Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Copas + Remake) Serial Pendekar Rajawali Sakti Episode 1& 2

Sementara Aki Lungkur yang juga terlihat baru saja tiba di dekat Lima Pari Emas, tak kalah kagetnya pula. Begitu mengetahui tindakan yang telah di lakukan oleh Rangga, sekilas sepasang mata orang tua itu pun terlihat memandang dengan tatapan bingung, ke arah wajah pemuda tampan yang berdiri di dekat Saka Lintang. Sementara Rangga yang melihat hal itu, malah terlihat acuh saja. Namun diam-diam pemuda tampan itu juga mulai bersiaga, menghadapi kemungkinan yang akan terjadi.

“Pendekar Rajawali Sakti, dengan segala hormat. Aku minta menyingkirlah dari hadapan gadis itu.” ucap Langlang Pari dengan santunnya.

“Maaf kisanak, jika kalian tidak keberatan, aku mohon kalian bisa mengampuni dan memaafkan gadis ini. Soal urusan dia ke depan, biar nanti aku yang bertanggung jawab, jika sampai gadis ini membuat kekacauan lagi.” sahut Rangga sembari memberi penjelasan, hingga membuat ke enam lelaki itu langsung di buat kaget mendengarnya.

Saka Lintang yang mendengar perkataan itu pun langsung tersentak di buatnya, wajah gadis itu pun perlahan mendongak pelan. Mencoba memandang pada sepasang mata pemuda tampan yang telah mencabik-cabik hatinya itu. Namun yang di lihatnya hanyalah riap-riap rambut Rangga, yang terlihat melambai-lambai di hembus angina sore yang sejuk. Pemuda tampan itu tetap terlihat memandang ke arah depan, tanpa sedikit pun menoleh pada dirinya.

“Apa maksudmu Pendekar Rajawali Sakti?, apa kau sudah gila?. Gadis itu sudah banyak membuat kekacauan. Dan sudah sepantasnya di lenyapkan dari muka bumi ini.” sentak Baga Pari cepat, dengan suara keras dan lantang.

“Rasanya kita tidak perlu basa-basi lagi Kakang, bila perlu kita bunuh saja ke dua orang itu sekalian.” timpal Kanta Pari ikut menyahuti dengan cepat, seraya melirik ke arah Saka Lintang dengan pandangan penuh hawa napsu membunuh.

“Pendekar Rajawali Sakti, apa kau tahu siapa gadis itu?. Dan apakah kau juga tahu sudah berapa banyak dosa yang telah dia perbuat?.” ucap Tatra Pari tiba-tiba, dengan nada suara yang terdengar pelan. Namun terdengar berwibawa.

“Aku tahu gadis ini telah banyak berbuat kesalahan dan dosa, tapi apakah kalian semua tidak bisa berbelas kasihan barang sedikit saja?. Setidaknya berilah dia kesempatan untuk memperbaiki diri. Dan seperti apa yang aku katakan tadi, soal urusan dia ke depannya nanti. Aku sendiri yang akan bertanggung jawab.” sahut Rangga masih tetap tenang dan kalem.

“Sebagai seorang Pendekar golongan putih, tindakanmu benar-benar tidak terpuji Pendekar Rajawali Sakti. Kenapa kau mencampuri urusan ini?, bukankah soal ini tidak ada sangkut pautnya denganmu?. Dan lagi gadis keparat itu adalah musuh besar kaum golongan putih, yang harus segera di musnahkan dari muka bumi ini.” tegur Kanta Pari dengan nada suara tak senang, begitu mengetahui campur tangan pendekar muda berwajah tampan itu.

“Sebagai kaum golongan putih, apakah kalian semua juga tahu?. Membunuh dan menganiaya seorang musuh yang sudah tidak berdaya, itu bukanlah sikap seorang pendekar. Bukankah akan lebih bijaksana jika kita mencoba mengampuni dan memaafkannya, siapa tahu dengan demikian gadis ini akan menjadi sadar. Serta tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.” sahut Rangga lagi masih tetap tenang dan kalem.

“Jangan coba-coba menasihati kami Pendekar Rajawali Sakti, walau pun kau seorang pendekar besar. Namun jangan kau pikir, kalau kami Lima Pari Emas bersaudara akan takut padamu. Kami semua tidak butuh nasihatmu, lebih baik serahkan gadis itu sekarang juga. Dan segera tinggalkan tempat ini.” bentak Baga Pari dengan nada suara keras dan lantang.

Hatinya merasa tersinggung begitu mendapat kata-kata yang bernada seolah-olah menasehati, dari seorang Pendekar muda berwajah tampan yang masih tetap berdiri tenang di hadapan Saka Lintang. Namun sepasang mata Rangga yang menatap ke enam lelaki itu, terlihat memancarkan sinar berkilat dan penuh dengan ancaman kematian.

“Aku tidak meminta kalian semua untuk takut padaku Kisanak, yang aku minta hanyalah agar kalian semua sudi mengampuni dan memaafkan gadis ini.” jelas pemuda tampan itu dengan suara halus dan sopan.

Dia masih tetap setia berada di hadapan gadis jelita, yang hanya terlihat melemparkan pandangan sejenak kepada dirinya itu. Sementara Baga Pari dan ke empat sadara lelakinya, serta Aki Lungkur. Masih terlihat tengah berdiri di hadapannya. Meski pun sama sekali belum terlihat gerakan yang mencurigakan dari mereka, Rangga tetap tidak meninggalkan sikap waspadanya. Karena ke enam lelaki yang masih berdiri di hadapannya itu juga bukanlah tokoh-tokoh sembarangan, dan kepandaian mereka juga tidak bisa di pandang remeh.

“Tidak usah basa-basi lagi Pendekar Rajawali Sakti, kalau kau memang hendak membela gadis itu. Bersiaplah, karena kau juga akan berhadapan dengan kami.” ucap Kanta Pari yang mulai terlihat sudah tidak bisa menahan emosinya lagi.

“Tahan saudara-saudaraku sekalian, bagaimana kalau kita kabulkan saja permintaan anak muda ini?.” usul Aki Lungkur tiba-tiba, sambil mencoba menjadi penengah.

Kakek tua itu rupanya sudah bisa mendapatkan jalan keluar untuk memecahkan persoalan tersebut.

“Apa maksudmu Kakek tua?, apa jangan-jangan kau juga sudah termakan oleh omongan Pendekar itu?.” tanya Baga Pari cepat, sambil mengerutkan
keningnya sesaat.

“Jangan salah sangka dulu, aku sama sekali tidak punya hubungan apa pun dengan anak muda itu. Tapi aku hanya mencoba meluruskan saja, rasa dendam bukanlah satu-satunya jalan untuk mencari penyelesaian. Karena dendam itu juga, bisa mengakibatkan timbulnya permasalahan baru yang tidak akan pernah berakhir. Apakah tidak lebih baik jika kita lupakan saja persoalan ini, toh tadi Pendekar Rajawali Sakti juga sudah membuat janji. Jika suatu saat gadis itu berbuat onar lagi, dia sendiri yang akan membereskannya.” kata kakek tua yang berjuluk Pengemis Sakti Tongkat Merah itu, dengan suara lirih berwibawa.

Ke lima lelaki yang berjuluk, Lima Pari Emas bersaudara itu tidak segera menjawab. Mereka semua terlihat terdiam dan termenung sejenak, seolah memikirkan usul yang di ajukan oleh Aki Lungkur barusan.

“Hhh…,” Dadap Pari terlihat menghembuskan napasnya kuat-kuat, untuk menghilangkan rasa pening akibat pertentangan batinnya. Dia sendiri juga benar-benar bingung dan tak tahu harus memilih yang mana.

“Rasanya lebih baik kita bunuh saja dua manusia keparat ini Kakang.” ucap Baga Pari tiba-tiba, dengan suara lantang dan keras.

“Baga Pari, jaga mulutmu.” sentak Langlang Pari dengan suara yang keras juga.

“Maaf Kakang, tapi bukankan perbuatan gadis itu selama ini sudah amat keterlaluan, dan ini tidak bisa kita biarkan begitu saja. Di tambah lagi, entah sudah berapa banyak nyawa di kalangan kaum golongan putih. Yang tewas di tangan si keparat itu. Bahkan juga ada beberapa saudara-saudara kita, yang juga ikut tewas di tangannya. Gadis itu tidak pantas di beri ampunan Kakang, karena dengan begitu. Entah besok atau lain waktu, dia pasti akan berbuat onar lagi. Dan juga bukannya tidak mungkin, suatu saat dia juga pasti akan membunuh kita semua. Dan aku tidak bisa menerima semua ini Kakang, perbuatannya harus segera di hentikan. Bila perlu, si Pendekar laknat itu juga kita bunuh saja sekalian.” kata Baga Pari dengan semangat berapi-api.

“Hentikan kata-katamu Baga Pari.” bentak Langlang Pari lagi dengan suara keras dan lantang.

“Tapi Kakang, aku.., han…,” ucap Baga Pari lagi, namun kali ini nada suaranya terdengar pelan.

“Cukup…,” potong Langlang Pari lagi cepat.

Baga Pari pun langsung bungkam seribu bahasa, kepalanya juga terlihat tertunduk lesu. Bentakan dari Kakaknya yang paling tua, yang terdengar begitu keras tadi. Rupanya telah membuat hati lelaki muda itu ciut. Sementara Rangga hanya terlihat diam saja, namun sikapnya tetap tenang dan penuh rasa waspada terhadap ke enam orang lelaki di hadapannya itu.

“Aku tidak pernah mengajarkan kalian untuk punya rasa dendam, yang kita lakukan adalah menumpas kejahatan. Bukannya balas dendam, bukankan sudah aku katakan berkali-kali pada kalian semua. Agar membuang jauh-jauh perasaan dendam yang ada dalam hati kalian. Aku benar-benar tidak habis pikir, setan apa yang merasukimu. Hingga kau bisa berkata seperti itu Baga Pari.” kata Langlang Pari sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sesaat, lelaki itu merasa malu pada sikap adiknya yang nomer empat itu.

“Maafkan aku Kakang.” sahut Baga Pari pelan.

“Kisanak, aku percaya kalau kalian semua adalah seorang pendekar yang bijaksana. Dan aku juga akan sangat berterima kasih sekali, jika kalian semua sudi mengampuni dan memaafkan gadis ini. Dan seperti apa yang sudah aku janjikan tadi, soal urusan gadis ini ke depan. Akulah yang akan bertanggung jawab.” bujuk Rangga lagi dengan nada suara sopan, hingga membuat ke lima lelaki itu mengangkat kepalanya dan menatap sesaat pada wajah pemuda tampan berbaju rompi putih itu lekat-lekat.

“Pendekar Rajawali Sakti, apakah ucapanmu tadi bisa di percaya?.” tanya Tatra Pari yang terlihat lebih tenang, namun hatinya masih di liputi oleh keraguan terhadap pemuda tampan itu. Sama seperti adiknya, yaitu Baga Pari.

“Untuk apa aku berbohong, bukankah tadi sudah aku jelaskan. Jika sampai gadis ini berbuat onar lagi, aku sendiri yang akan membunuhnya.” sahut Rangga tegas dan mantap.

“Hm.... Kurasa ucapanmu itu cukup masuk akal, baiklah Pendekar Rajawali Sakti. Kami pegang janjimu, jika sampai kau berbohong. Kami Lima Pari Emas bersaudara, akan memburumu kemana pun kau pergi.” kata Langlang Pari tiba-tiba, seraya mengangguk-anggukkan kepalanya sesaat.

“Ah, terima kasih atas pengertian Kisanak.” sahut Rangga sambil kembali tersenyum ramah.

“Ayo saudara-saudaraku, kita pulang.” ucap Langlang Pari lagi tiba-tiba.

Setelah selesai berkata demikian, ke lima lelaki bersaudara itu pun langsung melesat satu persatu meninggalkan tempat itu. Namun bersamaan dengan itu, terdengar sebuah suara keras yang menggema. Bagaikan datang dari segala penjuru mata angin. Suara itu ternyata adalah suara Baga Pari, yang di lancarkan dari jarak jauh. Lelaki satu itu memang masih merasa ragu pada janji yang telah di ucapkan oleh Rangga tadi.

“Kami pegang janjimu Pendekar Rajawali Sakti. Ingat, kalau sampai kau berbohong. Kami juga tidak akan segan-segan untuk membunuhmu.” kata suara itu terdengar keras dan bergema.

***
 
Sementara Rangga yang mendengar itu, hanya terlihat tersenyum saja. Namun perlahan-lahan pemuda tampan itu menoleh pelan pada Saka Lintang, yang saat itu terlihat telah mulai bangkit berdiri. Serta melangkah perlahan-lahan menuju mayat Lestini, yang terbujur kaku. Sejenak sepasang mata pemuda tampan itu menatap dengan pandangan merasa amat bersalah, pada wajah gadis cantik di hadapannya itu. Ke dua tangannya berusaha terulur, niat hati ingin memeluk dan merangkul tubuh molek yang pernah dia acuhkan setahun yang silam di Bukit Tengkorak. (Untuk mengetahui hubungan Rangga dan Saka Lintang, baca serial Pendekar Rajawali Sakti Episode 1 Iblis Lembah Tengkorak). Namun sayang ternyata dirinya ternyata dirinya tak mampu melakukannya, yang hanya bisa dia perbuat hanyalah menatap wajah cantik. Yang saat itu juga sama-sama tengah menatap dengan pandangan sayu, ke pada dirinya. Ternyata perasaan yang sama juga di alami oleh Saka Lintang, dirinya juga sungguh ingin sekali rasanya berlari. Dan menghambur ke dalam pelukan pemuda tampan, yang telah mencabik-cabik hatinya itu. Namun penolakan yang pernah dia terima setahun yang silam di Bukit Tengkorak, membuatnya sungkan dan malu. Di tambah lagi saat ini dirinya juga sudah tidak suci lagi, akibat perkosaan yang pernah di alaminya setahun yang silam. Yang bisa di lakukannya hanyalah menatap sesaat dengan pandangan sayu, pada wajah pemuda tampan pujaan hatinya itu. Lama ke dua insan berlainan jenis itu saling berpandangan satu sama lain, sepasang mata mereka seolah mewakili perasannya masing-masing. Yang hendak di utarakan melalui bibir, namun tidak kuasa untuk di ucapkan.

“Kakang…,” desis Saka Lintang agak terhenyak kaget.

Di lihatnya pemuda tampan yang menjadi pujaan hatinya itu, kini mulai melangkah pelan, menghampiri dirinya yang masih duduk bersimpuh di dekat tubuh Lestini. Yang terbujur kaku tak bernyawa. Setelah dirinya berada cukup dekat dengan gadis itu, Rangga pun langsung memeriksa luka-luka di tubuh Saka Lintang. Bibirnya pun mulai terlihat menyunggingkan senyum puas, begitu mengetahui luka-luka yang di derita oleh gadis itu ternyata tidak begitu parah. Mungkin hanya perlu sedikit perawatan, dan semadi saja. Untuk mengembalikkan tenaganya yang terkuras tadi. Saka Lintang yang saat itu memaksakkan diri untuk memandang wajah Rangga, seketika tubuhnya langsung bergetar. Bagaikan terkena sengatan listrik ribuan volt, sedangkan Rangga malah terliha memandang pada tubuh Lestini yang menggeletak tak bernyawa. Pemuda tampan itu menghembuskan napasnya sesaat, sebelum kemudian ber alih memandang ke arah wajah yang cantik jelita. Yang kini jaraknya berada dekat sekali dengan wajahnya. Sampai akhirnya terlihat Saka Lintang mulai merangkul mayat Lestini, batinnya merasa amat terpukul berat, dengan semua peristiwa yang di alaminya itu.

“Dewata yang agung…, kenapa kau timpakan cobaan yang begini berat padaku?.” desis Saka Lintang dengan suara lirih, sepasang matanya juga mulai terlihat berkaca-kaca.

Gadis itu berlutut sambil terisak pelan, di samping tubuh Bibiknya yang sudah tidak bernyawa lagi. Batinnya benar-benar bergolak hebat menghadapi kenyataan pahit itu. Hatinya pun mulai menjerit merasakan sakit yang teramat sangat. Kematian Lestini yang teramat tragis, dan berlangsung di depan matanya itu, seolah telah memupus semangat hidupnya. Kepalanya juga tampak tertunduk dalam, dengan sepasang mata yang terlihat terpejam rapat. Lalu kembali terbuka perlahan-lahan, seraya mendongak pelan mengangkat kepalanya ke atas. Tarikan napasnya juga terdengar begitu berat. Seiring dengan mulai bercucurannya butir-butir air mata, yang mengalir di ke dua pipinya yang ranum. Hingga membentuk riak anak sungai.


“Maafkan aku Bibik maafkan aku, gara-gara aku kau jadi begini. Huhuhu…,.” desah gadis itu di sela-sela isak tangisnya.

“Lintang…,?.” ucap Rangga tiba-tiba, memberanikan diri untuk membuka suara.

“Kakang…,?” sahut Saka Lintang terdengar lirih dan pelan suaranya.

Wajahnya yang terlihat sayu itu pun mendongak pelan, menatap sayu pada wajah pemuda tampan yang kini telah berada dekat dengannya. Rangga yang melihat itu, semakin merasa amat bersalah. Pemuda tampan itu hanya bisa menghela nafas panjang sesaat, untuk mengusir debaran hatinya yang mulai tak karuan itu.

“Apa…, apa kau tidak apa-apa?” tanya pemuda tampan itu lagi dengan suara lembut dan agak tertahan.

“Aku.., aku baik-baik saja Kakang. Di mana Paman Nambi Kakang?, apakah dia juga tewas?.” sahut Saka Lintang semakin lirih terdengar suaranya, sambil kembali bertanya pelan.

Rangga yang mendengar itu, tidak mampu berkata-kata lagi. Wajahnya yang tampan itu juga terlihat tertunduk dalam, dengan ke dua bibir yang juga mulai bergetar. Seolah-olah hendak mengatakan sesuatu, namun tidak kuasa untuk mengatakannya. Sedangkan wajah Saka Lintang kini terlihat mendongak, dengan sepasang matanya yang berkilatan. Yang juga mulai terlihat lembab dan basah, oleh butiran air mata yang mengalir membasahi ke dua pipinya yang ranum. Sepasang mata indah itu terlihat menatap sayu pada wajah pemuda tampan, yang masih terlihat tertunduk lesu. seolah menanti jawaban atas pertanyaannya tadi.

“Maafkan aku Lintang, Pamanmu tewas jatuh ke dalam jurang. Setelah bertarung denganku.” ucap Rangga dengan suara agak tertahan, setelah agak lama terdiam.

“Oh, tidak...,” desis gadis itu terhenyak, sambil mendekap mulutnya.

Tubuhnya yang memang masih lemas itu pun langsung terkulai lemas, dengan posisi kepala yang di tangkupkan di dada mayat Lestini. Tangisnya juga langsung pecah seketika, begitu mengetahui dua orang yang amat di sayanginya. Kini masing-masing telah tiada. Gadis itu hanya bisa meratap pilu, menghadapi nasibnya yang malang itu. Lagi-lagi orang yang amat di cintainya, kembali menorehkan luka yang amat dalam di hatinya. Sungguh tragis sekali nasib yang di alami Saka Lintang.

“Setelah kematian Ayahanda, Paman dan Bibik adalah orang ke dua yang begitu menyayangi dan memperhatikanku. Dan kini mereka juga sama-sama telah tiada, kini aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Dewata yang agung.., Aku...., Aku…,” isak gadis itu terbata-bata.

“Apa kau melupakan aku?.” potong pemuda tampan itu tiba-tiba.

Saka Lintang yang mendengar perkataan itu pun langsung terdongak pelan, sepasang matanya yang redup memandang sayu pada wajah Rangga. Setitik air mata yang mengalir jatuh di pipinya yang ranum itu pun, terlihat kian semakin deras.

“Maksud Kakang?.” tanya Saka Lintang pelan.

Gadis itu memandang sayu pada wajah pemuda tampan yang telah menorehkan benih-benih cinta itu, sambil menahan debaran yang mulai bergemuruh dalam dadanya. Ingatannya pun kembali melayang pada peristiwa yang pernah terjadi setahun yang silam, di mana saat itu Ayahandanya tewas terbunuh oleh Rangga. Dan kemudian Rangga pun malah meninggalkannya sendirian, apakah kejadian di Bukit Tengkorak akan terulang lagi sekarang?. Apakah pemuda tampan ini juga akan kembali meninggalkannya?. Tanpa sadar gadis itu mulai menggigit bibirnya sendiri, merasakan sakit akibat luka lama yang mulai terkuak kembali menghiasi relung hatinya. Tangisnya pun kembali terdengar, meratapi nasib yang tak berkesudahan itu. Hatinya pun seolah seperti tidak mempunyai gairah hidup lagi.

“Tak perlu meratapi takdir yang sudah terjadi Lintang, karena penyesalan juga tidak akan nada gunanya. Cobalah untuk merenung, dan ambil semua hikmah yang ada. Semua yang telah terjadi terhadap dirimu itu, adalah merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga. Tak ada kata terlambat buat seseorang yang mau berubah menjadi lebih baik, jika kau tidak merasa keberatan. Ikutlah pergi mengembara bersamaku, lupakan semua masa lalumu. Kita buka lembaran baru sebagai seorang pendekar pembasmi kejahatan.” lanjut Rangga dengan suara pelan.

Saka Lintang yang mendengar kata-kata pemuda tampan itu langsung terhenyak kaget, benarkah apa yang dia dengar barusan?. Benarkah pemuda ini bersedia mengajak dirinya untuk bersama-sama pergi mengembara?, jika memang benar apa yang dia dengar barusan. Kenapa kata-kata itu baru terucap sekarang?. Padahal setahun yang lalu gadis itu amat mengharapkan kata-kata tersebut keluar dari mulut Rangga, namun rupanya takdir berkata lain. Padahal kalau dulu pemuda tampan itu langsung mengajaknya, mungkin nasibnya akan sedikit berbeda. Dia tidak harus kehilangan kesuciannya, dia juga tidak harus kehilangan Paman dan Bibiknya. Namun semua itu sudah terlambat, dia juga sadar dirinya tidak bisa menyalahkan penuh pada Pendekar muda berwajah tampan itu. Bahkan jauh di dalam lubuk hatinya, Saka Lintang juga mengakui kalau sikap dan perbuatan Rangga terhadap Pamannya, adalah ciri seorang pendekar sejati. Bertarung dengan sikap jantan dan tidak ada tindakan yang curang di antara ke duanya. Sebuah pertarungan murni dan adil, meskipun cara membunuh Rangga terlihat kejam dan sadis.

“Kau…, kau…, kau mengajakku Kakang? Apakah aku tidak salah dengar?.” tanya Saka Lintang pelan.


“Tidak Lintang, tapi dengan satu syarat.” sahut pemuda tampan itu.

“Syarat?.” ucap Saka Lintang, balik bertanya.

“Ya, syaratnya adalah kau bersedia kembali ke jalan yang lurus.” sahut pemuda tampan itu lagi.

“Oh, tapi bagaimana dengan kaum golongan putih lainnya Kakang?, bagaimana kalau mereka tidak menerimaku dan terus memburu untuk membunuhku?. ucap gadis itu lagi pelan.

“Itu tidak mungkin terjadi, karena kalau sampai itu terjadi. Aku juga tidak akan tinggal diam.” sahut Rangga lagi, mencoba meyakinkan gadis itu.

“Oh, tapi aku…, aku bukanlah Saka Lintang yang dulu lagi Kakang. Aku te…, telah…,” kata Saka Lintang lirih.

“Sudahlah Lintang, bagiku kau masih tetap seperti yang dulu. Aku tak perduli dengan semua masa lalumu, karena itu semua juga adalah kesalahanku. Nah, sekarang semadilah untuk memulihkan tenagamu.” potong Rangga cepat, sambil kemudian memberi beberapa totokan di sekitar tubuh gadis itu yang terluka.

“Kakang...,” pelan dan agak bergetar suara Saka Lintang memanggil.

“Hm…,?” sahut Rangga pelan

“Maafkan aku.” ucap gadisitu begitu pelan suaranya, sehingga hampir tidak terdengar oleh Rangga.

“Sudahlah Lintang, tak ada yang perlu di maafkan.” kata Rangga sambil tersenyu manis.

“Aku…, aku takut kau membenciku, Kakang.” ucap gadis itu lagi dengan suara pelan.

“Tidak ada alasan untuk membencimu, kenapa pula aku harus membencimu.” jawab Rangga lagi sambil tersenyum manis.

“Terima kasih Kakang.” balas gadis itu dengan suara lirih, hatinya benar-benar terharu melihat perhatian Rangga kepadanya.

Sedangkan Intan Kemuning yang tadi hanya terlihat berdiri mematung, juga terlihat mulai melangkah pelan-pelan. Menuju Rangga dan Saka Lintang, dengan di damping oleh Ayahandanya. Sesekali sepasang mata gadis itu juga terlihat melirik pada wajah Rangga, dan tepat saat pemuda tampan itu juga sempat menoleh ke arahnya. Gadis cantik itu langsung merasakan jantungnya berdetak keras, hingga tanpa sadar Intan Kemuning pun telah melontarkan senyuman manis pada pendekar muda berwajah tampan itu. Kalau saja saat itu dirinya hanya berdua dengan Rangga, ingin sekali rasanya gadis itu menghambur dan memeluk tubuh pemuda tampan yang telah merobek-robek hatinya hingga menjadi kepingan-kepingan cinta itu. Tapi semua perasaan dan keinginannya itu dia tekan dalam-dalam sampai jauh ke dasar hatinya. Gadis itu sama sekali belum mengetahui, hubungan antara Rangga dan Saka Lintang.

“Hehehe…,” tiba-tiba terdengar sebuah suara terkekeh-kekeh.

Rangga pun seolah baru ingat jika saat itu bukan dia dan Saka Lintang saja yang masih berdiri di situ. Seorang kakek tua berpakaian compang-camping, serta di tangannya tergenggam tongkat berwarna merah. Terlihat tersenyum bersahabat, siapa lagi kalau bukan si Pengemis Sakti Tongkat Merah.

“Menakjubkan, sungguh sebuah kisah asmara yang mengharukan. Aahhh…, aku jadi teringat pada masa waktu aku masih muda dan gagah dulu. Kau benar-benar berbudi luhur Pendekar Rajawali Sakti, hebat…, hebat…,” ceracau Aki Lungkur yang di kenal dengan julukan Pengemis Sakti Tongkat Merah, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ah, kalau tidak salah, kakek yang berada di kedai minum itu tempo hari bukan?.” kata Rangga dengan tutur kata yang halus, namun tak urung perkataan kakek tua tadi juga sempat membuat pemuda tampan itu merasa malu.

“Penglihatanmu tajam sekali anak muda, betul. Aku pengemis tua
yang hina ini mohon pamit, karena masih ada urusan lain yang harus ku selesaikan.” sahut Aki Lungkur sambil tersenyum simpul.

Rangga belum juga mengeluarkan suara tubuh kakek tua itu telah melesat cepat, pergi meninggalkan tempat itu. Dan tepat bersamaan dengan lenyapnya tubuh Aki Lungkur dari hadapan Rangga, terlihat Saka Lintang juga telah selesai bersemadi. Gadis itu perlahan-lahan mencoba berusaha bangkit berdiri kembali, dan entah siapa yang lebih dahulu memulai. Terlihat tangan kanan Rangga telah terulur dan megang tangan gadis itu untuk membantunya berdiri. Tubuh ke duanya yang semakin dekat itu pun, langsung saling berpegang tangan. Badan Rangga dan Saka Lintang sama-sama bergetar hebat, seluruh aliran darah mereka juga seolah berbalik arah. Hingga untuk beberapa saat lamanya, ke dua insan yang berlainan jenis itu tidak mampu untuk berkata-kata. Hanya ke dua pasang mata mereka yang saling bercerita mewakili perasaannya masing-masing. Rangga segera mengangkat tubuh Lestini yang sudah tidak bernyawa lagi itu, setelah Saka Lintang telah berdiri tegak di sampingnya. Kemudian perlahan-lahan ke dua kaki mereka mulai melangkah pelan.

***
 
Namun belum juga ke dua insan yang berlainan jenis itu melangkah lebih jauh lagi, tiba-tiba terdengar suara Patih Giling Wesi berteriak dari arah belakang.

“Tunggu Kisanak.” Panggil Patih Giling Wesi cepat, Rangga dan Saka Lintang pun langsung menoleh dan berbalik bersamaan.

Sedangkan Intan Kemuning terlihat sudah berlari, dan langsung menghambur memeluk Saka Lintang. Sementara di belakang gadis itu, Patih Giling Wesijuga terlihat melangkah mendekati mereka. Intan Kemuning yang saat itu berada dekat sekali dengan Rangga, selalu menundukkan kepalanya ke bawah. Namun sesekali ekor matanya yang indah itu, sempat melirik pada wajah pemuda tampan yang tengah membopong mayat Lestini di samping Saka Lintang. Hati gadis itu semakin berdebar-debar, jika kebetulan lirikan matanya sempat beradu pandang dengan sepasang mata Rangga. Dan kalau sudah demikian, maka gadis itu pun cepat-cepat mengalihkan pandangan matanya ke arah lain.

“Syukurlah kau tidak apa-apa Intan,maaf. Gara-gara aku kau jadi begini. Padahal tadinya niatku hanya ingin membantu saja, agar kau menjadi seorang wanita yang kuat.” ucap Saka Lintang, setelah melepaskan pelukannya dari tubuh gadis itu.

“Sudahlah Kakak Lintang, aku juga turut merasa senang. Tidak terjadi apa-apa terhadap diri Kakak.” sahut gadis itu sambil tersenyum manis.

“Nisanak, aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena Nisanak telah sudi menjaga Intan Kemuning. Dan aku juga minta maaf atas segala pertikaian yang telah terjadi di antara kita tadi. Dan kalau boleh aku tahu, siapakah nama Kisanak ini?. Dan dari mana asalnya?” tanya Patih GilingWesi, setelah tiba di dekat mereka.

“Hamba hanyalah seorang pengembara yang hina Gusti Patih, nama hamba Rangga. Dan ini Saka Lintang.” jawab Rangga merendah, sambil memperkenalkan Saka Lintang.

“Rangga...,” ucap Patih Giling Wesi, lalu terdengar menggumamkan nama itu beberapa kali.

Sedangkan Rangga dan Saka Lintang hanya terlihat memperhatikan saja, dengan pandangan bertanya-tanya.

“Ada apa Gusti Patih? Ada yang aneh dengan nama hamba?” tanya Rangga tiba-tiba.

“Ah, ti…, tidak, tapi namamu mirip sekali dengan seorang putra Adipati yang telah hilang dua puluh tahun lalu.” Patih Giling Wesi setengah bergumam.

Rangga dan Saka Lintang pun terkejut juga mendengarnya, namun pemuda tampan itu cepat-cepat menutupi rasa kagetnya dengan senyuman. Perkiraan Patih Giling Wesi memang tidak salah, Rangga sendiri pun jadi bertanya-tanya dalam hati, apakah orang ini kenal dengan mendiang Ayahandanya?.

“Nama bisa saja sama Gusti Patih.” kata Rangga buru-buru, pemuda tampan itu memang tidak ingin masa lalunya terungkap lagi, biarlah kenangan pahit itu hanya dia sendiri yang tahu.

“Nama memang bisa saja sama, tapi...,” Patih Giling Wesi mengamati wajah pemuda tampan di hadapannya dengan teliti sekali.

Lelaki itu tengah berusaha mengingat-ingat, karena memang sepertinya dia pernah mengenal wajah itu. Tapi di mana? Kapan pernah bertemu? Ingatannya terus berputar. Dan tiba-tiba saja tubuhnya tersentak, benar. Tidak salah lagi. Wajah anak muda ini sangat mirip dengan Adipati Karang Setra. Sembilan belas tahun yang lalu, terjadi musibah pada rombongan Sang Adipati yang hendak menuju ke kota Kerajaan Ayahandanya. (Baca
serial: Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah Tengkorak). Tetapi lelaki itu masih terlihat sedikit ragu-ragu, masalahnya, anak laki-laki Adipati juga saat itu di kabarkan hilang tanpa bekas. Sedangkan kejadiannya tidak jauh dari jurang Lembah Bangkai. Semua orang menduga kalau anak itu pasti masuk ke jurang Lembah Bangkai. Karena sudah pasti, siapa saja yang masuk ke dalam jurang itu tak akan pernah selamat. Patih Giling Wesi seperti berperang dengan batinnya sendiri. Antara percaya dan tidak. Antara mengakui dan membantah. Dia berusaha memecahkan teka-teki itu. Siapakan anak muda perkasa yang ada di hadapannya ini?. Beberapa saat suasana di bukit Guntur itu terlihat hening. Tidak ada yang mengeluarkan suara, Semua seperti menunggu pembicaraan Patih Giling Wesi. Patih itu sendiri sampai saat ini masih berusaha memecahkan teka-teki itu. Dia belum dapat memastikan perihal anak muda ini. Ah! Siapa pun dia, yang jelas jasanya sangat besar. Kalau tidak ada pendekar muda ini, entah bagaimana nasib putrinya. Batin Patih Giling Wesi bicara sendiri.

“Aku sangat berhutang budi pada kalian berdua, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih yang se besar-besarnya. Lain waktu jika ada kesempatan, mampirlah ke kepatihan. Aku akan senang sekali menerimanya, bukan begitu Intan?.” ucap Patih GilingWesi mengundang, sambil melirik sesaat pada putrinya. Sedangkan Intan Kemuning hanya terlihat mengangguk pelan, sambil tersenyum manis pada Rangga dan Saka Lintang.

“Lain waktu jika ada kesempatan, kami pasti akan mengunjungimu Intan. Kau baik-baik di sana ya?.” ucap Saka Lintang.

“Berhubung urusan di sini sudah selesai, kami berdua mohon pamit Gusti Patih.” kata Rangga sambil, matanya beralih memandang pada wajah Intan Kemuning.

Seketika dua pasang mata itu pun saling berpandangan sesaat, Intan Kemuning pun langsung jadi gelagapan. Cepat-cepat gadis itu segera mengalihkan pandangannya ke tempat lain, namun tak urung bibirnya sempat memberikan senyum yang amat manis pada pemuda tampan itu.

“Baiklah, jaga diri kalian baik-baik.” sahut Patih Giling Wesi.

Rangga dan Saka Lintang pun mulai melangkah pelan menjauhi Patih Giling Wesi dan Intan Kemuning, karena mereka berdua memang berniat untuk menguburkan mayat Lestini terlebih dahulu. Sebelum kembali melanjutkan perjalanan.

“Ayo Intan, kita pulang sekarang. Ibumu pasti sudah rindu sekali padamu.” ajak Patih Giling Wesi.

Setelah selesai berkata demikian, Patih Giling Wesi pun akhirnya segera pergi meninggalkan tempat itu di iringi oleh Intan Kemuning. Mereka berdua berjalan menuruni bukit Guntur, meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan dan siap jadi santapan srigala-srigala hutan. Sementara di kaki bukit, terlihat telah menunggu delapan orang prajurit Kepatihan. Mereka pun langsung segera menghampiri patih itu. Masing-masing menunggang kuda, dan menuntun se ekor kuda pula. Salah satu prajurit yang bernama Rapaksa segera melompat dari kudanya, di ikuti oleh tujuh orang prajurit-prajurit lain. Patih Giling Wesi mengamati sisa prajurit-prajuritnya. Sungguh besar jasa mereka. Nyawa mereka korbankan hanya untuk menyelamatkan seorang putri patih mereka.

“Ampun, Gusti Patih. Hamba datang terlambat. Karena tadi Hamba mencari kuda-kuda dulu. Dan kini hamba hanya dapat lima belas ekor kuda.” kata Rapaksa melapor.

“Hh, sudahlah. Mari kita kembali ke Kepatihan.” Sahut Patih Giling Wesi mendesah berat.

Perjalanan pun mereka lanjutkan dengan menunggang kuda, semula Patih Giling Wesi khawatir juga terhadap Intan Kemuning. Karena setahu dia, putrinya itu tidak pernah belajar naik kuda. Patih itu tidak tahu kalau selama jadi tawanan perompak, Intan Kemuning telah di ajari naik kuda oleh Saka Lintang. Akhirnya pikiran patih itu pun bisa tenang, setelah melihat putrinya sangat lihai menunggang kuda. Rombongan orang-orang berkuda itu terus berjalan meninggalkan bukit Guntur yang terlihat hijau. Mereka melewati jalur pintas, tidak menyusuri tepian sungai Ular. Hutan di rambah, padang di arungi, dan kini mereka telah dekat dengan sebuah desa yang dekat dengan bukit Guntur. Rombongan berkuda itu, terus saja berjalan melewati desa tersebut. Sementara Patih Giling Wesi yang terlihat selalu berada di samping Intan Kemuning. Hatinya masih bertanya-tanya tentang kelihaian putrinya menunggang kuda. Namun di sepanjang perjalanan itu, hati Intan Kemuning selalu bertanya-tanya tentang hubungan antara Saka Lintang dan Rangga.

“Mereka begitu mesra, apakah mereka itu sepasang kekasih?. Ataukah hanya hubungan kakak beradik?, tapi bagaimana jika dugaanku benar. Kalau mereka itu sebenarnya adalah sepasang kekasih. Oohhh…,” gumam gadis jelita itu dalam hati.

Tanpa sadar hatinya terasa agak sakit membayangkan hal itu semua, karena walau bagaimana pun. Di akui atau tidak, dia sendiri sebenarnya telah jatuh hati pada Rangga.

***
 
Matahari terlihat telah condong ke barat, ketika rombongan berkuda itu sampai di pintu Gerbang Kepatihan. Penjaga pintu pun langsung segera membuka pintu, ketika melihat Patih mereka datang bersama putrinya. Mereka pun segera masuk ke dalam benteng Kepatihan, dan berhenti tepat di depan pendopo. Setelah melompat turun dari kudanya, Patih Giling Wesi membantu Intan Kemuning yang sedikit kesulitan turun dari kudanya. Setelah selesai turun dari kuda, Intan Kemuning pun terlihat langsung berlari masuk ke dalam Keputrenan, rasa rindu yang menggebu-gebu karena ingin segera bertemu ibundanya. Membuat pikiran dia lupa sejenak terhadap Rangga.

***
 
Sementara itu di bukit Guntur, Rangga dan Saka Lintang terlihat mulai berjalan pula meninggalkan tempat itu. Pemuda berwajah tampan itu tampak berjalan santai menyusuri hutan lebat belantara. Rambutnya yang panjang, meriap itu juga terlihat melambai-lambai di permainkan angin sore. Sementara di sampingnya, terlihat Saka Lintang yang ikut mengiringi sambil menggandengkan sebelah tangannya dengan mesra. Ke dua insan yang berlainan jenis itu, terus saja melangkahkan ke dua kakinya. Menyusuri jalan setapak yang berada di hutan itu. Sesekali terlihat Saka Lintang memandang lekat pada wajah pemuda tampan di sampingnya itu, dan setiap memandang itu pula hatinya selalu di liputi berbagai macam perasaan yang tak bisa dia ungkapkan.

“Kakang...,” panggil gadis itu tiba-tiba.

Rangga pun langsung menghentikan langkahnya sebentar, lalu perlahan-lahan pemuda tampan itu pun berbalik menghadap pada gadis di sampingnya itu. Terlihat bibir gadis itu tampak bergetar, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara sedikit pun yang meluncur dari bibirnya yang ranum dan mungil.

“Ada apa?” tanya Rangga pelan dan lembut.

“Boleh aku berbicara sebentar?.” ucap Saka Lintang begitu pelan suaranya. Hingga hampir tidak terdengar.

“Bukankah saat ini kita sedang berbicara?.” jawab Rangga sambil tersenyum.

“Maksudku...,” Saka Lintang pun langsung jadi tersipu kelabakan.

“Kau pasti ingin menanyakan tentang kebenaran dari pertanyaan Patih itu bukan?.” potong Rangga mencoba menebak.

Saka Lintang pun langsung mengangguk pelan, sambil kembali memalingkan wajahnya ke arah lain. Rangga pun kemudian mulai bercerita panjang lebar tentang dirinya. Dan kini jelaslah sudah, kenapa pemuda tampan itu sampai tega membunuh mendiang Ayah angkat gadis itu. Karena ternyata ke dua orang tuanya juga telah di bunuh oleh mendiang Ayah angkat Saka Lintang. Sesekali, terlihat gadis itu menunduk, dan menangis terisak.

“Terus terang saja aku sangat mencintaimu Kakang, walau pun kau telah membunuh Ayah angkatku. Bahkan juga Paman angkatku, tapi aku tetap tidak bisa melupakanmu. Aku tidak bisa menipu diriku sendiri. Jujur aku memang sempat dendam dan ingin membunuhmu, tapi tidak sanggup Melakukannya. Aku…, aku takut kau akan meninggalkanku seperti dulu lagi Kakang.” desah gadis itu sambil menutup wajah dengan ke dua telapak tangannya.

Bahunya pun terlihat berguncang-guncang hebat, Rangga yang melihat itu pun langsung segera melingkarkan tangannya di bahu gadis itu dan langsung merengkuh tubuhnya ke dalam pelukannya. Saka Lintang pun langsung segera merebahkan kepalanya di dada pemuda tampan itu. Dan perlahan-lahan, isak tangisnya pun kembali terdengar. Setitik air bening pun mulai terlihat menggulir jatuh ke pipinya yang ranum. Tangisnya pun kembali meledak di dalam pelukan pemuda tampan itu, hingga air matanya mengalir deras membasahi dada Rangga yang bidang. Pemuda tampan itu sengaja membiarkan Saka Lintang menumpahkan semua perasaannya. Krena dia bisa memaklumi kemelut yang tengah melanda batin gadis itu. Pemuda tampan itu baru melepaskan pelukannya, setelah melihat Saka Lintang sudah berhenti menangis. Meski pun sesekali pula masih terdengar isaknya yang tertahan, gadis itu berdiri dengan kepala tertunduk dalam. Bahunya masih terlihat berguncang-guncang menahan isak tangisnya. Rangga yang melihat hal itu pun, langsung segera mengambil ke dua tangan Saka Lintang. Dengan lembut di genggamnya jari-jari tangan yang lentik dan halus itu, kemudian perlahan-lahan dia bawa ke dekat mulutnya. Lalu dengan lembut di kecupnya jari-jemari gadis itu. Saka Lintang yang merasakan hal itu, perlahan-lahan terlihat mulai mengangkat kepalanya. Tatapan sepasang matanya pun, langsung tertuju ke bola mata pemuda tampan di hadapannya. Untuk beberapa saat lamanya ke dua insan yang berlainan jenis itu saling berpandangan, tanpa ada kata-kata yang terucap dari bibir ke duanya.

“Percayalah Lintang, aku tidak akan meninggalkanmu lagi.” Kata Rangga pelan, namun terdengar mantap suaranya.

“Oh…,” desah Saka Lintang tersentak kaget, bercampur senang.

Kata-kata yang di ucapkan oleh pemuda tampan itu, yang begitu pelan suaranya. Namun terdengar bagaikan petir yang menggelegar menggetarkan hati. Dengan lembut di tatapnya dalam-dalam bola mata pemuda tampan di hadapannya itu, seolah-olah ingin mencari kepastian akan kata-kata yang hampir membuat jantungnya berhenti berdetak itu. Dan saat itu juga, gadis itu mengeluh lirih, saat di temukannya secercah kepastian yang ada dalam sorot mata pemuda tampan pujaan hatinya itu.

“Percayalah pada kata-kataku Lintang, apa pun yang terjadi. Aku akan selalu ada untukmu.” kata pemuda tampan itu lagi.

“Oh, Kakang…,” desah Saka Lintang terharu.

Gadis itu langsung menjatuhkan dirinya kembali ke dalam pelukan Rangga, dan kembali menangis. Tangisan hampa yang sulit untuk di ungkapkan dengan kata-kata, karena memang selama ini belum ada satu orang lelaki pun pun yang berkata seperti itu padanya. Hanya pemuda tampan inilah yang pertama kali mengatakannya, tanpa sadar hati gadis itu pun seketika langsung luluh dalam keharuan yang amat luar biasa.

“Kakang…,” ucap Saka Lintang sambil menengadah mesra, wajah ke duanya berada begitu dekat sekali. Hingga bisa saling merasakan hembusan nafas satu sama lain.

“Sudahlah Lintang, aku tidak mau lagi mendengar soal itu. Bukankah sudah aku katakan tadi, kalau aku tidak akan meninggalkanmu.” Potong Rangga dengan cepat.

“Bukan soal itu yang ingin aku katakan, Kakang.” kata gadis itu pelan dan manja, nada suaranya juga terdengar agak tertahan.

“Hm, lalu apa?.” balas Rangga, sambil melontarkan pertanyaan balik.

“Apa kau…, apa kau benar-benar mencintaiku.?” tanya Saka Lintang seraya menggigit bibirnya sendiri, Rangga pun langsung menatap wajah gadis itu dalam-dalam.

“Kalau aku tidak sungguh-sungguh mencintaimu, untuk apa aku datang menolongmu?.” jawab Rangga dengan mimik muka serius.

“Tapi Kakang…, Aku..., aku...,”

“Sebentar lagi akan larut malam, ayo kita jalan lagi.”

Saka Lintang pun tidak bisa lagi membantah, gadis itu kembali melangkahkan ke dua kakinya dengan kepala tertunduk. Memang sulit untuk mengatakan hal yang pernah terjadi pada dirinya. Tapi dia juga tidak ingin melukai hati pemuda tampan itu. Apa lagi dia juga tahu jika Rangga memang sungguh-sungguh, dan tulus mencintainya. Kesungguhan dan
ketulusan cinta pemuda tampan itulah yang membuat hatinya merasa tersiksa. Saka Lintang hanya bisa menjerit dalam hati, menyesali semua keadaan yang telah terjadi pada dirinya. Kalau saja hal itu tidak pernah terjadi, kalau saja Kala Srenggi dulu tidak memperkosanya. Tentu perasaannya juga tidak akan segundah dan segulita ini. Rangga yang melihat gadis itu menunduk, kembali merasa iba. Dengan cepat dia pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggang Saka Lintang. Dan langsung kembali memeluk tubuh molek itu erat-erat. Saka Lintang yang melihat tindakan pemuda tampan itu, langsung di buat kaget. Namun di biarkan saja tangan pemuda tampan itu, yang kini malah semakin terasa semakin ketat saja merangkul pinggangnya yang ramping dan indah itu.

“Kakang…,” desis gadis itu pelan.

“Cup…,”

“Hmph…,”

Namun dengan cepatnya pula bibir ranum dan merah itu, langsung di sumpal oleh bibir Rangga dengan liarnya. Saka Lintang hanya bisa menggumam dan mendesis pelan, saat merasakan lidah pemuda tampan itu bererak liar di dalam mulutnya. Bahkan sesekali pula bibirnya yang mungil itu pun, di sedot kuat-kuat oleh Rangga. Saka Lintang pun langsung melenguh tertahan, sambil balas memeluk tubuh pemuda tampan itu. Suara kecipak dari ke dua bibir yang tengah saling mengulum itu, terdengar mesra dan erotis. Agak lama ke duanya saling berciuman, dan pada saat bibir pemuda tampan itu telah lepas dari bibirnya, terlihat semburat merah menghiasi wajah Saka Lintang.

“Kau nakal, Kakang,” desah gadis itu dengan deru nafas yang agak terengah-engah.

“Maaf Lintang, aku kangen sama bibirmu.” kata Rangga sambil tersenyum manis.

Saka Lintang yang mendengar itu, hanya memberengut manja. Rangga pun kembali merangkul, dan menggamit pinggang gadis itu dengan mesra. Lalu kembali mengajaknya melangkah. Saka Lintang pun mengikutinya sambil mensejajarkan langkahnya di samping pemuda tampan itu. Ke dua insan yang berlainan jenis itu pun, terus berjalan tanpa berkata-kata lagi. Sampai akhirnya ke duanya tiba di sebuah puncak bukit yang tinggi, gadis itu masih merasa bingung kenapa Rangga mengajaknya ke tempat ini. Namun belum juga rasa bingungnya sirna, mulut gadis itu di buat terpekik kaget saat di lihatnya bayangan besar berwarna hitam. Yang membumbung di balik awan yang tinggi, terlihat turun mendekati mereka. Semakin lama bayangan itu semakin kian jelas saja bentuknya, yang ternyata tak lain adalah Burung Rajawali Putih raksasa. Saka Lintang pun hampir di buat copot jantungnya, begitu Burung Rajawali Putih itu mendarat tiba-tiba di dekat dirinya dan Rangga. Kepalanya yang besar itu juga terlihat menggeleng-geleng pelan, sambil sesekali memperdengarkan suaranya yang keras dan seram.

“Khraghk…,”

“Se…, se ekor burung raksasa..,” gumam Saka Lintang sambil bergerak mundur perlahan.

“Jangan takut Lintang, burung ini adalah tungganganku. Sekaligus juga sahabatku.” kata Rangga menenangkan hati gadis itu.

“Tungganganmu?, tapi…, tapi apakah dia tidak akan menggigit kita Kakang?.” tanya gadis itu polos dan lugu.

“Tidak, percayalah. Ayo naik, kau duduk di depan.” Kata Rangga lagi pelan.

Pemuda tampan itu pun langsung mengajak Saka Lintang untuk naik di punggung Burung Rajawali Putih Raksasa itu. Meski pun masih merasa was-was dan takut, gadis itu akhirnya terpaksa menurut. Setelah ke duanya naik dan hinggap ke punggung Burung Rajawali Putih Raksasa itu, Rangga pun langsung kembali melingkarkan ke dua tangannya memeluk tubuh gadis itu dari belakang. Dan tepat setelah tangan pemuda tampan itu, merangkul erat tubuh Saka Lintang. Burung Rajawali Raksasa itu pun terlihat mengepak-ngepakan ke dua sayapnya yang besar dan lebar. Lalu meluncur terbang membumbung tinggi ke angkasa, di iringi jeritan Saka Lintang yang terpekik ketakutan. Sambil memperdengarkan suaranya yang berkaok keras dan melengking, burung Rajawali Raksasa itu terus melesat terbang, sambil membawa tubuh Rangga dan Saka Lintang di punggungnya.

“Khraghk…, Khraghk…,”

Selesai

Bersambung ke episode 3
 
Terakhir diubah:
Harapan pembaca dan kenyataan yang disajikan penulis tidak harus sama...
Itulah seninya....jika harapan tak sesuai kenyataan.....kami hanya bisa protes....dan penulis bisa tertawa senang...
Hahahahahaha
 
Endingnya keren....semoga suhu selalu diberikan kesehatan untuk tetap berkarya di forum tercintah. Terima kasih suhu atas sajiannya yang warbiyasah. Salam hormat
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd