Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Demigods Untold Lust Story

Mbahghepenk

Semprot Kecil
Daftar
4 Jan 2020
Post
74
Like diterima
1.179
Lokasi
Tambun
Bimabet
Kali ini Mbah akan menyuguhkan sebuah cerita fanfiksi KARYA MBAH. Total ada 5 bagian. Masing2 dengan 5 seri buku yang jadi inspirasi.

Bagian 1 sendiri dari Novel Percy Jackson and The Olympians: The Last Olympian's.

Mbah sendiri nggak tau apa cucu2 di sini mengenal novel kesukaan mbah, yg jadi latar belakang cerita. Untuk itu mbah nyiapin sedikit sinopsis comotan, untuk tiap bagiannya, buat sedikit ngasih latar belakang.​


The Last Olympian adalah novel petualangan fantasi karya Rick Riordan yang berdasarkan pada mitologi Yunani. Novel ini adalah seri kelima dari seri Percy Jackson & the Olympians yang diterbitkan oleh Disney Hyperion pada tanggal 5 Mei 2009.

Setelah diterbitkan, novel ini menuai banyak pujian dari para kritikus. Selain itu, The Last Olympian mendapatkan peringkat pertama untuk buku terlaris menurut USA Today, Wall Street Journal, dan Los Angeles Times.

Dalam novel ini, Percy Jackson harus menemukan cara untuk mengalahkan Kronos agar memenuhi ramalan kuno yang menjadi takdirnya. Kehancuran dan keselamatan gunung Olympus berada ditangan Percy Jackson dan teman-temannya.

Ramalan itu sendiri disampaikan lebih dari 70 tahun silam yang memaksa Zeus, Posseidon, dan Hades untuk tidak lagi memiliki anak setengah dewa untuk mencegah ramalan ini:

A half-blood child of the eldest gods,
Shall reach sixteen against all odds
And see the world in endless sleep,
The hero’s soul, cursed blade shall reap,
A single choice shall end his days,
Olympus to preserve or raze.


Dengan bantuan dari Nico di Angelo yang merupakan putra dari Hades, Percy mencari petunjuk untuk mengalahkan Kronos dengan berkunjung ke rumah Ibu dari Luke Cassaway, putra Hermes yang menjadi wadah untuk Kronos.

Kronos telah menyiapkan pasukannya untuk menyerangan Olympus. Namun, para dewa dan dewi Olympus disibukkan oleh monster-monster yang lepas dari Tartarus.

Hal ini mengakibatkan keamanan Olympus menjadi tanggung jawab Percy Jackson dan teman-temannya. Mereka harus bertahan dari gempuran pasukan ganas itu di jantung kota New York dengan segala bantuan yang ada seperti pengikut Dewi Artemis, para Centaur, dan beberapa makhluk lainnya.

Prometheus menawarkan Percy untuk menyerah sebab mereka tidak akan bertahan lama. Namun, Percy menolak tawaran itu meskipun ditolak Titan itu tetap memberikan Percy hadiah berupa Guci Pandora. Percy tidak ingin menyimpan Guci itu dan memberikannya kepada dewi Hestia sebagai dewi terakhir yang menjaga Olympus.

(Sumber: https://szaelani.com/blog/fiksi/populer/ulasan-singkat-last-olympian-karya-rick-riordan/)
AKHIR dunia diawali saat seekor pegasus mendarat di kap mobilku.

Sebelum itu terjadi, aku mengalami sore yang luar biasa. Secara teknis aku seharusnya belum boleh menyetir karena baru akan menginjak enam belas tahun seminggu lagi, tapi ibuku dan ayah tiriku, Paul, mengajak aku dan temanku, Rachel, ke pantai di semenanjung utara ini, dan Paul mengijinkan kami memekai Prius-nya untuk berputar-putar sebentar.

Aku tau apa yang kalian pikirkan, wow, itu sangat tidak bertanggung jawab, blah, blah, blah, tapi Paul mengenalku dengan sangat baik. Dia telah melihatku membelah monster dan melompat daru gedung sekolah yang meledak, jadi dia mungkin menganggap membawa mobil sejauh beberapa yard bukan hal paling berbahaya yang pernah kulakukan.

Jadi, aku dan Rachel berkendara. Hari yang panas di bulan Agustus. Rambut merah Rachel diikat kepang dan dia mengenakan blouse di atas pakaian renangnya. Seelumnya, aku belum pernah melihatnya mengenakan sesuatu selain t-shirt dan jeans, dia tampak seperti berjuta emas drachma.

"Oh, berhenti di sana!" perintahnya

Kami parkir pada tebing yang menghadap Atlantik. Lautan selalu menjadi tempat favoritku, tapi terutama di hari spesial itu–hijau berkilau seperti kaca, seakan ayahku menjaganya tetap tenang untuk kami.

Ngomong-ngomong ayahku Poseidon. Dia bisa melakukan hal-hal seperti itu.

"Jadi." Rachel tersenyum padaku. "Mengenai undangan itu."

"Oh... benar." Aku coba terdengar semangat.

Maksudku, gadis ini telah mengajakku ke rumah liburan keluarganya di St. Thomas selama tiga hari. Aku tak banyak mendapat undangan seperti itu. Ide kekuargaku tentang liburan mewah adalah menghabiskan akhir pekan di kabin kecil, di Long Island, dengan beberapa video rental dan beberapa pizza beku. Dan di sini, keluarga Rachel bersedia mengajakku ke Karibia.

Lagipula, sebenarnya aku butuh liburan. Musim panas ini telah menjadi yang terberat dalam hidupku. Ide untuk beristirahat walau hanya beberapa hari sangatlah menggoda.

Tetap sja, hal besar akan segera terjadi. Aku sedang menunggu panggilan sebuah misi. Lebih buruk lagi, minggu depan ulang tahunku, yang menurut ramalan akan ada kejadian buruk di hari itu.

"Percy" ujarnya. "Aku tahu ini waktu yang buruk. Tapi memang waktu selalu buruk bagimu, kan?"

Dia benar.

"Aku ingin pergi," janjiku. "Hanya saja—"

"Perang."

Aku mengangguk. Aku tak suka membicarakannya, tapi Rachel tau tentang itu.

Gadis itu menaruh tangannya di lenganku. "Pikirkan saja, oke? Kami baru berangkat beberapa hari lagi. Ayahku..." nadanya terdengar ragu.

"Lupakan saja. Mari berpura-pura kita pasangan normal. Jalan-jalan dan memandang lautan. Senang rasanya bisa berduaan."

Aku tau ada yang mengganggunya, tapi dia memasang senyum berani. Sinar matahari membuat rambutnya terlihat seperti api.

Kami menghabiskan banyak waktu, musim panas ini. Aku tak merencanakannya, tapi hal-hal serius terjadi di perkemahan yang membuatku merasa perlu menghubungi Rachel untuk sejenak melarikan diri.

"Oke," kataku. "Hanya sore yang normal untuk dua orang normal."

Gadis itu mengangguk. "Jadi... perumpamaan, jika dua orang saling suka, apa yang harus dilakukan untuk membuat pemuda bodoh ini untuk mencium sang gadis?"

Aku tak akan berpura-pura tidak memikirkan tentang Rachel. Lebih mudah berada bersamanya dibanding..***dis lain yang kukenal. Aku tak perlu bekerja keras, atau menjaga kata-katqku, atau berusaha menebak apa yang dipikirkanbya. Rachel membiarkan kau tau apa yang dirasakannya.

"Well... pemuda itu sebenarnya ingin... tapi... apa itu ide yang bagus...bmaksudku... dengan apa yang sedang terjadi..." jawabku gugup, lalu melanjutkan saat melihat kekecewaan di matanya, "apa aku sudah bilang dia sebenarnya ingin?"

"Sudahlah..." ujar Rachel.

Aku tahu dia tak marah karena dia tersenyum manis padaku dan berujar, "Kurasa jika pemuda itu tak berani melakukannya, sang gadis harus mengambil inisiatif."

"A-apa—"

Pertanyaanku terhenti. Secara tiba-tiba Rachel memiringkan badan ke arahku, tubuhnya condong, dan kepalanya maju dengan cepat. Ciuman pertamaku.

Jadi begini rasanya bibir seorang gadis. Lembut dan manis. Aku bisa mencium nafas harum Rachel yang beraroma mint. Aku menyukainya.

"Ah-oh... uummhh..." aku tak bisa mengatakan apapun, hanya memandang Rachel yang tersenyum.

"Apa itu cukup untuk memberi sang pemuda keberanian membalas?" godanya.

"Lebih dari cukup," balasku.

Aku ikut memiringkan tubuh dan gantian aku yang memberi Rachel ciuman di bibir. Gadis itu lalu melingkarkan tangan di leherku dan mundur bersandar di kursi, menarikku bersamanya.

Seperti yang kubilang, ini yang pertama bagiku, jadi aku sepenuhnya buta dengan apa yang harus dilakukan. Aku hanya menempelkan bibirku rapat-rapat, merasakan milik Rachel yang bergetar. Tapi kurasa gadis ini lebih berpengalaman dariku (bukan berarti aku keberatan atau penasaran) karena bibirnya kemudian mulai menjepit dan memijat bibirku.

Demi Dewa-Dewi, jantungku berpacu cepat dan tanpa mampu kutahan sesuatu di balik celanaku bergerak mengeras. Sungguh memalukan, semoga Rachel tak menyadarinya.

Aku meniru apa yang dilakukan Rachel, mulai membalas gerakan bibirnya. Lembut dan pelan pada awalnya lalu kian panas ketika lidah gadis itu ikut bermain, yang tentu saja berusaha kuimbangi.

Tangan kiriku maju memegang pinggul Rachel untuk menjaga keseimbangan, namun kemudian tanpa sadar mulai memberi remasan-remasan pelan.

"Itu tadi... wow!" komentarku dengan nafas berat usai menarik diri.

Aku menatap Rachel yang memandangku sayu, wajahnya merona merah, dan mulutnya masih sedikit membuka. Sangat menggoda.

"Kursi belakang?" tawarnya.

Aku tersenyum. Kurasa itu artinya kami belum selesai. Aku pun merangkak ke belakang melaku celah kursi depan dan langsung duduk bersandar. Rachel menyusul duduk di sebelahku dan percumbuan kami kembali di mulai.

Untung saja Prius Paul berkaca gelap, kecuali kaca depan, jadi kami mungkin tak terlihat dari luar. Walau sebenarnya hanya ada kami di tempat ini.

Aku tak tau berapa lama sudah berlangsung, terasa begitu singkat sekaligus lama. Rachel melingkarkan tangan kirinya di leherku, sedang tangan kanannya di atas pahaku, meremas dan sesekali membelai.

Aku juga melingkarkan tangan, namun ke punggung Rachel. Tangan kiriku kembali memegang pinggulnya, tak hanya meremas namun bergerak membelai, kadang naik ke atas, dan terakhir tanpa sengaja menyentuh pangkal bukitnya.

Jengah aku hendak menarik tanganku turun, tapi Rachel cepat-cepat menangkap tanganku. Aku tak keberatan karena setelahnya dia justru menempelkan telapak tanganku pada busungan dadanya. Mana mungkin aku tega menolak keinginan dia, yang tentu saja sama seperti keinginanku.

Aku memulai dengan meraba seluruh permukaan payudara Rachel dari luar blouse dan pakaian renangnya, berusaha mengenali kontur bukit Rachel yang tumbuh sempurna. Rasanya luar biasa, kenyal menggairahkan. Tapi aku merasa kurang puas, terganggu pakaiannya.

Seperti sepikiran, Rachel melepas pagutan kami dan tangannya yang melingkar di leherku. Kedua tangannya kemudian menarik bagian bawah blouse ke atas dan melepaskannya. Namun apa yang dilakukan setelahnya lagi-lagi mengejutkanku.

Tangan Rachel kembali bergerak, kali ini meraih lengan pakaian renangnya, menarik ke bawah, melewati lengan, dan dengan cepat kedua payudaranya terpampang di hadapanku, tanpa pelindung apapun. Rachel rupanya tak memakai bra di baliknya.

"Rachel," kataku dengan nada ragu.

"Kamu boleh sentuh, kalau kamu mau."

Tapi aku tak bergerak, bergantian memandang wajah dan payudaranya. Rachel yang tak sabaran meraih kedua tanganku dan menyentuhkan ke payudaranya.

"Apa yang harus kulakukan?" tanyaku bingung.

"Remas saja Percy... pelan-pelan," Rachel meminta.

Aku menurutinya. Rachel menurunkan tangannya yang memegangiku, mulutnya kembali membuka, mengeluarkan desah dan desisan.

"Enak?" aku kembali bertanya.

"Geli... tapi iya, enak sekali," jawab Rachel. "Coba pilin putingku."

Aku melakukannya. Tak lama aku bereksperimen. Bergantian meremas payudaranya lalu memilin putingnya. Di lain kesempatan aku coba mengombinasikan, satu sisi meremas, sisi lainnya memilin. Dan aku menyukai ekspresi Rachel yang terlihat keenakan.

"Rachel, apa yang kau lakukan? Itu–"

"Ssshhh..." desis Rachel memintaku diam. "Duduk saja. Aku lebih malu melakukan ini dibandingkan kau."

Saat itu badan Rachel maju lalu miring ke arahku, kedua tangannya mengarah ke kaitan celanaku, melepaskannya dengan mudah, disusul dengan menurunkan reseletingku hingga terbuka.

Aku mengerti apa yang akan terjadi. Walau ingin menahan Rachel namun aku hanya terpaku memperhatikan, bahkan saat gadis itu kemudian meraih ke balik dalamanku untuk mengeluarkan batang kemaluanku, yang sudah sedari tadi mengeras.

Tak butuh waktu lama dia pun membelainya perlahan dalam genggaman. Seketika tubuhku tersentak oleh kenikmatan dan tanpa sadar mengerang keenakan.

"Rachel... kita tak seharusnya—"

Lagi-lagi kalimatku terpotong karena Rachel menaikkan kakinya ke atas kursi, menungging dalam posisi merangkak ke arahku. Rachel lalu menundukkan kepala dan aku gagal memintanya berhenti, karena seketika batang kemaluanku menghilang dalam kuluman mulutnya.

Bagaimana rasanya? Well, apa kalian pernah mengalami tersetrum aliran listrik, kurang lebih seperti itu, minus sakit. Ada rasa geli saat lidah basahnya memutar di kepala kontolku, dalam mulutnya, sekaligus rasa gatal. Membuatku tak ingin dia berhenti, ingin Rachel semakin intens melakukannya agar rasa itu menghilang.

Tapi seperti rasa gatal lainnya yang kian digaruk justru semakin terasa gatal, itulah yang kurasakan saat ini.

"Enak?" tanya Rachel.

Dia sejenak berhenti, mengangkat kepala untuk memandangku.

"Sangat..."

Rachel tersenyum senang lalu kembali mengoralku.

Rachel cukup lama melakukannya dan aku mulai merasakan desakan aneh dari bawah perutku. Seakan sesuatu akan meledak keluar dan aku memberitahunya.

Slurp... plop...

Satu hisapan kuat, Rachel melepas kontolku. "Belum saatnya. Aku masih ingin memberimu lebih," ujarnya.

Rachel bangun, lalu mulai melepas pakaian renangnya dengan menarik ke bawah. Dan untuk pertama kalinya aku melihat kemaluan seorang gadis. Tembem membelah dengan daging menonjol yang kuduga sebagai klitoris Rachel.

Aku tak tau apakah rambut kemaluan gadis itu memang belum tumbuh, atau dia rajin mencukurnya. Yang jelas terlihat mulus dan birahiku semakin bergejolak.

Rachel kembali bergerak. Kali ini mengangkangi pangkuanku, dan duduk di atasnya. Dia lalu sedikit menyesuaikan posisi, membuat kontolku tepat menempel di belahan memeknya, ujung kemaluanku menyentuh klitorisnya.

Wajah Rachel lalu maju, memagut bibirku. Bersamaan dengan itu, pantatnya bergerak maju-mundur, menggesek-gesek kontolku dalam jepitan belahan memeknya. Tangannya merangkul leherku dan aku balas memeluk pinggangnya.

Seiring desakan yang kembali muncul, tanganku turun ke pantatnya, meremas gemas dan membantunya bergerak semakin cepat.

Aku tak tau berapa lama hal itu terjadi. Yang pasti aku sudah tak sanggup lagi menahan diri. Maka aku menyerah dan membiarkan desakan itu hingga terlepas. Aku mengerang dalam pagutan Rachel saat kontolku akhirnya memancarkan cairan dengan dahsyat. Rasanya seperti buang air kecil, geli, dan lega. Tapi enaknya berkali-kali lipat.

Cairan yang keluar pun tak seperti air seni yang terus keluar hingga selesai, namun dalam dalam beberapa semprotan. Mereda dalam setiap muncratan.

"Oh Dewa-dewi..." erangku saat bibir kami saling melepaskan diri.

Rachel mundur untuk memberi ruang bagi kontolku yang masih terlihat keras dengan cairan kental putih di ujungnya. Cairan yang sama sedikit mengotori bagian depan kausku dan perut Rachel.

"Jadi ini yang namanya sperma?"

Pertanyaan retoris, lebih pada diriku sendiri.

Rachel menggerakkan bahunya sedikit. Tangannya terulur untuk menyentuh spermaku dengan jemarinya lalu mengangkatnya ke depan mata, memperhatikan dengan ekspresi penasaran. "Iya. Aku belum pernah melihatnya secara langsung. Kental dan lengket," komentar dia.

Ups. Ternyata Rachel masih perawan. Aku tak tahu itu, apalagi dengan aksinya yang seperti seorang yang berpengalaman.

Tanpa bangun dari pangkuanku, Rachel memutar badan untuk meraih tisu di sela-sela antara kursi depan. Tak lama dia sibuk membersihkan spermaku, melempar tisu kotor ke tempat sampah kecil di mobil, dan kembali menggenggam kontolku dan membelainya.

"Masih keras. Bukankah seharusnya dia mengecil saat kalian selesai?" tanya Rachel.

Aku tak tau. Aku sendiri baru pertama mengalaminya. Bahkan aku belum pernah memimpikannya.

Rachel menatapku, lagi-lagi dengan ekspresi penasaran. Tapi ada yang beda, seperti bara nafsu. Apa dia akan melakukan sesuatu yang memang kupikirkan?

Benar saja. Masih menggenggam kontolku, Rachel menahannya agar tegak, dengan lutut di kursi dia mengangkat badannya sedikit lalu maju. Batang kemaluanku tak lama berada di atas belahan memeknya yang Rachel buka menggunakan jemari kirinya, dan gadis itu pun bergerak turun.

"Tunggu, Rachel. Aku pikir kita tak seharusnya melakukan ini," aku memegang pinggul Rachel, menahannya.

Aku bisa liat Rachel kecewa maka aku melanjutkan, "bukan aku tak menginginkannya. Tapi kita bahkan belum genap enam belas tahun dan sewaktu-waktu aku bisa saja pergi berperang. Entah apa yang akan terjadi nanti."

"Itulah alasannya, hari ini mungkin jadi hari terakhir kita bersama. Aku ingin kau memilikiku, seandainya..."

"Aku tak akan gagal. Akan kukalahkan Kronos," tegasku, mengerti kelanjutan kata-katanya, ketakutan serta kehawatirannya.

"Aku tahu itu," balas Rachel. "Tapi setidaknya..."

Mana mungkin aku tak luluh mendengar nada permohonan dalam suaranya yang tercekat. Aku pun tau dengan pasti, andai kami berhasil mengalahkan Kronos, bukan berarti aku dan Rachel bisa bersama. Apalagi dengan kondisiku sebagai demigod yang selalu berada dalam situasi hidup dan mati.

Belum lagi perasaanku, meski aku menyukai gadis ini, aku sendiri belum memutuskan apa-apa tentang hubungan kami, tidak dengan adanya sosok gadis lain itu.

"Aku menyukaimu Rachel. Hanya saja..."

"Annabeth?" tanya dia.

Tidak. Itu bukan pertanyaan, lebih merupakan pernyataan. Rachel tau dia benar, kurasa terlihat dari ekspresiku.

"Tak masalah," ujarnya lagi. "Saat waktunya tiba aku akan memintamu memilih. Tapi hari ini kau hanya milikku."

Sungguh gadis yang keras kepala. Rachel pun kembali bergerak turun. Dia tau aku telah kalah saat tanganku, yang meski masih memeganginya, tak lagi menahan. Sebentar saja, ujung kemaluanku telah membelah memeknya, langsung menuju liang vaginanya.

"Sakit?" tanyaku melihat wajah Rachel yang mengerenyit.

"Sedikit. Tapi aku bisa tahan," ujarnya tercekat lalu menggigit bibir bawahnya.

Rachel terus turun hingga kepala sampai sebagian kecil batang kontolku melesak masuk. Jelas kurasakan kedutan dari vaginanya, nikmat sekali. Namun gerakan gadis itu tertahan, meski begitu dia masih coba untuk terus menekan.

"Coba cabut dulu lalu masukin lagi," saranku.

Rachel menuruti saranku. Sepertinya berhasil karena kali ini kontolku bisa melesak lebih dalam, namun masih juga tertahan oleh kontraksi pada dinding vaginanya. Gadis itu tak menyerah, dia lagi-lagi mencabut dan melesakkan.

Beberapa kali menyoba, aku semakin merasakan nikmatnya gesekan dinding vagina Rachel pada kontolku, kupikir gadis itu juga sama walau disertai rasa perih. Aku pun menyadari bahwa tiap kali kontolku semakin mudah masuk seiring kemaluan Rachel yang kian basah dan licin.

Incar.gif


Kenikmatan yang kurasakan membuatku mulai tak sabar. Nafsuku membuncah ingin merasakan kontolku melesak penuh, maka kuperintahkan Rachel memeluk leherku sedang aku sendiri melingkarkan kedua tanganku di pinggulnya dengan erat. "Tahan ya," perintahku lagi.

Usai itu, aku tak memberi peringatan saat pelukanku menarik tubuh Rachel ke bawah sedang pantatku menghentak keras ke atas.

"Aaakkkhhh... sakit...btu-tunggu dulu... tahan... aw..."

Rachel nyaris saja menjerit. Aku tau telah berhasil merobek selaput daranya yang tentu saja menyakitinya, maka aku menuruti, menghentikan gerakanku. Menarik Rachel turun, duduk di atas pangkuanku dengan kontolku melesak penuh di dalam vaginanya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku khawatir.

"Sakit..." keluhnya.

"Tahan sebentar ya..." kembali aku memerintahkan.

Rachel tak menjawab, tapi aku busa mendengarnya menghela nafas panjang lalu menahannya saat aku memutar badan ke samping, membawa dia bersamaku. Tak lama tanpa kemaluan kami saling terlepas, aku membaringkan Rachel di kursi. Kaki kirinya di lantai mobil, sedang kaki kanan di sandarkan di atas punggung kursi. "Aku coba bergerak ya," ujarku.

Rachel mengangguk pelan, kembali menggigit bibir bawahnya, dahinya melipat dan mengerenyit menahan sakit saat aku menarik kontolku.

"Uu-uugghhh... pelan-pelan Percy..."

Plop... kontolku terlepas. Kembali aku memperingatkan Rachell kalau aku akan coba melesakkan lagi dan gadis itu bersiap.

Slept... sreet... aku berhasil menghujam penuh dalam satu dorongan. Bisa kulihat ekspresi kesakitan Rachel. Walau khawatir aku tak berhenti dan kembali mencabut lalu melesakkan lagi.

"Gimana sekarang?" tanyaku setelah beberapa kali mengulangi gerakan yang sama.

"Masih sedikit sakit. Tapi mulai enak," dia mengakui.

Aku menjadi semakin semangat, tak lagi mencabut, walau tetap menarik dan mendorong.

"Ooohh Percy... semakin enak sayang..."

Dan aku mempercepat sodokanku, sesekali selangkangan kami bertemu, menimbulkan suara tamparan yang erotis. Seiring waktu dan kenikmatan yang kian enak, tamparan selangkangan kami semakin sering terjadi.

Aku tak tau apa Rachel masih merasa sakit. Andai masih, kupikir sudah tak sebanding dengan nikmatnya sodokan yang kuberikan karena dia tak lagi mengeluh, beranti dengan desah erangan.

Rachel juga mulai bergerak erotis, entah disengaja atau tubuhnya bergerak naluriah. Sering kali pinggulnya memutar, laku naik-turun mengimbangi sodokanku, beberapa kali perutnya melenting naik.

Aku tak hanya memompa. Kedua tanganku mulai kuulurkan untuk meremas payudara dan memilin putingnya. Rachel oun semakin bergerak dengan binal. Erangannya berganti jeritan kecil. Persetubuhan panas kami tak ayal membuat Prius Paul bergoyang.

"Percy... aku baru saja keluar..." Rachel memberitahuku.

Wow! Secepat itu?! Rasanya kami belum lama bercinta. Aku bahkan tak tau jika Rachel mengalamai orgasme, baru menyadari saat dia memberitahu. Tapi memang ada yang berbeda, vagina gadis itu terasa berkedut semakin cepat.

Walau begitu aku tak berhenti memompa Rachel. Aku sendiri tengah mengejar desakan orgasmeku sendiri. Kupikir gadis itu tak keberatan, justru sebaliknya, dia memintaku untuk menyodok sedikit lebih keras, yang tentunya kuturuti dengan senang hati.

Plak... plakk... plaak!!!

Penasaran aku melihat ke bawah. Menyaksikan bagaimana belahan memek Rachel dan klitorisnya ikut tertarik sedikit ke dalam saat aku menyodok, lalu mencembung saat aku menarik. Aku jadi ingit tau apa yang terjadi jika saat itu aku memainkan klotorisnya.

"Oohh God Percy... ampuuunn... enak banget..." jerit dia.

"Kau mau aku berhenti?" godaku.

"Please jangan... terus sayang... terus... aaakkhhhh..."

Seketika tubuh Rachel mengejang dan perutnya naik melenting. Nafas gadis itu megap-megap dengan mulut membuka seperti akian yang berusaha menghirup udara. Walau begitu pinggul dan pantatnya terus bergerak naik turun serta memutar. Aku hanya bisa menduga dia kembali mengalami orgasme, sama seperti yang akan terjadi denganku.

"Rachel... sepertinya aku akan sampai.." aku pun memperingatinya.

"Di luar... di luar... jangan di dalam..." ujar Rachel sedikit panik.

Aku tak kecewa atau menyalahkannya. Wajar saja, kami memang tak mempersiapkan pengamanan dalam persetubuhan ini. Maka aku cepat-cepat mencabut kontolku.

Rachel pun bergerak seketika, bangkit duduk. Tangan kanannya maju menyambut kemaluanku yang berkilat licin dengan sedikit noda darah, tak lama dia pun mengocoknya dengan intens.

Benar saja, tak sampai dua menit, kontolku pun menyemburkan lahar panasnya diiringi eranganku. Muncrat hingga payudara Rachel dan mengotori genggaman tangannya, dan aku terus menembakkan spermaku beberapa kali lagi sebelum akhirnya selesai.

Lemas tapi puas, aku ambruk duduk di kursi, tanoa Rachel berhenti mengocok kontolku selama beberapa waktu.

"Luar biasa..." pujiku tak lama kemudian, memperhatikan Rachel yang dengan telaten membersihkan kontolku dan payudaranya yang kotor oleh sperma.

"Kamu menyesal?" tanya dia ragu.

"Tak sedikitpun..." jawabku. "Andai kita masih punya waktu aku ingin melakukannya lagi."

Rachel tersenyum senang. Dia lalu condong untuk memagutku. Kubalas dengan mesra. Tapi seperti yang ku bilang, waktu kami hanya sebentar, maka aku mengatakan padanya agar kami kembali berpakaian.

Setelah itu kami melanjutkan obrolan. Rachel kembali memintaku untuk memeluk dan menciumnya.

Aku tidak yakin apa yang bakal kulakukan selanjutnya—tapi aku begitu bengong, sampai-sampai aku tidak menyadari sosok hitam besar yang menukik ke bawah dari langit sampai keempat kakinya mendarat di kap Prius dengan bunyi BANG-BANG-KRIEEK!

'Hei, Bos,' sebuah suara berkata dalam kepalaku. 'Mobil bagus!'

Blackjack si pegasus adalah teman lamaku, jadi aku mencoba tidak terlalu
kesal gara-gara kawah yang baru saja diciptakannya di kap; tapi menurutku ayah tiriku tidak bakalan marah besar.

“Blackjack,” desahku. “Ngapain kau—“

Lalu kulihat siapa yang menunggangi punggungnya, dan aku tahu hariku bakalan lebih rumit lagi.

“Hai, Percy.”

Charles Beckendorf, konselor senior untuk pondok Hephaestus, bakalan membuat sebagian besar monster menangis memanggil-manggil mama mereka.

Dia besar, dengan otot kekar karena bekerja di bengkel logam setiap musim panas, dua tahun lebih tua daripada aku, dan salah satu pembuat senjata terbaik di perkemahan. Dia membuat sejumlah barang mekanis yang betul-betul inovatif.

Sebulan lalu, dia memasang bom api Yunani di kamar mandi sebuah bus pariwisata yang membawa segerombolan monster melintasi negeri. Ledakan itu menamatkan selegiun anak buah jahat Kronos segera setelah harpy pertama lenyap jadi asap.

Beckendorf berpakaian tempur. Dia mengenakan lempeng dada perunggu dan helm perang dengan celana kamuflase hitam serta pedang yang diikat ke
bagian samping celana. Tas bahan peledaknya disandangkan ke bahunya.

“Sudah waktunya?” tanyaku.

Dia mengangguk muram.

Tenggorokanku tercekat. Aku tahu perang ini akan datang. Kami sudah merencanakannya selama berminggu-minggu, tapi aku setengah berharap perang ini takkan pernah terjadi.

Rachel mendongak, memandang Beckendorf. “Hai.”

“Oh, hai. Aku Beckendorf. Kau pasti Rachel. Percy memberitahuku… eh, maksudku dia pernah menyebut-nyebut tentangmu.”

Rachel mengangkat alis. “Benarkah? Bagus.”

Dia melirik Blackjack, yang mengetuk-ngetukkan kakinya ke kap Prius. “Jadi, sepertinya kalian harus pergi menyelamatkan dunia sekarang.”

“Kurang lebih begitu,” Beckendorf setuju.

Aku memandang Rachel tanpa daya. “Maukah kau beri tahu ibuku—“

“Akan kuberi tahu dia. Aku yakin dia sudah terbiasa. Dan akan kujelaskan kepada Paul tentang kap mobilnya.”

Aku mengangguk tanda terima kasih. Menurut tebakanku ini mungkin terakhir kalinya Paul meminjamiku mobilnya.

“Semoga berhasil.” Rachel menciumku sebelum aku bahkan bisa bereaksi.

“Nah, pergilah, Blasteran. Pergi dan bunuhlah monster-monster untukku.”

Pandangan terakhirku tentang Rachel adalah saat dia duduk di kursi depan Prius, bersidekap, menyaksikan saat Blackjack berputar-putar makin tinggi dan makin tinggi, membawa Beckendorf dan aku ke langit.

Aku bertanya-tanya apa yang ingin dibicarakan Rachel denganku, dan apakah aku bakal hidup cukup lama untuk mengetahuinya.

“Jadi,” kata Beckendorf, “kutebak kau tidak mau aku menyinggung adegan kecil tadi kepada Annabeth.”

“Oh, demi Para Dewa-Dewi,” gumamku. “Memikirkannya pun jangan.”

Beckendorf tergelak, dan bersama-sama kami membubung di atas Samudra Atlantik.​

***End***​
 
Terakhir diubah:
Ini bagian ke-2, dari Novel The Heroes of Olympus 2: The Son of Neptune

Son of Neptune adalah buku kedua dari pentalogi kedua Rick Riordan setelah pentalogi Percy Jackson and the Olympians.

Dalam buku ini menceritakan tentang Percy Jackson, seorang demigod putra dari Neptunus (Nama romawi dewa Poseidon) yang kehilangan ingatannya dan tiba–tiba bangun 8 bulan kemudian di rumah para serigala.

Percy kemudian dibimbing oleh Lupa (Dewi Serigala) untuk bertahan hidup dan kemudian dikirim ke Perkemahan Jupiter, tempat para Demigod dan keturunan Dewa dewi Romawi (walau tidak langsung).

Di sana dia berteman dengan Hazel Levesque, Putri Pluto (Aspek Romawi Dewa Hades, penguasa dunia bawah) dan Frank Zhang, Putra Mars (Ares, Dewa Perang).

Di Perkemahan Jupiter, Percy di tempatkan di barak kelima (Fifth Cohort) tempat berkumpulnya Demigod yang dianggap payah dan tidak memiliki harapan. Percy membuat barak tersebut menjadi barak yang disegani dengan memenangkan permainan berperang bersama dengan Hazel dan Frank.

Dalam perkemahan Jupiter, Percy juga berkenalan dengan Reyna, Putri Bellona (Dewi Perang) yang menjadi Praetor (Jenderal perang romawi) dan sedang dirisaukan oleh hilangnya teman kerja sesama Praetor, Jason Grace, dan berkenalan dengan Octavian, keturunan Apollo yang didaulat sebagai Augur, wakil pembaca pertanda dari langit atau Apollo sang Dewa Ramalan.

Tak lama setelah kemenangan barak kelima dalam permainan berperang, Frank yang diperintah langsung oleh Mars untuk membebaskan Thanatos sang Dewa Kematian di Alaska meminta bantuan kepada Hazel dan Percy untuk bersama–sama dalam misi tersebut.

Percy yang sejak awal tidak disukai oleh Octavian, langsung bersedia dan mereka pun berangkat menuju Alaska.

Dalam buku ini juga diceritakan tentang masa Lalu Frank Zhang dan juga Hazel Levesque yang sangat unik. Dan apa hubungan antara Hilangnya ingatan Percy dan Ramalan besar yang akan segera terjadi.

(Sumber:http://www.perempuanmembaca.com/2018/12/review-buku-heroes-of-olympus-son-of.html?m=1)​
PERCY bersukur Riptide sudah kembali ke sakunya. Menilai ekspresi Reyna, Percy berpikir dia mungkin bakal memerlukan pedang itu untuk membela diri.

Reyna menerjang masuk ke principia, jubah ungunya berkibar-kibar, sedangkan dua ekor anjing mengikuti di kakinya. Percy sedang menduduki salah satu kursi Praetor yang dia tarik ke sisi tamu. Mungkin bukan tindakan sopan. Dia beranjak bangun.

"Duduk saja," geram Rena, "kalian harus pergi sesudah makan siang. Banyak yang perlu kita diskusikan."

Reyna menjatuhkan belatinya keras sekali sampai-sampai mangkuk permen jeli berkelontangan. Aurum dan Argentum menempati posisi mereka di kiri-kanan dan melekatkan tatapan mata mirah delima mereka pada Percy.

"Apa salahku?" tanya Percy. "Kalau soal kursi—"

"Bukan kau." Reyna memberengut. "Aku benci rapat senat. Ketika Octavian berkesempatan bicara..."

Percy mengangguk. "Kau kesatria. Octavian pembicara. Taruh dia di hadapan senat, dan mendadak dialah yang menjadi orang kuat."

Reyna menyipitkan mata. "Kau lebih pintar daripada kelihatannya."

"Wah, terima kasih. Kudengar Octavian bisa saja terpilih sebagai Praetor, seandainya perkemahan sempat bertahan selama itu."

"Dan, sampailah kita ke topik tentang hari kiamat," kata Reyna, "bagaimana kau mungkin bisa membantu mencegahnya. Tapi sebelum aku menyerahkan nasib Perkemahan Jupiter ke tanganmu, kita harus meluruskan beberapa hal."

Reyna duduk dan meletakkan sebuah cincin di meja—cincin perak yang bertorehkan desain pedang-dan-obor, seperti tato Reyna. "Apa kau tahu ini?"

"Tanda ibumu," kata Percy, "Dewi... eh, perang."

Dia berusaha mengingat-ingat nama sang Dewi, tapi tidak mau sampai salah—bunyinya mirip bologna. Atau salami?

"Bellona, ya." Reyna memperhatikan Percy dengan saksama. "Kau tidak ingat di mana kau pernah melihat cincin ini sebelumnya? Kau benar-benar tidak ingat aku atau kakakku, Hylla?"

Percy menggelengkan kepala, "maafkan aku."

"Sudah empat tahun lalu. Tepat sebelum kau datang ke perkemahan ini," ujarnya.

Reyna mengerutkan kening. "Bagaimana kau—?"

"Tatomu ada empat setrip. Empat tahun."

Reyna menengok lengan bawahnya. "Tentu saja. Rasanya sudah lama sekali. Kuduga kau takkan ingat aku sekalipun memorimu masih utuh. Aku cuma anak kecil—satu dari sekian banyak pelayan di spa. Tapi kau bicara dengan kakakku, tepat sebelum kau dan orang yang satu lagi, Annabeth menghancurkan rumah kami."

Percy mencoba mengingat-ingat. Dia sungguh-sungguh berusaha. Entah karena alasan apa, Annabeth dan dirinya pernah mengunjungi spa dan memutuskan untuk menghancurkan tempat itu. Percy tidak bisa membayangkan apa sebabnya. Mungkin mereka tidak menyukai layanan pijat ototnya? Mungkin hasil manikur mereka jelek?

"Ingatanku kosong melompong," katanya, "karena anjingmu tidak menyerangku, kuharap kau mau memercayaiku. Aku berkata jujur."

Aurum dan Argentum menggeram. Percy punya firasat bahwa mereka sedang berpikir, Berbohong. Berbohonglah.

Reyna mengetuk-ngetuk cincin peraknya. "Aku percaya kau tulus," katanya, "tapi tidak semua orang di perkemahan ini percaya. Octavian kira kau mata-mata. Dia kira kau dikirim ke sini oleh Gaea untuk mencari tahu kelemahan kami dan mengalihkan perhatian kami. Dia memercayai legenda kuno tentang bangsa Yunani."

"Legenda kuno?"

Tangan Reyna tergolek di antara belati dan mangkuk permen jeli. Percy punya firasat,
jika Reyna membuat gerakan mendadak, dia tak akan menyambar permen.

"Sebagian percaya bahwa Demigod Yunani masih eksis," kata Reyna, "para pahlawan yang mengikuti wujud dewa-dewi yang lebih lama. Ada legenda mengenai pertempuran antara pahlawan Romawi dan Yunani di zaman yang relatif modern—"

"Perang Saudara Amerika, misalnya. Aku tidak punya buktinya, dan kalau para Lar mengetahui sesuatu tentang hal tersebut, mereka menolak mengatakan apa-apa. Tapi Octavian percaya bahwa bangsa Yunani masih ada, sedang berkomplot untuk menjatuhkan kita, bekerja sama dengan antek-antek Gaea. Menurutnya, kau salah satu dari mereka."

"Itukah yang kau percayai?"

"Aku percaya kau datang dari suatu tempat," kata Reyna, "kau penting, dan berbahaya. Dua Dewa menaruh minat khusus padamu sejak kau tiba. Jadi, aku tak percaya kau bersiasat untuk menentang Olympus... atau Romawi."

Reyna mengangkat bahu. "Tentu saja, aku mungkin keliru. Barangkali dewa-dewi mengirimmu ke sini untuk menguji penilaianku. Tapi kupikir kupikir mereka mengirimmu ke sini untuk menggantikan Jason."

Jason? Percy belum pernah melangkahkan kaki jauh-jauh di perkemahan ini tanpa mendengar nama itu.

"Caramu membicarakannya..." kata Percy. "Apa kalian berdua pacaran?"

Mata Reyna menusuknya—seperti mata serigala yang lapar. Percy sudah sering melihat serigala lapar. Jadi, dia tahu.

"Mungkin saja," kata Reyna, "kalau waktunya mencukupi. Praetor bekerja berdekatan. Ada yang sampai punya hubungan asmara. Itu sudah lazim. Tapi Jason baru menjadi Praetor beberapa bulan sebelum dia menghilang. Sejak saat itu, Octavian terus merongrongku, mengompori supaya diadakan pemungutan suara baru. Aku menolak. Aku butuh rekan untuk pegang kekuasaan, tapi aku lebih memilih seseorang yang seperti Jason. Seorang kesatria, bukan juru siasat."

Reyna menunggu. Percy menyadari bahwa Reyna mengirimkan undangan tersirat.

Kerongkongannya menjadi kering. "Oh maksudmu... oh."

"Aku percaya dewa-dewi mengirimmu untuk membantuku," kata Reyna, "aku masih tidak paham dari mana asalmu, sama seperti empat tahun lalu. Tapi menurutku kedatanganmu adalah semacam ganti rugi. Dulu kau menghancurkan rumahku. Sekarang kau dikirim ke sini untuk menyelamatkan rumahku. Aku tidak mendendam padamu gara-gara kejadian masa lalu, Percy."

"Kakakku masih membencimu, tapi Moirae menakdirkanku datang ke sini, ke Perkemahan Jupiter. Ternyata kerjaku di sini bagus. Bekerjasamalah denganku demi masa depan. Hanya itu yang kuminta darimu. Aku berniat menyelamatkan perkemahan ini."

Kedua anjing logam memelototinya, mulut mereka membeku di tengah-tengah geraman. Percy mendapati bahwa lebih sulit bertemu pandang dengan Reyna.

"Dengar, aku bersedia membantu," janji Percy, "tapi aku masih baru di sini. Di sini banyak orang baik yang lebih mengenal perkemahan ini daripada aku. Kalau kami berhasil dalam misi ini, Hazel dan Frank bakal menjadi pahlawan. Kau bisa minta tolong salah satu dari mereka—"

"Kumohon," kata Reyna, "takkan ada yang sudi mengikuti anak Pluto. Ada yang tidak beres soal Hazel... rumor mengenai asal-usulnya tidak cocok. Sedangkan Frank Zhang... dia berhati baik, tapi dia teramat naif dan tidak berpengalaman. Lagi pula, kalau yang lain sampai tahu riwayat keluarganya di perkemahan ini—"

"Riwayat keluarga?"

"Intinya, Percy, kaulah kekuatan sesungguhnya di balik misi ini. Kau seorang veteran yang sudah banyak makan asam garam. Aku sudah melihat apa yang bisa kau lakukan. Putra Neptunus takkan menjadi pilihan pertamaku, tapi kalau kau kembali dengan sukses dari misi ini, legiun mungkin bisa diselamatkan."

"Jabatan Praetor akan menjadi milikmu. Bersama-sama, kau dan aku bisa memperluas kekuasaan Romawi. Kita bisa mengerahkan pasukan dan mencari Pintu Ajal, meluluhlantakkan laskar Gaea sampai ke akar-akarnya. Kau bisa mengandalkanku sebagai seorang teman."

Reyna mengucapkannya seolah kata itu bisa punya beberapa arti, dan Percy dipersilakan memilih salah satu.

Kaki Percy mulai mengetuk-ngetuk lantai, setengah mati ingin kabur. "Reyna... aku merasa terhormat. Sungguh. Tapi aku sudah punya pacar. Dan aku tidak menginginkan kekuasaan, atau jabatan sebagai Praetor."

Percy khawatir kalau-kalau dia membuatnya marah. Namun, Reyna hanya mengangkat alis.

"Laki-laki yang menolak kekuasaan?" kata Reyna, "Sama sekali tidak Romawi. Pikirkan saja. Empat hari lagi, aku harus membuat pilihan. Jika kita ingin menghalau serangan, kita harus memiliki dua Praetor kuat. Aku lebih memilih kau, tapi kalau kau gagal dalam misimu, atau tidak kembali, atau menolak tawaranku...Ya, aku akan bekerja sama dengan Octavian. Aku bermaksud menyelamatkan perkemahan ini, Percy Jackson. Kondisinya lebih parah daripada yang kau sadari."

Percy teringat perkataan Frank mengenai serangan monster yang menjadi semakin sering. "Separah apa?"

Kuku Reyna mengeruk meja. "Senat sekalipun tidak mengetahui kebenaran seutuhnya. Kuminta Octavian agar tak mengungkapkan tengaranya, karena nanti bisa-bisa ada kepanikan massal. Dia melihat pasukan besar tengah berderap ke selatan, anggotanya lebih banyak daripada yang sanggup kita kalahkan. Mereka dipimpin oleh seorang Raksasa—"

"Alcyoneus?"

"Kurasa bukan. Jika dia memang benar-benar tak terkalahkan di Alaska, dia bodoh kalau datang ke sini sendiri. Pasti salah satu saudaranya," jawab Reyna.

"Hebat," kata Percy, "jadi, ada dua Raksasa yang harus kita khawatirkan."

Sang Praetor mengangguk. "Lupa dan para serigalanya berusaha memperlambat mereka, tapi pasukan itu terlalu kuat, bahkan untuk mereka. Musuh akan segera tiba di sini—setidak-tidaknya saat Festival Fortuna."

Percy bergidik. Dia pernah melihat Lupa beraksi. Dia tahu benar tentang sang Dewi Serigala dan kawanannya. Kalau musuh yang satu ini terlalu kuat untuk ditangani Lupa, celakalah Perkemahan Jupiter.

Reyna membaca ekspresi Percy. "Ya, peluang menang kita memang kecil, tapi harapan masih ada. Jika kau berhasil membawa pulang elang kita, jika kau berhasil membebaskan Maut sehingga musuh kita bisa betul-betul dibunuh, maka kita masih punya peluang. Lalu ada satu kemungkinan lainnya..."

Reyna meluncurkan cincin perak ke seberang meja. "Aku tidak bisa memberimu banyak bantuan, tapi perjalanan kalian akan membawa kalian ke dekat Seattle. Aku minta tolong padamu. Mungkin lewat cara itu, kau juga bisa mendapatkan pertolongan. Cari kakakku Hylla."

"Kakakmu... yang benci padaku?"

"Betul." Reyna mengiakan. "Dia pasti ingin sekali membunuhmu. Tapi tunjukkan cincin itu padanya sebagai bukti restuku, dan dia mungkin saja bakal membantumu."

"Mungkin?'"

"Aku tidak bisa bicara mewakilinya. Malahan..." Reyna mengerutkan kening. "Malahan, sudah berminggu-minggu aku tidak bicara padanya. Dia jadi diam saja. Karena kalian akan lewat—"

"Kau ingin aku menengoknya," tebak Percy, "memastikan dia baik-baik saja."

"Ya, sebagian karena itu. Tapi menurutku tidak mungkin Hylla sudah dikalahkan. Kakakku punya pasukan yang kuat. Wilayahnya dijaga ketat. Tapi jika kau bisa menemukannya, dia bisa menawari kalian bantuan berharga, yang akan menentukan apakah kalian bakal sukses atau gagal dalam misi. Dan jika kau memberitahunya apa yang terjadi di sini—"

"Dia mungkin bakal mengirimkan bala bantuan?" tanya Percy.

Reyna tidak menjawab, tapi Percy dapat melihat keputusasaan di matanya. Reyna ketakutan, bersedia menyambar apa saja yang bisa menyelamatkan perkemahan. Tak heran dia menginginkan bantuan Percy. Reyna adalah Praetor satu-satunya. Tugas mempertahankan perkemahan dibebankan ke pundaknya seorang.

Percy mengambil cincin Reyna. "Akan kucari dia. Ke mana aku harus mencari? Pasukan macam apa yang dia punya?"

"Jangan khawatir. Pergi saja ke Seattle. Mereka pasti menemukan kalian."

Kedengarannya tidak menghibur, tapi Percy memasukkan cincin ke kalung kulit yang sudah diganduli manik-manik dan keping probatio. "Doakan semoga aku berhasil."

"Selamat bertarung, Percy Jackson," kata Reyna, "dan terima kasih."

Percy bisa tahu bahwa audiensi sudah berakhir. Reyna tengah kesulitan mempertahankan ketenangannya, meneguhkan citranya sebagai komandan yang penuh percaya diri. Dia perlu waktu sendiri. Namun, di pintu principia, Percy mau tak mau menengok ke belakang. "Bagaimana ceritanya sampai kami menghancurkan rumah kalian—spa yang kalian tinggali?"

Kedua greyhound logam menggeram. Reyna menjentikkan jari untuk membungkam mereka.

"Kalian menghancurkan kekuatan nyonya kami," kata Reyna, "kalian membebaskan sejumlah tawanan yang kemudian membalas dendam terhadap kami semua yang tinggal di pulau. Kakakku dan aku ya, kami selamat. Berat sekali. Tapi pada akhirnya, kurasa memang lebih baik kami jauh-jauh dari tempat itu."

"Tetap saja, aku minta maaf," kata Percy, "kalau aku menyakitimu, maafkan aku."

Reyna menatap Percy lama sekali, seolah-olah sedang mencoba menerjemahkan kata-katanya. "Permohonan maaf? Sama sekali tidak seperti orang Romawi, Percy Jackson. Kau pasti bakal menjadi Praetor yang menarik. Kuharap kau mau mempertimbangkan tawaranku."

Percy merasa tatapan Reyna sangat mengintimidasinya, namun dalam pengertian yang berbeda.

"Sepertinya aku terlalu cepat mengambil keputusan," ujar gadis itu.

Bersamaan dengan itu ekspresi Reyna seketika melembut, dia kemudian tersenyum pada Percy.

"Tentang?" tanya Percy.

"Masih cukup waktu sebelum kau memulai perjalananmu. Aku rasa ada sesuatu yang bisa kuberikan padamu," ujar Reyna lagi.

Percy ingin bertanya apa itu. Namun dia tak mampu melakukannya karena saat itu Reyna berjalan mendekati dia, tangannya bergerak cepat melucuti jubah ungu yang langsung jatuh ke lantai.

Setelah kini Reyna berdiri di depannya, Percy harus mengakui bahwa gadis ini memang cantik, dan sekilas mengingatkannya pada Annabeth. Keduanya memiliki sifat keras dan tegas, namun Reyna lebih memancarkan kesan tangguh, walau tak menghilangkan pesona sang gadis sebagai remaja.

Tak hanya cantik, pikir Percy, namun juga seksi. Dia bisa melihat bagaimana sepasang payudara Reyna membusung indah dengan belahan dada yang sangat menggoda.

Percy taju Reyna sadar dia sedang menikmati tubuh sang gadis. Tapi sepertinya sang Praetor tak keberatan.

"Aurum, Argentum, tolong jaga di luar. Pastikan tak ada yang masuk sampai kami selesai," perintah Reyna.

"A-apa yang akan kita lakukan?" tanya Percy gugup.

Reyna menjawab dengan senyuman, bersamaan Aurum dan Argentum melangkah keluar. Satu jentikan jari dari Reyna, pintu principia menutup, dan terkunci dengan suara klik.

"Uummm... Reyna?"

"Ikut saja Percy," potong Putri Bellona itu menarik tangan Percy menuju meja pertemuan lalu memintanya tak bergerak.

Reyna lalu berlutut di depan Percy, tangannya meraih pinggang celananya, hendak menariknya turun. Dia paham apa yang akan terjadi. "Reyna. Aku tak yakin kita..."

"Diam saja Putra Poseidon," potong Reyna dan Percy mematuhinya.

Tak pernah dia bermimpi atau bahkan sekedar membayangkan akan melihat dan mengalami hal seperti ini. Reyna, Sang Praetor, dengan penuh birahi menggenggam kontolnya, lalu menjilati, dan menghisapnya dengan buas.

"Kau menikmatinya?" tanya Reyna di sela-sela hisapan mulutnya.

Percy menjawab dengan erangan, menunduk menatap Reyna yang kembali menghisap kontolnya. Akhirnya dia tak tahan lagi, meraih lengan atas Reyna dan menariknya berdiri, dan wajahnya maju dengan cepat untuk mencium bibir Sang Praetor. Namun Reyna bergerak lebih cepat dan menghentikan Percy dengan menahan dadanya.

"Sabar sayang," ujar Reyna.

Gadis itu kemudian mengajak Percy ke sebuah kursi dan memintanya duduk di sana. Dia lalu melangkah mundur tanpa melepaskan tatapannya dari sang pemuda sembari terus tersenyum menggoda.

Segera setelah Reyna berhenti, dia langsung melakukan aksinya, melucuti seluruh pakaiannya dalam gerak tari yang sangat erotis hingga membuat Percy ternganga saat tubuh Reyna akhirnya terpampang tanpa penutup apapun di hadapannya.

Percy tak ingat apakah ini pertama kalinya dia melihat seorang gadis bugil, sejujurnya dia tak peduli, terlalu terpesona dengan keindahan tubuh Reyna.

Jika beberapa menit lalu dia tak mampu memalingkan mata melihat siluet busungan sepasang payudara Reyna, maka apa yang dilihatnya sekarang jauh lebih menggoda. Membukit sempurna dengan sepasang puting coklat kemerahan yang mencuat sedikit ke atas.

Turun ke bawah, perut. Reyna telihat rata dengan otot perut sebagai hasil latihan serta pertempuran yang pernah dialaminya. Namun itu tak seberapa dibanding apa yang ada di bawahnya. Pusat kewanitaan serta kenikmatan dari Sang Putri Bellona.

Mulus menggoda dengan rambut tipis yang tercukur rapi membentuk segitiga. Belahan kemaluan Reyna membelah namun tampak rapat dengan daging kemerahan tampak menonjol di ujung memeknya itu.

Meski tubuh Reyna dihiasi banyak bekas luka, namun semua itu tak mengurangi keseksian dan kemontokannya.

"Kau menyukainya?" tanya Reyna menggoda usai berputar memamerkan tubuhnya.

"Sangat," jawab Percy tercekat.

"Duduk saja Percy. Kau hanya perlu menikmati 'traktiran'ku," ujar Reyna menahan Percy yang hendak berdiri.

Reyna lalu berjalan mendekati Percy, melangkah seksi bagai peragawati profesional. Dia tertawa kecik menyaksikan bagaimana Sang Putra Poseidon di depannya dengan tergesa-gesa melepaskan kaus yang dikenakannya hingga pemuda itu bugil sepertinya.

Reyna langsung berdiri mengangkangi pangkuan Percy, kedua tangannya kemudian berpegangan pada pundak pemuda itu. Percy sendiri menyambut Sang Gadis dengan memegangi kedua sisi pinggulnya.

"Boleh aku bertanya?" tanya Percy, mendongak menatap Reyna.

"Kau baru saja melakukannya. Tapi lanjutkan," jawab Reyna.

"Apa ini yang pertama bagimu?"

"Apa itu penting?" Reyna balik bertanya.

"Tidak juga. Hanya ingin tahu saja," kata Percy.

Reyna mengakui bahwa baginya ini adalah yang pertama. Dia menatap Percy yang ekspresinya berubah ragu dan segera mengerti apa yang dikhawatirkan sang pemuda.

"Kau memang menjadi yang pertama bagiku Percy Jackson, tapi aku tak keberatan. Aku memang menginginkan kau menjadi yang pertama," tegasnya meyakinkan.

Kata-kata Reyna tak menghilangkan keraguan Percy. Dia mungkin hilang ingatan, tapi setidaknya dia cukup paham bahwa seorang gadis pastilah mengingankan seks pertama mereka dilakukan bersama orang yang sangat spesial bagi mereka.

Apakah dia orang spesial Reyna? Kalaupun benar, rasanya tetap salah karena baginya Reyna hanya seorang rekan. Tapi siapalah dia menolak keinginan Reyna, jika dia juga menginginkan gadis ini.

Maka Percy diam saja saat Reyna meraih batang kontolnya agar tegak berdiri lalu mulai bergerak turun.

Slepp... blesss... melesaklah kontol Percy diiringi erangan Reyna.

Belum sepenuhnya. Percy bisa merasakan dinding vagina Reyna berkontraksi dan menahan kontolnya agar tak semakin dalam.

Reyna sendiri berhenti turun dan bergeming, berusaha membiasakan diri. Tak lama dia bergerak naik dan melepaskan kontol Percy dari jepitan vaginanya. Dia lalu kembali turun dan melesakkan batang perkasa itu kembali, namun masih tertahan.

Percy setengah sadar berhitung, empat kali sudah Reyna melakukan gerakan yang sama, tiap kali kontolnya melesak kian dalam.

Reyna mencoba untuk kelima kalinya, kali ini dia langsung melepaskan genggaman pada kontol Percy begitu ujungnya masuk. Tangan Reyna lalu kembali memegangi pundak pemuda itu, sedikit mencengkeramnya.

Masih tertahan. Namun Reyna tak menyerah, bergeming sesaat mengatur nafas, gadis itu paksa mendorong ke bawah sembari mengerang. Berhasil, kini kontol Percy bersarang penuh dalam vaginanya.

"Sakitkah?" tanya Percy khawatir.

Reyna menggeleng, "hanya sedikit kurang nyaman. Tapi aku akan terbiasa."

Percy menarik Reyna dalam pelukan erat. Gadis itu menyambut dengan melingkarkan tangan ke belakang leher Sang Pemuda, segera setelahnya keduanya saling berbagutan bibir dengan penuh birahi.

Menit-menit berlalu. Di atas pangkuan Percy, menjadikan kontol sang pemuda sebagai pusat, Reyna terus bergerak naik-turun. Tak jarang dia memadukan gerakan dengan memutar-mutar pinggul dan pantatnya, yang membuat Percy blingsatan.

Percy sendiri tak ingin hanya bersikap pasif. Penuh nafsu bibir, mulut, dan lidahnya menyerang bibir, leher, serta payudara Reyna, dalam jilatan dan pagutan. Reyna menyambut rangsangan itu dengan melenguh penuh kenikmatan.

Setengah jam telah berlalu. Reyna tiba-tiba memeluk leher Percy erat. Dia tak lagi bergerak naik-turun, mengganti dengan bergerak maju-mundur pada kontol Percy, lalu berbisik, "Percy... sepertinya aku akan keluar."

"Keluarkan saja," balas Percy berbisik.

"A-aahhh... aaahhh... Ohh Gods... Percy... uuugghhh..."

Reyna bergerak kian cepat, dibantu Percy yang menggoyangkan pantatnya dengan kedua tangan sembari meremas. Erangan gadis itu pun dengan cepat berganti jeritan penuh nikmat seiring desakan yang kian tak tertahankan dari bawah perutnya.

Percy hanya berharap, semoga saja tak ada yang melintas di luar dan mendengar jeritan Reyna. Apalagi baru saja dia mengkhawatirkan hal itu, Reyna tiba-tiba saja menjerit lebih keras memanggil namanya. Bersamaan, gadis itu memeluk dia lebih erat, tubuhnya menyentak-nyentak hebat sebelum bergeming dengan tegang.

Percy ikut bergeming, memberikan kesempatan bagi Reyna untuk menuntaskan orgasmenya. Beberapa waktu kemudian dia dengan mesra membelai punggung hingga pantat sang gadis.

"Geli..." ujar Reyna melepas pelukannya pada Percy lalu menatap pemuda itu sambil tersenyum.

"Kurasa yang satu itu traktiranku," goda Percy.

Reyna tertawa renyah dan mau tak mau mengakui itu. Tapi masih cukup waktu baginya memuaskan pemuda ini.

"Lalu? Apa yang akan kau lakukan untuk menagihku, Percy?" tantang Reyna.

Percy meminta Reyna bangun yang segera dipatuhi gadis itu. "Berbaliklah," perintah dia lagi.

Bagi Reyna ini memang pengalaman pertamanya berhubungan seks, namun dia lama menjadi pengikut Circe dan pernah diam-diam memperhatikan bagaimana pelayan-pelayan di sana 'memuaskan' para korban sebelum Circe mengutuk mereka. Jadi dia paham apa yang diinginkan Percy. Maka tanpa Percy meminta, dia bergerak mundur, kembali mengangkangi pangkuannya, dan meraih kontol sang pemuda.

Blesshh..melesaklah kontol itu dalam vaginanya. Jauh lebih mudah dan tanpa kendala. Bergeming sesaat, dia pun mulai memompa kembali diiringi erangan nikmat.

Setelah beberapa waktu, Reyna menyadari bahwa posisi bercinta ini sangat menguntungkan Percy dan memberikan peluang bagi pemuda itu untuk lebih jauh menyiksanya dalam rangsangan nikmat.

Dari arah belakang, Percy terus menghujami punggung serta pundaknya dengan jilatan lidah serta hisapan mulut, tangan kirinya meremas payudara serta memilin putingnya dengan gemas, sedang yang kanan turun ke bawah menyasar pada memeknya, dan mempermainkan klitorisnya.

Dengan rangsangan bertubi-tubi itu, Reyna pun kembali harus mengakui kekalahan saat orgasme melandanya lagi. Jauh lebih dahsyat dari sebelumnya.

Tak pernah Reyna akan mengira Percy akan seperkasa ini, rupanya dia terlalu menyepelekan sang pemuda, mengira akan mampu membuatnya dengan cepat mengalami orgasme.

Bahkan meski setelah mereka berganti posisi dan Percy memompa vaginanya dari belakang, saat dia membungkuk di atas meja, Sang Putra Poseidon belum menunjukkan tanda-tanda akan mengalami puncak. Sebaliknya dia malah kembali orgasme untuk ketiga kalinya.

Setengah jam kembali berlalu setelah Percy memintanya naik ke atas meja lalu kembali menyodok vaginanya sembari menindih tubuhnya. Dalam cumbuan dan pagutan bibir serta mulut sang pemuda pada bibirnya sendiri, Reyna lagi-lagi mengalami orgasme. Kali ini mungkin untuk yang terakhir dalam pergumulan penuh birahi itu.

"Reyna... aku akan keluar..." erang Percy memperingatkan dalam bisikan.

"Jangan di dalam Percy," balas Reyna.

Walau dia menginginkan benih Percy dalam dirinya, namun Reyna tau jika benih itu sampai berbuah hanya akan menyebabkan kesulitan bagi mereka. Mungkin dia akan memutuskan berbeda andai keadaan menjadi damai, andai Percy masih menginginkan dia.

Merasakan desakan hebat, Percy bangkit menegakkan tubuh, tangannya berpegangan pada lutut Reyna, dan semakin mempercepat sodokannya sebelum dengan tiba-tiba mencabut kontolnya dari vagina sang gadis.

Tau apa yang akan terjadi, Reyna bergerak nyaris bersamaan dengan Percy yang kemudian berdiri sembari mengocok cepat kontolnya yang berkilat licin. Dengan cepat, dia mengambil alih kontol pemuda itu ke dalam genggamannya sendiri, wajahnya kemudian maju, dan mulutnya membuka untuk menyambut ledakan sperma Percy.

Croot... croot... croot..!!

Tiga kali sperma Percy memancar dahsyat, membasahi wajah hingga menetes ke payudara Reyna, sebelum dia melahap kontol sang pemuda, dan menerima sisa pancaran sperma itu dalam mulutnya.

Satu lagi yang Reyna tak pernah duga sebelumnya, sperma Percy beraroma seperti laut, meski begitu terasa manis di lidahnya, hingga gadis itu tak ragu untuk menelan seluruh sisa pancaran yang keluar.​

***End***​
 
Anjirr bang sumpah keren kalo bisa nnt annabeth treesome ama emak ya dewi athena dan preety

Ah sebenarnya banyak adegan bagus yang bisa di ambil adegan sex seperty saat (kl kaga salah udah lama banget baca) percy dan juga nico bertemu ama dewi api unggun dan saat perjumpàn istri dewa pengirim ibu dari si semi antagonis yang di pengaruhi ama cronos

Ato saat jumpa dewi buan dan anak anak dari ares
 
Anjirr bang sumpah keren kalo bisa nnt annabeth treesome ama emak ya dewi athena dan preety

Ah sebenarnya banyak adegan bagus yang bisa di ambil adegan sex seperty saat (kl kaga salah udah lama banget baca) percy dan juga nico bertemu ama dewi api unggun dan saat perjumpàn istri dewa pengirim ibu dari si semi antagonis yang di pengaruhi ama cronos

Ato saat jumpa dewi buan dan anak anak dari ares
Hestia ya? Waktu percy mo nyemplung ke stinx.
Boljug idenya. Ditampung dah
 
Bagian 3, dari novel The Heroes of Olympus: The Mark of Athena

Meski merupakan bagian 3 dari 5 bagian, pada kenyataannya cerita ini adalah fanfiksi yang paling pertama Mbah buat. Walau Mbah pribadi kurang puas dengan hasilnya, Mbah pikir masih lumayan untuk menambah koleksi cerita di semprot.
Mbah harap cucu2 bisa enjoy meski dengan segala keterbatasan cerita ini.

Btw. Mbah males neh cari sinopsis. Yang penasaran baca novel aslinya pm aja ya. Ntar mbah kasih lengkap dan GRATIS.

SUARA seorang gadis berbisik, "Percy."

Pada mulanya, Percy kira dia masih tidur. Ketika dia hilang ingatan, berminggu-minggu dia memimpikan Annabeth, satu-satunya orang yang Percy ingat dari masa lalunya. Saat matanya terbuka dan penglihatannya jadi jernih, Percy sadar bahwa Annabeth benar-benar berada di sana.

Annabeh sedang berdiri di samping tempat tidur Percy. tersenyum kepadanya.

Rambut pirang Annabeth tergerai ke bahu. Matanya yang sekelabu badai berbinar-binar cerah karena geli. Percy teringat hari pertamanya di Perkemahan Blasteran, lima tahun lalu, ketika dia siuman dan mendapati Annabeth tengah berdiri menjulang di dekatnya. Kata Annabeth waktu itu, Kau ngiler kalau lagi tidur.

"A–apa yang terjadi?" tanya Percy. "Apa kita sudah sampai?"

"Belum," jawab Annabeth dengan suara pelan. "Masih tengah malam."

"Maksudmu..."

Jantung Percy mulai berdebar-debar kencang. Dia sadar dirinya masih berpiyama, di tempat tidur. Mungkin dia mengiler, atau paling tidak mengeluarkan suara-suara aneh saat sedang bermimpi. Tak diragukan lagi bahwa rambutnya berantakan dan bau napasnya tak sedap. "Kau menyelinap masuk ke kabinku?"

Annabeth memutar matanya. "Percy, dua bulan lagi kau tujuh belas tahun. Kau tak mungkin serius tentang khawatir terkena masalah dengan Pelatih Hedge."

"Uh, sudahkah kau lihat pemukul bisbolnya?"

"Lagi pula, Otak Ganggang, aku hanya berpikir kita bisa jalan-jalam. Kita belum punya waktu untuk berduaan saja. Aku ingin memperlihatkan sesuatu, tempat favoritku di kapal."

Jantung Percy masih berpacu, tapi bukan karena takut kena marah. "Boleh aku, kau tahu, sikat gigi dulu?"

"Sebaiknya," kata Annabeth. "Aku tidak mau menciummu sampai kau melakukannya. Dan sekalian sisir rambutmu."

Sangat besar untuk sebuah trireme–kapal layar bertiang tiga, seperti bangunan asrama di Akademi Yancy, atau sekolah asrama lainnya yang pernah mengeluarkan Percy. Annabeth dan Percy mengendap-endap ke geladak kedua. Kecuali ruang kesehatan, Percy belum pernah menjelajah ke sana.

Annabeth membimbing Percy melewati ruang mesin, yang penampakannya mirip panjat-panjatan mekanis yang sangat berbahaya: pipa, piston, dan tabung yang mencuat dari bulatan perunggu sentral. Kabel-kabel yang menyerupai mie logam raksasa mengular di lantai dan dinding.

"Kok bisa-bisanya benda ini berfungsi?" tanya Percy.

"Entahlah," kata Annabeth, "dan selain Leo, cuma aku yang bisa mengoperasikan kapal ini."

"Itu menenangkan."

"Seharusnya sih aman. Kapal ini hanya hampir meledak sekali."

"Kuharap kau bercanda."

Annabeth tersenyum. "Ayo."

Mereka berjalan melewati ruang perbekalan dan gudang senjata. Mendekati buritan kapal, mereka tiba di depan pintu ganda yang terbuka ke sebuah istal besar. Ruangan itu berbau jerami segar dan selimut wol. Di sebelah kiri terdapat tiga bilik kosong, seperti yang dipakai kandang pegasus di perkemahan. Di kanan terdapat dua kandang kosong yang dapat memuat hewan kebun binatang berukuran besar.

Di tengah-tengah lantai ada panel tembus pandang seluas hampir dua meter persegi. Jauh di bawah, panorama malam melesat lewat, bermil-mil pedesaan gelap yang diselang-selingi jalan raya terang benderang bagaikan sarang laba-laba.
"Kapal berdasar kaca?" tanya Percy.

Annabeth menyambar selimut dari pagar bilik terdekat dan menghamparkannya menutupi sebagian lantai kaca. "Duduklah bersamaku."

Mereka bersantai di selimut seperti sedang piknik, dan menyaksikan dunia yang berlalu di bawah.

"Leo membuat istal supaya pegasus bisa datang dan pergi dengan mudah," kata Annabeth, "hanya saja Leo tidak tahu bahwa pegasus lebih suka berkeliaran dengan bebas. Jadi, istal ini selalu kosong."

Percy bertanya-tanya sedang di mana Blackjack sekarang—mengarungi angkasa entah di mana, mudah-mudahan sambil mengikuti jejak mereka. Kepala Percy masih berdenyut-denyut karena ditendang Blackjack, tapi dia tidak dendam pada kuda itu.

"Apa maksudmu, datang dan pergi dengan mudah?" tanya Percy, "bukankah pegasus harus turun tangga dua tingkat?"

Annabeth mengetukkan buku-buku jarinya ke kaca. "Ini pintu tingkap, seperti di pesawat pembom."

Percy menelan ludah. "Maksudmu kita sedang menduduki pintu? Bagaimana kalau pintunya terbuka?"

"Kuduga kita bakal jatuh menyongsong maut. Tetapi pintu ini takkan terbuka secara tak sengaja. Kemungkinan besar."

"Hebat."

Annabeth tertawa. "Kau tahu apa sebabnya aku suka di sini? Bukan cuma karena pemandangannya. Tempat ini mengingatkanmu pada apa?"

Percy melihat sekeliling. Kandang dan istal, lampu perunggu langit tergantung di kasau, bau jerami, serta tentu saja Annabeth yang duduk dekat dengannya. Wajahnya cantik dalam diterangi cahaya lembut keemasan.

“Truk kebun binatang itu,” jawab Percy. "Yang membawa kita ke Vegas."

Senyum Annabeth membenarkan tebakannya.

“Sudah lama sekali,” ujar Percy. “Kondisi kita buruk, berjuang melintasi negeri untuk mencari petir bodoh itu, terjebak dalam truk berisi hewan-hewan yang mendapat perlakuan salah. Bagaimana hal itu membuatmu bernostalgia?"

“Karena Otak Ganggang, itu pertama kalinya kita benar-benar mengobrol. Aku bercerita tentang keluargaku, dan..."

Gadis itu mengeluarkan kalung perkemahannya, tergantung pada kalung itu cincin ayahnya dan butir keramik aneka warna untuk tiap tahun di Perkemahan Blasteran. Tapi ada benda lainnya, liontin koral merah yang Percy beri di awal kencan mereka, berasal dari istana sang ayah di bawah laut.

"Semua ini mengingatkanku berapa lama kita saling kenal. Bisa kau bayangkan? Saat itu kita baru dua belas tahun."

“Tidak,” Percy mengakui, "jadi... kau menyukaiku sejak saat itu?"

Gadis itu tersenyum. "Awalnya tidak. Kau membuatku terganggu. Tapi aku bertoleransi bertahun-tahun setelahnya. Lalu—"

Annabeth menyondongkan diri dan mencium Percy lalu menarik diri. "Aku merindukanmu Percy."

Percy ingin mengatakan hal yang sama, tapi sepertinya itu tak tepat. Saat dia bersama para Romawi, dia bertahan dengan memikirkan Annabeth. Aku merindukanmu kurang menggambarkan perasaan dia sebenarnya.

Dia tak menyesali saat-saat di Perkemahan Jupiter karena telah membuka matanya akan banyak kemungkinan.

“Annabeth,” ujarnya ragu, “di Roma Baru, para demigod bisa menghabiskan sisa hidup mereka dalam damai."

Ekspresi Annabeth berubah waspada. "Reyna telah menjelaskan padaku. Tapi Percy, kau berasal dari Kemah Blasteran. Kehidupanmu yang itu—"

“Aku tahu," potong Percy. “Tapi saat aku disana, aku melihat banyak demigod hidup tanpa rasa takut. Mereka bisa kuliah, pasangan yang menikah dan membesarkan keluarga. Kemah Blasteran tak punya hal itu. Aku terus memikirkan tentang kita... dan mungkin suatu hari saat perang ini berakhir..."

Sulit melihatnya dalam cahaya ini, tapi dia pikir Annabeth merona. "Oh,” ujarnya.

Percy khawatir dia bicara terlalu banyak. Mungkin dia membuat gadis itu takut dengan mimpi besarnya tentang masa depan. Diam-diam, Percy mengutuk diri sendiri. Dia khawatir melakukan kesalahan yang merusak hubungan mereka.

“Maaf," mohon dia. "Aku hanya... aku harus tetap memikirkan itu agar bisa terus maju. Untuk memberiku harapan. Lupakan saja kata-kataku."

“Tidak," kata Annabeth. “Tidak Percy. Demi Para Dewa, itu sangat manis. Hanya saja... kita mungkin telah menghancurkan kemungkinan itu. Aku tak tau apa itu mungkin."

Percy tak mau berdebat, tapi dia juga tidak mau melepas harapan itu. Hal itu terasa sangat penting—bukan hanya demi keduanya, melainkan juga untuk demigod lainnya. Bukan hal mustahil dua dunia itu bisa hidup berdampingan.

Annabeth tersenyum kecil dan menciumnya lagi. "Kita pikirkan nanti. Aku telah mendapatkanmu kembali. Untuk sekarang, itu yang terpenting."

"Peluk aku," mintanya.

Mereka lalu merapatkan diri, menikmati kehangatan tubuh masing-masing.

"Percy," panggil Annabeth lirih.

"Hemmhh..."

"Semua yang kau katakan tadi?"

"Bukan kau bilang kita akan bicarakan lagi nanti?" potong Percy.

"Bukan itu... maksudku... apa kau sungguh-sungguh?" tanya Annabeth, "yang ingin kutanyakan, apa kau benar-benar ingin membangun keluarga bersamaku?"

Percy melepas pelukannya untuk menatap wajah Annabeth yang merona lalu menunduk malu. "Tentu saja," tegasnya.

Annabeth semakin menunduk, suaranya kian lirih. "Aku mengerti jika segala sesuatunya berakhir, perang ini, kau lebih memilih demigod lainnya. Maksudku banyak yang lebih baik dariku, lebih cantik dan seksi."

"Memang," jawab Percy.

Annabeth merasakan sakit di dadanya, hanya sesaat, karena Percy kemudian mengangkat dagunya dan menatap langsung matanya lalu berujar, "tapi aku hanya menginginkan kamu."

Tidak bisa Annabeth gambarkan keharuan dan kebahagiaannya mendengar kata-kata itu. Tanpa dia sadari, air mata mengalir dari kedua mata kelabunya.

"Aku mencintaimu Annabeth."

Annabeth tersenyum. Dia nikmati sentuhan jari Percy yang menghapus air matanya. Wajah pemuda itu kemudian mendekat dan Annabeth pun memejamkan matanya saat bibir mereka kembali bertemu.

Ada yang berbeda pada ciuman kali ini. Sesuatu yang membuat jantung keduanya berdebar lebih cepat dan darah berdesir saat mereka menumpahkan segala kerinduan. Begitu dalam dan menggairahkan.

Ciuman yang semula terasa manis dan lembut itu dengan cepat berganti pagutan-pagutan panas. Bibir Percy meremas milik Annabeth dan gadis itu membalasnya. Tak lama lidah mereka bertemu, berusaha saling mengait dan menghisap.

"Oohh, Percy..." desah Annabeth.

Dia dan Percy sering bercumbu, namun tak pernah sejauh ini. Untuk pertama kalinya, ciuman dan pagutan pemuda itu turun ke bawah, menyasar ke lehernya. Annabeth tidak sedikit pun berniat menghentikan kekasihnya. Dia sangat menikmati rasa geli yang membuat rambut halus di sekujur tubuhnya berdiri meremang.

"Aaww..."

Percy melepas pagutan di lehernya dalam satu hisapan keras, membuat Annabeth menjerit pelan. Bukan karena sakit, justru sebaliknya.

Tak perlu menjadi putri Anthena atau gadis terpintar di kemah untuk mengetahui apa yang Percy pikirkan atau inginkan, terbaca dalam tatapannya dan tergambar jelas saat sang kekasih berlutut lalu tangannya yang mulai melucuti kemeja piyamanya sendiri hingga kini pemuda itu bertelanjang dada di depan Annabeth.

Bukan itu yang membuat Annabeth terkesima. Ini bukan kali pertama Annabeth melihat Percy tanpa kaus atau apapun menutupi tubuh atasnya yang berotot, hasil latihannya selama di kemah serta berbagai pertempuran melawan monster. Meski dia akui pemuda itu tampak lebih kekar dibanding sewaktu terakhir kali dia melihatnya sebelum menghilang selama beberapa bulan.

Yang membuat Annabeth terpana adalah apa yang ada di bawah perut berotot Percy, tonjolan keras besar yang membayang di balik celana panjang piyamanya. "Demi Dewa-dewi Olimpus," bisiknya tercekat, nyaris tak terdengar, menyadari Percy tak mengenakan dalaman.

Apa yang dia lihat membuat Annabeth seakan terhipnotis, tak mampu bergerak saat kedua tangan Percy terulur padanya, mengarah pada piyamanya untuk melepaskan kancing-kancingnya.

"Bolehkah?" tanya Percy memohon.

Annabeth tak menjawab dan kancing teratasnya pun lepas. Percy lalu menuju yang berikutnya, namun Annabeth menahan tangannya. "Percy," bisiknya lirih, ada keraguan dan ketakutan dalam suaranya.

"Please Annabeth," kembali Percy meminta. "Aku ingin memiliki kamu seandainya ini adalah malam terakhir kita bersama."

"Jangan katakan itu," desis Annabeth marah. "Jangan pernah mengatakan itu lagi. Berjanjilah. Kita pasti bisa melalui ini."

"Maaf. Aku janji tak akan mengatakanya lagi. Hanya saja aku tak tau apa yang akan terjadi esok."

Annabeth sangat memahami apa maksud Percy. Dia pun memikirkan hal yang sama, mengkhawatirkan apa yang pemuda itu takuti. Pegangannya mengendur tak lagi menahan Percy, dan membiarkannya kembali melepas kancing-kancingnya hingga yang paling terakhir.

"Kau indah sekali Annabeth," puji Percy tercekat.

Annabeth tersipu dan kembali menunduk malu. Kedua bukitnya yang membusung kini terbuka untuk Percy pandangi, tak ada lagi yang menghalangi karena dia memang tak mengenakan apa-apa lagi di balik piyamanya, yang kemudian pemuda itu loloskan dari tubuhnya melalui kedua lengannya.

Jantung Annabeth berdebar semakin cepat ketika tangan Percy yang gemetar tak lama menyentuh payudara kirinya. Hanya sentuhan kecil yang lembut, namun seketika seluruh syarafnya seakan bereaksi oleh rasa geli tapi nikmat yang membuat tubuhnya bergetar pelan. "Aa-aahhh..." desahnya tanpa sadar.

Desahan itu mengagetkan Percy yang refleks menarik tangannya. "Maaf. Apa aku menyakiti kamu?" tanya dia khawatir.

"Tidak. Tak apa-apa. Aku cuma merasa geli. Kamu boleh menyentuhku lagi," jawab Annabeth malu-malu, tak percaya dia baru saja meminta Percy kembali menyentuhnya.

Terlambat untuk menarik kata-katanya lagi karena Percy menuruti permintaannya dan kembali menyentuhnya, kali ini kedua sisi payudaranya. Annabeth pun kembali mendesah.

"Oohhh Percy... geli."

Tak hanya menyentuh, Percy kini meremas, merasakan kekenyalan payudaranya. Jemarinya pun bermain, membelai puting kecilnya dan tak lama memilin pelan.

"Percy. Kamu mau apa?" tanya Annabeth melihat pemuda itu menunduk, wajahnya maju mendekati payudaranya.

Nyaris saja dia menjerit oleh rasa nikmat saat Percy kemudian melahap salah satu bukitnya dalam hisapan. Tubuh Annabeth bergelinjang otomatis, melayang oleh sensasi yang dirasakannya, hingga tak terlalu menyadari Percy telah membaringkannya terlentang di lantai.

Selama beberapa waktu, Percy terus menyerangnya dengan rangsangan kenikmatan. Mengulum payudaranya bergantian, sedang tangan dan jemarinya memainkan sisi yang bebas dari mulut pemuda itu, meremas busungan dada serta memilin putingnya.

Tak hanya mengulum, lidah Percy pun ikut aktif membasahi payudaranya dengan liur, yang kemudian turun hingga ke perut bagian bawahnya. Annabeth pun kian terengah-engah sampai akhirnya Percy berhenti.

Sayu, mata Annabeth menatap Percy. Memandang pemuda itu yang kemudian meraih pinggang celana panjang piyamanya. Kedua tangannya memegangi tangan kekasihnya itu, namun dia tak menahan ketika Percy menarik turun pelindung tubuh bagian bawahnya, meloloskannya melalui sepasang kakinya.

"Burung hantu?" goda Percy melihat celana dalam (cd) mungilnya yang bergambar simbol ibunya, Athena.

"Kau bermasalah dengan itu," Annabeth cemberut.

Percy tersenyum. "Tidak. Tapi aku lebih suka jika kau tak memakai apa-apa."

Annabeth tersipu.

Tangan Percy kembali terulur, kali ini untuk melepaskan cd yang Annabeth pakai. Lagi-lagi dia tak menahan. Seperti sebelumnya membantu pemuda itu dengan mengangkat pantatnya sedikit dan dia pun sepenuhnya bugil untuk Percy.

Naluriah Annabeth menutupi kemaluannya dengan kedua telapak tangan, malu dengan kerimbunan pusat kewanitaannya. Menjadi seorang demigod yang hampir selalu bertarung melawan monster serta berjuang untuk bertahan hidup, dia memang tak pernah menyisihkan waktu untuk merawat diri sebagai seorang wanita.
Annabeth sedikit menyesal. Andai dia tau malam ini Percy akan melihat dirinya 'apa adanya', minimal dia bisa mencukur atau merapikan rambut kemaluannya itu.

Percy tersenyum. Dia bisa membaca apa yang Annabeth pikirkan. Perlahan dan lembut dia kemudian menyampingkan tangan gadis itu, berbisik bahwa kekasihnya itu tak perlu merasa malu karena baginya Annabeth begitu sempurna. Bahkan jikalau tidak, dia tetap menginginkannya.

"Lihat kan. Kamu tetap indah. Aku menyukainya," puji Percy.

Tangan pemuda itu lalu menyentuh Annabeth, membelai rambut kemaluan, menyusuri belahan memek sang gadis dari arah pantat ke depan. Percy berhenti pada tonjolan daging yang mencuat, menekannya pelan dan memutar-mutar jemarinya disana.

"Aakkhh Percy..." erang Annabeth dengan tubuh tersentak.

"Maaf. Aku menyakiti kamu?" Percy bertanya, khawatir.

Annabeth mungkin tak tau dan Percy berharap gadis itu tidak akan pernah tau bahwa bagi pemuda itu, sang kekasih bukanlah yang pertama. Namun sejauh ini dia selalu menjadi pihak yang pasif, jadi dia tetap merasa amatir dalam hal seks, tak mengerti apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh.

"Tidak. Hanya geli," jelas Annabeth lalu melanjutan malu-malu kalau dia menyukainya.

"Aku lanjutin ya?"

Menit demi menit berlalu saat Percy terus memainkan kemaluan basah Annabeth yang tak lepas memandangnya dengan mata sayu, mulut gadis itu sedikit membuka, mengerang dan mendesis terengah-engah.

"Percy... hahhh... hhaahh... aku merasa aneh... oohhh..."

Mungkinkah Annabeth akan menyampai puncak? Percy tak tau hal itu bisa terjadi tanpa dia melakukan penetrasi. "Apa yang harus ku lakukan? Haruskah aku berhenti?" tanya dia.

"Jangan..." bisik Annabeth, "terusin...gerakin jari kamu lebih cepat."

Dan Percy melakukannya hingga...

"Demi Aphrodite... aaaggghhh..."

Annabeth tiba-tiba menjerit (semoga tak ada yang mendengar). Tubuhnya berkali-kali menyentak hebat, seakan-akan ada aliran listrik yang menyetrumnya. Tak lama gadis itu menegang, kaku melenting dengan mata membelalak dan mulut terbuka, sebelum akhirnya kembali berbaring lemas.

Percy telah menarik tangannya dan kini dengan sabar menunggu Annabeth yang terengah-engah dengan mata terpejam. Seiring waktu, nafas gadis itu mulai normal, dan matanya pun membuka.

"Apa kamu baru orgasme?" goda Percy, "enak?"

"Diam Otak Ganggang," sembur Annabeth merona malu.

Percy tertawa kecil, yang membuat Annabeth cemberut manja. Pemuda itu mengacuhkannya, lalu berdiri di hadapan sang kekasih. "Aku buka ya?"

Itu bukan pertanyaan, lebih pada pernyataan karena tanpa menunggu jawaban Percy meraih pinggang celananya lalu menariknya turun terlepas jatuh ke lantai. kontol kerasnya yang perkasa menggantung bebas dalam tatapan Annabeth yang membelalak.

Selain dalam ilustrasi buku-buka dan patung-patung seni, Annabeth belum pernah melihat kejantanan lelaki manapun. Dia juga awam tentang bagaimana normalnya ukuran kontol lelaki saat mengalami ereksi. Tapi satu hal yang pasti, milik Percy itu tampak sangat besar.

'Demi Cupid, apakah benda itu muat dalam liang kecilnya? Bagaimanakah rasanya?', tanya dia membatin.

Sepertinya Annabeth tak perlu menunggu lama untuk mencari tau karena setelahnya Percy kembali berlutut di depannya, memposisikan diri di antara pahanya, yang pemuda itu kangkangkan dengan kaki menyiku. Jantungnya yang sempat berdetak normal seketika kembali berpacu cepat.

Percy kemudian menggenggam batangnya dengan erat, membantu mengarahkan ujungnya menuju kemaluan Annabeth.

"Tu-tunggu..." Annabeth bangkit duduk dengan cepat, tangan kanannya bereaksi menggenggam batang Percy sedang yang kiri menahan dadanya agar tak semakin maju.

Demi Dewa-dewi, Annabeth belum siap. Dia merasa takut dan khawatir. "Aa-aku butuh waktu sebentar."

Annabeth kemudian berusaha menenangkan dirinya, menyoba menepis ketakutan dan kekhawatirannya. Dia lalu menatap mata Percy yang dengan sabar menunggu, penuh pengharapan.
Mana mungkin dia bisa mengecewakan pemuda yang sangat dicintainya itu, maka dia menguatkan diri. Satu tarikan nafas panjang, dia melepaskan kontol Percy dan kembali berbaring. "Kau boleh melanjutkan," ujarnya.

Percy tau Annabeth belum sepenuhnya siap, terlihat dari ekspresi dan tubuhnya yang tegang. Tapi sulit baginya untuk mundur sekarang, maka pemuda itu mencoba membuat kekasihnya lebih santai dengan menggesek-gesekan kontolnya terlebih dahulu.

Usai beberapa gerakan, Percy tau usahanya berhasil. Ekspresi Annabeth mulai melunak, tubuhnya yang tegangpun terlihat mengendur. Maka pemuda itu coba menekan pada lubang vagina sang kekasih.

"Heegghh..." Annabeth menahan nafasnya merasakan tekanan itu. Tak sakit, hanya saja agak kurang nyaman, terasa mengganjal.

"Kamu tak apa-apa?" tanya Percy khawatir melihat ekspresi Annabeth yang kembali tegang.

"Aku baik-baik saja. Teruskan," jawab Annabeth.

Kata-kata Annabeth tak menghilangkan rasa khawatir Percy, meski begitu dia putuskan untuk melanjutkan dan kembali menekan hingga kepala kontol dan sebagian batangnya melesak masuk. Namun gerakan pemuda itu tertahan oleh kontraksi pada vagina gadis bermata kelabu itu.

Tak ada darah. Tidak seperti sewaktu dia melakukannya dengan Rachel. Tapi Percy tak sedikit pun meragukan keperawanan Annabeth. Dia cukup paham kedua hal itu sama sekali tak ada kaitannya.

Belakangan, dia akhirnya mengetahui bahwa para demigod wanita rupanya memang lahir tanpa selaput darah, namun bukan berarti mereka sejak awal sudah tak perawan.

Sejauh akal sehat Percy, seperti halnya pria yang bisa dikatakan hilang keperjakaan saat mereka melakukan seks pertama, begitu juga arti keperawanan, hanya sebatas pada pengalaman seks.

Percy lalu menyabut kontolnya dan menyoba lagi, namun lagi-lagi tertahan. Pemuda itu tak menyerah, kembali menyabut kemudian melesakkan. Berkali-kali mengulangi gerakan yang sama dan hal itu rupanya membuahkan hasil karena tiap kali batangnya melesak lebih dalam. Annabeth pun tampak semakin menikmatinya.

"Hhaahhh... hahhh... hheekkkhhh... Percy... oohhh..."

Sepertinya sudah saatnya, pikir Percy mendengar desah dan erangan Annabeth. Maka dia melepaskan gengaman pada kontol namun tetap memompa. Tak lama dia mencondongkan badan ke depan, menjadikan kedua tangannya sebagai tumpuan, lurus di masing-masing sisi kepala Annabeth. Dengan jemari kakinya menekuk dan menekan lantai untuk memberi daya tolakan.

"Aa-aakkhh... Peercy..." jerit Annabeth.

Gadis itu menyentak, sedikit mengangkat tubuh bagian atasnya, sedang kedua tangan gadis itu refleks meraih lengan Percy, menyengkramnya kuat-kuat, lalu kembali ambruk terlentang dengan nafas terengah-engah dan mata terpejam.

"Sakit?" tanya Percy, lagi-lagi khawatir.

"Tidak... Jujur rasanya justru enak..." jawab Annabeth malu-malu.

Dipikir-pikir, itulah keuntungan lahir sebagai demigod wanita, tak perlu merasakan sakit pada pengalaman pertama mereka. "Berarti aku boleh melanjutkan?" goda Percy bertanya.

Annabeth mengangguk pelan sembari tersipu. Diiringi suara erangan gadis itu, Percy pun mulai memompakan kontolnya. Perlahan dan lembut pada awalnya, namun semakin cepat seiring kenikmatan yang keduanya rasakan.

"Aahhh... hahhh... hahh... sshhh... oohh Dewa..."

Tak ada pola dalam sodokan Percy. Kadang dia mengerakkan pinggul dengan cepat, kadang pelan dan lembut, tak jarang pula dia berhenti lalu mengedutkan kontolnya yang terbenam dalam vagina Annabeth. Manapun, semua itu tak ayal membuat sang gadis menjerit-jerit oleh nikmat yang diberikannya.

Percy juga mencoba berbagai variasi bercinta, dengan Annabeth tetap dalam kondisi terlentang. Satu waktu dia mengangkat kedua kaki gadis itu, menahannya menggantung dan menyiku di udara. Kemudian dia menyandarkannya di pundak, menyodok vagina sang gadis sambil memeluk pahanya.

Terakhir, dia kembali menahan kedua kaki Annabeth, kali ini pada lipatan lengannya. Pemuda itu kemudian menindih sang gadis, yang membuat pantat putri Athena itu terangkat dengan liang vagina condong menghadap ke atas. Tak lama, Percy menapakkan jemari kakinya ke ranjang, menghentakkan kontolnya dalam-dalam dalam posisi setengah berjongkok.

Saat itulah Annabeth, yang memeluk lehernya erat-erat, berbisik lirih di telinganya, "Percy... sepertinya sesuatu akan terjadi."

Percy langsung paham, orgasme Annabeth akan segera menjelang, sesuatu yang mungkin hanya gadis itu ketahui dari buku-buku tanpa pernah mengalami, hingga dia tak memahami desakan yang muncul. Sang Putra Poseidon dengan senang hati menjelaskan pada kekasihnya apa yang akan dialami.

"Keluarin aja sayang," ujar Percy, juga berbisik. "Jangan ditahan."

Percy mempercepat sodokannya, membantu Annabeth untuk meraih puncak kenikmatan persetubuhan mereka. Pemuda itu tak perlu lama berusaha karena selang beberapa waktu sang kekasih mengerang, tubuhnya kaku menegang dengan pantat serta pinggul menyentak-nyentak.

Dan Percy pun menghentak kuat-kuat lalu diam tak bergerak, membenamkan kontolnya sedalam mungkin, dan merasakan dinding vagina Annabeth yang berkontraksi, meremas serta memijat batangnya.

"Bagaimana rasanya sayang?" tanya Percy beberapa saat kemudian, membelai mesra rambutnya dengan kedua siku sebagai tumpuan.

Pemuda itu telah melepaskan lengannya dari kedua kaki Annabeth, yang segera setelahnya melurus di atas ranjang, tentu saja dengan kontol tetap terjepit vaginanya. Selama itu, nafas Annabeth kembali normal dan tenaganya, yang terasa lemas ketika orgasmenya mereda telah pulih, meski tak sepenuhnya.

"Aku tak pernah mengira rasanya akan seluar biasa ini," jawab Annabeth malu.

"Masih sanggup?" tanya Percy lagi. Nada suaranya terdengar menggoda.

Annabeth tersenyum. Dia lalu mengangkat tubuh bagian atasnya sedikit untuk mengecup bibir Percy. "Tentu saja, sampai kamu puas," ujarnya.

Percy bangkit dan mencabut kontolnya, mengulurkan tangan pada Annabeth yang menyambutnya. Dia lalu menarik gadis itu, membantu untuk bangun berlutut. Setelahnya, memutar badan, gantian duduk dengan punggung bersandar di dinding.

Annabeth tersenyum, mengerti apa yang diinginkan kekasihnya. Dengan tetap berlutut dia menghampiri Percy, yang meluruskan kedua kaki. Gadis itu kemudian mengangkangi pangkuan pemuda itu, tangan kanannya menggenggam kontol sang kekasih, menjaga agar tetap tegak sembari mengarahkan pada liang vaginanya.

Tubuh Annabeth bergerak turun dan batang Percy kembali memasuki tubuhnya diiringi erangan keduanya, nyaris bersamaan.

Gadis itu memacu nyaris tanpa henti, naik-turun pada kontol Percy. Tak jarang dia mengombinasikan dengan menggerakkan pinggul dan pantatnya maju-mundur serta memutar, mengikuti bimbingan nafsunya sendiri.

Percy tak berdiam diri. Dia dengan aktif meremas kedua payudara Annabeth, memainkan puting sang gadis dengan jemarinya, memilin dengan gemas. Tak hanya dengan tangan, mulutnya pun sekali waktu memagut Annabeth, entah di bibir maupun leher. Pemuda itu juga dengan buas menghisap dan mengulum bukit sang Putri Athena.

Waktu berselang dan Annabeth kembali mengalami orgasme.

Lemas dan lelah, Annabeth menuruti Percy ketika pemuda itu memintanya memposisikan diri menungging. Menjerit-jerit merasakan nikmat merasakan kontol sang kekasih yang menyodoknya dari belakang.

"Annabeth... aku akan keluar..."

Akhirnya, pikir Annabeth. Meski nikmat, dia mengakui bahwa dirinya semakin lemas, tak tau apa dia masih sanggup bertahan andai persetubuhan itu berlangsung lebih lama lagi, namun, "Aaahhh... kenapa dicabut?" tanya dia.

"Aku ingin mengakhiri dengan melihat wajahmu," jawab Percy terengah-engah.

Annabeth tersenyum. Dia juga menginginkan hal yang sama, maka dia berbalik badan dan kembali berbaring terlentang. Mengangkang lebar-lebar, memberi jalan bagi kontol Percy untuk menghujam lagi.

"Aahh... haahhh... haahhh... Percy... sodok terus... yang dalam sayang ooohhh..."

Percy melakukannya, menghujam kuat-kuat kontolnya pada Annabeth. Selangkangan keduanya saling bertumbukan berkali-kali, membuat suara-suara seperti tamparan, berpadu dari vagina gadis itu yang tampak berkilat becek.

"Oh Annabeth enak sekali. Memek kamu terasa memijitku," puji Percy.

"Kontol kamu juga enak sayang."

Percy mengulurkan tangannya, meremas payudara Annabeth, bermain dengan putingnya.

Annabeth pun menjerit-jerit oleh kenikmatan itu. Sesekali tubuhnya melenting dengan perut terangkat. Tak jarang dia menggerakan pantatnya naik turun menyambut sodokan pemuda itu. Satu waktu, dia mengangkat tubuh atasnya dengan siku sebagai tumpuan untuk melihat bagaimana kontol Percy keluar-masuk dalam vaginanya.

Percy memang telah mengatakan bahwa dia akan mengalami orgasme, namun Annabeth tak menduga akan selama ini.

Gadis itu tak mengeluh, justru sebaliknya. Itu artinya dia bisa lebih lama merasakan nikmatnya disetubuhi oleh Percy. Mungkin jeda saat keduanya berganti posisi yang menyebabkan pemuda itu dapat menunda orgasme.

Andai saja bisa, keduanya berharap persetubuhan itu bisa berlangsung lebih lama lagi. Namun Percy tau hal itu sulit terjadi karena desakan yang sedari tadi ditahannya sekuat tenaga kian tak terbendung.

Percy lalu menindih Annabeth, melingkarkan kedua tangan memeluk leher gadis itu. Sang kekasih menyambut, balas memeluk punggungnya. Annabeth bahkan mengaitkan kedua kakinya di pinggang Percy lalu menggerakkan pantat serta pinggulnya dengan erotis, membantunya mengejar puncak. Hingga....

"Annabeth... keluarin di mana?" bisik Percy bertanya, mempererat pelukannya.

"Di dalam saja... aku ingin merasakan sperma kamu di dalam."

Dengan persetujuan Annabeth, Percy menghujam sedalam mungkin lalu diam tak bergerak dengan kontolnya terbenam penuh. Dan akhirnya orgasmenya pun tiba, Percy menyeburkan lahar panas mengisi relung vaginanya, bahkan mungkin memancar hingga ke dalam rahim.

Usai percintaan panas itu, keduanya kembali berpakaian. Mereka duduk berdampingan, berpelukan, menikmati kehangatan masing-masing. Tanpa disadari Percy, suara mesin, cahaya yang remang, dan perasaan nyaman karena bisa bersama Annabeth membuat mata pemuda itu terasa berat. Dia pun hanyut dan tertidur.​

***End***​
 
Langsunh terbayang anabeth yang diperankan daddario hu uhh hot nya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd