Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

Bimabet
10% lagi mungkin rasa kecewa Dewi terhadap Angga yg biasa saja dalam sex saat menikah walau tak dipungkiri Dewi sangat mencintai Angga itu terlihat bagaimana dia galau slama 2 hari saat memutuskan cerai. Melihat Angga berusaha untuk berubah, membuat Dewi merasa bersalah karna slma ini udah ngebohongin dia.
Kekurangan Dewi itu cuma 1 tapi sekaligus fatal, keras kepala terhadap keluarga tapi mudah dipengaruhi oleh orang lain terlebih jika orang tersebut udah dijadikan role model sama dia. Mengejar karir, selingkuh, coba ekstasi, maen sama berondong. Itu semua karna pengaruh orang lain, begitulah hidup kalo menjalaninya terlalu berambisi.

Jika jawaban ini benar, ane nari bugil suhu di kamar 😁😁
 
10% lagi mungkin rasa kecewa Dewi terhadap Angga yg biasa saja dalam sex saat menikah walau tak dipungkiri Dewi sangat mencintai Angga itu terlihat bagaimana dia galau slama 2 hari saat memutuskan cerai. Melihat Angga berusaha untuk merubah Dewi membuat Dewi merasa bersalah karna slma ini udah ngebohongin dia.
Kekurangan Dewi itu cuma 1 tapi sekaligus fatal, keras kepala terhadap keluarga tapi mudah dipengaruhi oleh orang lain terlebih jika orang tersebut udah dijadikan role model sama dia. Mengejar karir, selingkuh, coba ekstasi, maen sama berondong. Itu semua karna pengaruh orang lain, begitulah hidup kalo menjalaninya terlalu berambisi.

Jika jawaban ini benar, ane nari bugil suhu di kamar 😁😁
Gila bener ... Terjawab sudah ... Suhu layak dapat bintang ...
 
10% lagi mungkin rasa kecewa Dewi terhadap Angga yg biasa saja dalam sex saat menikah walau tak dipungkiri Dewi sangat mencintai Angga itu terlihat bagaimana dia galau slama 2 hari saat memutuskan cerai. Melihat Angga berusaha untuk berubah, membuat Dewi merasa bersalah karna slma ini udah ngebohongin dia.
Kekurangan Dewi itu cuma 1 tapi sekaligus fatal, keras kepala terhadap keluarga tapi mudah dipengaruhi oleh orang lain terlebih jika orang tersebut udah dijadikan role model sama dia. Mengejar karir, selingkuh, coba ekstasi, maen sama berondong. Itu semua karna pengaruh orang lain, begitulah hidup kalo menjalaninya terlalu berambisi.

Jika jawaban ini benar, ane nari bugil suhu di kamar 😁😁
waduh.. bakalan lihat yang gondal gandol nih om suhu @Nice4..:ha:
 
affair dalam dunia perbankan itu sudah lazim dilakukan baik untuk memuluskan karir, mencapai target kinerja ataupun sekedar pelepas penat karena beratnya beban kerja.

ada kenalan, seorang binor, usia saat saya kenal beliau 27th, awalnya bekerja sebagai teller di sebuah bank plat merah, suami beliau bekerja sebagai depcolletcor bank Dan*m*n, terakhir memutuskan menjadi ojol setelah terkena PHK saat pandemi Corona.

singkat cerita nih hubungan si binor dengan suami memang kurang harmonis, mereka LDM (Binor di MJK, suami di SDA, dan rumah mereka berdua di MJK). perangai si suami memang sangat mendukung untuk akhirnya binor ini berbagi hati dan membuka pahanya pada lelaki lain seperti misal : egois, kurang perhatian pada keluarga (sekalinya pulang ke rumah lebih asyik mabar ataupun nongkrong main basket dengan temannya), nafkah lahir kurang (cuma dijatah 500k karena menurut suami si binor ini juga bekerja) apalagi nafkah batin (ketemu aja cuma Sabtu malam - Minggu malam), komunikasi dengan binor dan suami juga sangat alakadarnya.

petualangan lendir si binor dimulai ketika dia berkenalan dengan oknum berseragam saat dia bertugas dipos pembayaran pajak daerah. sistem tugas di sana adalah piket, jadi binor tidak setiap hari tugas di pos tersebut karena dalam seminggu, binor hanya piket 2 kali. si oknum juga terlihat piawai membaca kondisi si binor setelah mereka intens komunikasi saat binor piket tadi. berawal dari seringnya binor diajak makan siang, akhirnya tidak lama jatuh juga si binor denga. perhatian si oknum. ketika di kantor, binor juga menjalin affair dengan kasub IT, kasub IT ini sebenarnya sudah mengincar binor dari lama karena mereka juga kenal lebih lama juga dibandingkan dengan oknum berseragam. berikutnya ketika si binor mengikuti seleksi pegawai tetap (jalur pegawai ADK), di sini si binor digarap 3 orang petinggi di level kantor wilayah yang mewawancarainya.
 
"Bagaimana rasanya selingkuh?" tanyaku penasaran.

Lina tersenyum. "Rasanya sangat luar biasa," katanya. "Aku merasa hidupku penuh dengan sensasi."

Aku tersenyum. Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya berselingkuh dengan pria yang tampan dan perhatian. Pasti sangat menyenangkan. Tiba-tiba muncul keinginan untuk merasakan sesuatu yang baru dan menggoda, sungguh sangat menggairahkan.

"Aku merasa sangat dicintai dan disayangi," kata Lina. "Rendi selalu membuatku merasa seperti wanita yang paling cantik dan istimewa di dunia."

Aku merasa iri pada Lina. Aku ingin merasakan hal yang sama. Aku ingin merasa dicintai dan disayangi oleh seorang pria. Kerinduan itu menjadi semakin mendalam, memunculkan impian tentang kebahagiaan yang selalu terbayang di benakku.

pov dewi di part 1


sepertinya cerita mulai ada perubahan alur dari yg direncanakan ya? Sebab di awal pov dewi justru kaget lina selingkuh dan penasaran rasanya selingkuh. Tapi di penjelasan Lina, dewi selingkuh bahkan sejak awal sebelum kerja di bank.

atau ini skenario lina utk jatuhin dewi? Tapi di part sebelum ini dewi ML sama jamal dgn keterangan partner bertahun tahun. Ok we will see kemana TS mengarahkan jalan ceritanya.

Mungkin ada yang sotoy nebak2 alur ceritanya, jadi dirubah...
 
CHAPTER 10


MASA LALU PART 1

ANGGA POV


Melalui kata-kata Lina, terungkaplah pengkhianatan yang terjadi saat aku masih bersama Dewi, sebagai suami dan istri. Namun, ironisnya, kebenaran ini baru terbongkar setelah dua tahun perpisahan kami. Ini bukan masa lalu yang menyakitkan, tetapi masa sekarang yang lebih menyakitkan. Ketidakjujuran dan kepalsuan yang tersembunyi begitu dalam telah meninggalkan luka yang sulit untuk disembuhkan. Jika saja Dewi bersikap jujur sejak awal, mungkin perasaanku tidak akan terluka separah ini. Aku merasa dibodohi, dilecehkan, dan diinjak-injak harga diri. Pengkhianatan itu membawa dampak yang tak terbayangkan, meruntuhkan kasih sayang dan memporak-porandakan perasaanku padanya.

Lina duduk di sebelahku, matanya penuh simpati saat ia melanjutkan ceritanya tentang kisah hidup Dewi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku mencoba untuk tetap tenang, meskipun luka masa lalu terasa begitu dalam.

“Aku tahu ini sulit bagimu, tapi kamu harus ingat bahwa kekuatanmu tak terbatas, meski kekecewaanmu terasa begitu nyata.” Kata Lina dengan lembut setelah mengakhiri ceritanya.

Aku mengangguk perlahan, mencoba menahan emosi yang mendalam. "Aku akan mencoba, Lina. Tapi terkadang rasanya begitu sulit untuk menerima kenyataan."

“Kamu harus mengizinkan dirimu merasakan semua emosi itu, gak perlu ditahan, itu wajar. Tapi, kamu tidak boleh juga membiarkan kekecewaan itu menghancurkanmu. Kamu masih punya hidup yang perlu dijalani.” Kata Lina sembari menempatkan kedua tangannya di pundakku.

Aku menatap Lina, mencoba menemukan semangat dalam kata-katanya. "Bagaimana aku bisa melupakan semua ini?"

“Menerima kekecewaan itu bukan berarti kamu harus kehilangan harapan. Harapanmu adalah sumber kekuatanmu. Kamu mungkin tak bisa mengubah masa lalu, tetapi kamu memiliki kendali atas masa depanmu.” Kata Lina sembari tersenyum lembut.

Aku mengangguk, mencerna kata-katanya. "Bagaimana aku bisa tetap tegar dalam menghadapi semua ini?"

“Perbedaan antara orang yang kuat dan yang lemah bukanlah dalam menghindari kekalahan, melainkan bagaimana mereka bangkit setelah kekalahan itu. Kamu kuat, dan aku yakin kamu bisa melalui ini. Jangan pernah menyerah.” Ucap Lina dengan senyuman manisnya.

Aku tersenyum, merasa sedikit lega dengan dukungan yang diberikan Lina. "Terima kasih, Lina. Aku akan mencoba untuk tetap tegar."

“Kamu tidak sendiri, dan waktu akan menyembuhkan semua luka ini. Percayalah, hari-hari yang lebih baik akan datang.” Lina menggenggam tanganku.

Aku tersenyum lebih lebar, merasa sedikit lebih kuat dengan kata-kata penyemangat darinya. Kata-kata Lina menjadi obat penawar bagi hatiku yang hancur. Lama-lama, sesuatu yang ajaib terjadi, Lina berhasil membuatku tersenyum dan bahkan tertawa. Walaupun mungkin hanya sesaat, tetapi setiap tawa itu terasa seperti obat yang menyembuhkan. Perlahan-lahan, luka hati yang kurasakan begitu dalam mulai terasa lebih ringan, seolah-olah ada harapan baru yang mulai bermekaran. Ya, aku sangat berterima kasih pada Lina. Dia tidak hanya membuka mataku terhadap kenyataan, tetapi juga mengajari aku untuk tetap bersyukur dan menemukan kebahagiaan di tengah cobaan.

Tiba-tiba, rasa lapar menyelinap begitu saja. Kebetulan, jam makan siang telah tiba, dan entah mengapa, aku merasa ingin berbagi momen ini dengan Lina. Tanpa pikir panjang, aku mengajaknya makan di restoran. Lina tersenyum dan dengan senang hati menyetujui ajakanku. Kami berdua naik mobil Lina, dengan aku sebagai penumpang dan Lina sebagai pengemudi. Di perjalanan, obrolan ringan kami menjadi pelipur lara yang menyenangkan.

Sekitar satu jam kurang di perjalanan, akhirnya kami sampai di sebuah restoran mewah yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Lina memasukkan mobilnya ke pelataran parkir restoran dengan kecepatan pelan, berusaha mencari tempat yang sesuai untuk memarkirkan kendaraannya. Aku duduk di sebelahnya, menatap keluar jendela, saat tiba-tiba Lina menunjuk ke depan. Mataku mengikuti arah tunjukannya, dan di antara deretan mobil, aku melihat Dewi dan seorang pria tinggi besar sedang bersiap-siap memasuki sebuah mobil. Sepertinya mereka baru saja selesai makan siang di restoran yang sama. Untungnya, mereka tidak menyadari keberadaanku dan Lina yang sedang mengamati mereka.

“Laki-laki itu bernama Jamal. Dia direktur keuangan.” Kata Lina. Aku memperhatikan pria tersebut sejenak. Laki-laki itu tidak ada yang istimewa.

Lina akhirnya menemukan tempat yang sesuai dan memarkir mobilnya di bawah naungan pohon yang memberikan keteduhan. Lina dan aku melanjutkan perjalanan kami menuju restoran setelah menunggu Dewi dan laki-laki itu pergi. Setelah masuk ruangan restoran, aku memilih tempat yang cukup mewah sebagai bentuk penghargaan atas segala usaha Lina yang mampu membuat hatiku kembali tenang. Kami duduk di meja yang nyaman, tersenyum satu sama lain, dan memesan hidangan favorit kami. Terinspirasi oleh cita rasa Italia, kami memutuskan untuk memeriahkan makan siang ini dengan memesan hidangan-hidangan khas negara pizza tersebut.

Kami duduk di meja yang dilapisi kain putih halus. Sementara kami menunggu hidangan kami datang, kami ngobrol dengan penuh antusias. Percakapan yang santai dan tawa hangat kami tercipta di ruangan yang elegan ini.

“Apakah kamu kepikiran untuk membalas sakit hatimu itu sama Dewi?” Tanya Lina sambil menatapku.

Aku menghela nafas berat sebelum menjawab, "Jujur, Lina, pikiran balas dendam sempat muncul dalam benakku. Aku merasa direndahkan dan ingin memberinya pelajaran."

Lina mengangguk, "Itu wajar, Angga. Tapi ingat, balas dendam terkadang hanya memberikan kepuasan sesaat.”

Aku memikirkannya sejenak, "Sebenarnya, balas dendam terkadang perlu, tapi pada orang yang tepat. Aku tidak ingin merendahkan diriku sendiri dengan membalas dendam dengan cara yang negatif."

“Lalu, bagaimana caramu membalas dendam dengan cara yang lebih positif?" Tanya Lina sambil tersenyum.

Aku menggeleng, "Belum tahu, Lina. Ini masih terlalu awal, dan aku masih mencoba mencerna semuanya.”

Tak lama berselang, pesanan kami datang. Aku memilih piring Risotto al Nero di Seppia, sepiring risotto hitam yang lembut dengan rasa laut dari cumi-cumi, diberi sentuhan saus tomat dan keju Parmesan yang melumer. Di sisi lain, Lina memilih Scaloppine al Limone, irisan tipis daging sapi yang dimasak dengan lembut dan disiram dengan saus lemon, dihidangkan bersama dengan kentang panggang yang renyah. Piring-piring yang berisi hidangan lezat menjadi teman obrolan ringan kami yang masih didominasi oleh cerita tentang pengkhianatan Dewi padaku.

Akhirnya, makan siang usai, dan kami memutuskan untuk kembali ke rumah. Di dalam mobil, sepanjang perjalanan pulang, obrolan kami masih saja terpaku pada kehidupan Dewi. Sepertinya hari ini, setiap sudut perbincangan kami masih dipenuhi dengan bayangan masa lalu Dewi yang rumit. Meskipun awalnya berusaha untuk beralih ke topik yang lebih ringan, namun kehidupan Dewi sepertinya memiliki daya tarik yang sulit untuk dihindari.

Tak terasa kami sampai juga di rumahku. Kami keluar dari mobil dan melangkah masuk ke dalam dan langsung menuju ruang tengah. Di ruang tengah yang nyaman, kami duduk di sofa. Mungkin untuk pertama kalinya hari ini, nama Dewi tidak lagi terucap dalam setiap kata yang kami ucapkan. Melalui ngobrol yang ringan ini, aku menemukan kenyamanan dan ketenangan, melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu, setidaknya untuk sementara waktu.

“Lin … Apakah kamu pernah jalan-jalan ke Eropa?” Tanyaku di tengah obrolan kami.

“Boro-boro Eropa. Bali saja aku belum pernah.” Jawab Lina dengan mata sedikit membulat.

“Apakah kamu mau ke sana?” Tanyaku sambil tersenyum.

“Kamu mau ngajak aku ke sana kah?” Suara Lina penuh harap dengan gaya kemayu.

“Aku ingin mengunjungi ibu … Ibuku di Portugal sekarang. Aku kangen sama ibuku. Aku emang sudah lama ingin mengunjunginya. Em, aku mau kamu ikut dan kita bisa sekalian jalan-jalan ke seluruh daratan Eropa.” Kataku yang entah kenapa tiba-tiba aku benar-benar rindu pada Mama dan entah kenapa juga aku ingin mengajak Lina pergi bersamaku.

“Benarkah Angga?! Kamu mau mengajakku?!” Tiba-tiba Lina memekik bahagia.

“Ya …” Jawabku penuh keyakinan.

“Ya, ampun Angga …” Lina tiba-tiba memelukku lalu menciumi pipiku kiri kanan. “Kapan kita berangkat?” Tanya Lina kemudian dengan sangat bersemangat.

“Bagaimana kalau kita membuat paspor dan visanya dulu. Kita bisa membuatnya secara online kok.” Kataku.

“Aku setuju, Angga …” Pekik Lina terlihat sangat bahagia.

Kami segera mengisi formulir pendaftaran paspor online ke instansi keimigrasian, menyertakan segala persyaratan administratif seperti e-KTP dan dokumen lainnya. Kejutan menyenangkan datang saat kami menyadari bahwa proses pembuatan paspor bisa dilakukan dengan cepat kami mendapatkan paspor kami saat itu juga, meski dengan biaya yang sedikit lebih tinggi dari standar. Namun, kendati paspor sudah di tangan, masih ada urusan visa Uni Eropa yang perlu diurus. Saat mendaftar visa, ternyata proses pembuatan visa memakan waktu empat hari, sementara waktu kami terbatas. Tanpa ragu, aku mencari solusi alternatif dan menghubungi perusahaan jasa yang bisa mengurus visa dengan cepat. Mereka menawarkan layanan kilat yang hanya membutuhkan beberapa jam, meski tentu saja dengan biaya tambahan yang tidak sedikit. Meskipun terdapat biaya ekstra, aku dan Lina setuju untuk memilih opsi ini, karena waktu menjadi hal yang krusial.

“Sebaiknya aku pulang dulu untuk siap-siap, sekalian ngambil paspor dan visa kita.” Ucap Lina begitu antusias.

“Oh begitu … Kamu tahu kan tempatnya?” Tanyaku agak ragu.

“Tahu banget. Itu kan deket dengan rumahku.” Jawab Lina sambil berdiri lalu berjalan ke depan rumah.

Aku mengikutinya di belakang, “Ya sudah kalau begitu. Aku percayakan semuanya sama kamu.”

“Oke …” Sahut Lina.

Aku berdiri di depan rumahku, melihat Lina bersiap-siap untuk pulang ke rumahnya. Tak lama setelah itu, mesin mobil Lina menyala, dan kendaraannya melaju perlahan meninggalkan halaman rumahku. Saat mobilnya hilang dari pandangan, rasa kehampaan melintas di pikiranku. Dengan langkah kecil, aku masuk kembali ke dalam rumah. Ruang tengah yang beberapa saat lalu dipenuhi canda tawa kini terasa sunyi. Aku memilih menuju kamarku dan merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Dengan mata yang perlahan terpejam, aku membiarkan tidur menyelimuti pikiranku.


#####


AUTHOR POV

Tak terbayangkan sebelumnya kalau dirinya akan segera menjalani petualangan ke Eropa, suatu impian yang seakan-akan hanya ada dalam khayalan. Namun, hari itu membawa kabar bahagia yang membuat hati Lina berbunga-bunga. Dengan semangat yang membara, Lina menegemudi kendaraannya. Namun, sebelum sampai di rumahnya, Lina menyempatkan waktu untuk mampir ke kantor imigrasi dan mengambil paspor miliknya dan Angga. Setelah menyelesaikan prosedur di kantor imigrasi, Lina melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Di dalam mobil, ia merenung tentang petualangan mendebarkan yang akan segera dijalani. Tak lama berselang, Lina akhirnya sampai di rumahnya. Ia memulai persiapan dan menata segala sesuatu untuk menyambut petualangan yang tak lama lagi akan dimulai.

Sambil mengepak pakaian, Lina tersenyum-senyum sendiri. Semakin lama semakin dalam kekagumannya terhadap Angga. Kehebatan finansialnya tidak hanya menjadi daya tarik, tetapi sikap baiknya juga menawan hati Lina. Tak bisa dilupakan, Lina mengenang kejadian ketika Angga menolongnya dari kejaran bandar narkoba. Sejak saat itu, hati Lina mulai merasakan getaran yang berbeda. Perasaan itu tumbuh dari kebaikan hati dan keberanian Angga dalam melindunginya.

Selesai mengepak pakaian ke dalam koper, Lina duduk sejenak di ruang tengah rumahnya. Tiba-tiba, di dalam otaknya, terbersit sebuah rencana yang tak terduga. Lina ingin memanas-manasi Dewi dengan kabar perjalanan ke Uni Eropa bersama Angga. Keinginannya untuk memanas-manasi Dewi bukan untuk melukai, melainkan untuk membuat Dewi merasakan iri, yang diharapkan akan membawa sejumput penyesalan. Lina ingin membuat Dewi mengingat kembali keputusannya yang pernah menyia-nyiakan Angga.

“Hallo … Lin … Kok kamu gak masuk kerja?” Lusi langsung nyerocos.

Lina hanya tersenyum, “Aku ditelepon Angga, Lus … Dia ingin aku menemaninya.”

“Sialan kamu ya! Udah nyuri star aja!” Ucap Lusi kecewa.

“Hi hi hi … Ingat Lus … Aku duluan yang kenal dia.” Kata Lina senang.

“Bener sih … Ya, sudahlah …” Lusi mendesah kecewa.

“Eh, Lus … Aku punya kabar seru nih. Angga mengajakku keliling Eropa!” Ucap Lina sedikit didramatisir.

“Wah, serius Lin?! Itu gila! Ah, gila nih!! Kapan kalian berangkat?” Lusi sungguh terkejut hebat.

“Rencananya besok, Lus. Ya, ini gila … Aku juga masih nggak percaya!” Kata Lina.

“Wow, kamu beruntung sekali, Lin. Ini luar biasa. Aku juga pengen!” Ujar Lusi dengan nada kagum.

“Pasti dong ... Aku udah nggak sabar. Mungkin ini yang namanya keberuntungan.” Kata Lina.

“Ya ampun, Lina … Kamu emang beruntung banget. Aku sejujurnya iri banget sama kamu. Oh Tuhan, kapan aku bisa ke Eropa …” Respon Lusi dengan suara sedikit tertahan.

“Hi hi hi ... Siapa yang nyangka, ya? Kadang hidup memang penuh kejutan.” Kata Lina dengan senyum.

“Ah ... Aku jadi nyesel gak secepat kamu deketin Angga.” Lusi tersenyum pahit.

“Kamu kan masih banyak yang lain, Lus. Dan inget suami di rumah.” Ujar Lina santai.

“Hi hi hi … Kamu mah bisa sendiri … Tapi, beneran Lin … Kamu cepat sekali merebut hatinya.” Kata Lusi tersenyum pahit.

“Hi hi hi … Hidup ini kompetisi, kan? Siapa cepat, dia dapat.” Ungkap Lina sambil terkikik.

“Selamat ya, Lin. Semoga perjalananmu menyenangkan.” Kata Lusi sambil tersenyum getir.

“Makasih, Lus. Doain aku pulang selamat.” Ucap Lina.

Percakapan berakhir dan Lina berharap bahwa sengitnya obrolan tadi akan mencapai telinga Dewi. Langsung saja, Lina segera menelepon HRD di perusahaannya untuk meminta cuti selama empat hari. Permintaan Lina ternyata diterima dengan baik, dan Lina merasa lega karena mendapatkan persetujuan cuti dari perusahaannya.

Dengan cepat, Lina kembali ke mobilnya, menarik koper berisi barang keperluan untuk beberapa hari di Eropa, dan dengan gesit memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Tanpa menunggu waktu lama, Lina meluncur dari rumahnya menuju rumah Angga. Namun, sebelum menuju tujuan utama, Lina meluangkan waktu untuk mampir ke perusahaan jasa yang mengurus visa. Dengan proses yang cukup singkat, Lina telah memegang visa di tangannya, menandakan bahwa perjalanannya ke Uni Eropa segera menjadi kenyataan. Lina pun melanjutkan perjalanannya ke rumah Angga.

Di tempat lain, Lusi yang memang bawel mulai menyebarkan berita kepergian Lina berkeliling Eropa. Dengan lincahnya, Lusi, yang terkenal sebagai sosok pembawa gosip, mengguncang kantor dengan berita terbarunya. Kabar tentang kepergian Lina ke Eropa bersama Angga menyebar dengan cepat di antara rekan-rekannya.

Tidak butuh waktu lama bagi berita tersebut untuk mencapai telinga Dewi. Kabar ini membuat Dewi terkejut. Rasa penasaran dan keingintahuannya membawa Dewi untuk mengejar kebenaran. Dewi pun mendekati Lusi untuk menanyakan langsung tentang kebenaran kabar tersebut. Dengan wajah yang mencoba disembunyikan di balik ekspresi netral, Dewi mencoba untuk meredam rasa keterkejutannya. Namun, di balik kedamaian wajahnya, Dewi diam-diam merasa iri. Tanpa sadar, ia berharap bahwa Angga yang mengajaknya berkeliling Eropa, bukan Lina.


#####


DEWI POV

Aku tercenung di meja kerjaku, mataku tanpa tujuan memandang dokumen-dokumen yang berserakan. Sebenarnya, aku tidak ingin terlalu banyak memikirkan Angga, tapi mengapa hati dan pikiranku selalu tertarik untuk merenungkannya? Berita tentang Angga yang akan berkeliling Eropa bersama Lina mencapai telingaku. Hatiku terasa berdenyut tak karuan, seolah menolak kabar yang sebenarnya bisa kutinggalkan begitu saja. Kenapa Angga tidak mengajakku dan Aska saja? Dengan rasa kesal yang teramat, aku menggelengkan kepala. Aku tidak bisa mengelak dari perasaan cemburu yang muncul begitu saja. Bukan karena aku tidak mampu pergi sendiri ke Eropa. Aku tahu, aku bisa melakukannya. Tetapi, aku tidak ingin pergi sendirian. Aku ingin pengalaman itu bersama Angga.

Oh Tuhan, kenapa aku harus cemburu?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja, aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa perasaan ini tidak berarti apa-apa. Namun, dalam keheningan hati, aku tahu bahwa ada sesuatu yang meronta di dalamnya, sesuatu yang sulit dipahami, dan aku sendiri belum yakin bagaimana cara menanggulanginya.

“Hei … Ngelamun aja …” Seseorang menegurku dan aku langsung mengangkat muka. Ternyata Wilson. Laki-laki ini adalah Direktur SDM di perusahaan ini.

“Eh, iya … Maaf …” Aku agak tergagap membalas sapaannya.

“Apa yang kamu pikirkan sampai melamun keras begitu?” Tanya Wilson sembari duduk di ujung meja kerjaku.

“Sebaiknya kamu tidak tahu.” Jawabku sambil menggelengkan kepala.

“Oh ayolah Dewi … Kamu gak seperti biasanya. Ada apa sih?” Tanya pria tampan itu agak memaksa.

“Em … Angga … Gak ada apa-apa …” Jawabku pelan.

“Aku harap memang tak ada apa-apa … Em, Wi, aku ingin mengajakmu healing ke Australia. Apakah kamu bersedia?” Ucap Wilson ringan yang diakhiri dengan ajakan.

Sambil tersenyum tipis, hatiku berbisik, "Aku tak sudi pergi denganmu. Aku bakalan tersiksa." Aku tidak ingin pengalaman pahit yang kualami terulang lagi. Aku tahu bahwa pergi bersama Wilson tidak akan membawa kebahagiaan. Gairahku tidak bisa terpenuhi oleh sosoknya. Kelemahan performa seksnya tergambar dengan jelas di mataku, dia lemah, kurang bertenaga. Aku menyadari kalau dia tidak akan bisa memuaskanku. Belum lagi wajahnya yang biasa-biasa saja membuatku terkadang merasa malu berjalan bersamanya. Jangankan pergi berdua dengan Wilson, pergi bersama Jamal pun aku harus berpikir dua kali.

“Oh, makasih … Aku sedang tidak ingin pergi kemana-mana.” Aku menolaknya dengan halus.

“Oh ya, gak apa-apa. Aku akan mengajak yang lain. Kalau begitu, selamat bekerja.” Ujar Wilson sembari beranjak dari hadapanku.

Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Baru saja aku bersiap untuk kembali fokus bekerja, tiba-tiba seorang nasabah mendatangiku. Meski terkejut, aku dengan sigap melayaninya dengan penuh profesionalitas sebagai seorang pelayan di bank. Untungnya, keperluan nasabah itu hanya untuk menyetorkan uang, sehingga tidak memakan waktu lama. Setelah nasabahku pergi, suasana di sekitarku kembali tenang. Namun, tak berlangsung lama, Puspita tiba-tiba muncul dan menghampiriku dengan wajah yang kurang sedap dipandang. Puspita berdiri di sampingku.

“Wi … Beneran nolak tadi?” Tiba-tiba Puspita bertanya seperti itu.

“Ya, kamu nguping ya?” Tanyaku sambil melotot.

“Hi hi hi ... Sorry …” Bisik Puspita pelan di telingaku sambil cekikikan.

“Aku tidak ingin tersiksa.” Balas bisikku sambil tersenyum.

“Hi hi hi … Bener juga …” Puspita pun terkekeh pelan.

“Oh ya … Katanya kamu mau healing dengan Sandi ke Bali?” Tanyaku ingin mengkonfirmasi gosip yang aku dengar.

“Sebenarnya aku males, Wi … Tapi gak bisa nolak. Kamu tahu kan, Sandi itu loyo. Aku sudah membayangkan kalau aku akan sering masturbasi di sana.” Jawab Puspita dengan wajah kesal.

“Hi hi hi … Itu sudah pasti … Selamat menikmati liburanmu.” Aku pun terkekeh.

“Ya, demi karir … Mau apa lagi …” Sahut Puspita sambil berlalu begitu saja.

Aku geleng-geleng kepala merasa kecewa dengan para direktur yang sekarang ini. Dari segi performa hanya Jamal yang menurutku masih lumayan, ketiga direktur yang lain sangat di bawah standar. Dan yang benar-benar mengecewakanku adalah penampilan fisik mereka yang amburadul. Tak ada satu pun dari keempatnya yang memenuhi kualifikasi ‘tampan’. Satu hal lagi yang cukup mengecewakan adalah mereka memperlakukan kami hanya sebagai pemuas nafsu mereka, kurang perhatian, dan sok kuasa. Tidak seperti dua tahun yang lalu, di mana ada tiga Direktur yang kini sudah pindah tugas. Meskipun wajah mereka rata-rata, namun performa seks mereka luar biasa. Aku jadi teringat pada Lucky, Dendi dan Guntur. Mereka adalah pasangan terbaikku.

Dengan kondisi seperti ini, rasanya aku semakin mempertimbangkan untuk memikirkan opsi resign. Kondisi di tempat kerjaku sudah kurang memuaskan, dan aku mulai merasa bahwa mencari kepuasan di tempat lain mungkin menjadi solusi yang lebih baik. Aku berpikir, ada banyak tempat di luar sana yang bisa memberikan kepuasan dan pengalaman seks yang baru.

Mungkin sudah takdirku, aku memang sangat menyukai seks. Bagi diriku, seks bukan sekadar keinginan, melainkan kebutuhan yang sulit untuk diabaikan. Rasanya seperti energi yang memberikan kehidupan pada diriku, sebuah bentuk kepuasan yang membawa kesenangan yang tak tertandingi. Bagaimanapun, bagi diriku, seks adalah bagian dari diriku yang sulit untuk ditiadakan atau dihindari.

Aku mulai bekerja lagi, memeriksa keuangan yang keluar dan masuk di depan komputerku. Pukul 16.30, waktu berhenti bekerja, tiba begitu cepat. Segera saja aku membereskan meja kerjaku dan meninggalkan gedung perusahaan. Dengan mobilku, aku melaju ke Pondok Ceria, tempat di mana aku yakin akan mendapatkan kepuasan seks yang aku butuhkan sekarang. Mobilku melaju kencang saat jalanan lengang, dan aku merasa ingin cepat-cepat sampai di sana. Setelah melewati perjalanan yang memakan waktu lebih dari satu jam, akhirnya aku sampai. Betul saja, begitu aku masuk ke Pondok Ceria, enam pemuda tampan sudah menungguku. Di pondok ini, hanya ada tiga wanita termasuk diriku. Di sinilah tempat yang penuh dengan kesenangan dan kepuasan seks yang tak terhingga.

Aku segera menanggalkan seluruh pakaian dengan dibantu oleh dua pemuda. Setelahnya aku berbaur dengan pesta mereka semua, yang sudah dimulai sebelum aku tiba. Kenikmatan demi kenikmatan aku teguk dengan berbagai gaya dan berganti-ganti pasangan. Aku, Tuti, dan Elis adalah sesama pecandu seks akut yang tidak pernah puas dengan sekali orgasme bahkan empat atau lima kali orgasme masih terasa kurang. Laki-laki pasangan kami yang jumlahnya lebih banyak pun tak mampu mengimbangi gairah kami bertiga. Keenam pemuda itu akhirnya meninggalkan Pondok Ceria dengan kepayahan sekitar pukul 21.00 malam. Namun acara kali ini lumayan juga, sekedar untuk melepas dahaga birahi kami bertiga, walau kami masih menginginkannya.

“Wi … Kamu merasa ada yang berubah gak dari kita-kita?” Tanya Tuti dengan tubuh masih terbalut handuk selepas mandi.

“Apa itu?” Tanyaku yang juga tubuhku masih terlilit handuk karena aku juga baru selesai mandi.

“Kalau aku merasa semakin kurang dengan dua atau tiga kontol.” Jawab Tuti sembari memunguti pakaian yang bersebaran di lantai.

“Aku juga merasa begitu.” Jujurku yang segera memakai bra dan celana dalam.

“Hhhmm … Kalau gitu, aku harus menambah brondong untuk gabung dengan kita.” Ujar Tuti yang mulai memakai pakaiannya.

“Kalau bisa cari yang lebih tangguh dari yang ada dan yang pasti harus lebih ganteng.” Kataku sambil tersenyum.

“Aku berpikir mantanmu itu layak menjadi anggota kita.” Ungkap Tuti yang membuatku terkejut.

“Ah … Mana bisa?” Aku langsung protes.

“Dia itu sangat istimewa Wi … Bayangkan saja, dia bisa bertahan selama empat jam dengan waktu istirahat yang sebentar, tenaganya luar biasa, Wi … Keenam brondongku tadi, gak ada apa-apanya dibandingkan dia. Dan yang aku kagum sama mantanmu itu, dia bisa membuatku multiple orgasm. Cuma dia yang bisa membuatku multiple orgasm. Aku dibuat keluar berkali-kali sampai dia berhenti menggenjot. Aku yakin dia punya teknik ngentot yang bisa ngebuat pasangannya keluar terus-terusan. Pokoknya kamu sangat rugi kalau gak bisa ngerasain kejantanannya.” Tegas Tuti seakan ingin meyakiniku. Penjelasan Tuti tadi sudah kudengar beberapa kali, tapi tetap saja bulu-bulu halusku jadi merinding.

“Selain itu …” Tiba-tiba Elis menyambar saat keluar dari kamar mandi. “Kontolnya luar biasa Wi … Besar dan panjang. Tanganku aja gak muat waktu memegangnya.”

“Apa?!!” Aku langsung memekik dengan jantung hampir loncat. “Itu mustahil! Aku tahu persis ukuran kontolnya. Aku tahu sebesar apa kontolnya!” Kataku dengan suara terkejut yang agak keras.

“Bener, Wi …” Sambut Tuti. “Kontol mantanmu itu gak bisa dipegang dan panjangnya kira-kira segini.” Ujar Tuti sambil jemarinya menjengkal.

“Ah!!! Itu tidak mungkin! Itu mustahil!” Aku benar-benar tidak percaya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Hhhmm … Aku yakin lagi, kalau mantanmu berobat atau terapi untuk membesarkan kontolnya. Faktanya, memang kontol mantanmu sebesar dan sepanjang itu, seperti kontol pemain bokep profesional.” Tegas Tuti yang sukses membuatku tertegun.

Aku duduk termenung, mataku menatap tak berarti ke arah tak jauh di depanku. Hembusan angin seakan mengetuk-ngetukkan kenangan yang sudah terlupakan. Aku benar-benar tak percaya mendengar informasi baru ini. Seakan dunia ini kehilangan keseimbangan, hatiku terasa berdebar-debar, dan pikiranku menjadi kacau. Aku berharap itu hanyalah gosip atau salah paham, tetapi Tuti dan Elis mengatakan hal yang sama.

Aku ingin tidak percaya, dengan menutup mata dan telinga, berharap semua ini menghilang begitu saja. Tetapi kenyataannya tidak bisa dielakkan. Mau tidak mau, bayangan Angga merasuk lagi dalam sanubari. Aku mengira semua ini sudah berakhir, tapi tiba-tiba, seperti mimpi buruk, Angga kembali hadir dalam anganku. Semakin aku mencoba melepaskan diri, semakin erat bayangan itu merangkulku.

Aku tidak mau, sungguh tidak mau, Angga menjadi buah pikirku. Harga diriku akan menjadi taruhannya. Bagaimana mungkin, aku yang sengaja meninggalkannya, sekarang aku kembali terjebak dalam pusaran perasaan yang sudah lama kutinggalkan. Aku berusaha menguatkan diri, berharap bisa melepaskan diri dari ingatan-ingatan yang menghantui. Aku harus berusaha sekuat tenaga untuk tidak terus mengingatnya karena aku tak ingin harga diriku hancur hanya karena aku tak mampu melepaskan diri dari kenangan yang dulu sudah kubuang.

“Aku tidak ingin Angga menjadi bagian dari kita.” Kataku pelan.

“Kenapa?” Tanya Tuti terheran-heran.

“Aku malu … Aku malu …” Kataku tak mampu mengungkapkan lebih jauh perasaanku.

“Kamu harus jelaskan dong … Kenapa kamu harus malu?” Desak Tuti.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala saat Tuti mengajukan pertanyaan itu karena jawaban yang sebenarnya terlalu sulit untuk diungkapkan. Bagaimana aku bisa menjelaskan pada Tuti kalau perpisahanku dengan Angga disebabkan suatu rahasia yang terlalu besar untuk dibuka? Alasan sebenarnya perceraianku dengan Angga tidak pernah terungkap pada Tuti atau teman-teman lain di Pondok Ceria. Mereka hanya tahu kalau Angga egois, itulah yang selama ini kugunakan sebagai pelindung untuk menutupi kesalahanku.

“Jika kamu bersikukuh membawa Angga ke sini, terpaksa aku akan meninggalkan kalian.” Kataku lalu melanjutkan mengenakan pakaian.

“Kamu tidak memberikan penjelasan yang membuatku mengerti. Wi, aku ingin kamu terbuka, biar aku mengerti. Wi, aku sudah menganggapmu saudara bahkan aku merasa lebih menyayangimu daripada saudaraku sendiri. Aku tahu kamu menyimpan rahasia terkait hubunganmu dengan Angga. Aku harap kamu mau berbagi denganku. Aku tidak mau terjadi kesalahpahaman di antara kita.” Pinta Tuti terdengar bersungguh-sungguh.

Mendengar permintaan serius dari Tuti, hatiku berdebar-debar dan terusik untuk membuka pintu rahasia hidupku yang selama ini terkunci rapat. Aku selalu menjaga misteri ini dengan sangat hati-hati, tidak seorang pun tahu akan rahasia hidupku ini, bahkan jempol kakiku pun tidak mengetahuinya. Namun, kali ini, suasana membuatku merasa perlu untuk berbagi. Dengan sedikit ragu, akhirnya aku memutuskan untuk memberitahukan apa yang selama ini aku sembunyikan pada Tuti, Elis, dan semua orang yang mengaliku.

"Aku rasa ini saatnya aku berbagi sesuatu yang selama ini aku simpan sendiri," ucapku perlahan, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. Tuti dan Elis memandangku dengan penuh perhatian, menunggu pengakuan yang akan keluar dari bibirku. "Aku tidak ingin membawa Angga ke Pondok Ceria bukan karena aku tidak ingin berbagi kebahagiaan dengan kalian di sini," lanjutku, mencoba menjelaskan dengan jelas. "Tapi lebih karena ada rahasia besar dalam hidupku yang belum pernah aku bagikan kepada siapapun, bahkan kepada teman-teman dekatku." Keseriusan ekspresi Tuti dan Elis membuatku semakin yakin untuk melanjutkan pengakuan ini. "Aku memutuskan untuk mempercayakan kalian berdua dengan rahasia ini karena kalian adalah teman-teman yang sangat aku percayai, dan percayalah hanya kalian yang tahu," ucapku tegas, mataku menatap mereka dengan penuh keyakinan.

“Kamu bisa mempercayai kami.” Tegas Tuti sembari mendekatiku. Tuti mengajakku duduk di sofa panjang. Kami pun duduk di sofa itu, sementara Elis duduk di sofa tunggal bersebelahan denganku.

"Kalian berdua adalah teman-teman terbaikku, dan aku rasa kalian berhak tahu alasan sebenarnya kenapa aku tidak ingin membawa Angga ke Pondok Ceria," ucapku pada Tuti dan Elis, mencoba menjelaskan dengan tulus. Aku pun melanjutkan ucapanku, “Cerita-cerita tentang keperkasaan Angga yang kalian sampaikan membuatku khawatir. Aku takut terpengaruh dan kagum pada hal-hal yang seharusnya tidak lagi memiliki tempat di dalam hatiku.”

“Loh … Kenapa kamu tidak ingin mengaguminya? Aku pikir wajar-wajar saja kalau kamu mengaguminya, bahkan jika takdir berkehendak kalian bisa bersatu lagi. Bukankah itu keuntungan?” Tuti benar-benar membuatku tersudut.

“Benar … Kalau aku tidak membuat kesalahan.” Kataku.

“Kesalahan? Apa maksudmu?” Sambar Tuti yang tampak semakin penasaran.

“Ini rahasia besarku, Tut … Akulah yang membuang Angga. Aku yang menghancurkan rumah tanggaku dengan Angga. Aku tidak ingin menyesal dengan keputusanku itu.” Jawabku membuat Tuti dan Elis terperanjat.

“Oh …” Tuti membelalakan mata dengan mulut menganga.

“Kamu menghancurkan rumah tanggamu sendiri?” Elis bergumam tak percaya. Aku mulai berkaca-kaca dan mengangguk.

“Apakah kamu menyesal?” Tanya Tuti sambil mengambil tanganku.

“Sekali lagi, aku tidak ingin menyesal.” Jawabku serak menahan tangis.

Tiba-tiba saja, dadaku terasa berat. Air mataku merangsak ingin keluar, namun aku sekuat tenaga menahannya. Kurasakan getaran perasaan di dalam diriku, sebuah kegelisahan yang begitu menyesakkan. Dalam kebingungan ini, aku sekuat tenaga mencoba menentramkan hati agar lebih tenang dengan menggenggam erat tangan Tuti.

“Kamu boleh meneruskan atau menghentikan ceritamu. Aku sudah menangkap isinya.” Ujar Tuti lemah lembut.

“Aku akan meneruskan ceritaku supaya kalian tidak salah paham. Aku tidak ingin kalian kalau ceritaku ini diluar nalar. Tapi, bolehkah aku meminta air minum dulu?” Kataku masih dengan suara serak dan bergetar.

Elis, dengan cepat bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kulkas di pojok ruangan. Langkahnya mantap, seakan merasakan kalau aku membutuhkan sesuatu untuk meredakan gejolak dalam diriku. Tak lama kemudian, Elis kembali dengan sebotol air mineral dingin yang diambilnya dari kulkas. Dengan tatapan penuh empati, dia menyodorkan botol tersebut padaku. Aku menerima dengan gemetar, tangan bergetar saat menggenggam botol itu. Aku membuka tutup botol dan menenggak air mineral tersebut dengan cepat, dan merasakan kelegaan seiring air yang mengalir ke tenggorokanku.

Aku meletakkan botol air mineral di atas meja sambil berkata, “Aku akan mulai ceritaku.”

“Tenangkan dulu … Baru cerita …” Ujar Tuti.

“Biarkan aku bercerita.” Kataku.

“Baiklah …” Tuti mengangguk sambil tersenyum lembut.

“Awal kisahku, saat aku bertemu dengan mantan kekasihku di sebuah minimarket dekat rumahku. Namanya Lucky. Aku pernah berpacaran selama delapan tahun dengannya. Waktu itu kami mulai pacaran sejak masuk SMP dan harus berakhir saat kami kuliah tingkat dua. Kami berpisah karena dipisahkan orangtua Lucky yang tidak setuju dengan hubungan kami. Itu adalah cinta pertama kali dan kami saling mencintai sepenuh hati, sampai-sampai aku menyerahkan kesucianku padanya saat aku kelas satu SMA.” Aku menjeda karena terdengar gumaman Elis di sampingku.

“Delapan tahun? Wow!” Gumam Elis.

Aku tersenyum miris sambil melanjutkan cerita, “Perpisahan yang menyakitkan. Aku harus meninggalkan Lucky karena aku merasa masa depan hubungan kami sangat suram. Terlebih, Lucky saat itu dipindahkan kuliahnya keluar negeri. Aku jomblo dua tahun sebelum akhirnya aku bertemu dengan Angga. Aku dan Angga berpacaran selama tiga tahun dan akhirnya kami menikah. Saat aku hamil delapan bulan, aku bertemu lagi dengan Lucky. Lucky lulus kuliah dan bekerja di bank milik orangtuanya. Ya, bank tempat aku kerja sekarang ini adalah milik orangtua Lucky. Cinta lama kami bersemi kembali tak peduli kami masing-masing sudah berumah tangga, tak peduli aku sedang hamil. Kami pun menjalin hubungan gelap. Ketika satu bulan sejak aku melahirkan, aku diajak bekerja oleh Lucky di bank milik orangtuanya. Tentu saja aku tidak menolak karena aku ingin selalu berdekatan terus dengan Lucky. Saat aku mengutarakan keinginanku untuk bekerja, aku ditentang oleh Angga, suamiku. Tapi, cinta butaku pada Lucky membuatku gelap mata, aku lawan sekuat tenaga keinginan Angga agar aku tidak bekerja. Bahkan, aku hembuskan alasan kalau Angga egois ke semua orang. Celakanya, aku benar-benar menganggap Angga suami yang egois karena aku pikir saat itu, sangat aneh ada seorang suami yang melarang istrinya bekerja. Buat apa aku susah-susah jadi sarjana jika hanya untuk menjadi ibu rumah tangga.” Aku menjeda lagi ceritaku untuk menarik nafas dalam-dalam.

“Alasan yang masuk akal.” Ucap Tuti pelan.

“Tapi bukan itu sebenarnya, Tut … Saat itu aku benar-benar gelap mata dan sangat membenci Angga, karena aku anggap Angga menghalang-halangiku untuk bersama Lucky. Dan aku sangat marah lagi karena apa yang menjadi alasan Angga melarangku bekerja adalah benar.” Ujarku.

“Apa itu?” Tanya Tuti sambil mengerutkan dahinya.

“Angga takut aku selingkuh. Itu adalah alasan yang absurd, tapi dia benar, benar sepenuhnya. Aku bekerja karena aku ingin selingkuh. Dan entah apa yang merasukiku saat itu, aku bukannya sadar tapi malah semakin membenci Angga.” Kataku.

“Kalau menurutku, saat itu kamu berusaha mengatasi konflik batin dengan membenarkan pilihanmu untuk tetap bekerja dan menjaga hubungan gelap dengan Lucky. Kesenjangan antara keputusanmu dan nilai-nilai yang sebenarnya kamu yakini semakin membesar, menciptakan rasa frustrasi dan kemarahan terhadap dirimu sendiri. Angga yang telah melihat lebih jauh dari apa yang kamu lihat pada diri sendiri menjadi pemicu kemarahan. Kamu mulai merasakan beban moral yang semakin berat, menimbulkan pertanyaan dalam dirimu sendiri tentang apakah kebahagiaan yang kamu cari dengan Lucky sepadan dengan harga moral yang harus kamu bayar.” Jelas Tuti yang kurasa ada benarnya.

Setelah menghembuskan napas, aku berkata, “Aku tak tahu pasti tentang itu, namun yang jelas gara-gara hal itu, aku berani menghancurkan rumah tanggaku dengan Angga.”

“Sayang sekali Wi … Cintamu memang buta, membuatmu gelap mata pada kenyataan yang sebenarnya. Tapi itu sudah berlalu. Jangan biarkan perasaanmu itu mengganggumu.”

“Ya …” Responku sambil mengangguk.

“Oh ya … Boleh aku ingin tahu kelanjutan ceritamu dengan Lucky? Em, sorry … Aku penasaran dengan kelanjutan ceritamu …” Tanya Tuti.

Aku yang merasa rahasia besarku sudah terungkap langsung saja berkata tanpa beban lagi, “Sejak saat itu, aku melanjutkan hubunganku dengan Lucky sampai sekarang. Tapi Lucky sekitar setahun yang lalu dipindahkan tugas ke Bali. Tapi, kami masih tetap berhubungan, sesekali healing di hotel.”

“Wow!” Ucap Elis.

“Gila … Hidupmu rumit juga ya …” Tuti berkata dengan nada tak percaya. “Kamu ada saat itu menjalin tiga hubungan sekaligus dong?” Lanjut Tuti dengan nada tak percaya.

“Tiga? Siapa saja?” Sambar Elis bingung.

Tuti langsung menjawab pertanyaan Elis, “Angga, Lucky, dan Dimas. Bukannya Dimas datang saat kamu bertengkar terus dengan Angga?”

“Ya … Saat itu Dimas datang.” Aku memperjelas uraian Tuti.

“Wow … Bener-bener Wow … Bagaimana cerita aslinya?” Tuti tampak sangat ingin tahu.

“Kamu punya Lucky yang kamu sangat cintai, tetapi kenapa kamu masih menerima Dimas?” Tanya Elis dengan wajah heran.

“Panjang ceritanya dan aku males nyeritainnya.” Jawabku yang memang enggan menceritakan kisahku dengan Dimas.

“Gimana dengan Jamal?” Tanya Tuti seakan ingin mengorek semua kisah hidupku. Tuti tahu hubungan khususnya dengan Jamal karena aku pernah cerita padanya.

“Kalau itu aku terpaksa daripada gak ada. Biar muka bopeng penuh jerawat tapi kontolnya masih lumayan, buat garuk punyaku saat aku sedang pengen.” Kataku. Sontak Tuti dan Elis tertawa terbahak-bahak.

“Tapi aku salut, Wi … Kamu bisa menjaga rahasiamu dengan rapi. Aku juga sama denganmu punya kekasih lain, tapi aku ketahuan sama suami dan langsung aku diceraikannya.” Ujar Elis membuatku dan Tuti tertawa.

“Kamu gak sepintar Dewi.” Sahut Tuti.

“Intinya, jangan sampai orang tahu aja. Jangan perlihatkan sama orang lain kalau kita sedang berselingkuh. Itu aja sih resepnya.” Kataku.

“Iya sih … Sesimpel itu, aku juga melakukannya, tapi tetep aja ketahuan.” Ucap Tuti sembari tersenyum lebar.

“Berarti faktor keberuntungan. Kamu orang tidak beruntung.” Respon Tuti.

“Nah … Kalau itu baru masuk akal …” Kata Elis lagi masih dengan senyum lebarnya.

“Tapi direktur-direktur yang ada sekarang sangat mengecewakan. Tampang gak punya, tenaga apa lagi. Ah, sangat mengecewakan.” Jawabku sembari tersenyum miris.

"Ok ... Kita kembali ke masalah pokok. Jadi, kamu tak ingin Angga bergabung dengan kita, karena kamu tidak ingin berhubungan seks lagi dengan dia karena kamu takut suka sama dia. Itu karena cerita kami tentang Angga." Tegas Tuti.

"Ya." Jawabku singkat.

"Baiklah, aku mengerti. Dan Angga tidak akan pernah datang ke sini." Kata Tuti membuatku tersenyum.

Tuti dan Elis tertawa bersama mendengar kata-kataku. Suasana yang ceria dan penuh tawa membuat kami betah, bahkan tak terasa jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Akhirnya kami sepakat untuk mengakhiri obrolan malam itu dan bersama-sama meninggalkan Pondok Ceria. Aku memilih untuk meluncur pulang dengan kecepatan sedang, menikmati hembusan angin malam yang sejuk. Namun, di tengah perjalanan pulang, bayangan yang tak terduga muncul di pelupuk mataku. Bayangan itu adalah Angga, sosok yang selalu menghantui pikiranku belakangan ini.

Pikiranku kembali melayang pada cerita Tuti dan Elis yang baru saja aku dengar di Pondok Ceria. Cerita mereka memberikan gambaran tentang kejantanan Angga yang luar biasa. Saat itu, semakin terasa kuatnya bayangan Angga di benakku. Perasaanku yang tak menentu bercampur dengan cerita-cerita itu, menimbulkan gejolak hasrat yang sulit dijelaskan. Aku merasakan birahiku menyentak-nyentak seakan mencoba melarikan diri dari kekacauan pikiranku. Libidoku seakan menuntut perhatian, menggelegak di dalam diriku dengan kekuatan yang sulit dipertahankan. Semua ini, tanpa bisa kuhindari, karena Angga.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd