap hari.

"Ooh gitu."

PakDe tidak tinggal di rumah itu, ia tinggal bersama istrinya. Setiap hari pagi - pagi sekali sudah datang untuk mengantar semua majikannya. Ke kantor, sekolah, dan kampus. PakDe mengajak aku masuk. Kedatangannya sudah ditunggu seorang Ibu paruh baya yang kira - kira berusia 40an tahun. Masih cantik dan anggun sekali. Wajahnya ramah dan suaranya lembut. Ia mempersilahkan kami masuk dan duduk. Ibu itu memperkenalkan diri sebagai Bu Richard.

"Nama kamu siapa?"

"Yessica Tamara, Bu. Panggilannya Chika."

"Umur kamu?"

"Mau sembilan belas tahun, Bu."

"Kamu baru mulai kuliah?"

"Iya, Bu. Saya juga mohon izin kalau saya sudah mulai kuliah."

"Kapan mulai kuliahnya?"

"Sekitar dua minggu lagi."

"Buat saya tidak masalah. Asal pekerjaan kamu di rumah ini juga selesai dan tidak tertunda lalu akhirnya menumpuk. Saya tidak mau salah satu kewajiban kamu akhirnya menjadi beban tanggung jawab kamu."

"Saya siap, Bu."

Alis Bu Richard berkerut, "Di rumah sehari - hari?"

"Sambil kerja pabrik, Bu, sepulang sekolah," jawabku sambil menganggukkan kepala. Menunduk. Malu menatap matanya.

"Ooh, berarti pernah bekerja. Bisa mencuci, menyetrika, beres - beres rumah kan?"

"Bisa, Bu."

"Nanti kamu tinggal di sini. Kamar kamu di belakang. Kamu harus bangun pagi subuh, bantu saya menyiapkan sarapan. Setelah kami berangkat, kamu masih harus bersih - bersih rumah. Tidak setiap hari memang. Kamu bisa masak?"

"Bisa, Bu."

"Soalnya begini. Kami jarang masak, lebih sering memesan. Mungkin kamu lebih baik masak sendiri. Nanti saya kasih uang makan. Kecuali anak - anak saya minta dimasakkin. Kamu juga harus belajar memasak ini dan itu. Mengerti?"

"Mengerti, Bu."

"Gaji kamu empat juta satu bulan. Belum termasuk bonus kalau kerja kamu bagus. Kerja kamu memang bisa dibilang seharian, jadi kalau sudah selesai mengerjakan satu pekerjaan, istirahat. Baru lanjut. Kalau kamu betah, rajin, baik, sopan. Pasti kami naikkan."

"Terima kasih, Bu."

Empat juta? Angka penghasilan yang besar menurutku. Aku kaget mendengarnya. Mudah - mudahan saja aku bisa mengirim untuk Ibu di kampung. Belum pernah rasanya aku memegang uang sebanyak itu. Tangan ini paling besar memegang lima ratus ribu hasil kerja dari pabrik. Aku bersyukur bisa diterima kerja di sini.

"Pakaian kamu sehari - hari bebas. Mau pakai daster atau baju lain asal sopan. Kecuali saat ada pesta, tamu, acara keluarga besar. Kamu harus pakai baju maid ini." Bu Richard menunjukkan pakaian khusus yang aku baru tau. Warnanya hitam dan putih, ada bando juga, stocking warna putih, serta heels berhak pendek.

Bu Richard lalu mengantar aku berkeliling rumah, menunjukkan di mana kamar utama, garasi, kamar anak - anak Bu Richard di lantai atas, dapur kotor dan dapur bersih, diajarkan cara memakai mesin cuci, dan kamarku di belakang. Tempatnya sangat bersih dan nyaman. Ada televisi layar tipis dan kipas angin di dalam. Ada juga kolam renang besar dan taman kecil persis di depan kamarku. Juga ditunjukkan letak CCTV yang hanya ada di bagian depan rumah yang mengarah ke taman, halaman, dan gerbang. Di bagian belakang juga ada tempat menjemur pakaian. Kata Bu Richard, setiap pagi ada penjual sayur keliling. Ibu memberikan aku daftar belanjaan besok yang harus dibeli. Sudah dipesan katanya. Tinggal ambil dan bayar.

"Setelah ini kamu saya tinggal. PakDe kamu mengantar saya pergi. Di atas anak saya yang kedua sudah pulang kuliah. Tolong kamu ladeni jika dia butuh sesuatu."

"Iya, Bu. Mengerti."

"Anak saya yang pertama, perempuan. Belum pulang dari kuliah. Jadi hari ini kamu bisa istirahat dulu."

"Iya, Bu. Terima kasih."

Aku mencium tangan PakDe sebelum akhirnya ia mengantarkan Bu Richard pergi. Besok pagi aku akan bertemu PakDe lagi. Aku bergegas ke kamar berganti pakaian. Tidak betah memakai kemeja dan celana jeans. Aku menggantinya dengan daster. Sudah agak lusuh, begitu juga dengan pakaianku yang lain. Tak mengapa, masih nyaman dipakai dan tidak sobek. Karena benar - benar pengap, aku lepaskan celana dalam dan beha baru memakai daster. Terasa nyaman sekali rasanya di dalam. Semriwing.

Tugas pertamaku, berkeliling rumah. Mengecek kotoran, debu yang besok harus aku bersihkan. Aku melihat - lihat garasi dan keadaannya bersih juga. Tidak ada debu di sana. Wah, kerjaku pasti berat ini. Ada sebuah mobil di dalam situ, aku melirik tutup mobil. Tidak paham mobil apa itu. Yang aku liat ada bulatan biru dan putih empat buah.

Aku beralih ke ruang tamu, tempatnya mewah. Baru kali itu melihat layar tivi sebesar itu. Sampai geleng - geleng kepala. Dan banyak peralatan di bawahnya yang aku tidak mengerti. Ada dua speaker lebar, kalau di kampung bisa untuk hajatan. Hehehe. Aku ingin ke atas lagi, tapi tidak berani. Jadilah aku melipir ke dapur saja. Aku terkejut mendapati ada kompor, tapi tidak ada tatakan tungkunya. Rata, dan aku ketuk seperti kaca. Baru liat aku kompor semacam ini. Bagaimana cara menyalakannya? Dasar ndeso.

"Kamu siapa?"

Aku menoleh. Terperangah. Ada cowok menegurku. Dia memakai kacamata. Tidak terlalu tinggi, sepundakku. Wajahnya ganteng, kulitnya putih bersih. Matanya mendelik waktu melihatku.

°°°

Tbc​
 
Terakhir diubah:
Bakal dipindahin kesini semua huu ? Apa cuman ini doang ?

Oia, akhirnya setelah malang melintang di sebelah. Akhirnya bisa bikin disini 🙇‍♂️🙏
 
Mantap ni ada yang bermigrasi dari kampung sebelah hehe
 
mantab bisa baca cerita kaya gini dari awal, biasanya dah page berapa baru baca :D
 
Penasaran nih ya semoga normal ya ceritanya, soalnya d sebelah sama yg danso bikin bingung wkwk jd tidak tertarik
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd