Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

Bimabet
Up trus hu.... Mo up d halaman brp
Sabar brow.. up juga butuh proses dan pemikiran jernih yg ga asal²an nulis...

Kalo TS gak bisa di +quote/reply ya om..
Itu gegara banyak yg copas cerita² do forum ini yg di jadikan milik pribadi di forum berbayar brad, jadi dr Admin beserta kroni² nya bikin spt itu tp meski masih ada yg bisa copas cerita² tsb... begono..


angga wayahe mangkul purelll🤣🤣
siap no purel sing ginuk² brad, nek iso suarane plok..plok..plok tp ojok sing plek...plek..plek.. iku arti ne tepos..🤣🤣🤣
 
Updet lagi dong om suhu @Nice4 ..
Siapa tau aku dapat referensi untuk lanjutin cerita yang tergantung atau malah buat cerita baru..
Jangan takut kalau cerita ini cepat kelar, kan masih ada stok cerita yang lain.. :adek:
Ayolah om suhu.. updet lagi ya...:teman:
Pinisirin apa yang mau dilakukan sama Angga, terus bagaimana kelanjutan percintaan Dewi..:semangat:
 
Updet lagi dong om suhu @Nice4 ..
Siapa tau aku dapat referensi untuk lanjutin cerita yang tergantung atau malah buat cerita baru..
Jangan takut kalau cerita ini cepat kelar, kan masih ada stok cerita yang lain.. :adek:
Ayolah om suhu.. updet lagi ya...:teman:
Pinisirin apa yang mau dilakukan sama Angga, terus bagaimana kelanjutan percintaan Dewi..:semangat:
sekedar saran sob, mending bikin cerita baru yg di kolab dg kangmas @Nice4
 
Updet lagi dong om suhu @Nice4 ..
Siapa tau aku dapat referensi untuk lanjutin cerita yang tergantung atau malah buat cerita baru..
Jangan takut kalau cerita ini cepat kelar, kan masih ada stok cerita yang lain.. :adek:
Ayolah om suhu.. updet lagi ya...:teman:
Pinisirin apa yang mau dilakukan sama Angga, terus bagaimana kelanjutan percintaan Dewi..:semangat:
takut aku om.. om suhu @Nice4 kalau buat cerita terlalu jeru.. aku kan cuman bisa buat cuuppp, cuuppp, muaaachhhh.
Karena yang minta Subes, maka ayo kita lanjutkan ...
 
CHAPTER 5


TERSESAT PART 1

ANGGA POV


Saat sudah berada di penghujung akhir tahun kadang aku baru merasa bahwa waktu begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin aku merayakan tahun baru. Rasanya masih baru tadi aku bangun tidur dan membuat resolusi baru dalam hidup. Tapi ternyata sudah berbulan-bulan berlalu. Waktu kadang terasa begitu cepat berlalu. Hal ini menimbulkan perasaan melankolis sendiri. Apa saja prestasi dan pencapaian baru yang sudah aku dapat? Berapa banyak hal positif yang telah aku lakukan di setiap berlalunya waktu di hidupku ini? Saat waktu terasa begitu cepat berlalu, ada sejumlah hal yang perlu aku renungkan kembali. Bahkan ada kenyataan yang sudah saatnya perlu aku hadapi dengan tegar.

Perceraian … Ya, perceraian yang menjadi bagian dari hidupku, adalah renungan yang paling mendalam. Proses perpisahan itu bukan hanya tentang kehilangan pasangan hidup, tetapi juga tentang menghadapi realita yang mungkin selama ini aku hindari. Perceraian menjadi titik berat yang mengundangku untuk merenung lebih dalam tentang hubungan, keputusan hidup, dan pertanyaan-pertanyaan sulit yang mungkin selama ini aku abaikan. Seringkali, dalam kecepatan waktu yang terus berjalan, aku lupa untuk benar-benar hadir dan menghadapi masalah yang perlahan tumbuh di dalam diri. Meskipun perceraian membawa kesedihan dan kehilangan, ia juga membuka pintu untuk pertumbuhan pribadi. Saat waktu berjalan dengan cepat, aku harus belajar menerima, memaafkan, dan melangkah maju dengan kepala tegak. Renungan ini bukan hanya tentang melihat ke belakang, tetapi juga tentang mempersiapkan diri untuk melangkah ke depan dengan lebih bijaksana.

Jadi, di penghujung tahun ini, aku tidak hanya merenung tentang apa yang telah terjadi, tetapi juga mencoba memahami bagaimana aku bisa tumbuh dari pengalaman ini. Dalam melangkah maju, aku berjanji untuk menghadapi masa depan dengan kepala tegak dan hati yang penuh kelapangan. Mungkin waktu memang berlalu begitu cepat, namun dalam setiap detiknya, aku yakin kalau aku memiliki kesempatan untuk berkembang dan menjadi pribadi yang lebih baik. Aku tahu bahwa hidup ini telah menuntutku untuk menjadi lebih kuat, aku harus berkembang dan menjadi pribadi yang lebih baik semata-mata demi anakku.

Anakku, Aska, semakin hari semakin menunjukkan pesona kecilnya yang memukau. Meski baru berumur tiga tahun, dia telah menapaki langkah pertama dalam dunia kata-kata. Aska, si kecil dengan senyum cerahnya, kini mampu mengeluarkan kata-kata walau belum terdengar begitu fasih. Setiap pagi, senyumnya yang lebar seolah memberikan sinyal kebahagiaan di rumahku. Aska, dengan rambut kusutnya dan mata berbinar-binar, menjadi sumber keceriaan yang tak terhingga. Apa pun yang dia ucapkan, walaupun belum sempurna, menyentuh hatiku dengan kepolosan dan kegirangan yang hanya dimiliki oleh seorang anak kecil. Ketika Aska bercerita, seringkali aku tak dapat menahan senyum mendengar setiap kata yang terucap. Kata-kata baru, padu dengan candanya, membawa suasana hangat di setiap sudut rumah.

Meski telah hampir dua tahun berlalu sejak perceraian itu, bayang-bayang trauma masih melingkupi hatiku. Trauma perceraian memberiku pengalaman pahit yang terukir dalam ingatan. Terkadang, aku merasa sulit untuk membuka hati dan mempercayai seseorang lagi. Keengganan untuk memiliki pendamping hidup kembali, menjadi tembok pertahanan dari ketakutan akan kehilangan dan kecewa yang mungkin datang. Setiap kisah percintaan yang mencoba mendekat bagaikan embun di pagi hari, cepat menguap seiring kekhawatiran dan keraguan yang membayangi. Mungkin suatu hari nanti, saat luka semakin sembuh dan rasa takut mereda, aku akan membuka pintu hatiku kembali untuk cinta. Tapi untuk saat ini, aku memilih untuk fokus pada pemulihan bersama anakku.

Aku terbangun dari lamunanku oleh suara bel pintu yang berbunyi. Tanpa berpikir panjang, aku menggendong Aska dan bergerak ke ruang depan. Pintu terbuka, dan di ambangnya, Dewi dan Dimas berdiri. Aku menyambut pasangan suami istri itu dengan ramah dan segera mempersilahkan mereka masuk. Dewi dan Dimas menikah sekitar satu setengah tahun yang lalu. Aku bahkan menghadiri pernikahan mereka. Dewi meminta Aska, dan tanpa ragu, aku memberikan anakku itu padanya. Kami bertiga masuk ke dalam rumah dan melangkah menuju dapur. Di sana, aku membuatkan kopi untuk Dimas, yang sudah hampir satu setengah tahun menjadi suami Dewi.

“Rumah barumu mewah juga.” Ucap Dimas sambil menerima gelas kopi dariku.

“Ini gak ada apa-apanya dengan rumahmu.” Kataku merendah yang memang rumah baruku ini tak sebanding dengan rumah Dimas yang bagaikan istana.

“Tapi sepi.” Ujar Dewi sambil menggendong Aska yang berdiri di samping meja makan.

“Sepi gimana?” Tanyaku pura-pura tidak mengerti arah pembicaraan Dewi.

“Gak ada wanitanya … Yang membuat rumah ramai kan wanita.” Jawab Dewi ringan.

“Tinggal manggil tetangga. Gitu aja kok repot.” Kilahku lalu menyeruput kopi.

“Benar, Ngga … Sepi kalau gak ada wanita yang bisa tidur di ranjang kita.” Sahut Dimas sambil tersenyum.

“Aku belum berniat.” Jawabku singkat.

“Ngga …” Tiba-tiba Dewi menyela. “Aku punya temen yang kayaknya cocok buatmu.” Katanya kemudian dengan nada serius.

“Lupakan saja.” Jawabku tegas.

“Kamu liat dulu orangnya! Dia cantik, janda anak satu. Dia pas buatmu. Aku yakin.” Seru Dewi seolah ingin memaksa.

“Tidak!” Kataku lagi lebih tegas.

“Ah … Kamu ini …” Ujar Dewi kecewa sambil cemberut.

Hubunganku dengan Dewi tetap baik meskipun dia adalah mantan istriku. Ini bukan karena kami masih terikat secara emosional, tetapi lebih kepada pilihanku untuk tidak menyimpan rasa sakit hati yang tak berfaedah. Menurutku, menyimpan sakit hati hanya akan membuat batin tidak tenang. Memegang teguh dendam atau kekecewaan hanya akan menghambat pertumbuhan dan kebahagiaan di masa depan. Selain itu, Aska adalah alasan utama yang membuatku memilih untuk mempertahankan hubungan baik dengan Dewi. Bagaimanapun juga, Dewi adalah ibunya, dan kebaikan serta kesejahteraan Aska yang menjadi prioritas.

Dewi dan Dimas berpamitan setelah singgah sekitar 15 menit di rumahku. Aku mengantar mereka sampai di pintu depan. Aska, yang merupakan tanggung jawab Dewi minggu ini, digendongnya dengan penuh keceriaan. Kami telah menyusun jadwal bergantian untuk merawat Aska setiap minggunya. Setelah mereka berdua pergi, langkahku membawa kembali ke ruang tengah. Hanya beberapa saat setelah aku duduk di sofa, ponselku tiba-tiba berdering. Aku melihat layar ponsel yang menyala di atas meja dan mendapati nama Lina tertera di layarnya. Aku merasa heran melihat panggilan dari Lina, karena jarang sekali kami berkomunikasi secara langsung. Tanpa ragu, aku menjawab panggilannya, mencoba mencari tahu alasan di balik panggilan yang mengejutkan ini.

“Hallo …” Sapaku santai.

Angga, tolong aku. Hiks … Hiks … Hiks …” Lina menangis membuatku terkejut mendengarnya. Suara tangisnya terdengar terputus-putus melalui sambungan telepon.

Tanpa ragu, aku langsung merespons, "Ada apa, Lina? Kenapa kau menangis?"

“A..aku dikerjar-kejar orang … Hiks … Hiks … Hiks …” Ujarnya dan aku merasa ini masalah sangat serius.

“Kamu di mana sekarang?” Tanyaku lumayan panik dan khawatir.

Aku di minimarket depan kompleksmu.” Jawabnya masih tersedu-sedu.

“Tunggu aku di sana. Bersembunyilah, ok?” Pintaku.

Ok …” Jawabnya lagi lemas.

Aku segera berlari ke garasi. Motor matic yang baru kubeli dua hari yang lalu langsung aku geber menuju supermarket yang tak terlalu jauh dari rumahku. Tidak lebih sepuluh menit, aku sampai di supermarket yang aku tuju. Setelah memarkirkan motor di area parkir, segera saja aku menelepon Lina.

“Kamu di mana?” Tanyaku saat panggilan telepon terhubung.

Aku di lantai dua. Tempat barang-barang keperluan rumah tangga.” Jawabnya dengan suara ketakutan.

“Aku ke sana.” Kataku sambil memutuskan sambungan telepon lalu berlari menuju lantai dua supermarket.

Aku mencari wanita itu. Lina adalah teman sekerja Dewi, keduanya bekerja sebagai teller di bank yang sama. Lina juga merupakan mantan istri sahabatku, Herman. Mereka telah berpisah sejak lebih dari setahun setengah yang lalu, perpisahan itu dipicu oleh perselingkuhan Lina dengan atasannya. Aku berlari menuju lantai dua supermarket. Beberapa menit berkeliling di sana, dan akhirnya menemukan Lina yang sedang menangis. Aku mendekatinya, Lina menatapku dengan badannya bergetar ketakutan.

“Kamu tidak apa-apa?” Tanyaku sambil memeluknya karena iba.

“Belum … Aku akan apa-apa … Hiks … Hiks … Hiks …” Lina menangis dengan suara cukup kuat.

“Katakan ada apa? Kenapa kamu bisa dikejar-kejar orang?” Tanyaku sambil mengurai pelukan. Aku membuat jarak agar aku bisa melihat wajahnya.

“Aku menghilangkan barang dagangan mereka.” Jawab Lina gemetaran.

“Barang dagangan? Barang dagangan apa?” Tanyaku jadi penasaran.

“Ekstasi.” Jawabnya pelan sambil memalingkan wajah.

“Apa?” Aku memekik kaget. Tak percaya wanita ini berjualan barang haram.

“Ya, aku berjualan ekstasi. Ekstasi itu berasal dari mereka yang mengejarku. Aku telah menghilangkan ekstasi mereka.” Ucapnya sambil terisak-isak.

Aku benar-benar tak percaya Lina berjualan barang yang dilarang hukum, dan langsung terlintas di pikiranku bahwa pasti Lina terlibat dengan kelompok kejahatan. Pantas saja dia ketakutan. Karena hal itulah, aku terdorong untuk menolongnya.

“Apa yang mereka minta?” Tanyaku setelah beberapa saat merenung.

“Mereka meminta uang mereka. Mereka tak mau peduli kalau ekstasi mereka hilang. Aku harus menggantinya.” Jawab Lina sambil menatapku dengan mata berlinang air mata.

“Berapa yang mereka minta?” Tanyaku lagi sudah seperti wartawan saja.

“Enam puluh juta, aku hanya punya limabelas juta. Aku minta tolong, tambahan kurangnya.” Pinta Lina memilukan.

“Ya, sudah. Aku akan menolongmu. Sekarang kita temui orang yang mengejar-ngejarmu.” Kataku.

“Aku takut.” Lina menolak.

“Permasalahanmu tidak akan selesai kalau kita tidak menemuinya. Panggil dia ke tempat ini. Kita ketemuan di tempat yang ramai.” Jelasku.

Dengan tangan gemetar, Lina menghubungi seseorang. Aku mendengar percakapan mereka, dan sepertinya orang yang diajak bicara Lina sangat murka. Lina menangis lagi saat menelepon orang tersebut. Tak lama kemudian, Lina memutuskan sambungan teleponnya dan mengatakan padaku bahwa orang yang memiliki barang sudah berada di lantai satu. Aku menarik Lina untuk segera menemuinya. Benar saja, seorang yang bertubuh tinggi besar dengan dua orang lainnya langsung menyambutku dan Lina dengan wajah garang.

“Kau tak akan bisa menghindariku, jalang!” Seru orang bertubuh tinggi besar.

“Sabar, Mas … Kita disini untuk menyelesaikan masalah ini.” Kataku agak sedikit ciut.

“Masalah selesai kalau dia membayar barangku.” Ujarnya mendesis.

“Saya akan bayar.” Kataku cepat.

“Bagus, kalau begitu mana uangnya?” Mata besarnya melotot padaku.

“Saya tidak punya uang cash. Bagaimana kalau saya transfer. Saya hanya perlu nomor rekening Mas.” Kataku.

“Itu lebih baik.” Sahutnya sambil mengambil smartphone miliknya dari saku celana.

Rupanya, orang itu tidak hapal nomor rekeningnya sendiri dan mencatatnya dalam ponsel. Tak lama kemudian, aku diberitahu nomor rekeningnya, dan segera saja aku melakukan transfer uang sebesar enam puluh juta. Senyum puas terpancar di wajah pria tinggi besar itu ketika transfer berhasil. Tanpa berkata-kata, dia dan kedua temannya berlalu. Tiba-tiba, Lina jatuh berlutut, air mata mengalir. Aku hanya sejenak menatap Lina sebelum mengangkat tubuhnya.

“Sudah selesai … Berdirilah …” Kataku.

“Terima kasih, Ngga … Hiks … Hiks … Hiks …” Katanya dengan suara tangis yang kembali terdengar.

“Sama-sama. Sudah jangan menangis terus. Malu diliatin orang.” Pintaku sambil membawa Lina keluar supermarket.

Lina terus saja menangis, tak kunjung reda. Akhirnya, aku merasa terpaksa membawanya ke rumahku dengan motor matic kepunyaanku. Sesampainya di rumah, kami duduk di kursi meja makan di dapur. Aku segera menyeduh kopi untuk meredakan ketakutannya. Beberapa saat berlalu, Lina tampak mulai tenang dan air matanya berhenti mengalir.

“Terima kasih, Ngga … Entah apa yang terjadi kalau tidak ada kamu.” Katanya sendu.

“Sama-sama. Tapi kenapa kamu sampai terjerumus dengan hal itu? Resiko yang kamu tanggung sangat besar. Itu sangat berbahaya.” Kataku dengan nada heran.

“Aku terpaksa melakukannya karena aku kecanduan ekstasi. Aku butuh ekstasi tapi uangku tidak cukup. Untuk mencukupi kebutuhanku itu, aku terpaksa menjadi penjual.” Jawabnya sungguh menyedihkan.

“Bisa-bisanya kamu kecanduan.” Aku geleng-geleng kepala.

“Sekarang aku akan berhenti, aku tidak akan lagi makan barang haram itu.” Katanya penuh penyesalan.

“Aku harap kamu bersungguh-sungguh berhenti.” Ucapku.

Suasana begitu hening. Lina tampak tenggelam dalam lamunannya yang keras. Kadang, napasnya terhela pelan, kadang pula ia menggelengkan kepala seperti mencari jawaban yang sulit dijangkau. Aku hanya bisa diam, mengamati setiap ekspresi dan gerakannya yang mengisyaratkan kegelisahan.

“Aku sangat kecewa sama Dewi.” Tiba-tiba Lina berujar demikian. Tentu saja aku jadi penasaran.

“Kenapa begitu?” Tanyaku hati-hati.

“Dia tidak mau menolongku. Padahal uangnya banyak.” Lirih Lina lalu menyeruput lagi kopinya.

“Mungkin dia ada keperluan lain, makanya dia tidak bisa membantumu.” Kataku mencoba agar Lina berpikiran positif.

“Tidak, Ngga … Uang dia itu milyaran. Aku tahu itu. Dengan uang sebanyak itu, dia tidak peduli dengan kesusahanku.” Ucap Lina yang entah berapa kali menggeleng-gelengkan kepala.

“Pasti dia punya alasan.” Ucapku lagi dengan nuansa yang sama.

“Orang semakin kaya, semakin pelit. Dewi setelah menikah dengan Dimas menjadi sangat pelit dan perhitungan.” Jelas Lina. Kini aku terdiam, intinya aku tidak ingin membicarakan keburukan ibu dari anakku. “Ngga … Dewi itu salah satu pelangganku. Dia sering membeli ekstasi padaku.”

Kali ini aku benar-benar terperanjat, “Apa? Dia makan ekstasi?”

“Ya … Maaf ya Ngga … Aku yang mengenalkan ekstasi sama Dewi, karena aku pikir Dewi banyak uangnya dan memang dia tak pernah sulit membayar bahkan sebelum barang ada dia sering bayar di muka. Aku pikir, kenapa Dewi tidak ingin membantuku karena merasa dia sudah membayar padaku sebelum ekstasinya aku berikan. Dia sangat kecewa. Ya, gara-gara aku kehilangan barang daganganku.” Jelas Lina sembari mengusap air mata di pipinya.

“Oh Yang Maha Kuasa … Kamu sudah merusak ibu dari anakku.” Tentu saja aku sangat kesal.

“Maafkan aku, Ngga.” Lirihnya sambil menunduk.

“Kamu tak termaafkan, Lina. Kamu sungguh mengecewakan.” Kataku geram.

“Kamu juga harus tahu, kenapa aku mengenalkan Dewi pada ekstasi.” Ucapnya sembari mengangkat kepala dan memandangku.

“Apa itu?” Entah kenapa aku sangat penasaran.

“Dewi tidak bahagia. Dewi kecewa sama Dimas.” Jawabnya.

“Kecewa?” Gumamku.

“Dewi merasa Dimas terlalu menyayangi keluarga-keluarga jauhnya. Om, tante, keponakan, bahkan keluarga yang tidak dikenalanya. Dewi menganggap Dimas lebih perhatian pada mereka daripada kepada dirinya. Dewi tahu kalau Dimas memberi uang kepada saudara-saudaranya itu tanpa sepengetahuan Dewi. Dewi pernah bilang padaku kalau dia merasa diselingkuhi oleh Dimas.” Jelas Lina lagi.

“Tapi itu bukan urusanmu. Itu urusan mereka.” Tegurku.

“Ya, aku tahu.” Ucap Lina pelan.

“Sekarang, aku minta kamu menghentikan supply ekstasi padanya.” Pintaku keras.

“Aku memang akan berhenti, tapi aku tidak bisa menjamin Dewi akan berhenti. Dia sudah banyak mengenal bandar-bandar ekstasi.” Ucapan Lina membuat dadaku sesak.

“Sudah berapa lama dia menenggak ekstasi?” Tanyaku.

“Sekitar enam bulan jalan.” Jawab Lina.

“Apakah suaminya tahu kalau Dewi pemakai ekstasi?” Tanyaku lagi.

“Tentu saja tidak.” Jawab Lina spontan.

Aku hanya bisa merasakan kehampaan saat mengetahui bahwa Dewi, ibu dari anakku, menggunakan ekstasi. Pasrah menjadi satu-satunya opsi, karena hubungan kekeluargaan sudah tak lagi ada. Selain itu, memberikan nasihat pada Dewi bukanlah pilihan yang masuk akal. Ia telah menjadi bagian yang terpisah dari hidupku, dan sifat keras kepalanya membuat segala upaya untuk memberi nasihat semakin tidak mungkin.

Lina berkeinginan mentransfer uangnya padaku, tetapi kutolak dengan alasan belum membutuhkannya. Setelah mengucapkan terima kasih, Lina pun berpamitan. Aku mengantarnya hingga ke pintu depan, dan ia perlahan lenyap dari pandanganku. Setelah itu, aku kembali ke dalam rumah. Meski sesaat masih terlintas pikiran tentang Dewi, akhirnya aku mengusir pemikiran itu dan memutuskan untuk tidak memusingkannya lagi. Langsung saja aku masuk ke ruang kerja, fokus menyelesaikan prototipe mesin pengukur yang sudah terbengkalai selama dua tahun.

Belum juga sempat menyentuh prototipe mesin pengukur yang sedang aku rancang, lagi-lagi smartphone-ku berdering. Aku melihat layar ponsel pintarku, nama MAMA tertera di sana. Aku mengangkatnya, dan langsung saja terdengar suara Mama di seberang sana.

“Angga … Mama baru saja mentransfer uang untukmu.” Katanya tanpa salam atau sapaan.

“Uang Mama yang kemarin saja belum habis, Mama sudah mengirim lagi. Aku bukannya mau menolak rezeki, tapi kalau Mama terus-terusan mengirim uang padaku, aku khawatir suami Mama marah.” Kataku sedikit kesal karena Mama memperlakukanku seperti anak kecil yang tidak bisa apa-apa.

“Tidak sayang … Papamu tahu kalau Mama mengirim uang padamu, dia tidak keberatan sama sekali.” Katanya sangat bahagia.

“Ya, Ma … Tapi, kalau Mama mau mengirim uang lagi, tolong telepon dulu aku.” Kataku.

“Kamu pasti akan menolaknya ya kan? Makanya Mama langsung kirim.” Ujarnya yang membuatku mendesah.

“Ya sudah … Terima kasih Ma …” Akhirnya aku pasrah.

Sejujurnya aku bingung dengan Mama. Mama terlalu rajin mengirim uang padaku. Setiap transfer yang kuterima seperti seonggok harta karun yang datang begitu saja. Jumlahnya sangat fantastis bagiku, seolah-olah uang milyaran rupiah baginya hanyalah secuil uang jajan. Pertanyaan-pertanyaan pun mulai merayapi pikiranku, membuatku semakin penasaran dengan sumber kekayaannya yang tak kunjung habis itu.

Kami berbicara dan berbagi cerita sehari-hari meski hanya lewat sambungan telepon, kini hubungan kami lebih tenang dan damai. Aku telah melupakan masa lalu, memaafkan Mama sepenuhnya. Terbukanya jalan damai ini membawa perubahan besar dalam cara Mama memperlakukanku. Aku seperti anak emas baginya, sering kali menerima transfer uang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Meski aku bersyukur atas kebaikan hati Mama, terkadang rasa tidak enak menyelinap saat menerima pemberiannya itu.

“Kamu baik-baik ya sayang. Mama sangat merindukanmu.” Ujar Mama menutup pembicaraan.

“Ya Ma … Mama juga jaga kesehatan.” Kataku.

“Bye sayang …”

“Bye …”

Aku duduk di meja kerja penuh peralatan elektronik dan perangkat keras, fokus pada misi utama hari ini, menyelesaikan prototipe mesin pengukur yang telah lama menjadi obsesiku. Dengan berbagai komponen tersebar di sekitarku, aku mulai menyusun setiap bagian dengan penuh ketelitian. Kabel-kabel diatur dengan rapi, dan perangkat keras dihubungkan satu sama lain seperti puzzle yang akhirnya mulai terbentuk.

Waktu berlalu begitu cepat, dan setelah lima jam yang penuh konsentrasi, prototipe mesin pengukur itu akhirnya selesai. Mataku berbinar melihat hasil karyaku sendiri. Aku merasa bangga dan puas dengan kerja kerasku. Mesin pengukur yang baru saja aku ciptakan itu bukan sekedar sebuah karya teknologi, tapi juga sebuah pencapaian pribadi yang membawa kepuasan tersendiri.

Aku pun mengamati mesin pengukur tersebut dengan penuh harap. Ini bukan hanya sebuah alat teknologi biasa, tapi potongan kecil dari imajinasiku yang menjadi nyata. Dengan penuh semangat, aku merencanakan langkah selanjutnya untuk menguji kinerja mesin pengukur ini dan melihat sejauh mana potensinya.

Setelah berjam-jam terperangkap di dalam ruang kerja, aku merasa perlu untuk mengambil sedikit waktu untuk diri sendiri. Aku pun keluar dari ruang kerjaku dan menuju kamar mandi. Tanpa banyak basa-basi, aku segera memulai ritual pembersihan diri. Air hangat menyiram tubuhku, menciptakan rasa segar dan menghilangkan penat yang menumpuk. Setelah selesai mandi, aku menghabiskan waktu beberapa menit untuk berdandan. Aku memilih pakaian yang rapi, sejumput parfum yang harum memberikan sentuhan akhir pada penampilanku. Melihat diriku di cermin, aku merasa lebih percaya diri dan siap menghadapi sisa hari.

Dengan kunci mobil di genggaman, aku melangkah keluar dari pintu rumah dengan suasana hati yang damai. Mobil baruku, yang berkelas dan elegan, menanti di garasi. Mesin berdentum halus saat aku menyalakan mobil, dan tak lama aku sudah memasuki aliran lalu lintas yang ramai. Arah roda mengarahkan mobilku ke kafe favorit yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku.

Sesampainya di kafe, aku memarkir mobil di dekat jendela yang menghadap ke jalan. Aku langsung masuk ke dalam kafe yang selalu bisa meredakan kegelisahan. Duduk di sudut, tempat favoritku, aku memesan secangkir kopi pilihan, menunggu dengan sabar sambil menikmati hembusan angin lembut yang masuk dari jendela terbuka. Kopi pesananku datang, sambil memainkan smartphone aku menyeruput kopi yang nikmat. Dengan setiap tegukan kopi, aku merasa ketegangan perlahan meleleh, dan pikiranku mulai terlepas dari rutinitas sehari-hari.

Saat aku menatap keluar jendela, pandanganku tertuju pada mobil yang memasuki area kafe. Mobil itu parkir dengan presisi di sebelah mobilku. Sang pemilik mobil turun dengan sedikit tergesa-gesa, dan kebetulan mata kami bertemu. Aku memberikan senyuman tipis, yang disambut dengan pandangan ramah darinya. Dengan langkah panjang, dia berjalan menuju pintu kafe dan masuk. Tak lama kemudian, dia sudah duduk di depanku.

“Sorry … Macet …” Katanya sambil melambaikan tangannya memanggil pelayan kafe.

“Santai saja.” Responku.

Pria di depanku yang sedang memesan minuman dan makanan adalah Toni, sahabatku yang aku beri gelar filsuf kehidupan. Aku memberinya gelar seperti itu karena kemampuannya dalam memaknai eksistensi kehidupan. Setiap kali berbicara dengannya, aku merasa Toni bisa menuntunku untuk merenung tentang arti hidup dan bagaimana menjalani kehidupan dengan lebih baik.

“Oke …” Ujar Toni setelah selesai memesan minuman dan makanan. “Tanpa banyak basa-basi. Aku sedang ada proyek tapi gak punya modal. Aku mau pinjam modal padamu.” Lanjut Toni yang selalu lugas.

“Wow! Proyek apaan tuh?” Tanyaku senang karena sahabatku ini mendapat pekerjaan.

“Buat lemari etalase untuk hotel baru.” Jawabnya sembari mengedipkan mata. Toni memang ahli dalam bidang perkayuan dan pembuatan meubel.

“Berapa?” Tanyaku sambil mengeluarkan smartphone.

“Sekitar duapuluh jutaan.” Jawabnya lagi.

Tanpa banyak berdebat, aku dengan cepat melakukan transfer uang sesuai permintaan Toni. Sahabatku ini sering meminjam modal untuk usahanya dariku, dan satu hal yang patut diapresiasi adalah kesetiaannya dalam mengembalikan pinjamannya. Saat aku membuka rekening bank pribadiku, mataku tiba-tiba terbelalak melihat jumlah uang yang tertera, melebihi tiga milyar. Tanpa ragu, ingatanku langsung terarah pada Mama yang tadi siang melakukan transfer uang. Dengan keterkejutan yang masih melekat, aku segera mentransfer uang ke rekening Toni.

“Done … Aku kasih duapuluh lima juta …” Kataku setelah selesai mentransfer.

“Seperti biasa pembayarannya kalau sudah ada pencairan.” Katanya.

“Kali ini aku sedang baik hati. Kamu tak perlu mengembalikan uang itu. Aku sedekahkan buatmu.” Kataku sambil tersenyum.

“Kau serius?” Toni menatapku tak percaya.

“Sangat serius … Tadi siang Mama mentransfer uang banyak sekali, aku bagikan sedikit untukmu.” Kataku.

“Ha ha ha … Ibumu jadi sangat baik padamu. Itulah hati seorang ibu yang penuh kasih dan perhatian," balas Toni sambil tertawa. "Dia pasti ingin melihatmu merasa aman dan nyaman, terutama dalam hal finansial. Ibu memang tak pernah berhenti memberi, bukan hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk perhatian dan kasih sayang."

“Ya, aku bisa merasakannya. Tapi, aku terlalu sering diberi uang, padahal aku tidak mengharapkannya. Aku jadi malu sendiri, seakan aku ini anak yang tidak bisa berbuat apa-apa.” Keluhku.

"Kau jangan berpikiran seperti itu. Ibumu ingin memberikan yang terbaik untukmu, dan bukan karena merasa engkau tak bisa berbuat apa-apa. Itu adalah ekspresi cintanya, bukan penilaian terhadap kemampuanmu," ucap Toni dengan penuh pengertian. "Menerima bantuan bukan berarti kau lemah, melainkan tanda bahwa kita bisa saling mendukung. Dan ingat, sejatinya keberhasilan seseorang juga bisa diukur dari seberapa besar mereka membantu orang lain."

Toni selalu bisa meyakinkanku. Kata-katanya sangat dalam dan menyentuh. Kami lalu duduk bersama, berbincang santai sambil menyeruput kopi. Canda dan tawa kerap mewarnai obrolan kami, suasana yang penuh kehangatan tercipta di antara kami.

“Ngga … Apa kau gak berniat punya istri lagi?” Tiba-tiba Toni menanyakan pertanyaan klasik.

“Niat sih ada. Tapi, gak sekarang. Aku masih ingin sendiri.” Jawabku enggan.

“Kau masih memikirkan perceraianmu, kan?” Ucapan Toni sangat tepat sasaran, dan aku heran dia selalu bisa meraba-raba hatiku.

“Ya …” Jawabku singkat tak bersemangat.

“Kau ingin tahu cara menyembuhkannya?” Kali ini perkataan Toni cukup membuatku tertarik.

“Bagaimana caranya? Tanyaku sambil menggeser kursi.

“Kadang-kadang, untuk mencapai suatu tujuan, kita perlu mengubah arah terlebih dahulu. Seperti saat kita terjebak dalam kemacetan di jalan tol, diperlukan keputusan untuk mencari jalan alternatif guna mempercepat pencapaian tujuan. Dalam masalah kau ini, berbelok dari apa yang kau pegang teguh selama ini menjadi salah satu pilihan untuk menghapus bayangan perceraianmu.” Katanya mengajak berpikir.

“Aku harus berbelok. Maksudnya?” Tanyaku ingin kejelasan.

“Kau perlu menjadi penjahat dulu. Cobalah menjadi penakluk wanita. Puas-puaskan dirimu dengan semua wanita. Nanti saatnya kau juga harus kembali menjadi kau lagi yang sekarang. Mudah-mudahan bayanganmu tentang perceraian hilang dan kau bisa menerima kalau perceraian adalah hal yang biasa.” Jelas Toni.

“He he he … Kedengarannya absurd. Tapi kau selalu benar.” Responku.

“Tuh … Ada cewek baju pink di sampingmu yang sejak tadi menengok ke sini. Aku yakin kau lah yang diincarnya. Hajar Mas Bro! Jangan ragu! Aku cabut …” Ujar Toni yang tiba-tiba beranjak dan berlalu begitu saja.

Aku memandang kepergian Toni sambil merenungkan kata-katanya yang sungguh tak masuk akal. Dia menyaranku untuk 'main perempuan' sebagai cara menghilangkan trauma perceraian. Meskipun awalnya selalu aku tolak saran-saran Toni, apapun itu, tetapi setiap kali aku mencobanya, Toni selalu benar.

Aku melirik ke samping dan melihat seorang wanita berbusana pink, kutaksir usianya sekitar pertengahan tiga puluhan. Dia tengah menikmati kopi seorang diri sambil sibuk dengan smartphone-nya. Parasnya lumayan, tapi tonjolan dadanya menarik perhatianku sehingga memaksaku untuk mengamati buah dada itu agak lama. Harus aku akui mereka begitu indah dan menawan. Akhirnya, aku memutuskan untuk mendekatinya.

“Hai …” Sapaku pada si wanita saat sudah berdekatan dengannya. Dia tampak terkejut. Matanya menyipit, seolah mencoba menangkap kejutan yang tiba-tiba menyergapnya. "Maaf, apakah boleh aku bergabung?" lanjutku sambil menunjuk ke kursi di sebelahnya.

"Oh, tentu saja," jawabnya dengan senyum yang memecah kejutan di wajahnya.

“Namaku Angga … Senang bertemu denganmu.” Kataku sambil menyodorkan tangan.

“Lia …” Dia menyambut sodoran tanganku dan kami pun bersalaman untuk beberapa saat.

“Aku berharap kedatanganku tidak mengganggu ketenanganmu.” Kataku berbasa-basi.

“Oh tidak … Sama sekali tidak. Aku malah senang ada teman ngobrol.” Jawabnya ramah.

“Ya, terkadang kita butuh teman ngobrol untuk melupakan sejenak rutinitas sehari-hari.” Aku menimpali dengan senyum.

Lia mengangguk setuju, "Betul sekali. Em, kalau boleh tahu, apa pekerjaanmu?”

“Aku mechanical engineer di perusahaan otomotif. Kalau kamu?” Aku balik bertanya.

“Aku guru honorer.” Jawabnya sambil tersenyum manis.

“Wow! Profesi yang mulia.” Kataku coba memujinya.

“Karena berlabel pahlawan tanpa tanda jasa, maka kesejahteraan guru kurang mendapat perhatian yang seharusnya,” lanjutnya serius. "Meskipun aku mencintai pekerjaanku sebagai guru, tetapi terkadang rasanya sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan gaji yang kurang memadai."

“Oh … Apakah kamu punya pekerjaan lain selain menjadi guru?” Tanyaku lagi.

Tiba-tiba pandangan Lia berbeda. Seketika itu pula dahinya mengkerut dan matanya menyipit. “Apakah kamu benar-benar tidak tahu?”

Giliran aku yang mengerutkan dahi, “Apa maksudnya?”

“Oh …” Lia pun mengulum senyum.

“Aku di sini sedang mencari tambahan penghasilan. Em, aku ini semacam penjaja cinta yang terselubung.” Katanya yang sukses membuatku terperanjat.

“Begitukah?” Lirihku agak tak percaya.

“Ya, begitulah.” Lia mengangguk ambil melebarkan senyumnya.

Sebuah kesan negatif sulit dihindari ketika aku mendengar kata pelacur. Profesi yang dilakukan dengan jalan 'menjajakan diri' ini memang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Namun, di balik profesi yang menurut banyak orang negatif itu, aku sering memperhatikan apa sebenarnya yang menjadi latar belakang keputusan mereka menjadi seorang pelacur? Ya, desakan ekonomi dan mereka harus menjalani hidup dengan jalan prostitusi untuk tetap hidup.

“Apakah kamu sedang menunggu seseorang. Maksudku menunggu customer-mu?” Tanyaku ragu-ragu.

“Aku berharap ada yang mau menjadi konsemenku hari ini. Ada beberapa pelanggan tapi kelihatannya mereka tak datang.” Jawabnya santai.

“Bagaimana kalau hari ini aku yang menjadi pelangganmu?” Tawarku.

“Oh, tentu saja aku sangat senang.” Pekiknya gembira.

“Yuk! Kita keluar dari sini.” Ajakku sambil bangkit.

Lia sangat menyambut ajakanku. Tampak sekali kebahagiaan mewarnai wajah wanita itu. Lia langsung memeluk tanganku dengan manja. Aku dan Lia meninggalkan kafe, kemudian naik mobilku. Rencanaku membawa Lia ke rumah, mengingat lebih efisien daripada menginap di hotel. Obrolan kami mengalir seperti dua orang yang sudah lama saling kenal. Tak kusangka, Lia yang tampak kalem ternyata periang dan pandai menggoda. Tak butuh waktu lama, kami tiba di rumahku. Aku mengundang Lia untuk masuk ke dalam.

“Wow … Rumahmu indah sekali …” Puji Lia saat langkahnya memasuki ruang tamu. Aku tersenyum, mengucapkan terima kasih pelan.

“Apakah kamu minum sesuatu yang dingin?” Tawarku pada Lia.

“Em … Boleh …” Jawabnya sambil mengikuti langkahku ke dapur.

Saat kami sampai di dapur, tiba-tiba Lia menjerit kegirangan, “Aw! Kolam renang!”

“Kamu ingin berenang?” Godaku sambil mengambil dua botol air mineral dingin dari dalam kulkas.

“Oh … Aku ingin sekali … Tapi, aku gak bawa pakaian ganti …” Katanya.

“He he he … Bagaimana kalau telanjang saja. Di sini tak ada orang lain selain kita berdua.” Kataku.

“Hi hi hi …” Lia terkikik.

Tanpa kuduga, Lia melepaskan seluruh pakaiannya satu persatu dengan gerakan erotis sambil melirikku seperti sedang menggoda. Tubuhnya bergoyang ringan layaknya menari, sambil terus membuka pakaiannya dengan gerakan pelan yang menggoda. Sesekali Lia meremas payudaranya yang membusung seksi sambil mengalunkan desahan pelan yang menggoda. Aku yang melihat tontonan menyenangkan birahi di depanku tidak ingin kalah. Aku melepaskan seluruh pakaianku memperlihatkan kejantananku yang sudah mengacung tegak.

“Oh … Adikmu sudah bangun. Apakah aku harus mengurusnya dulu?” Tanya Lia genit.

“Sebaiknya begitu.” Jawabku sembari menahan birahi yang bergejolak.

Lia mendekatiku kemudian tangannya menggenggam kejantananku dengan lembut. Belaiannya begitu mantap menandakan Lia begitu piawai dalam urusan yang satu ini. Sambil meresapi kenikmatan usapan-usapan yang aku rasakan di sepanjang kulit batang kejantananku, jari-jemariku yang nakal mulai merabai payuranya yang besar dan kenyal.

“Tangan kamu pintar yaa…” Ujarku sambil memandang tangannya yang mulai mengocok-ngocok lembut sekujur kejantananku.

“Ya, mesti dong…!” Jawabnya sambil cekikikan genit. Mendapat jawaban pertanyaan seperti itu, entah mengapa hasrat birahiku tiba-tiba menjadi sangat liar.

“Bolehkah aku memasukimu sekarang?” Pintaku dengan nafas terengah-engah.

“Silahkan … Mau posisi apa?” Lia malah menantang.

Aku membalikan tubuh wanita itu agar membelakangiku, memposisikan dia menungging dengan tubuh bagian atas bertumpu di meja makan. Penisku yang tak sabar terarah tepat di depan bibir vaginanya. Dengan sekali hentakan, kejantananku terbenam dalam kehangatan milik Lia, merasakan kelembutannya yang melingkupi kejantananku.

“Ooohh …” Lia mendesah.

Aku langsung menggerakan pinggul dengan liar, mendorong keluar masuk milikku secara ritmis. Aku merasakan sensasi yang luar biasa ketika penisku keluar masuk, karena dinding lubang vagina dan tulang panggulnya yang menggesek-gesek batang kemaluanku begitu terasa sekali. Benar-benar aku merasakan sensasi yang tiada taranya, sehingga aku merasakan ada sesuatu yang akan keluar dari batang kemaluanku dan aku pun mempercepat irama kocokanku. Badanku semakin menegang.

"Ohh… Aku mau keluar… Aku dah nggak tahan … Aaaacchhh …!” Aku mengerang keras sambil melepaskan sperma yang sangat banyak di dalam kewanitaan Lian. Tubuhku mengejang-kejang akibat klimaks yang aku alami.

Ketika gelombang puncak kenikmatanku sudah mereda, aku mencabut kejantananku dari dalam vaginanya. Lia pun berbalik dan tersenyum. Dia melingkari lengannya di leherku. Payudara besarnya menempel ketat di dadaku. Pada saat itu, aku merasa bersalah karena aku terlalu cepat keluar, sementara Lia belum apa-apa.

“Maafkan aku … Aku keluar terlalu cepat.” Kataku penuh penyesalan.

“Kamu gak perlu meminta maaf begitu. Aku kan yang melayanimu.” Ujarnya sambil tersenyum.

“Aku malu …” Desahku.

“Hei … Sudahlah … Lebih baik kita berenang. Aku sudah gak sabar.” Katanya sambil menarik tanganku.

Aku dan Lia, masuk kolam renang bersama. Kami berenang seiringan. Lia ternyata perenang tangguh. Dia tak kurang dari lima kali bolak-balik sepanjang kolam, sementara aku, hanya dua kali saja. Kupilih berdiam di pinggir, menunggu wanita itu sambil minum air mineral. Beberapa saat berlalu, Lia menghampiri, dan langsung saja melingkarkan lengannya di sekeliling tubuhku.

“Kamu ternyata perenang hebat.” Pujiku.

“Aku suka sekali berenang.” Jawabnya sambil tersenyum.

“Pantas.” Kataku.

“Angga … Aku mau menawarkan sesuatu untukmu.” Lia menatapku dengan tatapan penuh binar.

“Apa itu?” Tanyaku penasaran.

“Aku bisa membuatmu tahan bercinta dan bisa membuat adikmu bertambah besar.” Ucapnya sambil membelai kejantananku.

“Oh ya? Benar kamu bisa?” Aku sedikit tak percaya.

“Aku pernah punya pasien dan hasilnya sangat memuaskan.” Responnya penuh percaya diri.

“Kalau benar kamu bisa. Aku sangat tertarik.” Benar-benar aku jadi penasaran.

“Metodeku adalah dengan pemijitan dan jamu yang aku buat. Tapi harus rutin dan makan waktu sebulan.” Katanya.

“Setiap hari aku harus dipijit dan minum jamu?” Tanyaku dengan nada kaget.

“Ya …” Lia mengangguk.

“Hhhmm … Aku akan coba. Berapa biayanya?” Aku harus menanyakan hal itu.

“Biasanya aku memasang tarif lima juta sampai pemijitan selesai.” Jawabnya lagi.

“Baiklah, aku mau. Tapi, dari mana kamu mempunyai kemampuan itu?” Tanyaku lagi dan lagi.

“Sebenarnya keterampilan ini adalah resep warisan leluhurku yang turun-temurun. Aku mendapatkannya dari ibuku.” Kata Lia.

“Oh …” Gumamku.

Sebenarnya aku merasa agak ragu, tetapi rasanya tak ada salahnya untuk mencoba. Di balik segala keraguan itu, ada keinginan tulus untuk membantu mengatasi kesulitan ekonomi wanita ini. Bagiku, tak masalah apakah usahaku ini berhasil atau tidak. Yang utama adalah aku ingin memberikan bantuan finansial pada Lia, meski hanya sedikit, untuk meringankan beban ekonomi yang dialaminya.

Aku dan Lia keluar dari kolam renang, lalu mengeringkan tubuh dengan handuk kami masing-masing. Setelah berpakaian dan merapihkan diri, kami duduk di ruang tengah dan ngobrol sambil menikmati jus tomat yang dibuat Lia. Menurut Lia, jus tomat tanpa gula sangat baik untuk kesehatan jantung. Katanya, jantung yang sehat menjadi kunci peredaran darah yang lancar. Lia menekankan bahwa peredaran darah yang baik adalah inti dari terapi yang akan dia lakukan.

“Kita akan mulai besok malam.” Kataku.

“Besok malam aku akan ke sini. Kira-kira jam berapa kamu ada di rumah?” Tanyanya.

“Aku yang menjemputmu saja. Berikan saja alamatmu. Selepas pulang kerja aku mampir ke tempatmu.” Aku menawarkan solusi yang lebih memudahkannya.

“Begitu ya lebih bagus. Nanti aku kirim alamatku lewat pesan Whatsapp.” Ujarnya.

“Em … Apakah kamu bersuami?” Tanyaku agak ragu.

“Aku punya suami.” Jawabnya.

“Apakah suamimu tidak akan marah saat aku menjemputmu?” Tentu saja aku harus menanyakan hal itu karena aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

“Suamiku tidak akan marah. Tenang saja.” Lia tersenyum tanpa beban.

“Oh …” Lirihku.

“Angga … Apakah kamu pernah menikah?” Tiba-tiba Lia bertanya serius.

“Ya, aku pernah menikah dan punya anak satu. Tapi, pernikahanku kandas.” Jawabku sambil merenung sejenak, mengingat kembali kenangan indah saat bersama Dewi.

“Kalau boleh tahu, kenapa bisa berpisah?” Lia seperti ingin tahu lebih jauh.

Sejenak, aku berpikir apakah aku akan membuka lembaran masa lalu pada Lia. Akhirnya, aku memutuskan untuk berbagi, “Awalnya kami memiliki perbedaan pendapat yang sulit untuk diatasi. Saling memahami yang kurang membuat semuanya menjadi rumit. Pertengkaran menjadi makanan sehari-hari. Tiba-tiba aku mendapati kenyataan istriku berselingkuh. Dan, pada akhirnya, kami memilih untuk berpisah.”

“Oh, aku turut bersedih … Terus bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah kamu masih sakit hati sama istrimu?” Pertanyaan Lia berlanjut.

“Aku sudah melupakannya. Meskipun pernikahan kami berakhir, kami tetap menjalin hubungan yang baik, meskipun tidak lagi sebagai pasangan suami istri. Ini kami lakukan untuk kepentingan terbaik anak kami.” Jelasku.

“Aku punya cerita … Apakah kamu tertarik mendengarkannya?” Lia menggeser duduknya lalu menggenggam tanganku.

“Ya, aku ingin mendengarkannya.” Responku sembari tersenyum.

“Ini tentang perselingkuhan.” Lia mengawali ceritanya. “Aku punya customer yang mempunyai masalah yang sama denganmu. Namanya Irawan. Istrinya selingkuh dan meninggalkannya. Dan Irawan aku tawari seperti yang aku tawarkan padamu. Satu bulan aku merawatnya dan dia menjadi monster di ranjang. Irawan mengencani beberapa sahabat istrinya dan meniduri mereka. Ternyata sahabat-sahabat istrinya itu menceritakan ketangguhan Irawan kepada mantan istrinya bahkan katanya sangat menyayangkan membuang mantan suaminya. Mantan istri Irawan marah-marah pada Irawan dan meminta Irawan untuk menjauhi sahabat-sahabatnya. Tetapi Irawan malah menjadi-jadi, dia bahkan meniduri mantan istrinya, dan sekarang Irawan merasa mantan istrinya itu sebagai pelacurnya. Balas dendam yang manis.” Lia pun mengakhiri ceritanya.

“He he he … Apakah itu kisah nyata atau promosi?” Candaku.

“Ya, boleh dibilang promosi juga, tapi ini sungguh kisah nyata.” Jawabnya sambil mencubit hidungku.

“Kamu berhasil, Lia … Promosimu membuatku sangat bersemangat.” Jujurku.

“Hi hi hi … Apakah kamu akan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Irawan?” Giliran Lia yang mencandaiku.

“Bisa ya, bisa tidak.” Jawabku sambil memeluk tubuhnya.

“Apakah kamu mau bersenang-senang lagi?” Lia menawarkan diri.

“Tidak … Sebelum aku menjadi monster di ranjang.” Kataku.

“Aku ini pelacurmu. Kamu gak perlu memikirkan aku. Pikirkan saja kesenanganmu.” Ucapnya sambil menangkup wajahku dengan kedua tangannya.

“Tidak malam ini. Besok aku harus bekerja. Aku gak ingin kehabisan tenaga saat bekerja.” Aku tersenyum sambil meremas buah dada Lia.

“Hhhmm … Kalau begitu, aku akan pamit pulang.” Ujar Lia.

“Baiklah.” Aku pun melepaskan pelukanku.

Aku meraih smartphone yang tergeletak di atas meja, membuka aplikasi e-banking, lalu menanyakan nomor rekening Lia. Setelah mendapatkannya, aku mentransfer uang sebesar sepuluh juta ke rekeningnya. Lia begitu gembira mendapatkan uang tersebut dariku. Meski berkali-kali dia menawarkan diri untuk menemaniku, aku tetap menolak dengan lembut. Akhirnya, wanita itu meninggalkan rumahku dengan taksi online yang telah ia pesan.

Kehidupanku hari ini ternyata menciptakan nuansa yang baru. Hidup itu hanya sekali, karena hanya sekali, maka hidup harus dinikmati. Setiap nafas yang kuhirup, setiap langkah yang kutempuh, semuanya adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak akan terulang lagi. Karena itu, aku memutuskan untuk menikmati hidup ini sepenuh hati. Melepaskan segala beban yang menghimpit dan membiarkan diri terbang bebas di awan-awan mimpiku. Aku percaya hidup bukanlah sekadar rentetan hari-hari yang monoton, melainkan ladang pengalaman yang menunggu untuk dijelajahi. Aku tidak ingin membiarkan hidup lewat begitu saja, melainkan menjadikan setiap saat sebagai perjalanan yang menyenangkan.

BERSAMBUNG
 
ahhhh. cuukkklahhhh.. padahal aku mau buat alasan Lingga menjadi lonte lanang karena cintanya kandas dan dia mau buat wanita - wanita diluar sana takluk dengan kejantanannya, sebelum dia menemukan cinta sejatinya.. tapi Angga sudah duluan pakai metode itu..

ya mau gak mau harus cari alasan yang lain ini..

hiuuffttt, huuuuu..

memang cerita om suhu @Nice4 ini buat hati dede meleleh..
meleleh hati dede ini bang, meleleh..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd