Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

CHAPTER 3


AWAL KISAH PART 3

DEWI POV


Sambil bersenandung aku mulai membuka keran dan membasuh kepala dan tubuhku dengan air yang keluar dari shower. Kurasakan sentuhan air yang mengalir di kulit, menyapu lelah dan kotoran dari tubuhku. Sejenak, aku merasakan kesegaran air yang menyapa setiap pori-pori. Aku meraih spons, menuang sabun ke dalamnya, dan menggosok-gosok tubuhku. Spons itu meluncur lembut di kulit, membersihkan dan mengangkat semua kotoran. Tubuhku terasa bersih dan segar. Air mengalir di kepala, menyisir rambutku. Aku merasa kenikmatan setiap tetes air yang menyentuh kulit kepala. Aroma sampo yang wangi menyelimuti rambutku, memberikan keharuman yang menyenangkan. Setelah puas, aku memutar kran air, menghentikan aliran air. Aku melangkahkan kaki keluar dari pancuran, menggapai handuk yang tergantung di samping. Handuk itu meresap kelembapan di tubuhku, menyeka setiap tetes air yang masih menempel. Selesai mandi, aku meninggalkan kamar mandi dengan rasa kesegaran yang memenuhi seluruh tubuh.

Setelah mengeringkan tubuh dengan handuk. Aku membuka lemari, mengambil pakaian sehari-hari untuk di rumah, kaos dan rok agak panjang. Dengan perlahan, aku mengenakan pakaian itu. Sentuhan kain yang lembut menyelimuti tubuhku dengan nyaman. Aku merapikan lengan pakaian, memastikan tampilan rapi. Aku duduk di depan cermin, menyisir rambut, menata rambut yang sesuai dengan suasana hatiku hari ini.

Pandanganku terpaku pada bayangan diri di cermin namun pikiranku terperangkap oleh sosok Dimas. Sisir rambut terus bergerak di tengah lamunanku. Sementara tanganku menata rambut, hatiku mencoba merapalkan nama Dimas dalam diam. Laki-laki tampan dan kaya raya itu mampu menarik hatiku dengan pesonanya yang tajam. Tetapi, apakah semua ini hanya ilusi dari pandanganku yang lapar akan cinta? Apakah ia juga merenungkan hal yang sama? Ataukah hanya aku yang terombang-ambing dalam perasaan ini?

Aku tidak bisa menahan ketidakpastian ini lebih lama lagi. Segera saja aku mengambil smartphone yang tergeletak di atas meja rias, jari-jari mulai menari di atas layar ponsel. Rasa gugup melingkupiku ketika aku mulai mengetik pesan kepada Dimas. "Sedang apa kamu?" tanyaku padanya, hanya sebagai alasan untuk memulai percakapan. Sementara menanti balasannya, aku berharap bahwa dalam pesanku yang sederhana ini, ada tanda-tanda yang bisa menjawab pertanyaan yang membelenggu pikiranku.

Beberapa detik kemudian, Dimas meneleponku. Suaranya menggetarkan hatiku seakan-akan menyentuh setiap serat perasaanku. "Hai Dewi … Aku sedang bersantai di rumah. Bagaimana denganmu?" Katanya di seberang sana.

“Hi hi hi … Aku lagi ngelamun. Di rumah gak ada siapa-siapa, dan aku sedang kelaparan mau cari makan,” jawabku, mencoba memberikan bahan pembicaraan tanpa terlalu jelas mengungkapkan perasaanku.

"Oh, kalau begitu, kenapa tidak kita makan malam bersama?" ajak Dimas dengan nada yang penuh kehangatan.

Hatiku berdegup kencang, dan aku berusaha menyembunyikan kegembiraan di suaraku. "Oh, apa tidak meropatkanmu," ucapku seolah tidak terlalu tertarik.

“Tentu tidak. Aku malah berharap kamu mau menerima undanganku?” Ucap Dimas sambil tertawa lembut di seberang sana.

"Aku tidak ingin merepotkanmu?" ulangku mencoba merespon dengan wajar.

"Tidak sama sekali. Malah aku senang bisa menghabiskan waktu denganmu. Bagaimana kalau alu jemput kamu?” Katanya.

Senyum terukir di wajahku, “Baiklah … Aku akan menunggumu di rumah.”

“Oh ya … Aku segera ke sana.” Katanya lagi.

Telepon dari Dimas baru saja berakhir, dan aku merasa detak jantungku masih berdentum-dentum dalam kebahagiaan. Tanpa ragu, aku memutuskan untuk bersiap-siap untuk acara makan malam bersamanya. Aku bergegas menuju lemari pakaian, mencari pilihan pakaian yang paling sesuai untuk pertemuan malam ini. Tanganku meraih sebuah blus simpel berwarna biru yang selama ini menjadi favoritku. Kemudian, aku mengambil celana panjang hitam. Pakaian yang kupilih ini adalah busana santai yang aku inginkan.

Tanpa banyak berpikir, aku segera mengenakan busana tersebut. Sejenak, aku memandang cermin, memastikan setiap detail pakaian yang aku kenakan sesuai dengan keinginanku. Selanjutnya, aku menyapu sedikit bedak dan memberikan sentuhan tipis lipstik merah muda pada bibirku. Aku ingin tampil alami, merias wajahku sedikit tanpa kelebihan. Selesai merias wajah, aku menatap diriku dalam cermin dengan senyum ringan di bibir. Aku merasa puas dengan penampilanku yang simpel namun tetap menarik. Aku bangkit dari kursi rias, memandang cermin sekali lagi sebelum melangkah keluar. Hari ini, aku ingin menjadi diriku yang sejati, tanpa embel-embel yang tidak perlu.

Aku keluar dari kamar dan memutuskan untuk menonton televisi sebentar sambil menunggu kedatangan Dimas. Ruang tengah terasa nyaman, dan aku langsung duduk di sofa, mengambil remote untuk menghidupkan televisi. Beberapa saluran berganti satu demi satu, hingga akhirnya aku memilih sebuah acara yang cukup menghibur. Aku larut dalam cerita di layar, mencoba mengalihkan pikiranku dari kegelisahan menunggu. Saat itu, tiba-tiba, ponsel di sebelahku berdering. Aku melihat nama "Ibu" terpampang di layar, dan dengan cepat, aku menjawab panggilannya.

"Ya, bu," sapaku ramah.

“Kamu dimana?” Tanya ibu yang terdengar cemas di seberang sana.

“Aku di rumahku, bu.” Jawabku santai.

“Ibu dan ayahmu harus pulang. Kamu gantikan kami menjaga Angga.” Kata ibu.

“Tinggalkan saja, bu ... Kan ada perawat yang menjaganya.” Aku coba meyakinkan.

“Kamu jangan begitu, nak. Dia masih suamimu.” Ibu memperingatiku dengan nada khawatir.

“Tidak bu. Dia bukan suamiku lagi. Aku sudah menganggapnya orang lain.” Tegasku tanpa keraguan.

“Dewi! Apa yang kamu katakan?” Suara ibu meninggi dengan keterkejutan.

“Maafkan aku bu ... Aku sudah tidak peduli lagi. Kalau ibu dan ayah ingin pulang, tinggalkan saja. Biar perawat yang mengurus Angga.” Aku bersikeras dengan hati yang terusik.

“Oh, Dewi. Ada apa denganmu?” Suara ibu penuh keprihatinan.

“Maafkan aku bu...” Kataku sambil memutus sambungan telepon.

Rasanya seperti hatiku dilukai berulang kali oleh tindakan egois Angga. Dia seolah-olah tak bisa mempercayai aku, padahal selama ini aku setia dan berjuang untuk menjaga hubungan ini. Aku merasa terkekang, tidak bisa bergerak bebas. Sakit hati ini menjadi semakin dalam, seiring waktu berjalan. Aku berpikir, mungkin ini sudah saatnya aku melepaskan diri dari belenggu ini. Pikiran untuk mengakhiri semuanya, meski hanya sebagai pelarian dari siksaan hati yang terus berlangsung, telah menggumpal dalam benakku.

Sekitar pukul 20.10, pesan singkat dari Dimas muncul di layar ponselku. “Aku sudah di depan rumah,” begitu bunyi pesan singkat yang aku terima dari Dimas. Aku segera mematikan televisi yang sedang mengetengahkan acara favoritku dan melangkah cepat menuju mobil Dimas yang telah berhenti di depan rumahku. Setelah itu, aku membuka pintu mobil dan tanpa ragu aku langsung memasuki mobil yang nyaman ini. Aku duduk di kursi sebelah Dimas, merasakan getaran mesin mobil yang segera bergerak.

“Kenapa kamu gak masuk ke rumah saja?” Tanyaku sambil tersenyum padanya.

“Masuk? Apakah suamimu tidak sedang berada di rumah?” Tanya Dimas dengan tatapan heran.

“Tidak … Lagi pula aku sudah tak bersuami.” Kataku sambil menahan senyum.

“Oh …” Mata Dimas terbelalak.

“Aku baru saja bercerai. Ya, dan aku sekarang wanita bebas.” Aku menatap mata Dimas ingin mengetahui reaksinya.

“Benarkah? Berita yang sungguh mengejutkan.” Ujar Dimas sembari melajukan mobilnya.

“Hi hi hi … Aku memang yang mengharapkannya, Dimas. Sekarang, aku ingin merayakan hari kebebasanku.” Kataku sembari tertawa ringan.

“Boleh aku tahu, kenapa kamu terlihat senang dengan perceraianmu?” Tanya Dimas santai.

Sambil melihat jalanan yang berlalu di luar jendela mobil, aku mulai membuka hatiku pada Dimas. "Alasan di balik perceraianku dengan suamiku sebenarnya simpel, tapi sangat membebani. Aku merasa suamiku terlalu egois. Dia selalu memaksakan kehendaknya padaku, dia melarangku untuk bekerja. Setiap hari, pertengkaran menjadi rutinitas yang menyiksa. Aku merasa tertekan dan stress. Akhirnya, aku memutuskan untuk berpisah.”

“Suamimu tak ingin kamu bekerja?” Suara Dimas sarat dengan rasa heran.

“Ya … Dia takut kalau aku selingkuh di tempat kerja. Aku tidak habis pikir, kenapa dia berpikiran konyol seperti itu. Padahal, aku selama ini selalu setia padanya. Bahkan, tak sekali pun aku berpikiran untuk selingkuh.” Jelasku lagi.

“Hhhmm … Jelas kalau suamimu salah. Dia tak bisa mengekangmu seperti itu. Bekerja bukan hanya soal mencari uang, bekerja juga adalah soal mencari kepuasan dan kebahagiaan.” Ujar Dimas.

“Ya … Itu yang aku kejar, kenapa aku ingin bekerja. Selain mendapatkan penghasilan lumayan, aku juga tidak terjebak pada rutinitas rumah tangga yang membosankan. Aku bekerja tapi juga aku tetap melaksanakan kewajibanku mengurus rumah tangga. Tapi suamiku tak ingin mengerti.” Kataku dengan suara yang mencerminkan rasa kekesalan dan ketidakpuasan.

Aku bercerita pada Dimas tentang pengalaman hidupku. Dimas mendengarkan ceritaku dengan seksama. Dia tidak menghakimiku. Dia hanya diam dan membiarkan aku menyelesaikan ceritaku. Setelah aku menyelesaikan cerita barulah Dimas meresponnya dengan mengatakan yang sudah berlalu biarkan berlalu. Kebahagiaanku harus diperjuangkan, bukan dengan meratapi masa lalu, meminta belas kasihan orang lain, atau pasrah pada nasib. Kebahagiaan itu harus dimulai dari sendiri.

“Langkah pertama untuk menemukan kebahagiaan adalah memahami diri sendiri. Kita perlu mengetahui apa yang kita sukai, apa yang kita inginkan, dan apa yang membuat kita bahagia.” Dimas mengakhiri ucapannya.

“Tapi, aku khawatir jika aku fokus pada diriku sendiri, akan ada orang yang merasa kecewa, misalnya orangtua.” Kataku.

“Dewi, bukan berarti egois jika kita mencari kebahagiaan kita sendiri. Ini adalah tentang mengenali kebutuhan dan nilai-nilai kita sendiri. Jangan khawatir tentang ekspektasi orang lain. Langit tidak pernah bisa menjadi batas ketika kamu mencari kebahagiaan.” Ujar Dimas dengan penuh keyakinan.

“Tapi bagaimana aku tahu apa yang membuatku bahagia? Aku merasa seperti aku selalu terjebak dalam rutinitas dan kebutuhan orang lain.” Tanyaku ragu.

“Cobalah bertanya pada dirimu sendiri. Apa yang sebenarnya membuatmu tersenyum? Apa yang membuat hatimu bahagia?” Jawab Dimas sambil memberikan senyuman penyemangat.

Aku coba merenungkan saran Dimas dan memang bukanlah tugas orang lain untuk memberikan aku kebahagiaan, melainkan tanggung jawab pribadi untuk menciptakannya. Sebab, di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang penuh tantangan, kebahagiaan sejati tak jarang bersembunyi di dalam diri sendiri. Realitas bahwa kebahagiaan sejati dimulai dari diri sendiri menjadi semakin jelas. Bukanlah harta atau prestise yang memberikan kebahagiaan yang sejati, melainkan kedamaian batin.

“Aku bisa tersenyum, aku bisa bahagia, saat aku berdekatan denganmu, Dimas.” Kataku pelan. Ucapanku itu bukan kata-kata klise, tetapi itu adalah ungkapan tulus dari hatiku.

Tanpa aba-aba, tiba-tiba tangan Dimas menyusup, merangkul bahuku. Meski tiba-tiba, rangkulannya memberikan kehangatan yang mengalir pelan hingga ke dalam diriku. Aku melihatnya dari sudut mata, senyum tipis menghiasi wajahnya yang memancarkan ketenangan. Rangkulan pria tampan itu tidak mengucapkan kata, namun aku merasa aman dan nyaman. Seperti magnet yang menarik, aku membiarkan diri terlelap oleh kenyamanan yang diciptakan oleh rangkulannya.

Mobil melaju pelan memasuki area parkir restoran mewah yang begitu megah. Aku merasa tercengang saat menyadari bahwa Dimas mengajakku makan malam di tempat seperti ini. Kami berdua turun dari mobil, dan langkah kami mendekati pintu masuk restoran yang begitu megah itu. Aroma makanan yang lezat sudah tercium di udara sekitar. Begitu melangkahkan kaki masuk, suasana restoran langsung menyambut dengan desain interior yang elegan dan pencahayaan yang memberikan sentuhan romantis pada ruangan.

Dengan lembut, Dimas menuntunku menuju meja yang sudah disiapkan untuk kami. Aku tak bisa menyembunyikan rasa kagum melihat keramahan pelayan yang memberikan senyuman ramah. Kami duduk di kursi yang nyaman, dan suasana tenang seketika memenuhi meja kami. Ketika menu diletakkan di hadapan kami, masing-masing hidangan terlihat seperti karya seni yang siap memanjakan lidah.

Di meja restoran yang mewah itu, aku dan Dimas duduk saling berhadapan, menunggu pesanan datang. Suasana tenang di antara kami terisi dengan suara-suara ringan dari meja sekitar yang sedang menikmati hidangan mereka. Suara ombak pun terdengar memanggil-manggil di kejauhan. Memang, restoran mewah ini terletak di tepi pantai yang indah. Kami juga berbincang-bincang ringan. Saat itu, aku menunggu kata-kata romantis yang keluar dari bibir Dimas. Namun, kata-kata yang kutunggu tidak juga terlontar dari mulutnya. Jujur saja, aku mulai khawatir, jangan-jangan Dimas memandangku hanya sebatas teman. Aku bisa merasakan getaran ketidakpastian, dan tangis hatiku semakin terdengar jelas.

Aku mulai berpikir, mungkin inilah saatnya bagiku untuk mengambil langkah pertama. Harus aku akui, kegelisahan ini membuat hatiku berdetak lebih cepat. Aku harus melakukan sesuatu yang bisa mengorek hati Dimas. Apakah dia mempunyai perasaan khusus untukku? Aku pun mulai memutar otak, bagaimana caranya agar pertemuan di restoran mewah ini bisa menjadi awal dari perjalanan baru hubungan kami.

Dalam kebingungan pikiranku, aku merasa canggung tetapi sekaligus bersemangat. Aku ingin tahu lebih banyak tentang perasaan Dimas tanpa harus mengejar kata-kata langsung darinya. Mungkin, dengan memberikan petunjuk halus, aku bisa membukakan jalan untuk memahami lebih dalam apa yang tengah berkecamuk di dalam hatinya. Aku memutuskan untuk menciptakan kesempatan bagi kami berdua untuk berbagi momen yang lebih pribadi. Tanpa menyadarinya, aku menyusun rencana kecil, merancang percakapan yang mengajaknya bercerita tentang kenangan-kenangan yang ia miliki, yang mungkin belum pernah ia bagi dengan orang lain.

“Dimas … Apakah kamu punya kekasih saat ini?” Tanyaku memulai misiku.

“Oh, tidak … Aku tidak punya kekasih.” Jawab Dimas agak gugup.

“Aku gak percaya kalau kamu tidak punya kekasih. Kamu tampan dan kaya raya. Rasa-rasanya mustahil laki-laki sepertimu tidak mempunyai kekasih.” Kataku mencoba menyelidik lebih dalam lagi. Aku melihat raut wajah Dimas menyiratkan kebingungan, seolah merenungkan sesuatu yang telah lama terpendam.

“He he he … Aku belum menemukan seseorang yang bisa membuat hatiku berdebar." Ucapnya seraya tertawa kecil.

“Kamu kelihatan gugup sekali … Ada apa Dimas?” Tanyaku terus mendesaknya secara perlahan.

“Oh ya? Benarkah aku gugup?” Dimas terlihat kaget dan itu semakin terlihat kegugupannya.

“Aku bisa melihatnya, Dimas.” Kataku sambil mengambil tangannya lalu meremasnya mesra. Hal ini kulakukan agar Dimas merasa percaya diri untuk berbicara mengungkapkan isi hatinya. “Sebenarnya ada apa?” Aku lancarkan serangan berikutnya.

“Ehm, ya, Dewi. Sebenarnya, ada hal yang ingin aku sampaikan padamu.” Katanya membuat aku hampir berteriak kegirangan. Rasanya pancinganku mengenai sasaran.

“Apa itu, Dimas? Jangan sungkan, ceritakan saja.” Kataku sambil tersenyum manis tanpa melepaskan genggaman tanganku.

Dimas tampak mengambil nafas dalam-dalam, “A..aku... sebenarnya ada perasaan khusus padamu.”

Aku berteriak girang dalam hati tetapi tentu saja aku harus menjaga image di depan Dimas. Aku pura-pura terkejut sambil melepaskan genggaman tanganku. Kemudian aku tertunduk pura-pura malu, berdrama agar Dimas tidak merasa malu juga.

“Aku menghargai kejujuranmu, Dimas. Lalu, apa yang membuatmu suka padaku?” Tanyaku dengan suara pelan.

“Aku suka dengan sifat keibuanmu, Dewi. Cara kamu peduli dan memberikan perhatian kepada nenek membuatku merasa kagum. Itu yang membuatku tertarik.” Jawabnya dengan suara bergetar.

“Terima kasih, Dimas. Aku senang mendengarnya. Dan, sebenarnya, aku juga merasa ada yang berbeda dalam perasaanku.” Kataku sambil mengangkat kepala. Mataku menatap matanya.

“A..apakah kamu …?” Tampak sekali Dimas sangat berharap.

“Ya … Aku juga menyukaimu …” Lirihku sambil tersenyum.

Wajah Dimas langsung ceria. Senyumnya merefleksikan kegembiraan yang sulit untuk ditahan. Seolah beban yang selama ini dipikulnya telah terangkat, dan rasa bahagia itu terpancar dari setiap ekspresi wajahnya.

"Terima kasih, Dewi, karena mau mendengarkan perasaanku." Ucap Dimas dengan suara hangat.

Aku mengangguk dan tersenyum, "Sama-sama …”

Saat itulah, suasana di antara kami berdua berubah menjadi lebih intim. Meskipun suasana di antara kami begitu intim, aku merasa ada ketidaknyamanan yang tak terucap dalam sikap Dimas. Dimas, yang berada di hadapanku, terlihat serba kikuk. Pandangannya bergulir-gulir di antara hidangan dan wajahku, seakan mencari kata-kata yang tepat. Dalam setiap gerakan tangannya yang canggung, aku mulai menyadari bahwa Dimas mungkin tidak memiliki banyak pengalaman dalam hubungan antara pria dan wanita, terutama ketika ia tertarik pada seorang wanita. Aku merasakan keawaman itu di dalam caranya berbicara dan melihatku. Sifat pemalu yang terpancar dari setiap gerakannya menjadi sinyal kuat bahwa ia tidak sering berurusan dengan wanita, terutama wanita yang ia sukai.

“Dimas … Aku ini sekarang kekasihmu. Kenapa kamu masih gugup?” Aku segera meraih tangannya lagi.

“Ma..maafkan aku … Jujur saja, aku belum pernah …” Dimas seperti tak kuasa melanjutkan kata-katanya.

“Hi hi hi … Aku heran padamu. Kamu adalah pengusaha sukses, tapi menghadapi wanita kamu seperti bukan seorang pengusaha sukses saja. Kamu seharusnya lebih gugup menghadapi rekan bisnismu daripada aku.” Kataku sambil terkikik. Aku melihat ekspresi tak menentu di wajah Dimas, kombinasi antara malu, kebingungan, dan sejumput kelegaan. Tangannya yang tadinya tegang di dalam genggamanku kini terasa lebih rileks. Aku mencoba memberinya tatapan hangat, "Dimas, tidak apa-apa. Aku tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman. Sebenarnya, kegugupanmu itu malah membuatku semakin suka padamu.”

Dimas tersenyum malu, "Aku jadi malu ... Ini memang baru bagiku. Aku takut sikapku membuatmu menjadi berbalik tidak suka. Ya, aku sangat takut kalau aku menyakitimu.”

Aku membalas senyumnya, "Hi hi hi. Kamu terlalu berlebihan. Ini tentang kita berdua, bukan tentang pengalaman. Kita akan belajar bersama, dan aku siap memberikan jiwa dan ragaku dengan ikhlas karena aku mencintaimu."

Kegugupan yang sebelumnya terasa begitu kentara pada wajah Dimas mulai mereda. Ia tersenyum, dan tangannya yang tadinya kaku kini membalas genggaman tanganku dengan hangat. Setiap ketidaknyamanan yang ada seolah sirna, dan suasana di sekitar kami berdua berubah menjadi lebih intim. Sambil tetap memandang wajahnya dengan penuh cinta, aku merasa bahwa langkahku bersamanya dimulai dengan indah, dan aku tidak sabar untuk menjalani lebih banyak momen bersama pria tampan di depanku ini.

Setelah hidangan terakhir selesai, kami memutuskan untuk melanjutkan malam kami di pantai. Di bawah sinar remang-remang bintang, kami berjalan di tepian pantai yang sepi. Pasir lembut di bawah kaki kami memberikan kesan romantis, sementara ombak yang menghentak pelan menambah sentuhan alami pada suasana yang semakin intim. Pemandangan laut yang tenang dan langit yang penuh bintang menjadi saksi momen-momen manis di antara kami. Seiring dengan suara angin yang berbisik, perasaan kehangatan dan kenyamanan semakin terasa, membiarkan kami menikmati kebersamaan ini tanpa batas. Saat itulah, kami berdua memilih untuk duduk di tepi pantai, menatap horison yang jauh di depan kami. Kami berpelukan dengan mesra.

“Inilah hari yang paling bahagia untukku.” Ujar Dimas dan tiba-tiba dia mengecup pipiku.

“Aku juga. Kebahagianku sangat sederhana, melihat orang yang aku cintai berbahagia.” Ucapku sambil menatap laut yang tenang.

"Sejujurnya, selama ini aku belum pernah merasa sedekat ini dengan seorang wanita. Bukan karena aku tidak ingin, tapi lebih karena aku merasa takut. Takut ditolak, takut perasaanku dianggap tidak sebanding, dan yang paling parah adalah takut kehilangan teman baik. Setiap kali melihat seorang wanita yang membuat hatiku berdebar-debar, aku selalu merasa ragu. Bagaimana jika perasaanku tidak direspon? Bagaimana jika aku diabaikan atau bahkan ditolak? Aku tahu, mungkin terdengar bodoh. Mungkin aku terlalu memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa meski seringkali terlihat kuat di luar, sebenarnya aku adalah seseorang yang takut akan cinta.” Katanya dengan nada lirih, terdengar seperti bisikan yang keluar dari hati yang penuh keraguan.

“Kamu memiliki banyak hal yang membuat wanita seperti aku terpesona. Aku melihat begitu banyak hal indah dalam dirimu. Kamu sukses, tampan, dan memiliki daya tarik yang unik. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu untuk menjadi dirimu yang sejati. Kamu memiliki segalanya yang bisa membuat wanita di seluruh dunia tertarik padamu. Aku bangga bisa bersamamu, dan bersama-sama kita bisa menjalani hubungan ini dengan penuh kepercayaan diri.” Aku mencoba memberinya motivasi.

“Aku sangat bersyukur memiliki wanita seistimewa kamu di hidupku. Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia. Aku akan berusaha dengan segala kekuatan yang ada dalam diriku untuk membuatmu tersenyum setiap hari. Kamu layak mendapatkan segala kebahagiaan di dunia ini, dan aku berkomitmen untuk selalu membuatmu bahagia.” Katanya sangat menyanjung.

“Janji ya?” Candaku sambil mengangkat kelingking ke hadapannya.

Dimas pun mengaitkan kelingkingnya dan berkata, “Aku berjanji.”

Aku pun memeluknya dan Dimas membalas pelukanku dengan kecupan di keningku. Dimas kemudian memegang kepalaku di antara kedua tangannya dan menghadapkan wajahku ke wajahnya untuk membuatku tersenyum. Kami menutup mata dan bibir kami pun bersentuhan. Kami berciuman dengan pelan dan lembut. Dimas terus maju memperdalam pelukannya. Sentuhan itu seakan menjadi mantra magis yang menghidupkan kembali api hasrat yang sudah lama terlelap dalam diriku. Jari-jarinya meluncur di atas kulitku, membangkitkan getaran yang mengalir begitu dalam, menciptakan denyut-denyut yang seakan menyusuri setiap serat tubuhku.

Ketika tangan Dimas kubimbing untuk menyentuh payudaraku, sensasi yang melebihi kata-kata menyapu jiwaku. Bagai ombak yang memecah di pantai, hasrat kami mengalir begitu deras. Setiap sentuhan, setiap belaian, seakan menjadi melodi yang membuat hati bergetar. Sentuhan itu, seperti elixir yang memabukkan, mengejutkan indraku yang terlelap. Mataku terpejam, membiarkan sensasi kenikmatan itu meresap ke dalam setiap pori-pori. Dalam keadaan terbuai, aku merasakan denyutan yang tumbuh, semakin kuat dan tak terbendung.

Hasratku yang telah lama tenggelam, tiba-tiba muncul dengan kekuatan yang luar biasa. Rasanya seolah-olah api yang terpendam tiba-tiba berkobar dengan nyala yang membara, menghilangkan segala rasa malu yang biasanya menjadi teman setiaku. Dalam keadaan itu, aku merasakan denyut nadi yang semakin cepat, seiring dengan kilatan hasrat yang melonjak tinggi. Terkuaklah sebuah keinginan yang telah lama terkubur.

“Dimas …” Aku mendesah setelah melepaskan ciuman kami.

“Ada apa?” Tanya Dimas dengan wajah polosnya.

Aku memeluk Dimas dengan menempelkan bibirku di telinga kirinya, “Aku ingin … Dimas …”

“Ingin apa?” Tanyanya lagi membuatku sedikit kesal tapi juga ingin tertawa. Laki-laki ini benar-benar polos.

“Aku ingin bercinta. Bawa aku ke sebuah tempat. Aku ingin bercinta.” Bisikku lagi tanpa malu karena kepolosan pria ini.

“Oh …” Ujar Dimas sambil mengurai pelukannya. “Bagaimana kalau kamu yang menentukan.” Katanya kemudian.

Aku benar-benar tidak percaya, bagaimana seorang pengusaha sukses sangat awam dengan masalah seperti ini. Tapi di sisi lain, aku merasa bangga dan bersemangat karena akan mendapatkan perjaka murni. Aku pun segera mengajak Dimas mencari hotel untuk menghabiskan malam berdua. Kami alhirnya meninggalkan pantai, kemudian menghampiri mobil yang terparkir di halaman restoran. Aku dan Dimas melaju perlahan melintasi jalan-jalan kota yang padat. Kilometer demi kilometer terus berlalu di bawah roda mobil kami.

Setelah beberapa saat, kami akhirnya tiba di depan sebuah hotel mewah berbintang lima. Aku merasakan kelegaan saat melihat bangunan yang megah itu. Tanpa banyak membuang waktu, kami berdua bergegas menuju pintu masuk hotel. Dengan tenang, kami melewati area lobby yang elegan dan menuju resepsionis untuk proses check-in. Setelah proses check-in selesai, aku dan Dimas menuju kamar kami. Kunci kamar diputar, dan pintu terbuka mengungkapkan ruang yang bersih dan nyaman. Kami berdua masuk dan merasakan kenyamanan tempat itu. Sejenak, mataku menangkap detail-detail kecil di sekitar kamar.

Aku tahu kalau aku harus menjadi inisiator di malam ini. Aku lantas mendekati ranjang dengan langkah perlahan. Di tepi ranjang, aku dengan cepat meloloskan semua kain yang melekat di tubuhku. Setiap helai kain terlepas dan terjatuh ke lantai, tubuhku kini terungkap, tanpa rintangan, dan aku merasakan angin malam yang menyapu lembut di kulit yang terbebas dari belenggu kain. Dengan santai, aku naik ke atas ranjang dan berbaring menyamping dengan tangan kanan menumpuk kepala. Aku menatap Dimas yang tanpa berkedip memandangi tubuh polosku.

“Apa kamu mau terus berdiri di situ?” Godaku dengan senyum memikat.

“Oh … Kamu luar biasa …” Gumamnya pelan.

“Hentikan pujianmu itu, tampan … Buka bajumu dan naiklah ke sini.” Kataku.

Dimas tanpa ragu segera melucuti semua pakaiannya. Setiap lapisan pakaian yang dilepasnya membuka tirai pada keadaan aslinya. Aku sejenak melihat kemaluan Dimas yang sudah sangat tegang. Ukuran kemaluannya tidak besar juga tidak kecil, rata-rata orang Asia. Bila aku compare dengan kepemilikan Angga, kepunyaan Dimas masih kalah oleh kepunyaan Angga. Tapi itu bukan masalah bagiku, yang terpenting dia bisa memuaskanku. Dengan agak terburu-buru, Dimas naik ke atas ranjang tanpa beban apapun.

Aku yang sudah tak kuasa menahan birahi, langsung menarik tubuh Dimas hingga ia menindihku. Beberapa menit kami saling berciuman dengan dengus napas yang berat. Aku ambil penisnya dengan tangan kanan lalu aku arahkan ke lobang nikmatku. Ujung penisnya menyentuh vaginaku. Aku menahan nafas, menanti. Kepala bulat licin itu mencari jalan menguak bibir vaginaku yang basah. Aku merasakan dia mulai melesak masuk. Ya, batang penisnya tenggelam ke dalam jepitan vaginaku. Aku merasa seperti kena setrum, tidak bisa menahan erangan nikmat.

“Aaaaahhh ….” Erangku merasakan kenikmatan yang lama tidak kurasakan.

“Uugghh …” Dimas pun mendesis sambil memejamkan mata.

“Gerakin …” Pintaku mendamba.

Desah dan erang meledak tatkala penis itu mulai keluar masuk di lorong cintaku. Aku merasakan nikmat yang tiada tara ketika penisnya dengan cepat menerobos vaginaku. Rasa nikmat ini membawaku ke dunia di mana waktu melambat, dan pikiran-pikiran yang berkeliaran sejenak beristirahat. Frekuensi sodokannya makin lama makin cepat, aku mulai menggila dan mulai menjerit beradu dengan erangannya. Dimas mencengkram kedua tangannya di dadaku. Kurasakan nikmat yang berlipat-lipat, ditambah lagi hujaman-hujamannya yang membuat di sekitar tubuhku teraliri rasa yang sungguh luar biasa.

“Terus … Lebih keras …” Pekikku.

Dimas menambah kecepatan gerakan menyodoknya. Suara gesekan kelamin kami yang tadi terdengar berirama kini mulai tak karuan. Aku tiba-tiba menjerit kecil ketika kurasakan cairanku ingin meledak keluar. Aku mendesah panjang tak kuasa menahan orgasmeku. Dimas yang menindih dan berpacu denganku seperti tahu kalau permainan panas ini akan segera berakhir, dan pada akhirnya kami berdua mencapai puncak bersama-sama. Kenikmatan menggelegak ini merayap begitu dahsyat sehingga terasa seakan tubuhku melayang. Tak lama, Dimas turun dari atas tubuhku.

Kami berakhir dengan kepuasan, terlentang di atas kasur dengan tubuh telanjang dan masih meresapi sisa-sisa kejadian yang baru saja lewat. Napasku yang terengah-engah semakin mereda. Aku bergerak sambil mencari posisi yang enak untuk meletakkan kepalaku di dada Dimas.

“Luar biasa untuk seorang pemula.” Kataku sambil tersenyum sendiri.

Kurasakan tangan Dimas mengelus rambutku lembut, “Ya, ini adalah yang pertama bagiku.”

“Gimana rasanya?” Godaku sembari mengangkat kepala dan memandang wajahnya.

Dimas terlihat tersenyum, “Enak sekali …”

“Hi hi hi … Apakah kamu mau lagi?” Tanganku mulai merabai penisnya yang setengah layu.

“Tentu saja … Aku menginginkannya lagi.” Jawab Dimas sambil meringis saat kejantanannya aku pijit.

Kami pun mengulanginya lagi, kali ini kami benar-benar menumpahkan segalanya. Seakan tak pernah puas kami bercinta. Aku betul-betul puas dengan permainan Dimas, dan ternyata staminanya juga lumayan hebat, dia bisa bercinta berkali-kali hingga kami benar-benar kelelahan. Akhirnya kami tidur sambil berpelukan dan tentu saja telanjang bulat. Rasanya bahagia sekali berada di pelukannya. Hangat, nyaman dan tenang.


#####


Hari ini aku mengajukan cuti dengan alasan suamiku kecelakaan. Aku mendapatkannya namun bukan untuk menemani Angga yang masih tak sadarkan diri di rumah sakit. Aku melanjutkan percintaanku dengan Dimas di kamar hotel. Kami seperti pengantin baru, dimana tiap ada kesempatan kami akan bercinta. Di lain pihak, Dimas pun sangat menikmati percintaan ini, bahkan beberapa kali dia yang mengambil inisiatif.

Kami melangkah keluar dari kamar hotel, tanganku erat bergandengan dengan Dimas. Sudah waktunya untuk kami check-out. Langkah kami seiring sejalan menuju lift. Tak ada kata yang terucap, hanya langkah dan senyum bahagia yang menandai kemesraan kami. Di dalam lift, kami masih sempat berpelukan dan berciuman sebelum akhirnya pintu lift terbuka. Lift berhenti di lobi, dan kami berdua keluar bersama-sama. Aku masih memeluk mesra lengan Dimas saat kami melangkah ke arah pintu keluar lobby.

“Dewi …” Suara itu terdengar familiar di telingaku namun sungguh membuatku terperanjat. Aku segera menoleh ke arah suara yang berasal dari sampingku.

“Faiz …” Suaraku bergetar dan juga tubuhku.

Aku terkejut melihat Faiz, kakak suamiku, di lobby hotel ini. Rasa malu langsung menyergap begitu saja saat mata kami saling bertemu. Saat itu, aku dan Dimas tengah bergandengan tangan mesra, dan langsung saja aku melepaskan pelukan tanganku dari lengan Dimas. Tatapan terkejut Faiz menambahkan rasa malu yang kurasakan. Hati berdegup kencang, seolah sebuah bom waktu baru saja meledak. Senyuman terasa terbata-bata di wajahku, seakan mencoba menyembunyikan ketidaknyamanan di hatiku. Faiz tetap memandang tajam dan aku merasakan beban percakapan tak terucap di antara kami.

“Apa yang sedang kamu perbuat?” Tanya Faiz memecah keheningan.

“A..aku … Em …” Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutku, semuanya seperti tergantung di ujung lidah. Mata Faiz tetap menatapku dengan ekspresi yang semakin tidak bersahabat.

“Angga sedang memperjuangkan nyawanya, sementara kamu asik-asik dengan kekasihmu di sini. Di mana perasaanmu, Dewi?” Perkataan Faiz sungguh menohok hatiku.

Dalam kebimbangan yang semakin memuncak, aku mencoba merangkai kata-kata, mencari penjelasan yang bisa meredakan situasi yang terasa begitu chaos ini. Hatiku berdebar keras, seakan tenggelam dalam lautan ketidakpastian. Faiz menunggu jawabanku, dan setiap detik terasa seperti beban yang semakin berat di pundakku.

“Maaf, aku menyela. Perkenalkan, Dimas.” Ujar Dimas yang tiba-tiba menyodorkan tangannya kepada Faiz.

Untungnya Faiz menyambut sodoran tangan Dimas dengan penuh penghargaan, “Faiz … Kakaknya Dewi.”

“Oh … Dewi gak pernah mengatakan punya kakak. Senang bertemu denganmu.” Kata Dimas sambil mempererat genggaman tangannya.

“Sama-sama …” Jawab Faiz sambil tersenyum.

“Maaf … Kalau tidak salah dengar, mantan suami Dewi sedang memperjuangkan nyawanya. Kalau boleh tahu, ada apa dengan mantan suaminya?” Tanya Dimas membuatku harus menahan nafas. Kulihat Faiz memandangku lagi dan kali ini tatapannya lebih tajam.

“Dia kecelakaan dan sedang koma di rumah sakit.” Jawab Faiz tanpa mengalihkan tatapannya padaku. Hatiku berdenyut cepat, seolah mengikuti ritme gejolak dalam diriku. Aku mencoba menahan diri agar tak ambruk di hadapan Faiz, namun rasa takut dan kecemasan merasuki setiap serat tubuhku.

“Oh begitu ya …” Ujar Dimas lalu menoleh ke arahku. “Sebaiknya kamu mengunjungi mantan suamimu, Dewi. Dan kenapa kamu tidak memberitahukan itu padaku?” Tanya Dimas lemah lembut.

Karena terpojok dan tak berkutik, aku memilih untuk berlari menjauh dari Faiz dan Dimas. Rasa malu dan ketakutan begitu menggelayuti hatiku, mendorongku untuk mencari jarak dari mereka. Langkahku terburu-buru menuju parkiran mobil, dan aku tiba di depan kendaraan milik Dimas. Di sana, aku mencoba merapikan napas yang terengah-engah, sambil berusaha keras menahan air mata yang memaksa keluar dari mataku.

Di parkiran hotel, aku berdiri di samping mobil Dimas. Tak berapa lama, Dimas datang. Matanya menatapku untuk beberapa detik, lalu tanpa sepatah kata pun, ia membukakan pintu mobil untukku. Dengan sigap, aku memasuki mobil, diikuti oleh Dimas yang duduk di jok kemudi. Untungnya, Dimas sepertinya mengerti situasi yang tengah aku hadapi. Mobil segera meluncur keluar dari parkiran hotel, membawa kami menjauh dari tempat yang membuatku merasa terpojok dan tak berkutik.

Di dalam mobil, suasana hening dan kebingungan masih merayap di dalam hatiku. Pandangan kami jarang bertemu, dan perasaan canggung terasa menyelinap di antara kami. Aku memandangi jalan yang berlalu di luar jendela, mencoba meredakan kekacauan yang menyelimuti pikiranku.

“Kakakmu bilang agar aku menjagamu sebaik-baiknya.” Dimas memecah kebisuan.

Sungguh, aku tak dapat menyembunyikan kejutan dan rasa lega dalam diriku. Faiz telah melindungi kehormatanku dengan tidak membeberkan segala aibku di depan Dimas. Rasanya seperti angin segar melintas, mengantarkan aku dalam ketenangan.

“Apalagi yang dia katakan?” Tanyaku penasaran.

“Dia juga mengatakan kalau aku harus super sabar menghadapimu. Katanya, kamu keras kepala.” Jawab Dimas sambil tersenyum tipis.

Aku tersenyum dan mengakui kenyataan tersebut. Bagiku, tak ada alasan untuk menyembunyikan sifat itu. Aku melihatnya sebagai suatu kebaikan kalau Dimas dapat mengenal sisi keras kepala dalam diriku. Mungkin dengan demikian, ia akan lebih siap menghadapi segala tantangan yang melibatkan kepala batuku.

“Aku memang orang yang keras kepala. Sulit bagiku menerima penolakan tanpa alasan yang masuk akal. Aku haus akan alasan yang logis, yang bisa membuatku lebih memahami situasi. Mungkin terkadang sifat ini merepotkan, tapi aku sedang berusaha untuk lebih terbuka dan bisa menerima. Jadi, Dimas, bisakah kamu menerima sifat keras kepalaku ini?” Kataku dengan lemah lembut.

Dimas tersenyum simpul mendengar pengakuan terbukaku. "Dewi, sifat keras kepalamu adalah bagian dari dirimu yang membuatmu unik. Aku siap menerima sifat itu. Bagiku, kejujuran dan keterbukaan seperti ini justru membuat hubungan kita semakin kuat. Jadi, jangan khawatir, aku akan menerima kamu apa adanya."

Senyumku terpancar begitu cerah, hatiku terasa hangat mendengar pengakuan tulus dari Dimas yang menerima sifat keras kepala yang melekat pada diriku. Tidak ada kata-kata yang perlu dijelaskan atau diberi keterangan lebih lanjut. Hanya senyuman puas yang menghiasi wajahku yang menandakan bahwa keputusanku untuk membuka diri tentang kelemahanku ternyata tidak salah. Pada saat ini juga keyakinanku tumbuh lebih kuat, bahwa cinta Dimas padaku benar-benar mendalam.

Setelah satu jam lebih perjalanan, akhirnya kami tiba di depan rumahku. Aku mengajak Dimas untuk mampir sebentar, tapi dia menolak dengan halus, menyatakan bahwa ada tanggung jawab di tempat kerjanya yang perlu segera dia selesaikan dan aku pun memahami prioritasnya. Setelah berbagi ciuman singkat, aku melangkah keluar dari mobil Dimas. Aku berdiri di depan rumah, melihat mobilnya semakin menjauh hingga tak terlihat lagi di ujung jalan.

Aku berjalan mendekati pintu rumah, dan dengan hati ringan aku membukanya. Suasana rumah terasa hangat menyambut kedatanganku. Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan lapang. Kemudian duduk di sofa ruang tengah, aku merenung sejenak, membayangkan momen-momen indah bersama Dimas yang baru saja berlalu, mulai dari kemarin hingga detik dia meninggalkan rumah ini. Bayangan senyuman dan tawa, sentuhan hangat, serta percintaan kami yang panas melintas di benakku. Ternyata hidup ini begitu indah.


#####



AUTHOR POV

Faiz merasa prihatin melihat kondisi adiknya, Angga, yang terbaring tanpa daya di ranjang perawatan. Hatinya terasa hancur melihat penderitaan yang dialami oleh Angga. Air matanya mengalir tersedu-sedu, kepedihan merasuk seluruh benaknya. Kesedihan Faiz semakin menjadi saat mengenang nasib rumah tangga Angga yang hancur berantakan. Di tengah-tengah keprihatinannya, Faiz yakin, sangat yakin, bahwa Angga memiliki kekuatan untuk menghadapi cobaan ini. Memori akan perjuangan Angga untuk meraih kesuksesan tanpa bantuan ibunya mengalun dalam pikirannya. Faiz ingat betul bagaimana Angga bersusah payah mengejar impian dan membuktikan dirinya sebagai pribadi yang mampu mandiri tanpa bantuan ibu mereka yang notabene hidup dalam kemakmuran.

Tak lama, dua orang perawat memasuki ruangan perawatan dengan membawa peralatan yang diperlukan untuk membersihkan tubuh Angga. Faiz, setelah memberi doa singkat dalam hatinya, kemudian keluar ruangan bersama ayahnya Dewi yang setia menunggu Angga di rumah sakit. Keduanya memilih duduk di bangku tunggu di luar ruang perawatan.

“Pak … Sebenarnya, apa yang terjadi antara Angga dan Dewi?” Tanya Faiz memulai pembicaraan.

“Rumah tangga mereka berdua sekarang dalam keadaan sangat tidak baik. Seringkali bertengkar tentang masalah sepele. Angga tidak ingin Dewi bekerja, tetapi Dewi bersikeras untuk bekerja. Pertengkaran terus berulang, dan sepertinya sulit untuk didamaikan.” Jelas ayah Dewi dengan suara sendu.

“Ya … Sepertinya mereka sulit didamaikan. Lagi pula, Dewi sudah memilih jalannya sendiri. Dia memiliki hubungan serius dengan seorang pria bernama Dimas.” Ungkap Faiz yang sukses membuat ayah Dewi terperanjat.

“Apa? Tidak mungkin!” Mata ayah Dewi terbelalak lebar.

“Maafkan saya, Pak. Tapi itu yang saya temui. Saya menemui Dewi dan Dimas di hotel tempat saya menginap. Mereka bermalam bersama di sana.” Kata Faiz lalu menghela napas kuat-kuat.

“Tidak bisa dipercaya. Bagaimana ini bisa terjadi?” Ucap ayah Dewi dengan suara yang serak.

“Saya bertemu Dewi dengan kekasihnya di lobby hotel saat saya hendak ke sini. Bahkan saya sempat ngobrol dengan kekasihnya. Setelah Dewi dan kekasihnya pergi, saya mengecek ke resepsionis, dan ternyata mereka masuk malam kemarin dan keluar saat saya memergoki mereka.” Jelas Faiz semakin membuat hati ayah Dewi menderita karena malu.

“Bapak merasa sangat sedih dan malu atas kelakuan Dewi. Sekarang, Bapak menyerahkan semuanya kepadamu, Faiz.” Ujar ayah Dewi lemas.

“Saya bukannya ingin menyalahkan Dewi, tapi rasanya apa yang saya temukan tadi di hotel adalah sikap Dewi yang sudah tidak memperdulikan lagi Angga. Rasanya sudah tidak ada lagi perdamaian. Menurut saya, rumah tangga mereka harus berakhir.” Ucap Faiz dengan sangat menyesal.

“Bagaimana kalau kita menunggu Angga sadar dan sehat. Kita tanya Angga bagaimana keinginannya.” Ayah Dewi coba mempertahankan keutuhan rumah tangga Angga dan Dewi.

“Tidak ada gunanya, Pak … Saya sangat tahu Angga dengan persoalan ini. Angga tidak akan pernah memaafkan yang namanya pengkhianatan dan perselingkuhan. Angga sangat membencinya.” Ujar Faiz penuh keyakinan.

“Ya, Bapak tahu.” Lirih ayah Dewi.

“Maaf Pak … Saya harus menceritakan semuanya kepada Angga kalau dia selamat dan sehat. Sepertinya, Angga akan mengakhiri rumah tangganya.” Ungkap Faiz sambil meletakkan tangannya di paha ayah Dewi.

“Kalau itu yang terbaik, Bapak ikut saja. Maafkan atas kelakuan Dewi ya nak.” Ayah Dewi tersedu-sedu.

“Tidak apa-apa, Pak. Ini sudah suratan kita semua. Tak perlu menyalahkan siapa pun, termasuk Dewi. Mungkin Dewi berbuat demikian karena ada kesalahan Angga yang tidak termaafkan oleh Dewi.” Ungkap Faiz lembut.

“Terima kasih, nak …” Sahut ayah Dewi yang tidak bisa menahan air matanya keluar.

Dalam sebuah hubungan, ada kalanya perpisahan terjadi. Sebuah perpisahan yang terjadi pun tak selalu karena sudah tidak ada cinta, melainkan agar tidak makin saling menyakiti satu sama lain. Tak ada manusia yang sempurna, tak ada juga hubungan yang benar-benar sempurna. Perpisahan kadang diambil karena tak ingin saling menyakiti lagi. Tentu saja tak mudah, tetapi perpisahan kadang perlu dipilih agar bisa sama-sama membuka jalan yang lebih baik lagi ke depannya. Jika terus bersama hanya menambah luka, maka perpisahan menjadi jalan keluar terbaik yang perlu diambil bersama. Sebuah perpisahan bisa jadi awal untuk kebahagiaan baru. Mungkin dengan memilih jalan berbeda, ada kebaikan dan kebahagiaan baru yang dapat diperoleh.

SELESAI BAGIAN 1
NANTIKAN BAGIAN 2


Turut mengundang: Sesepuh @kuciah
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd