Perempuan itu haus perhatian. Memang banyak jalan menuju roma, banyak cara mendapatkan hatinya. Satu yang aku yakini betul, detail kecil kadang jadi pembeda. Terpesona di pandangan pertama, dan sejauh ini tak ada tanda-tanda penolakan, perjuanganku berlanjut.
Tidak pantas disebut perjuangan, sebenarnya. Lebih ke iseng iseng berhadiah. Tes kesaktian boleh juga. Aku tak terlalu peduli soal jarak umur. Dari interaksi lanjutan sekian bulan ini, kunilai tingkat kedewasaan Dewi sudah cukup. Umur mentalnya, tak jauh dariku.
Menjelang akhir tahun, bermodal pesan singkat, asal mengomentari status WA, serta sekian kali mampir ke bengkel, nyatanya muncul juga sinyal-sinyal positif.
Aku tak terlalu ingat bagaimana kedekatan kami dibangun. Salah satunya yang kuingat betul, adalah saat dia menawari sejenis produk kuliner yang dipromosikannya lewat WA. Yang kupahami, anak ini cukup ulet soal uang. Ada saja barang yang ditawarkan di macam-macam kanal media sosial.
Pas sekali, aku memang berniat membawa buah tangan untuk teman-teman kantor, akhirnya kukontak dia untuk order. Kata Dewi, jadi rekor orderan terbanyak yang ia terima.
Jadilah malam itu kami bercakap lewat telepon, sebagian besar soal bisnis. Kebetulan ada juga bahan logistik dari usaha sampinganku yang kupikir bisa ia manfaatkan.
Tak bisa terlalu detail mohon maaf, untuk melindungi privasinya
Seminggu berselang, kami berkencan. Masih dengan nuansa bisnis, aku memintanya ikut dalam pencarian satu komoditas. Seharian kami berkeliling. Menemui beberapa produsen dan distributor.
Betul dugaanku, Dewi memang terlatih untuk melobi. Menjelang sore, akhirnya kami mendapat info penting. Cukuplah perburuan ini.
Hari itu juga kutanyakan hal yang relatif cukup personal. Kenapa dia mau kuantar pulang saat baru kenal, sekian bulan yang lalu.
Semua hanya karena map. Map berkop instansi yang ada di jok depan mobilku. Memang ada surat yang bertanda tanganku di dalamnya. Kata Dewi, surat itu tak sengaja jatuh dan dia sempat sekilas membaca. Entah keisengan macam apa, dia juga browsing namaku di media sosial. Ah, ternyata aku sudah lolos verifikasi tingkat awal.
Hmm... berarti seharusnya dia juga sudah paham statusku, aku bukan single. Anehnya, tidak pernah ia menyinggung soal keluargaku, atau statusku. Tidak juga setelah sekian bulan terlewat. Aku berasumsi, Dewi tak peduli soal itu. Kemungkinan lain, dia memang pemain. Jika begitu, pastilah Dewi pemain profesional.