Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

Enak ceritanya, tapi agan ini ceritanya selalu unik berkisar laki-laki yang selalu di khianati dan akhirnya berujung pembalasan yang indah. Pesan moralnya hargailah apa yang telah kau miliki dan perbaiki apa yang punya agar lebih baik buat bersama. Sent cendol ya gan dah terkirim maaf ujan-ujan malah kirim cendol:thumbup:thumbup:thumbup:thumbup:thumbup:thumbup:rose::rose::thumbup
 
CHAPTER 8


JATUH CINTA LAGI? TAPI ...

ANGGA POV


Aku melongo menatap layar ponsel, mengira salah melihat. Di layar ponselku tertera bukti transfer dari Mama dengan jumlah yang sangat fantastis. Transferan uang Mama kali ini sungguh membuatku tak percaya. Sebanyak 10 milyar rupiah kini berada dalam rekeningku, dan aku merasa heran, mencoba memahami, darimana Mama memperoleh uang sebanyak ini? Apa pekerjaan Mama atau suaminya? Memang selama ini aku kurang peduli dengan latar belakang mereka. Namun, setelah beberapa kali aku dikejutkan oleh jumlah transferan Mama, hatiku mulai tergelitik untuk mengetahui lebih, siapa Mama dan suaminya yang sekarang?

Aku tahu Mama tidak bekerja, jadi uang yang aku terima adalah hasil kerja suaminya. Aku langsung browsing dengan ponsel pintarku untuk mengetahui sosok suami Mama yang bernama Miguel Santos. Dengan jari-jari yang lincah, aku mengetik nama itu dan mengeksplore setiap hasil pencarian yang muncul. Aku membaca setiap informasi yang bisa kudapatkan, mulai dari potret kehidupan pribadinya hingga jejak perjalanan hidupnya.

Lagi-lagi mataku mendelik tak percaya ketika menemukan bahwa suami Mama, Miguel Santos, ternyata adalah CEO dari perusahaan energi terbarukan, EcoSolutions Energy, yang dikenal di seluruh dunia. Kejutan semakin bertambah saat mengetahui bahwa Miguel Santos termasuk dalam 100 orang terkaya di dunia dengan aset mencapai 250 trilyun rupiah. Pria yang selama ini kukira orang biasa-biasa saja ternyata seorang taipan dan pemimpin industri yang hebat.

“Mereka tidak pernah memberitahuku.” Gumamku yang merasa kecewa pada Mama dan kakakku yang memang mereka tidak pernah memberitahukan suami baru Mama padaku.

Walaupun sekarang aku tahu bahwa Mama bersuamikan seorang taipan, aku tidak akan berubah. Meski dunia di sekitarku berputar dengan kilatan keberhasilan dan kemewahan, aku tetap akan menjadi diriku sendiri. Sikap dan perilaku yang selama ini aku tunjukkan tetap akan kujaga, karena kekayaan material tidak akan pernah mengubah esensi siapa aku. Aku akan tetap setia pada nilai-nilai yang selama ini mengukir jalan hidupku.

Aku melanjutkan pekerjaanku memeriksa produk perusahaan yang merupakan tanggung jawabku sebagai mechanical engineer. Seharian penuh terlibat dalam uji coba dan analisis, aku mengevaluasi setiap detail dengan teliti. Hingga tak terasa, waktu beranjak pukul 17.00, mengingatkanku bahwa sudah saatnya untuk pulang. Saat aku sibuk merapikan meja kerja, smartphoneku tiba-tiba berdering. Layar ponsel menampilkan nama Dewi. Aku menggeser tombol hijau pada layarnya.

“Halo …” Sapaku.

Angga. Aku hari ini ada acara dengan teman-temanku. Bisakah kamu ambil Aska sekarang?” Pinta Dewi.

“Oh, siap. Kamu mau kemana dengan teman-temanmu?” Tanyaku iseng.

Pengen tau ajah deh. Ini urusan perempuan.” Suara Dewi terdengar menggoda. Tumben sekali, Dewi berkata dengan gaya seperti itu. Nada suara yang sudah hilang lama kini terdengar lagi oleh indera pendengaranku.

“Oh … Aku pikir aku bisa ikut.” Aku balas menggodanya.

Hi hi hi … Nggak bisa dong … Acara kita berabe kalau ada kamu.” Sekarang suaranya menjadi genit. Lagi-lagi aku merasa heran dengan nada bicaranya seolah dia sedang menggodaku dengan kegenitannya.

“Ya, sudah … Aku akan jemput Aska sekarang juga.” Kataku.

Oke ya … Bye …

“Bye …”

Segera setelah hari kerja usai, aku bergegas pulang dengan satu tujuan di pikiranku: membereskan meja kerja. Dengan cepat, aku menyusun berkas-berkas, menyimpan pulpen, dan merapikan setiap sudutnya. Setelah meja kerja rapi, aku memburu mobilku di parkiran samping gedung perusahaan. Aku cepat membuka pintu mobil, dan membiarkan udara senja masuk ke dalam kendaraanku. Dalam perjalanan menuju rumah Dewi, pikiranku melayang pada Aska. Aku bertanya-tanya tentang kegiatan dan cerita sehari-harinya.

Namun, takdir sepertinya memainkan peranannya karena perjalanan kali ini terasa lebih berat dari biasanya. Jalanan yang kusebrang terlihat sesak oleh kemacetan, menundaku untuk cepat menemui Aska. Mobilku melaju perlahan di antara deretan kendaraan. Suara klakson, gesekan rem, dan deru mesin kendaraan menyatu menjadi simfoni kehidupan perkotaan yang ramai. Saat-saat seperti ini menjadi waktu untuk merenung dan melihat ke belakang, sejenak mengingat masa lalu yang sering kali terabaikan. Meskipun hiruk-pikuk jalanan membuat perjalanan terasa lebih panjang dari seharusnya, tetapi mungkin itulah bentuk pengingat bahwa hidup tidak selalu sejalan dengan rencana.

Sekitar pukul 19.20 malam, langit sudah gelap ketika aku sampai di rumah Dewi. Aku langsung disambut oleh neneknya Dimas yang bernama Nadia yang sedang menggendongan Aska. Aku selalu memanggilnya Nenek Nadia. Sambil memberikan Aska padaku, Nenek Nadia memberitahuku bahwa Dimas dan Dewi tidak berada di rumah. Aku pun dengan senyum ramah mengambil Aska dari gendongannya. Sejenak, aku berbincang-bincang dengan Nenek Nadia. Meski hanya sebentar, namun obrolan ringan itu memberi kesan penuh kehangatan. Saat aku berpamitan padanya, Nenek Nadia tersenyum dan memberi doa kecil untuk keluargaku.

Ketika kakiku melangkah keluar dari rumah megah itu, di halaman depan, aku melihat supir pribadi Dimas sedang menutup pintu garasi. Tanpa ragu, aku menghampirinya.

"Selamat malam, Pak Amir. Apa kabar?" Sapaku ramah.

“Eh, Den Angga. Ba..baik Den … Uhuk … Uhuk … Uhuk …” Pak Amir terbatuk-batuk keras. Wajahnya yang biasanya penuh semangat, kini terlihat pucat dan lesu. Kulitnya yang biasanya berseri-seri, kini tampak keruh, menandakan bahwa penyakit telah merajai tubuhnya.

“Bapak sakit?” Tanyaku serius.

"Hanya flu biasa, Den." Ucapnya dengan suara yang rapuh. Namun, matanya mengisyaratkan bahwa penyakit ini lebih dari sekadar flu.

“Bapak harus ke dokter. Ayo, saya anter!” Ajakku sungguh-sungguh.

“Tidak usah, Den … Saya ndak apa-apa.” Pak Amir berusaha menolak.

“Bapak itu sakit serius. Ayo, kita ke dokter.” Paksaku sambil menarik tangannya.

Aku membawa Pak Amir ke praktek dokter terdekat. Di dalam mobil, Pak Amir terduduk dengan tenang di kursi penumpang, sementara Aska dengan riangnya duduk di pangkuanku pura-pura ikut menyetir. Sesampainya di praktek dokter, suasana terasa sunyi. Dengan hati-hati, aku membantu Pak Amir keluar dari mobil dengan Aska berada di gendonganku, menyadari betapa rapuhnya langkah pria paruh baya ini. Bersama-sama, kami melangkah menuju pintu masuk, dan aroma antiseptik yang khas ruang tunggu dokter menyambut kedatangan kami. Setelah mendaftar, Pak Amir langsung masuk ke ruang pemeriksaan. Aku duduk di ruang tunggu sambil bercanda dengan Aska, menunggu kabar tentang kesehatan Pak Amir.

Tiba-tiba pintu ruang pemeriksaan terbuka, seorang dokter keluar dari dalam dan memandangku, “Apakah Bapak yang mengantar Pak Amir?” Tanya dokter tersebut padaku.

“Benar …” Jawabku singkat sambil berdiri.

“Sebaiknya Bapak segera bawa Pak Amir ke rumah sakit. Beliau harus dirawat. Pak Amir menderita Pneumonia kronis. Beliau harus segera ditangani oleh tim medis yang kompeten untuk mengatasi infeksi ini dengan segera. Di rumah sakit, Pak Amir akan mendapatkan perawatan yang lebih intensif, termasuk pemberian antibiotik yang tepat, terapi oksigen, dan pemantauan ketat terhadap respons tubuhnya terhadap pengobatan.” Jelas dokter.

“Baiklah, dok … Terima kasih atas pemberitahuannya.” Kataku.

“Silahkan, Pak.” Ujar dokter lalu meminta Pak Amir untuk dirawat di rumah sakit.

Tanpa ragu, aku segera membawa Pak Amir ke rumah sakit terdekat setelah mendapatkan informasi tentang diagnosis pneumonia kronis dari dokter praktek. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, mobil bergerak dengan cepat memotong jalanan yang lumayan padat.

Hanya dalam waktu 15 menit, kami tiba di rumah sakit. Tim medis yang sudah standby dengan sigap menyambut kedatangan kami. Pak Amir segera ditempatkan di unit gawat darurat untuk mendapatkan perawatan yang mendesak. Dokter dan perawat dengan cepat mengambil tindakan, memberikan antibiotik yang dibutuhkan, serta melakukan tindakan suportif untuk meredakan gejala yang dialaminya.

Seluruh biaya administrasi yang diperlukan untuk perawatan ini, aku tanggung sepenuhnya. Aku ingin memastikan bahwa Pak Amir mendapatkan perawatan terbaik tanpa kendala keuangan. Ketika kondisi Pak Amir mulai stabil, aku memutuskan untuk menempatkannya di kamar VVIP.

“Terima kasih, Den … Padahal tak harus seperti ini.” Ujar Pak Amir lalu memakai masker oksigen lagi.

“Bapak tidak perlu berterima kasih. Saya terpanggil saat melihat kondisi bapak. Bapak tenang saja, nanti saya yang bicara sama Dimas dan Dewi.” Kataku sambil membiarkan seorang perawat memakaikan masker kain pada Aska.

Pak Amir membuka masker oksigennya lagi dan berkata, “Den … Bapak mau minta maaf, karena sudah berbuat jahat sama Den Angga.” Ucapnya lalu memakai maskernya lagi.

“Berbuat jahat? Saya tak pernah merasa dijahati Bapak.” Kataku coba untuk tenang namun hatiku penuh rasa penasaran.

Setelah membuka lagi maskernya, Pak Amir berkata, “Saya merasa berdosa karena telah berbuat jahat sama Den Angga, saya ingin Den Angga memaafkan Bapak.” Katanya dengan air mata yang mulai meleleh dari matanya yang keriput.

“Ya, Pak … Saya maafkan. Sekarang lebih baik Bapak Istirahat dan pulihkan kesehatan. Jangan banyak pikiran.” Kataku.

“Tidak, Den. Bapak harus mengatakan yang sebenarnya supaya Bapak bisa tenang.” Katanya sendu. Aku jawab dengan tersenyum dan anggukan kepala.

Setelahnya, Pak Amir menceritakan sesuatu yang sangat diluar dugaanku. Pria paruh baya itu menceritakan tentang foto mesra antara Dimas dan Dewi yang terjadi dua tahun silam. Aku sangat ingat tentang foto ‘cium tangan’ yang dilakukan Dimas pada Dewi yang pernah masuk ke ponselku. Foto tersebut salah satu faktor yang membuat aku memutuskan untuk bercerai dengan Dewi selain faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi perceraianku dengan Dewi.

Akhirnya fakta mengejutkan terungkap. Pak Amir mengatakan kalau foto tersebut adalah hasil jepretannya, dan dia juga yang mengirim foto tersebut padaku atas perintah Dimas. Dimas mendapatkan nomor kontakku setelah ‘mencuri’ dari ponsel Dewi. Pak Amir dengan terbata-bata bercerita bahwa saat itu, tekanan terus menerus menghimpit Dimas untuk segera menikah. Nenek Nadia yang meminta Dimas untuk segera menikah dan menjadikan pernikahan itu sebagai syarat utama pengalihan perusahaan keluarga pada dirinya. Nenek Nadia adalah pemilik perusahaan di bidang ekspor impor yang dikelola Dimas saat itu.

Keadaan semakin rumit dengan kondisi kesehatan Nenek Nadia yang memburuk, menimbulkan kekhawatiran pada Dimas bahwa kehilangan nenek tersayang akan berarti perusahaan jatuh ke tangan Lita. Lita, anak kedua nenek, menjadi pewaris yang potensial setelah ibu Dimas, anak sulung nenek, meninggal dalam kecelakaan. Nenek Nadia berkeinginan memberikan perusahaan pada Dimas walau berstatus cucu, namun dengan syarat Dimas harus menikah terlebih dahulu.

Demi memenuhi syarat tersebut dan mencegah jatuhnya perusahaan ke tangan Lita, Dimas menciptakan drama dengan berpura-pura memiliki calon istri. Bersandiwara, ia memperkenalkan Dewi sebagai calon istrinya kepada Nenek Nadia yang ternyata sang nenek sangat menyukai Dewi. Sang nenek pun mendorong Dimas untuk segera menikahinya. Maka terjadilah drama pemotoan yang dilakukan Pak Amir atas perintah Dimas dan mengirim foto itu padaku dengan maksud untuk memisahkan Aku dan Dewi.

Pak Amir menambahkan bahwa Dimas terus berusaha mendapatkan Dewi dan menikahinya, meski sebenarnya Dimas tidak mencintai Dewi. Dimas melakukan itu semata-mata untuk memenuhi ambisinya menguasai perusahaan Nenek Nadia yang sangat menyukai Dewi. Tentu saja, aku tertegun dengan kisah yang baru saja aku dengar. Masalah yang sudah bertahun-tahun tersembunyi, kini mencuat ke permukaan.

“Maafkan Bapak, Den … Bapak sangat menyesal …” Pak Amir tiba-tiba menangis sesegukan.

“Oh, tidak apa-apa Pak. Itu masa lalu dan sudah terjadi. Kita tidak mungkin bisa kembali ke sana, bukan? Nah, lebih baik tenangkan pikiran Bapak. Sembuhkan penyakit Bapak dan beraktivitas lagi.” Kataku.

“Terima kasih, Den. Sekarang Bapak tenang, tidak dikejar-kejar rasa bersalah.” Ujarnya sambil tersenyum juga sesegukan.

“Sama-sama, Pak … Em, beristirahatlah dan cepat sembuh. Saya harus pulang.” Kataku akhirnya berpamitan.

“Ya, Den Angga … Hati-hati di jalan.” Jawab Pak Amir.

Aku meninggalkan ruang perawatan dan berjalan menuju mobilku dengan perasaan campur aduk yang tidak menentu. Tak lama kemudian, aku sudah berada di belakang kemudi, sambil memangku Aska yang masih bersemangat menemaniku. Sambil berkendara, pikiranku melayang pada cerita yang Pak Amir bagikan tadi. Masalah foto bukanlah inti dari persoalan ini karena sebelum kasus foto muncul, aku dan Dewi sudah tidak lagi harmonis. Yang mengganjal pikiranku adalah tentang perkawinan Dimas dan Dewi. Ternyata, Dimas menikahi Dewi dengan motivasi yang tidak murni, bukan karena cinta dan kasih seperti yang selalu kutafsirkan. Bahkan, Pak Amir mengungkap bahwa Dimas tidak mencintai Dewi.

Aku merenung, membiarkan keheningan malam menyusup ke dalam pikiranku yang penuh pertanyaan. Aku bertanya-tanya, bagaimana jika Dewi mengetahui kebenaran ini? Bagaimana jika Dewi menyadari bahwa perkawinannya dibangun di atas suatu kebohongan yang tak terungkap? Sungguh, semua ini terasa sulit dipercaya.

Aku membawa kebingungan hingga sampai di rumah. Aku membaringkan Aska di tempat tidurku, menutupinya dengan selimut hangat, dan memberikan kecup lembut di keningnya. Secepatnya, aku melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah itu, aku memilih untuk duduk di tempat tidur di samping Aska yang terlelap dengan damai. Dalam upaya untuk mencari pelarian dari kekacauan pikiranku, aku mengambil smartphone dan membuka aplikasi berita.

Aku terperangah membaca banyak berita tentang Miguel Santos, seorang milyader yang hidupnya dipenuhi dengan inovasi-inovasi luar biasa. Kekayaannya tidak hanya berasal dari bisnisnya yang sukses, tetapi juga dari penemuan-penemuan canggih dalam bidang energi terbarukan. Menyelusuri artikel-artikel dan foto-foto Miguel, aku menemukan satu gambar yang menarik perhatianku. Di antara deretan foto-foto kehidupan mewahnya, ada satu gambar di mana ia tersenyum bersama seorang perempuan yang ternyata adalah Mama. Keduanya terlihat begitu serasi, tampak kebahagiaan di wajah mereka. Sambil merenung, aku berdoa dalam hati semoga ini adalah pernikahan terakhir Mama, dan mereka dapat menjalani hidup bahagia bersama di masa depan.

Tiba-tiba mataku terasa begitu berat, seolah-olah diberi beban besi seberat 50 kilogram yang menindihnya. Terpaksa aku mematikan smartphone dan meletakkannya di nakas sebelum merebahkan diri di atas kasur. Rasa lelah yang tak terelakkan mulai memenuhi seluruh tubuhku. Dalam sekejap, kelelahan itu merayap begitu dalam hingga aku tak dapat menahan diri lagi. Akhirnya, aku pun tertidur lelap.


#####

Sabtu pagi ini sangat sejuk, cocok sekali untuk berolahraga. Aku mengajak Aska jalan-jalan di sekitaran rumahku. Aku bersemangat melatih Aska berlari, dan dengan riang, anakku itu berlari patah-patah, karena keseimbangannya belum sempurna. Aska sulit diatur, dan aku harus terus mengikuti langkahnya yang lincah. Kami akhirnya berhenti di sebuah taman yang indah dan asri, tersembunyi di tengah kompleks. Taman ini begitu ramai oleh anak-anak seusia Aska, yang sedang bermain dengan riang. Aku membiarkan Aska berbaur dengan mereka, sementara aku memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh.

“Angga …” Aku dikejutkan oleh suara yang berasal dari sampingku.

“Eh … Kamu.” Mataku terbuka lebar. Ternyata yang menyapaku adalah Tuti. “Kok ada di sini?” Tanyaku kemudian.

“Hi hi hi … Dunia ini memang kecil kali ya?” Tuti terkekeh. “Kebetulan aku sedang mengantar saudara ke situ.” Tuti menunjuk sebuah rumah. “Dan aku melihatmu di sini.” Lanjutnya.

“Oh …” Aku tersenyum.

“Anakmu lucu banget …” Ucap Tuti lalu mendekati Aska kemudian mengambil dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

Kulihat Tuti bercengkrama dengan Aska di tengah taman. Ajaibnya, anakku itu terlihat begitu senang dengan perlakuan Tuti. Mereka tertawa dan bercanda, seolah-olah telah menjadi teman baik sejak lama. Tak lama kemudian, Tuti sambil menggendong Aska, menghampiriku dengan senyuman cerah di wajahnya.

“Aku ingin tahu rumahmu. Maukah kamu mengajakku ke rumahmu?” Pinta Tuti.

Tentu saja aku tidak bisa menolak, “Ayo …”

Aku dan Tuti, yang menggendong Aska, berjalan bersama ke arah rumahku. Di sepanjang perjalanan, kami ngobrol tentang hal-hal yang ringan, tertawa bersama, dan merasa nyaman satu sama lain. Beberapa saat kemudian, kami tiba di depan pintu rumah. Tanpa ragu, aku mengajak Tuti masuk, dan kami memutuskan untuk melanjutkan obrolan di taman belakang dekat kolam renang.

“Mau kopi atau teh?” Aku menawarkan minuman pada tamuku.

“Gak perlu repot-repot. Aku gak haus.” Jawab Tuti.

“Kalau kamu haus, kamu cari aja sendiri di dapur.” Aku duduk di bangku kayu sebelah Tuti.

“Oke …” Jawabnya sambil meletakkan Aska di tanah. Anakku langsung asyik bermain tanah.

“Kemarin Dewi bilang ada acara denganmu.” Kataku.

“Acara ngumpul-ngumpul biasa aja di markas.” Ungkap Tuti santai.

“Markas? Kalian punya markas?” Tanyaku ingin tahu dan Tuti pun tersenyum.

“Ya, tempat kumpul-kumpul kami melepas kepenatan.” Jawab Tuti sambil memegang Aska yang tiba-tiba anakku itu merangkul kakinya.

“Wow! Boleh dong aku sekali-kali berkunjung ke sana.” Kataku berbasa-basi.

“Ayo … Tempat itu terbuka untuk siapa saja.” Jawabnya bersemangat.

Tiba-tiba pembantu rumah tanggaku, Mbok Laksmi, datang. Aku memang mempunyai seorang pembantu untuk membersihkan rumah. Dia adalah wanita paruh baya yang bertempat tinggal di kampung sebelah. Pembantuku itu ternyata hanya meminta izin untuk tidak bekerja karena di rumahnya kedatangan saudara jauh. Aku memberinya izin sambil menyuruh dia membawa Aska. Memang jika hari kerja, aku selalu menitipkan Aska pada pembantuku ini. Dia pun pergi sambil membawa Aska setelah mengucapkan terima kasih.

“Kamu gak merasa kesepian, Ngga?” Tanya Tuti.

“Aku sudah lama hidup sendiri. Aku sudah terbiasa.” Jawabku diplomatis.

“Hhhmm … Rumah sebesar ini seharusnya ada pemanisnya.” Katanya ……

“Maksudmu, wanita?” Aku coba menebak bahasa khiasannya.

“Benar … Kamu bisa memelihara dua atau tiga wanita di sini supaya rumahmu semarak, tidak sesepi ini.” Ungkap Tuti membuatku tersenyum lebar.

“He he he … Bahasamu itu terlalu kasar.” Aku terkekeh.

“Aku kasih tahu ya … Di luar sana banyak mahasiswi yang butuh modal hidup. Kamu bisa memelihara mereka dengan imbalan tubuh mereka. Selain rumahmu menjadi ramai, kamu juga tersalurkan kebutuhan biologismu.” Katanya seraya meraba selangkanganku.

Adrenalinku seperti dipicu oleh sentuhannya itu. Ketika tangannya menyentuh batang penisku yang terbalut celana, urat-urat syarafku langsung merespon dengan hebat. Seolah-olah aliran listrik menyapu seluruh tubuhku, menciptakan sensasi yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Tubuhku seakan-akan hidup sendiri, meresapi setiap rangsangan dengan penuh antusias.

“Aku kurang suka wanita muda. Aku lebih suka wanita sepertimu.” Keluarlah kata-kata ajaibku.

“Wow … Benarkah? Apakah aku termasuk kriteriamu?” Tuti semakin intens meraba batang penisku yang mulai mengeras.

“Ya, kamu adalah termasuk kriteriaku.” Jawabku sambil melingkarkan tangan di pinggangnya.

“Hi hi hi … Aku tidak sabar. Apa yang akan kamu lakukan padaku.” Tuti benar-benar menantang kejantananku.

Ibarat kucing diberi ikan, mana mungkin menolak! Entah ikan asin atau kakap, yang penting doyan. Sebab, kesempatan begini tentu merupakan hadiah untuk laki-laki beruntung sepertiku. Aku tak menggoda, dia datang sendiri secara sukarela. Tiba-tiba saja, Tuti menarik resleting celanaku lalu menariknya ke bawah. Wanita sempat terbelalak saat menatap tonjolan di balik boxer yang aku kenakan. Tangannya kemudian masuk ke dalam boxer dan memegang kejantananku yang kini sudah sangat keras dan tegang.

“Wow! Luar biasa.” Tuti mendesah saat berhasil mengeluarkan kejantananku dari balik boxer.

Dia mencengkram kejantananku yang tidak seluruhnya berhasil dia cengkram, masih ada sisa sedikit. Lagi-lagi bukan aku yang memulai. Ini diluar rencana, memang kalau rezeki tak mungkin tertukar. Aku diajarkan Lia untuk tidak melakukan hal yang mubazir. Sayang jika kulewatkan momen istimewa ini, anggap saja aku sedang mendapatkan jackpot.

“Tahan …” Kataku saat Tuti hendak mendekatkan mulutnya ke penisku. “Aku ingin kamu telanjang.” Kataku kemudian.

Dengan senyum yang merekah di bibir, Tuti melepaskan seluruh kain yang menempel di tubuhnya. Pada saat yang sama, aku pun menanggalkan pakaian yang tersisa. Hingga akhirnya, kami sama-sama telanjang bulat. Aku menarik Tuti ke sebuah poolside chair yang letaknya di sisi kolam renang. Aku menyuruh Tuti untuk duduk di poolside chair. Wanita menurut, ia duduk dengan santai lalu merentangkan kedua pahanya sehingga menampakkan belahan vaginanya yang menggairahkan.

Aku bergerak mendekati Tuti dan memposisikan diriku berlutut di antara kedua pahanya. Dengan kedua ibu jariku, kubuka bibir vaginanya dan terlihatlah liang kewanitaan Tuti yang sudah menanti untuk dipuaskan. Sementara itu klitorisnya tampak menyembul indah di bagian atas vaginanya. Tanpa menunggu komando aku langsung mengarahkan mulutku ke arah vagina Tuti. Kujilati bibir vaginanya dan kemudian kumasukan lidahku ke liang vaginanya yang terasa lembut dan hangat.

“Mmmhh … Aaaahh …” Desahan nikmat keluar dari mulut Tuti saat lidahku beroperasi di bagian genitalnya.

Tidak lama setelah aku jilati, vagina Tuti menjadi basah. Setelah puas mencium dan menjilati bagian vaginanya, penisku sudah tidak tahan untuk dimasukkan ke lorong nikmat wanita ini. Aku kemudian berdiri lalu duduk di antara kedua kaki Tuti dan aku bentangkan kakinya lebih lebar. Aku arahkan penisku ke lubang vaginanya. Tangan kananku membantu membuka lubang vagina itu sementara aku dorong penisku perlahan. Aku rasakan penisku memasuki daerah yang basah, hangat dan menjepit. Tubuhku gemetar karena nafsu yang mendesak. Setelah beberapa saat akhirnya seluruh penisku sudah berhasil masuk ke dalam vagina Tuti dengan tidak terlalu sulit.

“Oooohh … Besar sekali …” Dia mendesah sambil tersenyum senang.

“Punyamu panas sekali.” Balasku sembari mulai menggerakan penisku keluar masuk.

“Oooohh … Punyamu nikmat sekali … Aaaahh …” Tuti terus mendesah.

Aku melaju dengan gerakan pelan. Penisku terus bekerja keluar masuk menembusi vagina Tuti. Terasa sekali Tuti mengempotkan dinding vaginanya hingga terasa jepitannya meremas-remas penisku. Kini aku sadar, Tuti sangat berpengalaman dengan masalah seks. Selain itu, Tuti masih terlihat santai dengan desahan-desahan pelannya. Aku mempercepat gerakanku bahkan sesekali memutar penisku di dalam vaginanya. Usahaku ternyata membuahkan hasil. Matanya agak membeliak ke atas serta deru nafasnya bertambah kencang.

Kuakui Tuti tidak seperti Elis bahkan Lia, wanita ini pejuang hebat, tak gampang menyerah dan tangguh. Dalam waktu lima belas menit sejak penetrasi, Tuti belum juga menampakkan ingin mencapai puncak. Dia terus mengimbangiku dengan gerakan-gerakan yang mampu memelintir dan memijat penisku. Kami bergumul semakin liar. Lonjakan-lonjakan kami semakin tak terkontrol. Kejantananku dengan segenap kelihaiannya terus menyerbu lubang nikmat yang semakin basah dan panas.

Terjangan dan tusukan kejantananku yang semakin lama semakin keras dan cepat ternyata membuahkan hasil yang diharapkan. Aku merasakan tanda-tanda orgasme itu. Tubuh Tuti mengejang, juga bibir vaginanya mengatup kencang batang penisku. Lalu disusul getaran hebat di seluruh tubuhnya.

“Aaaaarrgghh … Anggghh … Oooohhh …” Teriaknya menandai orgasmenya yang panjang.

Saat inilah aku langsung memegang pinggulnya dan jari-jariku mencari urat seks yang sedang berkontraksi. Ya, aku menemukan urat itu lalu memijitnya lembut. Aku melihat wajahnya yang sedang dilanda gelombang kenikmatan dan aku pastikan itu akan berlangsung lama, selama aku mampu mempertahankan klimaks-ku selama mungkin. Aku pun tersenyum melihat Tuti mengejan panjang dan tubuh seksinya bermandikan keringat, itu pun meliuk-liuk seperti cacing kepanasan dan terus mengejang-ngejang tak karuan.

“Oooohh … Akkkuuu … Laagggiiihhh … Aaaaacchhh …” Tuti menjerit lagi menjembut orgasmenya lagi.

Tak butuh waktu lama aku membuatnya menjerit lagi penuh kenikmatan. Matanya memutih dengan mulut terbuka. Aku terus memandangi wajahnya yang sedang merasakan gelombang orgasme terus-menerus menghajar tubuhnya. Tuti mengejang dan cengkeraman tangannya di lenganku semakin keras serta kakinya menendang-nendang karena tak kuasa menahan nikmatnya orgasme.

Aku pun mempunyai batas kemampuan. Tanda-tanda klimaks-ku pun mulai terasa. Penisku berdenyut-denyut seperti ingin memuntahkan lahar yang panas. Aku merasa tak tahan lebih lama lagi, dan akhirnya terdengar suara geramanku saat penisku menyemburkan sperma ke dalam vagina Tuti. Rasa nikmat begitu terasa sampai ke setiap simpul saraf-sarafku, bahkan kini sudah menjalar ke dalam sumsum tulangnya. Tak lama, aku mengeluarkan penisku dari dalam vagina Tuti dan tampak spermaku keluar beberapa tetes dari dalamnya hingga membasahi alas kursi. Aku duduk di sisi kursi besar itu sambil memperhatikan wajah Tuti yang kelelahan juga kenikmatan.

“Kamu luar biasa, Angga … Aku tak pernah merasakan yang seperti tadi.” Ungkap Tuti sambil tersenyum, lalu tangannya mengusap-usap wajahku.

“Aku tak percaya.” Candaku.

“Sungguh. Baru kali ini aku merasakan klimaks forever.” Katanya.

“Apa mau nambah?” Godaku.

“Mau sekali … Tapi sepertinya aku ingin berenang dulu.” Jawab Tuti sembari bangkit dari terlentangnya.

Suasana riang dan tawa kecil mengiringi tubuh kami yang telanjang memasuki kolam renang, menggigil sejenak sebelum tubuh kami akhirnya beradaptasi dengan suhu air yang sempurna. Tuti dan aku langsung larut dalam kegembiraan, bermain air dan saling menyemprotkan air satu sama lain. Kami seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru, tanpa mempedulikan lagi di sekitar kami. Tuti dan aku berlomba-lomba berenang, mencoba trik-trik baru, dan terkadang bahkan menciptakan permainan air improvisasi yang membuat kami terbahak-bahak.

Hari itu, setelah keseruan di kolam renang, kami memutuskan untuk melanjutkan momen keintiman kami di dalam kamar tidur. Di sana kami kembali saling memberikan kenikmatan dengan penuh hasrat dan gairah, merayakan setiap detik waktu dengan persenggamaan yang membakar jiwa. Aku berupaya menciptakan pengalaman yang akan membekas selamanya dalam ingatan Tuti. Aku ingin mengabadikan momen ini dalam ingatannya, seperti lukisan indah yang tak pernah pudar.

#####


DEWI POV

Setelah satu jam lebih berkeringat di atas treadmill, aku melangkah keluar dari ruang gym di rumahku. Berolahraga adalah kegiatan yang tak hanya menjaga kebugaran tubuh, tapi juga cara yang efektif untuk menghilangkan lemak-lemak yang menumpuk di tubuhku. Menjaga tubuh agar tetap ideal adalah suatu keharusan yang aku pahami dengan sangat baik. Setelah sesi olahraga itu, aku memutuskan untuk istirahat sejenak di dapur bersama nenek. Kami ngobrol ringan sambil menikmati secangkir teh. Aku merasa begitu beruntung memiliki seseorang seperti nenek yang begitu peduli dan menyayangiku. Ya, aku tak pernah meragukan rasa sayang nenek padaku yang luar biasa.

“Nenek kok kangen sama Aska.” Ujar nenek dengan tatapan mendamba padaku.

“Hi hi hi … Baru saja diambil ayahnya nek. Giliran Angga bersama Aska sekarang.” Kataku sambil memegang lembut tangan keriputnya.

“Anak itu mengingatkan nenek pada Dimas waktu kecil.” Ujarnya.

“Oh ya, Dimas kemana nek?” Tanyaku yang tidak melihat suamiku itu sejak berolah raga di gym.

“Dimas sedang menjenguk Pak Amir di rumah sakit. Nenek khawatir sama Pak Amir, keadaannya semakin memburuk.” Jawab nenek sedih.

“Mudah-mudahan Pak Amir segera pulih ya nek.” Aku coba menghibur nenek.

“Ya, mudah-mudahan.” Jawab nenek dengan senyumannya yang menenangkan.

Aku tersenyum mendengar penuturan nenek. Aku menyadari betul bahwa nenek sangat menyayangiku juga Aska, namun, kenapa dia memilih untuk menyembunyikan bukti perselingkuhan Dimas di lemari pakaiannya? Keingintahuanku begitu besar, namun ketakutanku akan mengganggu kesehatan nenek membuatku enggan menanyakan hal tersebut. Setelah ngobrol beberapa menit dengan nenek, aku merasa tubuhku sudah mulai dingin dan aku tahu sudah saatnya untuk mandi. Dengan ramah, aku berpamitan pada nenek dan melangkah ke kamar untuk membersihkan diri.

Aku meresapi kesegaran air yang mengalir di atas tubuhku, memberikan rasa kenyamanan setelah sesi olahraga tadi. Air yang semula menyegarkan, kini terasa seolah mengalir di atas ladang kenangan bersama Angga. Tatapan matanya, sorot yang begitu dalam dan menggetarkan hatiku, merasuki kepalaku tanpa izin. Tetes demi tetes air yang jatuh di atas kepalaku seolah membawa serpihan rindu dan kenangan yang sulit untuk dilupakan. Sejenak, aku hanya bisa merenung di dalam ruang itu, meratapi dan menyelami arus perasaan yang tak terduga. Pertanyaan melintas dalam pikiranku, apakah ini hanya imajinasi ataukah ilusi belaka? Apakah ini rindu yang terpendam, atau mungkin pula cinta yang tidak pernah hilang walau waktu telah berlalu lama? Mandi yang biasanya menjadi momen pribadi, kini terasa terbuka untuk Angga, seolah aku berbagi ruang dan waktu dengannya.

“Oh … Tidak … Tidak …” Aku bergumam sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ini tidak boleh terjadi …” Kataku lagi sambil mencoba menghilangkan bayangan Angga dari benakku.

Aku berdiri di depan cermin, menatap refleksi diriku sendiri dengan tatapan penuh keraguan. Rasa aneh ini, yang entah dari mana datangnya, melayang-layang di dalam hatiku seperti kabut yang sulit untuk disingkirkan. Angga, nama yang seharusnya telah menjadi bagian dari masa laluku, tiba-tiba muncul kembali dengan segala kenangan manis yang terkubur.

Akhirnya aku meneguhkan hati dengan keputusan tegas untuk menolak kehadiran bayangan Angga dalam kehidupanku. Ini bukanlah masa lalu yang harus terus menghantuiku, dan aku tidak akan membiarkan diriku terjerat dalam labirin perasaan ini. Harga diriku jauh lebih berharga daripada mengizinkan Angga merebut kembali ruang di dalam hatiku. Aku menolak membiarkan perasaan itu bangkit kembali, karena aku tahu dengan pasti bahwa itu hanya akan menghancurkan kedamaian dan kestabilan yang telah kuusahakan untuk membangun. Meskipun mungkin ada kerinduan yang terpendam, aku tidak akan membiarkan diriku terperangkap dalam nostalgia yang hanya akan merendahkan harga diriku.

Setelah membasuh tubuhku dan mengeringkannya dengan handuk, aku merasa lebih segar. Saat aku keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk, tiba-tiba terdengar suara dering smartphoneku. Dengan cepat, aku menuju ke meja dekat tempat tidur dan melihat kalau Tuti sedang menghubungiku. Aku segera menjawab panggilannya.

“Hallo …” Sapaku seramah mungkin.

“Hei … Kamu mau denger ceritaku gak?” Suara Tuti begitu riang.

“Cerita apa?” Tanyaku.

“Angga … Dia …” Tuti menjeda ucapannya.

“Kenapa dia?” Aku benar-benar penasaran dibuatnya.

“Dia luar biasa, Wi … Elis tidak berbohong …” Ucapnya membuatku seketika menahan napas.

“Oh … Begitu ya?” Gumamku dengan perasaan tak karuan.

“Gila, Wi … Aku yang biasa tahan, dibuat lemes lututku sama dia, Wi … Ah, pokoknya kamu harus nyoba. Nyesel kalau gak nyobain punya mantanmu itu.” Kata Tuti yang terdengar jujur.

“Hi hi hi … Aku masih malu mintanya, Tut … Gimana juga, dia pernah aku sakiti. Kayaknya gak gampang ngajak dia.” Sahutku pesimis.

“Ya, pelan-pelan dong … Rayu dia pelan-pelan.” Saran Tuti masuk akal.

“Iya deh, akan aku coba. Bener-bener aku jadi penasaran.” Ucapku tak yakin

“Oh ya, aku membatalkan rencana kita ke Pondok Ceria.” Ucapnya membuatku kecewa.

“Loh, kenapa?” Tanyaku.

“Aku lemes Wi, bekas Angga masih kerasa banget. Aku ini juga baru keluar dari rumah Angga.” Ungkap Tuti.

“Oh ya udah … Aku di rumah saja.” Jawabku lemas.

“Oke .. Bye …”

“Bye …”

Aku meletakan smartphone di tempatnya kembali dengan perasaan yang sulit dilukiskan. Sungguh, aku sangat tidak percaya kalau seorang maestro semacam Tuti dibuat tak berdaya oleh Angga. Aku sangat tahu, Tuti bisa ngeseks selama berjam-jam dengan banyak laki-laki. Tapi kali ini dia benar-benar ‘takluk’ oleh seorang Angga. Semakin lama, aku semakin terpesona oleh sosok mantan suamiku. Tak pelak, hatiku tergelitik lagi oleh pesona Angga, seakan-akan tak henti-hentinya mencoba merayu keteguhan hatiku. Cerita Tuti, yang menggetarkan, berhasil membuka kembali lembaran kenangan yang terkubur dalam ingatanku. Namun, sejauh apapun godaan itu mencoba membelah hatiku, aku harus berusaha sekuat tenaga untuk menghalau bayangan Angga dari hati dan pikiranku. Dalam momen-momen seperti ini, aku meneguhkan diri, mengulang mantra bahwa aku harus fokus pada kesejahteraan dan kedamaian hatiku saat ini. Angga adalah bayangan yang harus kuceraikan, biar pun pesonanya mencoba merayu hatiku, aku harus tetap kuat menjadi diriku sendiri.

Aku segera beranjak ke depan lemari pakaian. Tanpa banyak pertimbangan, aku memilih pakaian casual hari ini: sebuah blouse berwarna lembut dan rok yang memberikan kesan santai namun tetap elegan. Dengan pakaian yang sudah terpilih dan terpakai di tubuhku, aku duduk di depan meja rias. Kuambil beberapa sentuhan makeup untuk menambah kesegaran wajah. Aku ingin terlihat cantik, baik untuk diriku sendiri maupun untuk siapa pun yang nanti aku temui. Sambil menata rambut dan menyemprotkan sedikit parfum, aku mengambil ponselku dan memilih nomor seseorang yang ingin kuhubungi. Dengan sabar, aku menunggu panggilanku diangkat orang itu di seberang sana.

“Hallo …” Akhirnya panggilanku tersambung.

“Jamal … Aku ingin ketemu.” Kataku langsung tanpa basa-basi.

“Hhhhmm … Lagi sange ya?” Dia mencandaiku.

“Hi hi hi … Kamu tau aja …” Aku terkikik.

“Ok … Di mana?” Tanyanya.

“Hotel Cemara gimana?” Kataku.

“Ok … Aku meluncur sekarang …” Jawabnya lalu sambungan teleponku terputus.

Setelah menutup telepon dengan Jamal, atmosfer kamar terasa tenang. Jamal, atasanku yang menjabat sebagai Direktur Keuangan, selalu menjadi sumber informasi utama tentang aktivitas keuangan Dimas. Hubunganku dengan Jamal tidak hanya sebatas kerja, tetapi juga teman tidur yang telah terjalin selama bertahun-tahun. Aku mengenalnya dengan baik, dan dia telah menjadi partner yang sangat handal dalam memenuhi kebutuhan biologisku.

Aku bergerak keluar dari kamar dan melangkah menuju ruang tengah. Nenek, yang sedang duduk santai di sofa, menoleh ke arahku dengan senyuman lembut di wajahnya. Aku memberi salam padanya sambil berpamitan keluar, menjelaskan bahwa ada urusan yang perlu segera kuatasi. Nenek dengan hangat memberikan izinnya.

Dengan langkah cepat, aku melintasi lorong dan mencapai garasi rumah. Mobilku, setia menunggu di sudut ruangan, segera kudorong keluar ke jalanan, dan untungnya jalanan lumayan lengang sehingga memudahkan perjalanan. Sekitar satu jam berikutnya, aku tiba di depan Hotel Cemara. Hotel ini bukan sekadar tempat menginap biasa, tapi juga menjadi tempat rahasia di mana kami sering berhubungan intim.

Setelah memarkir mobil, langkahku memasuki lobby yang megah ini. Di tengah keramaian tamu-tamu yang sedang beraktivitas, aku mengambil ponsel dan menelepon Jamal untuk memastikan apakah dia sudah tiba di hotel. Suara ramah Jamal terdengar di seberang sana, memberi kabar bahwa dia sudah berada di kamar nomor 408. Tanpa banyak kata, aku segera bergegas menuju lift, mengintip nomor kamar yang dituju. Elevator naik dengan cepat membawaku ke lantai yang tepat, dan dengan langkah cepat aku bergerak melewati lorong menuju kamar hotel Jamal. Ketukan ringan di pintu, dan sejenak kemudian, pintu terbuka mengungkapkan wajah familiar atasanku.

“Hi hi hi … Kamu sudah siap saja.” Kataku genit saat melihat Jamal yang berbadan kekar dan hitam hanya mengenakan boxer saja.

“Aku sudah tidak tahan.” Katanya yang tiba-tiba memangku tubuhku dan membawaku ke ranjang.

“Ihk … Sabar dong … Ada yang ingin aku bicarakan dulu.” Protesku namun tak melakukan perlawanan.

“Nanti setelah ngentot, baru kita bicara.” Katanya sambil meletakan tubuhku di atas kasur perlahan.

Jamal melepaskan pakaianku satu persatu dengan agak kasar. Tak berselang lama, aku sudah tak berbusana. Tubuh bugilku Jamal pandangi dengan buas sambil melepaskan boxer dari tubuhnya. Aku tersenyum dengan ketergesa-gesaan Jamal yang mulai menindihku dan mencium bibirku ganas. Jamal memang tidak pernah lembut dalam bercinta, tapi itu yang aku suka dirinya.

Kemudian kami bergumul di atas ranjang. Gairah kami yang meluap-luap sudah cukup untuk membuat vaginaku jadi basah dan lengket. Terasa Jamal berusaha memasukan penisnya ke vaginaku. Aku paskan penis besarnya di lubangku, dan akhirnya masuk, masuk semuanya ke dalam vaginaku. Jamal dengan sangat bernafsu mengocok penisnya keluar masuk. Benar-benar kasar gerakannya, tetapi aku sungguh menikmatinya. Penisnya terasa mengganjal dan nikmat sekali. Aku pegang bokongnya dan kutekan-tekankan mepet ke pangkal pahaku, agar mencoblos lebih dalam lagi.

Setelah 20 menitan, gerakan Jamal dan goyangan pinggulku semakin cepat. Dan tubuh kami mulai merasakan kejang-kejang tanpa dapat dikendalikan. Deraan nikmat pun semakin membuat kami lupa diri. Aku dan Jamal terus mendengus dan mengerang bersahut-sahutan dengan gerakan yang sudah tidak beraturan lagi dari tubuh kami. Seolah-olah sedang menggapai nikmat yang semakin lama semakin bertambah tinggi.

Tiba-tiba ada dorongan tenaga yang sangat besar dari dalam tubuhku yang tidak bisa kulawan. Badanku melenting kejang kaku. Begitu nikmat kurasakan saat orgasmeku melanda dan disambut dengan erangan keras Jamal.

“Dewi … Aku nggaakkk taahaan lagiii…” Keluhnya.

“Di luar saja, di luar saja yaa…” Bisikku dengan nafas memburu.

“Oooh… Wiiii...” Cepat kudorong pinggulnya ke belakang, sehingga penisnya terlepas dari vaginaku. Tangan Jamal segera menggenggam penisnya dan spermanya muncrat sampai perut.

“Hahs.. hash.. hash.. hahs.. hahs.. hahsss..” Nafas kami keluar seperti orang yang sangat kelelahan.

Dengan nafas yang ngos-ngosan kami saling berpandangan dengan rasa puas dan nikmat. Kemudian bibirku mencium mesra bibir Jamal dan disambutnya dengan mesra. Kami pun bercumbu untuk beberapa saat. Aku kemudian melepas ciumanku dan mendorong tubuh Jamal yang masih berada di atasku. Jamal pun jatuh terlentang di atas kasur. Kami terdiam untuk beberapa saat, baru kemudian aku membuka percakapan.

“Jamal … Aku sudah gak tahan. Aku sudah gak tahan dengan Dimas.” Kataku.

“Hei … Jangan dulu. Sabar sedikit, aku lagi berusaha membujuknya.” Ungkap Jamal sambil menoleh ke arahku.

“Tapi sampai kapan? Aku sudah lelah menunggu.” Kataku dengan nada protes.

“Sebentar lagi uangnya akan masuk ke bank kita. Aku mohon kamu bersabar.” Katanya menegaskan.

“Baiklah …” Kataku pasrah.

Dengan gerakan lambat, aku bangkit dan turun dari tempat tidur. Langkahku menuju tas tanganku yang tergeletak di sudut kamar. Dengan cekatan, aku membuka resleting tas dan mengambil pil E yang selalu menjadi pendampingku. Tanpa ragu, aku menenggak pil tersebut, harapanku agar sedikit lega dari beban pikiranku. Sambil menunggu efek pil, aku melirik celana dalamku yang tergeletak di lantai. Dengan cepat, aku meraihnya dan memutuskannya untuk segera mengenakannya. Aku kembali menuju ranjangku, duduk sejenak, dan membiarkan pilku mulai bekerja.

“Apakah benar mantan suamiku mendepositokan uangnya di bank kita?” Tanyaku lalu membaringkan diri di samping Jamal yang sedang menutup mata.

“Ya … Aku gak nyangka dia punya uang sebanyak itu. Apa kamu tahu sumber keuangannya?” Jamal malah bertanya.

“Aku tidak tahu. Aku juga heran, darimana uang itu berasal. Kalau dari hasil kerjanya itu sangat tidak mungkin.” Kataku.

“Hhhhmm … Dia telat kaya. Coba kalau saat kamu masih menikah dengannya, aku pastikan uang itu akan menjadi milik kita.” Ujar Jamal sambil membuka mata, dan aku hanya tersenyum mendengar perkataannya.

Dalam kamar hotel yang tenang, aku dan Jamal saling berbincang-bincang, sesekali tertawa riang, dan terkadang menyelipkan kecupan sayang. Kami terus merayakan kebersamaan dengan saling berpelukan. Dan setengah jam kemudian, gairah kami terbakar kembali. Kami saling mengetahui, saling merasakan, dan melibatkan diri dalam momen intim yang penuh kehangatan di dalam kamar hotel itu. Tiada henti, kami terlibat dalam percintaan yang semakin panas. Desahan-desahan dan erangan-erangan penuh nafsu menjadi melodi yang mengisi ruangan. Waktu seakan berhenti, dan kami berdua tenggelam dalam keindahan bercinta. Sampai akhirnya, matahari mulai meredup, dan suasana senja mulai menyapa kami.

Dalam suasana senja yang tenang, aku dan Jamal akhirnya memutuskan untuk menyudahi kebersamaan kami. Aku dan Jamal meninggalkan hotel dan melangkah keluar bersama-sama. Kami berdua berpelukan sejenak, merasakan hangatnya tubuh masing-masing sebelum melepaskan pelukan. Saatnya tiba untuk berpisah, dan kami melangkah ke arah kendaraan masing-masing. Kendaraan kami berdua melaju perlahan meninggalkan hotel, memasuki jalan raya yang ramai. Kendaraanku meluncur tenang di jalanan kota, membawaku pulang ke tempat yang disebut sebagai rumah.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd