Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Copas + Remake) Serial Pendekar Rajawali Sakti Episode 3

Status
Please reply by conversation.

septyarachmawati

Semprot Lover
Daftar
26 Jul 2019
Post
237
Like diterima
139
Bimabet
Cerita ini adalah kelanjutan dari Cerita Serial Pendekar Rajawali Sakti Episode 1 & 2, pantengin terus ya petualangan Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti. Terima kasih atas Perhatiannya. Salam santun dan hormat sekali lagi untuk seluruh penghuni Forum Semprot.

Septya Rachmawati.


(Copas + Remake)

Serial Pendekar Rajawali Sakti

Episode 3

Sepasang Walet Merah

Daftar cerita dan index, silahkan scrol ke bawah.

INDEX :

Update 1 : Page 2



“Hup…, Yeaaa…,”

“Hap…, haiittt…,”

Tap…, Tap…, Tap…,

Wuussshhhh…,

Weessshhhh…,


“Kau tidak akan mampu mengejarku Kakang Jaka..” teriak seorang bocah wanita berusia sepuluh tahun dengan suara lantang.

“Siapa bilang, awas saja kalau sampai kau tertangkap olehku Adik Wulan. Aku cium pipimu habis-habisan.” balas bocah laki-laki berusia dua belas tahun dengan suara yang keras pula.

“Hu, enak saja. Siapa juga yang mau di cium olehmu.” ucap bocah wanita itu sambil menoleh ke belakang, lalu mencibir dan menjulurkan lidahnya pada bocah lelaki yang mengejarnya di belakang.

“Hahaha…, ngeledek ya. Awas saja kalau sampai kau tertangkap nanti.” kata bocah lelaki di belakangnya dengan suara keras dan lantang.

Tubuhnya yang kecil itu terlihat bergerak lincah, ke dua kakinya juga tampak mantap berlompatan dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Sedangkan di hadapannya, bocah wanita yang sedang dia kejar juga terlihat lincah dan gesit. Berlompatan dengan gesitnya juga, meski pun ke dua anak manusia itu masih bocah. Namun ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki, tidak bisa di pandang sebelah mata. Ke dua bocah itu terus berlari cepat, dan saling berkejaran satu sama lain. Sampai beberapa saat kemudian, tubuh ke duanya terlihat sama-sama melenting tinggi ke udara. Lalu dengan lincah berputaran beberapa saat lamanya di udara, sebelum akhirnya ke duanya kembali mendarat di tanah dengan sempurna. Dalam posisi saling berhadapan satu sama lain. Yang wanita terlihat mengambil sebuah pedang kayu, yang berada di punggungnya. Sedangkan yang lelaki juga tak kalah sigapnya, begitu melihat bocah wanita itu menggenggam sebilah pedang yang terbuat dari kayu, dia pun segera mengambil pedangnya yang sama-sama terbuat dari kayu juga.

“Bersiaplah Adik Wulan, hari ini tidak akan ku biarkan kau menang.” kata bocah laki-laki itu lantang.

“Buktikan saja kalau kau memang bisa mengalahkanku Kakang Jaka.” jawab bocah gadis itu dengan lantangnya pula.

“Tahan seranganku Adik Wulan.”

“Hiyaattt…,”

“Haiittt…,”

Hanya dalam hitungan detik saja, ke dua bocah itu sudah saling menerjang, dan menyerang satu sama lain. Meski pun pedang yang mereka gunakan bukanlah pedang sungguhan, namun permainan jurus pedang yang mereka perlihatkan tak bisa di anggap remeh. Setiap sabetan dan tebasan yang di lancarkan ke duanya, menimbulkan hawa angin yang menderu-deru dan terasa panas menyengat kulit. Ke duanya saling menyabet, saling menebas, dan saling membabat dengan nafsu yang menggebu-gebu.

Traakkk…, Traakkk…,

“Hup…,”

“Hiyaattt..,”

“Hap…,”

“Haiittt…,”

Benturan demi benturan dari pedang kayu yang mereka gunakan, terus terdengar ramai memenuhi tempat itu. Seiring dengan terlihatnya dua tubuh kecil mungil, yang juga bergerak lincah memainkan jurus-jurus ilmu pedang tingkat tinggi. Entah sudah berapa jurus yang berlalu, namun sejauh ini belum ada satu orang pun di antara mereka yang kelihatan terdesak. Sampai akhirnya, tubuh ke dua bocah kecil itu terlihat sama-sama melenting tinggi ke udara. Serta berputar beberapa saat di udara, sebelum akhirnya tubuh mereka pun kembali mendarat dengan sempurna di tanah.

“Hup…,”

Tap…,

“Hap…,”

Tap…,

Dan tepat di saat ke dua tubuh bocah kecil itu telah mendarat sempurna, masa lalu pun selesai. Back to scene berpindah ke masa yang sekarang. Bocah kecil wanita itu kini telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja, berusia tujuh belas tahun. Parasnya yang ayu, demikian manis, di tunjang oleh kulitnya yang berwarna hitam manis. Mempunyai bentuk tubuh semampai dengan lekukan pinggul yang padat berisi, namun bongkahan pantatnya tidak begitu besar. Gadis itu bernama Wulandari, atau lebih di kenal dengan panggilan Wulan. Sedangkan bocah yang lelaki juga kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda gagah dan tampan, berkulit sawo matang. Berusia sekitar Sembilan belas tahun, dan mempunyai nama Jaka Kelana. Atau biasa di panggil dengan sebutan Jaka. Sepasang anak muda itu tinggal dan menetap di sebuah Bukit, yang bernama Bukit Batok. Dan di kalangan Rimba Persilatan, ke duanya di kenal dengan julukan Sepasang Walet Merah. Ke dua insan berlainan jenis, yang kini telah beranjak dewasa itu terlihat saling berpandangan sebentar. Sampai akhirnya, terlihat Jaka Kelana tersenyum manis. Sambil melangkah pelan, menghampiri Wulandari yang terlihat melemparkan senyum manis juga kepada pemuda di hadapannya itu.

“Semakin hari ilmu pedangmu semakin kian hebat saja Adik Wulan, bahkan jurus-jurusmu juga semakin bertambah maju begitu pesat. Aku benar-benar kagum padamu.” kata pemuda itu bernada bangga.

“Ah, Kakang terlalu berlebihan kalau memuji. Bukankah semua ini juga berkat bimbingan Kakang.” sahut gadis cantik itu, dengan ke dua pipi yang mulai terlihat menyemburat merah.

“Iya, tapi aku kan hanya membimbing saja. Selebihnya kau sendirilah yang membuat ilmu-ilmu gabungan kita menjadi mantap.” jelas pemuda itu, sambil memandang wajah Wulandari lekat-lekat.

“Sudah ah, aku mau mandi. Badanku rasanya lengket semua setelah berlatih tadi.” sahut Wulandari cepat.

“Loh, aku kan belum selesai bicara Adik Wulan…, Adik Wulan…,” panggil Jaka Kelana berteriak-teriak dengan suara kencang.

Namun gadis manis yang di panggilnya itu, seolah tak perduli dan pura-pura tuli. Ke dua kakinya yang terayun itu pun, terus melangkah pelan menuju ke sungai yang letaknya tidak jauh dari tempat itu. Hingga akhirnya, lambat laun tubuh gadis itu pun telah lenyap dari pandangan pemuda itu. Sedangkan Jaka Kelana hanya bisa menelan ludah, melihat lenggokan pinggul gadis itu. Jauh di dalam lubuk hatinya, pemuda itu sesungguhnya mempunyai perasaan terhadap diri Wulan. Namun sayangnya tidak berani mengungkapkan, walau pun dari kecil hingga dewasa mereka selalu bersama-sama. Namun hubungan ke duanya tak lebih dari sekedar teman saja. Jaka sendiri merasa takut akan penolakan gadis itu, itu sebabnya dia lebih memilih untuk memendam perasaannya saja. Dan lebih memilih menganggap adik terhadap diri gadis itu.

***

Sementara Wulandari yang saat itu telah sampai di sungai, kini terlihat mulai meloloskan pakaiannya satu persatu dan langsung mencelupkan diri masuk ke dalam sungai. Sebelah tangan kanannya yang terulur ke depan, terlihat mengambil sebuah batu cadas yang berukuran sebesar kepalan tangan manusia. Lalu dengan lembut dan telaten, dia gosok-gosokkan batu itu ke tubuhnya. Mulai dari bagian lengan, kemudian merambat naik ke ketiaknya yang mulus tanpa bulu. Bagian membusung yang bentuknya masih kecil dan mungil, namun terlihat mancung indah di pandang mata. Dan di bagian puncaknya, di hiasi oleh lingkaran yang berwarna merah jambu dengan bentuk putting yang juga terlihat masih kecil dan mungil. Sementara di antara ke dua pahanya yang gempal dan padat, yang terletak tepat di bawah pusarnya. Sebuah belahan daging mungil yang tidak di tumbuhi oleh sehelai rambut pun alias botak, tak luput pula dari jamahan tangannya. Dia gosok-gosok dan di bersihkannya area intimnya yang masih suci itu, dengan telaten pula. Bahkan sesekali bibirnya yang ranum dan menggairahkan itu terlihat mendesis-desis, bagaikan orang kepedasan saja layaknya. Saat salah satu jemarinya tak sengaja mencolek daging kecil dan mungil, yang letaknya berada tepat di tengah-tengah belahan daging mungil di bawah pusarnya itu. Rasa nikmat yang di rasakan gadis itu saat klitorisnya kena toel tadi, tanpa sadar membuat dirinya mulai masturbasi sesaat.

“Wulan…,?” panggil suara Jaka dari arah kejauhan.

“Iya…,” sahut gadis itu tersentak kaget, lalu menghentikan kegiatan masturbasinya dengan cepat.

Dirinya merasa khawatir, kalau sampai pemuda berkulit sawo matang itu tiba-tiba muncul di hadapannya. Karena saat itu kondisinya juga masih dalam keadaan telanjang bulat, tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Gadis itu hanya terlihat menoleh pelan, dalam posisi tubuhnya berada dalam air sungai hingga sebatas leher. Saat mendengar namanya di panggil oleh Jaka.

“Mandinya sudah apa belum?, lama amat sih.” kata suara Jaka lagi dari arah kejauhan.

“Sebentar lagi Kakang, airnya enak banget nih sejuk dan segar.” sahut Wulandari lagi dengan suara keras.

“Ya sudah, aku mau berburu Rusa dulu buat kita makan malam nanti.” Kata suara Jaka kembali terdengar dari arah kejauhan.

“Iya, hati-hati Kakang. Nanti aku menyusul.” sahut gadis itu dengan suara keras.

Lalu dia pun kembali asyik berendam, sambil melanjutkan masturbasinya yang tadi sempat tertunda itu.

***

Hari demi hari pun mereka lalui berdua, bulan pun terus berganti bulan. Sampai akhirnya ke dua insan yang berlainan jenis itu, kian semakin dekat saja layaknya sepasang suami istri. Setiap hari mereka begitu giat berlatih ilmu olah kanuragan yang di turunkan oleh mendiang Gurunya, tak perduli siang atau pun malam. Namun sejauh ini, hubungan ke duanya tak lebih dari sekedar hubungan kakak beradik. Karena sampai saat ini, Jaka Kelana masih tetap setia memendam perasaannya terhadap diri gadis itu. Wulandari juga demikian, namun tanpa di ketahui oleh pemuda itu. Sebenarnya gadis itu juga diam-diam telah jatuh hati terhadap Jaka, hanya saja nalurinya sebagai seorang wanita merasa malu untuk mengungkapkan perasaannya. Apa lagi dia juga tahu jika pemuda yang di cintainya itu, hanya menganggap dirinya sebagai seorang adik saja. Makanya dia sendiri lebih memilih untuk menunggu saja, menunggu entah kapan pemuda itu berani mengungkap isi hatinya sendiri. Sehari-hari ke duanya terus saja berlatih tekun mengikuti petunjuk yang tertulis dalam Kitab peninggalan mendiang Gurunya. Dan jika ada waktu yang luang, mereka habiskan untuk mengobrol satu sama lain. Mereka berdua seperti sulit untuk menolak timbulnya perasaan simpati, yang berkembang menjadi perasaan cinta satu sama lain. Meski pun sampai saat ini belum pernah ada yang berani mengungkapkannya secara terus terang, baik dari diri Jaka atau pun Wulan. Begitulah kehidupan sehari-hari Sepasang Walet Merah di Bukit Batok, sampai akhirnya terjadilah sebuah peristiwa. Peristiwa yang membuat tempat mereka selalu di datangi oleh para pendekar, baik dari golongan hitam mau pun putih.

***

Seperti halnya yang terjadi pada malam itu, pada saat Jaka dan Wulan seperti biasa tengah giat berlatih, tubuh ke dua insan yang berlainan jenis itu terlihat saling menyambar-nyambar di bawah siraman cahaya rembulan malam. Binatang-binatang malam yang mulai menembang dengan suara-suara mereka yang merdu memenuhi hutan itu juga, saling tumpang tindih dengan suara-suara teriakan, yang di sertai dengan suara denting senjata yang beradu. Yang malam itu memenuhi sebuah bukit batu yang berdiri gagah menyerupai sebuah batok kelapa yang terbelah itu.

“Hiyaattt…,”

“Haiittt…,”

Trang…, Trang…,

Denting suara senjata yang tengah saling beradu itu, semakin sering terdengar. Di hiasi dengan pijaran-pijaran bunga api yang juga terlihat mulai berpencaran ke segala penjuru arah. Tiba-tiba dua orang yang saling mengadu senjata itu terlihat melompat ke belakang sejauh dua tombak, bersamaan dengan terdengarnya suara tawa terbahak-bahak yang menggema dari segala penjuru arah mata angin.

“Hahaha…,”

“Hup…,”

“Hap…,”

“Kita hentikan dulu latihan kita Kakang Jaka, rupanya ada tamu kurang ajar yang berani datang lagi malam ini.” kata Wulandari sambil melompat mundur tiga tombak ke belakang.

Gadis yang mempunyai bentuk tubuh kecil ramping, juga mempunyai warna kulit hitam manis. Dan mengenakan pakaian ketat yang berwarna serba merah itu terlihat menatap lurus ke depan. Sementara pemuda yang di ajak bicara olehnya, yang juga sama-sama mengenakan pakaian berwarna serba merah. Kini terlihat tampak mulai melangkah perlahan-lahan ke depan. Wajahnya yang muda itu terlihat berkeringat, namun sinar matanya yang tajam terlihat menyorot lurus ke depan mengikuti arah pandangan gadis cantik yang kini telah berdiri di sampingnya.

“Hm, pasti orang itu punya maksud yang sama dengan tamu-tamu yang lain yang juga pernah datang ke sini. Bersiaplah Adik Wulan.” sahut pemuda yang di panggil Jaka itu, dengan suara pelan.

“Hahaha…,”

Suara tawa itu pun kembali terdengar menggelegar, sementara ke dua muda-mudi itu kini sudah berdiri saling berdampingan satu sama lain. Dengan senjata tombak pendek bermata dua, menyilang di depan dada mereka. Semakin lama suara tawa itu semakin memekakkan gendang telinga. Angin pun mendadak bergemuruh dengan kerasnya, di sertai batu-batu kerikil yang juga terlihat mulai saling berlompatan satu sama lain. Jelas sekali kalau suara tawa itu di barengi dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi. Namun rupanya dua insan yang berlainan jenis itu, sama sekali tidak merasa gentar dengan terdengarnya suara tawa misterius itu. Mereka juga bahkan seperti tidak terpengaruh sama sekali, dan tetap berdiri tegak dengan sepasang mata yang sama-sama saling menatap lurus ke depan.

“Aji Tapak Geni…,” tiba-tiba Jaka berteriak lantang dan keras.

Dengan kompak dan cepat ke dua insan yang berlainan jenis itu, terlihat saling mendorong tangan kanan masing-masing ke arah depan, dan seketika itu juga dari telapak tangan kanan Jaka dan Wulan. Yang tengah terbuka membentuk tapak itu, tampak meluncur deras seberkas sinar berwarna merah yang kemudian langsung menghantam sebongkah batu besar yang berada tidak jauh dari hadapan mereka.

Wuussshhhh…,

Blar…,

Batu sebesar rumah itu pun seketika langsung hancur berkeping-keping, hingga menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat. Dan pada saat yang bersamaan, terlihat melesat pula sebuah bayangan hitam dari bongkahan batu yang hancur itu. Debu pun mulai mengepul pekat, hingga menghalangi sinar rembulan yang bersinar menembus permukaan bumi. Bayangan hitam itu terlihat berputar beberapa kali di udara, sebelum akhirnya mendarat manis di tanah yang berumput tebal. Jaka dan Wulan pun kini sudah menarik tangan kanannya kembali, mereka berdua masih berdiri tegak dengan sepasang mata tajam memandang tubuh hitam yang kini telah berdiri sekitar sepuluh langkah di hadapan ke duanya.

“Huh, sudah ku duga pasti Si Gila Jubah Hitam itu lagi yang datang.” gumam Jaka begitu mengenali sosok tubuh itu.

Orang yang di sebut Si Gila Jubah Hitam, adalah salah satu tokoh sakti yang tidak jelas golongannya, tingkahnya yang mirip orang gila sering membuat bingung tokoh-tokoh rimba persilatan, baik dari gotongan hitam mau pun putih.

“Hehehe…, tidak percuma bertahun-tahun lamanya kalian mengurung diri di Bukit Batok Sepasang Walet Merah, kesaktian kalian semakin bertambah hebat saja.” ucap si Gila Jubah Hitam sambil terkekeh dan menggaruk-garuk rambutnya yang panjang dan kusut.

Kalau di lihat dari wajah, pakaian, dan tubuhnya. Orang-orang pasti akan menyangka si Gila Jubah Hitam itu seorang kakek-kakek. Padahal lelaki itu masih berusia tiga puluh tahun. Hanya saja karena tidak pernah mengurus diri, jadi kelihatan seperti berumur tujuh puluhan.

“Mau apa lagi kau datang ke sini orang tua?" tanya Jaka sambil matanya tetap tajam menatap lelaki di hadapannya itu.

“Hanya ingin mengunjungi kalian, kenapa memangnya?. Tidak boleh ya?” kata lelaki itu sambil tersenyum sesaat.

Jaka pun langsung memandang sebentar pada Wulandari yang terlihat berdiri di sampingnya. Memang sulit di duga niat dan keinginan orang itu, karena dalam sekejap saja sikapnya bisa langsung berubah. Pemuda berkulit sawo matang itu lalu kembali mengalihkan pandangan pada laki-laki aneh yang kini telah duduk di atas rerumputan. Dari kantung kulit yang selalu di bawanya di pinggang, dia terlihat mengeluarkan seguci arak.

“Kalian punya makanan apa tidak?" tiba-tiba si Gila Jubah Hitam bertanya pelan, sikapnya pun terlihat acuh seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal mereka tadi sempat mengadu ilmu, meskipun hanya lewat suara tawa saja.

“Dasar orang sableng, mana ada makanan di hutan begini?.” ucap Wulan cepat, gadis itu jadi geli juga mendengarnya. Rasa tegang yang tadi sempat menyelimuti dadanya pun kini berangsur-angsur mulai berkurang.

“Lho, lalu selama bertahun-tahun kalian tinggal di sini. Kalian makan apa?.” tanya lelaki itu lagi seperti kebingungan, sambil kembali menggaruk-garuk kepalanya.

“Apa saja, yang penting bisa dimakan.” sahut Wulan lagi cepat.

“Iya, tapi apa?.”

Sekelebatan gadis itu tak sengaja melihat seekor Rusa yang kemalaman di jalan, tak menunggu waktu lama dengan cepatnya tangannya bergerak bagaikan kilat. Lalu seberkas cahaya keperakan pun meluncur deras. Tak pelak lagi, rusa gemuk itu pun langsung terjungkal dan mati seketika. Jaka yang melihat hal itu langsung tersenyum manis, pemuda itu merasa bangga akan ketangkasan adik angkatnya itu dalam melempar bintang perak yang menjadi senjata rahasia mereka berdua itu.

“Itu.” sahut gadis itu sambil menunjuk pada Rusa yang mati dengan leher tertembus bintang bersegi delapan yang terbuat dari perak.

“Hehehe…, benar-benar gadis yang menakutkan.” ucap si Gila Jubah Hitam sambil kembali terkekeh-kekeh, lalu berdiri perlahan-lahan.

Wulan yang melihat hal itu hampir saja tertawa di buatnya, tingkah lelaki itu benar-benar seperti anak kecil yang mendapat mainan saja layaknya. Berjingkrak-jingkrak kegirangan, sambil melangkah menghampiri seekor Rusa yang tergeletak tak bernyawa itu. Lalu menari-nari dan bernyanyi-nyanyi tidak karuan, bahkan tiba-tiba si Gila itu juga langsung saja mengangkat Rusa gemuk itu bagaikan mengangkat sekantung kapas. Kemudian kembali melangkah pelan ke tempatnya semula, seraya menjatuhkan Rusa tersebut di hadapan Jaka dan Wulan. Lalu kembali duduk dan meminum arak langsung dari guci. Dengan lengan bajunya sendiri, di sekanya mulutnya yang kini terlihat basah oleh arak itu. Dengan sebelah tangannya, di cabutnya bintang bersegi delapan yang menancap di leher Rusa itu, lalu dengan cepat dia lemparkan kembali pada gadis yang berdiri di samping pemuda berkulit sawo matang itu. Wulan pun dengan tangkas dan gesit langsung menangkap senjata rahasia miliknya itu, dan langsung kembali memasukkannya kembali ke dalam kantung yang tersembunyi di balik bajunya. Setelah sebelumnya dia bersihkan dulu dari noda darah.

“Aku akan merasa senang sekali jika Rusa ini di masak oleh gadis cantik yang baik hati.” kata lelaki itu sambil sepasang matanya menatap wajah Wulan.

Wulan yang mendengar itu pun langsung memandang ke arah Jaka, kakak angkatnya itu hanya terlihat tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. Pemuda itu memang sudah faham betul tabiat orang aneh itu, dia akan selalu baik kalau ada yang membuatnya baik lebih dulu. Wulan pun langsung menghampiri laki-laki aneh itu, lalu dia keluarkan sebilah pisau dari lipatan bajunya. Kini Rusa malang itu pun mulai di kulitinya perlahan-lahan. Sementara Jaka sendiri mulai terlihat sibuk mengumpulkan ranting dan membuat api. Hingga sebentar saja Rusa itu telah terpanggang mantap di atas sebuah api unggun yang besar.

“Hehehe…,” si Gila Jubah Hitam kembali terkekeh senang.

Perutnya mendadak lapar sekali, karena mencium bau harum daging panggang. Laki-laki aneh itu langsung menggeser duduknya mendekati Rusa panggang yang masih berada di atas api itu. Hidungnya terlihat kembang kempis mencium bau harum yang lezat dan menggiurkan itu. Tangannya terlihat menjulur hendak mencuil daging rusa, tapi sebelum sampai Wulan telah terlebih dulu menepisnya.

“Nanti dulu, ini belum matang tau.” rungut gadis itu, persis seorang ibu pada anaknya.

“Haduuhhh…, aku sudah lapar, masa tidak boleh mencicipi sedikit saja.” rengek lelaki aneh itu dengan raut wajah kecewa.

“Iya tapi nanti, ini kan belum matang. Nanti kita pesta sama-sama, ya?” kata gadis itu lagi sambil tersenyum manis.

“Pesta?, kau bilang kita akan pesta?.” mata si Gila Jubah Hitam seketika terlihat berbinar-binar.

“Iya nanti kita pesta.” kata Wulan lagi sambil tersenyum geli.

“Wah wah wah, nasibku memang sedang mujur sekali malam ini. Datang membuat ribut, malah di tawari pesta. Maafkan soal tadi ya cantik.” lelaki itu mendadak terlihat murung wajahnya.

“Sudahlah, yang penting malam ini kita akan pesta dan gembira.” kata Jaka ikut menimpali.

“Hehehe…, kalian berdua memang orang baik.” kata lelaki aneh itu sambil terkekeh lagi.

Sementara Wulan yang mendengar kata-kata itu, hanya terlihat tersenyum saja, namun sebelah matanya yang lentik dan indah itu terlihat mengerling genit pada kakak angkatnya. Jaka yang cepat memahami arti kerlingan itu, dengan cepat segera bangkit dan beranjak pergi dari situ. Pemuda itu melangkah pelan-pelan menjauhi Wulan dan si Gila Jubah Hitam.

“Mau ke mana dia?.” tanya si Gila Jubah Hitam bingung.

“Mengambil arak sebentar.” sahut gadis itu sambil terus membolik-balik rusa panggangnya.

“Arak?, wah wah wah. Jadi kita benar-benar akan pesta malam ini. Cihuy…,”

Wulan hanya mengangguk dan kembali tersenyum manis, sedangkan si Gila Jubah Hitam kini malah kembali berjingkrak-jingkrak kegirangan. Mulutnya juga tidak henti-hentinya bernyanyi lagu yang tak jelas. Gadis itu pun langsung meledak tawanya, begitu melihat tingkah lucu lelaki aneh itu. Sementara Jaka juga terlihat telah kembali dengan lima guci arak di pelukan tangannya. Si Gila Jubah Hitam pun makin gembira saja melihatnya. Apalagi saat di lihatnya pemuda itu juga membawa gelas perak indah sebagai pelengkap pesta mereka.

***

Si Gila Jubah Hitam kini terlihat tengah duduk-duduk bersandar di sebuah pohon besar. Sedangkan perutnya yang tampak kekenyangan itu, dia biarkan terbuka tak tertutup jubahnya. Sementara Jaka dan Wulan yang juga tengah duduk tidak jauh dari lelaki itu, sejak tadi hanya terlihat tersenyum-senyum saja melihat tingkah polah lelaki aneh itu yang selalu memancing gelak tawa. Nafsu makan si Gila Jubah Hitam itu juga amat luar biasa, karena setengah badan dari Rusa gemuk Itu dia habiskan sendiri. Sedangkan Wulan dan Jaka saja hanya makan sekedarnya saja. Bahkan mereka berdua seolah sengaja berlambat-lambat, untuk mengimbangi cara makan laki-laki aneh itu.

“Sudah berapa banyak para pendekar yang datang ke sini?.” tanya lelaki aneh itu memecah keheningan malam, nada suaranya terdengar seperti orang bergumam.

“Maksudmu?” kata Jaka bertanya balik, sambil memandang wajah gadis di sampingnya sesaat.

“Aku yakin kalau aku bukan orang pertama yang datang ke Bukit Batok ini.” gumam si Gila Jubah Hitam tidak menghiraukan pertanyaan Jaka.

“Memang bukan, aku dan adikku ini sudah sepuluh tahun tinggal di sini.” sahut Jaka seenaknya.

“Bukan kalian, tapi yang lain.” sela lelaki aneh itu dengan suara keras.

“Oh…, maksudmu orang-orang yang…,” ucap Jaka tidak melanjutkan kata-katanya.

“Iya, mereka yang pada gila pusaka.” sambung si Gila Jubah Hitam sambil membenahi letak bajunya.

“Aku juga tidak habis pikir, kenapa mereka mengira kami yang menyimpan benda pusaka itu.” kata Wulan seperti sedang mengeluh.

“Jadi kalian benar-benar tidak menyimpannya?” tanya lelaki aneh itu dengan raut wajah kebingungan.

“Jangankan menyimpannya, melihat bentuknya juga kami belum pernah. Bahkan mendengar namanya saja baru kali ini.” sahut Jaka ikut menimpali.

Sedangkan si Gila Jubah Hitam kini malah terlihat menatap wajah Wulan dengan pandangan tajam. Wulan yang mengetahui hal itu pun langsung membalas menatap, dengan raut wajah seperti orang kesal.

“Kau pasti tidak percaya pada kami.” dengus gadis berkulit hitam manis itu dengan perasaan agak Jengkel.

“Entahlah, yang jelas aku tidak perduli dengan benda pusaka semacam itu.” sahut si Gila Jubah Hitam pelan.

“lalu buat apa kau datang ke sini?.” tanya Jaka dengan raut wajah bingung.

Lelaki aneh itu tidak segera menjawab, hanya kepalanya yang terlihat terdongak menengadah ke atas. Ada kemurungan yang terpancar dari sinar matanya yang cekung itu. Desah nafasnya juga terdengar berat, lalu perlahan-lahan kepalanya tertunduk layu. Seperti sedang mengenang sesuatu, sehingga wajahnya mulai kelihatan murung. Ke dua anak muda itu pun saling berpandangan dengan raut wajah bingung, mereka benar-benar tidak mengerti dengan perubahan yang tiba-tiba itu. Beberapa saat lamanya ke tiga orang itu hanya terlihat berdiam diri saja, sampai akhirnya terlihat Jaka mulai kembali mengalihkan pandangannya pada wajah laki-laki aneh itu. Wulan juga mengarahkan pandangannya ke sana. Sedangkan si Gila Jubah Hitam masih terlihat tertunduk diam.

“Ada apa? Apa ada sesuatu hal yang menyulitkanmu?.” tanya Wulan lembut dan pelan.

Lelaki aneh itu pun kembali mendesah berat, namun perlahan-lahan kepalanya mulai terangkat pelan. Sepasang matanya pun langsung tertumbuk pada wajah Wulan. Gadis itu langsung tersentak kaget, saat melihat butir-butir air bening. Yang mulai terlihat menetes dari sudut mata laki-laki aneh dihadapannya itu. Wulan pun mulai menggeser duduknya lebih dekat pada laki-laki aneh itu.

“Kok menangis? kenapa?. Apa yang membuatmu sedih?.” tanya gadis itu lagi pelan dan lembut.

“Oh, ah. Tidak..., tidak.” sahut si Gila Jubah Hitam gugup, dengan cepat di sekanya air matanya itu dengan lengan bajunya.

“Aku menangkap kesedihan di wajahmu, dan kalau kau percaya pada kami. Ungkapkanlah semua beban hatimu, barangkali saja kami bisa membantu mengatasi kesedihanmu itu.” Ucap Wulan lagi dengan lebih lembut.

“Aku tidak yakin kalian akan menemukan…,?” si Gila Jubah Hitam tidak melanjutkan ucapannya yang terdengar parau itu.

Wulan dan Jaka pun kembali saling berpandangan satu sama lain, mereka berdua benar-benar tidak mengerti maksudnya. Lalu ke duanya juga mulai segera menggeser duduknya agar lebih dekat lagi dengan lelaki aneh itu.

“Kalau kau bersedia mengatakannya, kami berjanji akan membantu Kesulitanmu.” ucap Jaka seraya meletakkan tangan kanannya ke punggung laki-laki itu.

“Persoalan yang kalian hadapi sekarang ini lebih berat dari pada persoalanku, dan aku tidak ingin menambah beban buat kalian lagi. Karena dengan begitu, dosaku akan semakin besar dan menumpuk.” lirih suara laki-laki aneh itu.

“Kami tidak punya persoalan apa-apa, kami berdua mengasingkan diri ke Bukit Batok ini karena ingin memperdalam ilmu-ilmu silat yang kami miliki.” kata Wulan meyakinkan.

“Jangan bohongi diri kalian sendiri, apa kalian tidak sadar, jika saat ini kalian berdua tengah berhadapan dengan tokoh-tokoh rimba persilatan yang gila benda pusaka. Mereka menyangka kalianlah yang menyimpan benda itu. Atau paling tidak mengetahui di mana letak penyimpanannya.” ucap si Gila Jubah Hitam cepat.

Kembali sepasang anak muda itu saling berpandangan satu sama lain, memang dalam beberapa hari ini sudah empat orang yang datang mencari benda pusaka Cupu Manik Tunjung Biru. Namun ke empat orang yang
hanya memiliki kepandaian tanggung itu, tentu saja harus rela melepaskan nyawa mereka di tangan sepasang anak muda yang berjuluk Sepasang Walet Merah itu. Dan kemunculan si Gila Jubah Hitam di tempat itu juga memang sedikit menambah persoalan baru bagi Sepasang Walet Merah. Entah ada hubungannya dengan Cupu Manik Tunjung Biru ataukah tidak, tetapi yang jelas saat ini tokoh-tokoh rimba persilatan tengah geger ingin mendapatkan benda pusaka itu. Tidak jelas sumbernya dari mulut siapa, namun kini Sepasang Walet Merah memang tengah menjadi sasaran buruan. Tokoh-tokoh rimba persilatan. Mereka semua menduga sepasang anak muda itulah yang paling tahu tentang benda pusaka itu. Padahal yang menjadi buruan itu, tidak tahu sama sekali tentang benda pusaka tersebut. Entah kenapa orang-orang menyangka kalau Sepasang Walet Merah itulah yang menyimpannya?.

“Dari mana kau dengar kabar bohong itu?.” tanya Jaka.

“Semua orang rimba persilatan sudah pada tahu, dan mereka pasti akan mengatakan kalau mereka tahu sendiri soal benda pusaka itu.” sahut lelaki aneh itu.

“Dan kau juga akan mengatakan seperti itu?, juga menyangka kalau kami berdualah yang menyimpan benda yang kami sendiri tidak pernah tahu sama sekali?. Iya?.” desak Jaka agak sewot juga.

“Hehehe…,” tiba-tiba si Gila Jubah Hitam pun kumat lagi edannya.

“Mereka semua mengatakan aku gila, padahal siapa sebenarnya yang gila?.” kata lelaki aneh itu lagi, memberikan pertanyaan yang cukup sulit.

“Baiklah, baiklah. Aku tidak perduli apakah kau, mereka, atau kami berdua yang gila. Aku hanya ingin tahu, untuk apa kau datang ke sini, kenapa tiba-tiba kau sedih, dan untuk apa datang memberi kabar yang tidak enak?.” ucap Jaka memberondong pertanyaan.

“Busyet, banyak amat?. Yang mana yang harus aku jawab lebih dahulu?” kata si Gila Jubah Hitam bingung.

“Terserah, yang mana saja.” jawab Jaka cepat.

Sementara lelaki aneh itu malah kembali menggaruk-garuk kepalanya, mulutnya juga terlihat komat-kamit mengulangi pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan oleh pemuda berkulit sawo matang tadi. Sedangkan Wulan
yang memperhatikan tingkah lelaki itu, malah tidak dapat menahan geli. Karena mendadak saja perutnya menjadi mules, karena menahan tawa.

"Kebanyakan ah, lebih baik aku pamit saja.” kata lelaki aneh itu tiba-tiba.

“Tunggu dulu aku bel…,” sentak Jaka terkejut.

Namun laki-laki aneh itu telah lebih cepat melesat dan menghilang dari pandangan mereka berdua, tokoh satu itu memang amat luar biasa tingkat kepandaiannya. Karena hanya dalam posisi duduk saja, dirinya masih bisa mencelat dengan cepat. Jaka yang masih sempat melihat arah perginya lelaki itu berusaha hendak mengejar, namun segera di cegah oleh Wulan.

“Sudahlah Kakang, biarkan saja. Satu saat nanti kita juga pasti akan tahu.” kata gadis itu lembut.

“Tapi aku masih penasaran Wulan.” sahut Jaka.

“Aku juga sama Kakang, tapi tidak ada gunanya juga kita mendesak. Bisa-bisa nanti malah dia berbalik memusuhi kita.” ucap Wulan lagi pelan.

“Iya juga, memang sulit menghadapi orang seperti itu.” Kata Jaka sambil mengangkat bahunya sedikit.

“Hehehe…,”

Tiba-tiba, mereka kembali di kejutkan oleh suara tawa, tidak salah lagi kalau suara tawa itu memang milik si Gila Jubah Hitam. Karena Sepasang Walet Merah juga sudah paham betul dengan suaranya.

“Terima kasih, karena kalian telah berbaik hati mengundangku untuk berpesta. Lain waktu kita bertemu lagi sobat.” Kata suara itu trdengar bergema dari segala arah mata angin.

Jaka yang mendengar itu baru hendak membuka mulutnya untuk menjawab, namun tidak jadi. Karena Wulan telah lebih cepat menepuk pundaknya. Dan memang suara itu kini sudah tidak terdengar lagi. Si Gila Jubah Hitam benar-benar telah pergi meninggalkan Bukit Batok itu. Begitu hebat pengerahan tenaga dalam laki-laki aneh itu, karena dia mampu mengirimkan suara dari jarak yang cukup jauh tempatnya.

“Aku rasa sebaiknya kita mendahului mereka saja Wulan.” kata Jaka tiba-tiba.

“Jadi kita turun kembali merambah rimba persilatan, Kakang?” nada suara Wulan terdengar seperti tidak setuju.

“Yah, terpaksa. Mau tidak mau kita harus turun lagi.” desah Jaka sambil mengangkat bahunya sedikit.

“Ya sudah, lagi pula kita memperdalam ilmu silat memang untuk menjaga dan mempersiapkan diri. Mungkin memang sudah waktunya juga kita mempergunakannya.” kata Wulan dengan suara pelan.

“Kita berangkat besok saja, tepat saat fajar menyingsing.”

“Iya, terserah Kakang.”

***

Sementara itu di sebuah hutan yang jaraknya agak jauh dari Bukit Batok, seorang pemuda tampan berbaju rompi putih terlihat duduk sambil menghadap pada sebuah api unggun kecil di hadapannya. Sesekali ke dua tangannya terlihat terulur ke depan, dan melakukan gerakan menggosok-gosok. Untuk sekedar mengusir hawa dingin, yang mulai terasa kian merambat di tubuhnya yang kekar dan berotot itu. Tidak jauh dari tempat pemuda itu, di dalam sebuah gua kecil yang di bagian dalamnya terdapat sebuah batu berbentuk kotak seperti sebuah kasur. Terlihat seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian berwarna biru ketat, tampak terlelap tidur dengan pulasnya. Posisi tidurnya yang ke samping itu terlihat membelakangi pemuda tampan itu, namun tak urung posisi itu juga membuat lekukan bongkahan pantatnya tercetak dengan jelas. Dalam posisi duduknya, pemuda tampan itu juga bisa melihatnya dengan jelas. Karena malam itu rembulan juga terlihat bersinar penuh hingga cahayanya menembus masuk ke dalam gua. di bawah sinar rembulan malam, pemuda tampan itu hanya bisa menahan nafas. Melihat keindahan bentuk bokong bulat gadis yang tampak tertidur pulas di dalam gua itu. Mereka berdua memang tak lain adalah Rangga dan Saka Lintang, yang saat itu baru saja tiba di tempat itu. Dan karena hari sudah mulai gelap, maka ke duanya memutuskan untuk bermalam di tempat itu. Rangga masih terlihat duduk santai, sambil kembali menambah ranting-ranting kering untuk memperbesar nyala api unggun di hadapannya itu. Namun sesaat kemudian pemuda tampan itu terlihat beranjak bangun dari duduknya, lalu dengan langkah pelan dan hati-hati. Ke dua kakinya mulai terayun melangkah menuju ke dalam gua. Dengan hati-hati pula di hampirinya Saka Lintang yang masih tertidur pulas. Sebentar dia pandangi wajah gadis cantik itu, lalu sebelah tangannya terlihat terulur dan membelai kepala Saka Lintang dengan lembut.

“Kasihan, dia pasti lelah sekali.” gumam Rangga dengan suara pelan.

Setelah puas membelai-belai kepala gadis itu, Rangga pun kembali membalikkan badannya. Pemuda tampan itu juga berniat untuk tidur, di atas sebuah pohon yang berada di sekitar luar gua. Namun sebelum ke dua kakinya beranjak melangkah, sebelah tangannya terasa ada yang menggenggam dengan erat. Pemuda tampan itu pun langsung menoleh pelan, di lihatnya Saka Lintang sudah berganti posisi. Gadis itu kini terlihat terlentang, dengan sepasang mata yang terbuka memandang pada wajah Rangga.

“Oh, eh. Maaf, aku kira kau sudah tidur.” kata pemuda tampan itu gelagapan, sementara jemari tangan kanannya tetap di genggam erat oleh Saka Lintang.

“Kakang mau kemana?.” tanya gadis itu pelan.

“Aku mau tidur di luar Lintang, kau tidurlah di sini. Badanmu pasti lelah setelah seharian tadi kita berjalan jauh.” ucap pemuda tampan itu lembut penuh perhatian.

“Kenapa tidak tidur di sini saja Kakang, bukankah tempat ini cukup untuk kita berdua.” kata gadis itu menatap dengan pandangan sayu.

“Di…, di sini?.” tanya Rangga mendadak jadi gugup.

“Iya, memangnya kenapa?, tidak mau?.” sahut gadis itu pelan, sambil melemparkan pertanyaan balik.

“Bu…, bukan begitu Lintang, tapi…, tapi…,” ucap Rangga semakin gugup.

“Kau masih menganggap diriku kotor Kakang?, yang bahkan hanya untuk sekedar tidur denganmu saja. Juga tidak boleh?.” berondong gadis itu, hingga membuat Rangga semakin iba mendengarnya.

“Bukan begitu maksudku Lintang, tapi bukan…,”

Belum juga pemuda tampan itu melanjutkan kata-katanya, Saka Lintang sudah menarik tangannya dngan cepat. Alhasil tubuh Rangga pun langsung ambruk menindih tubuh gadis itu, dadanya yang bidang dan kekar itu pun kini menempel erat dengan sepasang buah dada Saka Lintang. Wajah ke duanya juga kini berada dekat sekali, hingga bisa saling merasakan hembusan nafasnya masing-masing.

“Tidur di sini saja ya?.” kata Saka Lintang mesra.

“Iya tapi ak…, hmphhh…,”

Belum lagi juga pemuda tampan itu selesai berkata, bibirnya telah di lumat habis oleh Saka Lintang. Rangga pun langsung kelabakan menghadapi kebinalan kekasihnya itu.

Bersambung
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd