Mbahghepenk
Semprot Kecil
Kali ini Mbah akan menyuguhkan sebuah cerita fanfiksi KARYA MBAH. Total ada 5 bagian. Masing2 dengan 5 seri buku yang jadi inspirasi.
Bagian 1 sendiri dari Novel Percy Jackson and The Olympians: The Last Olympian's.
Mbah sendiri nggak tau apa cucu2 di sini mengenal novel kesukaan mbah, yg jadi latar belakang cerita. Untuk itu mbah nyiapin sedikit sinopsis comotan, untuk tiap bagiannya, buat sedikit ngasih latar belakang.
Bagian 1 sendiri dari Novel Percy Jackson and The Olympians: The Last Olympian's.
Mbah sendiri nggak tau apa cucu2 di sini mengenal novel kesukaan mbah, yg jadi latar belakang cerita. Untuk itu mbah nyiapin sedikit sinopsis comotan, untuk tiap bagiannya, buat sedikit ngasih latar belakang.
The Last Olympian adalah novel petualangan fantasi karya Rick Riordan yang berdasarkan pada mitologi Yunani. Novel ini adalah seri kelima dari seri Percy Jackson & the Olympians yang diterbitkan oleh Disney Hyperion pada tanggal 5 Mei 2009.
Setelah diterbitkan, novel ini menuai banyak pujian dari para kritikus. Selain itu, The Last Olympian mendapatkan peringkat pertama untuk buku terlaris menurut USA Today, Wall Street Journal, dan Los Angeles Times.
Dalam novel ini, Percy Jackson harus menemukan cara untuk mengalahkan Kronos agar memenuhi ramalan kuno yang menjadi takdirnya. Kehancuran dan keselamatan gunung Olympus berada ditangan Percy Jackson dan teman-temannya.
Ramalan itu sendiri disampaikan lebih dari 70 tahun silam yang memaksa Zeus, Posseidon, dan Hades untuk tidak lagi memiliki anak setengah dewa untuk mencegah ramalan ini:
A half-blood child of the eldest gods,
Shall reach sixteen against all odds
And see the world in endless sleep,
The hero’s soul, cursed blade shall reap,
A single choice shall end his days,
Olympus to preserve or raze.
Dengan bantuan dari Nico di Angelo yang merupakan putra dari Hades, Percy mencari petunjuk untuk mengalahkan Kronos dengan berkunjung ke rumah Ibu dari Luke Cassaway, putra Hermes yang menjadi wadah untuk Kronos.
Kronos telah menyiapkan pasukannya untuk menyerangan Olympus. Namun, para dewa dan dewi Olympus disibukkan oleh monster-monster yang lepas dari Tartarus.
Hal ini mengakibatkan keamanan Olympus menjadi tanggung jawab Percy Jackson dan teman-temannya. Mereka harus bertahan dari gempuran pasukan ganas itu di jantung kota New York dengan segala bantuan yang ada seperti pengikut Dewi Artemis, para Centaur, dan beberapa makhluk lainnya.
Prometheus menawarkan Percy untuk menyerah sebab mereka tidak akan bertahan lama. Namun, Percy menolak tawaran itu meskipun ditolak Titan itu tetap memberikan Percy hadiah berupa Guci Pandora. Percy tidak ingin menyimpan Guci itu dan memberikannya kepada dewi Hestia sebagai dewi terakhir yang menjaga Olympus.
(Sumber: https://szaelani.com/blog/fiksi/populer/ulasan-singkat-last-olympian-karya-rick-riordan/)
AKHIR dunia diawali saat seekor pegasus mendarat di kap mobilku.
Sebelum itu terjadi, aku mengalami sore yang luar biasa. Secara teknis aku seharusnya belum boleh menyetir karena baru akan menginjak enam belas tahun seminggu lagi, tapi ibuku dan ayah tiriku, Paul, mengajak aku dan temanku, Rachel, ke pantai di semenanjung utara ini, dan Paul mengijinkan kami memekai Prius-nya untuk berputar-putar sebentar.
Aku tau apa yang kalian pikirkan, wow, itu sangat tidak bertanggung jawab, blah, blah, blah, tapi Paul mengenalku dengan sangat baik. Dia telah melihatku membelah monster dan melompat daru gedung sekolah yang meledak, jadi dia mungkin menganggap membawa mobil sejauh beberapa yard bukan hal paling berbahaya yang pernah kulakukan.
Jadi, aku dan Rachel berkendara. Hari yang panas di bulan Agustus. Rambut merah Rachel diikat kepang dan dia mengenakan blouse di atas pakaian renangnya. Seelumnya, aku belum pernah melihatnya mengenakan sesuatu selain t-shirt dan jeans, dia tampak seperti berjuta emas drachma.
"Oh, berhenti di sana!" perintahnya
Kami parkir pada tebing yang menghadap Atlantik. Lautan selalu menjadi tempat favoritku, tapi terutama di hari spesial itu–hijau berkilau seperti kaca, seakan ayahku menjaganya tetap tenang untuk kami.
Ngomong-ngomong ayahku Poseidon. Dia bisa melakukan hal-hal seperti itu.
"Jadi." Rachel tersenyum padaku. "Mengenai undangan itu."
"Oh... benar." Aku coba terdengar semangat.
Maksudku, gadis ini telah mengajakku ke rumah liburan keluarganya di St. Thomas selama tiga hari. Aku tak banyak mendapat undangan seperti itu. Ide kekuargaku tentang liburan mewah adalah menghabiskan akhir pekan di kabin kecil, di Long Island, dengan beberapa video rental dan beberapa pizza beku. Dan di sini, keluarga Rachel bersedia mengajakku ke Karibia.
Lagipula, sebenarnya aku butuh liburan. Musim panas ini telah menjadi yang terberat dalam hidupku. Ide untuk beristirahat walau hanya beberapa hari sangatlah menggoda.
Tetap sja, hal besar akan segera terjadi. Aku sedang menunggu panggilan sebuah misi. Lebih buruk lagi, minggu depan ulang tahunku, yang menurut ramalan akan ada kejadian buruk di hari itu.
"Percy" ujarnya. "Aku tahu ini waktu yang buruk. Tapi memang waktu selalu buruk bagimu, kan?"
Dia benar.
"Aku ingin pergi," janjiku. "Hanya saja—"
"Perang."
Aku mengangguk. Aku tak suka membicarakannya, tapi Rachel tau tentang itu.
Gadis itu menaruh tangannya di lenganku. "Pikirkan saja, oke? Kami baru berangkat beberapa hari lagi. Ayahku..." nadanya terdengar ragu.
"Lupakan saja. Mari berpura-pura kita pasangan normal. Jalan-jalan dan memandang lautan. Senang rasanya bisa berduaan."
Aku tau ada yang mengganggunya, tapi dia memasang senyum berani. Sinar matahari membuat rambutnya terlihat seperti api.
Kami menghabiskan banyak waktu, musim panas ini. Aku tak merencanakannya, tapi hal-hal serius terjadi di perkemahan yang membuatku merasa perlu menghubungi Rachel untuk sejenak melarikan diri.
"Oke," kataku. "Hanya sore yang normal untuk dua orang normal."
Gadis itu mengangguk. "Jadi... perumpamaan, jika dua orang saling suka, apa yang harus dilakukan untuk membuat pemuda bodoh ini untuk mencium sang gadis?"
Aku tak akan berpura-pura tidak memikirkan tentang Rachel. Lebih mudah berada bersamanya dibanding..***dis lain yang kukenal. Aku tak perlu bekerja keras, atau menjaga kata-katqku, atau berusaha menebak apa yang dipikirkanbya. Rachel membiarkan kau tau apa yang dirasakannya.
"Well... pemuda itu sebenarnya ingin... tapi... apa itu ide yang bagus...bmaksudku... dengan apa yang sedang terjadi..." jawabku gugup, lalu melanjutkan saat melihat kekecewaan di matanya, "apa aku sudah bilang dia sebenarnya ingin?"
"Sudahlah..." ujar Rachel.
Aku tahu dia tak marah karena dia tersenyum manis padaku dan berujar, "Kurasa jika pemuda itu tak berani melakukannya, sang gadis harus mengambil inisiatif."
"A-apa—"
Pertanyaanku terhenti. Secara tiba-tiba Rachel memiringkan badan ke arahku, tubuhnya condong, dan kepalanya maju dengan cepat. Ciuman pertamaku.
Jadi begini rasanya bibir seorang gadis. Lembut dan manis. Aku bisa mencium nafas harum Rachel yang beraroma mint. Aku menyukainya.
"Ah-oh... uummhh..." aku tak bisa mengatakan apapun, hanya memandang Rachel yang tersenyum.
"Apa itu cukup untuk memberi sang pemuda keberanian membalas?" godanya.
"Lebih dari cukup," balasku.
Aku ikut memiringkan tubuh dan gantian aku yang memberi Rachel ciuman di bibir. Gadis itu lalu melingkarkan tangan di leherku dan mundur bersandar di kursi, menarikku bersamanya.
Seperti yang kubilang, ini yang pertama bagiku, jadi aku sepenuhnya buta dengan apa yang harus dilakukan. Aku hanya menempelkan bibirku rapat-rapat, merasakan milik Rachel yang bergetar. Tapi kurasa gadis ini lebih berpengalaman dariku (bukan berarti aku keberatan atau penasaran) karena bibirnya kemudian mulai menjepit dan memijat bibirku.
Demi Dewa-Dewi, jantungku berpacu cepat dan tanpa mampu kutahan sesuatu di balik celanaku bergerak mengeras. Sungguh memalukan, semoga Rachel tak menyadarinya.
Aku meniru apa yang dilakukan Rachel, mulai membalas gerakan bibirnya. Lembut dan pelan pada awalnya lalu kian panas ketika lidah gadis itu ikut bermain, yang tentu saja berusaha kuimbangi.
Tangan kiriku maju memegang pinggul Rachel untuk menjaga keseimbangan, namun kemudian tanpa sadar mulai memberi remasan-remasan pelan.
"Itu tadi... wow!" komentarku dengan nafas berat usai menarik diri.
Aku menatap Rachel yang memandangku sayu, wajahnya merona merah, dan mulutnya masih sedikit membuka. Sangat menggoda.
"Kursi belakang?" tawarnya.
Aku tersenyum. Kurasa itu artinya kami belum selesai. Aku pun merangkak ke belakang melaku celah kursi depan dan langsung duduk bersandar. Rachel menyusul duduk di sebelahku dan percumbuan kami kembali di mulai.
Untung saja Prius Paul berkaca gelap, kecuali kaca depan, jadi kami mungkin tak terlihat dari luar. Walau sebenarnya hanya ada kami di tempat ini.
Aku tak tau berapa lama sudah berlangsung, terasa begitu singkat sekaligus lama. Rachel melingkarkan tangan kirinya di leherku, sedang tangan kanannya di atas pahaku, meremas dan sesekali membelai.
Aku juga melingkarkan tangan, namun ke punggung Rachel. Tangan kiriku kembali memegang pinggulnya, tak hanya meremas namun bergerak membelai, kadang naik ke atas, dan terakhir tanpa sengaja menyentuh pangkal bukitnya.
Jengah aku hendak menarik tanganku turun, tapi Rachel cepat-cepat menangkap tanganku. Aku tak keberatan karena setelahnya dia justru menempelkan telapak tanganku pada busungan dadanya. Mana mungkin aku tega menolak keinginan dia, yang tentu saja sama seperti keinginanku.
Aku memulai dengan meraba seluruh permukaan payudara Rachel dari luar blouse dan pakaian renangnya, berusaha mengenali kontur bukit Rachel yang tumbuh sempurna. Rasanya luar biasa, kenyal menggairahkan. Tapi aku merasa kurang puas, terganggu pakaiannya.
Seperti sepikiran, Rachel melepas pagutan kami dan tangannya yang melingkar di leherku. Kedua tangannya kemudian menarik bagian bawah blouse ke atas dan melepaskannya. Namun apa yang dilakukan setelahnya lagi-lagi mengejutkanku.
Tangan Rachel kembali bergerak, kali ini meraih lengan pakaian renangnya, menarik ke bawah, melewati lengan, dan dengan cepat kedua payudaranya terpampang di hadapanku, tanpa pelindung apapun. Rachel rupanya tak memakai bra di baliknya.
"Rachel," kataku dengan nada ragu.
"Kamu boleh sentuh, kalau kamu mau."
Tapi aku tak bergerak, bergantian memandang wajah dan payudaranya. Rachel yang tak sabaran meraih kedua tanganku dan menyentuhkan ke payudaranya.
"Apa yang harus kulakukan?" tanyaku bingung.
"Remas saja Percy... pelan-pelan," Rachel meminta.
Aku menurutinya. Rachel menurunkan tangannya yang memegangiku, mulutnya kembali membuka, mengeluarkan desah dan desisan.
"Enak?" aku kembali bertanya.
"Geli... tapi iya, enak sekali," jawab Rachel. "Coba pilin putingku."
Aku melakukannya. Tak lama aku bereksperimen. Bergantian meremas payudaranya lalu memilin putingnya. Di lain kesempatan aku coba mengombinasikan, satu sisi meremas, sisi lainnya memilin. Dan aku menyukai ekspresi Rachel yang terlihat keenakan.
"Rachel, apa yang kau lakukan? Itu–"
"Ssshhh..." desis Rachel memintaku diam. "Duduk saja. Aku lebih malu melakukan ini dibandingkan kau."
Saat itu badan Rachel maju lalu miring ke arahku, kedua tangannya mengarah ke kaitan celanaku, melepaskannya dengan mudah, disusul dengan menurunkan reseletingku hingga terbuka.
Aku mengerti apa yang akan terjadi. Walau ingin menahan Rachel namun aku hanya terpaku memperhatikan, bahkan saat gadis itu kemudian meraih ke balik dalamanku untuk mengeluarkan batang kemaluanku, yang sudah sedari tadi mengeras.
Tak butuh waktu lama dia pun membelainya perlahan dalam genggaman. Seketika tubuhku tersentak oleh kenikmatan dan tanpa sadar mengerang keenakan.
"Rachel... kita tak seharusnya—"
Lagi-lagi kalimatku terpotong karena Rachel menaikkan kakinya ke atas kursi, menungging dalam posisi merangkak ke arahku. Rachel lalu menundukkan kepala dan aku gagal memintanya berhenti, karena seketika batang kemaluanku menghilang dalam kuluman mulutnya.
Bagaimana rasanya? Well, apa kalian pernah mengalami tersetrum aliran listrik, kurang lebih seperti itu, minus sakit. Ada rasa geli saat lidah basahnya memutar di kepala kontolku, dalam mulutnya, sekaligus rasa gatal. Membuatku tak ingin dia berhenti, ingin Rachel semakin intens melakukannya agar rasa itu menghilang.
Tapi seperti rasa gatal lainnya yang kian digaruk justru semakin terasa gatal, itulah yang kurasakan saat ini.
"Enak?" tanya Rachel.
Dia sejenak berhenti, mengangkat kepala untuk memandangku.
"Sangat..."
Rachel tersenyum senang lalu kembali mengoralku.
Rachel cukup lama melakukannya dan aku mulai merasakan desakan aneh dari bawah perutku. Seakan sesuatu akan meledak keluar dan aku memberitahunya.
Slurp... plop...
Satu hisapan kuat, Rachel melepas kontolku. "Belum saatnya. Aku masih ingin memberimu lebih," ujarnya.
Rachel bangun, lalu mulai melepas pakaian renangnya dengan menarik ke bawah. Dan untuk pertama kalinya aku melihat kemaluan seorang gadis. Tembem membelah dengan daging menonjol yang kuduga sebagai klitoris Rachel.
Aku tak tau apakah rambut kemaluan gadis itu memang belum tumbuh, atau dia rajin mencukurnya. Yang jelas terlihat mulus dan birahiku semakin bergejolak.
Rachel kembali bergerak. Kali ini mengangkangi pangkuanku, dan duduk di atasnya. Dia lalu sedikit menyesuaikan posisi, membuat kontolku tepat menempel di belahan memeknya, ujung kemaluanku menyentuh klitorisnya.
Wajah Rachel lalu maju, memagut bibirku. Bersamaan dengan itu, pantatnya bergerak maju-mundur, menggesek-gesek kontolku dalam jepitan belahan memeknya. Tangannya merangkul leherku dan aku balas memeluk pinggangnya.
Seiring desakan yang kembali muncul, tanganku turun ke pantatnya, meremas gemas dan membantunya bergerak semakin cepat.
Aku tak tau berapa lama hal itu terjadi. Yang pasti aku sudah tak sanggup lagi menahan diri. Maka aku menyerah dan membiarkan desakan itu hingga terlepas. Aku mengerang dalam pagutan Rachel saat kontolku akhirnya memancarkan cairan dengan dahsyat. Rasanya seperti buang air kecil, geli, dan lega. Tapi enaknya berkali-kali lipat.
Cairan yang keluar pun tak seperti air seni yang terus keluar hingga selesai, namun dalam dalam beberapa semprotan. Mereda dalam setiap muncratan.
"Oh Dewa-dewi..." erangku saat bibir kami saling melepaskan diri.
Rachel mundur untuk memberi ruang bagi kontolku yang masih terlihat keras dengan cairan kental putih di ujungnya. Cairan yang sama sedikit mengotori bagian depan kausku dan perut Rachel.
"Jadi ini yang namanya sperma?"
Pertanyaan retoris, lebih pada diriku sendiri.
Rachel menggerakkan bahunya sedikit. Tangannya terulur untuk menyentuh spermaku dengan jemarinya lalu mengangkatnya ke depan mata, memperhatikan dengan ekspresi penasaran. "Iya. Aku belum pernah melihatnya secara langsung. Kental dan lengket," komentar dia.
Ups. Ternyata Rachel masih perawan. Aku tak tahu itu, apalagi dengan aksinya yang seperti seorang yang berpengalaman.
Tanpa bangun dari pangkuanku, Rachel memutar badan untuk meraih tisu di sela-sela antara kursi depan. Tak lama dia sibuk membersihkan spermaku, melempar tisu kotor ke tempat sampah kecil di mobil, dan kembali menggenggam kontolku dan membelainya.
"Masih keras. Bukankah seharusnya dia mengecil saat kalian selesai?" tanya Rachel.
Aku tak tau. Aku sendiri baru pertama mengalaminya. Bahkan aku belum pernah memimpikannya.
Rachel menatapku, lagi-lagi dengan ekspresi penasaran. Tapi ada yang beda, seperti bara nafsu. Apa dia akan melakukan sesuatu yang memang kupikirkan?
Benar saja. Masih menggenggam kontolku, Rachel menahannya agar tegak, dengan lutut di kursi dia mengangkat badannya sedikit lalu maju. Batang kemaluanku tak lama berada di atas belahan memeknya yang Rachel buka menggunakan jemari kirinya, dan gadis itu pun bergerak turun.
"Tunggu, Rachel. Aku pikir kita tak seharusnya melakukan ini," aku memegang pinggul Rachel, menahannya.
Aku bisa liat Rachel kecewa maka aku melanjutkan, "bukan aku tak menginginkannya. Tapi kita bahkan belum genap enam belas tahun dan sewaktu-waktu aku bisa saja pergi berperang. Entah apa yang akan terjadi nanti."
"Itulah alasannya, hari ini mungkin jadi hari terakhir kita bersama. Aku ingin kau memilikiku, seandainya..."
"Aku tak akan gagal. Akan kukalahkan Kronos," tegasku, mengerti kelanjutan kata-katanya, ketakutan serta kehawatirannya.
"Aku tahu itu," balas Rachel. "Tapi setidaknya..."
Mana mungkin aku tak luluh mendengar nada permohonan dalam suaranya yang tercekat. Aku pun tau dengan pasti, andai kami berhasil mengalahkan Kronos, bukan berarti aku dan Rachel bisa bersama. Apalagi dengan kondisiku sebagai demigod yang selalu berada dalam situasi hidup dan mati.
Belum lagi perasaanku, meski aku menyukai gadis ini, aku sendiri belum memutuskan apa-apa tentang hubungan kami, tidak dengan adanya sosok gadis lain itu.
"Aku menyukaimu Rachel. Hanya saja..."
"Annabeth?" tanya dia.
Tidak. Itu bukan pertanyaan, lebih merupakan pernyataan. Rachel tau dia benar, kurasa terlihat dari ekspresiku.
"Tak masalah," ujarnya lagi. "Saat waktunya tiba aku akan memintamu memilih. Tapi hari ini kau hanya milikku."
Sungguh gadis yang keras kepala. Rachel pun kembali bergerak turun. Dia tau aku telah kalah saat tanganku, yang meski masih memeganginya, tak lagi menahan. Sebentar saja, ujung kemaluanku telah membelah memeknya, langsung menuju liang vaginanya.
"Sakit?" tanyaku melihat wajah Rachel yang mengerenyit.
"Sedikit. Tapi aku bisa tahan," ujarnya tercekat lalu menggigit bibir bawahnya.
Rachel terus turun hingga kepala sampai sebagian kecil batang kontolku melesak masuk. Jelas kurasakan kedutan dari vaginanya, nikmat sekali. Namun gerakan gadis itu tertahan, meski begitu dia masih coba untuk terus menekan.
"Coba cabut dulu lalu masukin lagi," saranku.
Rachel menuruti saranku. Sepertinya berhasil karena kali ini kontolku bisa melesak lebih dalam, namun masih juga tertahan oleh kontraksi pada dinding vaginanya. Gadis itu tak menyerah, dia lagi-lagi mencabut dan melesakkan.
Beberapa kali menyoba, aku semakin merasakan nikmatnya gesekan dinding vagina Rachel pada kontolku, kupikir gadis itu juga sama walau disertai rasa perih. Aku pun menyadari bahwa tiap kali kontolku semakin mudah masuk seiring kemaluan Rachel yang kian basah dan licin.
Kenikmatan yang kurasakan membuatku mulai tak sabar. Nafsuku membuncah ingin merasakan kontolku melesak penuh, maka kuperintahkan Rachel memeluk leherku sedang aku sendiri melingkarkan kedua tanganku di pinggulnya dengan erat. "Tahan ya," perintahku lagi.
Usai itu, aku tak memberi peringatan saat pelukanku menarik tubuh Rachel ke bawah sedang pantatku menghentak keras ke atas.
"Aaakkkhhh... sakit...btu-tunggu dulu... tahan... aw..."
Rachel nyaris saja menjerit. Aku tau telah berhasil merobek selaput daranya yang tentu saja menyakitinya, maka aku menuruti, menghentikan gerakanku. Menarik Rachel turun, duduk di atas pangkuanku dengan kontolku melesak penuh di dalam vaginanya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku khawatir.
"Sakit..." keluhnya.
"Tahan sebentar ya..." kembali aku memerintahkan.
Rachel tak menjawab, tapi aku busa mendengarnya menghela nafas panjang lalu menahannya saat aku memutar badan ke samping, membawa dia bersamaku. Tak lama tanpa kemaluan kami saling terlepas, aku membaringkan Rachel di kursi. Kaki kirinya di lantai mobil, sedang kaki kanan di sandarkan di atas punggung kursi. "Aku coba bergerak ya," ujarku.
Rachel mengangguk pelan, kembali menggigit bibir bawahnya, dahinya melipat dan mengerenyit menahan sakit saat aku menarik kontolku.
"Uu-uugghhh... pelan-pelan Percy..."
Plop... kontolku terlepas. Kembali aku memperingatkan Rachell kalau aku akan coba melesakkan lagi dan gadis itu bersiap.
Slept... sreet... aku berhasil menghujam penuh dalam satu dorongan. Bisa kulihat ekspresi kesakitan Rachel. Walau khawatir aku tak berhenti dan kembali mencabut lalu melesakkan lagi.
"Gimana sekarang?" tanyaku setelah beberapa kali mengulangi gerakan yang sama.
"Masih sedikit sakit. Tapi mulai enak," dia mengakui.
Aku menjadi semakin semangat, tak lagi mencabut, walau tetap menarik dan mendorong.
"Ooohh Percy... semakin enak sayang..."
Dan aku mempercepat sodokanku, sesekali selangkangan kami bertemu, menimbulkan suara tamparan yang erotis. Seiring waktu dan kenikmatan yang kian enak, tamparan selangkangan kami semakin sering terjadi.
Aku tak tau apa Rachel masih merasa sakit. Andai masih, kupikir sudah tak sebanding dengan nikmatnya sodokan yang kuberikan karena dia tak lagi mengeluh, beranti dengan desah erangan.
Rachel juga mulai bergerak erotis, entah disengaja atau tubuhnya bergerak naluriah. Sering kali pinggulnya memutar, laku naik-turun mengimbangi sodokanku, beberapa kali perutnya melenting naik.
Aku tak hanya memompa. Kedua tanganku mulai kuulurkan untuk meremas payudara dan memilin putingnya. Rachel oun semakin bergerak dengan binal. Erangannya berganti jeritan kecil. Persetubuhan panas kami tak ayal membuat Prius Paul bergoyang.
"Percy... aku baru saja keluar..." Rachel memberitahuku.
Wow! Secepat itu?! Rasanya kami belum lama bercinta. Aku bahkan tak tau jika Rachel mengalamai orgasme, baru menyadari saat dia memberitahu. Tapi memang ada yang berbeda, vagina gadis itu terasa berkedut semakin cepat.
Walau begitu aku tak berhenti memompa Rachel. Aku sendiri tengah mengejar desakan orgasmeku sendiri. Kupikir gadis itu tak keberatan, justru sebaliknya, dia memintaku untuk menyodok sedikit lebih keras, yang tentunya kuturuti dengan senang hati.
Plak... plakk... plaak!!!
Penasaran aku melihat ke bawah. Menyaksikan bagaimana belahan memek Rachel dan klitorisnya ikut tertarik sedikit ke dalam saat aku menyodok, lalu mencembung saat aku menarik. Aku jadi ingit tau apa yang terjadi jika saat itu aku memainkan klotorisnya.
"Oohh God Percy... ampuuunn... enak banget..." jerit dia.
"Kau mau aku berhenti?" godaku.
"Please jangan... terus sayang... terus... aaakkhhhh..."
Seketika tubuh Rachel mengejang dan perutnya naik melenting. Nafas gadis itu megap-megap dengan mulut membuka seperti akian yang berusaha menghirup udara. Walau begitu pinggul dan pantatnya terus bergerak naik turun serta memutar. Aku hanya bisa menduga dia kembali mengalami orgasme, sama seperti yang akan terjadi denganku.
"Rachel... sepertinya aku akan sampai.." aku pun memperingatinya.
"Di luar... di luar... jangan di dalam..." ujar Rachel sedikit panik.
Aku tak kecewa atau menyalahkannya. Wajar saja, kami memang tak mempersiapkan pengamanan dalam persetubuhan ini. Maka aku cepat-cepat mencabut kontolku.
Rachel pun bergerak seketika, bangkit duduk. Tangan kanannya maju menyambut kemaluanku yang berkilat licin dengan sedikit noda darah, tak lama dia pun mengocoknya dengan intens.
Benar saja, tak sampai dua menit, kontolku pun menyemburkan lahar panasnya diiringi eranganku. Muncrat hingga payudara Rachel dan mengotori genggaman tangannya, dan aku terus menembakkan spermaku beberapa kali lagi sebelum akhirnya selesai.
Lemas tapi puas, aku ambruk duduk di kursi, tanoa Rachel berhenti mengocok kontolku selama beberapa waktu.
"Luar biasa..." pujiku tak lama kemudian, memperhatikan Rachel yang dengan telaten membersihkan kontolku dan payudaranya yang kotor oleh sperma.
"Kamu menyesal?" tanya dia ragu.
"Tak sedikitpun..." jawabku. "Andai kita masih punya waktu aku ingin melakukannya lagi."
Rachel tersenyum senang. Dia lalu condong untuk memagutku. Kubalas dengan mesra. Tapi seperti yang ku bilang, waktu kami hanya sebentar, maka aku mengatakan padanya agar kami kembali berpakaian.
Setelah itu kami melanjutkan obrolan. Rachel kembali memintaku untuk memeluk dan menciumnya.
Aku tidak yakin apa yang bakal kulakukan selanjutnya—tapi aku begitu bengong, sampai-sampai aku tidak menyadari sosok hitam besar yang menukik ke bawah dari langit sampai keempat kakinya mendarat di kap Prius dengan bunyi BANG-BANG-KRIEEK!
'Hei, Bos,' sebuah suara berkata dalam kepalaku. 'Mobil bagus!'
Blackjack si pegasus adalah teman lamaku, jadi aku mencoba tidak terlalu
kesal gara-gara kawah yang baru saja diciptakannya di kap; tapi menurutku ayah tiriku tidak bakalan marah besar.
“Blackjack,” desahku. “Ngapain kau—“
Lalu kulihat siapa yang menunggangi punggungnya, dan aku tahu hariku bakalan lebih rumit lagi.
“Hai, Percy.”
Charles Beckendorf, konselor senior untuk pondok Hephaestus, bakalan membuat sebagian besar monster menangis memanggil-manggil mama mereka.
Dia besar, dengan otot kekar karena bekerja di bengkel logam setiap musim panas, dua tahun lebih tua daripada aku, dan salah satu pembuat senjata terbaik di perkemahan. Dia membuat sejumlah barang mekanis yang betul-betul inovatif.
Sebulan lalu, dia memasang bom api Yunani di kamar mandi sebuah bus pariwisata yang membawa segerombolan monster melintasi negeri. Ledakan itu menamatkan selegiun anak buah jahat Kronos segera setelah harpy pertama lenyap jadi asap.
Beckendorf berpakaian tempur. Dia mengenakan lempeng dada perunggu dan helm perang dengan celana kamuflase hitam serta pedang yang diikat ke
bagian samping celana. Tas bahan peledaknya disandangkan ke bahunya.
“Sudah waktunya?” tanyaku.
Dia mengangguk muram.
Tenggorokanku tercekat. Aku tahu perang ini akan datang. Kami sudah merencanakannya selama berminggu-minggu, tapi aku setengah berharap perang ini takkan pernah terjadi.
Rachel mendongak, memandang Beckendorf. “Hai.”
“Oh, hai. Aku Beckendorf. Kau pasti Rachel. Percy memberitahuku… eh, maksudku dia pernah menyebut-nyebut tentangmu.”
Rachel mengangkat alis. “Benarkah? Bagus.”
Dia melirik Blackjack, yang mengetuk-ngetukkan kakinya ke kap Prius. “Jadi, sepertinya kalian harus pergi menyelamatkan dunia sekarang.”
“Kurang lebih begitu,” Beckendorf setuju.
Aku memandang Rachel tanpa daya. “Maukah kau beri tahu ibuku—“
“Akan kuberi tahu dia. Aku yakin dia sudah terbiasa. Dan akan kujelaskan kepada Paul tentang kap mobilnya.”
Aku mengangguk tanda terima kasih. Menurut tebakanku ini mungkin terakhir kalinya Paul meminjamiku mobilnya.
“Semoga berhasil.” Rachel menciumku sebelum aku bahkan bisa bereaksi.
“Nah, pergilah, Blasteran. Pergi dan bunuhlah monster-monster untukku.”
Pandangan terakhirku tentang Rachel adalah saat dia duduk di kursi depan Prius, bersidekap, menyaksikan saat Blackjack berputar-putar makin tinggi dan makin tinggi, membawa Beckendorf dan aku ke langit.
Aku bertanya-tanya apa yang ingin dibicarakan Rachel denganku, dan apakah aku bakal hidup cukup lama untuk mengetahuinya.
“Jadi,” kata Beckendorf, “kutebak kau tidak mau aku menyinggung adegan kecil tadi kepada Annabeth.”
“Oh, demi Para Dewa-Dewi,” gumamku. “Memikirkannya pun jangan.”
Beckendorf tergelak, dan bersama-sama kami membubung di atas Samudra Atlantik.
Sebelum itu terjadi, aku mengalami sore yang luar biasa. Secara teknis aku seharusnya belum boleh menyetir karena baru akan menginjak enam belas tahun seminggu lagi, tapi ibuku dan ayah tiriku, Paul, mengajak aku dan temanku, Rachel, ke pantai di semenanjung utara ini, dan Paul mengijinkan kami memekai Prius-nya untuk berputar-putar sebentar.
Aku tau apa yang kalian pikirkan, wow, itu sangat tidak bertanggung jawab, blah, blah, blah, tapi Paul mengenalku dengan sangat baik. Dia telah melihatku membelah monster dan melompat daru gedung sekolah yang meledak, jadi dia mungkin menganggap membawa mobil sejauh beberapa yard bukan hal paling berbahaya yang pernah kulakukan.
Jadi, aku dan Rachel berkendara. Hari yang panas di bulan Agustus. Rambut merah Rachel diikat kepang dan dia mengenakan blouse di atas pakaian renangnya. Seelumnya, aku belum pernah melihatnya mengenakan sesuatu selain t-shirt dan jeans, dia tampak seperti berjuta emas drachma.
"Oh, berhenti di sana!" perintahnya
Kami parkir pada tebing yang menghadap Atlantik. Lautan selalu menjadi tempat favoritku, tapi terutama di hari spesial itu–hijau berkilau seperti kaca, seakan ayahku menjaganya tetap tenang untuk kami.
Ngomong-ngomong ayahku Poseidon. Dia bisa melakukan hal-hal seperti itu.
"Jadi." Rachel tersenyum padaku. "Mengenai undangan itu."
"Oh... benar." Aku coba terdengar semangat.
Maksudku, gadis ini telah mengajakku ke rumah liburan keluarganya di St. Thomas selama tiga hari. Aku tak banyak mendapat undangan seperti itu. Ide kekuargaku tentang liburan mewah adalah menghabiskan akhir pekan di kabin kecil, di Long Island, dengan beberapa video rental dan beberapa pizza beku. Dan di sini, keluarga Rachel bersedia mengajakku ke Karibia.
Lagipula, sebenarnya aku butuh liburan. Musim panas ini telah menjadi yang terberat dalam hidupku. Ide untuk beristirahat walau hanya beberapa hari sangatlah menggoda.
Tetap sja, hal besar akan segera terjadi. Aku sedang menunggu panggilan sebuah misi. Lebih buruk lagi, minggu depan ulang tahunku, yang menurut ramalan akan ada kejadian buruk di hari itu.
"Percy" ujarnya. "Aku tahu ini waktu yang buruk. Tapi memang waktu selalu buruk bagimu, kan?"
Dia benar.
"Aku ingin pergi," janjiku. "Hanya saja—"
"Perang."
Aku mengangguk. Aku tak suka membicarakannya, tapi Rachel tau tentang itu.
Gadis itu menaruh tangannya di lenganku. "Pikirkan saja, oke? Kami baru berangkat beberapa hari lagi. Ayahku..." nadanya terdengar ragu.
"Lupakan saja. Mari berpura-pura kita pasangan normal. Jalan-jalan dan memandang lautan. Senang rasanya bisa berduaan."
Aku tau ada yang mengganggunya, tapi dia memasang senyum berani. Sinar matahari membuat rambutnya terlihat seperti api.
Kami menghabiskan banyak waktu, musim panas ini. Aku tak merencanakannya, tapi hal-hal serius terjadi di perkemahan yang membuatku merasa perlu menghubungi Rachel untuk sejenak melarikan diri.
"Oke," kataku. "Hanya sore yang normal untuk dua orang normal."
Gadis itu mengangguk. "Jadi... perumpamaan, jika dua orang saling suka, apa yang harus dilakukan untuk membuat pemuda bodoh ini untuk mencium sang gadis?"
Aku tak akan berpura-pura tidak memikirkan tentang Rachel. Lebih mudah berada bersamanya dibanding..***dis lain yang kukenal. Aku tak perlu bekerja keras, atau menjaga kata-katqku, atau berusaha menebak apa yang dipikirkanbya. Rachel membiarkan kau tau apa yang dirasakannya.
"Well... pemuda itu sebenarnya ingin... tapi... apa itu ide yang bagus...bmaksudku... dengan apa yang sedang terjadi..." jawabku gugup, lalu melanjutkan saat melihat kekecewaan di matanya, "apa aku sudah bilang dia sebenarnya ingin?"
"Sudahlah..." ujar Rachel.
Aku tahu dia tak marah karena dia tersenyum manis padaku dan berujar, "Kurasa jika pemuda itu tak berani melakukannya, sang gadis harus mengambil inisiatif."
"A-apa—"
Pertanyaanku terhenti. Secara tiba-tiba Rachel memiringkan badan ke arahku, tubuhnya condong, dan kepalanya maju dengan cepat. Ciuman pertamaku.
Jadi begini rasanya bibir seorang gadis. Lembut dan manis. Aku bisa mencium nafas harum Rachel yang beraroma mint. Aku menyukainya.
"Ah-oh... uummhh..." aku tak bisa mengatakan apapun, hanya memandang Rachel yang tersenyum.
"Apa itu cukup untuk memberi sang pemuda keberanian membalas?" godanya.
"Lebih dari cukup," balasku.
Aku ikut memiringkan tubuh dan gantian aku yang memberi Rachel ciuman di bibir. Gadis itu lalu melingkarkan tangan di leherku dan mundur bersandar di kursi, menarikku bersamanya.
Seperti yang kubilang, ini yang pertama bagiku, jadi aku sepenuhnya buta dengan apa yang harus dilakukan. Aku hanya menempelkan bibirku rapat-rapat, merasakan milik Rachel yang bergetar. Tapi kurasa gadis ini lebih berpengalaman dariku (bukan berarti aku keberatan atau penasaran) karena bibirnya kemudian mulai menjepit dan memijat bibirku.
Demi Dewa-Dewi, jantungku berpacu cepat dan tanpa mampu kutahan sesuatu di balik celanaku bergerak mengeras. Sungguh memalukan, semoga Rachel tak menyadarinya.
Aku meniru apa yang dilakukan Rachel, mulai membalas gerakan bibirnya. Lembut dan pelan pada awalnya lalu kian panas ketika lidah gadis itu ikut bermain, yang tentu saja berusaha kuimbangi.
Tangan kiriku maju memegang pinggul Rachel untuk menjaga keseimbangan, namun kemudian tanpa sadar mulai memberi remasan-remasan pelan.
"Itu tadi... wow!" komentarku dengan nafas berat usai menarik diri.
Aku menatap Rachel yang memandangku sayu, wajahnya merona merah, dan mulutnya masih sedikit membuka. Sangat menggoda.
"Kursi belakang?" tawarnya.
Aku tersenyum. Kurasa itu artinya kami belum selesai. Aku pun merangkak ke belakang melaku celah kursi depan dan langsung duduk bersandar. Rachel menyusul duduk di sebelahku dan percumbuan kami kembali di mulai.
Untung saja Prius Paul berkaca gelap, kecuali kaca depan, jadi kami mungkin tak terlihat dari luar. Walau sebenarnya hanya ada kami di tempat ini.
Aku tak tau berapa lama sudah berlangsung, terasa begitu singkat sekaligus lama. Rachel melingkarkan tangan kirinya di leherku, sedang tangan kanannya di atas pahaku, meremas dan sesekali membelai.
Aku juga melingkarkan tangan, namun ke punggung Rachel. Tangan kiriku kembali memegang pinggulnya, tak hanya meremas namun bergerak membelai, kadang naik ke atas, dan terakhir tanpa sengaja menyentuh pangkal bukitnya.
Jengah aku hendak menarik tanganku turun, tapi Rachel cepat-cepat menangkap tanganku. Aku tak keberatan karena setelahnya dia justru menempelkan telapak tanganku pada busungan dadanya. Mana mungkin aku tega menolak keinginan dia, yang tentu saja sama seperti keinginanku.
Aku memulai dengan meraba seluruh permukaan payudara Rachel dari luar blouse dan pakaian renangnya, berusaha mengenali kontur bukit Rachel yang tumbuh sempurna. Rasanya luar biasa, kenyal menggairahkan. Tapi aku merasa kurang puas, terganggu pakaiannya.
Seperti sepikiran, Rachel melepas pagutan kami dan tangannya yang melingkar di leherku. Kedua tangannya kemudian menarik bagian bawah blouse ke atas dan melepaskannya. Namun apa yang dilakukan setelahnya lagi-lagi mengejutkanku.
Tangan Rachel kembali bergerak, kali ini meraih lengan pakaian renangnya, menarik ke bawah, melewati lengan, dan dengan cepat kedua payudaranya terpampang di hadapanku, tanpa pelindung apapun. Rachel rupanya tak memakai bra di baliknya.
"Rachel," kataku dengan nada ragu.
"Kamu boleh sentuh, kalau kamu mau."
Tapi aku tak bergerak, bergantian memandang wajah dan payudaranya. Rachel yang tak sabaran meraih kedua tanganku dan menyentuhkan ke payudaranya.
"Apa yang harus kulakukan?" tanyaku bingung.
"Remas saja Percy... pelan-pelan," Rachel meminta.
Aku menurutinya. Rachel menurunkan tangannya yang memegangiku, mulutnya kembali membuka, mengeluarkan desah dan desisan.
"Enak?" aku kembali bertanya.
"Geli... tapi iya, enak sekali," jawab Rachel. "Coba pilin putingku."
Aku melakukannya. Tak lama aku bereksperimen. Bergantian meremas payudaranya lalu memilin putingnya. Di lain kesempatan aku coba mengombinasikan, satu sisi meremas, sisi lainnya memilin. Dan aku menyukai ekspresi Rachel yang terlihat keenakan.
"Rachel, apa yang kau lakukan? Itu–"
"Ssshhh..." desis Rachel memintaku diam. "Duduk saja. Aku lebih malu melakukan ini dibandingkan kau."
Saat itu badan Rachel maju lalu miring ke arahku, kedua tangannya mengarah ke kaitan celanaku, melepaskannya dengan mudah, disusul dengan menurunkan reseletingku hingga terbuka.
Aku mengerti apa yang akan terjadi. Walau ingin menahan Rachel namun aku hanya terpaku memperhatikan, bahkan saat gadis itu kemudian meraih ke balik dalamanku untuk mengeluarkan batang kemaluanku, yang sudah sedari tadi mengeras.
Tak butuh waktu lama dia pun membelainya perlahan dalam genggaman. Seketika tubuhku tersentak oleh kenikmatan dan tanpa sadar mengerang keenakan.
"Rachel... kita tak seharusnya—"
Lagi-lagi kalimatku terpotong karena Rachel menaikkan kakinya ke atas kursi, menungging dalam posisi merangkak ke arahku. Rachel lalu menundukkan kepala dan aku gagal memintanya berhenti, karena seketika batang kemaluanku menghilang dalam kuluman mulutnya.
Bagaimana rasanya? Well, apa kalian pernah mengalami tersetrum aliran listrik, kurang lebih seperti itu, minus sakit. Ada rasa geli saat lidah basahnya memutar di kepala kontolku, dalam mulutnya, sekaligus rasa gatal. Membuatku tak ingin dia berhenti, ingin Rachel semakin intens melakukannya agar rasa itu menghilang.
Tapi seperti rasa gatal lainnya yang kian digaruk justru semakin terasa gatal, itulah yang kurasakan saat ini.
"Enak?" tanya Rachel.
Dia sejenak berhenti, mengangkat kepala untuk memandangku.
"Sangat..."
Rachel tersenyum senang lalu kembali mengoralku.
Rachel cukup lama melakukannya dan aku mulai merasakan desakan aneh dari bawah perutku. Seakan sesuatu akan meledak keluar dan aku memberitahunya.
Slurp... plop...
Satu hisapan kuat, Rachel melepas kontolku. "Belum saatnya. Aku masih ingin memberimu lebih," ujarnya.
Rachel bangun, lalu mulai melepas pakaian renangnya dengan menarik ke bawah. Dan untuk pertama kalinya aku melihat kemaluan seorang gadis. Tembem membelah dengan daging menonjol yang kuduga sebagai klitoris Rachel.
Aku tak tau apakah rambut kemaluan gadis itu memang belum tumbuh, atau dia rajin mencukurnya. Yang jelas terlihat mulus dan birahiku semakin bergejolak.
Rachel kembali bergerak. Kali ini mengangkangi pangkuanku, dan duduk di atasnya. Dia lalu sedikit menyesuaikan posisi, membuat kontolku tepat menempel di belahan memeknya, ujung kemaluanku menyentuh klitorisnya.
Wajah Rachel lalu maju, memagut bibirku. Bersamaan dengan itu, pantatnya bergerak maju-mundur, menggesek-gesek kontolku dalam jepitan belahan memeknya. Tangannya merangkul leherku dan aku balas memeluk pinggangnya.
Seiring desakan yang kembali muncul, tanganku turun ke pantatnya, meremas gemas dan membantunya bergerak semakin cepat.
Aku tak tau berapa lama hal itu terjadi. Yang pasti aku sudah tak sanggup lagi menahan diri. Maka aku menyerah dan membiarkan desakan itu hingga terlepas. Aku mengerang dalam pagutan Rachel saat kontolku akhirnya memancarkan cairan dengan dahsyat. Rasanya seperti buang air kecil, geli, dan lega. Tapi enaknya berkali-kali lipat.
Cairan yang keluar pun tak seperti air seni yang terus keluar hingga selesai, namun dalam dalam beberapa semprotan. Mereda dalam setiap muncratan.
"Oh Dewa-dewi..." erangku saat bibir kami saling melepaskan diri.
Rachel mundur untuk memberi ruang bagi kontolku yang masih terlihat keras dengan cairan kental putih di ujungnya. Cairan yang sama sedikit mengotori bagian depan kausku dan perut Rachel.
"Jadi ini yang namanya sperma?"
Pertanyaan retoris, lebih pada diriku sendiri.
Rachel menggerakkan bahunya sedikit. Tangannya terulur untuk menyentuh spermaku dengan jemarinya lalu mengangkatnya ke depan mata, memperhatikan dengan ekspresi penasaran. "Iya. Aku belum pernah melihatnya secara langsung. Kental dan lengket," komentar dia.
Ups. Ternyata Rachel masih perawan. Aku tak tahu itu, apalagi dengan aksinya yang seperti seorang yang berpengalaman.
Tanpa bangun dari pangkuanku, Rachel memutar badan untuk meraih tisu di sela-sela antara kursi depan. Tak lama dia sibuk membersihkan spermaku, melempar tisu kotor ke tempat sampah kecil di mobil, dan kembali menggenggam kontolku dan membelainya.
"Masih keras. Bukankah seharusnya dia mengecil saat kalian selesai?" tanya Rachel.
Aku tak tau. Aku sendiri baru pertama mengalaminya. Bahkan aku belum pernah memimpikannya.
Rachel menatapku, lagi-lagi dengan ekspresi penasaran. Tapi ada yang beda, seperti bara nafsu. Apa dia akan melakukan sesuatu yang memang kupikirkan?
Benar saja. Masih menggenggam kontolku, Rachel menahannya agar tegak, dengan lutut di kursi dia mengangkat badannya sedikit lalu maju. Batang kemaluanku tak lama berada di atas belahan memeknya yang Rachel buka menggunakan jemari kirinya, dan gadis itu pun bergerak turun.
"Tunggu, Rachel. Aku pikir kita tak seharusnya melakukan ini," aku memegang pinggul Rachel, menahannya.
Aku bisa liat Rachel kecewa maka aku melanjutkan, "bukan aku tak menginginkannya. Tapi kita bahkan belum genap enam belas tahun dan sewaktu-waktu aku bisa saja pergi berperang. Entah apa yang akan terjadi nanti."
"Itulah alasannya, hari ini mungkin jadi hari terakhir kita bersama. Aku ingin kau memilikiku, seandainya..."
"Aku tak akan gagal. Akan kukalahkan Kronos," tegasku, mengerti kelanjutan kata-katanya, ketakutan serta kehawatirannya.
"Aku tahu itu," balas Rachel. "Tapi setidaknya..."
Mana mungkin aku tak luluh mendengar nada permohonan dalam suaranya yang tercekat. Aku pun tau dengan pasti, andai kami berhasil mengalahkan Kronos, bukan berarti aku dan Rachel bisa bersama. Apalagi dengan kondisiku sebagai demigod yang selalu berada dalam situasi hidup dan mati.
Belum lagi perasaanku, meski aku menyukai gadis ini, aku sendiri belum memutuskan apa-apa tentang hubungan kami, tidak dengan adanya sosok gadis lain itu.
"Aku menyukaimu Rachel. Hanya saja..."
"Annabeth?" tanya dia.
Tidak. Itu bukan pertanyaan, lebih merupakan pernyataan. Rachel tau dia benar, kurasa terlihat dari ekspresiku.
"Tak masalah," ujarnya lagi. "Saat waktunya tiba aku akan memintamu memilih. Tapi hari ini kau hanya milikku."
Sungguh gadis yang keras kepala. Rachel pun kembali bergerak turun. Dia tau aku telah kalah saat tanganku, yang meski masih memeganginya, tak lagi menahan. Sebentar saja, ujung kemaluanku telah membelah memeknya, langsung menuju liang vaginanya.
"Sakit?" tanyaku melihat wajah Rachel yang mengerenyit.
"Sedikit. Tapi aku bisa tahan," ujarnya tercekat lalu menggigit bibir bawahnya.
Rachel terus turun hingga kepala sampai sebagian kecil batang kontolku melesak masuk. Jelas kurasakan kedutan dari vaginanya, nikmat sekali. Namun gerakan gadis itu tertahan, meski begitu dia masih coba untuk terus menekan.
"Coba cabut dulu lalu masukin lagi," saranku.
Rachel menuruti saranku. Sepertinya berhasil karena kali ini kontolku bisa melesak lebih dalam, namun masih juga tertahan oleh kontraksi pada dinding vaginanya. Gadis itu tak menyerah, dia lagi-lagi mencabut dan melesakkan.
Beberapa kali menyoba, aku semakin merasakan nikmatnya gesekan dinding vagina Rachel pada kontolku, kupikir gadis itu juga sama walau disertai rasa perih. Aku pun menyadari bahwa tiap kali kontolku semakin mudah masuk seiring kemaluan Rachel yang kian basah dan licin.
Kenikmatan yang kurasakan membuatku mulai tak sabar. Nafsuku membuncah ingin merasakan kontolku melesak penuh, maka kuperintahkan Rachel memeluk leherku sedang aku sendiri melingkarkan kedua tanganku di pinggulnya dengan erat. "Tahan ya," perintahku lagi.
Usai itu, aku tak memberi peringatan saat pelukanku menarik tubuh Rachel ke bawah sedang pantatku menghentak keras ke atas.
"Aaakkkhhh... sakit...btu-tunggu dulu... tahan... aw..."
Rachel nyaris saja menjerit. Aku tau telah berhasil merobek selaput daranya yang tentu saja menyakitinya, maka aku menuruti, menghentikan gerakanku. Menarik Rachel turun, duduk di atas pangkuanku dengan kontolku melesak penuh di dalam vaginanya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku khawatir.
"Sakit..." keluhnya.
"Tahan sebentar ya..." kembali aku memerintahkan.
Rachel tak menjawab, tapi aku busa mendengarnya menghela nafas panjang lalu menahannya saat aku memutar badan ke samping, membawa dia bersamaku. Tak lama tanpa kemaluan kami saling terlepas, aku membaringkan Rachel di kursi. Kaki kirinya di lantai mobil, sedang kaki kanan di sandarkan di atas punggung kursi. "Aku coba bergerak ya," ujarku.
Rachel mengangguk pelan, kembali menggigit bibir bawahnya, dahinya melipat dan mengerenyit menahan sakit saat aku menarik kontolku.
"Uu-uugghhh... pelan-pelan Percy..."
Plop... kontolku terlepas. Kembali aku memperingatkan Rachell kalau aku akan coba melesakkan lagi dan gadis itu bersiap.
Slept... sreet... aku berhasil menghujam penuh dalam satu dorongan. Bisa kulihat ekspresi kesakitan Rachel. Walau khawatir aku tak berhenti dan kembali mencabut lalu melesakkan lagi.
"Gimana sekarang?" tanyaku setelah beberapa kali mengulangi gerakan yang sama.
"Masih sedikit sakit. Tapi mulai enak," dia mengakui.
Aku menjadi semakin semangat, tak lagi mencabut, walau tetap menarik dan mendorong.
"Ooohh Percy... semakin enak sayang..."
Dan aku mempercepat sodokanku, sesekali selangkangan kami bertemu, menimbulkan suara tamparan yang erotis. Seiring waktu dan kenikmatan yang kian enak, tamparan selangkangan kami semakin sering terjadi.
Aku tak tau apa Rachel masih merasa sakit. Andai masih, kupikir sudah tak sebanding dengan nikmatnya sodokan yang kuberikan karena dia tak lagi mengeluh, beranti dengan desah erangan.
Rachel juga mulai bergerak erotis, entah disengaja atau tubuhnya bergerak naluriah. Sering kali pinggulnya memutar, laku naik-turun mengimbangi sodokanku, beberapa kali perutnya melenting naik.
Aku tak hanya memompa. Kedua tanganku mulai kuulurkan untuk meremas payudara dan memilin putingnya. Rachel oun semakin bergerak dengan binal. Erangannya berganti jeritan kecil. Persetubuhan panas kami tak ayal membuat Prius Paul bergoyang.
"Percy... aku baru saja keluar..." Rachel memberitahuku.
Wow! Secepat itu?! Rasanya kami belum lama bercinta. Aku bahkan tak tau jika Rachel mengalamai orgasme, baru menyadari saat dia memberitahu. Tapi memang ada yang berbeda, vagina gadis itu terasa berkedut semakin cepat.
Walau begitu aku tak berhenti memompa Rachel. Aku sendiri tengah mengejar desakan orgasmeku sendiri. Kupikir gadis itu tak keberatan, justru sebaliknya, dia memintaku untuk menyodok sedikit lebih keras, yang tentunya kuturuti dengan senang hati.
Plak... plakk... plaak!!!
Penasaran aku melihat ke bawah. Menyaksikan bagaimana belahan memek Rachel dan klitorisnya ikut tertarik sedikit ke dalam saat aku menyodok, lalu mencembung saat aku menarik. Aku jadi ingit tau apa yang terjadi jika saat itu aku memainkan klotorisnya.
"Oohh God Percy... ampuuunn... enak banget..." jerit dia.
"Kau mau aku berhenti?" godaku.
"Please jangan... terus sayang... terus... aaakkhhhh..."
Seketika tubuh Rachel mengejang dan perutnya naik melenting. Nafas gadis itu megap-megap dengan mulut membuka seperti akian yang berusaha menghirup udara. Walau begitu pinggul dan pantatnya terus bergerak naik turun serta memutar. Aku hanya bisa menduga dia kembali mengalami orgasme, sama seperti yang akan terjadi denganku.
"Rachel... sepertinya aku akan sampai.." aku pun memperingatinya.
"Di luar... di luar... jangan di dalam..." ujar Rachel sedikit panik.
Aku tak kecewa atau menyalahkannya. Wajar saja, kami memang tak mempersiapkan pengamanan dalam persetubuhan ini. Maka aku cepat-cepat mencabut kontolku.
Rachel pun bergerak seketika, bangkit duduk. Tangan kanannya maju menyambut kemaluanku yang berkilat licin dengan sedikit noda darah, tak lama dia pun mengocoknya dengan intens.
Benar saja, tak sampai dua menit, kontolku pun menyemburkan lahar panasnya diiringi eranganku. Muncrat hingga payudara Rachel dan mengotori genggaman tangannya, dan aku terus menembakkan spermaku beberapa kali lagi sebelum akhirnya selesai.
Lemas tapi puas, aku ambruk duduk di kursi, tanoa Rachel berhenti mengocok kontolku selama beberapa waktu.
"Luar biasa..." pujiku tak lama kemudian, memperhatikan Rachel yang dengan telaten membersihkan kontolku dan payudaranya yang kotor oleh sperma.
"Kamu menyesal?" tanya dia ragu.
"Tak sedikitpun..." jawabku. "Andai kita masih punya waktu aku ingin melakukannya lagi."
Rachel tersenyum senang. Dia lalu condong untuk memagutku. Kubalas dengan mesra. Tapi seperti yang ku bilang, waktu kami hanya sebentar, maka aku mengatakan padanya agar kami kembali berpakaian.
Setelah itu kami melanjutkan obrolan. Rachel kembali memintaku untuk memeluk dan menciumnya.
Aku tidak yakin apa yang bakal kulakukan selanjutnya—tapi aku begitu bengong, sampai-sampai aku tidak menyadari sosok hitam besar yang menukik ke bawah dari langit sampai keempat kakinya mendarat di kap Prius dengan bunyi BANG-BANG-KRIEEK!
'Hei, Bos,' sebuah suara berkata dalam kepalaku. 'Mobil bagus!'
Blackjack si pegasus adalah teman lamaku, jadi aku mencoba tidak terlalu
kesal gara-gara kawah yang baru saja diciptakannya di kap; tapi menurutku ayah tiriku tidak bakalan marah besar.
“Blackjack,” desahku. “Ngapain kau—“
Lalu kulihat siapa yang menunggangi punggungnya, dan aku tahu hariku bakalan lebih rumit lagi.
“Hai, Percy.”
Charles Beckendorf, konselor senior untuk pondok Hephaestus, bakalan membuat sebagian besar monster menangis memanggil-manggil mama mereka.
Dia besar, dengan otot kekar karena bekerja di bengkel logam setiap musim panas, dua tahun lebih tua daripada aku, dan salah satu pembuat senjata terbaik di perkemahan. Dia membuat sejumlah barang mekanis yang betul-betul inovatif.
Sebulan lalu, dia memasang bom api Yunani di kamar mandi sebuah bus pariwisata yang membawa segerombolan monster melintasi negeri. Ledakan itu menamatkan selegiun anak buah jahat Kronos segera setelah harpy pertama lenyap jadi asap.
Beckendorf berpakaian tempur. Dia mengenakan lempeng dada perunggu dan helm perang dengan celana kamuflase hitam serta pedang yang diikat ke
bagian samping celana. Tas bahan peledaknya disandangkan ke bahunya.
“Sudah waktunya?” tanyaku.
Dia mengangguk muram.
Tenggorokanku tercekat. Aku tahu perang ini akan datang. Kami sudah merencanakannya selama berminggu-minggu, tapi aku setengah berharap perang ini takkan pernah terjadi.
Rachel mendongak, memandang Beckendorf. “Hai.”
“Oh, hai. Aku Beckendorf. Kau pasti Rachel. Percy memberitahuku… eh, maksudku dia pernah menyebut-nyebut tentangmu.”
Rachel mengangkat alis. “Benarkah? Bagus.”
Dia melirik Blackjack, yang mengetuk-ngetukkan kakinya ke kap Prius. “Jadi, sepertinya kalian harus pergi menyelamatkan dunia sekarang.”
“Kurang lebih begitu,” Beckendorf setuju.
Aku memandang Rachel tanpa daya. “Maukah kau beri tahu ibuku—“
“Akan kuberi tahu dia. Aku yakin dia sudah terbiasa. Dan akan kujelaskan kepada Paul tentang kap mobilnya.”
Aku mengangguk tanda terima kasih. Menurut tebakanku ini mungkin terakhir kalinya Paul meminjamiku mobilnya.
“Semoga berhasil.” Rachel menciumku sebelum aku bahkan bisa bereaksi.
“Nah, pergilah, Blasteran. Pergi dan bunuhlah monster-monster untukku.”
Pandangan terakhirku tentang Rachel adalah saat dia duduk di kursi depan Prius, bersidekap, menyaksikan saat Blackjack berputar-putar makin tinggi dan makin tinggi, membawa Beckendorf dan aku ke langit.
Aku bertanya-tanya apa yang ingin dibicarakan Rachel denganku, dan apakah aku bakal hidup cukup lama untuk mengetahuinya.
“Jadi,” kata Beckendorf, “kutebak kau tidak mau aku menyinggung adegan kecil tadi kepada Annabeth.”
“Oh, demi Para Dewa-Dewi,” gumamku. “Memikirkannya pun jangan.”
Beckendorf tergelak, dan bersama-sama kami membubung di atas Samudra Atlantik.
***End***
Terakhir diubah: