---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------
Cerita 080 – Semua Karena Nafsu..!.. [Part 2]
Semua perabot terbuat dari logam semacam stainless.
Dinding-dindingnya dilapisi kain transparan berwarna kuning gading.
Lantainya bukan terbuat dari ubin teraso, melainkan semacam lempengan logam putih mengkilat anti karat.
Mengagumkan sekali tempat itu, namun juga membuat bulu kuduk merinding.
"Di sini aku tinggal, Citra. Tempat itu tertutup untuk siapa pun..
kecuali orang-orang yang ingin kuajak bersahabat, seperti kau..”
Mata Citra memandang sebuah meja marmer berbentuk persegi empat. Kubus.
Tetapi pada tepian marmer itu dilapisi semacam lis dari bahan stainless.
Ukurannya rendah, kira-kira hanya setengah meter dari lantai.
Di bawah meja itu, terdapat permadani dari bulu tebal yang berwarna kuning sedikit orange.
Tampaknya cukup empuk dan hangat.
Sekeliling meja itu tak terdapat kursi. Orang bisa menggunakannya sambil duduk di lantai.
Tetapi, di situ disediakan bantalan sebagal alas duduk.
Bantalan itu ada empat buah jumlahnya, masing-masing berbentuk bulat..
terbuat dari bahan semacam beludru hijau rumput.
Citra masih belum habis mengagumi isi ruangan itu, dan Gizma membiarkannya sambil tersenyum cantik.
Citra memandang sebuah ranjang berbentuk segi empat lebar, tanpa tiang di atasnya, tanpa klambu.
Kaki ranjang itu cukup pendek. Terbuat dari besi mengkilat tanpa ukiran apa-apa.
Kasurnya kelihatan empuk, berlapis seprei warna hijau rumput.
Sedangkan bantal dan guling yang ada di situ diberi sarung yang terbuat dari kain satin warna putih bersih.
Ruangan itu tanpa jendela. Pada salahsatu sisi dindingnya terdapat meja panjang, tak begitu lebar.
Tingginya sebatas perut orang dewasa.
Di meja yang hampir membentang sepanjang salahsatu sisi dinding itu, terdapat beberapa perabot dapur.
Ada gelas, piring, botol-botol minuman dalam bentuk yang unik, tempat lilin bertiang tiga dan macam-macam lagi.
Sedangkan di sebelah kiri ranjang, terdapat cermin dan meja rias.
Cermin itu berbentuk bulat, tepiannya diberi lis dari logam putih.
Demikian juga meja riasnya, terbuat dari marmer bertepian stainless, kelihatan anggun.
Perpaduan kecantikan dengan keindahan tempat di sekitarnya..
membuat Gizma seperti seorang ratu yang punya kharisma tinggi.
"Duduklah, Citra. Jangan hanya berdiri di situ saja..” katanya dengan lembut.
Cukup lama Citra menetralisir guncangan jiwanya. Kini ia telah bisa sedikit tenang..
Karena sejak tadi ia tidak melihat adanya bahaya yang mengancam dirinya. la duduk di seberang meja, di depan Gizma.
"Kau kenal dengan enam lelaki yang memperkosamu tadi..?" Tanya Gizma bagai seorang hakim.
Citra menggeleng. Ia menelan ludahnya, membasahi kerongkongannya yang sejak tadi terasa kering.
Lalu, ia berkata dengan parau.. "Mereka anak-anak brandal yang suka nongkrong di depan tempatku bekerja..”
Gizma manggut-manggut. "Perempuan lebih punya banyak risiko dari lelaki.
Melahirkan, mengurus bayi, menjadi pelayan kaum lelaki, itu adalah sebagian dari risiko seorang wanita.
Tetapi menjadi wanita yang tangguh, risiko seperti itu tidak berarti baginya..”
"Aku.. aku memang tidak tangguh. Aku lemah..”
"Tapi kau cantik, Citra..” sahut Gizma sambil memandangnya dengan lembut. Senyumnya pun enak dipandang mata.
"Jangan cepat bangga menjadi wanita cantik, sebab ia akan diincar oleh banyak kejahatan, dijadikan budak nafsu..
diperdagangkan, dimanfaatkan untuk satu keperluan, dan banyak lagi tanggungjawab yang harus dipikul oleh wanita berparas cantik..”
Gizma berdiri. Ia mengambil sebotol minuman dan gelas berbentuk segi empat, bawahnya kecil, bagian atasnya lebar.
Ia menuang minuman dalam botol itu yang berwarna merah, seperti sejenis soft drink.
Ia menyodorkan gelas minuman Itu kepada Citra seraya berkata.. "Minumlah dulu, biar kau menjadi lebih tenang..”
Tanpa menunggu Citra meminum minumannya, Gizma lebih dulu meneguk minumannya.
Baru kemudian Citra mengikutinya. Oh, terasa segar.
Terasa melegakan segala sesuatu yang menyesak di dada. Cukup aneh juga minuman ini.. pikir Citra.
"Citra, kau terkesan dengan perbuatan keenam lelaki tadi..?"
“Terkesan..? Maksudmu.. aku menyukai perilaku mereka..?"
"Aku ingin tau perasaanmu..” jawab Gizma kalem.
Citra mendesis.. wajahnya kelihatan menahan dendam dan kemarahan.
"Aku ingin membalas perlakuan mereka. Aku ingin menghancurkan kepala mereka satu per satu.
Sayang, aku tidak punya kekuatan untuk melawan mereka..”
Gizma tertawa dalam gumam. Manis sekali tawanya. Lalu, ia bicara dengan serius dan tetap kalem.
"Aku bisa membantumu..” Citra memandang Gizma dengan bersemangat.
Gizma mengangguk dengan mata berkedip. Lembut.
Seakan ia menyatakan kesungguhan hatinya untuk membantu.
"Kalau kau bisa membantuku, tentunya aku sangat senang dan berterimakasih padamu, Gizma..”
"Apa imbalannya..?" Gizma bertanya sebelum meneguk minumannya iagi. Citra agak bingung.
Gizma berkata lagi.. "Kalau aku mau menolongmu, aku harus mendapat imbalan yang layak bagiku.
Aku menolongmu, kau juga menolongku dengan memberikan imbalan itu..”
"Hem.. maksudmu.. uang..? Hm.. asal tidak terlalu banyak, mungkin aku bisa menyediakan uang imbalan itu.
Yang penting, mereka yang menodaiku harus menemui ajalnya dengan lebih keji dari perbuatannya..”
"Itu soal mudah, Citra. Tapi kau perlu tau, aku tidak butuh uang..”
"Lalu.. apa yang kau butuhkan..?"
"Kehangatan bercinta..” jawab Gizma sambil menyunggingkan senyum manis. Ramah sekali.
Citra menjadi berpikir sedikit kacau. Kalau benar Gizma membutuhkan kehangatan bercinta..
itu berarti Citra harus menyediakan seorang lelaki yang mau bercinta dengannya.
Ah.. itu mudah saja. Aku yakin tak ada lelaki yang menolak jika disuruh bercumbu dengan wanita secantik Gizma..
Pikir Citra kala Itu.
"Bagaimana..? Kau sanggup memberiku hadiah itu..?"
"Baik. Aku sanggup..”
"Ah, pikir-pikirlah dulu. Nanti kau ingkar padaku..”
“Tidak. Aku tidak akan ingkar janji. Nyawaku yang menjadi taruhannya kalau aku ingkar janji padamu, Gizma..”
"Bagus..” Gizma tertawa renyah. "Kuharap kau akan menjadi sahabatku yang sejati, Citra..”
“Tapi.. tapi aku harus tau.. bagaimana kau membalaskan sakit hatiku kepada cowok-cowok itu.
Aku harus melihat buktinya, bahwa kau benar-benar telah membalas kekejian mereka terhadapku..”
“Tentu saja. Kau tentu akan melihatnya, sebab kaulah yang akan melakukannya..”
"Aku..? Bukankah kau tadi bilang ..”
"Maksudku, kau kudampingi. Kekuatanku yang akan bertindak melalui dirimu..
Sehingga kau akan puas melihat dendammu tertumpah pada mereka.
Tapi ingat, satu nyawa.. satu kehangatan bercinta, Citra..”
Setelah merenung sesaat, Citra manggut-manggut. la meneguk minumannya lagi.
Gelas berbentuk segi empat itu masih dipandanginya dalam pikiran menerawang.
"Nah, sekarang pulanglah dulu. Tunggu aku sampai datang menjemputmu, lalu kita balas perlakuan mereka..”
Citra memandang Gizma. “Tapi, kau pasti datang kan..?"
"Pasti..” Gizma mengangguk dengan lembut.
"Pejamkan matamu..” perintahnya. Citra bahkan berkerut dahi. Heran dan tak mengerti maksud Gizma.
Maka, Gizma pun mengulang perintahnya lagi.. "Pejamkan matamu, Citra..”
Citra yang bingung, kali ini menuruti perintah. Ia memejamkan mata. Dalam hati ia berkata..
Aneh juga orang ini. Untuk apa aku disuruh memejamkan mata..? Apa maunya sih..?
Karena lama tidak ada perintah membuka mata.. maka Citra memberanikan diri membuka mata sendiri.
Pelan-pelan ia mengintip dari kelopak mata, dan serentak membelalak. Ia terkejut. Sangat terkejut.
Ia tak mengerti mengapa sekarang ia jadi berada di dalam kamarnya..? Kamar tidurnya sendiri..?
Ia duduk di atas ranjang sambil bersandar pada dinding. Kakinya melonjor santai.
Pakaiannya bukan lagi seragam pelayan toko yang selalu dikenakan tiap waktu bekerja, melainkan pakaian tidur.
Celana kulot dan baju lengan panjang model piyama.
la memandang sekeliling dengan nanar. Lalu menggumam pelan..
"Apakah aku tadi bermimpi..? Oh, syukurlah kalau cuma mimpi..” keluh Citra penuh ketegangan.
Keraguan makin membingungkan pikirannya.. sebab pada saat itu ia segera sadar..
bahwa ia memegangi gelas berbentuk persegi empat. Ia tak pernah punya gelas seperti ini.
Tapi, mengapa aku tiba-tiba berada di kamar tidurku..?
Bukankah aku tadi berada di rumah Gizma dan disuruh memejamkan mata..?
Citra bergidik merinding. Ia teringat saat diperkosa oleh keenam pemuda brandal itu.
Maka, untuk membuktikan apakah dia tadi hanya mengalami mimpi atau kenyataan, ia segera pergi ke kamar mandi.
Ia memeriksa dirinya sendiri, dan menemukan bekas darah pada sekitar pahanya.
"Ohh.. ini nyata. A-aku sudah tidak suci lagi..” keluhnya hampir menangis mengingat peristiwa mengerikan itu.
Sampai ia kembali ke kamarnya.. Citra belum mengerti mengapa ia bisa berada di tempat tidurnya dalam waktu singkat.
Kapan ia pergi meninggalkan rumah Gizma.. kapan ia berjalan pulang ke rumahnya sendiri..
Semua sungguh tidak terekam dalam ingatan. Sukar untuk dicari logikanya.
Lalu, siapa Gizma itu sebenarnya..? Mengapa ia tinggal di rumah kuno yang telah rusak dan menyeramkan itu..?
-----ooOoo-----
Citra tinggal bersama keluarga tantenya.
Oom Piet, suami tantenya itu.. adalah seorang kepala bagian di sebuah distributor kosmetik luar negeri.
Sebab itulah, Citra bekerja dan ditempatkan di bagian penjualan kosmetik luar negeri.
Sudah tentu, wajah-wajah cantiklah yang dipercaya untuk melayani penjualan kosmetik di plaza tersebut.
Dan salahsatu wajah andalan di antara para pelayan adalah wajah Citra.
Dia memang cantik. Punya hidung kecil tapi mancung.
Serasi dengan bibirnya yang mungil bagai kuncup mawar yang selalu basah.
Tak heran jika ia banyak menjadi bahan lirikan mata lelaki.
Lebih-lebih ia mempunyai postur tubuh yang sintal, seksi dan berdada padat menonjol.
Oom Piet sendiri sering melirik dada Citra yang bagai menantang setiap gairah lelaki itu.
Kadang Citra merasa muak dengan mata nakal oomnya sendiri.
la selalu menghindar jika mata itu mulai bergerak-gerak genit. Ia benci.
Tapi Oom Piet sepertinya tak peduli dengan kebencian Citra.
Kalau saja Citra mau mengadukannya kepada tantenya, sudah tentu mereka akan ribut.
Citra tak ingin membuat kacau keluarga tantenya.
Sayangnya, sikap Oom Piet makin hari makin kelewat batas.
Seperti pada malam itu, ketika Citra sedang merenungi keganjilan yang dia alami..
Oom Piet mengetuk-ngetuk pintu kamarnya.
Mulanya Citra membiarkan. Cuek.
Tapi, lama-lama ketukan itu semakin keras, dan Citra membukakan pintu kamarnya.
"Citra, tolong masakkan mie dong. Oom lapar nih..”
“Suruh saja tante yang memasakkan, Oom..” kata Citra dengan ketus.
“Tantemu kan sedang ke Bandung sama anak-anak. Tolong deh, sebentar saja..”
"Bangunkan bibi. Aku ngantuk, Oom..”
Citra hendak menutup pintu kamarnya, tetapi Oom Piet menahannya.
"Bibi ikut ke Bandung. Kalau tanpa Bi Unah, tantemu pasti kewalahan mengurus anak-anak. Tolong, ya.. sebentar saja..”
Celaka. Bibi, tante, anak-anak.. pergi semua. Kalau begitu, malam itu tinggal Citra dan Oom Piet yang ada di rumah.
Gawat. Kalau Citra tidak hati-hati, ia bisa masuk dalam perangkap iblis.
Citra terpaksa membikinkan mie untuk oomnya. Matanya melirik sesekali dengan waspada.
Ternyata Oom Piet tidak melakukan hal-hal yang mencurigakan.
Ia tetap asyik mengikuti film videonya, karena memang itulah kebiasaan Oom Piet..
suka setel video sampai lewat tengah malam.
"Mie-nya sudah di meja, Oom..” kata Citra sambil melangkah ke kamarnya.
Oom Piet hanya menggumam. Tenang. Ia masih mengikuti film itu sejenak.
Setelah beberapa saat berada di dalam kamar, Citra mendengar suara Oom Piet memanggilnya.
Kali ini sedikit kasar dan keras. Citra berkerut dahi.
Apa yang nggak beres nih..? Kayaknya dia mau marah-marah sama aku..? Pikir Citra.
Kemudian, ia pun keluar dari kamar dan menemui Oom Piet di ruang tengah.
"Citra, waduh.. kamu ini jadi cewek kok enggak bisa masak sih..?"
"Memangnya kenapa..?" Ketus Citra, rada dongkol.
"Coba rasakan masakanmu itu..” Oom Piet menyodorkan sesendok kuah mie-nya.
"Cicipi sedikit nih, biar kamu tau rasanya..”
Karena penasaran, Citra pun mengambil sendok yang telah berisi kuah mie, lalu menghirup kuah tersebut.
Mengecap-ngecap sejenak, dan berkata.. "Ah, biasa-biasa saja. Memangnya kenapa sih..?"
"Kamu nggak merasa asin..?"
"Aku rasa asinnya sudah cukup. Nggak berlebihan, nggak kekurangan..”
"Tantemu kalau masak nggak pernah seasin ini, Citra..”
"Yahh.. kalau begitu, susul aja tante ke Bandung. Suruh dia masak mie buat Oom..”
Citra menggerutu sambil kembali ke kamarnya.
Tapi.. mendadak kepalanya terasa pusing. Pandangan matanya terasa goyang. Ia terhuyung-huyung.
Lho, kenapa aku ini..!? Mata Citra berkunang-kunang. Buram untuk melihat sesuatu.
Ia meraih tepian pintu. Saat itu ia sempat mendengar suara Oom Piet dari depan TV.
"Kenapa, Tra..!?” Suara itu bernada cemas.
Citra tidak sempat menjawab. Ia sangat pusing. Tapi masih berusaha meraih pembaringan.
Dengan menabrak beberapa benda lainnya.. akhirnya Citra sampai ke tepian ranjang..
Ia lalu menghempaskan tubuhnya sambil mengerang lirih. "Uhhh.. kepalaku..?”
"Citra..? Citra, kau kenapa, hah..?”
"Sakiiit.. Oom..” rengeknya sambil memijit-mijit kepala.
Pijitannya menjadi lemas, karena ia bagai kehilangan tenaga.
"Astaga.. Kau pasti masuk angin, Tra. Kau tadi pulang terlalu lewat malam sih. Sebentar, Oom ambilkan minyak angin..”
Citra tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengeluh dan mengerang.
Sebelum Oom Piet kembali ke kamar, Citra makin merasa lemas. Denyut di kepalanya hilang.
Tapi ia bagai mengambang terbang. Ia seperti terayun-ayun tanpa bisa menggerakkan anggota badannya sama sekali.
Lemas. Matanya meredup.
Ia tak bisa melihat Oom Piet datang sambil membawa minyak angin, tapi ia mendengar suara Oom Piet berkata..
"Buka bajunya, biar Oom gosok punggungmu dengan minyak angin..”
Kalau saja Citra tidak dalam keadaan selemah itu, ia akan menolak.
Tapi, karena ia tidak bisa menggerakkan tangannya, ia hanya mampu berkata lirih..
“Tak usah..” Itu sangat pelan. Hampir tak terdengar.
Pada saat yang sama, ia merasakan napasnya begitu tipis dan darahnya berdesir-desir.
Oom Piet nekat melepasi kancing baju Citra.
"Bertahanlah, sebentar lagi kau akan pulih seperti semula..” kata-kata itu diucapkan Oom Piet dengan nada kegirangan.
Citra tak bisa menghindari tangan Oom Piet.
Bahkan ketika Oom Piet melepasi baju, Citra hanya bisa berkata lemas sekali.. "Jangan, Oom..”
“Tak apa.. sebentar saja sembuh kok..” kata Oom Piet dibarengi dengan helaan-helaan napas tak teratur.
Mata Citra semakin sayu. Ia masih merasa tubuhnya diterpa udara dingin karena tanpa penutup selembar pun..
Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Seluruh urat di tubuhnya bagai mati. Tak berfungsi.
Bahkan, ketika Oom Piet juga melepas apa yang melekat pada badannya..
Citra hanya bisa mengeluh tanpa suara kecuali desah.
"Oom..” Ia berhasil menyebut sepatah kata, tapi hanya berupa bisikan pelan.
Ia ingin menangis. Ingin menjerit sewaktu Oom Piet mulai menciuminya.
Sayang, air matanya tidak bisa keluar dan isaknya hilang entah ke mana.
Citra hanya bisa menerima segala apa yang diperbuat oleh Oom Piet.
Laki-laki itu memeluknya dari belakang dan mencium tengkuknya sekilas.
Tangannya juga segera meremas dada montok milik Citra.
Kaki Citra yang menjuntai di ranjang ia raba dengan penuh nafsu..
sebelum kemudian mulutnya yang tak sabar mencercah di pangkal paha Citra..
yang masih dibalut oleh celana dalam warna hitam.
“Ehm.. j-jangan, Oom..!” Erang Citra sambil berusaha merapatkan kedua kakinya, namun sama sekali tidak bisa.
Malah celana dalamnya kemudian dipelorotkan oleh Oom Piet.
Laki-laki itu tampak terpana melihat pemandangan di depannya.
Pangkal kenikmatan milik Citra begitu mungil, berwarna merah di tengah, dan dihiasi bulu-bulu lembut di atasnya.
Klitorisnya juga mungil. Meski nampak sudah pernah dipakai, namun Oom Piet begitu menyukainya.
Tak menunggu lebih lama lagi, bibirnya segera menyerbu vagina sempit itu.
Ia mengisap-isap rakus di sana dengan lidah berusaha mengaduk-aduk di liangnya yang memerah.
Citra ingin menggelinjang, namun hanya lenguhan dan erangan yang bisa ia keluarkan.
Hanya kakinya yang sanggup menjepit kepala Oom Piet..
seolah-olah tak menerima tubuhnya dipermainkan seperti itu.
Tapi Oom Piet malah mengerjainya lebih dalam dan lebih keras lagi.
Lidahnya menusuk semakin jauh, menghajar kelembutan vagina Citra dengan mulutnya yang lapar.
Setelah puas, barulah laki-laki itu merangkak naik.
Diremas-remasnya buah dada Citra yang masih padat itu beberapa saat..
sebelum kemudian ganti mulutnya yang bekerja.
Penuh nafsu Oom Piet menjilat.. memilin.. dan menciumi putingnya yang mungil..
sambil tak lupa juga ia terus meremas dan memenceti bulatannya yang empuk dan kenyal.
“Ahh..” keluh Citra tanpa bisa melawan.
Tangannya ingin menjambak rambut laki-laki itu, tapi hanya kain sprei yang bisa ia raih.
Terpaksa ia mencengkeram kain itu untuk menahan seluruh rasa malunya.
“Enak kan beginian..?” Tanya Oom Piet sambil menatap wajah cantik Citra.
Gadis itu sama sekali tidak menjawab, hanya bisa menutup matanya.
“Kamu pengin lebih enak lagi..?” Tanpa menunggu jawaban, Oom Piet segera mengatur posisi badannya.
Ia angkat kedua kaki Citra ke ranjang.
Kini gadis itu tampak telentang pasrah, membuat penis Oom Piet jadi tak sabar lagi untuk mendarat di sasaran.
Mulut laki-laki itu kembali bermain-main di vagina sempit Citra.
Setelah kebasahannya dianggap cukup..
barulah Oom Piet menempelkan batang penisnya yang telah mengacung tegak ke bibir vagina Citra.
Beberapa saat ia menggesek-gesekkannya di sana..
sebelum kemudian mencoba untuk mendorong masuk secara perlahan-lahan.
Ughhhh..!! Celahnya terasa masih sangat sempit.
Sedikit demi sedikit Oom Piet terus memaju-mundurkan pinggulnya..
hingga batang penisnya semakin melesak ke dalam.
Butuh waktu satu menit lebih agar penis itu masuk seluruhnya.
Oom Piet beristirahat sebentar.. karena dilihatnya Citra tampak merintih menahan nyeri.
“Tahan ya..” bisiknya sambil mencium bibir Citra sekilas.
Kemudian ia mulai menggenjot cepat.. meski tetap diusahakan pelan dan lembut.
“Auw..! S-sakit, Oom..” Citra menjerit tertahan.
Oom Piet meremas-remas payudara dan menciumi bibir gadis itu untuk menenangkannya.
Setelah agak diam, ia pun mulai meningkatkan tempo. “Ahh.. ohh.. shh..”
Dia mengerang dan melenguh sambil terus bergerak turun-naik di atas tubuh mulus Citra.
Oom Piet meningkatkan genjotannya dan erangannya pun menjadi semakin keras.
Ia tampak semakin bernafsu menyetubuhi Citra yang kini sudah terdiam bingung.
“Nggak sakit lagi kan..? Sekarang terasa enak kan..?” Bisiknya terengah.
“Ouuu..!” Hanya itu yang bisa disampaikan Citra sebagai jawaban.
Sebenarnya Oom Piet ingin mempraktekkan berbagai posisi senggama dengan keponakannya ini.
Tapi dipikirnya untuk kali pertama tak perlu macam-macam dulu.
Terpenting Citra mulai bisa menikmati. Lainkali kan masih bisa dilakukan.
Kepala Citra terus tersentak-sentak, namun bukan karena gerakan tubuhnya..
melainkan karena hentakan badan Oom Piet yang dibakar gairah lelakinya.
Sekitar sepuluh menit ia menggoyang tubuh mulus Citra..
sebelum spermanya muncrat membasahi perut dan payudara gadis itu.
Lama kemudian, baru kesadaran Citra beranjak pulih. Ia bisa membuka kelopak mata sedikit lebar.
Tangannya bisa digerakkan walau dalam keadaan lemas lunglai.
Tetapi, pada saat itu Oom Piet telah selesai melampiaskan hasratnya.
Citra melihat Oom Piet mengenakan kimononya kembali.. dan pada saat itu air mata Citra mulai mengalir.
Hatinya meratap-ratap menerima perlakuan oomnya sendiri.
Tubuh Citra hanya ditutup dengan selimut, lalu ditinggal pergi oleh Oom Piet.
Oh.. perihnya hati Citra. Ia menjadi sasaran kebiadaban oomnya sendiri.
Ia ingin marah, ingin mengamuk, namun kondisinya belum mengizinkan.
Akibatnya, ia tertidur dalam keadaan hanya berselubung selimut.
-----ooOoo-----
Ketika ia bangun, matahari telah bertengger di atas cakrawala Timur.
la mendengar suara teriakan Kensi dan Nana, anak dari perkawinan tantenya dengan Oom Piet.
Itu pertanda tantenya sudah pulang dari Bandung. Mungkin pukul 6 tadi.
Dan, Citra bergegas ingin menemui tantenya untuk mengadukan perbuatan Oom Piet semalam.
Tetapi, mendadak ia menjadi ragu. Mungkinkah tantenya akan percaya dengan pengaduannya..?
Bukankah selama ini Oom Piet dikenal sebagai suami yang amat setia dan sayang kepada istri..?
Kalau saja Citra jadi mengadukan perbuatan Oom Piet..
apakah dia tidak akan dituduh sebagai pengacau rumah tangga tantenya sendiri..?
Bisa saja tantenya tidak mau percaya dan berbalik menuduh Citra memfitnah oomnya sendiri.
Oh.. serba susah jadinya. Citra menjadi bingung. Batinnya amat tersiksa.
Lebih tersiksa lagi ketika hari menjadi sedikit siang dan Nico datang ingin menemuinya.
Ohhh.. tak tau apa yang harus Citra katakan kepada Nico..
sebab kepada cowok yang satu ini, Citra tak pemah tega untuk berdusta sedikit pun.
Tetapi.. andai Citra mengatakan yang sebenarnya tentang tindakan oomnya..
dan pemerkosaan enam cowok brandal itu.
Apakah hal itu tidak akan membuat Nico angkat kaki dan pergi meninggalkannya..?
O, tidak. Citra tidak mau kehilangan Nico. la menyimpan segunung cinta pada pemuda itu..
hanya saja belum dinyatakan secara nyata.
Ia harus merahasiakan perlakuan Oom Piet yang amat melukai hatinya itu.
Hanya saja, ia jadi sangsi juga, apakah dengan tersimpannya rahasia itu, maka tindakan Oom Piet tidak akan terulang lagi..?
Bagaimana jika ternyata terulang dan terulang beberapakali..?
CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------