Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

Gini kalo orang cupu dikasih power, kalah sama orang biasa yang manipulatif
diceritakan kah kalau papa tirinya angga mafia?
nah ini juga yang ane heranin,,, angga yang kelewat polos ato emang suhu @Nice4 ada plot twist,,, dia punya uang bejibun,, yang artinya seharusnya polisi bisa disogok buat lepasin dia.
Kalau baca cerita dari awal dan menyimak baik-baik ceritanya, mungkin suhu-suhu akan mengerti kenapa Angga tidak ingin menggunakan power orangtua tirinya. Nuansanya begini, Angga sejak dulu tidak pernah 'akur' dengan ibunya karena menganggap ibunya adalah 'biang keladi' kematian ayahnya. Angga baru mau memaafkan ibunya dalam waktu belum dua bulan alias masih sebentar. Angga malu meminta 'tolong' orangtuanya. Intinya begitu.​
 
CHAPTER 18


PENGAKHIRAN PART 1

ANGGA POV


Penjara, walaupun bukan tempat yang menyenangkan, seringkali dianggap seperti tong sampah yang tak ada yang berani menyentuhnya. Namun, dari tempat ini, aku meraih pelajaran yang tak terduga. Seolah-olah mengambil pelajaran dari bau yang menyengat, aku malah menemukan pengetahuan berharga. Melalui kisah epik yang terkenal seperti Ramayana, aku menyadari bahwa hitam tidak selalu identik dengan kegelapan, dan putih tidak selalu mencerminkan kebenaran yang murni. Dalam kebaikan, terkadang terselip keburukan, begitu pula sebaliknya. Tokoh terkenal seperti Wibisana, meskipun diakui sebagai pahlawan dengan prinsip-prinsip yang memperjuangkan kebenaran dan mendukung Sang Rama, ternyata dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Bagi beberapa orang, ia dianggap sebagai pengecut dan pengkhianat yang bersembunyi di kubu lawan, turut berperang melawan kaumnya dan menyerang tanah airnya.

Penjara membuatku menyadari bahwa hidup tidak selalu lurus dan terkadang penuh dengan kesalahan. Seringkali, aku merenungi mengapa aku begitu takut akan kesalahan. Dalam proses refleksi diri ini, aku menemukan jawaban-jawaban yang sulit diterima. Namun, kesadaran ini menjadi sumber kekuatan bagiku. Aku menyadari bahwa kesalahan tidak selalu harus dihindari; sebaliknya, setiap kesalahan membawa hikmah yang dapat memperkaya diri. Penjara ini telah mengajarkan aku keberanian untuk melangkah maju, bahkan dalam kegelapan, aku harus terus menuju cahaya yang mengarah pada perbaikan hidup yang lebih baik.

“Angga …!” Terdengar suara panggilan polisi dari pintu penjara. Aku segera bangkit dan mendekat. “Ada seseorang yang ingin menemuimu.” Ujar sang polisi sembari membuka pintu jeruji besi.

Jantungku berdebar cepat ketika dua polisi mengawalku melewati lorong-lorong dingin menuju sebuah ruangan. Begitu masuk ke dalam ruangan, aku melihat wajah Lia yang terhalang kaca tembus pandang. Matanya memancarkan kekhawatiran dan kepedihan, namun penuh dengan tekad. Aku mengambil telepon khusus yang terpasang di sisi kaca, begitu juga dengan Lia. Mata kami bertemu, dan ekspresi wajahnya menciptakan gelombang emosi di antara kami. Dalam keheningan ruangan, dia menyentuh kaca dengan lembut, seolah-olah mencoba meraih tanganku yang terikat.

“Lia … Dengarkan …” Kataku dan Lia mengangguk, matanya mencerminkan keingintahuan. “Aku ingin kamu menelepon Toni, dia sahabatku. Nomor kontak Toni, sahabatku itu, ada di buku telepon merah di buffet televisiku. Aku ingin kamu menghubunginya, memberitahu dia bahwa aku memerlukan pertolongannya. Beritahu Toni untuk membantumu menemui Kapolda Jaya. Gunakan kekuatanmu, Lia. Gunakan kemampuan membaca masa lalumu untuk memengaruhi Kapolda Jaya, bukalah mata mereka terhadap fakta yang sebenarnya. Aku meyakini kau dapat melakukan ini. Aku mempercayakan ini padamu. Percayalah pada dirimu sendiri, dan lakukan yang terbaik. Aku tahu kamu mampu.”

Aku memandangnya dengan harapan, seakan memberinya kepercayaan dan kekuatan untuk melangkah maju. Lia tampaknya mengerti, dan aku yakin pesanku mencapai tujuannya melalui pertemuan yang singkat di balik kaca tembus pandang penjara ini.

“Angga … Sebaiknya kamu menelepon keluargamu di Portugal.” Lia memberikan saran.

“Tidak … Aku bahkan tidak mau mereka tahu. Aku tidak ingin merepotkan mereka.” Jawabku tegas menolak.

“Tapi dengan kekuatan mereka, kamu akan segera bebas.” Katanya bersikukuh.

“Aku lebih baik di penjara dulu. Aku sangat berharap kamu yang mengeluarkanku.” Ucapku sambil tersenyum.

“Aku tidak ingin kamu di sini. Aku ingin kamu cepat keluar dari sini.” Lia mulai terisak-isak.

“Kamu jangan mengkhawatirkan aku. Lia … Penjara tidak seburuk yang kamu kira.” Aku coba menghiburnya.

“Waktu kunjung selesai!” Terdengar suara aparat memperingatiku.

“Lia … Aku menunggu kabarmu.” Kataku sambil menyimpan gagang telepon di tempatnya.

Lia terlihat mengatakan sesuatu, tetapi aku hanya tersenyum dan mengangguk sebagai tanggapan. Dengan hati yang berat, aku bangkit dari kursi, meninggalkan tempat dudukku di ruangan besuk. Pintu berat dengan bunyi berdentang menutup di belakangku saat aku melangkah keluar. Baru beberapa langkah dari pintu ruang besuk, aku berpapasan dengan Dimas, teman seperjuanganku di balik jeruji besi. Rupanya, dia juga mendapat kunjungan dari seseorang. Tatapan kita saling bertemu, dan meskipun terbersit keinginan untuk bertukar kata-kata, kenyataannya kita hanya saling pandang dan berlewatan begitu saja.

Aku diikuti oleh dua orang polisi yang setia sebagai pengawal. Mereka membimbingku kembali ke kamar penjaraku yang sempit. Begitu pintu penjara tertutup, aku membaringkan tubuhku di lantai yang beralasan tikar. Dalam kegelapan ruangan yang terbatas ini, aku mencoba menemukan kedamaian, memejamkan mata, dan mencoba menikmati setiap helaan nafas dalam hidup baruku yang penuh liku ini.

Tak terasa aku terlelap, tenggelam dalam kedamaian alam mimpi yang menyajikan dunia yang jauh dari jeruji besi dan hiruk-pikuk penjara. Suasana tenang memelukku, dan aku merasakan kelegaan dalam pelukan mimpi. Namun, segala ketentraman itu seketika sirna saat teriakan histeris Dimas merusak kedamaianku. Aku terperanjat dan segera bangun dari terbaringku, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

Langkah tergesa-gesa membawaku menuju sumber teriakan, dan ketika aku tiba di tempat asal suara tersebut, pemandangan yang kuhadapi membuat hatiku terasa berat. Dimas bersujud di lantai, sambil menangis keras, meratapi kesedihannya yang mendalam. Ekspresi wajahnya mencerminkan keputusasaan yang tak terkira, dan suara tangisannya sungguh melukai hati. Aku berdiri di tempat, tak tahu apa yang terjadi, namun tak sanggup untuk melihat Dimas dalam keadaan yang hancur seperti itu.

“Dimas …” Kataku selembut mungkin sambil berjongkok lalu menyentuh punggungnya perlahan.

“Hiks … Hiks … Hiks … Ini tidak adil … Ini tidak adil …” Suara tangisnya benar-benar memilukan.

“Tenangkan dirimu … Tenangkan dirimu, Dimas …” Aku coba menentramkan hatinya.

Dimas seakan tidak mendengar kata-kataku. Sujudnya di lantai penjara terasa begitu dalam, tak ada kata-kata yang bisa merentang kesedihan yang menghantamnya. Tangisan histerisnya merobek keheningan ruang penjara, menggema di dinding-dinding dingin sel. Meskipun aku berbicara dengan lembut, mencoba memberikan dukungan, namun sepertinya kata-kata itu hilang di tengah-tengah keputusasaannya.

Akhirnya, aku hanya bisa memperhatikannya, merasakan kepedihan yang melekat pada dirinya, tak mampu membaca isi hatinya yang tengah dilanda duka. Wajah Dimas yang hancur oleh tangisan menjadi bayangan yang tak terlupakan. Aku merasakan setiap butiran air mata yang jatuh dari matanya membawa cerita sedih yang begitu dalam.

Tak ada yang bisa kuucapkan untuk meredakan rasa sakit pria itu. Aku hanya bisa menunggu, menunggu hingga kesedihan Dimas mereda sedikit demi sedikit. Dalam keheningan yang terengah-engah oleh tangisan, aku menjadi saksi bisu atas penderitaan Dimas. Hanya doa-doa yang terselip di benakku, berharap bahwa suatu saat, kegelapan yang memayungi hatinya akan pudar, dan cahaya harapan akan menemukannya kembali.

“Aku bersumpah atas nama Yang Maha Kuasa … Aku akan membalasnya … Aku akan membalasnya …” Lirih Dimas di sela tangisan sambil masih bersujud.

“Kamu tenangkan dirimu. Apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Sebagai manusia kita hanya bisa menerima segala hal yang terjadi pada hidup kita.” Ucapku pelan.

Dimas malah terus menangis. Kesedihannya seperti gelombang lautan yang tak berkesudahan, menghantamnya tanpa henti. Setiap tangisannya adalah seruan batin yang merobek hatinya. Di setiap helaan nafasnya, terasa beban kesedihan yang begitu berat, memenuhi setiap celah di ruang kecil penjara ini. Sujudnya di lantai adalah pengakuan bahwa beban yang dibawanya begitu besar, hingga membuatnya tak mampu untuk berdiri tegak di hadapan penderitaannya sendiri.

Aku merasa kehadiranku seolah tak berarti di tengah kepedihan yang melingkupinya. Setiap getar kesedihan yang terpancar dari dirinya sangat kuat, dan aku hanya mampu menjadi saksi bisu atas lautan duka yang menguburnya dalam hampa. Tak ada kata-kata yang mampu menghentikan tangisannya, dan aku merasa seakan terdampar di pantai kesedihan, memandang ombaknya yang terus menghempas, tak tahu kapan akan reda.

Hujan pun ada redanya, begitu pula tangisan Dimas. Pria itu, yang sebelumnya terhempas oleh gelombang kesedihan, kemudian duduk bersila sambil mengatur nafas. Wajahnya masih mencerminkan bekas-bekas kepedihan yang belum juga surut. Setetes demi setetes, air mata jatuh membentuk deretan kepingan kepedihan yang tak terhitung banyaknya. Aku memilih diam, merasa bahwa kata-kata tak mampu menghilangkan jejak kesedihan yang terukir di wajahnya. Hanya dengan membiarkan waktu berbicara, aku berharap Dimas bisa menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri. Aku memberinya ruang untuk merenung dan merangkai kembali pikirannya yang kacau.

Sampai akhirnya, setelah lima menit yang terasa seperti satu abad, Dimas membuka matanya. Sorot mata pria itu, yang sebelumnya dipenuhi kepedihan, kini memandangku dengan keadaan yang lebih tenang. Aku melihat refleksi kekuatan yang tumbuh dari dalam dirinya, meskipun bekas-bekas luka emosional masih terlihat di mata yang masih basah.

“Nenekku meninggal dunia gara-gara mengetahui aku di penjara. Jantungnya yang lemah tidak kuat menahan keterkejutan dan kesedihannya. Ini semua gara-gara orang yang membuatku berada di sini. Siapa pun orangnya, aku bersumpah akan mencabut nyawanya. Nyawa harus dibayar dengan nyawa.” Ucap Dimas dengan gerahamnya yang mengeras. Wajahnya yang sebelumnya dipenuhi oleh gelombang kesedihan, kini berubah menjadi medan pertempuran emosional yang dipenuhi kemarahan yang dahsyat.

"Dimas," ucapku dengan suara lembut, mencoba menembus gelombang kemarahannya. Aku mengerti bahwa kekecewaanmu menimbulkan rasa marah yang mendalam, tapi hendaknya kamu berpikir tenang. Membalas dengan kekerasan tidak akan membawa keadilan yang sejati. Jika kamu menyimpang dari jalur hukum, konsekuensinya bisa sangat berat. Berpikir lah lebih jernih. Kamu bisa mencari jalan yang benar, tanpa harus membawa bencana lebih besar."

"Aku sudah tidak peduli lagi, teman," ucap Dimas dengan suara yang berkobar-kobar, mencerminkan amarah yang mendalam. Matanya menyala seperti bara yang menyala, mencerminkan tekad yang bulat untuk menuntut balas. "Konsekuensi apa pun yang harus kuterima, aku rela menanggungnya. Aku tidak akan membiarkan mereka lepas begitu saja! Aku tak peduli lagi dengan aturan atau hukum yang ada. Mereka telah merenggut nyawa nenekku, membuatku kehilangan segalanya. Aku tak lagi berarti karena kelalaianku yang menyebabkan nenekku meninggal dunia. Aku akan melakukan apa pun. Mereka harus membayar atas apa yang mereka lakukan, biar pun itu berarti aku akan kehilangan segalanya. Aku bersumpah, mereka tak akan bisa luput dari balasanku!" Amarahnya tak lagi terkekang oleh logika atau akal sehat, dan tekadnya yang bulat memperlihatkan betapa dalamnya luka yang ia bawa.

Aku sekali lagi tak bisa berbuat apa-apa, melihat Dimas yang terbuai dalam amarah dan niat balas dendam yang membara. Aku mengerti betapa besar rasa kehilangan dan keadilan yang ingin dicapai Dimas, namun keinginan balas dendamnya hanya akan menambah luka. Seandainya gejolak jiwa Dimas bisa mereda, mungkin dia akan bisa melihat jalan keluar yang tidak hanya membawa kepuasan sesaat. Dalam hatiku, aku berharap, di balik badai emosinya, Dimas akan menemukan kedamaian dan kembali berpikir rasional.


#####



AUTHOR POV

Lia baru saja membuka pintu rumah Angga, saat langit senja menggantung di baliknya. Wanita itu segera bergegas ke ruang tengah, melangkah di atas lantai marmer yang tenang. Dengan langkah mantap, dia menuju buffet televisi yang terletak di pojok ruangan. Tak perlu mencari dengan keras, Lia dengan cepat menemukan buku telepon berwarna merah yang terpajang rapi di antara beberapa barang lainnya. Dia membuka halaman-halaman buku telepon dengan hati-hati hingga menemukan halaman yang dicarinya. Di bawah keterangan 'Toni - Sahabat Setia', nomor kontak sahabat Angga itu terpampang dengan jelas.

Tanpa ragu, Lia mengeluarkan smartphone miliknya dari tas tangan yang dijinjingnya. Dengan sangat yakin dan percaya diri, dia mengetik nomor Toni dan menekan tombol panggil. Bunyi dering ringtone memecah keheningan, dan Lia menunggu dengan harapan di hati. Setiap detik terasa panjang hingga suara di seberang telepon terdengar.

“Hallo …” Suara Toni terdengar.

“Apakah saya sedang berbicara dengan Toni?” Tanya Lia dengan suara penuh harap.

“Benar … Ini dengan siapa ya?” Tanya Toni dengan nada penasaran.

“Nama saya Lia. Saya asisten pribadi Angga. Saya memerlukan bantuan Mas Toni.” Ucap Lia tergesa-gesa.

“Oh ya? Dimana Angga?” Tanya Toni lagi.

“Angga sedang di penjara. Dia …” Lia tidak sempat meneruskan kata-katanya karena terpotong oleh keterkejutan Toni.

“Penjara?! Kenapa?! Ada apa?” Toni bertanya dengan beruntun suaranya begitu panik.

“Angga dituduh bandar narkoba. Polisi menemukan bukti pembelian heroin yang dilakukan Angga dan barang buktinya sudah di tangan polisi.” Jelas Lia.

“Itu tidak mungkin … Merokok saja tidak pernah, apalagi yang begituan. Ini ada kesalahan!” Suara tinggi Toni membuat Lia agak menjauhkan smartphone dari telinganya.

“Oleh karena itu, Angga meminta bantuanmu. Aku baru saja menjenguk Angga di kantor polisi dan meminta kamu membantunya.” Ungkap Lia pelan-pelan.

“Aku akan membantunya. Apa yang dia minta?” Tanya Toni sangat berapi-api.

“Angga memintamu untuk mempertemukan aku pada Kapolda Jaya.” Jawab Lia.

“Apa? Kamu?” Toni benar-benar ragu dengan ucapan Lia.

“Ya … Itu yang Angga bilang padaku.” Tegas Lia.

“Maaf ya Lia … Aku orangnya realistis dan harus jelas. Kenapa Angga memintaku untuk mempertemukanmu dengan Kapolda Jaya?” Tanya Toni tak percaya.

“Aku tidak bisa memberitahumu. Sekarang lebih baik, kamu percaya saja padaku.” Lia mulai kesal.

“Em …” Hening beberapa detik dan akhirnya Toni berkata, “Baiklah, aku akan mempertemukan kamu dengan Kapolda Jaya. Posisimu dimana sekarang?” Tanya Toni kemudian.

“Aku di rumah Angga.” Jawab Lia singkat.

“Tunggu di sana. Satu jaman aku sampai.” Tukas Toni sambil menutup sambungan telepon.

Lia dengan cermat memasukkan nomor kontak Toni ke dalam ponsel pintarnya. Setelah menyimpannya dengan teliti, dia menutup buku telepon dan hendak mengembalikannya ke tempatnya. Namun, tiba-tiba, mata Lia terhenti dan teringat akan sesuatu, yaitu kakak Angga yang bernama Faiz. Segera saja, Lia mencari nomor kontak Faiz di dalam buku telepon tersebut. Setelah menemukannya, Lia memasukan juga nomor kontak Faiz ke dalam ponselnya.

Dengan temuan nomor Faiz di tangan, Lia terdiam sejenak. Pikirannya melayang-layang dalam pertimbangan, apakah dia akan menyertakan Faiz dalam perjalanan mencari kebenaran ini? Sejenak, pertanyaan itu melayang di benaknya, dan dia merenung, memikirkan konsekuensi dari setiap langkah yang akan diambilnya. Setelah berpikir beberapa saat, Lia memutuskan untuk menunda rencananya untuk menelepon Faiz.

Lia kembali menyimpan buku telepon di tempatnya semula. Namun, tiba-tiba selembar kertas jatuh dari buffet, akibat pergeseran buku-buku yang terdorong oleh buku telepon. Mata Lia memperhatikan kertas yang turun dengan pelan, dan tanpa ragu, dia menangkapnya dengan jari-jarinya yang halus. Ketika kertas itu terbuka, kejutan tergambar di wajah Lia. Ternyata, itu adalah foto Angga dan Dewi yang masih terlihat sangat muda. Sorot mata mereka penuh keceriaan, dan senyuman di wajah mereka mengisyaratkan kisah cinta yang indah. Lia memastikan kalau ini adalah foto lama, mungkin diambil saat mereka masih berpacaran.

Dengan lembut, Lia membawa foto itu ke sofa, membiarkan kenangan masa lalu mereka meresap ke dalam kalbunya. Dia duduk di sofa dengan hati yang terasa sangat kelam, memandang foto itu sambil tersenyum getir. Foto itu menjadi jendela bagi Lia masuk ke dalam sejarah Angga dan Dewi di masa silam. Dengan hati penuh pertimbangan, Lia memilih untuk menelusuri masa lalu Dewi. Dia merasa bahwa jawaban atas segala pertanyaan dan teka-teki yang melibatkan Angga mungkin tersemat dalam jejak-jejak perjalanan Dewi. Dengan konsentrasi tinggi, Lia memulai perburuan kenangan.

Lia membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu Dewi, mencoba memahami setiap detailnya. Menggunakan kemampuannya membaca masa lalu, ia menelusuri jejak Dewi saat masa muda, ketika Angga dan Dewi pertama kali bersentuhan dengan cinta. Namun, seiring perjalanan penerawangannya, sesuatu yang gelap mulai muncul. Dewi memang telah berselingkuh saat dia masih menjadi istri Angga. Tak lama setelah itu, Lia menemukan suatu kebenaran yang mengejutkan. Dewi kini tergambar sebagai perancang jebakan licik. Lia melihat Dewi dan seorang pria selingkuhannya sebagai perancang skenario yang menjebak Dimas dan Angga, menjadikan keduanya sebagai tersangka kejahatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan.

Terdapatnya bukti dan rencana jahat ini menciptakan kemarahan di hati Lia. Ia merasa bertanggung jawab untuk membongkar kebenaran yang terkubur dalam kelamnya masa lalu Dewi, sekaligus melindungi Angga juga Dimas dari jebakan Dewi dan selingkuhannya. Dengan tekad yang semakin kuat, Lia bersiap untuk mengekspos kebusukan yang tersembunyi, membawa keadilan kepada Angga dan Dimas yang telah menjadi korban dari perangkap yang dirancang dengan dingin oleh Dewi dan selingkuhannya.

Waktu berjalan dengan cepat, tiba-tiba kesunyian yang menyelimuti ruangan Lia terputus oleh suara bel rumah yang berdenting dengan keras. Hati Lia berdegup kencang, dan dalam sekejap, harapannya berkobar. Lia berharap yang datang adalah Toni, sahabat Angga yang akan membantu dalam pencarian kebenaran ini. Dengan cepat, Lia meninggalkan kursi di ruang tengah yang sebelumnya membuatnya terhibur oleh acara televisi.

Dengan langkah yang cepat, Lia melangkah ke ruang depan dan membuka pintu. Tampak seorang pria jangkung yang kurus berdiri di depannya, dengan topi yang bertengger di kepala. Si pria langsung membungkuk sambil tersenyum ramah, dan langsung dibalas Lia dengan sikap yang sama. Senyum penuh keakraban terpancar di wajah mereka, seolah-olah sudah saling mengenal meskipun baru pertama kali bertemu.

“Lia?” Tanya si pria jangkung kurus kering tersebut

“Toni?” Balas Lia.

Langsung saja keduanya saling berjabatan tangan. Saat itu Toni langsung mengajak Lia, “Sebaiknya kita pergi sekarang sebelum hari terlalu malam.”

“Baik …” Sahut Lia.

Toni dan Lia segera meluncur ke tempat kediaman Kapolda Jaya dengan menggunakan mobil tua yang terawat milik Toni. Meskipun usianya terbilang tua, mobil itu memiliki kekuatan dan ketangguhan yang membuatnya menjadi kendaraan andalan bagi Toni. Dalam perjalanan, Toni menuturkan bahwa dirinya sangat mengenal Kapolda Jaya, bahkan beberapa furniture di rumah Kapolda Jaya merupakan hasil karyanya. Toni mengungkapkan bahwa mereka masih menjalin hubungan baik hingga saat ini.

"Kapolda Jaya adalah pelanggan setiaku. Beberapa karyaku masih ada di rumahnya, dan aku senang dapat membangun hubungan yang berkelanjutan," kata Toni dengan rasa bangga.

Mendengar keterangan tersebut, Lia merasa semakin yakin bahwa Toni dapat membantu dalam misinya mencari kebenaran. Sambil menikmati hembusan angin saat mobil melaju, Toni akhirnya bertanya, "Lia, apa rencanamu ketika bertemu dengan Kapolda Jaya? Apa yang akan kamu lakukan?"

Lia tersenyum misterius, "Nanti, Toni, kamu akan tahu sendiri." Jawaban singkat itu meninggalkan nuansa misteri, dan Toni, dengan rasa penasaran yang menggelora, hanya bisa mengangguk, menunggu apa yang akan terjadi di balik pintu rumah Kapolda Jaya.

Sekitar satu jam di perjalanan, akhirnya Toni dan Lia sampai di tempat yang mereka tuju. Toni dan Lia melintasi gerbang setelah melewati pemeriksaan ketat oleh aparat kepolisian. Mobil Toni berhenti di sebuah halaman yang dipenuhi dengan mobil-mobil lain yang terparkir rapi. Dengan hati-hati, mereka keluar dari mobil dan melangkah ke teras rumah yang dijaga oleh seorang petugas keamanan. Setelah memberi tahu maksud kedatangan mereka kepada penjaga, Toni dan Lia diizinkan masuk dan dibawa ke dalam rumah. Ruangan yang luas menyambut mereka, dan mereka dipersilahkan duduk di sofa besar dan elegan oleh penjaga tersebut. Sementara mereka menunggu, penjaga meninggalkan ruangan menuju bagian dalam rumah. Tidak berapa lama kemudian, pintu tengah rumah terbuka, dan seorang pria berwibawa keluar. Dialah Kapolda Jaya bernama Hendarto. Toni dengan cepat berdiri, diikuti oleh Lia, sebagai tanda hormat atas kedatangan orang yang sangat dihormati itu.

"Ah, ternyata kamu, Ton... Lama kita tidak bersua..." sambut Hendarto dengan ramah.

"Benar, Pak... Mungkin sudah tiga bulan," jawab Toni sambil membungkuk dan menyalami Hendarto, yang menjabat sebagai Kapolda Jaya.

"Dan ini?" tanya Hendarto sambil menyodorkan tangannya kepada Lia.

"Saya Lia, Pak..." jawab Lia dengan senyuman lembutnya.

"Silahkan," ujar Hendarto mempersilahkan Toni dan Lia untuk duduk kembali.

Di ruangan yang sejuk itu, Hendarto, Toni, dan Lia duduk bersama, menciptakan suasan yang hangat meskipun tetap terasa oleh kecanggungan awal. Percakapan pun berlanjut, mereka berbincang-bincang tentang berbagai hal. Keakraban tumbuh di antara mereka seiring berjalannya waktu, dan kecanggungan yang ada mulai berubah menjadi suasana yang lebih santai dan akrab.

“Jadi … Apa yang membawa kalian datang ke rumah ini?” Tiba-tiba Hendarto membuka percakapan serius.

“Begini, Pak. Maksud saya datang ke sini adalah untuk meluruskan kejadian yang menimpa sahabat karib saya. Dia dituduh melakukan kejahatan narkotika, dan dia sekarang ditahan di Polda. Saya ingin mengatakan keyakinan saya, kalau sahabat saya itu tidak mungkin melakukan hal sebodoh itu. Saya sangat yakin ada yang salah dengan penangkapan sahabat saya itu.” Jelas Toni penuh keyakinan.

“Hhhmm … Ada dua orang yang kami tangkap terkait kasus narkotika. Siapa nama sahabatmu itu?” Tanya Hendarto sambil mengangguk-anggukan kepala.

“Angga, Pak.” Jawab Toni singkat.

“Ya, aku memang menahan sahabatmu itu yang bernama Angga. Tapi harus kamu ketahui, kepolisian bekerja berdasarkan alat bukti yang valid. Kemungkinan kesalahan sangat kecil, dan kami berusaha menjaga keadilan sebaik mungkin. Tetapi jika kamu merasa yakin kalau temanmu itu tidak bersalah, apakah kamu punya bukti atau informasi yang bisa menguatkan sangkaanmu itu?" Ucap Hendarto bijaksana memberi kesempatan pada Toni untuk membuktikan pernyataannya.

Toni pun menengok pada Lia di sampingnya. Lia tahu kini saatnya dia beraksi, “Pak … Saya tahu ini mungkin diluar nalar, tapi saya harap Bapak percaya kalau saya memiliki kemampuan melihat kejadian atau peristiwa masa lalu. Saya bisa membuktikannya kepada Bapak. Sekali pun ini mungkin terdengar aneh atau sulit dipercaya, jika Bapak berkenan ijinkan saya membuktikan kemampuan saya ini kepada Bapak.” Lia menyampaikan pengakuannya dengan penuh kehati-hatian, sambil memandang Hendarto dengan mata penuh keyakinan.

Hendarto menatap Lia dalam, keningnya mengkerut tanda sedang berpikir. Tak lama dia mangut-mangut. “Kemampuan seperti itu sudah lama aku dengar. Aku mengakui memang ada orang yang mempunyai membaca masa lalu. Kalau begitu, saya ingin membuktikan pengakuanmu itu. Buatlah aku yakin kalau kamu bisa menerawang masa silam.”

Lia bergeser duduk mendekati Hendarto, “Boleh saya pinjam tangan Bapak?”

Hendarto pun menyodorkan tangannya pada Lia, dan dengan penuh keyakinan, Lia menyambutnya. Tangannya yang kuat bersentuhan dengan tangan yang lembut milik Lia. Mereka saling memandang, dan tanpa banyak kata, Hendarto memberikan izin pada Lia untuk memulai. Lia mulai berkonsentrasi, menutup matanya sejenak sambil memetakan kemampuannya membaca peristiwa masa silam. Seiring dengan proses konsentrasi, Lia mulai membuka pintu dunia masa lalu. Bayangan-bayangan kehidupan masa lalu Hendarto tampak jelas di benak Lia. Dia melihat kilasan-kilasan kejadian yang membentuk pribadi Kapolda Jaya tersebut.

Beberapa menit berselang, Lia menemukan pengalaman hidup Hendarto yang sangat menarik. Cerita perjalanan hidup, tantangan yang dihadapi, hingga momen-momen penting dalam kariernya sebagai seorang polisi tergambar begitu hidup di hadapan wanita itu. Lia akhirnya melepaskan tangan Hendarto sambil tersenyum. Kini, di wajahnya terpancar rasa penghormatan dan pengertian yang lebih dalam terhadap sosok Hendarto.

“Apa yang kamu lihat?” Tanya Hendarto penasaran.

“Saat Bapak menjabat Kapolres Bandung Selatan, ada seseorang yang bernama Dedi berusaha menyogok Bapak untuk memberikan izin membuka pabrik bahan kimia, namun Bapak menolaknya karena pengusaha bernama Dedi ini tidak melakukan proses perijinan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bapak malah memberi ijin kepada pengusaha yang bernama Heru karena menurut Bapak Heru menjalani proses perijinan sesuai peraturan yang berlaku. Bapak mengambil risiko diberhentikan sebagai Kapolres karena Dedi adalah anak Gubernur Jawa Barat pada saat itu dan memiliki hubungan yang kuat dengan istana. Tetapi keberanian Bapak malah diapresiasi Presiden saat itu, dan Bapak mendapat anugerah penghargaan dari Bapak Presiden.” Jelas Lia mantap.

“Hhhmm … Kamu sampai bisa menyebut nama-nama orang itu. Sungguh mengesankan. Tapi, supaya tambah yakin, coba ceritakan lagi pengalaman hidupku yang lain. Oh ya, jangan yang jelek-jelek nanti ketahuan Toni.” Ujar Hendarto sambil tersenyum.

Tanpa ragu, Lia membuka cerita masa lalu Hendarto tentang kehidupan percintaannya, karier, dan pengabdiannya selama ini di institusi kepolisian yang penuh dengan penghargaan dan dedikasi. Setiap detik membawa mereka melintasi kilas balik yang memperlihatkan keberanian, keteguhan hati, dan ketekunan Hendarto dalam menjalani berbagai lika-liku kehidupan. Lia menjadi penutur sejarah atas setiap pengorbanan dan perjuangan yang membentuk sosok Hendarto menjadi pemimpin polisi yang dihormati.

Tak ayal, Hendarto sangat yakin dengan kemampuan Lia yang ajaib itu. Kehadiran Lia, dengan cara uniknya membuka lembaran-lembaran masa lalu, membuat Hendarto merasa yakin Lia memang memiliki kemampuan membaca masa lalu dengan sangat akurat. Lia bukan hanya bisa menguraikan kejadian semata, namun dengan nama, waktu, dan hal-hal kecil terurai dengan sangat tepat. Ketika Lia menguraikan detail-detail masa lalunya, Hendarto merasakan getaran keyakinan yang semakin memperkuat kepercayaannya. Keyakinan Hendarto pada kemampuan Lia bukanlah sekadar harapan kosong; Hendarto melihatnya sebagai kunci untuk membongkar rahasia yang mungkin bisa menjadi solusi bagi kasus yang sedang dihadapinya.

“Baiklah … Aku sekarang percaya seratus persen padamu. Sekarang, ceritakan! Apa yang kamu lihat dalam kasus sahabatmu, Angga.” Ucap Hendarto yang tentu saja disambut gembira oleh Lia dan Toni.

"Dalam hasil penerawang saya, Angga dijebak oleh mantan istrinya yang bernama Dewi. Dan Dewi tidak bekerja sendiri, dia memiliki seorang partner dalam melakukan jebakan ini. Saya tidak tahu nama partner Dewi, tapi yang jelas dia adalah rekan kerja Dewi. Saya melihat keduanya menggunakan teknologi komputer, mungkin semacam hack, meski saya tidak tahu pasti. Dewi dan partnernya merancang agar seolah-olah Angga membeli narkotika, padahal sebenarnya Angga tidak melakukannya," jelas Lia dengan penuh keyakinan.

“Hhhmm … Aku bisa menangkap penjelasanmu. Ya, baiklah. Aku akan coba menelusuri modus kejahatan siber ini. Mudah-mudahan segera terungkap siapa yang benar-benar bersalah.” Ujar Hendarto.

“Terima kasih, Pak … Terima kasih atas perhatian dan pengertiannya …” Sambut Toni sangat senang.

Ketiga orang tersebut melanjutkan obrolan sekitar kejahatan siber yang sedang marak sekarang ini. Hendarto memberikan pandangan tentang tantangan yang dihadapi oleh aparat kepolisian dalam menghadapi perkembangan teknologi, sementara Toni dan Lia menyimak dengan serius. Pada saat itu, Toni dan Lia merasa lega karena mendapatkan dukungan dari Kapolda Jaya yang bertekad untuk mengumpulkan bukti-bukti guna membuktikan ketidakbersalahan Angga.

Tak lama kemudian, Toni dan Lia pamit undur diri dan segera meninggalkan rumah Kapolda Jaya. Di dalam mobil, Toni mengekspresikan kekagumannya pada pengetahuan dan kebijaksanaan Hendarto dalam mengatasi masalah kejahatan siber. Selain itu, Toni terus-terusan memuji kemampuan Lia dalam membaca masa silam seseorang. Lia tersenyum, berterima kasih atas pujian Toni, dan menceritakan beberapa pengalaman membantu orang lain dengan kemampuannya. Mereka berdua bercanda dan tertawa hingga tak terasa mereka sudah sampai di rumah Angga. Langsung saja mereka berpisah, Toni pulang ke rumahnya sementara Lia masuk ke dalam rumah Angga.


#####



DEWI POV

Entah apa yang aku rasakan saat ini. Mataku terus menatap layar televisi, namun pikiranku melayang-layang tanpa arah yang pasti. Berita tentang penangkapan Angga dan Dimas oleh polisi atas tuduhan kejahatan narkotika masih menjadi berita utama walau sudah lewat tiga hari, dan seiring dengan berita tersebut, otak dan hatiku rasanya seperti sedang berperang. Apakah aku harus senang atau menyesal? Entahlah, aku tidak tahu perasaan hatiku yang sesungguhnya. Tetapi aku akan berusaha agar hatiku benar-benar nyaman dengan situasi yang sedang kuhadapi saat ini.

Saat aku tengah merenung dalam lamunan, tiba-tiba pintu kamar ibu terbuka dengan gemerincing pelan. Ibu keluar kamarnya dengan langkah gontai, ekspresi ibu terlihat lelah dan mukanya sembab karena air mata yang baru saja mengalir. Suasana seketika menjadi hening saat ibu duduk di sofa tunggal, memilih tempat yang tak jauh dariku. Tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya, ibu hanya memandangi wajahku dengan tatapan penuh kelembutan namun dalam. Aku merasa ada beban yang berat di antara kami, dan ketika mata kami bertemu, terasa ada sesuatu yang tidak mengenakan.

“Apakah ibu sedang menangisi Angga?” Tanyaku dengan suara tidak senang.

"Ya …” Jawab ibu singkat.

“Ya, aku tahu … Tapi kenapa ibu malah menjauhkan aku dengan Angga? Kenapa ibu malah menjadi pemuas nafsunya?” Tanyaku sengit tetap menyalahkan ibu berhubungan seks dengan Angga.

“Angga itu benar-benar manusia tak biasa," ujar ibu dengan tatapan sedih. “Ibu mendapatkan pasangan seks yang bisa memuaskan ibu.” Jawabnya di luar dugaan.

“Tapi kenapa, Bu? Apakah Ayah sudah tidak lagi bisa memuaskan ibu?” Tanyaku dengan dada terasa sesak.

“Ayahmu sudah tua, dan gairahnya sudah sangat menurun. Tapi bukan itu alasan utamanya. Ibu hanya ingin memperlihatkan padamu, bagaimana caranya mempunyai hubungan lain di luar pernikahan resmi.” Ibu terus menatapku.

“Maksudnya?” Aku heran dengan penuturan ibu.

“Ibu ingin agar kamu dengarkan perkataan ibu ini dengan hati yang terbuka. Pertama-tama, ibu harus mengakuinya secara terus terang. Ya saat ini, ibu memiliki hubungan khusus dengan Angga, dan kami sudah tidur bersama. Sebelum melangkah ke sana, ibu meminta izin terlebih dahulu kepada ayahmu. Ayahmu, dengan bijaksana, menilai kalau kejujuran ibu adalah sikap sportif, sehingga dia mengizinkan ibu untuk menjalin hubungan dengan Angga.” Ucap ibu cukup mengejutkanku.

“Jadi ayah tahu?” Tanyaku tidak percaya.

“Ya, ayahmu tahu. Ibu ingin membuka kembali pengalaman hidupmu sebagai istri Angga. Kamu telah melakukan kesalahan yang sangat serius dengan berselingkuh. Ibu dengan sangat menyesal harus mengatakan kalau perbuatanmu itu adalah pengkhianatan yang keji terhadap Angga. Kamu telah membohongi dan merusak kepercayaannya. Ibu tidak ingin menggurui, tetapi ibu merasa perlu membandingkan hubungan khusus ibu dengan Angga dibandingkan perbuatanmu. Hubungan khusus ibu didasari oleh kejujuran, sedangkan perselingkuhanmu dilandasi oleh kebohongan.” Ungkap ibu lumayan nyelekit di hati.

Tak lama, ibu melanjutkan, “Kesalahan fatalmu adalah perselingkuhan dan pengkhianatan. Sayangnya, kamu memandang kesalahan itu sebagai kebenaran. Dan apa yang terjadi kemudian adalah siapa saja yang menyalahkan kesalahanmu yang kamu anggap kebenaran itu, kamu akan menjadikannya sebagai musuh besar. Dan Angga lah orangnya, maka kamu selalu menganggap Angga sebagai musuh besarmu.”

Saat aku mencoba meresapi perkataan ibu, sejelas-jelasnya tergambar di hadapanku mengapa aku selalu merasa marah pada Angga. Jawabannya, ternyata, begitu sederhana namun melekat erat dalam kehidupanku. Aku selalu menganggap Angga sebagai musuh besar, bukan karena tindakanku yang salah, tetapi karena peraturan dan larangan yang selalu diterapkannya padaku. Angga membatasi kebebasanku dengan melarangku bekerja, dan itulah yang selama ini aku salahkan. Aku mulai menyadari bahwa sebenarnya, kesalahan tidak terletak pada Angga, melainkan pada pandanganku yang keliru. Dalam upaya untuk mempertahankan hubungan ini, aku melupakan nilai-nilai kejujuran dan menganggap Angga sebagai penghalang kebahagiaanku.

“Aku mengerti sekarang. Ya, aku mengakui kalau aku yang salah.” Ucapku pelan.

“Sudah terlambat … Sangat terlambat …” Ungkap ibu sambil meneteskan air mata.

Aku menyadari betapa terlambatnya pengakuan atas kesalahan yang telah kuperbuat. Kini, di tengah reruntuhan, tak ada harapan lagi untuk memperbaikinya. Aku menyadari bahwa tidak ada jalan kembali, tidak ada cara untuk mengembalikan waktu yang terlewati. Ucapan ibu, semua kata-katanya tidak ada yang salah, semuanya benar. Terutama saat beliau berbicara tentang penyesalan. Sebenarnya, aku selalu berusaha untuk tidak menyesal dengan semua keputusanku, tetapi sekarang, rasa penyesalan itu ada di hatiku. Tapi tidak, aku tidak ingin menyesal, aku ingin tegar. Angga hanyalah masa lalu yang sudah aku pilih berlalu.

“Sejujurnya, ibu merasa sangat sedih melihat Angga seperti sekarang ini. Dia dipenjara dengan tuduhan kejahatan yang tidak dia lakukan. Siapa pun yang melakukannya, ibu mendoakan agar mendapatkan balasan yang setimpal. Ibu yakin setiap perbuatan selalu ada konsekuensinya, dan ibu sangat yakin di alam ini tidak ada ganjaran maupun hukuman; yang ada hanya konsekuensi." Kata ibu lalu bangkit dan pergi begitu saja ke kamarnya sambil menangis sesegukan.

Kembali aku merenung, terperangkap dalam lamunan setelah mendengar kata-kata ibu yang tiba-tiba membicarakan konsekuensi. Tubuhku tiba-tiba merinding, getaran dingin merambat di kulit setiap kali mengingat ucapan beliau. Ada sesuatu yang tak terdefinisi, suatu ketakutan yang mulai menghantui pikiranku. Aku berusaha meredam kecemasan dengan memejamkan mata. Pikiranku berusaha menghalau bayangan-bayangan menakutkan, gambaran konsekuensi yang begitu tajam dan menyeramkan. Aku berbicara pada diriku sendiri, mencoba meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja, bahwa keputusan yang kubuat tidak akan merusak segalanya. Namun, keraguan dan kekhawatiran makin terasa bergelayut di hati, menciptakan riak gelap di tengah keyakinan palsu yang kubangun.

Aku duduk termenung di ruang tengah yang sunyi, hanya diisi oleh bisikan angin lembut dari jendela terbuka. Pikiranku melayang entah ke mana, menyusuri lorong-lorong hari-hari kemarin yang menempel di dinding hati. Tanpa diduga, bel rumah berdenting, memecah keheningan yang kudiami. Aku mencoba menyingkirkan kegalauan yang menyelinap di benakku dan bergegas mendekati pintu. Setelah sampai, aku membukanya perlahan. Di hadapanku, tampak tiga sosok polisi dengan seragamnya yang mengintimidasi. Pandangan mata mereka begitu menakutkan, menciptakan kekhawatiran di sudut hatiku yang paling tersembunyi. Inspektur polisi yang berdiri tepat di depanku menatap dengan serius. Aku merasa gemetar ketika dua anggota kepolisian yang lain berdiri di sampingnya, menyusun barisan yang mengancam di ambang pintu.

“Selamat siang … Saya Inspektur Utama Surya. Apakah saya sedang berhadapan dengan Ibu Dewi Ardiningrum?” Tanya polisi yang berada tepat di depanku.

“Be..benar …” Jawabku dengan hati yang bergetar. “Ada apa sebenarnya?” Tanyaku kemudian sambil merasakan gelagat yang tidak baik.

“Kami datang berdasarkan informasi yang kami terima tentang keterlibatanmu dalam kejahatan siber. Ini surat tugas kami. Kami harus membawamu untuk pemeriksaan lebih lanjut.” Ucap sang Inspektur membuat seluruh tubuhku melemas.

“A..apa? Ke..kejahatan siber? Sa..saya tidak tahu apa-apa! Kenapa saya dituduh seperti ini?” Kataku dengan suara yang gemetar. Rasa takut yang luar biasa melibas diriku, membanjiri tubuhku dengan dingin yang menusuk tulang.

“Kami punya bukti yang cukup, Dewi. Jangan mencoba mengelak. Semua yang Anda katakan akan dicatat dan bisa digunakan dalam proses hukum.” Tegas sang Inspektur tanpa belas kasihan.

“Tidak … Itu tidak benar! Anda salah orang!!!” Aku berteriak histeris, suara gemetar dan isakan yang keluar dari bibirku seperti rentetan getaran tak terkendali.

Mataku mencari dukungan di sekitar, mencari wajah yang bisa menghapus kecemasan yang menghantui, tetapi yang kudapat hanyalah ekspresi dingin dari para petugas yang terus mengawasi setiap gerakanku. Hatiku berdegup liar, mencoba untuk melarikan diri dari kebingungan dan rasa takut yang semakin menghimpit.

"To..to..tolong, sa..saya tidak tahu apa-apa! Sa..saya tidak melakukan kejahatan apapun!" Ucapku lagi dengan suara yang serak, berharap kata-kata itu bisa menjadi mantra ajaib yang menghancurkan ilusi mengerikan ini. Namun, seruan penyangkalan itu hanya memantul kembali, memantik keputusasaan yang semakin dalam.

Sang inspektur menggelengkan kepala, seolah-olah dia sudah mengantisipasi reaksi seperti ini. "Semua akan dijelaskan di kantor polisi. Proses hukum akan membuktikan segalanya."

Dengan kepanikan luar biasa, aku mundur beberapa langkah, mataku membesar dan napasku terengah-engah. Aku merasa dorongan untuk melarikan diri dari hadapan para aparat kepolisian yang seakan-akan telah menggantungkan takdir hitam di hadapanku. Namun, sebelum aku bisa berbalik badan, tiba-tiba tanganku dipegang oleh salah satu aparat kepolisian tersebut. Hentakan kejut melintas di seluruh tubuhku, dan getaran panik menggelegar di dalam diriku. Aku berontak ingin melepaskan diri, mencoba berteriak-teriak meminta tolong pada ibuku yang terlihat berdiri di ambang pintu tengah. Dengan tatapan sedih dan mata yang berkaca-kaca, ibuku menangis melihatku, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Aku coba untuk terus memberontak, namun tenaga polisi itu begitu kuat, ditambah lagi sekarang aku dipegang oleh dua orang polisi yang berusaha menenangkan diriku yang semakin histeris.

Aku terus memberontak dengan berteriak histeris, berkata-kata bahwa aku tidak bersalah, tetapi suaraku tenggelam dalam ketidakberdayaan. Aku tidak berdaya, melawan tenaga dan kekuatan yang begitu besar. Pada akhirnya, aku dinaikkan ke dalam mobil polisi, dan dengan perasaan tunduk dan patah semangat, aku dibawa menuju kantor polisi. Di dalam mobil polisi, aku menyerah, hanya bisa menangis dan menerima kenyataan pahit yang kini menghantui di setiap detik hidupku.


#####



ANGGA POV

Sudah empat hari empat malam aku menginap di hotel prodeo ini. Hidup di penjara menjadi pengalaman yang sangat menyakitkan. Ruangannya terasa sempit, dingin, dan tanpa kebebasan. Selama hidup di penjara, yang dirasakan adalah perasaan jenuh dan ingin segera keluar. Penjara memang tempat yang menakutkan. Suasana hening di malam hari hanya diselingi oleh suara-suara dinding yang dingin dan terkadang teriakan dari sel-sel sebelah. Oleh karena itulah tidak ada orang yang mau hidup di penjara. Setiap sudut menyiratkan keterbatasan, dan setiap hari diisi dengan ketidakpastian.

Aku dan Dimas duduk termenung tanpa berkata-kata. Suasana di dalam sel ini begitu kelam dan hening. Kami merasakan siksaan jasmani dan rohani selama di penjara ini. Setiap hari terasa seperti menjalani kehidupan yang mengalir tanpa makna, dan kebebasan terasa menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya. Namun tiba-tiba, pintu penjara kami terbuka dan terlihat tiga orang polisi masuk ke dalam sel kami. Mereka memandang kami dengan serius, seakan membawa berita yang penting. Hatiku berdebar tidak menentu, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pintu yang terbuka itu menjadi sinar harapan, atau mungkin juga awal dari babak baru dalam kisah hidup kami di balik jeruji besi ini.

“Kalian berdua … Bersiap-siaplah untuk pulang ke rumah masing-masing. Status kalian sekarang bebas.” Ujar seorang polisi pada kami.

“Apa?!” Pekik Dimas sambil melompat kegirangan.

“Kalian menjadi orang bebas sekarang.” Ucap sang polisi kemudian berlalu. Sementara dua polisi lainnya menggiring kami ke sebuah ruangan untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.

Aku dan Dimas berteriak-teriak menyambut keputusan yang tidak terduga ini. Suara kegembiraan kami memenuhi sel, menggema di lorong-lorong dingin penjara. Harapan hidup kami kembali hadir, ketika kami keluar dari penjara. Pintu besi yang sebelumnya mengurung kami kini terbuka lebar, membebaskan kami dari belenggu yang menyiksakan selama ini. Kami cukup menderita di penjara dan hari ini kami menghirup udara kebebasan. Cahaya matahari terasa hangat di wajah kami, memancarkan kehangatan yang telah lama tak kami rasakan.

Setelah berpenampilan seperti orang biasa, kami langsung dibawa ke sebuah ruangan untuk menandatangani dokumen-dokumen tentang kebebasan kami dan kepolisian juga mengembalikan barang-barang kami yang mereka sita. Detik-detik itu menjadi momen penting yang menandai perubahan nasib kami. Setelah itu, kami digiring ke mobil polisi yang berbeda. Tak lama mobil polisi yang mengantarkanku melaju, mengantarkanku pulang ke rumah. Pemandangan jalanan yang familiar membawa aku kembali ke dunia luar yang telah lama terpinggirkan. Semua terasa begitu nyata dan tak terbayangkan, seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan.

Sesampainya di rumah, aku disambut Lia dengan pelukan hangat dan ciuman lembut. Senyumnya yang tulus dan matanya yang bersinar penuh kebahagiaan menyiratkan kerinduan yang lama terpendam. Lia begitu bahagia menyambut kedatanganku, dan aku merasa seperti kembali menemukan bagian dari diriku yang hilang beberapa hari ini. Beberapa menit kemudian, aku dan Lia melihat mobil polisi meninggalkan halaman rumahku, meninggalkan jejak keheningan. Suara mesin yang memudar membuatku merasa beban berat terangkat. Setelah mereka pergi, aku dan Lia bergegas ke ruang tengah. Kami duduk di sofa panjang bersebelahan.

Dengan pandangan mata yang berbicara lebih dari kata-kata, aku mulai bercerita pada Lia tentang pengalamanku selama di penjara. Pengalaman yang menyiksa dan menyedihkan, gambaran jauhnya diriku dari realitas yang dulu kusangka aman. Ceritaku membanjiri ruangan dengan rincian pahit, terkuaknya kehidupan gelap yang selama beberapa hari ini kurasakan. Lia duduk di sampingku, mendengarkan dengan penuh perhatian seakan mengerti setiap goresan luka yang terukir di hatiku. Lia merespon dengan tatapan penuh empati, matanya seperti mencerminkan derita yang aku rasakan.

"Kamu harus mensyukuri atas kebebasan yang kamu peroleh, Angga. Ini adalah anugerah yang tidak ternilai harganya.” Ucap Lia dengan menyentuh pipiku lembut.

Aku mengangguk setuju, "Aku tahu, Lia. Dan aku bersyukur sekali, terutama atas bantuanmu. Kau telah menyelamatkanku dari masa-masa sulit di penjara."

Dia tersenyum lembut, "Aku melakukannya karena aku sangat menyayangimu, Angga. Aku tidak bisa melihatmu terpuruk di sana tanpa melakukan sesuatu."

Hatiku hangat mendengar kata-katanya. "Terima kasih, Lia. Aku tidak tahu bagaimana cara aku membalas kebaikanmu."

Lia mendekat, dan tangannya kembali menyentuh pipiku. "Ini bukan tentang balasan, Angga. Aku melakukannya karena aku mencintaimu."

Senyuman terukir di wajahku, "Dan aku juga sangat menyayangimu, Lia. Kebebasanku akan terasa hampa tanpa kehadiranmu."

Tanpa kata-kata, aku memeluk Lia dengan penuh kasih sayang. Tubuh kami menyatu dalam kehangatan yang begitu meresap, seolah meruntuhkan dinginnya waktu yang terlewati. Lia membalas pelukanku dengan erat, seakan menyatakan bahwa kebebasan ini adalah milik kami berdua. Sesekali, kukecup dahinya sebagai ungkapan syukur dan terima kasih yang tak terungkapkan dengan kata-kata.


BERSAMBUNG
 
Makasih updatenya suhu. Baru kepikiran kenapa Angga gak mau merepotkan keluarnya di Portugal. Gue pikir emang gak elok juga merepotkan bapak tirinya yang baru menikah dengan ibunya. Masa baru aja menikah udah direpotkan masalah yang kayak beginian. Kalau gue jadi Angga pasti malu lah.
:mantap:
 
Ada 2 hal yg menarik suhu.
1. Sejak kapan lapas Indonesia pakai meja bertelpon seperti di Amerika? Seingat ane dulu kalo jenguk masih di meja bersekat dan hanya bisa bicara antar muka tanpa lihat ke samping.
2. Sejak kapan keluar dari penjara diantar pulang sama mobil patroli?? Kok dulu ane malah disuruh pulang jalan kaki, untung aja ada yg mau jemput. Sumpah, ini namanya pilih kasih. Mentang" Angga kaya dan tampan 😤

"Sayangnya, kamu memandang kesalahan itu sebagai kebenaran"

Sungguh kalimat yg penuh dengan makna.
Suwun updatenya suhu.
 
Ada 2 hal yg menarik suhu.
1. Sejak kapan lapas Indonesia pakai meja bertelpon seperti di Amerika? Seingat ane dulu kalo jenguk masih di meja bersekat dan hanya bisa bicara antar muka tanpa lihat ke samping.
2. Sejak kapan keluar dari penjara diantar pulang sama mobil patroli?? Kok dulu ane malah disuruh pulang jalan kaki, untung aja ada yg mau jemput. Sumpah, ini namanya pilih kasih. Mentang" Angga kaya dan tampan 😤

"Sayangnya, kamu memandang kesalahan itu sebagai kebenaran"

Sungguh kalimat yg penuh dengan makna.
Suwun updatenya suhu.
Ha hay ... Kebanyakan nonton film hollywood kali hu ...
Maaf, saya tidak pernah tahu kehidupan penjara hu ... Jadinya asal ada yang di kepala, langsung tulis saja.
Thanks atas masukannya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd