----------------------------------------------------------------
Cerita 15 – Gadisku
Chapter 1 – Affair Pertamaku
06/12/96, The true story begin..
Aku adalah seorang manajer di sebuah perusahaan multinasional yang cukup ternama di Jakarta.
Mungkin karena prestasi kerjaku yang dinilai lumayan oleh atasanku.. maka pada usiaku yang baru menginjak kepala tiga ini..
aku telah diberi kepercayan untuk menangani penjualan produk perusahaanku untuk berbagai area di Indonesia.
Tugas ini mengharuskan aku untuk sering melakukan perjalanan ke luar kota.. disamping itu kesibukan ini juga seringkali menyita hampir seluruh waktuku.
Aku sering harus masih tinggal hingga larut malam di kantor.. bahkan kadang-kadang juga masuk ke kantor..
pada saat weekend, ketika teman-temanku yang lain sedang menikmati waktu istirahatnya di rumah.
Untunglah segala jerih payahku ini juga mendapatkan kompensasi yang memadai dari perusahaan.
Aku memiliki sebuah ruang kerja yang cukup luas dan nyaman, selain itu akupun dibantu oleh seorang asisten yang cantik..
Eksanti namanya. Sebenarnya Eksanti sudah cukup lama membantuku sebagai asisten.
Walaupun dalam struktur birokrasi perusahaan Eksanti adalah bawahanku..
namun sebenarnya aku lebih senang memperlakukannya sebagai seorang teman.
Hal itu bukan karena aku ingin membedakan perlakuan dengan anak buahku yang lain..
namun memang aku tidak suka dengan hal-hal yang bersifat formal.
Maka tidak heran bila lebih banyak anak buah yang memanggilku dengan sebutan.. 'Mas..' ketimbang 'Bapak..'
Demikian pula dengan Eksanti.. karena memang usia kami cuma terpaut kira-kira 3-4 tahun..
sehingga memang lebih pantas baginya untuk memanggilku dengan sebutan “Mas..”
Walaupun demikian.. Eksanti juga selalu bisa memposisikan dirinya..
hingga meskipun kami sering bercanda namun sejauh ini hubungan kami adalah murni sebagai layaknya atasan dengan bawahannya.
Kecantikan,, keramahan dan kegesitannya telah menjadikan Eksanti sebagai sosok yang sempurna..
sehingga aku sering mendengar bahwa banyak rekan-rekan sekantorku yang naksir kepadanya.
Aku tidak begitu mengetahui apakah Eksanti telah memiliki pacar atau belum.
Aku tidak terlalu peduli dengan hal-hal semacam itu.. karena aku tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang lain.
Terus terang.. sebelum kejadian itu.. aku hanya sempat memperhatikan Eksanti untuk urusan-urusan kantor..
namun entah mengapa hari itu dengan cepat telah mengubah hubungan kami berdua..
Begini ceritanya..
oOo
Waktu itu jarum jam di dinding ruangan kantorku telah menunjukkan pukul 7 malam.
Aku sudah berkemas-kemas untuk pulang, karena kebetulan waktu itu aku mempunyai janji dengan seorang teman lamaku di daerah Cinere.
Saat aku berjalan melewati front office, aku melihat Eksanti juga sedang berbenah hendak pulang.
Ketika aku bertanya mau pulang ke arah mana, ternyata ia mau ke rumah salah seoarang kawannya di daerah Lebak Bulus. Jadi kami bisa searah satu jalan.
Kebetulan, Eksanti tidak membawa kendaraan sendiri.. sehingga aku menawarkan untuk pulang bersama semobil denganku.
Ternyata Eksanti pun setuju, “Terimakasih Pak, daripada kehujanan..” Lumayan ada teman ngobrol di jalan.. pikirku dalam hati.
oOo
Gerimis rintik-rintik membasahi jalanan yang kami lewati.
Dan seperti biasa kalau sedang hujan, penyakit di daerah selatan Jakarta, macetnya minta ampun..
Waktu sangat cepat berlalu, jam di mobilku menunjukkan pukul 20.15.
“Dingin Santi..?” Aku bertanya memecah keheningan kami berdua ketika kami sampai di sekitar Blok A.
Memang aku merasakan mobilku dingin sekali AC-nya, padahal sudah aku setel minimal. Mungkin karena hujan, meskipun tidak begitu deras.
“Iya Pak. Dingin banget..” jawabnya sambil mendekapkan tangannya ke dada.
“Kalau lagi di luar kantor gini jangan panggil aku Pak dong.. ntar kelihatan tua aku. Panggil aku Mas saja yaa.. Toh, usia kita nggak beda jauh..”
kataku berusaha untuk mencairkan suasana.
“Ya.. Mas..” Ia tersenyum ke arahku.
Hujan makin deras. Jalanan makin macet. Pukul 21.00 kami masih berkutat di kawasan Blok A. “Aku lapar, Santi..” ujarku spontan.
“Sama. Aku juga dari tadi, Mas..” Eksanti menjawab jujur. Kami tertawa bersama. Perut kosong, badan menggigil.
Bayangkan.. kami mengobrol apa saja tentang kantor.. teman-temannya.. keluarga..
sampai keinginannya untuk segera mendapat pacar yang mau mengerti dirinya. Aku lebih banyak menjadi pendengar cerita Eksanti.
Kali ini baru aku sadari, ternyata Eksanti yang duduk di sebelahku bukanlah seperti Eksanti yang aku kenal dalam waktu-waktu terdahulu di kantor.
Dalam Curhatnya, ia terlihat sangat rapuh. Entah memang nasibku untuk selalu menjadi tempat Curhat orang lain.
Dari dulu semasa di bangku sekolah hingga kini setelah bekerja, aku selalu dijadikan tempat Curhat orang-orang dalam lingkaran terdekatku.
Dan kini aku harus menghadapi Eksanti yang sesekali sesengukan..
meremas-remas sapu tangannya dan menghapus air matanya yang mulai jatuh satu per satu.
Love.. look what you have done to her, bastard..!
Aku mencoba menenangkannya sebisaku dengan menganalisis kehidupannya dari berbagai perspektif.
Aku hanya bisa mengatakan bahwa ia masih beruntung.. karena ditunjukkan ketidaksetiaan kekasihnya pada saat mereka belum menikah..
sebab akan lebih sangat menyakitkan jika semua itu dihadapi justru ketika mereka telah menikah.
Setelah beberapa waktu kami membahasnya.. Eksanti terlihat sudah agak tenang.
“Thanks Mas.. kamu mau jadi tempat sampah Santi..” katanya sambil sedikit tersenyum.
“That what friends are for..” jawabku singkat sambil menepuk-nepuk kepalanya seperti kepada seorang anak kecil.
“Mas, kamu itu aneh yaa..?” Tiba-tiba suara Eksanti menyentakku.
“Aneh..? Apa sih maksud kamu..?” Tanyaku asal.
“Hihihihi..” terdengar Eksanti cekikikan mendengarnya. “Yaa.. aneh aja.. Santi sudah kenal mas dari beberapa tahun yang lalu..
tapi rasanya Santi nggak pernah merasa dekat dengan Mas, sampai dengan hari ini..” kata-kata Eksanti meluncur lancar dari mulutnya.
“.. Sampai Santi mau Curhat sama mas.. padahal Santi paling jarang Curhat.. apalagi sama orang yang nggak deket bener dengan Santi..”
“Sama, aku juga gitu kok. Bisa aja.. jangan-jangan kita pernah ketemu di kehidupan lain sebelumnya yaa..?” Jawabku sambil nyengir.
“Ada-ada aja kamu, mas..” katanya sambil tiba-tiba merebahkan kepalanya di bahu kiriku.
Jujur saja.. aku cukup terkejut menerima perlakuannya.. tapi santai saja..
lagipula apalah yang mungkin terjadi dari sebuah bahu untuk menyandarkan kepala sejenak..?
Dengan sudut mataku, aku meliriknya, Eksanti tampak sangat damai.
Ia sedang menggosok-gosokkan tangan kanannya ke hand rem, mungkin biar hangat.
Lalu tiba-tiba, dengan tangan kiriku sengaja aku pegang tangannya. “Tanganmu dingin banget, Santi..”
“Daritadi, mas..”
“Tanganku juga yaa..?”
“He-eh..” sahutnya tanpa mencoba melepas tangannya dari remasanku.
Hujan tetap lebat.. sehingga praktis mobilku berhenti seperti yang lain. Macet.
Dalam keheningan, aku meremas-remas tangannya. Eksanti diam saja. Bahkan ia juga mulai ikut membalas meremasi jari-jemariku.
“Lumayan. Agak hangat..” kataku.
“He eh..” jawabnya lagi sambil senyum.
Aku melirik ke arah Eksanti.. ia mengenakan rok mini warna gelap berbunga-bunga kecil warna terang.
Meskipun cahaya di dalam mobilku agak gelap, namun aku masih bisa melihat dengan jelas kaki jenjangnya yang putih mulus tanpa cela..
semakin kelihatan kontras dengan warna roknya.
Aku membawa tanganku ke atas pahanya. Eksanti masih terdiam.
Lalu dilepaskannya tangannya agar tanganku leluasa menyentuh.. meraba.. kulit mulusnya.
Ughh.. Halus, haluus.. sekali pahanya. Aku mengusap-usap naik-turun.
Perlahan tapi pasti, aku mulai menyentuh ujung-ujung renda celana dalamnya.
Dari ujung lutut, merayap perlahan ke atas.. dengan gerak mengambang aku mengusap-usap sampai menyentuh kembali pangkal celana dalamnya.
Berulang-ulang.
“Hmm..” lenguhnya.
“Makin hangat, Santi..” bisikku.
Eksanti diam saja. Aku meliriknya lagi.. ia memejamkan matanya.
Tangannya memegang tanganku dan diusap-usapkan ke atas lapisan satin celana dalamnya.
Kini Eksantilah yang mengendalikan tanganku. Aku merasakan, ia mulai basah.
Tanpa aku sadari, mobilku sudah melewati Golden Trully. Aku menarik tangan Eksanti..
Aku membawa jemari halusnya ke atas kejantananku yang sejak tadi sudah menegang, tetapi masih rapi tertutup celana pantalonku.
Eksanti mengerti. Dia meremas-remas lembut batang kejantananku.
Lama.. kami saling mengelus, mengusap dan meremas bagian-bagian yang paling sensitif dari tubuh kami masing-masing.
Aku juga merasa, setetes cairan bening sudah mulai membasahi celana dalamku. Eksanti tetap memejamkan matanya. Tanganku terus aktif bergerilya.
Perlahan-lahan aku tarik dengan lembut rambut kewanitaannya dari celah samping celana dalamnya.
Eksanti terus melenguh. Pahanya makin panas. Tangannya makin aktif mengelus-elus kejantananku dari luar.
Tidak terasa, kami sudah sampai di perempatan Fatmawati – Simatupang.
Arah lurus ke Cinere masih macet, kanan ke arah Pondok Indah jalanan kosong. Jam di mobil sudah menunjukkan pukul 23.00.
“Aku laper..” bisikku lembut sambil menjilat belakang telinganya.
“Cepet mampir. Bisa pingsan aku. Laparrr juga aku..” ia mendesah pelan.
Aku memutuskan untuk mengambil arah ke kanan, lalu menyusuri jalur paling kiri.
Untuk sementara kegiatan usap-mengusap.. remas-meremas kami dihentikan. Sekarang kami akan mencari makan dulu.
Aku melihat bangunan berpagar bambu gelap, jalan masuknya menurun. Mungkin itu adalah sebuah hotel dan kami bisa makan di sana.
“Kiri yaa..? Mungkin kita bisa makan di resto-nya..” bisikku.
“Itu restoran..?” Tanya Eksanti.
“Nggak tau. Kalo resto yaa.. syukur, kalau hotel kita bisa makan di restonya..” jawabku sejujurnya.
Sejujurnya, waktu itu aku memang belum tahu sama sekali tempat apa itu.
Aku membelokkan mobil ke kiri, lalu terlihat ada orang yang berlari-lari memakai payung menyambut dan memberi kode untuk mengikutinya.
Dia menunjuk suatu tempat seperti garasi dan mempersilakan mobilku masuk ke dalam garasi itu.
Aku masuk, lalu ia segera menutup pintu garasi. Aku memandang bingung ke arah Eksanti.
Dia mengangkat bahunya tanda bahwa ia bingung atau tidak tau juga.
Aku lalu turun, sementara Eksanti masih tinggal di dalam mobil. Aku mengikuti petugas yang masuk ke sebuah pintu di dalam garasi itu.
Ternyata pintu itu langsung menghubungkan garasi ke suatu kamar tidur. Sebuah spring bed besar berada di tengah ruangan.
Dua tempat duduk dan satu meja kaca, lemari buffet kecil dengan pesawat TV 20 inch di atasnya, melengkapi perabotan di sisi-sisi ruangan.
Di dindingnya tertempel sebuah kaca cermin yang besar. Di sana juga tersedia kamar mandi di dalam ruangan, yang dilengkapi dengan shower.
Ooo.. ternyata ini hotel atau motel garasi, seperti yang sering diceritakan teman-teman priaku.
Setelah membereskan pembayaran kamar dan memesan makanan, petugas segera keluar melalui pintu penghubung ke garasi tadi. Aku mengikutinya.
"Turun yuk..” kataku kepada Eksanti, yang masih berada di dalam mobil.
Eksanti turun dari mobil dan aku menggandengnya masuk ke dalam kamar.
Lalu pintu segera aku kunci dari dalam. Melihat isi kamar itu Eksanti tampak tertegun. Aku lalu bergeser, berdiri tepat di hadapannya.
Mataku tajam memandang ke arah mata indahnya, aku tidak bisa menduga apa yang ada dalam benaknya saat itu.
Eksanti pun membalas memandangku, ada sesuatu yang bergelora di sana. Agak lama kami berdua saling tertegun, terdiam.. ..
Cukup lama kami masing-masing terdiam dalam posisi ini..
sambil memandang sebagian horizon langit yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang yang mulai nampak setelah hujan reda dari jendela kamar itu.
Sayup-sayup terdengar suara dari TV dalam kamar, rintihan Sinnead O’Connor yang tengah menyanyikan lagu legendarisnya: ..
I can eat my dinner in the fancy restaurant but nothing..
I said nothing can take away this blue cos nothing compares..
nothing compares to you..
Perlahan aku usap rambutnya dan memberanikan diri untuk mengecup keningnya. Eksanti mendongakkan kepalanya untuk memandangku.
Beberapa saat kami saling berpandangan, ah oase kedamaian dari pancaran matanya inikah yang selama ini aku cari..?
Mungkinkah aku menemukannya hanya dalam beberapa jam saja setelah sekian lama aku mencarinya entah ke mana..?
How can I be so sure about that..?
Dan sekian banyak pertanyaan lainnya berkecamuk dalam pikiranku melewati detik demi detik kami berpandangan.
Yang aku tau.. beberapa saat kemudian wajah kami semakin mendekat..
Sekilas aku melihat Eksanti menutup matanya dan pada akhirnya aku kecup lembut bibirnya.
Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba tubuh kami sudah saling merapat. Aku mencium Eksanti sampai nafasnya terengah-engah.
Aku menjilati bibirnya sambil tetap dalam posisi berdiri. Lidahku meliuk-liuk di dalam mulutnya.
Eksanti pun tak kalah garang. Dia memeluk tubuhku erat-erat dan membalas ciuman buasku.
Tangan kiriku menyusup ke dalam blouse-nya.. sementara tangan kananku menyusup ke celana dalamnya bagian belakang..
perlahan mulai mengusap.. meremas lembut belahan pantatnya.
Aku menciumi Eksanti dengan buas. Bibir sensualnya yang tipis itu aku lumat habis.
Lidahku meliuk-liuk di dalam mulutnya dan disambut dengan kelincahan lidahnya.
Lalu mulutku turun ke arah leher jenjangnya, aku menjilati lehernya.
Eksanti memejamkan matanya, ia tampak sangat menikmati rangsanganku.
Tangannya terus mengusap-usap kejantananku yang masih rapi berada di dalam sarangnya.
Kami berciuman seakan-akan kami sepasang kekasih yang telah lama tidak berjumpa.
Menumpahkan segala kerinduan dalam kehangatan sebuah ciuman.
Perlahan aku raih pinggang Eksanti dan mendudukkannya dalam pangkuanku di atas tempat tidur.
Kini kami semakin dekat.. karena Eksanti aku rengkuh tubuhnya dalam pangkuanku.
Aku usap lembut rambutnya, sedangkan dia memegang lembut pipiku.
Ciuman bibirnya semakin dalam, seakan tidak pernah dia lepaskan.
Cukup lama kami berciuman, sesekali terdengar tarikan nafas Eksanti yang terdengar begitu lembut.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk mulai menurunkan bibirku ke arah lehernya.
“Ugh..” hanya terdengar lenguhan lembut Eksanti ketika ia mulai merasakan hangatnya bibirku menjelajahi lehernya.
Tidak ada perlawanan dari aksi yang aku lakukan.
Eksanti justru makin mendongakkan kepalanya.. semakin memamerkan lehernya yang putih dan jenjang.
Kedua tangannya meremas seprai tempat tidur sebagai tumpuan. Aku pun semakin terhanyut terbawa suasana.
Aku perlakukan Eksanti selembut mungkin.. menjelajahi milimeter demi milimeter lehernya..
mengusap rambutnya dan makin menekankan punggungnya ke arah tubuhku.
“Mas.. ookkhh..” lenguh Eksanti saat dia menyadari terlepasnya satu per satu kancing kemeja blouse-nya.
Ya.. aku memang melepaskannya untuk melanjutkan cumbuanku kepadanya.
Jilatan-jilatan lembut mulai menjalari dada Eksanti, seiring meningkatnya hasrat manusiawi dalam diri kami.
Dengan sekali gerakan.. aku dapat menggendongnya.
Kami lanjutkan percumbuan dalam posisi berdiri lagi dengan tubuh Eksanti dalam gendonganku.
Tangannya mulai meremasi rambutku.
Perlahan-lahan kemejanya terjatuh terhempas ke karpet ruangan..
menyisakan bagian atas tubuh Eksanti yang tinggal berbalutkan sehelai bra putih.
Beberapa saat kami bercumbu dalam posisi ini.. sampai akhirnya aku merebahkannya lagi di ranjang.
Terdengar suara Donita.. presenter MTV Asia, terakhirkali sebelum aku meraih tombol off TV yang terletak di buffet samping ranjang.
Kali ini suasana benar-benar senyap.. hanya tarikan nafas kami berdua yang masih sibuk bercumbu.
Eksanti mencoba untuk melepaskan satu per satu kancing kemejaku.. hingga akhirnya ia berhasil melepaskannya..
Hampir bersamaan saat aku berhasil melepaskan bra-nya.
Kami meneruskan pergumulan, namun sebuah perasaan aneh menyusup ke dalam hatiku. She’s different, pikirku.
Jujur saja, aku sudah beberapakali mengalami sexual intercouse, pun dengan orang-orang yang baru saja aku kenal.
Namun kali ini terasa berbeda. Ada perasaan lain yang mengiringi nafsu yang bergejolak.. sebegitu dahsyatnya..
sehingga nafsu itu sendiri menjadi tidak berarti lagi keberadaannya.
Rasa sayang, yaa.. mungkin inilah yang disebut dengan perasaan sayang itu, sesuatu yang sudah lama tidak aku rasakan keberadaannya.
Ini membuatku ingin memperlakukannya seindah dan selembut mungkin.
Eksanti bukan hanya seseorang yang mengisi sebuah babak pelampiasan nafsu manusiawi dalam hidupku.
Dia berbeda, she deserves the best!
Terdengar lagi lenguhan Eksanti saat aku mulai mengulum buah dadanya.
Kali ini terdengar lebih keras dari sebelumnya. Mungkin hasrat itu telah memenuhi kepalanya.
Jilatan-jilatan diselingi gigitan-gigitan kecil mendarat di sekitar putingnya, berkali-kali membuatnya berjingkat terkejut.
Aku meneruskan cumbuanku ke arah perutnya, hingga pada akhirnya berhasil membebaskan roknya ke karpet.
Sekarang terpampanglah pemandangan indah yang tidak mungkin aku lupakan..
Seorang dewi cantik.. rebah dengan hanya berbalutkan celana dalam satin putih.
Untuk pertamakalinya aku memandang seorang wanita dalam kondisi seperti ini, tidak dengan nafsu yang menguasai.
Begitu terasa bagaimana aku memang menyayangi dan menginginkannya.
Matanya yang memandang lembut ke arahku, menghadirkan begitu banyak kedamaian..
sesuatu yang terus aku cari selama ini dari diri seorang wanita.
Kini aku mengulum pusarnya.. seiring lenguhan-lenguhan kecil yang terdengar dari bibirnya.
Perlahan aku mulai menurunkan kain terakhir yang menempel pada tubuh Eksanti.
Terdengar sedikit nada terkejut Eksanti.. saat aku mulai menurunkan centi demi centi celana dalamnya..
menyusuri kedua kakinya hingga terlepas entah ke mana.
Seiring itupun. aku mulai menurunkan jilatan ke arah selangkangannya. “Masss.. mau ngapain.. uugghh..”
Pertanyaan yang coba diajukan Eksanti tidak dapat diselesaikannya begitu dirasakannya sebuah jilatan mendarat di bibir kewanitaannya.
Permainan lidahku pada liang kewanitaannya memang aku usahakan selembut mungkin..
hingga terkadang hanya sedikit saja ujung lidahku menyentuhnya.
Namun hal ini malah justru memicu reaksi Eksanti semakin terbakar.
“Oghhh.. Masss..” lenguhnya panjang diiringi nafasnya yang semakin tidak beraturan.
Isapan dan jilatan silih berganti aku lakukan dengan penuh kelembutan padanya..
hingga pada akhirnya terdengar Eksanti seperti mendekati puncaknya.
“Aaacchhh..!!” Jeritnya panjang sambil menghentakkan tubuhnya ke atas.. saat puncak itu datang melandanya..
Menggulungnya dalam suatu sensasi keindahan yang sangat melenakan dan menghempaskannya ke dalam jurang kenikmatan yang begitu dalam.
Kini aku memandang wajahnya. Matanya yang terpejam sambil menggigiti bibirnya sendiri..
tangannya yang mencengkram seprei di tepian ranjang dengan kencang.. serta nafasnya yang tidak beraturan..
cukup untuk mengekspresikan betapa tingginya Eksanti telah terbuai dalam gelombang orgasme yang baru saja dilaluinya.
Aku biarkan Eksanti meregang dirinya dalam detik demi detik puncak kenikmatan yang baru saja didapatnya.
Tiba-tiba pintu diketuk dari luar.. sehingga kami harus menghentikan aktifitas yang sangat menggairahkan itu.
“Aku ke kamar mandi dulu..” bisiknya, aku mengangguk.
Makanan pesanan kami telah tiba dan terhidang rapi di atas meja. Aku duduk di atas kursi dan menarik kursiku mendekat ke arah meja kaca itu.
Aku menuangkan sebotol coca-cola ke dalam gelas yang telah berisi es. Aku meneguk.. hmm.. segar.
Di tengah keheningan kamar itu, aku mendengar suara shower dari arah kamar mandi, rupanya Eksanti sedang mandi.
Pantas lama sekali dia di dalam sana. Aku melangkahkan kakiku menuju kamar mandi.
Gila..! Gila..! Belum pernah aku melihat pemandangan seindah dan seeksotik ini. Menggairahkan, menakjubkan.
Aku bengong.. terpana, terpesona.
Suasana kamar mandinya remang-remang, karena hanya ada cahaya lampu 15 watt yang menerangi.
Eksanti sedang mandi di bawah pancuran shower. Lekuk-lekuk tubuhnya sangat sempurna.
Putih dan mulus tubuhnya yang tersiram air bagaikan gambar-gambar wanita yang sering aku lihat di majalah Playboy.
Badannya tinggi, kakinya panjang dan jenjang, pinggangnya kecil, tapi pinggulnya cukup besar. Sangat sempurna.
Eksanti sedang menggosok lehernya dengan sabun sambil memejamkan matanya.
“Mas, tolong matikan AC kamar. Biar nggak kedinginan kalau aku keluar nanti..” katanya.
Aku terjaga dari lamunanku, cepat-cepat aku keluar. Memang dingin sekali di dalam kamar ini.
AC tidak aku matikan tapi aku setel menjadi 35 derajad. Biar hangat. Lalu aku kembali melangkah ke kamar mandi lagi.
“Jangan bengong. Mas, mandi sekalian aja..” katanya waktu aku bengong lagi. Aku segera melepas hem dan celana pantalonku.
Airnya hangat. Pantas Eksanti berlama-lama mandi setelah kedinginan di dalam mobil tadi.
Sesaat ketika badanku basah tersiram air, Eksanti menyabuni seluruh tubuhku dengan pelan dan lembut.
Mula-mula tanganku, lalu dada dan perut. Dimintanya aku berbalik badan dan kemudian punggungku mendapat giliran.
Setelah bagian atas tubuhku rata terkena sabun, Eksanti berjongkok.
Disabuninya kakiku.. lalu naik ke paha. Aku memejamkan mata. Aku merasakan seluruh elusan dan usapan tangan lembutnya di sekujur tubuhku.
Akhirnya, Eksanti memegang kejantananku dan mengelus batangnya pelan-pelan, terasa sangat licin dengan sabun.
Setelah bersih.. kemudian Eksanti menarik dan melepaskan tangannya dari batang kejantananku.
Kini tiba giliranku. Aku segera mengambil sabun dari tangan Eksanti. Mula-mula aku mengusap kedua tangannya. Lalu beralih ke perutnya.
Kemudian tanganku merayap naik, kedua payudaranya aku sabuni dengan lembut. Kenyal..
Puting kecoklatannya mencuat ke atas.. sangat kontras dengan warna putih mulus kedua bukit kembarnya.
Tangan kiriku membelai lembut dada kanannya, sementara tangan kananku mengusap-usap dada kirinya.
Aku lakukan berulang-ulang.. berganti-ganti.. Eksanti memejamkan matanya sambil mendesah, menikmati sensasi.
Tubuhku merapat ke tubuhnya dan dengan posisi seperti memeluk, tanganku beranjak menyabuni punggung dan pantatnya.
Ketika tanganku sampai di belahan pantatnya, sengaja dengan lembut aku sedikit menusukkan jemariku ke lubang anusnya.
“Emmhh.. masss..” Eksanti mendengus perlahan.
Setelah bagian atas tubuhnya rata dengan sabun, aku lalu berjongkok. Aku mulai mengusap kaki dan betis indahnya. Pelan.. perlahan sekali.
Aku sungguh sangat menikmati keindahan ini. Lalu tanganku naik ke pahanya.
Eksanti agak merenggangkan kakinya, agar tanganku bisa menyusup ke celah pahanya.
Lalu tanganku naik lagi, sampai akhirnya aku bisa menyabuni rambut-rambut kewanitaannya.
Agak lama aku mengusap-usap sekitar daerah kewanitaannya dengan lembut, hingga bibir kewanitaannya merekah.
"Sudah.. Mas, sudah.. please..” lenguhnya.
Aku berdiri.. aku segera memeluk tubuh Eksanti. Terasa licin, tetapi nikmat. Tubuh kami bersatu.
Aku mencium mulutnya sampai Eksanti kembali terengah-engah. Tubuh kami terus bergerak mencari kenikmatan.
Tanganku mengusap pantat, paha dan kedua bukit payudara indahnya. Tangan Eksanti juga terus menggerayangi tubuhku.
Dari usapan di punggung, pantat dan akhirnya bermuara ke kejantananku. Dikocok-kocoknya kejantananku. Aku merasa nikmat.
Belum pernah aku mengalami pengalaman sedahsyat ini sebelumnya.
Eksanti mundur dan bersandar di dinding. Kakinya direnggangkan, matanya terpejam seolah membayangkan sesuatu..
Tangannya lalu memegang batang kejantananku. Sabun makin mencair tapi masih tetap licin.
Eksanti baru membuka matanya ketika dirasakannya sebuah benda menempel lembut pada bibir kewanitaannya.
Dibukanya matanya, memandang lembut ke arah wajahku yang tepat berada di depan wajahnya.
“Santi, bolehkah aku..?” Bisikku sambil mengecup keningnya.
Eksanti hanya mengedipkan kedua matanya sekali, sambil tetap memandangku. That’s enough for me to know the answer of this question.
Perlahan-lahan aku tekan kejantananku menerobos liang kewanitaannya. So gentle and smooth.
Eksanti mengerti. Direnggangkannya lagi kakinya. Dibimbingnya kejantananku ke arah lubang kewanitaannya.
Dan.. Slebb.. Clebb..! Acchh.. aku mulai masuk.
Terdengar nafas Eksanti tertahan di tenggorokannya.. menikmati sensasi mili demi mili penetrasi yang aku lakukan terhadapnya..
Blessepp.. hingga akhirnya keseluruhannya terbenam utuh.
Kami terdiam dan saling berpandangan sejenak.. menikmati bersatunya raga (dan hati) kami berdua.
Aku kecup bibirnya lembut sebelum mulai melenakannya dalam sebuah percintaan yang sangat indah.
Mula-mula perlahan. Makin lama makin cepat. Tangan Eksanti memeluk kedua pantatku ikut menekan.
Erghh.. Nikmat sekali rasanya. Badan kami masih licin.
Terus aku ayun-ayunkan pantatku dan kejantananku menghujani kewanitaan Eksanti berulang-ulang.
Aku masih ingat persis.. bagaimana kedua tangan kami saling bergenggaman erat saat kami terus bergumul menyatukan hasrat dan raga kami.
Betapa lembut buah dadanya menekan dadaku dan betapa hangat dinding-dinding kewanitaannya..
melingkupi kejantananku yang terus memompanya.. membawa kami semakin tinggi terbuai kenikmatan duniawi.
Tak lama, Eksanti merasa tak tertahankan lagi. Dipeluknya aku erat-erat.
Eksanti telah sampai ke puncaknya lebih dulu. Kejantananku makin kencang menancap.
Aku ayun lagi pelan. Makin lama makin cepat. clebb.. clebb.. clebb.. clebb.. crebb.. crebb.. crebb..
“Achh.. achh.. terus mas.. terusss..” lenguhnya. Pinggulnya terus bergerak mengimbangi tusukanku.
Sejurus kemudian, kami saling berpelukan erat sekali. Mulutnya lalu aku cium. Bibir sensualnya terlalu sayang untuk dilewatkan.
Plopp.. Aku mencabut kejantananku. Aku menghadapkan tubuh indah Eksanti ke arah dinding.
Aku sangat menginginkan doggy style. Eksanti mengerti, lalu ia menungging.
Pantatnya masih licin oleh sabun. Aku usap-usap. Jari tengahku mulai memainkan kewanitaannya. Eksanti melenguh.
Aku mainkan klitorisnya. Aku usap, aku pelintir, aku sodok. Eksanti makin menggelinjang. “Sekarang.. sekarang..” desahnya.
Dipegangnya kejantananku dan dibimbingnya masuk ke dalam celah kewanitaannya.
Aku memejamkan mata. Slebb.. kutusukkan pelan-pelan kejantananku.
Kucondongkan badanku.. bersatu dengan punggungnya. Licin.. enak sekali.
Tanganku meraih kedua bukit indah payudaranya. Aku mengusap-usap. Licin.. ohh.. nikmat sekali.
Kulakukan berulang-ulang, sambil tetap menusuk, menggenjot kejantananku ke dalam kewanitaan Eksanti.
Aku lalu menegakkan badanku. memegang sisi pinggulnya. Aku mulai mempercepat ayunan.
Eksanti menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku menarik pinggulku.. Eksanti juga ikut menarik pinggulnya.
Jlebb.. Aku menusukkan sekuatnya, Eksanti pun mengimbanginya. Clepp.. clepp.. clepp.. clepp.. clepp..!
Akhirnya aku mau keluar. Gerakanku makin aku percepat. Jeritan Eksanti makin keras.
“Di dalam atau di luar Santiii..” bisikku sambil terengah-engah.
“Di luar saja..” sahutnya.
Eksanti tetap dalam posisi menungging. Pinggulnya makin liar. Aku makin tak tahan.
Dan.. aku cabut kejantananku dari lubang kewanitaan Eksanti. “Sekarang Santiii..” kataku sambil memejamkan mata.
Eksanti segera membalik badannya, lalu ia jongkok dan mengocok kejantananku. “Acchh..!“ Cret.. cret.. cret..!
Benih-benih cintaku muncrat ke wajah dan badan Eksanti. Banyak sekali.
Eksanti terus meremas kejantananku sampai tetesan terakhir air nikmatku.
Eksanti meratakan cairan cintaku ke dadanya, perut dan mengusapkan sedikit ke wajahnya.
Baru kemudian dibasuh dengan air shower. To be Contiecrott..
---------- oOooOooOooOooOooOo ----------