Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Wes lali ceritanya gmn dr awal😂🤭🤣
 
Chapter X : Snake and Dragon
Jakarta, Minggu 26 Juli 2015, Pukul 14.10


Dalam benak Honey masih terbayang tatapan tajam dari mata Alex, perutnya terasa berputar dan seolah ketakutan ini menusuk hingga sumsumnya, membuat tangannya bahkan dingin dan kakinya bergerak tidak karuan. Walau Honey tahu betapa kacaunya dunia keluarga Tjahjadi, tapi selama ini dia belum pernah melihat Alex seperti itu. Seperti dia baru saja melihat wajah berbeda dari Alex, dunia yang benar-benar berbeda.

“Hon, kerjamu sudah kelar?” terdengar suara riang dari depan pintu ruangannya, Alex sedang bersandar di kusen pintu ruangan tersebut sambil tersenyum, namun wajahnya berubah ketika dia melihat wajah Honey yang tampak restless. Dia langsung segera bergegas menghampirinya, dan menyentuh keningnya.
“Kamu dingin”, sambil terlihat mulai panik dan memegang tangan Honey, namun tatapan Honey terlihat kosong dan sepertinya takut padanya. Sadar akan hal itu, Alex tahu apa yang dirasakan oleh Honey dan berusaha menjelaskan sedikit padanya.

“Honey, I So sorry you see that side of me… Aku habis berantem dengan Crystal tadi”, sambil masih tetap berupaya menenangkan tubuh Honey, dan akhirnya Alex mendekatkan tubuhnya dan mendekap tubuh Honey dengan hangat.

Dalam pelukan itu, entah mengapa hati Honey merasakan rasa hangat dan merasakan bahwa pria ini yang selalu bersama nya selama ini, inilah Alex yang sebenarnya Alex yang memberikan perlindungan untuknya, untuk semua yang ada diperusahaan ini, sosok Pangeran yang siap bertarung untuk rakyatnya dan siap melindungi semua orang yang dikasihinya.

Seperti seorang Pangeran di medan perang, dia mampu menjadi pelindung bagi prajurit nya namun mampu menjadi teror bagi musuhnya, inilah Alex, pedang dan perisai.

Dalam kehangatan ini, tangan Honey merangkul dan membalas pelukan Alex ini, dekap erat dan air matanya pun tiba-tiba mengalir.

***
Jakarta, location: unknown

Ruangan remang dan sempit, tanpa jendela, hanya ada sebuah exhaust fan kecil untuk menjaga sirkulasi udara ruangan itu, pria duduk bersandar pada dipan tempat tidur murahan dengan wajah tertutup perban.

Ryuichi, pria ini masih merasakan sakit disekujur wajahnya, hidungnya yang patah namun telah diobati, dan rasa linu di seluruh tubuhnya setelah bertarung dengan Teddy.

"Oi, Ryuichi Okitemasu ka?"(oi, Ryuichi apakah kau bangun?), suraya Xiu Yu terdengar dari balik pintu ruangan itu, dengan nada mengejek.
"Buta", jawab Ryuichi singkat dan jelas walau kepalanya dipenuhi rasa sakit.
"Sā, hayaku yoku natte,-go de asobimashou" (ayolah, cepat sembuh nanti kita main), kata Xiu Yu lagi, kemudian dia lanjutkan dengan tawa, dan suaranya terdengar menjauh dan menghilang.

Terasa kemarahan naik ke atas kepala Ryuichi, namun dia masih harus menahannya, dia masih harus memulihkan dirinya dan selain itu, ada hal yang lebih penting daripada meladeni profikasi Xiu Yu, dia harus bertahan hidup menemukan Hime.
***

Daerah Cisarua, Pukul 18.30
Sebuah rumah reot, remang jauh dari pemukiman warga, disana terasa hening seolah tak berpenghuni. Dari kejauhan pun tak nampak ada aktifitas dirumah itu.

Seorang gadis yang terkurung dalam ruangan, berusaha mencari cara agar dapat keluar dari tempat itu. Gadis yang pernah bertarung melawan Teddy. Gadis ini berupaya membuka tralis besi yang memagari jendela ruangan itu.

"Hei putri cantik, aku tidak peduli kau paham bahasa ku atau tidak…", terdengar suara Yanin yang membuka pintu ruangan itu, dan dengan segera gadis itu segera menjauh dari jendela tersebut.

"Kau besok akan ikut bersamaku, ketempat yang lebih aman dan baik", kata Yanin menyambung kalimat nya walaupun tidak direspon oleh Si gadis.

"Apa mahu muu?", kata terucap dari mulut wanita itu, Yanin kemudian melihat tajam ke gadis itu.
"Rupanya bisa Indo juga ya… tenang saja, kami tahu siapa kau, dan tentunya kami akan mengamankan mu", jawab Yanin dingin sambil tersenyum tipis.
***

Jakarta, Senin 27 Juli 2015, pukul 10.00
Jakarta Selatan, kawasan pergudangan


Matahari bersinar terik, debu beterbangan seorang pria dengan baju polo dan celana pendek turun dari Alphard berjalan sambil mengibaskan sapu tangan dan menutupi hidung dan mulutnya, pria itu Tandi Winardi.

Diseberang telah berdiri Alex dengan jas lengkap dan tampak gusar, yang telah menunggu sedari tadi, dengan raut wajah serius tanpa peduli deruan angin dan debu.

Pertemuan yang telah diperjanjikan, pertemuan yang sebelumnya telah menentukan arus pertarungan. Tapi apapun itu, tetap menjadi rahasia antara mereka, pembicaraan yang menentukan perputaran roda kekuasaan.

“Bagaimana?”, Tandi membuka pembicaraan, dengan Alex yang telah berdiri sedari tadi di lokasi itu.
“Semua sesuai informasimu, tapi kepala ular masih tidak dalam kawanan itu”, jawab Alex dengan wajah dingin.
“Yang pasti sesuai perjanjian, keluarga itu akan meninggalkan Indonesia, dan kekuatan mereka telah dihancurkan”, jawab Tandi sambil menyeka keringatnya yang sudah mulai bercucuran.
“Padahal jika kau minta, anggota ku siap untuk membantu”, sambungnya sambil terkekeh.
“Tidak perlu, sesuai perjanjian”, sambil Alex merogoh amplop coklat besar dari dalam jasnya, yang langsung disambut oleh Tandi yang menyeringai mendapatkan dokumen yang dia inginkan.
“Senang berbisnis dengan anda”, sambil Tandi berbalik dan berjalan meninggalkan Alex sambil mengayun ayunkan berkas itu mengipasi dirinya sendiri.
Alex masih tampak gusar melihat Tandi pergi meninggalkan lokasi pertemuan itu, dan dia pun melangkah menuju mobilnya untuk meninggalkan tempat itu.

Arah angin telah berubah, apakah menjadi pertanda buruk atau baik, hanya takdir yang akan mengungkapkan.
***
Kediaman Tjahjadi, Pukul 10.30

Ruang kantor dalam rumah itu, terlihat rapi dipenuhi cahaya yang menyejukkan dan terasa glorius dalam ruangan tersebut, Adicipta duduk dibalik mejanya, membaca laporan yang disajikan padanya, dan layar disampingnya memperlihatkan camera cctv dari berbagai aset mereka di Indonesia.

Pintu ruangan tersebut terbuka dan pria tegap, dengan setelah suit yang begitu rapi dengan wajah dingin melangkah masuk kedalam ruangan itu, orang kepercayaan Adicipta sejak dia masih muda, pria yang sudah bersamanya sejak puluhan tahun, dan juga dia percayakan mengajari beladiri bagi anak-anaknya, Wu Ji telah tiba.

“Kau sudah kembali”, kata Adicipta tanpa mengangkat matanya dari laporan tersebut. Sambil Wu Ji terus berjalan mendekati meja tersebut, berhenti semeter dari meja tersebut.

Sekejap Wu Ji menarik senjata api kecil glock 19, dan mengacungkan pada Adicipta dengan kedua tangannya memegang kokoh pistol tersebut, dengan tatap tajam membidik tepat ke arah kepala Adicipta. Namun, Adicipta masih tampak tenang, dan perlahan menutup laporannya, dan memberikan tatapan yang sama kembali kepada Wu Ji yang menatap dari balik pistol itu.

Deg… deg… deg… deg… deru jantung yang tenang mengalir dan berdetak dalam telinga Wu Ji, namun wajah Adicipta masih terlihat begitu tenang dan tidak ada ketakutan dan keraguan di wajahnya.
“Nǐ yǐwéi wǒ bù huì kāi qiāng ma?” (Apakah kau pikir aku tidak akan menembak?), ucap Wu Ji tanpa berpaling dari Adicipta, namun malah disambut senyum oleh pria yang duduk dengan tenang ini.
“Rúguǒ nǐ xiǎng kāi qiāng, wǒmen jiù bù huì shuōhuà” (Jika kau ingin menembak, kita sudah tidak akan bicara), jawab Adicipta dengan begitu ringannya.

“Nǐ zěnme kěyǐ zhème xìnrèn wǒ?” (kau bagaimana begitu bisa mempercayaiku?), ucap Wu Ji kepada Adicpita.
“Nǐ péibàn wǒ duōjiǔle, nǐ zuò wǒ de dùnpái duōjiǔle?” (Berapa lama kau bersamaku, berapa lama kau menjadi perisaiku?), sambung Adicipta menjawab pertanyaan Wu Ji.
“Rúguǒ nǐ xiǎng wǒ sǐ, wǒ gāi zěnme bàn?” (Jika kau ingin aku mati, aku bisa apa), sambung Adicipta lagi masih dengan wajah tenangnya.

Wu Ji, menarik tangannya dan memasukkan kembali senjatanya ke dalam jasnya, kemudian menarik kursi yang ada di hadapan meja itu dan duduk, dengan tegap.

“Kau sudah melihat pertemuan itu bukan?”, kata Adicipta memulai pembicaraan lagi dan membuka laporannya kembali, dan Wu Ji melirik kearah Adicipta dengan wajah serius, dan mulai menyilangkan kedua tangannya.
“Apakah kau yakin darah tidak akan lebih kuat daripada…”, belum selesai berbicara tangan Adicipta terangkat seolah menghentikan perkataan Wu Ji.
“Rasa percaya ku pada mu, dan rasa percaya mu padaku, apakah itu darah?”, kalimat itu terucap dari mulut Adicipta.
***

Jakarta, Kantor Pusat Tjahjadi, lantai 10, pukul 14.00
Crystal disisi lain, sedang berada di gym Kantor pusat Tjahjadi. Pukulannya mendarat dengan keras pada samsak, disusul dengan tendangan tinggi menggelegar di seluruh ruangan. Disambung dengan pukulan bertubi-tubi yang begitu cepat berdentum bagai denyutan jantung yang berdetak kencang, sekejap berhenti tuk menarik nafasnya.

"Lex, what is your plan", suaranya halus berbisik.

Crystal beranjak ke kursi dan duduk disana sambil menyeka keringatnya, rasa panas dalam hatinya melebihi lelah dan panas di tubuhnya. Matahari terselip melalui celah jendela yang memperlihatkan pemandangan hutan beton kota Jakarta. Perjalanannya sebagai salah satu pimpinan di Perusahaan keluarganya ini membuatnya merasa penuh dengan beban akan keluarga ini dan juga keinginannya sendiri.

Wanita ini telah menjadi dewasa sebelum waktunya, melihat dunia yang harus dia hadapi dan world full of black and gray. Namun jauh dalam hatinya penuh dengan keinginannya sendiri, namun dia tidak dapat mendahului kehendak pribadinya, harus meletakkan kepentingan pribadinya pada urutan paling belakang.

Namun, seharusnya tidak lama lagi dia dapat bebas dari semua ini, dengan kembalinya Theo pada perusahaan ini, agar dirinya bisa mencari kebahagiaannya sendiri, walau terasa egois, masih terasa beban itu dalam hatinya. Sedikit lagi, sedikit lagi, dalam hati Crystal.
***​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd