Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

Nahkan...nahkan.. emang dari Sononya Dewi ini jahat. Hubungan ama Jamal jadi buktinya
Angga perlahan-lahan menggagahi wanita2 di sekeliling Dewi, tapi kalo neneknya mah gausah lah yaa 😁
He he he ... Gak doyan nenek-nenek om.
Tabir mulai terungkap satu demi satu, mulai dari sinilah akan menentukan apakah Angga akan tetap soft revenge atau hard revenge karna dengan uang dan status mertuanya sebagai salah satu orang terkaya saja dia sudah mampu untuk menghancurkan perusahaan dan hidup dimas apalagi anak curut seperti Jamal.
Suwun updatenya suhu.
Soft revenge dulu, baru hard revenge om ...
Ane was² Angga balas dendam ke Dimas dgn cara memperkosa nenek nya....
Kaboorrr sblm ditimpuk TS 🤣
He he he ... Untungnya Angga gak akan balas dendam ke Dimas ...
 
CHAPTER 9


MISTERI YANG TERKUAK

ANGGA POV


Walaupun pagi ini agak mendung tetapi matahari tetap berusaha untuk menampakkan diri. Setelah mandi dan berpakaian rapi aku melangkah ke arah dapur. Di sana, aku menemukan Mbok Laksmi, pengasuh setia anakku, tengah memberikan sarapan untuk Aska. Dengan penuh kelembutan, aku mencium kening Aska, menyapa paginya. Kemudian, aku duduk di salah satu kursi di sekitar meja makan. Di hadapanku terpampang indah kupat tahu dan segelas kopi yang harum. Sembari menikmati hidangan pagi aku berbincang-bincang dengan Mbok Laksmi.

“Mbok … Apa sudah dapet pembantunya?” Tanyaku pada Mbok Laksmi perihal pembantu rumah tangga yang aku meminta pada pengasuh anakku itu untuk mencarinya.

“Belum Den … Belum nemu …” Jawabnya.

“Oh…” Gumamku.

“Habisnya Aden minta syarat yang susah, harus muda dan cantik segala.” Ujar Mbok Laksmi dengan senyum dikulum.

“Biar rumah ini gak gersang, Mbok … Harus ada perempuan cantik yang tinggal di sini.” Kataku setengah bercanda.

“Hi hi hi … Biar ada yang nemenin bobo juga, kan …” Godanya sambil mengerling genit.

“Bisa jadi.” Jawabku santai.

“Mbok itu gak tau selera Aden, makanya ragu pilihan Mbok dibawa ke sini.” Kata Mbok Laksmi.

“Bawa saja dulu, Mbok. Nanti saya yang nilai.” Kataku sambil menatapnya.

“Ya, nanti Mbok coba bawa ke sini.” Jawabnya lalu menyuapi Aska yang sudah minta makananya.

Setelah menyelesaikan sarapan, aku melangkah ke ruang tengah, di mana televisi menjadi teman setia. Sayangnya, acara di televisi saat ini banyak yang menyajikan infotainment yang agak membosankan. Tak lama kemudian, Mbok Laksmi muncul sambil menggendong Aska, dan dengan lembut, ia meminta izin untuk membawa Aska ke rumahnya. Setelah aku memberikan izin, Mbok Laksmi pun pergi, membawa keceriaan si kecil bersamanya. Terasa sepi di ruang tengah, aku yang merasa bosan dengan tayangan televisi segera menyambar smartphone yang tergeletak di atas meja. Tanpa ragu, aku mulai membuka berita online untuk mengisi waktu. Sekitar 10 menit berselang, terdengar bunyi bel pintu, membuyarkan perhatianku dari layar smartphone yang sedang kugenggam.

Aku meletakkan ponsel kembali di atas meja dan bergegas ke ruang depan. Saat membuka pintu, senyumanku langsung mengembang ketika yang datang adalah Lia. Wajahnya yang ceria dan kehadirannya yang tiba-tiba membuat suasana hatiku langsung berubah.

"Kamu datang tanpa pemberitahuan." Kataku sambil tersenyum.

Lia tertawa riang. "Iya, Maaf, Ngga. Aku tiba-tiba ingin bertandang ke rumahmu. Harusnya aku memberitahumu lebih dulu, ya?"

"Tidak juga ... Senang sekali melihatmu. Ayo masuk." Sambutku sambil membukakan pintu lebih lebar.

Lia pun masuk, dan aku menutup pintu di belakangnya. Kami berdua berjalan ke dapur bersama-sama. Di sana, sambil berbincang-bincang tak menentu, kami mulai membuat kopi untuk kami berdua. Aroma kopi yang menyenangkan menguar di ruangan. Setelah itu, kami duduk di kursi meja makan, bersebelahan satu sama lain.

“Jadi, apa yang mengundangmu datang ke sini?” Tanyaku lalu menyeruput kopi yang masih panas.

“Em … Sebelum dari sini, aku nongkrong di kafe biasa. Tapi dipikir-pikir, aku lebih baik datang menemuimu.” Lia tersenyum tipis.

“Nongkrong di kafe? Kamu mau jualan lagi?” Tanyaku agak terkejut.

“Iya … Aku …” Lia menjeda ucapannya sambil menundukan kepalanya.

Aku sangat tahu arah pembicaraannya. Aku ambil tangannya dan berkata, “Kamu tak perlu lagi datang ke kafe itu lagi. Hentikan jualanmu. Bila kamu butuh biaya datang saja ke sini. Aku tidak akan menganggapmu orang lain. Kamu sudah kuanggap saudaraku. Kamu paham?”

“Aku malu merepotkanmu.” Ujar Lia.

“Kamu gak perlu malu. Aku akan selalu membantumu jika aku mampu. Sekarang katakan! Buat apa uang itu dan berapa?” Aku memegang dagu Lia dan mengangkatnya hingga wajahnya menatapku.

“Aku ingin buat toko kelontongan. Samping rumahku ada tanah yang baru aku beli dari uangmu tempo hari. Luasnya 25 meter persegi. Aku ingin membangunnya menjadi toko kelontongan.” Jawabnya pelan.

“Aku akan membuatkannya untukmu.” Kataku penuh keyakinan.

“Oh … I..itu … Biayanya besar sekali.” Ucap Lia terbata-bata.

“Tenang saja. Aku punya uangnya. Kamu jangan khawatir.” Kataku.

“Ngga … Benarkah?” Lia menatapku berkaca-kaca.

“Iya … Aku serius.” Kataku lagi.

Tiba-tiba Lia turun dari kursi lalu duduk di pangkuanku sambil memelukku erat hingga kepalaku bersemayam di dadanya yang empuk, “Aku akan melayanimu kapan pun kamu mau.”

Aku tersenyum sambil mendorong tubuhnya perlahan, aku pun bercanda, “Kalau begitu, tinggalah di sini dan menjadi selirku.”

“Hi hi hi … Aku mau jadi selirmu tapi gak bisa tinggal selamanya di sini. Aku punya anak dan suami.” Lia pun terkekeh.

“Ya sudah ... Lupakan … Pokoknya aku akan buatkan kamu toko. Aku suka kamu punya usaha. Jadi gak perlu jualan bakpao lagi.” Kataku sambil meraba selangkangannya.

“Aw …” Lia menjerit kaget lalu memijit hidungku.

Kami terus ngobrol sambil menikmati kopi di kursi masing-masing. Lia menceritakan ide briliannya untuk membuat toko kelontong setelah saudaranya menawarkan tanah di samping rumahnya. Tanpa ragu, Lia menggunakan sebagian uang yang ia miliki untuk membeli tanah tersebut. Uang yang aku berikan habis begitu saja, namun Lia penuh keyakinan bahwa investasi ini akan memberikan hasil yang menjanjikan.

Lia menjelaskan, "Ngga, di sepanjang gang di rumahku belum ada satu pun toko kelontong. Semua warga harus berjalan lumayan jauh jika ingin membeli kebutuhan sehari-hari di minimarket. Aku yakin toko kelontongku akan menjadi pilihan warga untuk berbelanja."

Mendengar rencana Lia, aku merasa bangga padanya. "Itu ide yang bagus. Aku berharap toko kelontongmu akan sukses. Semoga membawa banyak keuntungan bagimu dan juga untuk warga sekitar."

“Tapi, Ngga … Itu butuh biaya sangat besar.” Sekali lagi Lia mengingatkan.

“Tenang saja. Kamu duduk manis saja dan tahu beres.” Aku coba meyakinkannya.

“Makasih ya Ngga … Aku beruntung sekali bisa mengenalmu.” Katanya sambil tersenyum.

“Aku yang sangat beruntung mengenalmu. Gara-gara kamu aku jadi suka begituan.” Candaku.

“Begituan apa?” Lia pura-pura tidak tahu.

“He he he … Gayamu itu …” Aku terkekeh sambil menoel buah dadanya.

“Hi hi hi … Tapi enak kan … Gimana rasanya?” Lia membalas candaanku.

“Aku tidak bisa melukiskannya dengan kata-kata. Ini sungguh luar biasa.” Jujurku.

“Sudah berapa perempuan yang menjadi korbanmu?” Candanya lagi.

“Em … Sudah tiga, termasuk kamu.” Jawabku lalu menyeruput lagi kopiku.

“Mau nambah?” Suara Lia begitu genit.

“Kamu ini …” Kuseruput lagi kopi yang mulai hangat.

“Hi hi hi … Percuma dong usahaku membuatmu menjadi monster.” Lia meraba selangkanganku.

“Kalau kamu berani membangunkannya, kamu yang harus bertanggung jawab.” Kataku sembari mengalihkan tangannya dari selangkanganku.

“Dengan senang hati.” Ujar Lia yang tangannya kembali ke selangkanganku, bahkan kini bukan saja meraba tapi memijit batang kejantananku yang mulai bereaksi.

Tiba-tiba aku bangkit dari duduk dan menggendong Lia dengan gaya bridal. Lia pun memekik kaget sambil melingkarkan tangannya ke leherku. Kakiku melangkah menuju ruang tengah lalu di sofa yang nyaman aku merendahkan tubuhku perlahan sambil tetap mempertahankan Lia dalam gendonganku. Setelah menemukan posisi yang nyaman, aku meraih smartphone yang terletak di atas meja. Tanpa banyak kata, aku fokus pada layar ponsel untuk melakukan transfer uang ke rekening Lia. Setelah selesai, aku mengarahkan ponsel ke arahnya, menunjukkan bukti transfer sebagai tanda bahwa aku telah memberikan uang yang ia butuhkan. Lia memandang layar ponsel dengan wajah sumringah cerah, menggambarkan rasa terima kasih yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Saat itu juga, Lia merapatkan dirinya dan memeluk kepalaku erat. Rasa hangat pelukan itu mengandung ekspresi terima kasih yang jauh lebih dalam dari kata-kata biasa. "Terima kasih," ucap Lia berkali-kali sambil tetap memelukku.

“Sama-sama … Aku berharap ini adalah langkah pertamamu untuk mengubah hidup. Jangan pernah ragu meminta padaku, dan aku tidak ingin kamu berjualan apem lagi di kafe mana pun.” Kataku lembut.

Lia menangkup wajahku mesra, “Aku berjanji akan berhenti menjadi pelacur.”

“Kamu hanya akan menjadi pelacurku.” Kataku.

“Kalau begitu, pake aku sekarang.” Pintanya mendamba.

Aku tersenyum, “Kita ke kamar.”

Lia membalas senyumanku lalu bangkit dari pangkuanku. Kami pun berjalan bersama ke kamar tidur. Di kamar kami langsung melepas pakaian masing-masing dan bergumul di ranjang. Tangan Lia bergerak menggenggam penisku. Aku melenguh seraya menyebut namanya. Aku meringis menahan remasan lembut tangannya pada penisku. Lia mulai bergerak turun naik menyusuri batang penisku yang sudah teramat keras. Sekali-sekali ujung telunjuknya mengusap kepalanya yang sudah licin oleh cairan yang meleleh dari liangnya. Kembali aku melenguh merasakan ngilu akibat usapannya. Kocokan Lia pun semakin cepat.

Dengan lembut aku mulai meremas-remas payudaranya. Tangan Lia menggenggam penisku dengan erat. Putingnya kupilin-pilin. Aku mendesah lagi saat Lia masukan penisku ke dalam mulutnya dan mengulumnya. Aku terus menggerayangi payudaranya Lia dan mulai menciumi payudaranya itu. Nafsuku semakin berkobar. Jilatan dan kuluman Lia pada penisku semakin mengganas sampai-sampai aku terengah-engah merasakan kelihaian permainan mulutnya.

Aku membalikkan tubuh wanitku ini hingga berlawanan dengan posisi tubuhku. Kepalaku berada di bawahnya sementara kepalanya berada di atasku. Kami sudah berada dalam posisi enam sembilan! Lidahku menyentuh vaginanya dengan lembut. Tubuhnya langsung bereaksi dan tanpa sadar Lia menjerit lirih. Tubuhnya meliuk-liuk mengikuti irama permainan lidahku di vaginanya. Kedua pahanya mengempit kepalaku seolah ingin membenamkan wajahku ke dalam vaginanya. Penisku kemudian dikempit dengan payudaranya dan digerakkan maju mundur, sebentar. Aku menciumi bibir vaginanya, mencoba membukanya dengan lidahku. Tanganku mengelus paha bagian dalam. Lia mendesis dan tanpa sadar membuka kedua kakinya yang tadinya merapat.

Aku pikir sudah saatnya pada pertempuran yang sesungguhnya, Maka, segera saja aku menempatkan diri diantara kedua kakinya yang terbuka lebar. Aku tempelkan penisku pada bibir vaginanya. Kugesek-gesek, mulai dari atas sampai ke bawah. Naik turun. Lia mendesah-desah sambil megnggoyangkan pinggul seakan sudah tak sabar dicoblos. Vaginanya yang sudah banjir membuat gesekanku semakin lancar karena licin. Dan terasa sekali klitorisnya sudah menegang saat kepala penisku menggesek-gesek itilnya.

“Angga … Sayang?” Panggilnya mengiba.

“Ya.” Jawabku sambil tersenyum melihatnya tersiksa.

“Cepetan...” Pinta Lia. Aku sengaja mengulur-ulur dengan hanya menggesek-gesekan penis. Sementara Lia benar-benar sudah tak tahan lagi mengekang birahinya.

“Ayo, sayang … Ahk …!” Katanya.

Lia melenguh merasakan desakan penisku yang besar itu. Lia menunggu cukup lama gerakan penisku memasuki dirinya. Serasa tak sampai-sampai. Maklum saja, selain besar, penisku juga panjang, dan itu adalah hasil karyanya. Lia sampai menahan nafas saat penisku terasa mentok di dalam, seluruh penisku amblas di dalam. Aku mulai menggerakkan pinggulnya pelan-pelan. Satu, dua dan tiga enjotan mulai berjalan lancar. Semakin membanjirnya cairan dalam vagina Lia membuat penisku keluar masuk dengan lancarnya. Lia kemudian mengimbangi dengan gerakan pinggulnya. Meliuk perlahan, naik turun mengikuti irama enjotanku.

Gerakan kami semakin lama semakin meningkat cepat dan bertambah liar. Gerakanku sudah tidak beraturan karena yang penting enjotanku mencapai bagian-bagian peka di vaginanya. Lia bagaikan berada di surga merasakan kenikmatan yang luar biasa ini. Penisku menjejali penuh seluruh vaginanya, tak ada sedikit pun ruang yang tersisa hingga gesekan penisku sangat terasa di seluruh dinding vaginanya. Lia merintih, melenguh dan mengerang merasakan semua kenikmatan ini.

Aku bergerak semakin cepat. Penisku bertubi-tubi menusuk daerah-daerah sensitifnya. Lia meregang tak kuasa menahan napsuku, sementara aku dengan gagahnya masih mengayunkan pinggulku naik turun, ke kiri dan ke kanan. Erangan wanita itu semakin keras. Melihat reaksinya, aku mempercepat gerakanku. Penisku yang besar dan panjang itu keluar masuk dengan cepatnya. Tubuh Lia sudah basah bermandikan keringat. Aku pun demikian. Lia meraih tubuhku untuk didekap, direngkuhnya seluruh tubuhku sehingga aku menindih tubuhnya dengan erat. Lia membenamkan wajahnya di samping bahuku. Pinggulnya diangkat tinggi-tinggi sementara kedua tangannya menggapai pantatku dan menekannya kuat-kuat.

Lia meregang. Tubuhnya mengejang-ngejang. “Sayang … Ooohh… !” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya saking dahsyat kenikmatan yang dialaminya. Aku menciumi wajah dan bibirnya.

Tiba-tiba Lia mendorongtubuhku hingga terlentang. Dia langsung menindihku dan menciumi wajah, bibir dan sekujur tubuhku. Kembali diemutnya penisku yang masih tegak itu. Lidahnya menjilati, mulutnya mengemut, tangannya mengocok-ngocok. Belum sempat aku mengucapkan sesuatu, Lia langsung berjongkok dengan kedua kaki bertumpu pada lutut dan masing-masing berada di samping kiri dan kanan tubuhku. Vaginanya berada persis di atas penisku.

“Akh!” Pekiknya tertahan ketika penisku dibimbingnya memasuki vaginanya.

Tubuhnya turun perlahan-lahan, menelan seluruh penisku. Selanjutnya Lia bergerak seperti sedang menunggang kuda. Tubuhnya melonjak-lonjak. Pinggulnya bergerak turun naik.

“Ouugghh… Lia… luar biasa!” Erangku.

Pinggul Lia mengaduk-aduk lincah, mengulek liar tanpa henti. Tanganku mencengkeram kedua payudaranya, kuremas dan dipilin-pilin. Aku lalu bangkit setengah duduk. Wajah kubenamkan ke dadanya. Menciumi putingnya. Kuhisap kuat-kuat sambil kuremas-remas.

Kami berdua saling berlomba memberi kepuasan. Kami tidak lagi merasakan dinginnya udara meski kamar menggunakan AC. Tubuh kami bersimbah peluh, membuat tubuh kami jadi lengket satu sama lain. Lia berkutat mengaduk-aduk pinggulnya. Aku menggoyangkan pantatku. Tusukan penisku semakin cepat seiring dengan liukan pinggulnya yang tak kalah cepatnya.

Permainan kami semakin meningkat dahsyat. Sprei ranjang sudah tak karuan bentuknya, selimut dan bantal serta guling terlempar berserakan di lantai akibat pergulatan kami yang bertambah liar dan tak terkendali. Aku merasa spermaku sudah mau keluar. Aku semakin bersemangat memacu pinggulku untuk bergoyang. Tak selang beberapa detik kemudian, Lia pun merasakan desakan yang sama. Lia terus memacu sambil menjerit-jerit histeris.

Aku mulai mengejang, mengerang panjang. Tubuhnya menghentak-hentak liar. Akhirnya, spermaku nyemprot begitu kuat dan banyak membanjiri vaginanya. Lia pun tidak kuat lagi menahan desakan dalam dirinya. Sambil mendesakan pinggul kuat-kuat, Lia berteriak panjang saat mencapai puncak kenikmatan berbarengan denganku. Tubuh kami bergulingan di atas ranjang sambil berpelukan erat.

“Sayang … Uenaaaaaakkkk!” Jeritnya tak tertahankan.

Lia lemas terkulai dan tak bergerak, dengan begitu banyak cairan lendir berwarna putih di sekitar vaginanya. Aku mencium bibir, pipi, dan keningnya sebelum turun dari atas ranjang. Aku melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan badan untuk kedua kalinya sepagi ini.

Setelah mandi dengan cepat, aku segera mengambil handuk untuk mengeringkan badanku. Sesaat setelah mengeringkan tubuh, aku membuka pintu kamar mandi dan keluar dengan masih tercium wangi sabun di kulitku memberikan kesan kesegaran yang bertahan. Aku memunguti pakaian sambil memperhatikan Lia yang masih tergeletak di atas tempat tidur dengan mata terpejam. Sambil tersenyum aku kenakan pakaianku dan tiba-tiba Lia bangkit sambil memandangku.

“Kok sudah berpakaian lagi? Menyerah ya?” Godanya genit.

“Aku merasa kurang vit.” Jawabku sambil tersenyum.

“Kamu berhenti minum jamunya?” Tanya Lia sembari turun dari ranjang.

“Tidak … Masih diminum.” Jawabku.

Lia berjalan melewatiku sambil tangannya meremas selangkanganku. Aku geleng-geleng kepala sambil membalas meremas buat pantatnya. Kulihat Lia memasuki kamar mandi. Aku pun memutuskan untuk menonton televisi lagi di ruang tengah. Acara di televisi kini didominasi oleh acara memasak dan kuliner, membuatku tergoda untuk menonton salah satunya. Layar televisi penuh dengan warna-warni sajian lezat yang menggugah selera.

Beberapa menit berselang, Lia datang dan langsung duduk di sebelahku. Wangi sabun dan sampo tercium oleh hidungku. Kami pun berbincang-bincang ringan tentang acara televisi yang sedang ditonton.

“Ngga … Aku pamit ya …” Tiba-tiba Lia berpamitan untuk pulang.

“Loh … Kenapa?” Tanyaku.

“Aku ada arisan ibu-ibu RW nanti sore.” Jawabnya.

“Oh …” Gumamku.

Akhirnya, aku mengantar Lia ke rumahnya dengan mobil kesayanganku. Mobil meluncur dengan tenang di jalan raya yang ramai. Saat kami melewati jalanan yang familiar, kami berbincang-bincang tentang berbagai hal, tertawa, dan berbagi cerita. Setibanya di depan minimarket yang letaknya dekat rumah Lia, aku menghentikan mobil. Lia tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Rumah Lia terletak di dalam sebuah gang yang tak dapat dijangkau mobil, maka minimarket inilah menjadi titik akhir perjalanan kami.

Mobilku meluncur lagi dengan tenang di jalan raya. Meskipun jalanan dipenuhi kemacetan di berbagai titik, aku mencoba menikmati setiap detik perjalanan ini. Kesejukan angin menyapu wajahku, menciptakan sensasi yang menenangkan meski keadaan di sekitar sedikit kacau.

Saat laju kendaraanku terhenti oleh lampu lalu lintas, sebuah nada dering dari smartphone memecah kesunyian. Aku merogoh saku celana, mengeluarkan alat komunikasi itu, dan melihat identitas penelepon. Ternyata, Lina sedang menghubungiku. Tanpa ragu, aku segera menekan tombol untuk mengangkat panggilannya.

“Ya, Lin …” Sapaku dengan suara lembut.

“Kamu sudah makan belum?” Katanya tidak kalah lembut.

Aku tersenyum sambil menjawab, “Aku sedang mencari tempat makan, ini lagi di jalan.”

“Oh kebetulan … Gimana kalau kamu ke rumahku? Aku sedang memasak. Makan saja di rumahku.” Ajaknya dan entah kenapa hatiku lumayan tersentuh akan undangannya itu.

“Baiklah … Aku akan ke sana. Berikan alamatmu.” Jawabku.

“Asik … Aku kirim ke WA ya alamatku …” Terdengar suara riang Lina di sana.

“Ok …” Jawabku lalu terputus sambungan teleponku.

Tak lama setelah percakapan telepon, smartphoneku bergetar memberi tahu adanya pesan Whatsapp dari Lina. Dengan cermat, aku membuka pesan yang berisi alamat rumahnya. Segera saja, aku mengatur lajur kendaraanku menuju rumah Lina. Jarak yang harus kutempuh cukup lumayan, karena tempat kediaman wanita itu berada di perbatasan Kota Jakarta dan Bekasi.

Hampir satu jam berlalu di jalanan yang sesak, akhirnya aku tiba di depan rumah Lina. Kesabaran dan rasa penasaran yang selama ini aku pertahankan sepanjang perjalanan tergantikan oleh rasa bahagia dan antisipasi. Aku memarkir kendaraan di depan rumahnya dan melangkah menuju pintu depan. Tanpa menunggu lama, pintu itu terbuka, dan Lina dengan senyum ramah dan penampilan yang seksi menyambut kedatanganku.

“Macet sekali …” Kataku sambil masuk ke dalam rumahnya setelah Lina mempersilahkan aku masuk.

“Kalau jam segini emang selalu macet, apalagi hari-hari kerja. Bisa dua jam sampai dari tempat kerja.” Katanya sembari mengajakku ke belakang.

Ketika aku melewati sebuah pintu di tengah rumah, mataku langsung disambut oleh pemandangan makanan yang sudah tertata rapi di atas meja. Tanpa banyak berbasa-basi, kami berdua langsung menyantap hidangan lezat itu sambil berbincang-bincang ringan, dipenuhi tawa dan keceriaan. Entah kenapa, suasana kali ini terasa berbeda. Aku merasakan sebuah kedamaian yang lama tak kurasakan. Makan siang kali ini seperti memiliki keajaiban sendiri, menyentuh hati dengan cara yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Setelah hidangan selesai, kami berdua bersama-sama membersihkan dan merapikan bekas makanan dengan suasana yang begitu menyenangkan. Kini, aku menyadari betapa pandainya Lina menciptakan suasana yang menyenangkan, membuat setiap detik yang berlalu menjadi begitu berkesan. Tak lama setelah itu, kami berdua duduk di sofa tengah rumah. Obrolan kami semakin seru, diselingi candaan dan tawaan yang menciptakan keintiman di antara kami. Setiap percakapan membawa kami lebih dekat, seakan ada ikatan batin yang tumbuh dari setiap kata yang terucap.

Beberapa saat dalam obrolan, aku mulai menyadari gelagat bahwa Lina mungkin memiliki perasaan khusus terhadapku. Cara bicaranya yang lembut dan gesture-nya yang genit memberikan petunjuk yang sulit diabaikan. Setiap kali kami berbicara, senyuman dan pandangan matanya memberikan sinyal yang membuat hatiku berdebar. Tentu saja, aku merasa seperti kucing yang diberi daging. Keputusan untuk menjadikan Lina sebagai ‘santapan’ adalah pilihan yang wajar.

Tentu saja, seperti kucing yang cerdik, aku berencana untuk merespon Lina dengan hati-hati. Dan entah siapa yang mendahului dan kapan persisnya itu terjadi, aku dan Lina kini duduk saling memeluk. Tanganku melingkar di pinggangnya, sementara Lina bersandar di bahuku. Suasana hati yang hangat terasa semakin menguat, dan jarak di antara kami menjadi seolah-olah menghilang. Sentuhan tubuh kami yang saling bersatu menciptakan gelora yang tak terungkapkan.

“Ngga … Boleh aku bertanya sesuatu yang pribadi?” Tanya Lina pelan.

“Apa itu?” Tanyaku penasaran.

“Apa kamu sudah punya teman kencan?” Tanya Lina secara terbuka.

“Aku belum punya teman kencan.” Jawabku sejujur-jujurnya.

“Belum ada wanita yang menarik perhatianmu?” Lina melanjutkan pertanyaannya.

“Belum ada juga.” Jawabku singkat.

“Kenapa?” Tanyanya lagi.

“Entahlah … Aku juga kurang mengerti. Tapi yang jelas aku sangat menikmati hidup sendiri. Aku merasa bebas dan tanpa ikatan.” Jawabku sambil mempererat lingkaran tanganku di pinggang Lina.

“Apakah kamu masih memikirkan Dewi?” Kali ini pertanyaannya lumayan mengejutkan.

“Kadang-kadang … Ya, aku masih memikirkannya.” Jujurku.

Tiba-tiba, Lina menggerakan tubuhnya, memutar badannya, dan menghadapkan wajahnya padaku. Tatapannya begitu intens, membuatku merasa seakan dia ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Aku memperhatikan wajah cantiknya dengan seksama, mencoba menangkap setiap detail. Dalam pandangan matanya terdapat kilatan emosi yang sulit dipahami. Tanpa disadari, tanganku meraih wajah Lina. Aku merasa seperti sedang membaca cerita yang tersembunyi di balik matanya, dan dalam detik-detik itu, kami saling terhubung dalam bahasa batin yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

“Ada apa?” Tanyaku penasaran.

Lina terlihat menahan napasnya, dan tak lama dia berkata, “Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya padamu, tapi aku pikir kamu layak mengetahuinya.”

“Katakan saja.” Pintaku.

“Tapi kamu harus berjanji kalau apa yang akan aku katakan tidak diberitahukan kepada orang lain, terutama Dewi.” Ucapan Lina terkesan apa yang akan dia katakan adalah sebuah rahasia besar.

“Aku berjanji.” Jawabku singkat.

“Dan satu lagi … Kamu jangan marah padaku.” Katanya sungguh-sungguh.

“Ya.” Jawabku dengan rasa penasaran yang semakin membuncah.

“Baiklah … Aku akan menceritakan rahasia besar dan kelam Dewi. Perlu kamu ketahui, aku dan Dewi adalah sahabat karib saat kami pertama kali sama-sama bekerja di Bank DRS. Aku dan Dewi saling berbagi cerita dan berkeluh kesah. Karena itulah aku sangat mengetahui sejarah hidupnya. Tapi hubungan kami agak renggang akhir-akhir ini karena ada perbedaan pendapat di antara kami.” Itulah kalimat pembuka cerita Lina.

Aku dengan hati berdebar mendengarkan cerita Lina dan belum apa-apa aku sudah dikejutkan Lina yang mengatakan Dewi adalah seorang maniak seks atau hiperseks. Lina mengetahui itu karena Dewi mengaku sendiri kalau Dewi merasa kesulitan mengendalikan hasrat seksualnya. Aku semakin terperangah ketika Lina mengatakan kalau Dewi sering berganti-ganti pasangan untuk memenuhi hasrat seksualnya karena merasa tidak puas dengan hanya melakukan satu kali hubungan badan.

“Ngga … Dewi mempunyai empat pasangan seksnya di kantor, semuanya pejabat tinggi perusahaan, makanya tidak heran kalau karirnya melejit pesat melewati para senior di kantor.” Lina menjeda ceritanya untuk menarik nafas.

“Apakah itu sudah lama terjadi?” Tanyaku dengan hati yang semakin tak karuan.

“Ya … Kamu harus tabah ya … Apakah kamu siap mendengarkan kelanjutan ceritaku?” Tanyanya dan aku jawab dengan anggukan.

Jantungku seperti ingin meloncat dari rongganya tatkala Lina mengatakan kalau Dewi melakukan seks dengan partner-partnernya di kantor saat masih dalam masa pernikahanku. Namun, Dewi memang sangat pandai menyembunyikan aktivitas seksualnya itu sehingga tak satu pun orang mengetahuinya. Dewi bisa menyembunyikan itu semua dengan bersikap baik dan ramah pada semua orang sehingga tak satu pun yang menyangka dibalik kebaikan dan keramahannya itu tersimpan sisi liar yang luar biasa. Orang-orang di sekitarnya melihat Dewi sebagai individu yang penuh kasih, penyayang, dan selalu siap membantu. Namun, dibalik tirai kebaikannya, tersembunyi sisi gelap yang mengerikan.

“Maka tak aneh bila Dewi tidak ingin keluar dari kerjanya walaupun kamu bersikukuh melarangnya bekerja. Dia memilih bercerai denganmu daripada melepaskan keempat pasangan seksualnya.” Lina menjeda lagi.

“A..aku …” Jantungku tak mampu membuat kata-kataku keluar dengan sempurna.

Jiwaku tergoncang hebat oleh fakta ini. Saat menyadari kebenaran yang tak terelakkan, getaran yang melanda hatiku seperti gelombang yang merambah ke seluruh tubuhku. Semua keyakinan terhempas oleh kenyataan yang baru saja terkuak di depan mataku. Perasaan kecewa, kebingungan, dan mungkin kemarahan mengalir begitu mendalam di dalam diriku.

“Sabar ya Ngga … Aku tahu ini menyakitkan …” Lina coba menghiburku. “Apakah kamu masih ingin mendengarkan ceritaku?” Tanyanya kemudian.

Setelah aku menganggukan kepala, Lina melanjutkan ceritanya bahwa motivasi bekerja Dewi sama sekali tidak berkaitan dengan penghasilan tetapi demi memenuhi kebutuhan seksnya yang ia peroleh dari semua partnernya di kantor. Bahkan, untuk mencapai tujuan perusahaan Dewi rela menjadi ‘mangsa’ semua relasi perusahaan yang Lina sebut dengan istilah ‘pelacur perusahaan’. Ajaibnya, Dewi sangat menyukai pekerjaan sampingan itu. Selain menghasilkan uang yang banyak, dia juga mendapat kepuasan seksual yang dia inginkan.

“Sampai sekarang ini, Dewi masih melakukannya.” Lina menutup ceritanya sambil membuka foto-foto di ponselnya yang menampilkan foto-foto kemesraan Dewi dengan semua partner seksnya dan beberapa pelanggannya.

Saat kenyataan itu terungkap, aku terpaku di tempat, mataku membelalak mencerna fakta yang tak terduga. Benakku terasa seperti dipenuhi oleh kekacauan, dan hatiku remuk oleh gelombang-gelombang kejutan yang menghantam. Sebuah ketidakpercayaan melilit hatiku seperti angin ribut yang merobek-robek segala keyakinan yang pernah kubangun. Sisi yang kini terkuak membuatku merasa seakan-akan terjatuh dari ketinggian tanpa batas, dan rasa sakit mulai merayap ke setiap serat dalam diriku.

Aku terperangah di tengah badai emosi yang meresap dalam diri. Kenyataan yang begitu sulit untuk diterima ini mampu membelenggu setiap pikiran positif yang pernah kupelihara. Setiap detik terasa seperti penghinaan terhadap kepercayaanku yang hancur. Tangis kekecewaan dan gemuruh kemarahan menjadi paduan yang sulit diurai. Kini, keterkejutanku sudah melampaui batas toleransi menciptakan amarah yang membakar di dalam diri. Api kemarahan itu menyala sebagai respons alamiah terhadap pengkhianatan yang terungkap. Saking marah dan kecewanya, tak terasa air mata keluar dari pelupuk mata. Air mata yang tidak diinginkan itu mengalir saking sakitnya hati ini.

“Ngga … Maafkan aku …” Tiba-tiba jiwaku kembali saat mendengar ucapan Lina.

“Terima kasih, Lin … Aku berjanji akan menjaga rahasia ini. Sebaiknya aku pulang.” Kataku sembari bangkit.

“Ngga … Tidurlah di sini …” Pinta Lina sambil menahan tanganku.

“Lain kali saja, ok ?” Kataku sambil memaksakan senyum dan mengusap air mata.

“Ngga, jangan memaksakan diri. Aku takut kamu kenapa-napa.” Lina tetap berusaha menahanku.

“Aku tidak akan apa-apa. Percayalah, aku akan baik-baik saja.” Kataku sambil berlalu.

Aku berjalan ke ruang depan diikuti oleh Lina yang tampak sangat khawatir. Tangan Lina menarik tanganku, dan tiba-tiba dia memelukku dengan erat, seakan-akan tidak ingin aku pergi. Aku hanya berdiri kaku, merasakan pelukannya yang penuh kekhawatiran dan ketakutan. Setelah beberapa saat yang terasa seperti satu abad, Lina perlahan melepaskan pelukannya. Wajahnya penuh air mata yang mengalir bebas.

Aku mengusap lembut wajahnya, mencoba menghapus jejak-jejak air mata yang meluncur di pipinya. Meski hatiku penuh dengan kebingungan dan kecewa, aku merasa terharu melihat ekspresi kesedihan di wajah Lina. Dan, tanpa berkata apa-apa, aku bergerak menuju pintu keluar rumah. Langkahku sedikit gontai, hatiku masih terguncang oleh badai emosi yang tak terduga ini. Aku berjalan keluar rumah dan memburu mobilku yang terparkir di halaman rumah. Begitu aku nyalakan mesin mobil, aku meninggalkan rumah Lina tanpa menoleh ke belakang. Dalam keheningan mobil, aku merenungkan keputusan-keputusan yang harus kubuat dan kehidupan yang mungkin harus kureka.

Hatiku menjerit, ingin membelah langit. Rasa sakit ini sudah tak bisa lagi kuredam. Pikiranku tiba-tiba kembali ke masa lalu, terpanggil oleh kenangan yang pahit. Aku dan Dewi terlibat dalam percekcokan rumah tangga yang tiada henti, seperti badai tak kunjung reda yang melanda hubungan kami. Ketika itu, aku yakin Dewi benar-benar ingin bekerja walau aku tidak menginginkannya. Pertentangan ini membuat aku dan Dewi terus bersitegang. Tapi kini, kenyataan yang pahit menghampiri, mengungkap misteri yang mengerikan di balik keinginan Dewi saat itu untuk tetap bekerja. Rasa sakit yang kurasa tak hanya karena pengkhianatannya saat itu, tetapi juga karena keterlambatan dalam mengetahui kebenaran yang terjadi.

“Toni …” Tiba-tiba hatiku berbisik.

Segera saja, aku arahkan mobilku ke tempat kediaman Toni. Aku tahu kalau hari Sabtu dan Minggu adalah hari liburnya. Dalam keadaan hati yang bergejolak dan pikiran yang kacau, aku percaya Toni adalah orang yang tepat untuk memberikan solusi pada langkahku untuk menyikapi kegilaan ini. Toni selalu membuktikan dirinya sebagai sahabat yang bisa diandalkan dengan pemikiran cemerlangnya. Keyakinan kalau Toni akan memberikan pandangan yang bijak dan solusi yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, memberiku secercah harapan dalam kekacauan ini.

Mobilku melaju dengan kecepatan tinggi, menembus jalanan lengang yang seolah memberiku ruang untuk menggeber mesin mobil dengan maksimal. Perjalanan yang terasa panjang dan melelahkan akhirnya mencapai titik akhir, saat aku memarkirkan mobil di halaman rumah Toni. Sebelum aku sempat turun, Toni sudah berdiri di ambang pintu setelah membukanya. Tanpa menunda, aku keluar dari mobil dengan cepat dan menghampiri sahabatku itu. Dalam tatapan kami, terdapat ekspresi kebingungan.

“Tumben …” Ucapnya satu kata tapi penuh makna.

“Aku ada masalah, Ton …” Jawabku.

“Hhhhmm … Masuklah!” Ujar Toni sembari melebarkan daun pintu.

Toni membawaku langsung ke dapur, tempat di mana aroma kopi menyambut kami. Di sana, tanpa banyak basa-basi, kami membuat secangkir kopi untuk masing-masing. Sambil menikmati setiap tegukan, aku mulai menceritakan semua fakta tentang Dewi yang kudapat dari Lina. Aku tak menutupi apapun, membeberkan segala informasi itu yang membuat hatiku terasa semakin berat.

Toni mendengarkan ceritaku dengan santai, seolah-olah ini adalah masalah kecil yang bisa diatasi. Wajahnya yang penuh kearifan dan raut tenangnya memberiku ketenangan. Aku melanjutkan, menjelaskan betapa sakit hati dan kecewa yang kurasakan terhadap perilaku Dewi. Namun yang kurasakan selanjutnya adalah setiap kata yang terucap dari bibirku terasa seperti beban yang sedikit terangkat.

“Aku ingin balas dendam.” Itu kalimat terakhir yang keluar dari bibirku.

“Balas dendam itu gampang. Kau tinggal beberkan Dewi yang sebenarnya pada ibu, bapak, dan teman-temannya juga sudah merupakan pukulan berat dan bisa menjatuhkannya. Hanya saja, kau harus mempunyai bukti yang sangat valid sebelum melakukan balas dendam karena ini menyangkut nasib manusia. Kau gak boleh gegabah.” Jelas Toni.

“Jadi apa yang harus aku lakukan?” Tanya bingung.

“Sekarang ini banyak detektif swasta. Kau bisa menggunakan jasanya untuk mengungkap fakta yang sebenarnya. Kamu tinggal searching di google saja.” Jawab Toni.

Ya, aku merasa perlu menggali lebih dalam untuk mendapatkan fakta dan kebenaran mengenai Dewi. Tanpa ragu, aku mulai mencari jasa detektif swasta yang ahli dalam mengungkapkan rahasia perkawinan. Setelah beberapa pencarian online, mataku terfokus pada situs web detektif perkawinan yang menjanjikan profesionalisme dan keahlian. Tanpa makan waktu lama, aku menemukan testimoni dan ulasan pelanggan yang mengesankan. Situs tersebut menawarkan jasa yang melibatkan detektif-detektif berpengalaman yang dapat menyelidiki masalah-masalah rumit dalam hubungan pernikahan. Segera aku menghubungi agen penyelidikan tersebut dan menjelaskan situasiku secara rinci. Setelah diskusi yang mendalam mengenai kebutuhan dan tujuan penyelidikan, aku memutuskan untuk menyewa detektif swasta dari agen tersebut. Mereka memberiku jaminan bahwa mereka akan bekerja secara profesional dan dapat memberikan hasil yang akurat. Mereka berjanji akan memberikan hasil penyelidikannya sebelum satu bulan. Akhirnya semuanya selesai setelah aku membayar uang jasa kepada agen penyelidikan tersebut.

“Sekarang … Lebih baik kamu menenangkan diri. Jangan terlalu dibawa emosi.” Ujar Toni sambil tersenyum.

“Entahlah, Ton … Kali ini aku tidak bisa memaafkannya. Jika informasi ini benar, niscaya aku akan menghancurkannya.” Tekadku sudah bulat.

“Tapi ingat! Jangan sampai merugikan dirimu juga anakmu. Semua harus direncanakan secara matang.” Katanya dan aku menjawab dengan anggukan.

Malam itu, aku memutuskan untuk menginap di rumah Toni. Dalam suasana yang penuh ketidakpastian dan kekecewaan, aku mendengarkan masukan-masukan dari sahabatku itu. Toni, dengan bijaksana dan penuh empati, memberikan pandangan baru yang memberiku sedikit ketenangan. Kami berbicara sepanjang malam. Toni tidak hanya menjadi pendengar yang baik, tetapi juga memberikan saran-saran yang membuatku bisa melihat situasi ini dari berbagai sudut pandang. Entah apa yang diucapkannya, tetapi setiap kata dan nasihatnya mampu meredakan gejolak emosi yang menguasai hatiku.

Akhirnya, kami memutuskan untuk beristirahat dan tidur lelap. Meskipun kebingungan dan ketidakpastian masih menyelimuti, aku merasa memiliki keberanian baru untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi.


#####


Pagi ini cerah, matahari menyinari langit dengan hangat, namun pikiranku keruh seperti kabut yang menyelinap dan menutupi segalanya. Hati dan pikiranku terasa seperti benang kusut yang sulit diurai. Suara-suara dan pikiran-pikiran bising berdengung dalam relung hati, menciptakan kekacauan yang semakin menggumpal. Kadang-kadang, dengan susah payah, aku mampu mengurai benang-benang pikiranku agar tidak kusut. Namun, tak lama kemudian, kekacauan itu kembali merajalela, membuat hatiku semakin terjerat dalam benang-benang kegelapan yang sulit dihindari.

Sesaat setelah memasuki pabrik dan memeriksa hasil produk, aku merasa terombang-ambing di antara mesin dan suara gemuruh. Pikiranku tidak lagi fokus pada pekerjaan yang seharusnya aku nikmati. Sepertinya, hatiku begitu sulit untuk berhenti merasakan kekecewaan dan kesedihan yang begitu mendalam. Bagaimana tidak, pekerjaan yang dulu kucintai kini terasa membosankan, semangat kerjaku merosot drastis. Akhirnya, aku mengambil langkah panjang menuju bagian HRD. Di sana aku mengutarakan keinginanku untuk mengajukan cuti selama empat hari. Untungnya keinginan cuti itu terjawab positif, karena pihak HRD mengabulkan permohonanku. Untuk minggu ini, aku benar-benar bisa menarik diri dari hiruk-pikuk pabrik dan menikmati kebebasan dari dunia kerja.

Hatiku dipenuhi oleh rasa sakit yang sulit dijelaskan, bukan hanya oleh pengkhianatan yang kurasakan, tetapi lebih dalam lagi oleh kekecewaan dari serangkaian dusta yang menghantamku yang begitu memilukan. Dewi, wanita yang kucintai dan kuhargai, lebih memilih jalur kehancuran rumah tangga kami untuk memuaskan nafsu birahinya. Bagiku, itu bukan sekadar pengkhianatan, melainkan juga pilihan sadis untuk merobohkan fondasi rumah tangga kami demi kesenangan seksualnya. Dewi berhasil menyembunyikan kebusukannya selama bertahun-tahun, mengelabui aku dan semua orang di sekitarnya.

Aku meraih smartphone yang tergeletak di dashboard. Jari-jemariku menari di atas layar, aku memainkan ponsel pintarku, mencari nomor kontak Lina. Setelah menemukan nomor yang kucari, salah satu jariku menekan tombol panggil dan menunggu dengan harap. Tak lama kemudian, suara memanggil yang kuinginkan terdengar di telingaku. Aku tak lama menunggu, Lina menjawab panggilanku.

“Hallo …” Sapa Lina di seberang sana dengan suara senang namun tegang.

“Kamu sibuk?” Tanyaku.

“Tidak terlalu … Kamu gak apa-apa kan?” Lina balik bertanya.

“Aku baik-baik saja, tapi aku ingin sekali ngobrol sama kamu.” Kataku.

“Em … Baiklah … Aku akan ijin gak bekerja hari ini. Kamu di mana sekarang?” Tanyanya lagi.

“Aku dalam perjalanan pulang.” Jawabku.

“Oke … Kamu tunggu saja di rumah. Aku akan ke sana.” Katanya.

“Maaf ya udah ganggu.” Rasa sesal menyelinap dalam nada suaraku.

“Gak apa-apa, Ngga … Santai saja …” Jawab Lina dengan nada yang penuh pengertian.

“Kalau begitu, aku tunggu di rumah.” Bisikan harapku.

“Iya …” Suaranya reda, meninggalkan ruang hampa yang sarat dengan kekhawatiran.

“Bye …”

“Bye …”

Aku memasukkan smartphone di saku kemeja, lalu fokus kembali pada kemudi mobil. Langit pagi terbentang indah di depan, tapi pikiranku masih terombang-ambing oleh kegelisahan. Laju mobilku agak kencang, mengikuti ritme hatiku yang berdebar-debar. Jalan yang kulewati sepi, seolah meniru rasa sepi di dalam pikiranku. Setelah perjalanan yang agak tergesa-gesa, akhirnya, aku sampai di rumah.

Setelah memarkirkan mobil di garasi, langkahku menuju pintu rumah. Kunci pintu berputar, dan aku masuk ke dalam rumah. Aku langsung duduk di sofa ruang tengah, meratapi kehampaan yang menyeruak di dalam diriku. Sambil memandangi layar televisi yang menyala, aku mencoba menyelipkan diri ke dalam dunia yang sementara dapat memberikan sedikit pelarian dari kerumitan hari ini.

Otakku seperti kekurangan udara yang menyebabkan rasa pusing. Pikiranku melayang-layang di antara kilasan pengkhianatan dan kebohongan Dewi yang begitu kejam. Bayangan wajahnya, yang dulu kusebut sebagai sumber kebahagiaan, kini menjadi bumerang yang terus-menerus melukai hatiku. Setiap kata manis yang pernah diucapkannya kini terdengar seperti rekayasa licik yang merusak jiwaku.

Sekitar 15 menit berselang, terdengar suara bel pintu yang menggema. Aku secepatnya bangkit dari sofa, lalu berjalan menuju ruang depan dengan hati yang berdebar-debar. Saat pintu terbuka, Lina berdiri di ambang pintu dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Aku mempersilahkan wanita itu masuk, dan kami langsung menuju ruang tengah. Udara di dalam ruangan terasa tegang, diikuti dengan sepi yang terputus hanya oleh suara langkah-langkah kami. Kami duduk bersebelahan di sofa panjang dengan wajah kami saling menghadap.

“Maaf sudah mengganggu waktu kerjamu. Aku terpaksa mengganggumu karena aku ingin mendengar ceritamu tentang Dewi lebih detail.” Aku langsung saja mengutarakan tujuan mengundangnya ke sini.

“Apa yang ingin kamu ketahui?” Tanya Lina sendu.

“Bagaimana awalnya Dewi menjadi seperti itu. Em, maksudku, dia mempunyai kelainan seks?” Tanyaku sedikit ragu.

“Kalau itu aku tidak tahu. Dewi hanya mengatakan dia selalu tak puas dengan seks.” Jawab Lina sambil menggelengkan kepala.

“Sejak kapan dia punya pasangan seks di kantornya?” Tanyaku kemudian.

“Awalnya Dewi bertemu dengan Lucky di minimarket dekat rumah kalian yang dulu, maksudku Lucky adalah Direktur Personalia kami. Dewi berkenalan dengan Lucky dan dari perkenalan itu terjadilah affair antara Dewi dan Lucky. Dari Lucky lah, Dewi bisa bekerja di bank. Tak lama setelah bekerja di bank, Dewi diperkenalkan oleh Lucky kepada direktur-direktur yang lain. Ada tiga direktur bank yang menjadi pasangan Dewi yaitu Jamal, Dendi, dan Guntur. Dari sejak itulah Dewi menjadi boneka seks mereka berempat.” Jelas Lina.

“Aku tidak percaya Dewi seperti itu.” Gumamku.

“Seperti yang aku katakan, Dewi punya kelainan seks. Dia wanita hiperseks. Dengan menjadi pegawai bank, dia merasa bisa menyalurkan gairahnya yang besar itu, dan dia merasa bahagia.” Jelas Lina lagi.

“Dia sampai mengorbankan rumah tangganya?” Kataku heran.

“Mungkin dia lebih merasa bahagia seperti itu.” Ucap Lina terdengar ragu.

Tanpa diminta, Lina menceritakan kehidupan Dewi dengan keempat pasangannya itu. Aku merinding mendengar penuturan Lina, sebuah kisah yang jauh dari bayanganku tentang kehidupan Dewi. Kehidupannya yang rumit dan serangkaian hubungan yang penuh kepalsuan membuatku merasa jijik. Setiap kata yang keluar dari bibir Lina sangat menusuk, merinci setiap detail yang semakin mengubah pandanganku terhadap wanita yang pernah kucintai.

BERSAMBUNG
 
Awalnya ane kira Dewi bakal balik ke Angga karena udah jadi monster di ranjang.
Tapi eps sebelumnya ada Jamal & rencana mereka tentang deposito Angga & sekarang ada fakta baru dari Lina.
Kayaknya emang Dewi beneran b*tch yg harus dikasih pembalasan..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd