Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

CHAPTER 13


HARAPAN DAN KESEPAKATAN

DEWI POV


Pagi itu, ketika sinar matahari mulai menyapu langit dan menciptakan bayangan yang indah, ayah dan ibu pergi entah kemana. Keduanya terlihat pergi dengan arah yang berbeda. Ayah menggunakan motornya sementara ibu menggunakan taksi online. Aku dengan cepat mengambil koper dari dalam mobil dan membawanya ke kamarku. Setelah itu, aku menghampiri kamar mandi sambil membawa anakku yang ceria untuk mandi bersama. Air hangat dan percikan candaan kecil membuat pagi kami menjadi lebih berwarna. Selesai mandi, aku segera berpakaian dengan pakaian yang nyaman. Sesekali, Aska memberikan senyum manis, menunjukkan betapa senang dia bersama ibunya.

Dengan cepat, aku mengatur rambut dan sedikit berdandan. Tak butuh waktu lama, kami berdua sudah siap untuk petualangan pagi ini. Aku membawa Aska keluar rumah dengan mobilku sambil mengecek posisi ibu di smartphone. Mudah-mudahan saja ibu tidak tahu kalau aplikasi GPS-nya telah aku aktifkan. Aku agak berbesar hati karena ibu tidak memiliki pengetahuan tentang aplikasi GPS. Aku tahu bahwa kemampuan ibu sangat terbatas pada alat komunikasinya yang hanya digunakan untuk menelepon atau mengirim pesan.

Mobilku melaju dengan kecepatan stabil, mengikuti petunjuk arah dari GPS yang terpasang di dashboard. Seakan terhipnotis oleh garis-garis yang bergerak di layar, aku merasa penasaran yang tak tertahankan. Seiring jalanan yang terus berubah, pikiranku malah melayang ke sesuatu yang jauh dari peta digital itu. Hari ini, rasa penasaran itu bukan hanya terfokus pada navigasi kendaraanku. Aku masih belum bisa melepaskan bayangan bahwa ibu, wanita yang begitu alim dan pendiam, memiliki selingkuhan. Senyumnya saat menyusun makan malam, kata-kata bijak yang selalu menginspirasi, dan kerelaannya untuk selalu mendengarkan tanpa menghakimi. Semua itu menjadi dasar keyakinanku bahwa ibu tak mungkin terlibat dalam perselingkuhan.

Meski tidak percaya, aku memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Aku tidak ingin terjebak dalam rasa kecurigaan tanpa alasan yang jelas. Aku memilih untuk membuka diri pada kemungkinan bahwa ada sisi dari ibu yang selama ini tersembunyi. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami. Mungkin ada beban yang terlalu berat untuknya tanggung, atau mungkin ini adalah konsekuensi dari ketidaksempurnaan manusia.

Aku merasa detak jantungku semakin cepat saat mobil mendekati posisi ibu. Setelah melewati beberapa jalan yang berliku, akhirnya kafe terpencil itu tampak di kejauhan. Pandanganku fokus pada tempat parkir yang tampak sepi, dan hatiku berdebar ketika melihat ibu berada di sana. Tidak ada keraguan lagi, aku telah menemukan keberadaannya. Aku membimbing mobilku masuk ke pelataran parkir kafe yang sepi itu, mencari tempat yang strategis untuk memantau setiap gerak-gerik di dalam kafe. Aska, yang duduk di kursi penumpang, melihatku dengan pandangan penuh pertanyaan. Aku mencoba tersenyum untuk menenangkannya, meskipun kecemasanku masih sangat terasa. Setelah mematikan mesin, aku memilih untuk tetap di dalam mobil bersama Aska. Aku tidak yakin apakah ibu sudah menyadari kedatanganku atau belum, tapi menunggu sejenak memberiku waktu untuk merencanakan langkah selanjutnya.

Kedua mataku terpaku pada ibu yang tiba-tiba menoleh ke arahku. Keheranan melintas di wajahnya untuk sesaat, namun alih-alih terkejut atau cemas, ibu malah tersenyum. Senyumannya terasa aneh, begitu tenang seolah-olah dia tahu aku akan ada di sini. Hatiku semakin terombang-ambing di antara rasa bingung dan terkejut yang semakin menggelayut. Tidak butuh waktu lama sejak ibu melihatku, ia berdiri dan meninggalkan pria yang duduk di depannya. Ibu berjalan mendekatiku, langkahnya begitu percaya diri, dan ekspresinya yang tenang semakin menambah misteri. Tak terasa Ibu sudah berdiri di depan mobilku. Pandangan matanya menyiratkan kejernihan pikiran yang membuatku semakin tak menyangka. Dengan penuh kedamaian, ibu membuka pintu mobilku dan duduk di sampingku, memangku Aska dengan lembut.

“Ayo pergi …” Ucap ibu sangat normal.

Seolah terhipnotis oleh momen diluar dugaan ini, aku dengan cepat menyalakan mesin mobil dan meninggalkan kafe itu. Roda mobil berputar di aspal dengan kecepatan yang tidak sepadan dengan kebingungan di dalam hatiku. Pemandangan jalanan yang berlalu begitu cepat seakan mencerminkan ketidakstabilan emosional yang tengah merayapi diriku. Di dalam kehampaan yang mendalam, suara mesin mobil menjadi satu-satunya pendamping. Aku merasakan gelombang kebingungan yang masih melingkupi pikiranku. Sementara itu, aku mencoba menenangkan diri sekaligus mencari titik awal untuk memulai pembicaraan.

“Pria yang kamu lihat tadi bersama ibu bernama Pardi. Dia itu anak dari Tante Fatmi.” Ucap ibu memecah keheningan.

Pikiranku segera teralih ke kenangan masa lalu. Sosok yang bernama Tante Fatmi muncul begitu jelas dalam ingatanku. Aku mengingat beberapa pertemuan dengan Tante Fatmi dan anak-anaknya. Salah satunya adalah pria yang tadi bersama ibuku di kafe.

“Oh … Tadi itu Pardi?” Tanyaku ingin keyakinan.

“Ya.” Jawab ibu singkat.

“Ada urusan apa ibu datang menemuinya?” Tanyaku penasaran.

“Dia ingin menjual tanah keluarganya dan meminta bantuan ibu.” Jawabnya tapi tentu saja aku tidak percaya begitu saja.

“Aku rasa … Ibu menyembunyikan sesuatu padaku …” Kataku pelan dan sangat hati-hati.

“Dia juga menyatakan rasa sukanya sama ibu.” Ujar ibu membuatku terkejut.

“Masa sih?” Responku sangat tak percaya.

“Ibu juga gak tahu kenapa. Ibu yang tua bangka ini disukai anak muda.” Ibu tersenyum simpul. Pantas ibu mengatakan demikian karena usia ibu saat ini 48 tahun.

“Em … Terus …?” Tanyaku lagi dengan nada ragu.

“Ibu bilang kalau ibu tidak pantas menjadi pasangan hidupnya. Ibu terlalu tua untuknya. Lagi pula, dia bukan tipe ibu.” Jawabnya.

“Wow …” Gumamku sambil tersenyum. “Em … Maaf ya bu, tadi aku mengangkat telepon ibu. Seorang laki-laki langsung menyapa dengan kata sayang begitu mesra. Aku menyangka ibu punya selingkuhan.” Kataku terus terang.

“Pardi memang selalu begitu sama ibu. Dia selalu memanggil ibu sayang mungkin maksudnya untuk menggoda ibu. Ibu juga sebenarnya risih, tapi ibu gak bisa melarang. Tapi tenang saja, semuanya sudah ibu bereskan. Mudah-mudahan Pardi tidak mengejar-ngejar ibu lagi.” Ucap ibu.

“Hi hi hi … Jadi lucu dengernya …” Sahutku sambil terkikik.

“Ayahmu juga tahu dengan masalah ini. Ibu sudah memberitahukannya pada ayahmu.” Kata ibu lagi yang membuatku kembali terkejut.

“Oh ya? Apa kata ayah?” Tanyaku lagi semakin penasaran.

“Ayahmu hanya bilang terserah.” Jawab ibu semakin bertambah saja keterkejutanku.

“Kok begitu? Harusnya ayah melarang dong?” Kataku sambil menengok sekilas pada ibu.

“Tanyakan saja pada ayahmu.” Ibu tersenyum simpul sambil bercanda dengan Aska.

Ibu baru saja berkata sesuatu yang membuatku terheran-heran, namun dalam hatiku aku tahu bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah ungkapan kejujuran. Cara bicaranya yang lugas namun lembut adalah ciri khas kejujurannya. Wajah ibu terlihat tenang, tetapi matanya menyiratkan kedalaman perasaan yang sulit diukur. Ia tak pernah menyembunyikan kebenaran, bahkan jika itu mungkin menyakitkan.

Selama perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa ringan seiring bincang-bincang lucu antara aku dan ibu. Ibu tertawa dengan lepas saat kami mulai bercanda tentang perasaan Pardi kepadanya. Dengan nada canda, ibu menegaskan bahwa tidak ada sedikit pun niat untuk berselingkuh, apalagi dengan seorang pria sekelas Pardi. Dengan ekspresi ceria, ibu menambahkan bahwa Pardi bukanlah tipe pria yang sesuai dengannya. Saat itulah, gelak tawa memenuhi ruang mobil, dan aku merasa lega karena apa yang aku curigakan tidak terbukti sama sekali.

Setelah sekitar satu jam setengah dalam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah. Aku memarkirkan mobil di halaman, dan kami semua turun dengan perasaan riang yang masih menyelimuti suasana. Begitu pintu rumah terbuka, kami disambut oleh kehadiran ayah yang ternyata sudah berada di dalam rumah. Sementara ibu membawa Aska ke belakang, aku menarik ayah ke ruang depan.

“Ayah … Apa benar ayah membiarkan ibu menemui Pardi?” Tanyaku agak berbisik.

“Ya.” Jawab ayah sambil tersenyum.

“Kenapa? Kenapa ayah membiarkan ibu? Apa ayah gak takut kalau ibu selingkuh?” Tanyaku bertubi-tubi.

“Ini bukan kali pertama hal seperti ini terjadi. Ibumu selalu memberitahu ayah setiap kali ada pria yang mencoba mendekatinya. Sejak zaman dulu kala, sejak kami masih muda, Ibu sering digoda pria, namun Ibu selalu bisa menjaga diri. Itulah sebabnya Ayah sangat mempercayai Ibu. Ibumu selalu tahu cara menangani situasi semacam ini. Percayalah, ibumu tahu batas dan mampu melindungi dirinya sendiri.” Jelas ayah sambil menatapku dengan kelembutan.

“Oh ya?” Aku tertegun mendengar penuturan ayah.

“Ibumu itu tipe wanita yang tidak mudah digoda, dan juga pilih-pilih teman pria. Entah berapa banyak laki-laki yang patah hati karena ibumu. Ayah juga sampai lupa menghitungnya.” Jelas ayah lagi.

“Benarkah? Kok ayah dan ibu gak pernah menceritakannya padaku?” Tanyaku heran.

Ayah tersenyum, "Karena, ini bukanlah hal yang perlu diceritakan. Ayah dan ibu berpendapat, kisah masa lalu yang penuh drama itu tidaklah penting dibandingkan dengan ketenangan dan kebahagiaan keluarga.”

“Begitu ya … Tapi aku gak nyangka kalau ibu banyak yang suka. Kalau dibanding aku sih, jauh kemana-mana.” Candaku.

“Ibumu memang memiliki keistimewaan yang jarang ditemukan pada wanita lain. Banyak yang tertarik karena Ibu bukan hanya memiliki kecantikan fisik, tetapi juga kecantikan batin yang kuat. Menurut ayah, Ibumu memiliki semacam daya tarik spiritual yang sulit dijelaskan. Ada kehangatan dan kedamaian dalam dirinya yang membuat orang merasa nyaman di sekitarnya. Itulah yang membuat Ibumu banyak disukai pria, tidak hanya sebagai wanita cantik, tetapi sebagai individu yang luar biasa." Jelas ayah membuatku terpana.

“Dari mana ibu mempunyai daya tarik spiritual itu?” Tanyaku ingin tahu.

“Waktu mudanya, Ibumu rajin berpuasa, yoga, dan meditasi. Ibumu mempraktikkan ritual-ritual tersebut sebagai cara untuk mencapai keseimbangan spiritual dan mental.” Jelas ayah lagi.

“Oh ya?” Aku bergumam kagum dan maka tak heran jika ibu memang wanita yang alim.

Setelah berbincang-bincang dengan ayah di ruang tamu, kami berdua memutuskan untuk menuju ruang belakang rumah. Ketika pintu terbuka, suasana harum masakan menggoda menyambut kami. Ternyata, ibu sedang duduk di meja makan, menyuapi Aska dengan penuh kelembutan. Aku bergabung dalam keriaan dengan menggoda anakku. Tawa kecil pun pecah, mengisi ruangan dengan keceriaan.

“Bu …” Kataku sambil menarik nafas.

Ibu menoleh dan menatapku, “Ada apa?”

“Aku ingin bercerai dengan Dimas.” Kataku pelan dan agak sedikit malu.

“Kenapa?” Tanya ibu dengan nada terkejut.

“Kami sudah tidak cocok lagi. Banyak sekali ketidakcocokan antara aku dan Dimas.” Jawabku.

Ibu meresapi kata-kataku dengan penuh kehati-hatian, dan ekspresi wajahnya tersirat kekhawatiran dan kepenasaran. Setelah beberapa saat, ibu menarik kursi di sebelahku dan duduk dengan penuh perhatian.

"Dewi," ucap ibu dengan suara lembut, "Pernikahan adalah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan dan cobaan. Ketidakcocokan bisa terjadi, tetapi sebelum mengambil keputusan untuk bercerai, pikirkanlah dengan matang. Apa yang membuatmu merasa tidak cocok lagi? Apakah ada upaya untuk memperbaiki dan memperkuat hubunganmu dengan Dimas? Ibu tahu bahwa kebahagiaanmu penting, tetapi sebelum mengambil langkah yang besar ini, pertimbangkan juga dampaknya.”

Ibu memberi nasehatnya dengan bijaksana, namun aku merasa bahwa keputusanku sudah tertanam kuat dalam hati.

"Ibu, aku telah memikirkan ini dengan matang. Kami sudah mencoba untuk memperbaiki hubungan, namun terlalu banyak ketidakcocokan yang sulit diatasi. Keputusanku untuk bercerai dengan Dimas sudah final.” Kataku.

Setelah mengungkapkan keputusanku pada ibu, aku melihat raut muka yang sedih di wajahnya. Wajah ibu yang biasanya penuh kehangatan, kini memancarkan kekecewaan. Aku tahu bahwa keputusanku ini telah mengecewakan ibu. Tanpa berkata-kata, aku merangkul bahu ibu dengan lembut, mencoba menyampaikan perasaanku yang tak menentu. Kemudian, dengan lembut, aku mencium pipi ibu. Itu adalah cara kecil untuk menyatakan bahwa, meskipun langkahku ini mengecewakannya, aku masih membutuhkan dukungan serta cinta dari ibuku.

“Bu …” Kataku lagi. “Demi kebaikan Aska, aku berniat bersatu lagi dengan Angga.” Lanjutku.

Wajah ibu terkejut, dan matanya tiba-tiba terbuka lebar, seolah-olah mencoba menangkap makna di balik kata-kataku. Mata kami bertemu, dan aku bisa merasakan ada pertanyaan yang tidak terucap di bibirnya. Tanpa berkata-kata, Ibu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Aska, yang sedang duduk dengan polosnya di kursi makan. Sementara ibu menyuapinya dengan lembut, aku bisa merasakan perubahan suasana di ruangan.

“Bu, aku ingin pendapat ibu?” Tanyaku sedikit memelas.

Ibu menoleh ke arahku. Setelah beberapa sesaat, dengan suara lembut dan penuh pertimbangan, ibu menjawab, “Dewi, kebahagiaan keluarga adalah hal yang kita semua idamkan. Kamu harus memastikan bahwa langkah ini benar-benar yang terbaik untuk semua pihak, terutama untuk kehidupan Aska. Tapi pada akhirnya, ibu meyakini kalau kamu tahu apa yang terbaik untuk keluargamu. Semua keputusan ada di tanganmu, dan kami sebagai keluarga akan mendukungmu sepenuhnya, apa pun itu.”

“Terima kasih, Bu … Hanya saja aku merasa untuk mendekati Angga adalah pekerjaan yang tidak mudah. Aku meminta bantua Ibu untuk meyakinkan Angga, karena aku tahu hanya sama Ibulah Angga menurut.” Kataku.

“Ti..tidak, Nak … I..ibu tidak bisa.” Jawabnya tergagap dan panik.

“Kenapa? Apakah ibu tidak setuju kalau aku bersatu lagi dengan Angga?” Tanyaku heran melihat ekspresi Ibu yang terlihat ketakutan.

“Bu..bukan itu … Ka..karena menurut Ibu itu adalah tugasmu, bukan tugas Ibu.” Jawabnya sungguh tak masuk akal.

“Apa maksudnya, Bu? Aku bingung. Kalau bukan Ibu, siapa lagi yang bisa meyakinkan Angga? Aku takut jika aku melakukannya sendiri, Angga justru semakin menjauh. Tolong, Bu, aku membutuhkan bantuanmu, hanya Ibu yang bisa membuatnya mendengar.” Pintaku dengan nada memelas.

Ibu menatapku dengan ekspresi bingung dan ragu. Aku merasakan betapa sulit baginya untuk mengambil peran tersebut, “Ba..bagaimana jika ayahmu saja yang bantu?” Ucap Ibu masih terdengar panik.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan tegas, "Bu, Ayah tidak akan didengar oleh Angga. Angga hanya patuh kepada Ibu. Ibu tahu betapa sulitnya mendekati Angga, dan aku butuh pertolongan, Bu. Hanya Ibu yang bisa meyakinkan hatinya." Ibu menggigit bibirnya, ekspresi kekhawatiran masih terlihat jelas di wajahnya. Aku meletakkan tanganku di pundak ibu dengan lembut. "Bu, Angga masih merasa terluka karenaku, dan aku takut kehilangannya. Aku tahu, hanya Ibu yang bisa membuatnya mendengar. Tolong, Bu, bantu aku. Aku dan Angga harus bersatu kembali demi kebahagiaan Aska."

Ibu menatap mataku, "Ibu harus bicara dengan ayahmu dulu."

“Baiklah …” Aku setuju.

Ibu bergegas pergi ke halaman belakang menghampiri ayah yang sedang mengurus tanaman di sana. Aku memperhatikan dari jendela dapur, melihat ibu menyusul ayah yang sedang sibuk dengan tanamannya. Mereka berdua kemudian berbicara di pojok taman. Aku tak bisa mendengar pembicaraan mereka namun aku yakin bahwa ibu berusaha menjelaskan situasi yang sedang aku hadapi. Meskipun jaraknya cukup jauh, aku bisa melihat ekspresi serius di wajah keduanya, dan mereka tampak terlibat dalam pembicaraan yang sangat serius.


#####



AUTHOR POV

Di taman belakang rumah mereka, Johan dan Farah terlibat dalam percakapan sangat serius. Pasangan suami istri yang telah bersama selama bertahun-tahun itu adalah orangtua Dewi. Johan, yang selalu tenang dan kalem, duduk dengan penuh perhatian, mendengarkan dengan cermat penuturan istrinya. Sementara itu, Farah tampak terlihat ragu dan khawatir. Dia merangkul dirinya sendiri, mengekspresikan kecemasan di matanya. Setiap kata yang diucapkannya terdengar dipilih dengan hati-hati, sebagai usaha untuk menjelaskan situasi yang tengah dihadapi oleh putri mereka, Dewi.

“Kalau bisa, Ayah nasehati Dewi untuk tidak dengan mudah bercerai. Sebisa mungkin mereka didamaikan.” Ujar Farah yang tak bisa menghilangkan rasa khawatirnya.

“Kita kan tahu putri kita ini, dia sangat teguh dengan keputusannya," kata Johan dengan suara lembut, mencoba memberikan pemahaman kepada istrinya. Farah menatap suaminya dengan mata penuh kekhawatiran, berharap mungkin ada cara untuk mengubah keputusan Dewi. Johan pun melanjutkan, "Ibu juga tahu betapa kuatnya sikap Dewi. Ayah tidak yakin bisa mempengaruhi keputusannya. Keputusannya sulit digoyahkan."

"Ayah, kita tidak bisa hanya diam dan menerima keputusan Dewi begitu saja. Ayah tahu betapa kuatnya putri kita, tapi aku yakin ada cara untuk merubah pikirannya. Ayah harus mencoba. Kita tidak bisa menyerah begitu saja tanpa memberikan usaha yang maksimal. Katakan kepadanya betapa kita peduli, berikan alasan untuk melihat kembali keputusannya.” Ucap Farah dengan suara penuh ketegasan dan harapan.

“Bu … Berbicara dengan Dewi itu hasilnya sudah bisa ditebak. Dewi itu keras kepala dan teguh dengan pendiriannya. Ayah khawatir kalau Ayah berbicara dengannya, itu hanya akan memperburuk keadaan. Ayah ingin berbicara dengan Dewi, tapi Ayah takut kalau kata-kata Ayah akan membuatnya semakin keras kepala. Mungkin lebih baik kalau Ayah memberikan dukungan dan perhatian tanpa mencoba memaksanya.” Ucap Johan dengan suara rendah, mencoba menjelaskan rasa ketidakpastiannya.

“Ayah … Kalau Ayah tidak bisa menyadarkan Dewi, berarti Ibu harus bertemu lagi dengan Angga.” Kata Farah yang membuat wajah Johan menegang.

Johan merasa terkejut mendengar penuturan istrinya. Kata-kata yang diucapkan oleh Farah membuatnya merinding, dan hatinya dipenuhi dengan gelisah. Sementara itu, Farah menatap suaminya dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang pada kejadian dua setengah tahun yang silam, kejadian yang masih terpatri dalam ingatannya.


***



FLASHBACK

FARAH POV


Aku dan Johan duduk bersama di teras belakang, menikmati angin sepoi-sepoi senja khas sore hari. Namun, suasana hati kami tidak seiring dengan keindahan alam di sekitar. Kami sedang membicarakan rumah tangga Dewi yang terasa seperti diambang kehancuran. Sudah lebih dari tiga bulan Dewi dan Angga terperangkap dalam pertengkaran tanpa ujung, bahkan kepulangan Angga dari rumah sakit tidak membawa perubahan apapun. Kedamaian sepertinya telah benar-benar menjauh dari mereka, dan rumah tangga Dewi berada di ujung tanduk.

Dalam percakapan kami, terasa getaran kekhawatiran dan kegelisahan. Kami tidak ingin melihat mereka berpisah, dan bersama-sama, kami berusaha keras untuk mendamaikan pertengkaran yang terus berlanjut, berharap agar rumah tangga mereka tetap utuh.

"Bu … Ayah rasa kita harus menghadapi kenyataan bahwa usaha kita untuk mendamaikan Dewi dan Angga mungkin tidak akan berhasil. Mereka berdua terlalu bersikukuh untuk berpisah, dan meskipun Angga sudah rela Dewi bekerja, tetapi saat dia tahu tentang hubungan khusus antara Dewi dan Dimas, semuanya menjadi semakin rumit.” Ucap Johan dengan suara yang terdengar pahit.

Saat mendengar pengakuan itu, hatiku terasa berat. Aku tahu Johan telah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga keutuhan rumah tangga Dewi dan Angga. Namun, dengan keadaan semakin kompleks, juga Dewi serta Angga terus bersikeras pada keputusan mereka, rasanya sulit untuk menemukan solusi yang dapat menyatukan mereka kembali.

"Ayah … Tapi kita tidak boleh menyerah begitu saja. Mungkin saat ini mereka terlihat tak mungkin untuk direkatkan kembali, tetapi kita harus terus berusaha. Ibu yakin, cinta dan usaha kita sebagai orangtua akan memiliki dampak, meskipun tidak langsung terlihat. Kita bisa membantu mereka melihat sisi-sisi baik dalam hubungan mereka yang mungkin terlupakan.” Ucapku mencoba memberikan semangat kepada Johan.

"Bu … Ayah sudah tidak sanggup lagi. Ayah menyerah. Ayah tidak tahu lagi harus melakukan apa. Mungkin lebih baik kalau Ibu yang bicara dengan Angga. Jika Angga setuju untuk berdamai, Ayah akan memaksa Dewi untuk menerima walaupun dengan ancaman." Kata Johan dengan suara yang terdengar hampir patah.

Perkataan Johan membuat hatiku merasa berat, namun aku tahu bahwa keputusannya datang dari rasa putus asa yang mendalam. Johan tampaknya telah mencapai titik di mana segala upaya terasa sia-sia.

“Baiklah … Ibu akan bicara dengan Angga. Ibu akan berusaha meyakinkan Angga.” Kataku walau merasa tak yakin akan berhasil.

Selepas maghrib, aku diantar Johan menemui Angga di rumahnya. Saat itu, Johan memilih untuk menunggu di mobil, sementara aku menemui Angga di ruang tengah. Aku langsung saja mengutarakan maksud kedatanganku dan tentu saja Angga tidak langsung menerima keinginanku agar ia menerima dan memaafkan Dewi. Terjadi perdebatan yang cukup lama antara aku dan Angga, yang pada akhirnya Angga menatapku dengan mata yang sulit untuk aku artikan. Ekspresinya terlihat antara bingung, kecewa, dan sedikit marah. Aku bisa merasakan bahwa meminta Angga untuk menerima dan memaafkan Dewi tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Angga duduk sendirian di sofa panjang, ekspresinya mencerminkan kesedihan dan kekecewaan yang mendalam. Dengan sangat hati-hati, aku pindah duduk di sebelahnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Angga.

"Dewi memang sudah membuat banyak kesalahan, dan ibu tidak mengabaikan hal itu. Tapi, ibu juga yakin bahwa di balik semua itu, masih ada cinta di antara kalian berdua. Aska sangat membutuhkan kalian berdua. Dia butuh ayah dan ibu yang bersama-sama. Ibu percaya bahwa kalian bisa melewati ini bersama, dan mungkin kehidupan kalian bisa menjadi lebih baik jika kalian memberikan satu sama lain kesempatan." Ucapku dengan penuh pengharapan, meskipun dalam hati aku juga merasa ragu.

Angga menatapku dengan tatapan tajam, memancarkan rasa ketidakpercayaannya. Wajah Angga masih penuh dengan kebimbangan, dan aku bisa merasakan bahwa luka yang dalam akibat pengkhianatan Dewi masih terasa begitu nyata baginya.

"Ibu … Aku mengerti kalau Ibu ingin membantu, tapi ini bukan sesuatu yang bisa aku atasi dengan mudah," ujar Angga dengan suara yang penuh emosi. "Dewi telah mengkhianati kepercayaanku. Aku tidak yakin apakah aku bisa menerima kembali seseorang yang telah selingkuh di belakangku. Pengkhianatannya begitu kejam, dan aku tidak tahu apakah aku bisa memberikan maaf."

“Angga …” Kataku selembut mungkin sambil meraih tangannya. “Memaafkan adalah perbuatan paling mulia yang bisa dilakukan manusia. Bahkan Tuhan pun senantiasa memberikan kasih dan pengampunan kepada hamba-Nya yang penuh dengan dosa. Ibu tahu, ini sangat berat bagimu, tetapi memberikan maaf adalah langkah awal menuju kesembuhan dan kebahagiaan. Akan ada kebaikan setelah ada kata maaf, dan selalu ada kebahagiaan untuk sesuatu yang dimaafkan.”

Mata kami terus bertatapan, dan tangan kami masih saling menggenggam erat. Sesaat kemudian, aku merasakan sesuatu yang asing merayap di dalam hatiku. Perasaan aneh itu tumbuh begitu kuat dan tak bisa dhindarkan. Rasanya seperti kilatan cahaya yang memenuhi hatiku, membangkitkan perasaan yang begitu murni dan manis. Meskipun seharusnya tidak ada ruang bagi perasaan semacam ini, aku malah terbuai oleh keindahan perasaan yang tumbuh begitu alami di antara kami. Sungguh aneh, namun begitu indah.

Antara sadar dan tidak, alam pikiranku kini dipenuhi oleh warna-warni yang begitu indah. Seperti ada kekuatan yang menggerakan, kedua telapak tanganku menangkup wajah Angga, dan mata kami saling bertemu dengan erat. Dalam momen yang tak aku sadari sepenuhnya ini, aku mendekatkan wajahku ke arahnya dan mencium kening Angga dengan penuh kasih. Sesaat kemudian, kami saling menatap, dan dalam mata Angga tergambar dambaan yang begitu dalam, sesuatu yang aku juga rasakan.

Entah siapa yang mendahului, tiba-tiba saja kami berciuman dengan penuh kelembutan dan keintiman. Setiap sentuhan bibir kami seolah menari dalam irama yang indah. Ciuman itu berlangsung cukup lama, dan aku merasa larut dalam kehangatan yang diciptakan oleh momen ini. Bahkan, aku membiarkan tangan kekar Angga mengusap punggungku, menciptakan sensasi yang semakin menenangkan dan memikat hati.

Tiba-tiba terasa tangan Angga menyentuh payudaraku. Sentuhan itu bagaikan alarm yang membangunkanku dari ketidaksadaran. Aku terkejut hebat dan langsung melepaskan ciuman sambil menahan pergelangan tangannya. Perasaan malu dan bersalah menyergapku begitu kuat saat menyadari apa yang baru saja terjadi. Wajahku memanas dan jantungku berdetak semakin kencang. Rasa malu yang begitu besar langsung bertransformasi menjadi sesal yang mendalam. Tanpa berkata-kata, aku berlari menjauhi Angga, mencoba menekan perasaan hancur yang memenuhi hatiku.

Aku bergegas mendekati mobil Johan, mencoba menyembunyikan rasa terpukulku di hadapannya. Dengan cepat, aku membuka pintu mobil dan meminta suamiku untuk segera pergi dari rumah Angga. Untungnya, Johan tidak banyak bertanya dan dengan sigap menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Angga. Suasana dalam mobil terasa hening, tanpa ada sepatah kata pun yang terucap. Aku masih terlarut dalam gejolak perasaan malu dan bersalah yang memenuhi hatiku.

Setiap kilometer yang kami lewati semakin menegaskan kalau aku malah menambah kerumitan hubungan Dewi dan Angga. Aku sudah bertindak bodoh dan merusak lebih banyak lagi daripada yang bisa aku bayangkan. Saat mobil melaju di jalan yang sepi, pandanganku kosong, mencari jawaban atas keputusanku yang gegabah. Aku tidak bisa menghapus adegan ciuman tadi dari benakku, dan setiap detik terasa semakin berat. Aku merasa tertekan oleh tanggung jawab terhadap kesalahan yang telah kulakukan. Di dalam hatiku, teror dan penyesalan berkecamuk. Aku berharap dapat menghapus segalanya dan kembali ke waktu sebelum semuanya terjadi. Meskipun begitu, aku tahu bahwa apa yang sudah terjadi tidak dapat diubah. Perasaan bersalah semakin merayapi jiwa dan membebani setiap langkah perjalanan kami menuju rumah.

Saat sampai di rumah, aku berlari secepat mungkin menuju kamarku, mencoba menahan derasnya air mata yang ingin meluber. Sesampainya di dalam, aku langsung menjatuhkan tubuh lelahku ke kasur yang empuk. Rasa bersalah, malu, dan penyesalan seperti gumpalan yang memenuhi dada. Tangisanku pecah seperti hujan badai yang tak bisa dihentikan. Aku merasakan kehancuran dalam setiap isakan. Aku merasa sebagai sosok yang tidak bermoral, merusak kehidupan anak sendiri, dan mengecewakan suamiku.

Tidak berselang lama, pintu kamarku terbuka perlahan. Johan dengan lembut mendekat dan duduk di sampingku. Dia tahu bahwa kata-kata tidak akan bisa mengubah apa pun, jadi dengan kelembutan, tangannya mulai mengusap punggungku. Setiap sentuhan memberikan sedikit ketenangan. Kami terdiam dalam keheningan, membiarkan kesedihan berbicara melalui getaran perasaan yang saling terhubung.

“Maafkan Ibu ya, Pak …” Kataku masih dalam isakan ringan.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kita harus pasrah atas kehendak-Nya. Apabila Dewi tidak bisa bersatu lagi dengan Angga, kita hanya bisa berdoa agar mereka baik-baik saja.” Ucap Johan yang menyangka tangisanku karena aku gagal.

“Bukan itu, Pak … Bukan itu … Hiks … Hiks … Hiks … Maafkan ibu …” Kataku yang sudah bertekad untuk mengutarakan apa yang terjadi.

“Ada apa, Bu?” Tanya Johan dengan suara heran dan terkejutnya.

Tanpa ragu, aku mulai menceritakan apa yang terjadi di dalam rumah Angga kepada Johan. Setiap kata keluar dari bibirku terasa seperti belatung pahit yang sulit ditelan. Aku menjelaskan bahwa itu semua terjadi tanpa sadar, seperti sebuah aliran tak terkendali yang membawaku pada kehancuran. Setiap rincian yang kuterangkan menyakitiku sendiri, namun aku tahu kejujuran adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepercayaan yang telah tergores oleh ketidaksetiaan.

Setiap kata yang keluar dari mulutku terasa seperti pukulan di hati Johan. Ekspresi terkejut dan kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. Aku merasa diriku jatuh lebih dalam ke jurang penyesalan setiap kali mengingatkan diri sendiri pada perbuatan yang keterlaluan itu.

Namun, dengan keberanian yang menyertai rasa bersalahku, aku memohon maaf berulang kali kepada Johan. Aku meratapi kebodohanku dan berharap ada sedikit ruang bagi ampunan. Meskipun terlihat sangat terkejut, Johan yang bijaksana memutuskan untuk memaafkanku. Dia tahu bahwa kesalahan itu dilakukan tanpa niat jahat, dan kejujuran yang kuungkapkan membuatnya tenang.

Ternyata, apa yang terjadi padaku membawa secercah harapan saat Angga meneleponku. Dengan suaranya yang terdengar ragu, penuh penyesalan, Angga meminta maaf atas kelancangannya terhadap diriku. Pada saat yang sama, Angga pun akhirnya bersedia menerima dan memaafkan Dewi, serta bersedia untuk membereskan kekisruhan di rumah tangganya. Namun, harapanku pupus saat menyadari kalau Dewi mempunyai pendirian sendiri. Meski Angga bersedia mengampuni, Dewi tetap teguh pada keputusannya untuk mengajukan cerai. Kehancuran rumah tangga Angga dan Dewi menjadi sesuatu yang tak terelakkan lagi.

FLASHBACK END


***



AUTHOR POV

Selain terkejut, kini Johan pun merasa khawatir. Peristiwa dua setengah tahun yang lalu masih terpatri dalam ingatannya, menimbulkan kekhawatiran akan kembali terulang. Johan menjadi linglung sendiri, tidak tahu apa yang harus dia lakukan dan putuskan di tengah situasi ini. Farah yang peka terhadap perasaan suaminya, mengetahui betapa tergoncangnya Johan. Ia pun dengan cepat mendekat dan memeluk suaminya itu. Farah menangis di dada Johan, mencurahkan segala kegelisahan dan penyesalannya. Hati Johan pun terenyuh, dia membalas pelukan Farah dengan penuh kelembutan sambil membelai rambut istrinya.

“Kita harus bicarakan ini dengan Dewi.” Ucap Johan pelan dan bergetar.

Farah mendesah ringan lalu berkata, "Ibu tidak yakin kita berdua bisa mempengaruhi Dewi. Ayah tahu betapa keras kepala dan tegasnya dia dalam mengambil keputusan. Jika kita menolak keinginannya, Ibu khawatir Dewi akan melakukan segala cara untuk mendapatkan Angga kembali. Ibu tidak ingin dia bertindak di luar batas norma. Kalau dia terus memaksakan kehendaknya, bisa merugikan tidak hanya dirinya tapi juga kita berdua sebagai orangtuanya.”

“Tapi … Bagaimana pun juga kita harus bicara dengan Dewi. Ayah ingin tahu alasan dia yang sebenar-benarnya kenapa ingin kembali bersama Angga.” Ungkap Johan.

“Baiklah.” Jawab Farah sembari melepas pelukannya.

Johan dan Farah berjalan bersama menuju ke dalam rumah. Langkah mereka tenang namun sarat dengan kegelisahan. Begitu memasuki dapur, mereka menemukan Dewi sedang sibuk menyuapi Aska yang belum selesai makannya. Johan mencoba mempertahankan ketenangan, begitu juga dengan Farah. Mereka merasa suasana ruangan berubah saat Dewi memandang mereka dengan ekspresi tatap tajam, seakan mencoba menebak apa yang akan mereka sampaikan. Tanpa berkata apa pun, Dewi akhirnya duduk di salah satu kursi meja makan, membentuk formasi saling berhadap-hadapan di sekitar meja makan. Johan duduk di seberang Dewi, meletakkan tangannya di atas meja dengan ekspresi serius. Farah yang duduk di sebelah Johan menahan napas, menunggu reaksi Dewi.

"Ibumu mengatakan kamu ingin bercerai dengan Dimas dan ingin kembali dengan Angga," ucap Johan. "Bisakah kamu jelaskan alasan di balik keputusan ini, Dewi?" Johan menatap Dewi dengan harapan mendapatkan penjelasan yang memadai.

Ekspresi Dewi sangat serius dan penuh dengan keputusan yang sudah matang. "Maafkan aku, Ayah, Ibu ... Hubunganku dengan Dimas sudah tidak harmonis lagi. Dia bahkan berselingkuh di belakangku," ucap Dewi dengan suara tegas. Dewi menatap wajah kedua orangtuanya, mencari pengertian. "Aku sudah tidak mencintai Dimas lagi. Keputusan untuk bercerai sudah bulat, dan Nenek Nadia sudah menyetujuinya."

Dewi melanjutkan penjelasannya, "Namun terlepas dari itu, demi kepentingan terbaik untuk Aska, aku harus kembali kepada Angga. Aska sangat membutuhkan Ayahnya, dan aku tahu Angga sangat menyayangi Aska. Selain itu, Angga sekarang bukan lagi Angga yang dulu. Dia telah berubah seratus delapan puluh derajat. Angga sudah menjadi orang yang sukses karena ditopang oleh ibunya yang bersuamikan salah satu orang terkaya di dunia. Aku yakin, bersama Angga, aku dan Aska akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik." Dewi berbicara dengan mantap, mencoba meyakinkan orangtuanya tentang pilihannya.

“A..apakah itu benar?” Farah berkata dengan mimik terperanjat.

“Benar, Bu … Ayah tirinya sangat menyayangi Angga, seolah-olah dia anak kandungnya sendiri," ungkap Dewi, mencoba memberikan gambaran tentang situasi Angga saat ini walaupun hanya sekedar khiasan. Dewi melanjutkan, "Masa depan Angga sangat cerah. Dia memiliki segalanya untuk memberikan kehidupan yang nyaman dan bahagia bagi kita semua. Jujur, jika aku bisa bersama Angga lagi, aku tidak akan bekerja lagi. Aska dan kita semua akan hidup dalam kenyamanan dan kebahagiaan bersama. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk Ayah dan Ibu. Jika aku bisa bersama Angga lagi, aku berjanji akan membuat kalian bahagia. Apa pun yang diinginkan oleh Ayah dan Ibu, aku akan turuti. Kesejahteraan dan kebahagiaan Ayah dan Ibu adalah prioritas utama bagiku. Pegang janjiku!”

Hening meliputi dapur itu. Johan dan Farah merenung, menerima kenyataan bahwa Angga telah tumbuh menjadi sosok yang sukses, meskipun berada di bawah bayang-bayang ayah tirinya. Perlahan-lahan, hati Johan dan Farah mulai meresapi alasan-alasan yang diutarakan Dewi. Dalam diam, mereka menyadari bahwa keinginan Dewi mungkin membawa masa depan yang lebih cerah bagi mereka semua. Dalam pelupuk mata mereka, bayangan kesepakatan dan harapan pun mulai terbentuk.

BERSAMBUNG
 
Pada akhirnya anak lah yg dijadikan tameng dari segala ego, rasa bersalah
dan rasa malu. Jika saja anak itu sudah bisa memahami mungkin saja dia bakal tertawa melihat tingkah laku orang tua nya.

"it's so pathetic" ~ The Guardian Time (19 Naga)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd