Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

copy n remake ..pendekar mata keranjang dari istana karanglangit

gondangkulon

Suka Semprot
Daftar
17 Aug 2014
Post
16
Like diterima
204
Bimabet

mohon maap apabila suhu penulis kurang berkenan dan menyalahi hak cipta ..loyalitas dan seluruh hak ada pada penulis.​


Sang surya merambat pelan, untuk
kemudian tenggelam di ujung laut sebelah barat. Bersamaan dengan itu, di
bentangan kaki langit sebelah timur,
samar-samar sang rembulan berwarna merah jingga mengintip dari lintasan awan.
Sinarnya yang kemerahan mulai semarak
mengusap permukaan bumi.
Pada saat yang demikian, di pinggir
pantai Laut Utara yang bergelombang
dahsyat terlihat dua sosok tubuh berdiri dengan sikap tegang menghadap ke laut.
Ternyata mereka adalah seorang laki-laki dan perempuan.
Yang laki-laki berbaju putih agak
kusam. Wajahnya kuning pucat. Kulit
mukanya tampak dipenuhi kerutan pertanda usianya tak muda lagi. Kumisnya hitam
legam, lebat, dan panjang. Sehingga dia nampak seperti tak ber-bibir. Rambutnya
yang panjang melambai-lambai
dipermainkan angin laut. Namun yang
membuatnya kelihatan angker adalah,
wajah yang kuning pucat itu hanya
memiliki mata di sebelah kiri! Sedangkan sebelah kanan hanya merupakan rongga
yang menjorok ke dalam.
Sedangkan yang perempuan berwajah
tak beda dengan laki-laki di sampingnya.
Kuning pucat. Kulit wajahnya juga telah dihiasi garis-garis ketuaan. Anehnya
kulit wajahnya bertolak belakang dengan kulit dan bentuk tubuhnya. Kulit
tubuhnya tampak putih mulus dan kencang.
Bentuk tubuhnya padat. Pinggulnya besar dan dada membusung menantang. Tubuh
perempuan yang terbungkus pakaian putih tipis serta ketat ini tampak begitu
menggiurkan. Di alas lobang hidung
sebelah kanan, tampak melingkar
anting-anting warna hitam dari akar
laut. Bibirnya tipis, berwarna merah
saga. Meski tak muda lagi, tubuh mereka
tampak kokoh. Tak ada suara yang keluar dari keduanya seolah tak menghiraukan
air laut yang telah membasahi kaki dan pakaian bagian bawah. Pandangan mereka
lurus ke laut. Tampak di sana seorang
nelayan sedang mendayung sampan merapat ke pinggir pantai.
Begitu sampan telah merapat,
laki-laki bermata satu itu melangkah
mendekat. "Hei! Aku ingin pinjam sampanmu!"
teriak laki-laki bermata satu pada sang nelayan yang akan beranjak turun dari
sampan. Begitu menoleh sang nelayan sedikit
terkejut. Bibirnya coba tersenyum, namun terlihat kecut.
"Meminjam bagaimana, Den?" tanya sang nelayan dengan sedikit membungkuk hormat.
"Bawa aku dan temanku ke tengah
laut! Kami ingin menikmati indahnya
bulan purnama di sana...!"
"Wah! Maaf, Den. Aku telah dua hari melaut! Istri dan anakku tentu telah
cemas menunggu! Jadi, aku harus
cepat-cepat sampai rumah! Lagi pula...."
"Hm.... Aku tahu. Tapi, jasamu tidak cuma-cuma," potong laki-laki bermata satu.
"Yang Aden maksud...?"
Dari balik baju putihnya, laki-laki
bermata satu mengeluarkan sebuah logam berwarna kuning. Di bawah jilatan cahaya
rembulan, logam itu tampak berkilauan.
Kemudian kakinya melangkah dua tindak, seraya menyodorkan logam kuning yang
ternyata uang emas pada sang nelayan.
Begitu melihat uang emas, mata sang
nelayan kontan terbeliak seolah tak
percaya. Kemudian matanya beralih
memandang lekat-lekat ke arah laki-laki bermata satu di depannya, seakan minta
jawaban. Melihat sang nelayan masih
termangu, laki-laki bermata satu
meloncat menarik tangan sang nelayan.
Lalu ditaruhnya uang logam di telapak
tangan laki-laki setengah baya itu.
Sebentar kemudian laki-laki bermata satu telah meloncat ke atas sampan dengan
gerakan indah sekali. Sang Nelayan yang tangannya ditarik, mau tak mau ikut
meloncat dengan gerakan seadanya. Tanpa berkata pula, perempuan berpakaian putih
dan tipis itu ikut loncat ke atas sampan.
Tak lama kemudian, sampan telah
bergerak pelan menuju tengah laut.
"Sunti! Jika tak mendayung sendiri, aku khawatir kita akan terlambat...!"
kata laki-laki bermata satu, sambil
menoleh ke arah perempuan di sampingnya.
Perempuan bernama Sunti ini hanya
memandang dan mengangguk.
Bersamaan dengan anggukan kepala
Sunti, laki-laki bermata satu beranjak ke depan, mendatangi sang nelayan yang
tengah mendayung dengan perlahan.
"Huh! Kulihat kau lelah! Biar aku saja yang mendayung! Kau
istirahatlah...!" ujar laki-laki
bermata satu. Lagi-lagi tanpa menunggu jawaban,
laki-laki bermata satu mengambil dayung dari tangan sang nelayan. Sementara
Sunti tak tinggal diam. Begitu sang
nelayan melangkah dan duduk, perempuan itu beranjak mendekati laki-laki bermata
satu. Segera diambilnya salah satu dayung dari tangan kiri sang laki-laki.
Saat itu juga, sampan meluncur cepat
begitu dua orang ini menghujam-hujamkan dayung yang terbuat dari kayu ke arah
gelombang laut yang mengganas. Sampan
pun lerus membedah kedahsyatan ombak,
membanting-banting para penumpangnya.
"Hm.... Di batu karang yang
menjulang paling tinggi itulah bajingan itu mendekam!" tunjuk laki-laki bermata
satu seraya memandang tak berkedip ke
arah batu karang menjulang di tengah laut dengan satu matanya.
"Semoga tidak salah alamat, Kakang Sangsang. Agar perjalanan kitayang jauh ini
tak sia-sia!" sahut Sunti sambil menoleh ke arah laki-laki bermata satu yang
dipanggil Sangsang.
"Hm.... Jika kita sampai di ternpat lebih cepat dari perkiraan, berarti
harus menunggu sesaat. Dan kesempatan
itu bisa digunakan untuk menyelidik!"
gumam Sangsang masih tak mengalihkan
pandangan. Sunti tak menyahuti.
"Hm.... Aku melihat tanda-tanda
keganjilan di puncak batu karang itu!
Lihat...!" sambung laki-laki bermata satu, sambil mengarahkan telunjuk tangan
kiri ke batu karang tinggi yang diapit beberapa batu karang.
Beberapa batu karang yang bagai
berputar mengelilingi batu karang yang menjulang tinggi itu tampak hitam
kemerahan disaput cahaya bulan purnama.
Namun pada bagian tengahnya bagai luput dari terpaan cahaya sang rembulan,
karena tersaput kabut dan terbuntal asap putih. Sehingga bentuknya menyerupai
bongkahan awan besar yang mengapung diatas lautan.
"Meskipun Kakang melihat dengan
hanya satu mata, namun aku tak ragu. Aku yakin, pandangan Kakang lebih tajam
dari pada pandangan orang bermata dua!"
sahut Sunti yang bertubuh sintal seraya mengerling nakal.
Sangsang mengalihkan pandangan ke
arah Sunti. Matanya yang hanya satu
menusuk tajam ke arah dada perempuan itu. Kumisnya yang lebat bergerak-gerak
sedikit, mengikuti sunggingan bibir yang tersenyum di baliknya.
Sementara itu, meski matanya lurus
ke depan, Sunti sepertinya tahu jika
sedang dipandang. Dadanya yang kencang dan berbentuk bagus tampak sengaja
dibusungkan. Apalagi, kain putih
tipisnya melekat tertiup angin laut yang kencang. Namun, mendadak Sunti
memberengut. Kala menoleh, ternyata
laki-laki di sampingnya telah kembali
memandang ke depan. Sementara tangannya sibuk menghujamkan dayung ke gelombang
laut di bawahnya.
Sambil mendengus kesal, perempuan
itu kembali mengarahkan pandangan ke
depan sambil mengayunkan dayung. Sampan ini lebih deras melaju ke depan, menuju
batu-batu karang yang mengurung batu
karang tinggi menjulang dan berkabut.
Tak lama, sampan itu mencapai salah
satu batu karang. Namun belum sampai
merapat, Sangsang dan Sunti telah
melompat ringan. Begitu mendarat, tubuh ke-duanya telah tegak di atas sebuah
batu karang. "Pulanglah, Ki. Anak dan istrimu
pasti telah cemas menunggu!" teriak laki-laki bermata satu dari atas batu
karang pada sang nelayan yang ternyata telah tertidur!
Sang nelayan terkejut, lantas
buru-buru bangkit. Namun belum juga
tubuhnya tegak, Sangsang telah
mendorongkan telapak tangannya ke depan.
Saat itu juga serangkum angin deras
melesat ke arah sang nelayan yang hanya terkesiap dengan mata mendelik.
Brasss! "Aaakh...!"
Angin deras pukulan laki-laki
bermata satu telah menghajar dada sang nelayan.
Disertai jeritan tertahan, tubuh
sang nelayan terbanting keras mengantuk sampan. Kembali terdengar lenguhan
keluar dari mulutnya. Matanya sayu
menatap, dan perlahan-lahan memejam. Dan bersamaan
itu, tubuhnya tak
bergerak-gerak lagi. Mati!
"Kita harus waspada, Nyai!" gumam Sangsang tanpa menoleh. "Di tempat seperti
ini, tak mustahil si bangsat Wong Agung memasang jebakan-jebakan
mematikan!"
Sunti sepertinya tak mengindahkan
kata-kata laki-laki bermata satu. Ia
malah mendekat dan dengan mulut
mendesah. "Di sini udara begitu dingin.
Bagaimana kalau kita menghangatkan tubuh sejenak" Lagi pula...," kata Sunti,
lirih. "Nyai!"
Belum selesai Sunti meneruskan
kata-katanya, laki-laki bermata satu
telah menyela tanpa menoleh.
"Tiga dasawarsa aku menyiapkan
segalanya! Tiga dasa warsa kita memendam bara! Dan..., saat ini adalah akhir
dari masa penantian panjang! Aku sudah tak
sabar ingin menjajal ilmu yang
kuperdalam selama ini! Dan aku ingin
orang pertama yang merasakan ilmuku,
adalah penghuni batu karang itu! Wong
Agung...!"
Terdengar ada kegeraman dalam nada
suara Sangsang yang berat. Kulit mukanya yang mengeriput sedikit mengencang.
Mata satu-satunya berkilat membeliak,
"Simpan dahulu amarahmu, Kakang!
Kita masih harus menunggu hingga tiba
saatnya!" sahut perempuan tua bertubuh sintal itu, meredakan amukan amarah
Sangsang. Sunti lantas melangkah ke depan
Jaki-laki itu. Lidahnya dikeluarkan
sedikit, lantas dijilatkan ke bibirnya yang tipis dan merah saga.
Melihat Sangsang seperti tak
peduli, perempuan tua bertubuh sintal
itu segera melingkarkan tangannya. Dan dadanya yang tampak mulai turun naik
ditempelkan ke dada Sangsang.
Laki-laki bermata satu sedikit
kaget. Raut mukanya berubah seketika.
Darahnya menggelegak, jantungnya
berpacu lebih kencang. Sehingga tubuhnya panas bagai dipanggang bara. Dan
pandangannya segera dialihkan ke arah
wanita di depan hidungnya.
Perlahan-lahan pula tangannya bergerak, menakup punggung perempuan di depannya.
"Batu karang masih terendam
gelombang pasang. Malam pun belum
beranjak. Sebaiknya kita tunggu hingga gelombang surut. Dan waktu menunggu bisa
dipergunakan untuk...."
Tak sampai ucapan Sunti selesai,
Sangsang telah menundukkan wajahnya yang telah tampak memerah dan hangat.
Dilumatnya bibir tipis Sunti dengan
bibirnya. Dan tangannya digeser ke arah dada yang membukit indah.
Di antara tingkah deru ombak, kini
tampak tubuh basah keduanya menyatu.
Sesekali terdengar desahan napas panjang dan memburu.
Malam merambat makin jauh. Dan
perlahan-lahan di ujung laut sebelah
timur, langit tampak berubah warna.
Cahaya kuning kemerahan sang mentari
mulai merebak, menyibak gulita malam.
Bersamaan dengan itu, batu karang
tempat laki-laki bermata satu dan
perempuan tua bertubuh sintal berada,
tampak terang. Ke arah mana mata melihat, kini jelas tampak sedikit membuka
satu-satunya mata yang dimiliki,
Sangsang mendadak mcncekal bahu Sunti di pelukannya

"Kila harus bergerak sekarang,
Nyai!" ujar Sangsang, parau.
Tapi perempuan tua bertubuh sintal
itu rupanya tak mendengar kata-kata
Sangsang. Bahkan dadanya yang kini
tampak terbuka dan masih
berguncang-guncang dirapatkan kembali.
"Kakang! Tiga puluh tahun kita
mendekam dalam jurang Lebak Weden!
Selama itu pula, siang dan malam waktu kita hanya tersita untuk berlatih dan
memperdalam ilmu. Sekarang ada
kesempatan. Kuharap Kakang tak
menyia-nyiakan kesempatan ini!
Teruskanlah, Kakang...!" desah Sunti dengan tengadah memandang dagu Sangsang.
Laki-laki bermata satu menunduk.
Kumisnya yang lebat bergerak-gerak.
Sementara Sunti memejamkan matanya.
Namun karena lama tak juga ada gerakan yang diharapkan, matanya membuka. Dan
kali ini sang perempuan terkejut.
Mata satu milik Sangsang tampak
merah dan memandang tanpa nafsu. Bahkan raut mukanya merah padam. Rahangnya
mengembang. Dari bibirnya yang tertutup kumis terdengar dengusan.
"Ingat, Sunti! Kita akan menghadapi pertempuran! Dan kini saat itu telah
tiba! Simpan dulu gejolak nafsumu! Jika tidak, kau akan tahu akibatnya!"
Mendengar ancaman itu buru-buru
Sunti melepaskan rangkulannya.
Kepalanya ditarik dari dada bidang
Sangsang. Dan tanpa menutup dadanya yang masih turun naik dan terbuka, kakinya
mundur dua langkah dengan kepala
menunduk. "Sunti! Kita tunda dulu permainan ini! Kurasa untuk mencapai puncak batu karang,
kita masih harus mengeluarkan
tenaga!" ujar laki-laki itu agak pelan saat Sunti beringsut dengan sedikit
ketakutan. "Ngg..., mengapa Kakang berkata
begitu?" tanya perempuan tua bertubuh sintal itu, memandang agak heran.
Laki-laki bermata satu ini tak
menjawab. Hanya pandangannya diarahkan ke batu karang yang mulai terlihat,
seiring menghilangnya kabut dan asap
putih yang menyelimuti.
Batu karang itu tinggi menjulang.
Dan sisi-sisinya hanya merupakan batu
karang lurus ke atas, tanpa tanjakan dan gundukan. Sehingga sisi-sisi itu
menyerupai dinding tembok sebuah
bangunan. Sunti sejenak terbelalak. Lantas
ditutupnya kembali kain bajunya yang
terbuka dan berumbai-rumbai tertiup
angin. "Jika demikian halnya, sebelum
kabut dan asap putih membungkus kembali, kita memang harus bergerak sekarang!"
kata Sunti, akhirnya.
Belum selesai perempuan itu
menyelesaikan kata-katanya, Sangsang
telah berkelebat melangkahi beberapa
selat kecil di antara batu-batu karang.
Dan Sunti segera mengikuti.
Melihat gerakan ringan bagai bulu
tertiup angin, bisa dibayangkan tingkat ilmu meringankan tubuh mereka.
Hanya beberapa kali lesatan,
Sangsang dan Sunti telah tiba pada sebuah batu karang yang berseberangan dengan
batu karang yang menjulang tinggi.
"Kita harus, bergabung untuk
melewati batu karang lurus itu, Sunti!
Kerahkan ilmu 'Iblis Pencakar Langit'!"
perintah laki-laki bermata satu. Tanpa pikir panjang, perempuan tua bertubuh
sintal itu melepas ikat pinggang warna kuning yang melilit pinggangnya.
Sekali kebut, ujung ikat pinggang
telah tergenggam di tangan kiri
Sangsang. Bersamaan dengan itu tapak tangan kanan Sangsang dan tapak tangan kiri
Sunti yang terbuka telah terangkat ke
atas. Lalu hanya sekali jejak yang
disertai bentakan menggemuruh, tubuh
mereka melayang melewati pinggiran batu karang yang lurus bagai tembok.
Begitu keduanya telah berdiri tegak
di pelataran batu karang yang menjulang, matahari telah berada satu tombak dari
permukaan laut.
"Wong Agung keparat! Keluarlah dari selimut hangatmu! Hari telah siang!
Sambutlah kedatangan kami yang akan
mengantarmu ke akherat...!" teriak Sangsang lantang dengan pandangan mata
satunya ke arah sebuah bangunan batu yang berada tiga puluh tombak di depan.
Teriakan lantang yang disertai
tenaga dalam tinggi itu terdengar
menggelegar. Sehingga batu karang menjulang itu terasa bergetar bagai terkena hempasan ombak teramat dahsyat! Bahkan
ombak yang datang meng-gulung ke arah
batu karang di bawah, terhenti barang
sesaat. Tak ada sahutan. Hanya debur ombak
terdengar bergemuruh menyelingi.
"Keluarlah, Tua Bangka! Terimalah takdir kematianmu hari ini...!"
Kembali laki-laki bermata satu itu
berteriak lantang, manakala tetap tak
ada sahutan dari dalam bangunan batu di depannya. Sementara masih juga belum ada
tanda-tanda kalau orang di dalam
bangunan batu akan keluar.
"Hm.... Rupanya kau telah berubah menjadi pendekar ayam sayur, Wong Agung!
Tak heran kalau kau takut menghadapi
kedatangan kami...!" teriak Sunti tak kalah menggelegarnya.
Agaknya teriakan mereka kali ini tak
sia-sia. Karena....
"Sangsang...! Sunti...! Ada perlu apa kalian datang ke Karang Langit
mengusik ketenanganku..."!"
Mendadak terdengar sahutan dari
bangunan batu di depan mereka. Suara itu menggema dan begitu dekat. Sehingga
Sangsang dan Sunti sedikit terlonjak
kaget. Tak dapat dipungkiri, kalau si
empunya suara pastilah orang yang
berilmu tinggi.
"Bajingan tua! Harap panggil kami Sepasang Iblis Pendulang Sukma! Kau tahu itu,
bukan..."!"dengus laki-laki
bermata satu itu dengan menahan marah.
"Hm.... Sangsang! Sunti! Kalian
masih gila gelar rupanya! Boleh...,
boleh...! Tapi harus ingat! Kalian
berdua adalah juga sepasang manusia yang berbuat mesum sesama saudara
seperguruan...! Kalian tahu itu,
bukan..."!"
Terdengar kembali suara dari dalam
bangunan tanpa terlihat sosok yang
keluar. "Jahanam bedebah! He..., Tua
Bangka! Keluarlah kau! Jangan bisanya
hanya main sembunyi!" bentak Sangsang sambil membaka tangannya. Lalu seketika
itu pula disentakkannya ke depan.
Blarrr...! Sebongkah batu besar yang teronggok
di depan bangunan batu, hancur
berantakan terkena hembusan angin
pukulan jarak jauh Sangsang.
"Ha... ha... ha...! Kau tak perlu menggasak batu itu, jika hanya
menginginkan aku keluar menemui kalian!"
Entah dari mana keluarnya,
tahu-tahu di depan bangunan batu itu
telah berdiri seorang laki-laki tua
berjubah ungu dengan tatapan dingin ke arah Sangsang dan Sunti yang berjuluk
Sepasang Iblis Pendulang Sukma.
Rambutnya yang putih disanggul. Kumis
dan jenggotnya yang panjang berwarna
kemerahan. Meski kulit wajahnya telah
tersaput kerutan, namun sisa-sisa
ketampanan jelas nampak. Dialah sosok
yang dipanggil Wong Agung.
"Kalian belum jawab pertanyaanku!
Apa keperluan kalian datang ke
tempatku?" tanya Wong Agung tenang sambil tersenyum.
"Hm.... Usia telah memakan
ingatanmu rupanya, hingga kau pikun, Tua Keparat!" gumam laki-laki bermata satu
itu, disertai seringai dingin.
"O, jadi kalian akan memperpanjang kisah tiga puluh tahun silam"!" tanya Wong
Agung sambil tertawa terkekeh
sehingga gigi-giginya yang masih utuh
dan putih nampak mengkilat terjilat
sinar matahari.
"Hm.... Kau semakin cerdas, Jahanam Tua!" sela Sunti sambil memutar-mutar ikat
pinggangnya. "Hm... Kalau itu yang kalian
inginkan, sungguh sayang! Aku tak bisa melayani kalian! Aku telah mengundurkan
diri dari gelanggang persilatan. Aku
ingin mengisi hari-hari tuaku, dengan
ketenangan tanpa kekuasaan. Jadi,
silakan meninggalkan tempat ini!" ujar Wong Agung.
"Ha... ha... ha.... Sia-sia kami
melakukan perjalanan panjang. Apalagi
telah menanti sekian lama. Dan kini kami hanya kau sambut dengan ucapan sok
sucimu itu, Tua Keparat!" geram Sangsang dengan siap menyerang.
"Hari-hari tuaku malah tak tenang sebelum bisa mengirimmu ke sangkar
kematian, Tua Bangka..!" Sunti ikut angkat bicara. Matanya tak beralih nanar
menatap bola mata Wong Agung.
Suasana hening sejenak. Tak ada
suara terdengar dari tiga sosokyang kini hanya saling pandang. Nyanyian burung
laut yang biasa menyambut sang mentari pun seakan tak terdengar. Mereka seperti
sadar akan ada tanding ulang seperti tiga puluh tahun silam yang menggegerkan
dunia persilatan, antara seorang tokoh pembela kebenaran dari Karang Langit
bernama Wong Agung melawan sepasang
tokoh sesat yang berjuluk Sepasang Iblis Pendulang Sukma.
"Bersiaplah, Tua Bangka! Hiaaa...!"
Terdengar suara menggemuruh
membangunkan keheningan dari mulut
Sangsang. Salah satu dari Sepasang Iblis Pendulang Sukma itu telah memulai
serangan dengan mendorongkan telapak
tangan yang dialiri tenaga dalam dahsyat ke arah Wong Agung.
Namun Wong Agung cepat memiringkan
tubuhnya ke samping kiri, menghindari sambaran angin deras dan panas yang
meluruk ke arahnya. Sayangnya, tak luput bias angin pukulan tadi sempat
memerahkan matanya, sehingga sejenak
matanya dikerdip-kerdipkan.
Mendapati serangannya begitu mudah
dielakkan, Sangsang menyambung dengan
membuat lompatan tiga kali. Sehingga, tubuhnya berada satu tombak di hadapan
Wong Agung. Dan begitu menginjak batu
karang, kaki kanannya ditebaskan ke
leher Wong Agung.
Wong Agung menghindari tebasan itu
dengan menekuk sedikit kakinya.
Sehingga, tubuhnya sedikit melorot ke bawah. Hasilnya serangan Sangsang hanya
menerpa angin, sejengkal di atas kepala.
Sangsang makin geram. Wajahnya
merah padam. Giginya terdengar
bergemeletak. "Kau ternyata masih gesit, Tua
Bangka! Tapi, terimalah ini...!"
Bersama hilangnya bentakan,
Sangsang merangsek kepalan tangan ke
arah dada. Kembali Wong Agung hanya menghindar
dengan mendoyongkan tubuhnya ke samping, hampir menyentuh batu karang. Namun
sungguh janggal terlihat mata. Tubuh
Wong Agung yang doyong hampir menyentuh batu karang, tetap lurus bagai disangga!
Tapi tiba-tiba Sangsang membuat
gerakan berputar. Dan kakinya deras
menyapu ke arah kaki Wong Agung.
Wut! Sayang, terlambat! Sebelum kaki
Sangsang sempat menghantam, Wong Agung telah menyentakkan tangannya ke batu
karang. Sehingga tubuhnya yang doyong
melenting ke udara. Lalu dengan ringan kakinya mendarat di samping bongkahan
batu yang telah hancur.
Tiga serangan yang ganas dan
mematikan telah dilancarkan Sangsang.
Namun sejauh ini Wong Agung hanya
berkelit menghindar, dan belum ada
tanda-tanda untuk balas menyerang:
Dalam hati, Wong Agung pun tak luput
sedikit tertegun. Sungguh tak disangka ketika mendapati serangan Sangsang
demikian hebat yang dibarengi tenaga dalam begitu kuat. Sungguh tak diduga, jika
kepandaian salah satu dari Sepasang
Iblis Pendulang Sukma yang pernah
dipecundangi tiga puluh tahun silam,
kini telah maju.
*** Tiga puluh tahun silam, waktu itu
Sepasang Iblis Pendulang Sukma termasuk tokoh sesat jajaran atas. Namun, tingkat
kepandaian serta kedigdayaan mereka
masih di bawah Wong Agung. Sehingga sepak terjang mereka masih bisa diatasi.
Memang, waktu itu tokoh-tokoh sesat
memegang kendali gelanggang persilatan.
Sementara tokoh-tokoh golongan putih
yang berusaha menghadang gerak laju
keangkaramurkaan, satu persatu rontok di tangan orang-orang golongan hitam.
Dan kalaupun berhasil selamat, lantas
menghilang tak tentu rimbanya.
Pada saat yang sudah keruh itulah
muncul seorang tokoh golongan putih yang tingkat kepandaiannya sulit ditandingi.
Sepak terjangnya membuat tokoh-tokoh
hitam jajaran atas satu demi satu
terguling. Sejak itu dunia persilatan kontan
tersentak dan geger oleh kemunculan

tokoh muda golongan putih yang segera
menjadi buah bibir. Di mana ada
ketidakadilan, kelaliman, dan
kesewenang-wenangan, tokoh muda itu
pasti muncul dan segera dapat
menguburnya. Tapi sejauh itu orang-orang dunia
persilatan hanya tahu asal tokoh muda
itu. Yakni, sebuah batu karang menjulang yang diapit beberapa batu karang di
tengah Laut Utara. Akan halnya, siapa
nama tokoh muda itu, hingga saat itu
belum ada yang tahu. Sampai akhirnya,
dunia persilatan menjulukinya Wong Agung dari Karang Langit.
Karena merasa terdesak
kedudukannya, tokoh-tokoh golongan
hitam lantas mengadakan Gelar Pandega, untuk memilih tokoh yang pantas
dijadikan pemimpin dalam menghadapi Wong Agung dart Karang Langit. Daluk-datuk
sesat dari seluruh penjuru angin
diundang. Setelah terjadi pertarungan
panjang selama satu purnama penuh, maka muncullah nama Sepasang Iblis Pendulang
Sukma sebagai Pandega. Dan seperti telah disepakati bersama, akhirnya pasangan
tersebut resmi diangkat sebagai pemimpin tokoh golongan hitam.
Demi mengangkat kembali kekuasaan
golongan hitam, mereka pun lantas
mengundang berlaga tokoh-tokoh golongan putih untuk menentukan siapa yang layak
memegang kendali dunia persilatan. Dan Jurang Gladak Perak adalah tempat yang
ditentukan untuk berlaga.
Merasa terpanggil untuk
menyelamatkan dunia persilatan dari
genggaman tangan orang-orang sesat, Wong Agung turun gelanggang. Pada akhirnya,
di Jurang Gladak Perak Wong Agung harus bertarung melawan Sepasang Iblis
Pendulang Sukma yang waktu itu sebagai pentolan golongan hitam.
Setelah pertarungan panjang dan
melelahkan, akhirnya Sepasang Iblis
Pendulang Sukma dapat dipecundangi Wong Agung. Malah mata kanan Sangsang, salah
satu dari Sepasang Iblis Pendulang
Sukma, terkena pukulan Wong Agung hingga mengakibatkan kebutaan. Sementara.
Sunti terluka dalam.
Sebagai seorang pendekar, Wong
Agung tak hendak menghabisi musuh yang sudah tak berdaya. Dibiarkannya Sepasang
Iblis Pendulang Sukma mengundurkan diri dari gelanggang.
Maka, sejak itulah tokoh-tokoh
hitam lainnya perlahan-lahan mulai surut dan tenggelam. Dunia kembali damai dan
tenteram. Namun sejak itu pula, Wong
Agung menghilang tak tentu rimbanya.
Hilang bagai tenggelam ditelan bumi.
Bahkan hingga ketika tokoh-tokoh sesat muncul kembali pengusik kedamaian, Wong
Agung yang selalu dirindukan tak juga
kunjung datang.
Sementara itu, latar belakang
kehidupan Sepasang Iblis Pendulang Sukma bermula dari dua orang saudara
seperguruan. Yang laki-laki bernama
Sangsang. Wajahnya tampan. Tubuhnya
kekar dan berotot. Matanya tajam. Cerdik namun juga licik. Sedangkan yang
perempuan bernama Sunti. Parasnya
cantik. Kulitnya putih. Pinggulnya besar dan bagus, dengan dada membusung
menantang. Namun sifatnya cepat jatuh
cinta, dan tak bisa mengekang hawa nafsu.
Hingga suatu ketika kedua saudara
seperguruan ini terlibat perbuatan mesum yang menjijikkan.
Setelah turun gunung dan bergabung
dengan tokoh-tokoh golongan hitam, dua orang ini menamakan diri Sepasang Iblis
Pendulang Sukma. Kemudian begitu
terpilih sebagai Pandega kaum hitam,
mereka terlibat pertarungan di Jurang
Gladak Perak dengan Wong Agung. Setelah kalah, akhirnya keduanya kembali ke
tempat sang guru di Lebak Weden.
Sang guru adalah juga termasuk tokoh
sesat pada zamannya. Julukannya, Manusia Titisan Iblis. Karena, ia memiliki
sebuah kitab bernama Kitab Dua Belas
Titisan Iblis yang jadi rebutan beberapa tokoh silat waktu itu.
Setelah sembuh dari luka-lukanya,
Sepasang Iblis Pendulang Nyawa memaksa agar sang guru segera menurunkan Kitab
Dua Belas Titisan Iblis. Namun, Manusia Titisan Iblis selalu mengulurkan
waktu. Sehingga, kedua murid ini
menghabisinya secara licik. Yakni,
memberikan racun pada minumannya. Si
Manusia Titisan Iblis akhirnya tewas di tangan kedua murid murtad ini.
Sejak saat itulah Sepasang Iblis
Pendulang Nyawa menghabiskan
hari-harinya di jurang Lebak Weden,
mempelajari Kitab Dua Belas Titisan
Iblis. *** Kini setelah tiga puluh tahun
mendekam, Sepasang Iblis Pendulang Sukma muncul kembali. Selain ingin membalas
kekalahannya atas Wong Agung, sekaligus bertekad mengendalikan dunia
persilatan. Meski mereka telah mempelajari
Kitab Dua Belas Titisan Iblis, namun
untuk menggulung Wong Agung bukanlah hal mudah. Ini dapat dilihat dan dibuktikan
ketika tiga serangan mematikanyang
dilancarkan Sangsang terhadap Wong
Agung, dapat dielakkan. Bahkan ketika
Wong Agung mulai membalas serangan,
Sangsang tampak terteter dan terdesak.
Pada satu kesempatan, Wong Agung
menyilangkan kedua tangan sejajar dada.
Lalu seketika mendorongnya kuat ke
depan. Saat itu juga dari kedua tangan Wong Agung meluruk dua kekuatan disertai
angin menderu tajam. Begitu cepat
serangan itu meluncur, sehingga....
Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Sangsang kontan terjengkang
sepuluh tombak ke belakang disertai
keluhan tertahan. Darah langsung
merembes dari bibir melalui kumisnya
yang lebat. Ia mengerang sebentar sambil memegangi bahunya yang terkena pukulan
Wong Agung. Tapi, tubuhnya segera
bangkit. Matanya yang cuma satu menusuk tajam.
Untuk pertama kalinya Wong Agung
sedikit terkejut, mendapati Sangsang
bangkit dan hanya mengerang sebentar. Ia hampir tak percaya. Karena pukulan yang
dilancarkannya dan telak mengenai bahu laki-laki bermata satu itu adalah
pukulan Topan Menerjang Badai tingkat enam yang dimilikinya.
"Keluarkan semua pukulanmu, Wong
Agung! Ha... ha... ha...!"
Cepat Wong Agung membuka telapak
tangannya dan memutar-mutarnya di atas kepala. Itulah pukulan tingkat tujuh
Topan Menggulung Bumi. Begitu tapaknya berputar, terdengar desingan angin
kencang ber-gulung-gulung. Saat itu juga Wong Agung menyorongkan tangan kirinya.
"Heaaah...!"
Seketika angin bergulung cepat
melesat ke arah Sangsang. Tapi kali ini laki-laki bermata satu itu telah siap.
Ketika gulungan itu hampir tiba, kedua tangannya dihantamkan dari samping
pinggang ke depan.
"Heaaa.."
Blarrr! Batu karang tinggi menjulang itu
bagai dilanda gempa manakala hantaman
terjadi benturan dahsyat.
"Sunti! Tiba waktunya...!"
Tiba-tiba Sangsang berseru kepada
perempuan yang dari tadi masih berdiri mematung. Usai memberi perintah, kakinya
mundur selangkah sambil bersedekap.
Bret! Bret! Tanpa disangka, tiba-tiba perempuan
tua bertubuh sintal itu merobek
pakaiannya tepat di dada. Maka tak ayal, dua buah bukit yang masih bagus dan
membusung itu terlihat jelas. Sambil
tersenyum dan memutar ikat pinggang,
Sunti melenggang maju.
Wong Agung kontan menutup kedua mata
dengan tapak tangannya sambil mundur
beberapa langkah. Pada saat itulah
Sangsang merangsek disertai
bentakan-bentakan menggemuruh.
Wong Agung kaget dan membuka telapak
tangannya. Tapi, hantaman tangan
Sangsang lebih cepat melanda dadanya
yang terbuka. Bres! Tubuh Wong Agung langsung
terbanting menyuruk batu karang. Bajunya bagian dada robek dan kulitnya tampak
membiru. "Kau tak akan tahan lama jika
terkena pukulan 'Iblis Merenggut Sukma'
yang baru kulancarkan tadi, Wong Agung!"
ejek Sangsang sambil berkacak pinggang ketika Wong Agung mulai merambat
bangkit. Benar yang dikatakan Sangsang.
Ketika tubuh Wong Agung belum sepenuhnya tegak, darah kehitam-hitaman tersembur
dari mulutnya. "Hooaaik!"
Byuarrr! Begitu berhasil berdiri, Wong Agung
menatap Sangsang dengan pandangan dingin seraya memegangi dadanya.
"Iblis licik! Kalian telah berhasil menguasai kitab curian itu rupanya...!"
membatin Wong Agung. "Dan..., benar apa yang dikatakan Paman Selaksa! Dua orang
ini telah mencuri Kitab Dua Belas Titisan Iblis, setelah menewaskan si Manusia
Iblis...."
"Bagaimana, Wong Agung..." Benar
bukan kata-kataku..."!"
"Licik! Kalian tak akan pernah
memperoleh kemenangan tanpa berbuat
licik!" dengus Wong Agung terdengar sengau dan sember.
"Nyawamu telah di tenggorokan, Wong Agung! Tak sudah banyak bicara...!
Terimalah saat kematianmu...!" sergah Sangsang seraya menoleh dan mengangguk
pada Sunti. Bet! Bet! Saat itu juga, hembusan angin panas
segera menyapu, tatkala perempuan yang dadanya terbuka mulai menyabetkan ikat
pinggang sambil mendekati Wong Agung.
Meski terluka dalam, Wong Agung
tetap tenang. Bahkan ia menanti serangan dengan memasang kuda-kuda.
Wuk! Manakala sabetan ikat pinggang
melesat ke arah lehernya, sambil tetap memegang dada Wong Agung melentingkan
tubuhnya ke udara. Tapi Sunti rupanya tak memberi kesempatan sedikit pun.
Begitu tubuh Wong Agung akan
menjejak batu karang perempuan itu
segera saja menyabetkan ikat
pinggangnya. Hingga untuk beberapa saat, tubuh Wong Agung kembali berputar-putar
di udara. Menyaksikan hal itu, Sangsang
menangkupkan kedua tangannya sejajar
dada. Dari telapak tangannya yang
menakup tampak mengepulkan asap tipis.
Aroma bunga melati mulai merebak,
mengiringi kepulan asap.
Begitu mencium aroma bunga melati,
mendadak Sunti menarik ikat pinggangnya ke belakang, menghentikan serangan.
Sementara itu Wong Agung yang sedari
tadi berjumpalitan di udara, segera
mendaratkan kakinya di atas batu karang.
Bersamaan dengan itulah, tapak tangan
Sangsang membuka dan menghantamkannya ke arah Wong Agung yang baru mendarat.
Desss! Tubuh Wong Agung yang baru menginjak
batu karang, dan belum bisa menguasai
keadaan sepenuhnya, kontan terhempas ke belakang. Luncuran tubuhnya baru
berhenti setelah mengantuk tiang batu
penyangga bangunan. Tiang dari batu
karang yang juga berperan sebagai tiang penyangga bangunan kontan hancur
berderak. Tubuh Wong Agung yang berada di bawahnya, tak ampun tertimbun
reruntuhan batu karang.
Kini dengan langkah panjang,
Sepasang Iblis Pendulang Sukma maju
mendekat. Dan ketika kepala Wong Agung tampak menyembul dari bawah reruntuhan,
Surti menyabetkan ikat pinggangnya ke
arah mata kiri. Sementara Sangsang
menghantamkan tangannya ke arah mata
kanan Wong Agung.
Wong Agung yang sudah tak berdaya,
hanya bisa menerima pasrah. Hingga....
Bet! Des! "Akh...! Akh...!"
Dua pekikan tertahan terdengar dari
mulut Wong Agung yang langsung lunglai di atas reruntuhan batu karang sambil
memegangi kedua matanya yang berdarah.
"Ha... ha... ha...Persoalan kita
telah selesai, Sunti!
Tutup auratmu! Kita tinggalkan
tempat ini sebelum air laut pasang!" seru Sangsang sambil menatap dingin Wong
Agung yang menggeletak.
Laki-laki bermata satu itu lantas
berbalik dan melangkah membelakangi.
"Tapi, Kakang..."!" tukas Sunti menjajari Sangsang.
"Jangan khawatir! Dia tak akan tahan sampai malam hari kata laki-laki itu
lirih. Matanya langsung membelalak ke
arah dada perempuan itu yang belum juga tertutup.
Ketika matahari satu jengkal di
ujung laut sebelah barat, dua sosok
bayangan tampak melayang turun dan batu karang yang tinggi menjulang dan mulai
berkabut.
menggapai puncak gunung dan
sekitarnya. Di lereng gunung, tepatnya di perbatasan sebuah hutan kecil yang
hanya ditumbuhi pohon-pohon karet dan
pinus, tampak sebuah bangunan besar yang kelihatan sudah tua.
Ditilik dari bentuk bangunan serta
papan nama di depan yang sudah lapuk dan keropos serta menggantung tak terawat,
dapat diduga kalau bangunan tua ini
adalah sebuah Perguruan Silat. Nama yang tertera di papan, Perguruan Samudera
Putih. Di kalangan persilatan perguruan ini dikenal berkiblat pada golongan
putih. Meski malam baru saja menjelang,
ternyata di sekitar perguruan itu tak
terdengar suara orang-orang yang sedang berlatih kanuragan.
Bangunan itu dari luar nampak sepi,
bagai tak berpenghuni. Namun jika
melihat lebih ke dalam, maka suasana akan menjadi lain. Karena meski hanya
diterangi bintang-bintang tanpa
munculnya sang rembulan sepotong pun, di halaman tengah perguruan tampak
beberapa orang sedang bersila. Tangan mereka
bersedekap sejajar dada yang tegak lurus dengan kepala tertunduk.
Mereka membentuk tiga barisan.
Salah seorang yang berjubah putih
terlihat duduk di depan berhadapan
dengan beberapa orang berpakaian
putih-putih yang membentuk sap-sap.
Orang yang duduk paling depan dengan
jubah putih, berumur setengah baya.
Wajah yang dihiasi jenggot selalu
tersenyum, berkesan wibawa. Memang, dia adalah Ketua Perguruan Samudera Putih.
Orang persilatan memanggilnya Aki
Lempungan. "Kita cukupkan latihan pernapasan malam ini!" terdengar suara berat dan
berwibawa dari Aki Lempungan.
Maka serentak beberapa pemuda
berpakaian putih-putih menegakkan
kepala dan menjura hormat.
"Gatra...! Mana Aji...'"!" tanya Aki Lempungan pada salah seorang pemuda yang
masih duduk bersila tepat
dihadapannya. "Ada di biliknya, Guru...," jawab pemuda yang dipanggil Gatra dengan
sedikit mengangguk.
Dari tempatnya bersila Aki
Lempungan bangkit. Raut mukanya tampak sedikit berubah, ketika mendengar
jawaban Gatra. Matanya sejenak menyapu ke seluruh halaman, tempat beberapa
pemuda berpakaian putih duduk bersila.
Ditariknya napas panjang, hingga bahunya sedikit terangkat.
"Baik...! Kalian istirahatlah...!"
desah Aki Lempungan sambil berbalik
membelakangi halaman dan bergegas masuk ke ruangan.
Sementara, para pemuda yang tadi
duduk bersila, kini segera bangkit.
Mereka lantas berjalan memasuki kamar
masing-masing di perguruan ini.
"Anak bengal! Aku tak habis pikir, kenapa hati anak itu tak juga tergerak untuk
belajar ilmu silat...."
Aki Lempungan bicara sendiiri
sambil membelok-kan langkahnya ke arah lorong yang menuju beberapa bilik di
bagian belakang bangunan perguruan. Di depan sebuah bilik, laki-laki setengah
baya itu menghentikan langkah. Kembali ditariknya napas panjang.
"Aji...! Apa kau ada di dalam...?"
panggil laki-laki berjubah putih ini.
Tak terdengar sahutan dari dalam
bilik. "Aji...! Apa kau ada di dalam...?"
ulang Aki Lempungan dengan sedikit
mengeraskan suara.
Karena belum juga ada jawaban, Aki
Lempungan mengangkat tangannya.
Langsung didorongnya pintu bilik.
Matanya sedikit menyipit manakala pintu bilik terbuka, karena seberkas sinar
lampu teplok menerpa wajahnya.
Aki Lempungan lantas melangkah
masuk, begitu pintu bilik terbuka.
Pandangannya segera menebar ke seluruh ruangan bilik, yang hanya terbuat dari
pelepah nyiur kelapa.
Disinari warna merah lampu teplok,
di atas sebuah bangku panjang terbuat
dari bambu, tampak seorang anak muda
berusia belasan tahun tidur telentang
dengan dengkur keras dan teratur. Tubuh pemuda ini tak begitu kekar. Rambutnya
yang panjang melewati tengkuk
awut-awutan tak teratur. Tapi, wajahnya tampak tampan.
"Aji...!" panggil Aki Lempungan sambil mendekati bangku panjang.
Pemuda yang tidur di bangku panjang
menggeliat Lalu dua matanya
diusap-usapnya sebelum bangkit duduk dan melonjorkan kakinya.
"Ng.... Paman Guru..."!"
Agak terkejut pemyda itu manakala
matanya melihat orang berjubah putih
yang tegak di hadapannya. Buru-buru
kakinya diturunkan, lantas menjura
hormat. Aki Lempungan tersenyum sedikit.
Matanya memandangi lekat-lekat pemuda
tanggung yang sedikit menunduk.
"Hm.... Bagaimana, Aji..." Apa kau masih juga belum tertarik dengan ilmu
silat..."!" tanya Aki Lempungan, membuka suara.
Pemuda yang dipanggil Aji
mendongakkan kepala. Matanya menyorot
tajam, menusuk bola mata Aki Lempungan di hadapannya.
"Ng.... Anu, Paman.... Maafkan
aku.... Sampai sekarang ini aku belum
tertarik ilmu silat...," jawab Aji pelan.
"Hm.... Sungguh amat disayangkan
jika kau masih belum berubah pikiran,
Aji...!" gumam laki-laki berjubah putih ini dengan geleng-geleng kepala.
"Maalkan aku, Paman Guru...."
"Aku bisa saja memaafkanmu...!
Karena, belajar ilmu silat memang tidak diharuskan. Tapi..., jika teringat pesan
mendiang ibumu yang menitipkan kau
padaku, aku kadang-kadang merasa
bersalah. Mendiang ibumu berpesan, agar aku mendidikmu menjadi orang baik.
Sekaligus, mengerti ilmu silat.
Yahhh..., paling tidak agar kau dapat
menjaga diri...!"
"Tapi, Paman...."
"Aku tahu..., kau pasti akan
mengatakan bahwa belajar ilmu silat akan membawa orang takabur memandang rendah
orang lain, serta biang keladi
pertumpahan darah. Itu yang sering kau ucapkan, bukan?" tukas Aki Lempungan.
Aji hanya menunduk dan menyisir
rambutnya dengan jari-jari tangannya.
"Apa yang kau anggap tak semuanya benar, Aji.... Semuanya berpulang pada orang
yang memilikinya! Bahkan orang tak punya kepandaian ilmu silat, bisa
menumpahkan darah. Malah, juga bisa
sombong! Pikirkan itu! Aku tak akan gigih menuntutmu belajar ilmu silat jika
mendiang ibumu tak berpesan padaku...!
Ini demi kebaikanmu, Nak..,!"
Setelah berkata begitu, Aki
Lempungan bergegas melangkah
meninggalkan bilik, diiringitatapansayu mata Aji.
*** Waktu terus bergulir seiring muncul
dan tenggelamnya sang matahari.
Perguruan Samudera Putih yang terletak di lereng bukit, pagi itu tampakseperti
biasa. Beberapa pemuda tanggung terlihat mencangkul. Sebagian ada yang membelah
kayu, dan sebagian lagi tampak sedang
membawa lesung untuk mengambil air dari pancuran di dekat lembah.
Memang, Ketua Perguruan Samudera
Putih tak hendak mengajari
murid-muridnya untuk hidup
bermalas-malasan. Semua murid
dibebaninya tugas. Begitu matahari tepat di atas kepala dan setelah
menyelesaikan tugas masing-masing, barulah mereka bisa istirahat melepas
kepenatan. Begitu
hari-hari yang dilalui Aji, walaupun
sampai saat ini belum ikut belajar ilmu silat.
Siang ini, tepatnya setelah tadi
malam didatangi Aki Lempungan, pikiran Aji diselimuti perasaan gundah dan
gelisah. Tak dapat disangkal. Sejak Aji
menetap dan masuk sebagai keluarga besar Perguruan Samudera Putih, ia adalah
satu-satunya murid yang enggan bahkan
tak pernah ikut belajar ilmu silat.
Berkali-kali saudara-saudara
seperguruan, bahkan Aki Lempungan
sendiri telah mendorongnya agar mau
belajar ilmu silat. Namun sejauh ini, ia masih berpaku pada pendiriannya. Bahwa,
ilmu silat hanya akan membawa malapetaka dan kehancuran.
"Aji...."
Mendadak sebuah panggilan
membuyarkan lamunannya. Dengan mata sayu tak bergairah dan wajah kusut masai,
kepalanya menoleh ke arah datangnya sua-ra panggilan. Dan begitu tahu siapa yang
memanggil, buru-buru tubuhnya cepat
berbalik dan mengangguk hormat.
"Oh..., Paman Guru...," desah Aji sambil tersenyum yang dipaksa-paksakan,
menutupi kegelisahannya.
"Jangan terlalu kau pikirkan
ucapanku tadi malam, Aji...! Aku bicara begitu, karena merasa sudah kehabisan
cara untuk merubah pendirianmu...!" ujar Aki Lempungan, kala melihat Aji tak
bergairah, dan tercenung sendirian.
"Aku mengerti, Paman...."
"Hm.... Bagus! Sekarang kau tak
perlu gelisah lagi! Dan aku menyerahkan semua keputusan padamu. Mau belajar ilmu
silat boleh, tidak juga boleh.
Terserahlah...! Mungkin kau punya cara tersendiri untuk mempertahankan diri,
jika suatu saat dihadapkan pada masalah demi mempertahankan hidup!" sambung Aki
Lempungan dengan sedikit tersenyum.
"Ng..., Paman Guru..., bolehkah aku tanya sesuatu?" susul Aji seraya
mengangkat kepala dan menatap laki-laki berjubah putih itu.
"Tanya...?"
Aki Lempungan tertawa. "Kenapa
tidak..." Kau mau tanya apa..."!"
"Ng..., Paman! Pernahkah Paman Guru bertarung?"
"Ha... ha... ha.... Pertanyaanmu aneh, Aji! Kau menanyakan pertarungan.
Tapi, kau sendiri tak mengerti ilmu
silat. Apa perlunya..."!"
"Hanya ingin tahu saja, Paman
Guru...," sela Aji saat Aki Lempungan masih terkekeh-kekeh.
Ketika tawanya berhenti, tiba-tiba
kening laki-laki setengah baya itu
berkerut. Sehingga alis matanya yang
sebagian sudah memutih beradu.
"Hm.... Di sinilah kesalahanmu,
Aji! Kau menyebut pertarungan...!
Padahal, bagi seseorang yang berwatak
pendekar dan ksatria, tak ada istilah
pertarungan. Jadi..., jika seorang
pendekar yang berilmu tinggi terlihat
dalam suatu bentrokan, maka yang ada
hanyalah perjuangan mempertahankan
hidup atau perjuangan membela kebenaran.
Lain itu, tidak! Dan itu adalah suatu
yang mulia, Aji! Lagi pula perjuangan
seperti itu akan selalu dikenang, walau sudah berpuluh tahun berlalu...! Kau
pernah dengar nama Wong Agung dari Karang Langit" Itulah salah satu misal.
Meskipun sudah berpuluh tahun, namun
namanya hingga kini masih dikenang
orang. Bahkan semua orang kini
merindukan kemunculannya kembali, demi menegakkan kebenaran dan memberantas
keangkara murkaan yang sudah merasuk
seluruh pelosok bumi. Sekarang, tidak
adakah dalam benakmu suatu keinginan
untuk menjadi seorang pendekar yang
selalu dikenang karena keluhuran
budinya, serta selalu dirindukan
kemunculannya untuk memberantas
keangkara murkaan.."!" papar Aki
Lempungan panjang lebar. Aji hanya
termangu. "Hm.... Sudahlah, Aji. Kau tak
tertarik ilmu silat. Kau juga mungkin tak akan terusik omonganku tadi...!"
"Tapi...."
"Ah..., sudahlah!" potong Aki Lempungan. "Aku tadi mencarimu, karena akan
kusuruh menemani Gatra ke kotapraja menjual hasil kebun kita. Sekalian
mencari 34 kebutuhan perguruan kita.
Kuharap kau bersedia, Aji...!" jelas Aki Lempungan seraya tersenyum. Lalu
tubuhnya berbalik dan melangkah menuju
halaman tengah.
"Baik, Paman...," jawab Aji sambil bangkit, meski raut mukanya menyimpan
suatu yang sulit dimerjgerti.
Dengan langkah berat, Aji melangkah
menuju halaman tengah. Di sana terlihat Gatra telah siap dengan sebuah gerobak
berisi macam-macam hasil kebun.
Ketika matahari baru menggelincir
dari titik tengah, gerobak yang
ditumpangi Aji bersama Gatra tampak
keluar dari halaman tengah Perguruan
Samudera Putih.
*** Lemah Ajang. Sebuah kotapraja yang
dipimpin seorang Tumenggung. Karena
terletak di tengah-tengah beberapa
perkampungan yang bertanah subur dengan hasil bumi melimpah, maka jadilah Lemah
Ajang kota yang ramai. Setiap hari
beberapa orang dari kampung sekitarnya datang ke sana. Selain untuk menjual
hasil bumi, membeli keperluan
sehari-hari, ada juga yang datang hanya ingin melihat keramaian kota, serta
menikmati keindahan

Tumenggung yang begitu megah.
Demikian halnya Aji serta Gatra.
Sebelum, menjual hasil bumi membeli
beberapa keperluan perguruan, mereka
singgah di sebuah kedai minum untuk
sejenak melepas lelah dan membasahi
kerongkongan yang baru saja terpanggang matahari.
Tak lama berselang, sewaktu
keduanya sedang menikmati minuman, dari arah utara jalan yang menuju kediaman
Tumenggung, terlihat rombongan orang
berkuda. Hentakan ladam rombongan
berkuda di siang yang menjilat itu,
seketika menarik perhatian orang-orang yang berada di kotapraja.
"Ada apa ya, Kang...?" tanya Aji ketika rombongan berkuda hampir melewati kedai
tempat Aji dan Gatra berada.
"Mana aku tahu..."!" jawab Gatra sambil mengang-kat bahu. Lalu minumannya
diseruput. Ketika rombongan berkuda lewat
depan kedai, baru Aji dapat melihat jelas wajah-wajah penunggang kuda itu.
Rombongan itu ternyata terdiri dari
delapan orang. Dua orang yang paling
depan, berpakaian hitam-hitam. Tangan
kanan masing-masing membawa sebuah
bendera berwarna hitam, bergambar
tengkorak. Di belakang dua orang pembawa
bendera, tampak seorang laki-laki dan
perempuan. Yang laki-laki berpakaian
putih bersih. Wajahnya sudah tampak
mengeriput. Kumisnya amat lebat, hingga bibirnya tak terlihat. Rambutnya yang
panjang sebahu diikat kain warna hitam.
Sorot matanya dingin. Namun yang membuat orang bergidik dan tak berani lama-lama
memandangi, ketika melihat matanya yang buta di sebelah kanan. Mata itu hanya
berupa rongga yang mencekung ke dalam!
Sedangkan wajah perempuan di
samping laki-laki bermata satu, tertutup sepotong kain berbentuk segi tiga yang
berlobang kecil-kecil. Sehingga wajah di balik-nya tak begitu jelas. Meski
demikian, orang akan
berlama-lama memandangi perempuan ini. Karena
kulitnya putih. Pinggulnya pun besar
dengan buah dada tampak membusung dan
kencang. Dengan dibalut kain warna putih ketat, perempuan ini nampak mempesona.
Dua orang di belakang laki-laki
bermata satu dan perempuan bertubuh
sintal adalah dua orang berpakaian biru gelap dan agak kebesaran. Raut muka
mereka yang hampir mirip tampak kasar dan beringas. Rambut keduanya jabrik. Di
punggung masing-masing tersembul
senjata kapak berwarna merah.
Sedangkan dua orang yang paling
belakang adalah dua orang berpakaian
sama dengan dua orang yang paling depan.
"Kang...! Berani bertaruh, pasti
perempuan yang wajahnya tertutup
orangnya cantik...!" tebak Aji sambil memandang tak berkedip ke arah rombongan
yang lewat. "Ah, kau...! Kalau bicara soal
perempuan, semangatmu minta ampun!"
sahut Gatra sambil mengibaskan tangannya di depan mata Aji.
"Ya..., namanya saja laki-laki.
Wajar kan, Kang..."!" sergah Aji sambil menepiskan tangan Gatra yang menghalangi
pandangannya. "Tapi..., siapa mereka itu ya,
Kang..."!"
"Sudah kukatakan, mana aku tahu!
Lagi pula, apa pedulimu"!"
"Lho" Siapa tahu aku bisa menggaet perempuan itu, Kang..." Kan, untung
aku...!" jawab Aji seenaknya, sembari cengengesan.
"Mau menggaet perempuan itu..."
Hm.... Berat bocah...!"
Tiba-tiba terdengar sahutan dari
samping kanan Aji. Begitu Aji dan Gatra menoleh, tampak seorang kakek bercaping
lebar yang tengah memandang lurus ke arah rombongan berkuda.
"Kakek tahu..."!" tanya Aji, sedikit penasaran.
"O, pasti! Pasti aku tahu...!" jawab kakek itu tanpa menoleh ke arah Aji.
Kepalanya mengangguk-angguk hingga
capingnya yang lebar turun naik menutupi sebagian wajahnya.
"Siapa mereka, Kek..."!" tanya Aji sambil menunjuk ke arah rombongan.
"Bocah! Simpan telunjukmu! Jika
mereka tahu, kau akan dibuatnya lumat
jadi bubur!" damprat kakek itu dengan mata melotot ke arah Aji.
"Kakek kenal mereka..."!"
"Pasti! Pasti aku kenal mereka...!"
sahut kakek bercaping
mengangguk-angguk.
Kemudian, kakek bercaping itu
kembali mengalihkan perhatian ke arah
rombongan berkuda.
"Jika kau ingin tahu, dengarkan
baik-baik, Bocah...! Dua orang yang
paling depan dan paling belakang, adalah para pengawal. Bendera hitam bcrgambar
tengkorak adalah lambang kalau
orang-orang dari golongan sesat.
Sedangkan laki-laki bermata satu dan
perempuan yang ingin kau gaet, adalah dua tokoh hitam jajaran atas yang berjuluk
Sepasang Iblis Pendulang Sukma. Mereka baru muncul lagi, setelah berpuluh tahun
tak ada kabar beritanya. Mereka sekarang menyusun kekuatan kembali, setelah tiga
puluh tahun yang silam dapat
dipecundangi Wong Agung dari Karang
Langit. Sedangkan dua orang yang
berambut jabrik, adalah kakak beradik
dari Lembah Prangas. Mereka juga
termasuk tokoh golongan sesat yang
berjuluk Kapak Kembar Berdarah!" papar kakek bercaping.
"Mereka menuju ke mana, Kek...?"
sela Aji kala kakek bercaping berhenti bicara.
"Hm..Kekediaman Tumenggung! Mereka sedang
melebarkan sayap...! Daerah
pesisir Pantai Utara dan Selatan telah dikuasainya. Mereka mengajak siapa saja
untuk bergabung. Siapa yang menolak,
pasti dihancurkan. Hm.... Seandainya
Wong Agung hadir, pasti kekejaman dan
kekuasaan mereka dapat diatasi...!"
desah kakek bercaping itu.
"Apakah Wong Agung telah
meninggal"!" kini Gatra yang
ikut-ikutari bertanya.
"Yah..., itulah yang sekarang
menjadi tanda tanya.
Sejak dapat mengalahkan tokoh-tokoh sesat, termasuk Sepasang Iblis Pendulang Sukma di Jurang
Gladak Perak tiga puluh tahun silam, Wong Agung menghilang begitu saja tanpa
jejak. Padahal, kehadirannya sekarang
ini amat dibutuhkan! Ng..., atau
bagaimana kalau kalian saja yang
coba-coba menghadapi mereka..."!" kata kakek bercaping itu, mengakhiri
bicaranya. "Kalau boleh kami tahu, Kakek
siapa..."!" "Ah! Pertanyaanmu sudah terlalu banyak, Bocah!" jawab kakek
bercaping cepat, seraya bangkit dari
tempat duduknya. Setelah membayar
minuman ia keluar tanpa menoleh.
"Bagaimana, Kakang..."!"
Tiba-tiba Aji mengejutkan Gatra
yang masih memandangi kepergian kakek
bercaping lebar.
"Apanya yang bagaimana..."!"
"Perempuan yang tadi itu...!"
"Ah! Kau memang mata perempuan...!"
dengus Gatra sambil bangkit.
*** Ketika matahari telah berubah warna
kuning, dan sinarnya hanya menyaput awan yang menggantung dilangit sebelah
barat, gerobak yang ditumpangi Aji bersama
Gatra terlihat keluar dari kotapraja
menuju utara lereng bukit. Mereka memang baru saja menyelesaikan tugas yang
diberikan Aki Lempungan.
"Kali ini kita pulang terlambat,
Aji...!" kata Gatra.
"Soal itu" Biarlah aku yang nanti akan bicara pada Paman Guru...!" jawab Aji
seraya menekuk jari telunjuknya
sampai menyentuh ibu jari, hingga
membentuk bulatan.
"Kang..., bagaimana kira-kira rupa Wong Agung itu, ya..."!" tanya Aji, mengusik
Gatra. "Hush...! Jangan ngaco omonganmu, Aji! Tapi..., menurut ibu dan ayahku
sewaktu aku masih anak-anak, beliau
adalah seorang pendekar berilmu sangat tinggi. Budi pekertinya agung. Namun
sungguh, hingga sebelum kakek tadi
bercerita, aku masih menganggap kalau
cerita tentang Wong Agung hanyalah
khayalan belaka, seperti cerita untuk
meninabobokkan si Upik...!"
"Memang! Sebelum kakek tadi
bercerita, aku pernah mendengar cerita tetang Wong Agung dari Paman Guru
Lempungan. Tapi waktu itu, aku tidak
begitu tertarik. Kupikir, itu hanya
cerita buatan untuk menggugah semangatku agar mau belajar ilmu silat. Namun
kini...," timpal Aji namun terputus.
Gerobak terus berjalan menuju
lereng bukit. Aji dan Gatra kini
sama-sama diam. Keduanya tampak terbuai pikiran masing-masing.
Ketika gelap telah mengurung bumi,
barulah gerobak yang ditumpangi Aji dan Gatra
berbelokke arah jalan
satu-satunya, yang menuju bangunan
Perguruan Samudera Putih.
"Kang...! Tempat kita tampak gelap.
Apakah mereka lupa menyulut obor..."!"
kata Aji, mendadak hatinya merasa tak enak.
Sementara yang diajak bicara diam
saja. Mata Gatra hanya memandangi
bangunan Perguruan Samudera Putih yang tampak sepi dan gelap.
"Aku sendiri heran...!" sahut Gatra tanpa menoleh, setelah sekian lama
terdiam. Belum sampai gerobak mencapai pintu
masuk, keduanya telah loncat turun dan berlari. Dan mereka mendadak berhenti
dan langsung tercekat kala mata keduanya tertumbuk pada papan nama yang
tergantung di depan. Papan nama
yangbertuliskan
Perguruan Samudera
Putih itu telah tertutup oleh leleran
warna merah. Agak dekat baru keduanya
sadar, bahwa leleran warna merah di atas tulisan adalah darah!
Sejenak Aji dan Gatra
salingpandang. Namun sekejap itu pula, keduanya langsung lari menerobos masuk.
Dan keduanya terasa tak percaya akan
pemandangan di depan. Beberapa tubuh
bergelimpangan!
"Kang! Sulut obor!" teriak Aji keras ketika tak bisa mengenali satu persatu
tubuh yang bergelimpangan di halaman,
karena gelap. Begitu obor menyala, mereka hampir
saja melolong. Betapa tidak" Ternyata
tak satu pun dari penghuni Perguruan
Samudera Putih yang bergerak. Semuanya tak bergeming, meski Aji mencoba
menggoyang-goyang sambil memanggil
keras-keras. "Kang! Cari Paman Guru...!" teriak Aji kembali. Gatra tak menoleh. Namun, ia
cepat membalikkan tubuh-tubuh telungkup yang bergelimpangan.
"Aji...! Guru di sini!"
Belum juga Gatra menyelesaikan
kata-katanya, Aji telah meloncat ke
arahnya. Tubuh Aki Lempungan mereka temukan
begitu mengenaskan. Beberapa bacokan
hampir merata di sekujur tubuhnya. Tapi, orang tua itu masih bertahan. Cepat Aji
mengangkat kepala Aki Lempungan dan
menaruh di atas pahanya.
"Aji...!" panggil Aki Lempungan dengan suara pelan.
"Siapa yang berbuat keji ini, Paman Guru..."!"
"Tak perlu kau tanyakan itu! Tak
perlu...! Mereka berilmu tinggi!"
"Tapi..., aku sekarang ingin
belajar ilmu silat, Paman Guru...."
"Terlambat, Nak. Kau berubah
pikiran setelah semua ini terjadi...!
Tapi, aku gembira mendengarnya...!
Aji..., kurasa aku sudah tak tahan
lagi...." "Paman jangan berkata begitu...!
Kuatkanlah, Paman! Mari kuangkat ke
dalam ruangan...."
"Tak usah, Nak! Waktuku tinggal
sedikit...."
Sejenak mata sayu Aki Lempungan
merayapi wajah Aji.
"Aji..., mendiang ibumu menitipkan sesuatu padaku. Benda itu kusimpan di
bawah almari. Ambillah...!" kata Aki Lempungan, lirih.
"Hanya...."
Suara Aki Lempungan tersendat di
tenggorokan. Aji segera mendekatkan
telinga ke mulut laki-laki yang tengah sekarat ini.
"Pergilah kau ke.... Kam....
Kampung Blumbang...."
Begitu selesai berkata, kepala Aki
Lempungan lunglai. Tubuhnya dingin,
dengan mata terpejam.

ketua Perguruan Samudera Putih itu tetap diam tak bergerak.
Dengan mata berkaca-kaca dan tubuh
gemetar Aji mengangkat tubuh Paman
Gurunya ke ruangan dalam. Sementara
Gatra berusaha mengumpulkan mayat-mayat murid Perguruan Samudera Putih yang
berserakan di mana-mana, setelah
memastikan kematian Aki Lempungan.
Setelah menaruh tubuh Aki Lempungan
di atas dipan dan menutup dengan
selendang, Aji melangkah ke sebuah
almari. Ia jongkok dan mengambil
bungkusan di bawahnya.
Dengan tangan gemetar dan mata masih
berkaca-kaca, pemuda itu membuka
bungkusan kecil berwarna putih yang
diambilnya dari bawah almari. Ternyata, bungkusan kecil itu hanya berisi sebuah
benda bulat berwarna putih. Besar dan
bentuknya mirip kepingan uang emas. Pada muka lempengan benda itu, terdapat
sebuah gambar tempat mandi agak besar yang dikelilingi tembok agak tinggi.
Sedangkan lempengan bagian belakang
terdapat gambar bangunan tinggi di
tengah lautan. Aji hanya termangu memandangi benda
itu. Lantas dimasukkannya ke dalam
bajunya. "Kampung Blumbang...," gumam Aji sambil melangkah mendekati tubuh Aki
Lempungan di atas dipan.
*** 3 Matahari baru saja mengintip
malu-malu, menyinari Puncak Gunung
Semeru. Sementara bangunan tua Perguruan Samudera Putih yang berada di
lerengnya, masih tak berubah. Tapi kali ini tak lagi terlihat beberapa pemuda
tanggung yang lalu lalang. Tak ada lagi suara kapak
membelah batang pinus. Tak terdengar
lagi gelak riuh pemuda yang menuruni
lereng gunung menuju lembah, sambil
membawa lesung tempat air.
Suasana bangunan tampak sepi. Pagi
ini hanya tampak dua pemuda tengah
memandangi bangunan. Tak terdengar suara terucap dari keduanya. Masing-masing
bagai larut dalam alunan pikiran
masing-masing. "Kang! Tak kusangka segalanya
begitu cepat terjadi...,"
Mendadak pemuda yang memakai baju
hijau ketat lengan pendek dengan pakaian dalam warna kuning, serta rambut
dikuncir ekor kuda buka suara tanpa
menoleh ke pemuda di sampingnya.
Yang diajak bicara seakan tak
mendengar. Diam saja.
"Kang Gatra! Aku harus segera pergi.
Ada urusan yang harus kuselesaikan!"
lanjut pemuda berpakain hijau ketat
lengan pendek dengan pakaian dalam warna kuning. Kali ini matanya melirik pemuda
di sampingnya. "Sekarang..., itu memang jalan yang terbaik
yang harus kita ambil!
Pergilah.... Aji. Semoga kita kelak akan dipertemukan lagi...!" jawab pemuda
yang tak lain Gatra, di samping pemuda yang dipanggil Aji.
"Aku pun akan ke tempat Paman. Aku akan mulai lagi kehidupan baru di
sana...," lanjut Gatra kepalanya menoleh dengan senyum dipaksakan.
Dengan langkah berat, Aji dan Gatra
berbalik. Lalu, mereka melangkah
meninggalkan bangunan Perguruan
Samudera Putih yang telah sepi.
Sampai di sebuah belokan, keduanya
menghentikan langkah. Lalu berbalik. Dan mata mereka kembali menyipit memandangi
bangunan perguruan.
"Aku akan lewat jalan sebelah barat itu, Aji...," kata Gatra seraya berbalik
menghadap Aji. "Selamat jalan, Kakang Gatra...,"
sahut Aji juga menghadap Gatra.
Aji mengulurkan tangan yang lantas
disambut Gatra. Sejenak Gatra tersenyum, lalu melangkah mengambil jalan arah
barat. Tak lama, setelah tubuh Gatra
menghifang di balik pohon-pohon karet, Aji melangkah menuju arah berlawanan.
Memang, setelah menguburkan korban
pembunuhan terhadap hampir semua
penghuni Perguruan Samudera Putih, Aji memutuskan untuk pergi ke Kampung
Blumbang. Namun karena masih tak tahu
letak kampung itu, maka pemuda ini
berjalan menuju ke kotapraja Lemah
Ajang. Siapa tahu, di sana ada yang bisa memberikan petunjuk.
Kali ini, Aji memakai baju warna
hijau ketat lengan pendek dengan pakaian dalam warna kuning lengan panjang.
Rambutnya dikuncir ekor kuda diikat
sobekan kain celana Aki Lempungan.
Dengan mengenakan pakaian itu tampangnya tampak tampan dan perlente.
*** Aji kembali berada di kedai tempat
ia kemarin singgah bersama Gatra. Selagi menikmati minuman, seorang gadis cantik
dengan tubuh semampai dan pinggul
menggoda terbungkus pakaian ketat warna kuning, memasuki kedai. Bibir bagian
bawahnya sedikit tebal dipadu hidung
yang mancung serta dada menantang. Gadis ini berusia kira-kira dua puluh enam
tahun. Dan penampilannya begitu
menggemaskan. Malah, Aji yang baru saja mengangkat
bambu berisi air minum, segera
mengurungkan niatnya. Matanya kontan
agak menyipit memandangi gadis yang
melintas di sampingnya dan duduk di
pojok. "Mau bepergian jauh, ya...?" sapa pemilik kedai mengejutkan Aji.
"Ng..., iya, Pak...," jawab Aji setengah gelagapan.
"Hendak ke mana, Nak...?" lanjut pemilik kedai.
Aji tak segera menjawab. Matanya
yang sayu memandang jauh ke lereng bukit, yang kini terpanggang matahari.
Dadanya bergetar hingga terasa sesak.
"Kampung Blumbang, Pak...!" sahut Aji dengan suara berat.
Paras pemilik kedai sedikit berubah
ketika mendengar jawaban Aji.
"Ada apa, Pak..."!"
 
keliatannya menarik untuk di ikuti, semoga updet lancar sampai tamat
 

Pendekar Mata Keranjang dari Istana Karang Langit Bagian 2


Namun tak terdengar jawaban dari
pemilik kedai, karena sudah meninggalkan Aji dengan terburu-buru.
"Kau tak akan pernah dapat jawaban jika kampung itu yang kau tanyakan...!"
Tiba-tiba gadis cantik yang duduk di
pojok menyela sambil mengerdipkan
sebelah mata ke arah Aji.
Aji menoleh ke arah gadis itu. Dan
matanya balas mengedip.
"Kau tahu tempat itu..."!" tanya Aji.
"Hm..., sedikit...!" jawab si gadis datar.
"Boleh aku tahu yang sedikit
itu..."!"
"Asal memenuhi syarat!"
"Apa itu...?" kejar Aji dengan sedikit dikeraskan suaranya.
Si gadis tak segera menyahut. Malah
tangannya diangkat, dan menunjuk ke arah Aji.
Aji kebingungan. Namun cuma
sekejap, karena gadis itu segera bangkit dan melangkah mendekati tempat duduk
Aji. Begitu dekat, gadis ini
membungkukkan badan. Sehingga rambutnya yang panjang tergerai menyentuh pundak
Aji. "Orang tampan, bayar sekalian
minumanku. Kutunggu kau di tikungan
menuju arah kediaman Tumenggung!" bisik gadis itu dekat di telinga Aji.
Lantas dengan sekali berkelebat,
tubuh gadis itu telah berada di pelataran luar kedai. Lalu ringan pula
berkelebat ke arah tikungan.
Tak sadar, Aji berdecak kagum.
Kepalanya menggeleng dengan mata melotot memandangi tingkah gadis tadi.
Setelah membayar minumannya dan
minuman gadis tadi, Aji segera beranjak keluar kedai. Pemuda itu berlarian ke
arah tikungan. Ketika langkahnya sampai, tampak bahunya turun naik mengikuti
tarikan napasnya yang memburu tak terat jr. Sekujur tubuh serta bajunya basah
kuyup terkena keringat. Namun, gadis
tadi tak tampak di sana.
"Sialan! Ke mana gadis cantik
itu...?" gumam Aji sambil mengusap kening dengan mata jelalatan.
"Hi... hi... hi...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa. Aji
cepat mendo-ngakkan kepala, ke arah
datangnya suara. Tampak gadis berbaju
kuning muda itu dengan enaknya tiduran di atas dahan kecil, dengan sebelah kaki
menjuntai. Dan belum sampai Aji menarik riapas, gadis itu telah meluncur turun
dan berdiri tegak di hadapan Aji.
"Apa perlumu ke Kampung Blumbang"!"
tanya si gadis sebelum rasa
terheran-heran Aji tuntas.
"Ngg...."
Aji tergagap kebingungan.
"Ngg.... Anu..., aku hanya ingin
tahu saja...!" jawab Aji sekenanya.
Bola mata sang gadis menatap lurus
ke arah Aji yang blingsatan. Hatinya
seperti tak mempercayai kata laki-laki di depannya.
"Apa kau membawa bekal...?" desak gadis ini dengan mata menyelidik menatap Aji
dari kepala hingga ke ujung kaki.
"Bawa bekal?" ulang Aji seperti hendak meyakinkan ucapan gadis itu.
"Ada apa dengan Kampung Blumbang
itu..." Aku jadi tak mengerti...!"
"Jika kau tak membawa bekal, berarti kau mengantar nyawa!"
Aji kontan terkesima mendengar
kata-kata gadis di depannya.
"Hm.... Rupanya kau bukan orang yang kuinginkan!" gumam gadis itu. "Tapi kalau
kau ingin mengantarkan nyawamu,
silakan pergi ke arah selatan. Berjalan dua hari dari sini, kau akan menemukan
Desa Sumber Kembar. Itulah satu-satunya desa yang menuju Kampung Blumbang!"
Begitu selesai dengan kata-katanya,
gadis itu berbalik. Dan sebelum Aji
sempat berkata, gadis itu telah
berkelebat dan menghilang di antara
rumah-rumah penduduk.
Tepat saat bulan merambat pelan di
ujung langit timur, Aji tiba di Desa
Sumber Kembar, seperti yang di-tuturkan gadis yang ditemuinya di kedai. Ketika
melewati sebuah rumah, dan terlihat
seseorang duduk di teras depan, Aji
menganggukkan kepala.
"Kalau boleh tanya, sebelah mana
Kampung Blumbang, Pak?" tanya Aji.
Laki-laki yang ditanya sedikit
terlonjak kaget. Lantas dipandanginya
Aji dengan mata tak percaya.
"Anak, orang baru, ya...?" sahut laki-laki setengah baya yang ditanya,
setelah agak lama termangu-mangu.
"Betul, Pak. Aku hendak ke Kampung Blumbang. Arah mana yang harus
kutempuh..."!"
Laki-laki setengah baya itu sejenak
melemparkan pandangan ke arah barat,
yakni salah satu bukit yang mengapit Desa Sumber Kembar.
"Apa Anak tahu, tempat apa itu?"
laki-laki itu malah balik bertanya.
"Tidak, Pak! Makanya aku ingin ke sana...," jawab Aji tak melihat
perubahan wajah orang yang ditanya.
"Pergilah ke lereng bukit sebelah barat itu. Dari sana, Anak akan melihat pagar
tembok segi empat yang ada di
tengah-tengah dataran berumput. Itulah Kampung Blumbang. Tapi kalau bisa,
urungkan saja niat Anak untuk ke
sana...," ujar laki-laki itu mengakhiri keterangannya.
"Terima kasih, Pak. Aku hanya ingin tahu saja...," ujar Aji seraya kembali
mengangguk. Lalu, pemuda itu segera berjalan ke
arah yang ditunjukkan laki-laki tadi.
"Aneh! Setiap orang yang mendengar Kampung Blumbang, pasti terkejut. Ada
apa sebenarnya..."!" batin Aji sambil matanya memandangi lereng bukit di
sebelah barat yang mengapit Desa Sumber Kembar.
Desa ini pun sangat sunyi. Nyanyian
unggas malam tak satu pun terdengar.
Dengan berdiri di atas sebongkah batu, Aji dapat melihat kawasan di bawahnya.
Pandangannya diarahkan lebih jauh.
Samar-samar diterangi cahaya bulan,
tampak sebuah gubuk kecil dan sebuah
pagar tembok berada di tengah-tengah
dataran berumput. Lama Aji memandang
dengan mata tak berkedip.
"Hm... Pasti itu Kampung
Blumbang...," gumam pemuda itu perlahan.
Hatinya sedikit lega, karena menemukan tempat yang dicari.
Mendadak ketika Aji akan beranjak
dari batu tempatnya berdiri....
"Hiaaat...!"
Tiba-tiba terdengar pekikan lantang
seorang wanita yang bagai membedah
kesunyian lereng bukit. Suara itu
sepertinya dekat sekali dengan tempat
Aji berada. Namun pemuda itu tak tahu di mana. Ketika matanya jelalatan
memandang sekeliling, yang ditemui jajaran pohon serta semak belukar. Tubuhnya
memakai baju warna hijau ketat dengan pakaian
dalam warna kuning berguncang. Dan
membuat tengkuknya merinding seketika.
"Apakah ini yang membuat
orang-orang selalu
melotot jika disebut Kampung Blumbang?" bisik Aji, seraya memegangi kakinya yang menggigil.
Namun ketika pekikan pertama
mendapat sahutan dari pekikan lainnya
yang tak kalah lantang serta mendirikan bulu roma, Aji segera memusatkan
pendengarannya.
"Hm.... Di bawah sana...," gumam Aji.
Segera pemuda itu turun dari batu
dan berjalan mengendap-endap di antara pohon dan semak belukar, menuju arah
datangnya suara.
Begitu sampai di bawah, Aji dihadang
dataran rumput. Dan ia seakan tak percaya pada penglihatannya ketika memandang
ke depan. Di bawah sinar bulan yang tak
terlindung awan secuil pun, di atas
padang rumput yang ternyata berwarna
merah darah, terlihat dua orang wanita sedang mengadu jiwa. Salah seorang yang
berpakaian kuning muda dengan rambut
panjang. "Perempuan di kedai!" pekik pemuda itu tertahan.
Sedangkan wanita satunya, Aji tak
mengenali. Rambut wanita itu dikuncir.
Wajahnya tertutup kerudung warna putih.
Bagai burung malam, wanita itu
gerakan-gerakannya tak kalah lincahnya dengan gadis berbaju kuning muda.
"Berhenti!"
Karena lama belum juga ada
tanda-tanda ada yang kalah, bahkan
serangan satu sama lain semakin
menggila, akhirnya Aji berteriak
lantang. Dua wanita yang saling bertempur
serentak menghentikan pertarungan. Dan secara bersamaan mereka menoleh ke arah
datangnya suara datar yang membentak.
"Ada apa" Dan kenapa kalian saling bertempur"!" tanya Aji agak keras, langsung
keluar dari balik pohon besar dan melangkah maju.
Namun baru saja
dua tindak melangkah, tepatnya ketika kakinya
menginjak padang rumput berwarna merah.... "Jangkrik! Rumput apa ini"!" teriak Aji seraya menarik pulang kakinya.
Dipandanginya kaki kanannya yang
mengeluarkan darah seperti tergores
benda tajam. Kedua wanita itu menatap nanar pada
Aji. Namun, tatapan mata wanita yang
berbaju kuning muda diiringi cibiran
melecehkan. Sedangkan wanita yang
berkerudung tampak menahan tawa.
"Kau...!" seru wanita berbaju kuning muda sedikit terkejut.
"Ya...! Kenapa...?" sahut Aji sambil memandang dengan sedikit
meringis, menahan sakit.
"He! Cepat katakan! Apa sebenarnya tujuanmu datang kemari!" bentak wanita yang
berbaju kuning.
"Ng..., dapatkah kau sedikit
mendekat"!" kata Aji, sambil melambai.
Wanita berbaju kuning beberapa saat
memandang lekat-lekat pada Aji. Rasa
curiga tampak terpancar dari raut
mukanya. Kemudian pandangannya
dilemparkan ke arah wanita berkerudung putih. Namun cuma sekejap. Kakinya
lantas melangkah tenang di atas rumput warna merah ke arah Aji.
Sementara, wanita berkerudung putih
mengawasi dengan lirikan tajam.
"Sontoloyo! Enak saja dia berjalan di atas rumput itu!" bisik Aji. Matanya tak
berkedip menyaksikan kaki putih
wanita berbaju kuning merabas rumput
menuju ke arahnya.
"Cepat katakan, apa maumu"!" desak wanita berbaju kuning bernada agak
tinggi, manakala telah dekat dengan
tempat Aji. "Katakan! Apa yang kau maksud dengan bekal tempo hari!" Aji ikut-ikutan bertanya
disertai senyum.
Namun wanita berbaju kuning tak
menjawab. Malah kakinya melangkah
setindak mendekati pemuda itu.
Sekonyong-konyong tangannya dikibaskan ke arah dada Aji.
Pemuda itu kaget, namun terlambat.
Tangan wanita itu telah merobek baju
bagian dalam Aji, tepat bagian dada.
Begitu kulit dada Aji terlihat,
wajah wanita itu berubah. Raut muka serta lenguhan napasnya mengisyaratkan rasa
kecewa. "Kau tak beda dengan perempuan itu!"
bentak wanita berbaju kuning ini melotot tajam bergantian ke arah Aji dan wanita
berkerudung putih.
"He.... Kau
belum jawab pertanyaanku...!" seru Aji, seraya meraih bajunya dan menutupi dadanya yang
terbuka. "Pertanyaanmu memang tak perlu
dijawab!" sahut wanita berbaju kuning itu ketus. Kemudian tubuhnya berkelebat
dan menghilang di antara pohon-pohon besar.
"Jangkrik! Apa arti semua ini?"
pikir Aji. Pandangan pemuda itu kini terarah
pada wanita berkerudung yang masih
berdiri tegak memandangi arah
berkelebatnya wanita berbaju kuning.
"Aku harus tanya padanya! Tinggal dia satu-satunya yang ada di sini! Tapi,
bagaimana aku harus berjalan ke arahnya"
Rumput-rumput itu.... Sial!"
Ketika wanita berkerudung putih
berbalik membelakangi, Aji tersentak.
"He.... Tunggu! Bisakah aku bicara sebentar"!" teriak Aji, buru-buru.
Wanita berkerudung putih itu segera
mengurungkan langkahnya.
"Bicaralah!" jawab wanita itu, tanpa menoleh.
Karena lama Aji tak juga bicara,
wanita berkerudung putih itu segera
melanjutkan langkahnya.
"Tunggu! Ng..., kenalkah kau dengan Aki Lempungan"!"
Wanita berkerudung tampak sedikit
kaget mendengar kata-kata Aji. Cepat
tubuhnya berbalik. Matanya yang bulat

menyengat tajam ke arah Aji.
"Siapa kau"!" tanya wanita itu dengan suara mengejutkan Aji yang
memandang sambil tersenyum-senyum.
"Aji Saputra! Aku..., diutus Aki
Lempungan ke sini!"
Wanita berkerudung putih itu lantas
berkelebat. Dan tahu-tahu, kini berdiri tegak di depan Aji. Maka pemuda itu kini
dapat dengan jelas melihat raut mukanya.
Bola mata wanita berkerudung itu
begitu bulat. Bulu matanya lentik. Bibir tipis. Hidungnya mungil, namun mancung.
Dalam terpaan sinar rembulan, wanita itu nampak anggun.
"Apa kau bawa sesuatu?" tanya wanita berkerudung.
"Sesuatu" Senjata maksudmu" Jelas bawa! Kemana-mana pasti kubawa...?"
jawab Aji, cengar-cengir.
Saat itu juga wanite berkerudung ini
memerah wajahnya dengan mata melotot.
"Ngg..., maaf, Ni...! Apa yang kau maksud..:?"
Aji menyusuli kata-katanya, jadi
merasa tak enak. Ucapannya memang seenak dengkul.
"He...! Cepat tunjukkan barang
itu!" bentak wanita itu.
"Barang" Barangku..."!" ulang Aji, meyakinkan.
"Barang dari Aki Lempungan!" sergah wanita berkerudung.
"Ooo...."
Aji mengangguk-angguk sambil
merogoh ke saku baju.
"Ini...!" lanjut Aji, menunjukkan kepingan logam warna putih.
Sesaat wanita itu memandangi Aji,
lalu beralih ke logam putih.
"Jadi kau yang dimaksud Eyang
Selaksa...," gumam wanita berkerudung dengan raut wajah mempesona.
"Eyang Selaksa..." Siapa pula,
dia?" "Jangan banyak bicara! Ayo, kuantar kau menemuinya...!"
Wanita berkerudung putih lantas
berbalik dan melangkah ke arah
rerumputan. "He..., tunggu! Aku tak bisa jalan di atas rumput itu...!"
Seketika wanita berkerudung putih
menghentikan langkahnya. Kerudung yang menutupi sebagian wajahnya segera
dilepas. Dengan sekali sentak, ujung
kerudung melesat ke arah Aji.
"Naiklah!" perintah wanita itu tanpa menoleh.
Sejenak Aji ragu-ragu. Namun
akhirnya memberanikan diri menginjak
kerudung dan berdiri di atasnya.
Sungguh, Aji seakan tak percaya.
Kerudung berwarna putih yang terbuat
dari kain itu ternyata bisa berubah keras bagai papan kayu. Dan kerudung itu
meluncur ke depan seiring langkah cepat wanita berkerudung dalam melewati
rumput-rumput merah di bawahnya.
"Eyang...! Orang ini mungkin yang Eyang tunggu!" panggil wanita
berkerudung kala mereka sampai di sebuah gubuk, di samping sebuah bangunan
tembok persegi agak tinggi dan tak berumput.
Tak berselang lama, dari dalam gubuk
keluar seorang laki-laki bercaping
lebar. "Kakek di kedai!" seru Aji dalam hati, begitu laki-laki tua bercaping
lebar itu berada di luar gubuk, tiga tombak di depan Aji.
"Apa betul, Roro?" tanya kakek bercaping ini pada wanita di depannya
yang ternyata bernama Roro.
"Betul, Eyang.... Dia membawa benda itu...," papar Roro sambil menjura.
Orang tua bercaping itu menoleh ke
arah Aji. Lalu dengan tangan kiri
diangkatnya ujung depan caping lebarnya.
Sehingga wajah yang setengah tertutup, kini tampak seluruhnya.
"Apa benar yang dikatakan Roro,
Bocah?" Kali ini mata laki-laki tua ini yang
berkilat lurus mengarah ke Aji.
"Benar, Eyang...," jawab Aji pelan, sambil menyodorkan logam warna putih ke
hadapan orang tua bercaping lebar yang dipanggil Eyang.
"Siapa namamu?"
"Aji Saputra, Eyang...."
Lama tak ada suara yang terucap dari
tiga sosok itu. Laki-laki bercaping
lebar itu masih mengamati benda bulat di tangannya. Sementara Aji hanya melirik,
dan sesekali berpaling ke arah Roro di sampingnya. Wanita itu hanya menunduk
dan tersenyum, kala matanya tertumbuk pada mata nakal Aji.
"Kalau Eyang sudi, bolehkah aku
ngg... berguru pada Eyang?" tanya Aji perlahan.
Laki-laki tua bercaping lebar itu
meluruskan pandangan matanya. Kerutan di wajahnya nampak mengencang.
Mendapati ucapannya membuat
perubahan pada wajah laki-laki tua itu, buru-buru Aji menjura sambil menundukkan
kepala. "Aku, Selaksa, tak mudah mengangkat seseorang menjadi murid!" sahut
laki-laki tua bercaping lebar yang
ternyata bernama Selaksa.
"Jadi..?"
"Harus melalui beberapa
persyaratan!" potong Eyang Selaksa masih dengan suara berat dan tanpa senyum.
"Akan kucoba, Eyang...."
"Baik! Sekarang istirahatlah!
Tapi..., di luar gubuk!"
Selesai berkata, Eyang Selaksa
berbalik dan melangkah masuk ke dalam
gubuk. Sementara wanita berkerudung
putih bernama Roro mengikuti dari
belakang. Namun sebelum menutup pintu, Roro
memandang ke arah Aji. Wajahnya nampak kecut, manakala orang yang dipandang
masih menunduk memandangi tanah bebatuan di bawahnya.
*** Kampung Blumbang, memang ternyata
tidak sesuai namanya. Karena
kenyataannya, memang jauh dari apa yang dinamakan Kampung. Kampung ini hanya
terdiri dari tempat mandi agak besar yang dikelilingi tembok setinggi dua
tombak. Letaknya, di tengah-tengah dataran
rumput yang membentang dan berwarna
merah serta tajam.
Dari tempatnya berada, serta jalan
yang harus dilalui, dapat dipastikan
kalau hanya orang-orang tertentu yang
dapat sampai dengan selamat.
Pagi itu Aji yang telah melepas baju
hijau lengan pendeknya dan pakaian dalam warna kuningnya tampak berdiri tegang
di depan pintu masuk Blumbang. Memang,
salah satu sisi tembok setinggi dua
tombak itu terdapat sebuah pintu.
Sementara di atas tembok, laki-laki
bercaping lebar, yang tak lain Eyang
Selaksa duduk menjuntai tanpa senyum.
"Aji! Kau harus naik-turun dalam air itu! Tanpa boleh berenang atau merapat.
Dan hal itu harus dilakukan selama empat bulan penuh!" perintah Eyang Selaksa.
Sebentar matanya memandang ke arah Aji, lantas menebar ke air di bawahnya.
"Sekarang bersiaplah!"
Dengan dada berdegup kencang,
pemuda itu mulai melangkah masuk ke dalam Blumbang. Sungguh! Kalau tidak karena
pesan mendiang ibunya serta kematian Paman Gurunya, dia akan segera pergi
meninggalkan tempat yang menyeramkan
itu. Betapa tidak" Ternyata, air yang ada dalam Blumbang berwarna merah!
Baru saja melewati pintu masuk,
tubuh Aji yang tidak kekar setelah
bertelanjang dada tampak bergetar.
Keringat dingin telah membasahi sekujur tubuhnya. Wajahnya pias. Matanya seakan
tak percaya, bahwa selain air itu
berwarna merah, dari dalamnya keluar
asap putih dan gelembung-gelembung udara bagai air mendidih!
"Buka mata! Tarik napas
dalam-dalam! Dan masuk!"
Terdengar lagi suara Eyang Selaksa.
"Pusatkan pikiran. Sehingga, tak
ada satu pun yang membersit di otakmu!"
sambung Eyang Selaksa begitu kaki Aji
telah berada di atas air.
Sejenak Aji ternganga, manakala
tubuhnya telah berada dalam air. Air
berwarna merah serta mengepul itu
ternyata dingin dan hanya sebatas lutut!
Sekejap segala ketegangan serta
kengerian pemuda itu pupus.
Namun hanya sekejap. Karena
sekonyong-konyong, pijakan kakinya di
dalam air bergerak-gerak. Dan belum
sempat dapat menduga, pijakan kakinya
telah oleng mengikuti gerakan di
bawahnya. Kontan Aji mengangkat tubuhnya ke atas, menghindari olengan yang
semakin keras. Tapi begitu tubuhnya
kembali ke bawah, pijakannya telah
lenyap. Sehingga untuk sementara seluruh tubuhnya masuk ke dalam air. Agak
dalam, mendadak kakinya kembali menyentuh
pijakan. Namun, kali ini menusuk bagai duri.
Menyadari dirinya perlu udara untuk
bernapas, mau tak mau Aji haru sekuat tenaga mengangkat tubuhnya kembali ke
atas, meski harus terlebih dahulu
menjejak sesuatu yang menusuk kakinya.
Demikianlah hal itu terus
berlangsung. Setiap tubuhnya masuk ke
dalam air, setiap kali itu pula pijakannya bertambah dalam. Hingga, tak ada
waktu untuk berpikir apa-apa, selain
menghindar dari kemasukkan air.
Lagi pula, Eyang Selaksa dalam
perintahnya tak memperbolehkan untuk
berenang ataupun merapat. Jadi, waktunya hanya digunakan untuk mengatur napas.
Syarat itu harus dijalani Aji mulai
terbit hingga ter-benamnya matahari,
selama empat purnama penuh.
Seorang pemuda berambut dikuncir
ekor kuda, pakaiannya berwarna hijau
ketat dengan pakaian dalam warna kuning ini tampak duduk termangu memandang jauh
ke arah Puncak Gunung Semeru. Memang, dia tak lain dari Aji.
Tanpa terasa pemuda itu sudah empat
purnama berada di Kampung Blumbang.
Selama itu pula ia berjuang melawan
dingin dan panas serta penat. Bahkan tak jarang harus keluar dari Blumbang
dengan terhuyung-huyung dan sesekali pingsan.
"Aji...!"
Tiba-tiba sebuah suara berat
memanggil nama Aji. Anak muda yang duduk tercenung pandangi Puncak Gunung Semeru
itu tersentak. Kala menoleh, dua langkah di depannya telah tegak berdiri Eyang
Selaksa. "Ngg.... Eyang...," kata Sawung disertai
senyum, menutupi
keterkejutannya. Buru-buru tubuhnya
menjura. "Harimu telah berakhir di sini!
Perjalananmu harus diteruskan ke Laut
Utara! Di sana, kau akan menemukan sebuah batu karang tinggi, di tengahtengahnya! Itulah tujuanmu...!"
Aji terkejut mendengar penuturan
Eyang Selaksa yang tak terduga. Memang, selama empat purnama di Kampung
Blumbang, baru kali ini laki-laki tua itu berkata-kata padanya. Hari-hari
sebelumnya, Eyang Selaksa hanya menunggu tanpa bicara sambil mengawasi tanpa
senyum pada Aji yang tengah megap-megap kehabisan napas di dalam Blumbang yang
berair merah. "Laut Utara?" gumam Aji mengulangi kata-kata Eyang Selaksa.
"Ya! Dan, bawalah benda milikmu ini!
Pergunakan sebaik-baiknya bekal yang kau dapat selama berada di sini!"
Sejenak Aji masih tak mengerti
maksud kata-kata Eyang Selaksa. Dan
belum sempat Aji bertanya, Eyang Selaksa telah menoleh ke arah Ajeng Roro yang
melintas di samping gubuk.
"Roro! Antar Aji sampai di balik
bukit!" ujar lelaki tua itu.
Setelah berkata, Eyang Selaksa
tampak tersenyum. Sungguh! Itulah kali pertama Aji melihat Eyang Selaksa
tersenyum. Ketika Ajeng Roro mendekat, laki-laki tua ini berbalik dan
berkelebat masuk ke dalam gubuk.
"Ayo! Kuantar kau ke balik bukit!"
ajak Ajeng Roro mengejutkan Aji yang
masih memandangi kepergian Eyang
Selaksa. "Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Aji, saat keduanya mulai beranjak dari batu
dekat Blumbang.
Ajeng Roro tak menjawab, dan hanya
mengangguk-kan kepala.
"Siapa wanita yang sempat bertempur denganmu tempo hari?" tanya Aji.
Ajeng Roro mendadak mengangkat
kepalanya dan menoleh. Bola matanya yang bulat tampak menyipit, lalu kembali
membuka lebar-Iebar.
"Bukankah kau telah mengenalnya"
Kenapa tanya-tanya padaku?" jawab Ajeng Roro, ketus.
"Kau salah. Aku tak pernah mengenal wanita itu! Aku hanya pernah bertemu di
sebuah kedai. Aku berani sumpah!"
sanggakAji sambil mengibaskan
tangannya. Gadis itu menatap dalam-dalam mata
Aji. Namun cuma sekejap. Ia lalu
mengalihkan pandangan ke rumput di
depannya. Memang, sejak semula gadis itu
selalu tertunduk malu jika matanya
bertatapan dengan mata Aji. Sementara, Aji sendiri merasakan sesuatu yang sulit
dijabarkan, bila matanya bertumbukan

dengan mata bulat Ajeng Roro di
sampingnya. Aji tak mengerti, perasaan apa yang telah menjalari relung
kalbunya. Hanya ia merasa senang dan
ingin berlama-lama bersama gadis anggun ini.
"Aku sendiri tak tahu. Dia hanya
sempat menyebutkan namanya, Putri
Tunjung Kuning!" jelas Ajeng Roro setelah diam agak lama.
"Tapi, kenapa kalian bertempur?"
"Ketika sedang sendirian di dekat padang rumput itu, aku melihat
seseorangberkelebat. Terlintas
keinginanku untuk mengetahui maksudnya.
Maka, diam-diam kuikuti. Namun, sial!
Rupanya dia memiliki kehebatan lumayan Buktinya, walau aku telah mengerahkan
tenaga agar tak diketahuinya, dia tahu juga. Malah, dia bertanya macam-macam
padaku, yang tak mungkin kujawab.
Karena, pertanyaannya menjurus pada
suatu yang sangat rahasia. Karena aku
mungkir, akhirnya terjadilah
pertarungan!" papar Ajeng Roro.
Gadis itu sejenak menghentikan
bicaranya. Kepalanya menoleh ke arah Aji yang mendengarkan penuh perhatian.
"Sebenarnya yang dia cari adalah
benda yang ada padamu!" ungkap Roro, mengakhiri ueapannya.
Sejenak Aji terkejut. Lantas
kepalanya mengangguk-angguk, meski
wajahnya menampakkan ketidak
mengertian. Sambil bercakap-cakap dan sesekali
berpandangan, tak terasa perjalanan
telah sampai batas padang rumput warna merah. Aji kembali bergetar. Ia ingat
saat pertama kali datang.
"Ngg.... Bisakah kau menolongku
sekali lagi?" tanya Aji, dengan muka ditekukkan.
Ajeng Roro menoleh. Bibirnya
mengembangkan senyum, hingga giginya
yang putih tampak.
"Kau sekarang, bukan lagi empat
purnama yang lalu!" jelas Ajeng Roro, saat wajah Aji berubah pucat.
"Apa maksudmu?"
"Anggap padang rumput itu seperti air di Blumbang!" papar Ajeng Roro, lantas
melesat cepat ke depan melewati padang rumput.
Tanpa pikir panjang, Aji
mengerahkan tenaga seperti saat-saat
berada dalam air Blumbang. Dan, sungguh sulit dipercaya. Tubuhnya kini
berputar-putar ringan bagai kapas di
atas padang rumput, mengikuti gerakan
Ajeng Roro. Dan hanya sekejap, tubuh mereka
telah berada di lereng bukit.
"Hanya sampai di sini aku bisa
mengantarmu! Selamat jalan!"
"Terima kasih, Roro...," gumam Aji perlahan, seraya menatap mata bulat
gadis di sampingnya. Hatinya berdebar.
"Apakah dia tahu apa yang kurasakan saat ini?" tanya hati Aji.
"Aji! Sebelum kau sampai di tempat tujuan, berhati-hatilah!" ujar Ajeng Roro.
"Apa maksudmu"!" sahut Aji cepat.
"Ngg.... Maksudku, kau kini menjadi incaran beberapa
orang! Bahkan beribu-ribu orang di sana menanti
kehadiranmu! Karena, keselamatan dunia persilatan kelak akan tergantung
padamu!" "Tergantung padaku" Apa
alasannya"!" "Waktulah yang akan menjawabnya...!" Setelah selesai bicara Ajeng
Roro berkelebat. Dan sebentar
kemudian, tubuhnya telah bergerak lincah melewati padang rumput.
Setelah tubuh gadis itu tak
kelihatan, barulah Aji berjalan ke arah yang ditunjuk Ajeng Roro. Sekali lagi
dijajalnya kemampuan yang kini ada pada dirinya. Dan nyatanya, kemampuan itu
tetap ada. Maka dengan serta-merta pemuda itu
melesat sambil meliuk-liuk di antara
pohon-pohon dan bebatuan kawasan bukit yang mengapit Desa Sumber Kembar.
Ketika tubuh Aji melenting-lenting
di udara, mendadak pandangannya melihat bayangan gelap. Perlahan-lahan bayangan
itu berubah jadi putih. Dan kini pandangannya jadi semakin jelas. Dia
melihat pohon-pohon, semak belukar,
bahkan desa terpencil di kaki gunung.
Untuk kedua kalinya Aji tak
mempercayai dirinya, bahwa pandangan
matanya mampu menembus tempat yang
demikian jauh. Bahkan tempat yang
terlindung oleh pepohonan.
*** Laut Utara! Apalagi yang akan
kutemui di sana" Orang aneh seperti Eyang Selaksa" Atau, gadis anggun seperti
Ajeng Roro..." Hm.... Semoga gadis
cantik saja yang akan kutemui...!"
bisik Aji, tersenyum sendiri.
"Eiii.... Hi.... Hi.... Hi...."
Tiba-tiba terdengar deraian tawa
seorang wanita, membuat langkah Aji
terhenti. Manakala mengarahkan matanya ke depan, Aji melihat seorang wanita
telah berdiri empat tombak dari
tempatnya. Menilik kemunculannya,
rupa-rupanya wanita ini sengaja
menghadang. Wanita itu masih sangat muda. Bahkan
mungkin masih gadis. Tubuhnya sedikit
gemuk, namun kencang. Pinggulnya besar dengan dada membusung besar . Ditambah pakaian
warna hitam ketat, penampilannya amat
menyolok dengan kulitnya yang putih.
Gadis kira-kira berusia dua puluh tahun ini benar-benar mengundang bibir
berdecak. Rambutnya yang panjangnya
sepinggang dan sebagian luruh ke pelipis dan dagu, ditingkah bibir merah serta
mata bundar, gadis ini mampu membuat dada setiap laki-laki bergetar.
Aji kontan mengerdip-ngerdipkan
sepasang matanya, manakala gadis di
depannya memandang dan tersenyum genit padanya.
"Hendak jalan-jalan ke mana, Orang Tampan" Bolehkah aku ikut?" tanya gadis
berbaju hitam disertai desahan manja dan melangkah maju.
"Boleh, boleh.... Dengan senang
hati pula...!" jawab Aji sambil
menyibakkan rambut bagian depan yang
menghalangi pandangan matanya.
"Mau ke mana, Orang Tampan?"
"Karena perutku dari tadi mulas, kau tentunya tahu ke mana tujuanku,
bukan..."!" sahut Aji dengan senyum menggoda.
"Ih! Jahatnya...!" seru gadis berbaju hitam itu, memberengut.
"Orang Tampan! Sebenarnya kau
hendak kemana..." Karena jika searah,
bukankah kita bisa jalan
bersama-sama..."!"
"Bagaimana ini" Tapi..., tidak! Aku tidak boleh memberitahukan tujuanku!
Roro bilang...."
"Bagaimana, Orang Tampan" Apa yang masih memberatkanmu" Apakah..., aku
begitu memalukan jika dijadikan teman
perjalanan!" desak gadis itu seraya menyibakkan rambut yang luruh di
dagunya. Sehingga, lehernya yang jenjang dan putih jelas tampak.
"Gadis Ayu! Sungguh sayang, untuk kali ini aku tak bisa mengajakmu! Bukan karena
malu. Bahkan aku merasa bangga
berjalan dengan gadis seayu kau.
Tapi..., tujuanku kali ini melewati
hutan yang banyak dihuni oleh bangsa
dedemit, jin, jerangkong...!"
Ih..., ih...!" cibir gadis itu
sambil menubrukkan tubuhnya ke tubuh
Aji. Tangannya langsung melingkar di
pinggang pemuda itu.
kemudian tanganya merayap ke seluruh tubuh..
"Jangkrik! Ditakut-takuti, malah
begini jadinya!" rutuk Aji berbisik seraya melirik dan menarik napas
dalam-dalam. "He..., rambutmu
menggelikan pipiku!"
Perlahan-lahan gadis itu melepaskan
lingkaran tangannya pada tubuh Aji.
Dipandanginya pemuda itu dengan sinar
mata sayu dan bibir menyungging senyum.
"Sudahlah! Aku harus buru-buru!
Lain waktu aku akan mengajakmu
jalan-jalan ke mana kau suka!" kata Aji.
"Tidak! Aku minta sekarang...!"
sela gadis itu dengan suara keras.
"Tidak! Aku minta kapan-kapan...!"
Aji ikut-ikutan keras.
"Baiklah, kalau itu maumu, Orang
Tampan! Aku menunggu. Tapi untuk kali
ini, bagaimana kalau kau memberiku
sebuah tanda mata sebagai gantinya?"
beri aq kehangatan !!
"Dengar, Gadis Ayu! Aku seorang
pengelana jalanan yang tak ada arah
tujuan! Mana mungkin aku punya sesuatu yang pantas kuberikan padamu" Yang
kupunya hanyalah yang menempel di
tubuhku! Apa itu yang harus kuberikan
padamu..." Jangan ngaco, ah...! Kalau
pegang-pegang saja boleh. Asal, bukan
yang di bawah pusar! Tapi..., ya,
kapan-kapan saja! Aku janji deh...!"
"Omonganmu ngelantur!" dengus gadis itu sengit. Namun, raut wajahnya nampak
senang. "Aku tidak ingin yang
nempel-nempel! Dan kau punya itu! Boleh aku ambil" Kalau kau tak tahu, aku tahu
tempatnya...!"
Selesai bicara, gadis ini maju. Lalu
cepat pula tangan putihnya menyambar ke arah lipatan ikat pinggang Aji.
Melihat gelagat tak baik Aji sadar.
Cepat tubuhnya menghindar ke belakang.
Sehingga, tangan gadis itu hanya
menyentuh perut.
"Sontoloyo! Dia sepertinya
menginginkan logam ini!" batin Aji dengan sedikit mendelik.
Namun belum sempat pemuda itu
berpikir lebih jauh, gadis ini telah
maju. Kembali tangannya menyambar ke
arah saku baju dalam Aji.
Dengan sekuat tenaga, Aji
melesatkan dirinya ke belakang. Tapi,
gadis itu tak tinggal diam. Cepat
diburunya Aji yang kini tiga tombak di depannya.
Kali ini Aji tak menghindar. Pemuda
itu berdiri tegak sambil senyam-senyum.
Melihat hal ini serta-merta mata gadis itu berbinar. Maka dengan terburu-buru
tangannya merogoh ke saku baju dalam Aji.
Tapi sejenak kemudian, ditatap Aji
dengan raut wajah memberengut
membersitkan rasa kecewa. Merasa belum yakin digeledahnya sekujur tubuh Aji
tanpa meninggalkan sejengkal pun.
Aji hanya tegak diam sambil
sebentar-sebentar menggoyang-goyangkan tubuhnya. Sementara mulutnya meringis
menahan geli. "Wadouuu...! Biji itu jangan
dipencet-pencet begitu...!" teriak Aji tiba-tiba.
Gadis itu sejenak memandang. Ia
curiga. Maka sekali lagi tangannya
meraba sambil menggigit bibirnya.
"Wadouuu...! He...! Jangan gila!
Aku bisa kelenger jika bijiku pecah...!
Pegang boleh, tapi jangan kasar....
Pelan-pelan dong...."
Mendadak gadis itu melengos. Cepat
tangannya diangkat ke arah wajah Aji.
Sementara, Aji yang keenakan dengan mata terpejam kaget. Buru-buru kepalanya
ditundukkan. Dan seketika tubuhnya
melesat, meninggalkan gadis itu.
Sampai agak jauh, ternyata gadis itu
tak memburu. Maka, Aji segera
menghentikan langkahnya. Setelah
mengambil logam dari mulutnya, tubuhnya berbalik ke arah gadis yang tadi
ditinggalkannya.
"Hm.... Sekarang, aku harus lebih berhati-hati lagi. Peringatan Ajeng Roro benar
adanya. Dan melihat banyak orang menginginkan, berarti logam ini
berharga...," bisik Aji, kembali
berbalik. Lalu ia kembali meneruskan
perjalanannya. *** Senja terasa basah oleh hujan
seharian. Bumi jadi agak lembab. Angin berhembus pelan, seiring hilangnya
rintik hujan. Saat yang demikian, Aji sudah tiba
di kotapraja Kedung Langkap. Sebuah kota di Pesisir Laut Utara.
Sampai sejauh ini, pemuda itu tak
mengerti mengapa Eyang Selaksa
menyuruhnya meneruskan perjalanan ke
Laut Utara. Yang lebih sulit dimengerti, adalah ucapan Ajeng Roro ketika mereka
berpisah di lereng bukit. Katanya suatu saat ini Aji akan dihadang orang-orang
yang menginginkan logam di tangannya.
Di sebuah kedai yang terletak
diperbatasan kotapraja Kedung Langkap, Aji berniat mengisi perut yang telah
seharian penuh tak terisi apa-apa.
Ketika Aji masuk, pandanganya
segera beredar ke sekeliling. Tampak dua orang tua berpakaian dekil dan
awut-awutan duduk di sudut kedai.
"Ki, sediakan makan dan tuak dua
bumbung," ujar Aji sambil menyibakkan baju hijau ketatnya yang nge-lawir ke
bawah. Tak begitu lama Aji menunggu.
Sebentar kemudian pesanannya telah
datang diantarkan pemilik kedai yang
tampak ramah dan selalu tersenyum.
Namun begitu pemilik kedai baru saja
beranjak dari hadapan Aji, di luar kedai terdengar ringkikan kuda yang
melengking tinggi. Kedua kaki depannya yang
berladam menghentak dan menghujam tanah yang baru saja tersiram hujan seharian.


Sehingga tanah yang diinjaknya ambles
membentuk kubangan kecil.
Sebentar kemudian terlihat dua
orang berpakaian biru gelap memasuki
kedai dengan tampang begitu kasar. Wajah mereka yang hampir tak bisa dibedakan,
sedikit pun tak menampakkan guratan
keramahan. Rambut mereka yang jabrik,
dan dengan senjata kapak berwarna merah yang menyembul dari punggung menambah
keangkeran dua orang ini.
Aji yang duduk di samping pintu
terperangah sejenak. Sepertihya, dua
orang ini pernah dilihatnya. Tak salah lagi! Di kotapraja Lemah Ajang. Keduanya
ada di antara para rombongan berkuda yang menuju kediaman Tumenggung!
Saat dua orang ini masuk, buru-buru
Aji mengalihkan pandangan pada santapan di depannya. Sikapnya seperti tak peduli
pada tatapan dua orang ini yang seakan menyapu seluruh ruangan kedai.
"Kapak Kembar Berdarah!" bisik salah seorang tua yang berpakaian dekil dan awutawutan di sudut.
Aji sebentar melirik. Lantas
telinganya dipasang baik-baik. Dia
memang telah tahu, siapa dua orang yang baru datang ini. Tapi Aji belum tahu
sepak terjangnya. Dan, kenapa mereka
berada di sini"
"Jangan-jangan.... Ah, tak
mungkin!" Aji bertanya-tanya sendiri.
"Beruntung kita menemukan mereka di sini, Kakang Braja! Berarti kita tak usah
mencarinya jauh-jauh!" kata orang berpakaian dekil, yang terlihat agak
muda. Dahulu, tepatnya tujuh belas tahun
yang lalu Adipati yang memerintah
Kadipaten Pamotan mempunyai dua orang
tangan kanan. Bisa dipahami, kenapa dua orang tersebut dirangkul sang adipati.
Karena, mereka memang berkepandaian
tinggi. Lagi pula waktu itu rimba
persilatan dalam keadaan goncang,
setelah menghilangnya tokoh golongan
putih jajaran atas. Sehingga di
sana-sini muncul gerombolan-gerombolan liar yang menjarah dan membunuh
seenaknya. Untuk mengatasi hal-hal seperti
itulah sang adipati sengaja menjadikan dua orang tersebut sebagai tangan
kanannya. Konon, dua orang itu memang
punya ciri tertentu. Yakni, berpakaian dekil dan awut-awutan. Padahal wajah
keduanya sebenarnya tampan. Walau begitu dua orang ini sangatlah bengis dan
kejam. Mereka tak segan-segan membunuh,
meskipun terhadap orang yang melakukan kesalahan kecil dan remeh. Bahkan
terhadap orang yang sudah tidak berdaya.
Sehingga, mereka dijuluki Dua Utusan
Maut. Kini Braja dan Rekso yang berjuluk
Dua Utusan Maut itu muncul kembali.
Kemunculan mereka ke pelataran setelah mangkatnya sang adipati, adalah untuk
membalas dendam terhadap Kapak Kembar
Berdarah yang telah menewaskan guru
mereka. Setelah berbulan-bulan mencari,
akhirnya mereka mendapat keterangan
kalau Kapak Kembar Berdarah kini telah mengetuai tokoh-tokoh hitam di Pesisir
Laut Utara. Dan pencarian Dua Utusan Maut
rupanya tak stasia setelah keduanya
mendapati si Kapak Kembar Berdarah baru saja memasuki kedai.
Meski orang yang dicari-cari telah
ditemukan, rupanya Braja orang tertua
dari Dua Utusan Maut tak berani gegabah.
Hal ini bisa dimaklumi, karena orang yang telah berhasil menewaskan guru mereka
pasti tidak bisa dianggap sembarangan.
"Kita jangan
bertindak sembarangan Rekso. Mereka adalah tangan kanan Sepasang Iblis Pendulang Sukma,
yang telah berhasil mengobrak-abrik
seluruh perguruan silat dari utara
hingga selatan! Tentunya mereka bukan lawan enteng. Kita harus menunggu
sejenak! Bukan tak mungkin
sekonyong-konyong datang beberapa teman mereka! Jika hal itu terjadi, kita akan
gagal dalam membalas dendam! Karena bisa saja mereka main keroyok!" cegah Braja,
ketika melihat Rekso mulai menampakkan kemarahannya.
Ketika mendengar pembicaraan salah
seorang Dua Utusan Maut, Aji seketika
menghentikan kunyahannya.
Tenggorokannya bagai tersendat. Tanpa
sadar, sejenak ingalannya melayang pada hari kejadian pembantaian Perguruan
Samudera Putih. Ya, hari kejadian itu
tepat saat mereka berkunjung ke kediaman Tumenggung!
"Bisa jadi mereka yang berbuat keji terhadap Paman Guru!" batin Aji, sambil
tetap memasang telinga baik-baik.
Matanya menusuk tajam pada dua orang
berpakaian biru gelap yang baru saja
duduk. Meski dadanya terasa bagaikan
terhimpit bongkahan batu besar, Aji
masih saja belum berani bertindak
ko-nyol. Disadari, dirinya tak bisa ilmu silat. Sedangkan dibandingkan dengan
dua orang berambut jabrik itu tidak ada
apa-apanya"
"Tapi jika benar mereka yang
berbuat, suatu saat nanti aku akan
membuat perhitungan!" bisik Aji dengan napas memburu.
"Pak, sediakan kami tuak!" ujar salah seorang berpakaian biru, dengan
suara keras. Bibir orang yang baru saja bicara
tampak tersenyum sinis. Kemudian
menebarkan pandangan ke arah orang dalam kedai satu persatu.
"Kakang Braja! Kita harus bertindak sekarang!" ujar Rekso agak keras hingga
seluruh mata memandang ke arahnya.
"Tahan, Rekso! Kita tunggu mereka di luar!" cegah Braja dengan wajah
khawatir. Namun cegahannya
terlambat.... *** Rekso, salah satu dari Dua Utusan
Maut telah menjejak meja.
"Anjing busuk, Jabrik!" bentak Rekso.
Tubuh laki-laki itu meloncat, lalu
mendarat kokoh di samping meja Kapak
Kembar Berdarah. Matanya menembus tajam ke arah dua orang jabrik yang masih saja
tak mengacuhkan kehadiran dan
hardikannya. "Terimalah hari kematian kalian,
Anjing!" dengus Rekso sambil mengibaskan tangannya kebumbungtuak yang akan
disuguhkan pelayan kedai.
Seketika dua bumbung tuak itu
menukik tajam ke arah meja, langsung
menumpahkan isinya. Tapi
sekonyong-konyong, kedua benda itu
memantul cepat ke arah kepala Kapak
Kembar Berdarah.
Namun hanya memiringkan kepala ke
samping secara bersamaan, pantulan
bumbung tuak yang berisi tenaga dalam
tinggi itu berdesing menerpa angin,
empat jari di samping kepala Kapak Kembar Berdarah.
"He... he... he,..!"
Saat itu juga terdengar kekehan
salah satu orang berambut jabrik dari
Kapak Kembar Berdarah. Belum habis
kekehannya, kepalanya menunduk ke arah meja. Lalu tuak yang masih menggenang di
atas meja dijilatinya.
Belum setarikan napas, meja yang
baru saja tersentuh lidah salah seorang Kapak Kembar Berdarah langsung
mengepulkan asap. Bahkan lantas
mengelinting bagai kulit kayu yang
terbakar. Dan bersamaan dengan itu, tuak yang baru saja masuk ke mulut
disemburkan ke arah Rekso yang masih tegak di
sampingnya. Semburan tuak itu mendadak berubah
jadi gelembung-gelembung api, langsung melesat cepat ke arah Rekso. Beruntung
laki-laki dekil itu waspada. Sebelum
gelembung-gelembung api melabrak,
tubuhnya melesat ke atas. Setelah
membuat putaran beberapa kali, kakinya hinggap di salah satu meja.
Sementara gelembung-gelembung api
tak terben-dung melesat ke samping,
menerobos dinding kedai Seketika
beberapa bundaran sebesar buah Langsep itu menghiasi dinding kedai yang terbuat
dari bambu. Tempat itu terlalu sempit untuk
main-main, Jahanam! Keluarlah!" bentak Rekso, kemudian melesat di atas kepala
Aji dan menerobos keluar kedai.
"Gendeng!" umpat Aji sambil
memegangi kepala dan menunduk.
"Keluarlah, Anjing Kudis!" teriak Rekso, begitu kakinya menjejak pelataran kedai
Dengan wajah dingin serta mata
menyorot tajam, salah satu dari si Kapak Kembar Berdarah yang tadi me-nyemburkan
tuak melangkah keluar.
Tak lama kemudian, di pelataran
kedai tampak dua orang saling berhadapan dan siap menyerang.
Wajah Rekso tampak merah membara,
menyimpan dendam kesumat. Rahangnya
mengembang. Matanya tak berkedip
memandangi laki-laki berambut jabrik di hadapannya. Sedangkan laki-laki satu
dari Kapak Kembar Berdarah terlihat
tenang-tenang saja. Bibirnya tetap
menyunggingkan senyum dingin.
Memang, Kapak Kembar Berdarah
terdiri dari dua orang bersaudara kembar yang sangat terkenal keganasannya.
Dalam setiap menghabisi lawan-lawannya,
mereka tak pernah banyak bicara. Hanya senyum dingin saja yang selalu
mengiringi tebasan kapak mautnya.
Dulu, dua orang kembar yang
sebenarnya bernama Jurig dan Girig
adalah gelandangan kotapraja. Karena
lingkungan dan kebutuhan yang
menghimpit, akhirnya mereka menjadi
ketua begal di kotapraja. Mereka ber-dua sangat ditakuti penduduk karena
kekejian dalam setiap melakukan perampokan.
Namun setelah hadirnya Wong Agung
dan beberapa tokoh-tokoh putih waktu
itu, akhirnya dua orang itu harus
mengundurkan diri dari dunia begal.
Apalagi ruang gerak mereka telah
terjepit oleh munculnya tokoh-tokoh
golongan putih.
Konon setelah itu mereka pergi ke
Lembah Prangas. Sebuah lembah yang
dihuni seorang sakti bernama Rambujang yang juga berjuluk Jagal Prangas. Di
sana, kedua orang itu berguru. Dan
setelah merasa memiliki kepandaian
tinggi, mereka muncul kembali.
Mereka lantas memakai julukan Kapak
Kembar Berdarah! Karena di pinggang
masing-masing memang tak pernah lepas
dari senjata kapak berwarna merah. Dan tak tanggung-tanggung, mereka kini telah
bergabung, bahkan menjadi tangan kanan Sepasang Iblis Pendulang Sukma, sepasang
tokoh golongan sesat yang mulai
menguasai dunia persilatan.
Dalam upaya melebarkan sayap, Kapak
Kembar Berdarah tak segan-segan
membinasakan orang yang menolak
bergabung. Dan salah satu dari korban
mereka adalah guru dari Braja dan Rekso.
Sejauh ini, Rekso hanya mendengar
tentang ke-hebatan Kapak Kembar
Berdarah. Jadi, mereka belum pernah
sekalipun bertemu. Hingga saat
menemukannya, Rekso seakan tak sabar
ingin menjajal kehebatan-nya.
"Anjing busuk! Kenapa kalian tak
maju sekalian saja! Biar sekalian masuk kubur bersamaan"!" ujar Rekso tak sabar.
"Tua busuk! Untuk membuatmu mandi darah cukup dengan aku saja!" balas Jurig,
salah satu dari Kapak Kembar
Berdarah dengan senyum masih
tersungging. "Tapi sebelum kubuat berkubang darah, katakan dulu siapa
kau"! Dan, apa urusanmu hingga tiba-tiba menyerangku"!"
"Baik! Biar arwahmu tak penasaran, dengar baik-baik! Kami adalah Dua Utusan
Maut!" jawab Rekso, dengan suara
menggemuruh. Sementara Aji yang masih memandang
dari dalam kedai jadi ternganga. Pemuda itu memang baru kali ini mendengarnya.
Dan tanpa sadar pandangannya langsung
diarahkan pada orang yang masih duduk di sudut. Wajahnya memang telah tidak muda
lagi. Namun sam-baran matanya yang
menghujam tajam mengisyaratkan kalau
orang ini tampak kejam dan tak pandang bulu.
Jurig, salah seorang dari Kapak
Kembar Berdarah yang kini berada di luar kedai dan berhadapan dengan Rekso,
sejenak bergetar. Namun dia tetap
tenang. Bahkan lantas tangannya
mengusap-usap ujung senjatanya di
pinggang. "Senang sekali dapat berjumpa
orang-orang hebat macam kalian! Tapi apa gerangan yang membuat Dua Utusan Maut
tiba-tiba menyerang kami" Bukankah Kapak Kembar Berdarah tak pernah bersengketa
dengan Dua Utusan Maut?" tanya Jurig, kalem.
"Kau terlalu berbasa-basi! Dengar!
Kami hanya ingin menagih hutang atas
nyawa Randu Keling, guru kami!" jelas Rekso dengan mata melotot.
"Itu salah guru kalian sendiri!


Mengapa ia menolak ajakan kami" Kalian tahu bukan, imbalan sebuah ke-salahan
bagi kami" Nyawa!" kata Jurig tak kalah garang.
Dan tiba-tiba, wajah Jurig berubah
berseri. Senyum manis yang sebenarnya
lebih mirip seringai langsung terkembang di bibirnya.
"Namun..., untuk Dua Utusan Maut, kami masih punya perasaan! Kesalahan
kalian akan kuampuni, jika
mau bergabung dengan kami!" lanjut Jurig.
"Tahi kambing! Itu suatu penghinaan bagi kami! Kau tahu bukan, apa yang harus
dibayar jika menghina kami" Maut!"
bentak Rekso. Saat itu juga Rekso mendorong kedua
telapak tangannya. Maka terciptalah satu pusaran angin panas dari kedua telapak
tangan yang langsung melesat ke depan.
"Uts!"
Jurig segera mengibaskan tangan
kirinya ke samping, tepat ketika
tubuhnya miring menghadap ke samping
kanan. Begitu sambaran angin panas lewat dan amblas di sampingnya, tubuhnya
cepat berputar hingga seakan lenyap.
Dan sekonyong-konyong, sebuah
terjangan kaki menerobos masuk ke arah pinggang Rekso. Hampir saja terlambat,
kalau Rekso tidak cepat tarik badannya ke belakang. Namun tak urung kaki itu
menyambar kain dekil Rekso di bagian
pinggang. Kain itu sontak terkoyak
mengeluarkan bau sangit!
Mendapati serangannya tak mengenai
sasaran, bahkan serangan susupan yang
dilancarkan Jurig hampir saja
menjebolkan pinggangnya, Rekso maju
setindak. Lalu cepat kakinya menyapu ke leher Jurig yang masih jongkok, setelah
menyusupkan serangan.
Kali ini Jurig tak ada waktu lagi
untuk memutar tubuhnya. Maka disambutnya sapuan deras kaki Rekso
dengan tangan terpentang di atas leher.
Prak! Terdengar suara benturan keras si
tua dekil salah satu dari Dua Utusan Maut terhuyung ke belakang beberapa tindak.
Wajahnya yang telah mengeriput, mendadak menegang seiring ringisan bibirnya yang
menahan sakit luar biasa.
Sedangkan Jurig hanya goyah sedikit
ke samping. Namun tak urung tangannya
tampak membiru. Dan diiringi satu
dengusan keras, Jurig meloncat ke arah Rekso yang masih terhuyung-huyung ke
belakang dengan satu hantaman kepalan
tangan. Karena belum bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya, Rekso segera saja menyilangkan kedua tangannya untuk
menangkis serangan Jurig yang tak
terduga. Namun, begitu kepalan tangannya menghantam, Jurig juga memasukkan
terjangan kaki ke arah perut.
Kepalan tangan Jurig memang dapat
ditangkis tangan Rekso. Namun terjangan kaki yang datang bersamaan itu, tak bisa
lagi dihindarinya. Hingga....
Bres! "Aaakh...!"
Tubuh salah satu dari Dua Utusan
Maut itu kontan bergulingan di pelataran kedai disertai jerit kesakitan. Darah
terlihat mengucur dari mulutnya.
Sementara Jurig segera melangkah
mendekat. Tangannya cepat diangkat, siap membabat ke arah Rekso yang sudah tak
berkutik. Namun sebelum sambaran tangan Jurig menghujam, mendadak sebuah kibasan
angin kencang memapak tangannya.
Wet! Prak! Sebuah tpmparan keras mendarat
telak di bahu kiri Jurig. Tak ampun lagi tubuhnya terbanting ke samping beberapa
tindak. Namun, laki-laki berambut jabrik ini cepat bangkit berdiri dengan satu
lentingan indah.
Begitu menoleh ke samping, Jurig
melihat seorang laki-laki dekil yang
tadi duduk di kedai telah berdiri dengan seringai menggiriskan. Dia tak lain
memang Braja, satu dari Dua Utusan Maut lainnya.
"Setan alas! Pembokong keparat!"
geram Jurig. Sementara tanpa menunggu lama,
Braja segera melangkah maju kembali
tangannya menghantam ke arah Jurig. Saat itu juga terdengar deru angin serangan
seiring dengan melayangnya tangan Braja.
Jurig tak tinggal diam. Meski bahu
kirinya masih terasa nyeri, tentu saja kepalanya tak sudi menjadi sasaran
berikutnya. Cepat kepalanya menunduk
sedikit, lalu memiringkan tubuhnya. Saat hantaman keras lewat di atas kepala,
kakinya mendepak ke perut Braja.
Namun serangan itu telah lebih
dahulu dibaca Braja. Cepat bagai kilat kakinya diangkat tinggi-tinggi. Begitu
terangkat, kakinya diluruskan ke
belakang. Sejenak Braja bagai orang yang melayang, namun kaku! Maka, loloslah
serangan kaki Jurig yang tadi telah
merobohkan Rekso.
Bahkan begitu serangan itu lolos,
tak disangka-sangka kaki Braja yang
masih kaku di atasnya cepat terayun ke bawah. Padahal, saat itu Jurig sedang
menarik pulang kakinya.
Tak urung, kali ini Jurig terlambat
menghindar. Sehingga ayunan kaki Braja kontan menghantam punggungnya.
Bres! "Aaakh...!"
Tubuh Jurig langsung terpuruk ke
tanah lima tombak ke depan. Terdengar
lenguhan keras. Darah tampak menetes
dari lobang hidungnya. Namun Jurig
ternyata sangat tangguh. Cepat ia tampak bangkit. Bahkan tangannya diangkat
memberi isyarat pada Girig, saudara
kembarnya yang telah berdiri di luar
kedai untuk menahan langkahnya.
"Biar aku yang mengurus tikus ini!"
tukas Jurig kepada saudara kembarnya.
Setelah berkata dernikian, Jurig
tampak sedekap. Matanya dikerdipkan dua kali. Maka saat itu pula tangannya
dibuka dan didorong ke depan perlahan-lahan.
Seketika tercipta angin dingin menusuk melesat ke depan.
Menyaksikan hal itu, Braja segera
menjajarkan tangannya ke dada. Dan
secepat itu pula disentakkannya ke
depan, memapak serangan angin dingin
yang menuju ke arahnya. Dan....
Blar! Seketika terdengar dentuman
menggelegar, saat dua serangan itu
bertemu. Tanah di bawah berterr serangan tampak terbongkar.
Sementara Braja terhuyung-huyung ke
belakang. Sedangkan Jurig hanya terjajar dua tindak ke samping. Hal ini bisa
dimaklumi. Karena biarpun tenaga mereka sama-sama hebat, namun usia pula yang
telah membuat Braja harus mengakui
keunggulan satu dari Kapak Kembar
Berdarah ini. Ketika tubuh Braja
terhuyung-huyung, Jurig bersuit. Maka
sekonyong-konyong saudara kembarnya
langsung merangsek maju dengan hantaman keras ke dada Braja yang belum menguasai
keadaan. Maka....
Bres! Pada saat yang sama, Jurig juga
melenting dan berputar di udara. Saat
menjejak tanah, tubuhnya telah berdiri di samping Rekso.
Rekso kaget, namun terlambat.
Karena, ayunan kaki Jurig telah deras
menghantam ulu hatinya.
Des! Tak ayal, Dua Utusan Maut sama-sama
bergulingan di pelataran kedai.
Sebentar mereka berusaha bangkit.
Namun begitu menegakkan kepala, darah
segera tersembur dari mulut mereka.
Sebentar kemudian tampak Dua Utusan Maut meregang nyawa kaku, lalu diam tak
bergerak. Mati dengan tubuh hitam.
"Biadab! Seandainya aku punya
kekuatan, tak mungkin hal itu terjadi di depan mataku!" dengus Aji, menyaksikan
pertarungan yang sangat tidak enak
dipandang mata.
*** 5 Setelah berhasil menewaskan Dua
Utusan Maut, Kapak Kembar Berdarah pergi meninggalkan kedai. Dan diam-diam Aji
mengikuti dari belakang.
Aji terus melarikan kencang kudanya
di atas tanah yang becek. Sehingga,
setiap hentakan kaki kudanya menimbulkan kecipak. Namun Kapak Kembar Berdarah
terus menggebah kudanya kencang-kencang pula. Bahkan tak jarang kaki dua orang
itu dikepak-kepakkan di perut kuda
tunggangannya. Namun setelah sampai pada suatu
padang ilalang yang merangas
tinggi-tinggi, Aji menghentikan lari kudanya dengan kening berkerut. Ternyata,
pemuda itu kehilangan jejak Kapak Kembar Berdarah yang diikutinya. Aji coba
menebarkan pandangan, namun hanya padang ilalang yang terpampang di hadapan dan
kanan-ki-rinya. Dua orang berambut
jabrik itu bagai lenyap ditelan bumi.
"Jangkrik! Ke mana larinya mereka?"
rutuk Aji sendirian dengan mata tetap
jelalatan. Tanpa disadari Aji, ilalang yang
berada lima tindak di kanan kiri pemuda itu bergerak-gerak. Namun sebelum Aji
sempat melihat apa yang terjadi,
terdengar tawa terbahak-bahak, yang
disusuli oleh berkelebatnya dua bayangan biru.
Belum habis rasa terkejutnya, di
samping kanan dan kiri Aji telah berdiri dua orang berpakaian biru gelap dengan
rambut jabrik. Memang mereka tak lain
dari Kapak Kembar Berdarah.
"Bangsat! Apa perlumu mengikuti
perjalanan kami, he"!" bentak Jurig.
Aji terkesiap seketika. Wajahnya
sontak pias. Jantungnya terasa berhenti berdetak. Sungguh, hal ini di luar
dugaannya. Maka sambil mengusap-usap
jakun, kepalanya menoleh kanan-kiri.
"Mengikuti" Siapa mengikuti kalian"
Mungkin kita satu arah!" kilah Aji dengan suara bergetar. Keringat dingin tampak
mulai membasahi sekujur tubuh dan pakaian hijau ketatnya serta pakaian
dalamnya. "Penipu busuk! Beraninya kau bicara bohong pada kami! Kau kira kami tak tahu
tingkahmu, he"!" hardik Girig. Bersama Jurig, dia melangkah dua tindak ke arah
Aji. "Tahan! Mari kita bicara
baik-baik!" ujar Aji.
"Bocah! Lekas katakan, apa maksudmu mengikuti kami! Dan siapa kau
sebenarnya"!"
"Wah! Runyam ini masalah...," bisik Aji dalam hati.
Sebentar pemuda itu menatap Jurig.
Lalu tatapannya beralih pada Girig,
berganti-ganti. Sepertinya, Aji hendak meyakinkan salah seorang dari Kapak
Kembar Berdarah.
"Eh! Aku..., maksudku, namaku Aji.
Aku..., tak punya maksud apa-apa
terhadap kalian. Aku..., aku hanya ingin menyaksikan kehebatan kalian," kata Aji
dengan suara seperti menggantung di
tenggorokan. "Dusta!" hardik Girig. "Dari cara mengikuti, kau pasti punya maksud
tertentu! Cepat katakan!"
"Percayalah! Aku tak punya maksud apa-apa terhadap kalian!" ujar Aji dengan
suara sember. "Keparat!" dengus Jurig seraya melepaskan pukulan tangan kiri ke arah bahu kiri
pemuda tampan dan perlente.
Walau Aji tak mengerti ilmu silat,
namun nalurinya mengatakan harus
menyelamatkan diri. Maka saat pukulan
tangan Jurig sejengkal lagi akan
melabrak bahu, tubuhnya diangkat
semampunya ke atas untuk berkelit
menghindar. "Uts...!"
Maka tak ayal pukulan tangan Jurig
hanya menerpa angin. Sedang tubuh Aji
berputar di udara, lalu menjejak tanah lima tombak di belakang.
"Anjing kurus!" dengus Jurig geram.
Tubuhnya langsung berbalik, memandangi pemuda tampan dan perlente dengan sinar
mata tak percaya.
Aji sendiri juga tak percaya, bahwa
dirinya bisa selamat dari pukulan orang yang telah menewaskan salah satu dari
Dua Utusan Maut! Sejenak bahu kirinya
diraba. Legalah hatinya ketika menyadari bahu kirinya masih utuh.
"Heaaat...!"
Belum lama Aji menikmati
kelegaannya, satu ben-takan menggemuruh dengan kaki lurus melabraknya. Kali ini
datangnya dari Girig.
Aji tersentak, namun cepat kembali
berkelit dari terjangan kaki Girig
dengan melenting ke samping. Maka,
terjangan kaki dahsyat Girig hanya
menerpa tempat kosong.
Merasa dipermainkan bocah kemarin
sore, Kapak Kembar Berdarah naik pitam.
Sejenak mereka saling berpandangan.
"Bocah keparat ini tak bisa dibuat main-main, Kakang!" ungkap Jurig, langsung
merapatkan tangan di dada.


Tindakan itu juga dilakukan Girig.
Lantas keduanya tampak komat-kamit.
Kelihatannya, Kapak Kembar Berdarah
sedang mengerahkan jurus andalan.
Memang, sejak pertama kali muncul
kembali ke dunia persilatan, dua orang ini diketahui mempunyai sebuah jurus
yang sangat ditakuti lawan-lawannya.
Bahkan karena jurus itulah, mereka
disejajarkan dengan tokoh-tokoh tingkat atas. Jurus yang menitikberatkan pada
tenaga gabungan ini, dinamakan jurus
'Kapak Kembar Sapu Bumi'.
Tubuh Kapak Kembar Berdarah tampak
berputar-putar cepat, kemudian menyatu.
Lalu tubuh mereka tampak memisah,
sebelum akhirnya menyatu kembali sambil menyentakkan kedua tangan ke depan
kuat-kuat. "Hiaaa...!"
Seketika dua larik gelombang
disertai angin menderu kencang meluruk ke depan, ke arah Aji sedang berdiri
kebingungan. Melihat keadaan gawat, Aji segera
mengerahkan seluruh kemampuan untuk
menghindar. Agar dapat melesat ke atas lebih tinggi, kakinya menjejak kuat-kuat
tanah berilalang di bawahnya, saat dua larik gelombang berangin kencang meluruk
ke arahnya. Dan yang terj adi sungguh sulit
dipercaya Aji sendiri. Tanah yang
terjejak kakinya sekonyong-konyong
ambrol. Brulll! Maka seketika seluruh tubuh pemuda
itu terperosok ke dalam lobang tanah yang terjejak kakinya. Begitu kuat jejakan
kakinya, sehingga dalamnya lobang yang tercipta sampai satu tombak di atas
kepalanya. Sementara, dua larik gelombang
angin yang dahsyat itu hanya menerpa
ilalang yang merangas tak beraturan di sekitar lobang tempat Aji terperosok.
Akibatnya, ilalang itu kontan
terberangus sampai akar-akarnya
tercabut keluar dari tanah! Sedangkan
larikan gelombang angin terus meluncur, lalu menghantam hingga pecah berantakan
membentuk kepingan-kepingan kecil.
Menyadari dirinya terperosok ke
dalam tanah, tanpa pikir panjang Aji
menjejak tanah dalam lobang untuk
melenting ke atas. Tubuh pemuda itu
mendarat di tanah ilalang yang
terberangus, diiringi tatapan beringas Kapak Kembar Berdarah.
Sret! Sret! Dua kapak berwarna merah telah
tercabut dari pinggang Kapak Kembar
Berdarah. Maka tanpa bicara lagi
keduanya meluruk, mencecar tubuh Aji
dengan sabetan-sabetan kapak dan
sesekali dengan terjangan kaki.
Tampaknya kini Kapak Kembar
Berdarah tak mau bertindak sembrono.
Mereka menyadari, bocah tanggung itu
ternyata tidak bisa diremehkan.
Buktinya, jurus andalan mereka begitu
mudah dielakkan.
Sementara Aji sendiri masih
berusaha menghindar, walau sebenarnya
gerakan itu hanyalah gerakan naluri
untuk menyelamatkan diri.
Beberapa jurus telah dilancarkan
Kapak Kembar Berdarah dengan kapak
merahnya. Namun sejauh ini, hanya
mengandalkan kelitan atau kecepatan
geraknya, Aji masih mampu menyelamatkan diri. Walaupun, tak jarang
goresan-goresan kapak sesekali sempat
menyerempet kulit tubuhnya.
Begitu cepat serangan Kapak Kembar
Berdarah serta gerakan berkelit Aji.
Sehingga jika dilihat mata biasa, mereka bertiga hanya bagai kilatan-kilatan
warna merah yang melesat kian kemari
tanpa sosok yang terlihat.
Hingga pada satu kesempatan, Kapak
Kembar Berdarah yang telah dirasuki
amarah menggebu, menebaskan kapak secara berbarengan disertai tenaga dalam kuat.
"Uhhh...!"
Dengan sisa-sisa tenaga yang hampir
pupus, Aji melentingkan diri
tinggi-tinggi. Sehingga, kapak berwarna merah itu menerabas tanah di bawahnya
dan menancap tanpa bisa ditarik lagi.
Dan pada saat yang sama, tubuh Aji
meluncur ke bawah. Dan tanpa disadari
kakinya menjejak tubuh Kapak Kembar
Berdarah di bawahnya.
Des! Des! "Aaakh...!
Aaakh...!"
Terdengar dua pekikan menyayat,
sebelum dua tubuh berambut jabrik ambruk ke tanah dengan punggung menganga!
"Heh" Apa yang kulakukan" Jadi...,"
kata Aji terperangah, begitu meloncat
dan mendarat di tanah, setelah kedua
kakinya menjejak Kapak Kembar Berdarah.
Pemuda berpakaian hijau ketat
dengan pakaian dalam berwarna kuning itu melihat, kedua orang yang hendak
membunuhnya tampak sekarat dengan darah mengalir dari mulut masing-masing.
Mata dua orang berjuluk Kapak Kembar
Berdarah ini menatap sayu ke arah Aji, sebelum akhirnya melotot tak berkedip
selamanya! Aji masih termangu-mangu
menyaksikan semua ini. Sungguh sulit
dipercaya, bahwa gerakan tanpa sadar kakinya dapat menewaskan dua orang yang
disegani dunia persilatan saat ini!
Bagaimana hal itu bisa terjadi"
Ditingkahi deru angin kencang yang
mengiringi, gelombang Laut Utara tampak ganas dan bergulung-gulung. Udara tepi
pantai terasa panas menyengat, karena
mentari belum juga beranjak dari titik tengah.
Di tepi pantai, tepatnya di sebuah
batu besar yang menghadap Laut Utara, tampak seorang pemuda tanggung
berpakaian hijau ketat lengan pendek
dengan pakaian dalam berwarna kuning
lengan panjang serta rambut dikuncir
ekor kuda. Matanya yang menyorot tajam tampak memandangi debur ombak yang
menghempaskan buih-buih putih ke tepian.
Pemuda yang tak lain Aji itu seperti
tengah termangu. Dia tak habis pikir
tentang kejadian-kejadian yang baru saja dialami. Aji masih tak percaya, bahwa
kini bisa mengangkat tubuhnya dengan
ringan. Bahkan pandangannya kini bisa
jauh menerawang. Lebih-lebih dengan
hentakan kaki yang tak disengaja, Aji
bisa merontokkan Kapak Kembar Berdarah.
Padahal, semua itu mungkin hanya dapat dilakukan orang-orang yang berilmu
tinggi dan telah berpengalaman dalam
dunia persilatan. Sedangkan dia"
Sementara Aji belum bisa menjawab
keganjilan-keganjilan dalam dirinya,
kini dihadapkan pada hal yang juga tak bisa dimengerti. Tentang Eyang Selaksa!
Kenapa orang tua yang selalu bercaping dan tak pernah senyum itu menyuruhnya
pergi ke sini" Ke Laut Utara"
"Tapi..., tak mungkin orang tua itu menyuruh begitu saja tanpa ada
maksud-maksud tertentu!" gumam Aji.
Mengingat itu, pemuda ini lantas
beranjak dari batu besar. Matanya
memandang jauh ke tengah-tengah laut
yang bergelombang dahsyat. Lamat-lamat matanya melihat sebuah gundukan tinggi
menjulang di tengah laut.
"Hm.... Tempat itu mungkin yang
dimaksud Eyang Selaksa...," pikir Aji.
"Tapi, bagaimana aku harus ke sana?"
Lama Aji berdiri dengan tercenung.
Namun sekonyong-konyong kakinya
menghentak sambil menepuk jidatnya
...
istana karanglangitkah itu ?
 
cerita silatnya mantappp oom..... ijin gelar tikerr 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd