Sementara Rangga yang mendengar itu, hanya terlihat tersenyum saja. Namun perlahan-lahan pemuda tampan itu menoleh pelan pada Saka Lintang, yang saat itu terlihat telah mulai bangkit berdiri. Serta melangkah perlahan-lahan menuju mayat Lestini, yang terbujur kaku. Sejenak sepasang mata pemuda tampan itu menatap dengan pandangan merasa amat bersalah, pada wajah gadis cantik di hadapannya itu. Ke dua tangannya berusaha terulur, niat hati ingin memeluk dan merangkul tubuh molek yang pernah dia acuhkan setahun yang silam di Bukit Tengkorak. (Untuk mengetahui hubungan Rangga dan Saka Lintang, baca serial Pendekar Rajawali Sakti Episode 1 Iblis Lembah Tengkorak). Namun sayang ternyata dirinya ternyata dirinya tak mampu melakukannya, yang hanya bisa dia perbuat hanyalah menatap wajah cantik. Yang saat itu juga sama-sama tengah menatap dengan pandangan sayu, ke pada dirinya. Ternyata perasaan yang sama juga di alami oleh Saka Lintang, dirinya juga sungguh ingin sekali rasanya berlari. Dan menghambur ke dalam pelukan pemuda tampan, yang telah mencabik-cabik hatinya itu. Namun penolakan yang pernah dia terima setahun yang silam di Bukit Tengkorak, membuatnya sungkan dan malu. Di tambah lagi saat ini dirinya juga sudah tidak suci lagi, akibat perkosaan yang pernah di alaminya setahun yang silam. Yang bisa di lakukannya hanyalah menatap sesaat dengan pandangan sayu, pada wajah pemuda tampan pujaan hatinya itu. Lama ke dua insan berlainan jenis itu saling berpandangan satu sama lain, sepasang mata mereka seolah mewakili perasannya masing-masing. Yang hendak di utarakan melalui bibir, namun tidak kuasa untuk di ucapkan.
“Kakang…,” desis Saka Lintang agak terhenyak kaget.
Di lihatnya pemuda tampan yang menjadi pujaan hatinya itu, kini mulai melangkah pelan, menghampiri dirinya yang masih duduk bersimpuh di dekat tubuh Lestini. Yang terbujur kaku tak bernyawa. Setelah dirinya berada cukup dekat dengan gadis itu, Rangga pun langsung memeriksa luka-luka di tubuh Saka Lintang. Bibirnya pun mulai terlihat menyunggingkan senyum puas, begitu mengetahui luka-luka yang di derita oleh gadis itu ternyata tidak begitu parah. Mungkin hanya perlu sedikit perawatan, dan semadi saja. Untuk mengembalikkan tenaganya yang terkuras tadi. Saka Lintang yang saat itu memaksakkan diri untuk memandang wajah Rangga, seketika tubuhnya langsung bergetar. Bagaikan terkena sengatan listrik ribuan volt, sedangkan Rangga malah terliha memandang pada tubuh Lestini yang menggeletak tak bernyawa. Pemuda tampan itu menghembuskan napasnya sesaat, sebelum kemudian ber alih memandang ke arah wajah yang cantik jelita. Yang kini jaraknya berada dekat sekali dengan wajahnya. Sampai akhirnya terlihat Saka Lintang mulai merangkul mayat Lestini, batinnya merasa amat terpukul berat, dengan semua peristiwa yang di alaminya itu.
“Dewata yang agung…, kenapa kau timpakan cobaan yang begini berat padaku?.” desis Saka Lintang dengan suara lirih, sepasang matanya juga mulai terlihat berkaca-kaca.
Gadis itu berlutut sambil terisak pelan, di samping tubuh Bibiknya yang sudah tidak bernyawa lagi. Batinnya benar-benar bergolak hebat menghadapi kenyataan pahit itu. Hatinya pun mulai menjerit merasakan sakit yang teramat sangat. Kematian Lestini yang teramat tragis, dan berlangsung di depan matanya itu, seolah telah memupus semangat hidupnya. Kepalanya juga tampak tertunduk dalam, dengan sepasang mata yang terlihat terpejam rapat. Lalu kembali terbuka perlahan-lahan, seraya mendongak pelan mengangkat kepalanya ke atas. Tarikan napasnya juga terdengar begitu berat. Seiring dengan mulai bercucurannya butir-butir air mata, yang mengalir di ke dua pipinya yang ranum. Hingga membentuk riak anak sungai.
“Maafkan aku Bibik maafkan aku, gara-gara aku kau jadi begini. Huhuhu…,.” desah gadis itu di sela-sela isak tangisnya.
“Lintang…,?.” ucap Rangga tiba-tiba, memberanikan diri untuk membuka suara.
“Kakang…,?” sahut Saka Lintang terdengar lirih dan pelan suaranya.
Wajahnya yang terlihat sayu itu pun mendongak pelan, menatap sayu pada wajah pemuda tampan yang kini telah berada dekat dengannya. Rangga yang melihat itu, semakin merasa amat bersalah. Pemuda tampan itu hanya bisa menghela nafas panjang sesaat, untuk mengusir debaran hatinya yang mulai tak karuan itu.
“Apa…, apa kau tidak apa-apa?” tanya pemuda tampan itu lagi dengan suara lembut dan agak tertahan.
“Aku.., aku baik-baik saja Kakang. Di mana Paman Nambi Kakang?, apakah dia juga tewas?.” sahut Saka Lintang semakin lirih terdengar suaranya, sambil kembali bertanya pelan.
Rangga yang mendengar itu, tidak mampu berkata-kata lagi. Wajahnya yang tampan itu juga terlihat tertunduk dalam, dengan ke dua bibir yang juga mulai bergetar. Seolah-olah hendak mengatakan sesuatu, namun tidak kuasa untuk mengatakannya. Sedangkan wajah Saka Lintang kini terlihat mendongak, dengan sepasang matanya yang berkilatan. Yang juga mulai terlihat lembab dan basah, oleh butiran air mata yang mengalir membasahi ke dua pipinya yang ranum. Sepasang mata indah itu terlihat menatap sayu pada wajah pemuda tampan, yang masih terlihat tertunduk lesu. seolah menanti jawaban atas pertanyaannya tadi.
“Maafkan aku Lintang, Pamanmu tewas jatuh ke dalam jurang. Setelah bertarung denganku.” ucap Rangga dengan suara agak tertahan, setelah agak lama terdiam.
“Oh, tidak...,” desis gadis itu terhenyak, sambil mendekap mulutnya.
Tubuhnya yang memang masih lemas itu pun langsung terkulai lemas, dengan posisi kepala yang di tangkupkan di dada mayat Lestini. Tangisnya juga langsung pecah seketika, begitu mengetahui dua orang yang amat di sayanginya. Kini masing-masing telah tiada. Gadis itu hanya bisa meratap pilu, menghadapi nasibnya yang malang itu. Lagi-lagi orang yang amat di cintainya, kembali menorehkan luka yang amat dalam di hatinya. Sungguh tragis sekali nasib yang di alami Saka Lintang.
“Setelah kematian Ayahanda, Paman dan Bibik adalah orang ke dua yang begitu menyayangi dan memperhatikanku. Dan kini mereka juga sama-sama telah tiada, kini aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Dewata yang agung.., Aku...., Aku…,” isak gadis itu terbata-bata.
“Apa kau melupakan aku?.” potong pemuda tampan itu tiba-tiba.
Saka Lintang yang mendengar perkataan itu pun langsung terdongak pelan, sepasang matanya yang redup memandang sayu pada wajah Rangga. Setitik air mata yang mengalir jatuh di pipinya yang ranum itu pun, terlihat kian semakin deras.
“Maksud Kakang?.” tanya Saka Lintang pelan.
Gadis itu memandang sayu pada wajah pemuda tampan yang telah menorehkan benih-benih cinta itu, sambil menahan debaran yang mulai bergemuruh dalam dadanya. Ingatannya pun kembali melayang pada peristiwa yang pernah terjadi setahun yang silam, di mana saat itu Ayahandanya tewas terbunuh oleh Rangga. Dan kemudian Rangga pun malah meninggalkannya sendirian, apakah kejadian di Bukit Tengkorak akan terulang lagi sekarang?. Apakah pemuda tampan ini juga akan kembali meninggalkannya?. Tanpa sadar gadis itu mulai menggigit bibirnya sendiri, merasakan sakit akibat luka lama yang mulai terkuak kembali menghiasi relung hatinya. Tangisnya pun kembali terdengar, meratapi nasib yang tak berkesudahan itu. Hatinya pun seolah seperti tidak mempunyai gairah hidup lagi.
“Tak perlu meratapi takdir yang sudah terjadi Lintang, karena penyesalan juga tidak akan nada gunanya. Cobalah untuk merenung, dan ambil semua hikmah yang ada. Semua yang telah terjadi terhadap dirimu itu, adalah merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga. Tak ada kata terlambat buat seseorang yang mau berubah menjadi lebih baik, jika kau tidak merasa keberatan. Ikutlah pergi mengembara bersamaku, lupakan semua masa lalumu. Kita buka lembaran baru sebagai seorang pendekar pembasmi kejahatan.” lanjut Rangga dengan suara pelan.
Saka Lintang yang mendengar kata-kata pemuda tampan itu langsung terhenyak kaget, benarkah apa yang dia dengar barusan?. Benarkah pemuda ini bersedia mengajak dirinya untuk bersama-sama pergi mengembara?, jika memang benar apa yang dia dengar barusan. Kenapa kata-kata itu baru terucap sekarang?. Padahal setahun yang lalu gadis itu amat mengharapkan kata-kata tersebut keluar dari mulut Rangga, namun rupanya takdir berkata lain. Padahal kalau dulu pemuda tampan itu langsung mengajaknya, mungkin nasibnya akan sedikit berbeda. Dia tidak harus kehilangan kesuciannya, dia juga tidak harus kehilangan Paman dan Bibiknya. Namun semua itu sudah terlambat, dia juga sadar dirinya tidak bisa menyalahkan penuh pada Pendekar muda berwajah tampan itu. Bahkan jauh di dalam lubuk hatinya, Saka Lintang juga mengakui kalau sikap dan perbuatan Rangga terhadap Pamannya, adalah ciri seorang pendekar sejati. Bertarung dengan sikap jantan dan tidak ada tindakan yang curang di antara ke duanya. Sebuah pertarungan murni dan adil, meskipun cara membunuh Rangga terlihat kejam dan sadis.
“Kau…, kau…, kau mengajakku Kakang? Apakah aku tidak salah dengar?.” tanya Saka Lintang pelan.
“Tidak Lintang, tapi dengan satu syarat.” sahut pemuda tampan itu.
“Syarat?.” ucap Saka Lintang, balik bertanya.
“Ya, syaratnya adalah kau bersedia kembali ke jalan yang lurus.” sahut pemuda tampan itu lagi.
“Oh, tapi bagaimana dengan kaum golongan putih lainnya Kakang?, bagaimana kalau mereka tidak menerimaku dan terus memburu untuk membunuhku?. ucap gadis itu lagi pelan.
“Itu tidak mungkin terjadi, karena kalau sampai itu terjadi. Aku juga tidak akan tinggal diam.” sahut Rangga lagi, mencoba meyakinkan gadis itu.
“Oh, tapi aku…, aku bukanlah Saka Lintang yang dulu lagi Kakang. Aku te…, telah…,” kata Saka Lintang lirih.
“Sudahlah Lintang, bagiku kau masih tetap seperti yang dulu. Aku tak perduli dengan semua masa lalumu, karena itu semua juga adalah kesalahanku. Nah, sekarang semadilah untuk memulihkan tenagamu.” potong Rangga cepat, sambil kemudian memberi beberapa totokan di sekitar tubuh gadis itu yang terluka.
“Kakang...,” pelan dan agak bergetar suara Saka Lintang memanggil.
“Hm…,?” sahut Rangga pelan
“Maafkan aku.” ucap gadisitu begitu pelan suaranya, sehingga hampir tidak terdengar oleh Rangga.
“Sudahlah Lintang, tak ada yang perlu di maafkan.” kata Rangga sambil tersenyu manis.
“Aku…, aku takut kau membenciku, Kakang.” ucap gadis itu lagi dengan suara pelan.
“Tidak ada alasan untuk membencimu, kenapa pula aku harus membencimu.” jawab Rangga lagi sambil tersenyum manis.
“Terima kasih Kakang.” balas gadis itu dengan suara lirih, hatinya benar-benar terharu melihat perhatian Rangga kepadanya.
Sedangkan Intan Kemuning yang tadi hanya terlihat berdiri mematung, juga terlihat mulai melangkah pelan-pelan. Menuju Rangga dan Saka Lintang, dengan di damping oleh Ayahandanya. Sesekali sepasang mata gadis itu juga terlihat melirik pada wajah Rangga, dan tepat saat pemuda tampan itu juga sempat menoleh ke arahnya. Gadis cantik itu langsung merasakan jantungnya berdetak keras, hingga tanpa sadar Intan Kemuning pun telah melontarkan senyuman manis pada pendekar muda berwajah tampan itu. Kalau saja saat itu dirinya hanya berdua dengan Rangga, ingin sekali rasanya gadis itu menghambur dan memeluk tubuh pemuda tampan yang telah merobek-robek hatinya hingga menjadi kepingan-kepingan cinta itu. Tapi semua perasaan dan keinginannya itu dia tekan dalam-dalam sampai jauh ke dasar hatinya. Gadis itu sama sekali belum mengetahui, hubungan antara Rangga dan Saka Lintang.
“Hehehe…,” tiba-tiba terdengar sebuah suara terkekeh-kekeh.
Rangga pun seolah baru ingat jika saat itu bukan dia dan Saka Lintang saja yang masih berdiri di situ. Seorang kakek tua berpakaian compang-camping, serta di tangannya tergenggam tongkat berwarna merah. Terlihat tersenyum bersahabat, siapa lagi kalau bukan si Pengemis Sakti Tongkat Merah.
“Menakjubkan, sungguh sebuah kisah asmara yang mengharukan. Aahhh…, aku jadi teringat pada masa waktu aku masih muda dan gagah dulu. Kau benar-benar berbudi luhur Pendekar Rajawali Sakti, hebat…, hebat…,” ceracau Aki Lungkur yang di kenal dengan julukan Pengemis Sakti Tongkat Merah, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ah, kalau tidak salah, kakek yang berada di kedai minum itu tempo hari bukan?.” kata Rangga dengan tutur kata yang halus, namun tak urung perkataan kakek tua tadi juga sempat membuat pemuda tampan itu merasa malu.
“Penglihatanmu tajam sekali anak muda, betul. Aku pengemis tua
yang hina ini mohon pamit, karena masih ada urusan lain yang harus ku selesaikan.” sahut Aki Lungkur sambil tersenyum simpul.
Rangga belum juga mengeluarkan suara tubuh kakek tua itu telah melesat cepat, pergi meninggalkan tempat itu. Dan tepat bersamaan dengan lenyapnya tubuh Aki Lungkur dari hadapan Rangga, terlihat Saka Lintang juga telah selesai bersemadi. Gadis itu perlahan-lahan mencoba berusaha bangkit berdiri kembali, dan entah siapa yang lebih dahulu memulai. Terlihat tangan kanan Rangga telah terulur dan megang tangan gadis itu untuk membantunya berdiri. Tubuh ke duanya yang semakin dekat itu pun, langsung saling berpegang tangan. Badan Rangga dan Saka Lintang sama-sama bergetar hebat, seluruh aliran darah mereka juga seolah berbalik arah. Hingga untuk beberapa saat lamanya, ke dua insan yang berlainan jenis itu tidak mampu untuk berkata-kata. Hanya ke dua pasang mata mereka yang saling bercerita mewakili perasaannya masing-masing. Rangga segera mengangkat tubuh Lestini yang sudah tidak bernyawa lagi itu, setelah Saka Lintang telah berdiri tegak di sampingnya. Kemudian perlahan-lahan ke dua kaki mereka mulai melangkah pelan.
***