Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[KOMPILASI] FROM OFFICE AFFAIR (CopasEdit dari Tetangga)

Kayaknya si carline masih ada sisa 1 episode lagi deh
:jempol: Siappppp..
Malah di Cerita Aslinya 2 lagi brada..

Cuma kemarin emang belum sempat Nubi edit.
Sebab terpisah-pisah naruh filenya per episode.
Tapi sudah Nubi temukan. Baru disatukan lagi.

Ntar deh.. kalo udah selesai diedit.. Nubi postingin..
 
---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------

Cerita 080 – Semua Karena Nafsu..!.. [Part 6]

"Apa.. apa yang harus kulakukan..?”
Citra kebingungan. Panik.
Ia ingin menelepon resepsionis, tapi tidak jadi.

Karena suara Alex menghentak mengagetkan sambil tubuhnya menggeliat kaku.
Matanya terpejam kuat-kuat pada saat kulit kakinya mulai menjadi berbintik-bintik kasar.

Citra jadi merinding. Debaran jantungnya membuat sekujur tubuh gemetar.
Sekali lagi ia menyaksikan tubuh orang yang habis diajaknya bercumbu menjadi kaku.

Kedua kakinya yang berbentuk kulit menjadi keras berbintik-bintik. Lalu, perubahan itu merayap ke atas.
Penisnya yang tadi keras kini juga berbintik-bintik kaku.

Dan akhirnya, sekujur tubuh Alex berubah menjadi patung batu..
dalam keadaan kedua tangan mendekap dada dan mulut menganga.

Alex menjadi patung batu..
dengan ekspresi wajah bagai orang memekik dalam mencapai puncak kenikmatannya.

"Alex.. Alex, ohhh..” Citra menangis, napasnya makin terengah-engah.
Ia meraba tubuh Alex, ternyata benar-benar berubah menjadi patung batu yang kasar.

Tubuh Citra yang belum sempat mengenakan pakaian itu menjadi panas, tidak sedingin tadi.
Keringatnya mulai bercucuran bagai menyembur dari pori-pori kulitnya.

Dalam keadaan takut dan kebingungan itu, Citra mendengar suara lembut di belakangnya.
“Terimakasih, Citra..” Wajah Citra segera berpaling.
"K-kau..!!" Bentak Citra begitu melihat Gizma merapikan rambut di depan cermin.

"Memuaskan sekali orang-orang pilihanmu itu.. aku menyukai hadiah seperti ini, Citra..”
Gizma berkata sambil menyeka keringatnya yang mengucur di sekujur tubuh.
Ia tersenyum memandang Citra yang berwajah bingung.

"Dia temanku. Kenapa dia menjadi patung..? Ohhh.. Gizma, aku tak mau seperti ini.
Aku tak mengerti apa maksud kemisteriusan ini, Gizma..?”

"Akan kujelaskan maksudnya. Tapi, pejamkan matamu dulu..” Citra tertegun dengan napas masih ngos-ngosan.
Gizma masih tetap kalem, kendati napasnya sendiri tampak terengah-engah, namun tak separah Citra.

Ia berkata dengan penuh wibawa.. "Pejamkan mata, Citra. Kau harus beristirahat, Teman..”
Sekali ini, Citra kembali memejamkan mata. Tak lebih dari sedetik.

Ia buru-buru membuka matanya karena ingin menanyakan sesuatu kepada Gizma.
Tetapi, ketika ia membuka kelopak matanya, ternyata dia kembali tercengang.
Ia berada di dalam kamarnya lagi. Duduk di tepian ranjang dengan mengenakan gaun tidur yang tipis.

Kamar itu sepi. Tak ada patung Alex. Tak ada Gizma. Sepertinya semua itu hanya sebuah mimpi belaka.
Ia melihat pakaian seragam kerjanya tergeletak di lantai, di bawah kursi.

Sepertinya ia tadi sudah pulang, melepas pakaian seragamnya dan berganti gaun tidur yang tipis itu.
Hanya saja, semua itu tidak disadari Citra. Tak diingatnya sama sekali.

Yang ia ingat hanya berada dalam kamar hotel bersama Alex. Bercumbu dan selesai.
Gizma muncul, Citra memejamkan matanya. Lalu, ketika ia hendak menanyakan sesuatu pada Gizma..
tau-tau ia sudah berada di dalam kamarnya sendiri. Uhhh.. sangat ajaib. Membingungkan sekali.

Citra menjadi malu pada dirinya sendiri. Ketika ia berdiri di depan cermin, ia melihat wajahnya layu. Pucat.
Kesegarannya bagai terkuras habis untuk bercinta bersama Alex.

Pada saat itu ia merasa benar-benar malu pada diri sendiri, mengapa ia menjadi perempuan jalang.
Padahal selama ini nafsunya tak pernah terbakar sehebat itu. Ia pandai menyembunyikan perasaan pribadinya.

Ia pernah mengharapkan ciuman dari Nico, tapi ia bertahan untuk tidak mengatakan harapannya itu.
Sekarang kenapa keadaan jadi terbalik sama sekali. Ia begitu berani memancing lelaki.

Berani menyerang lelaki lebih dulu. la jadi buas dan beringas dalam bercumbu. Oh, malunya.
Padahal dalam keadaan seperti saat ini, saat ia memandang dirinya di cermin ini..
ia sama sekali tidak menyukai caranya yang brutal itu.

Dalam keadaan seperti sekarang, ia tidak akan berani memancing-mancing lelaki..
untuk menggiringnya ke alam bercinta yang beringas.

Menyadari sikapnya belakangan ini, maka timbullah kekhawatiran dalam hati Citra.
Ia mengeluh dalam kecemasan, dan berbisik pada dirinya sendiri..

"Bagaimana kalau aku sampai hamil..? Perutku sering merasa mual, ingin muntah tapi susah.
Oh.. jangan-jangan benih-benih itu berubah menjadi janin dalam rahimku. Ohhh.. mengerikan sekali.
Aku tidak mau hal itu terjadi. Tidak..!!"
-----oOo-----

Siang itu, Citra sengaja datang ke rumah Andani sendirian.
Tidak begitu mengherankan kedatangan itu bagi Andani.

Tapi yang mengherankan adalah kelesuan wajah Citra dengan kemurungannya.
"Kenapa sih..?" Tak perlu dijelaskan, Citra sudah paham arti teguran Andani itu.
"Ada sedikit masalah..” jawab Citra. "Carikan rumah kontrakan buat aku dong..”

"Kontrakan..? Kok aneh..? Bukannya kamu lebih enak tinggal di rumah oommu yang mentereng itu..?
Kok malah kamu pindah sih..? Nggak salah nih..?"

"Ketenanganku sudah terganggu di sana. Aku mulai muak..” Citra bicara sambil cemberut.
"Bisa kau jelaskan padaku, Tra..?"

Mulanya Citra sedikit ragu. Tapi akhirnya ia bicara juga apa adanya kepada Andani.
"Aku diganggu Oom Piet terus-menerus. Tingkahnya makin lama makin menjengkelkan sekali..”

Andani berkerut dahi memandang Citra yang cemberut lesu.
la menjadi curiga melihat semburat warna pucat yang melapisi wajah Citra.

Lalu, ia pun berbisik.. "Kau diganggu.. diganggu dalam birahi..?"
Citra mengangguk. “Tapi, kuminta ini rahasia sekali lho, An. Jangan sampai ada yang tau..”
"He-eh..” Andani mengangguk beberapakali.

“Tapi.. tapi ia berhasil menodaimu..? Atau hanya kejahilan tangannya saja..?"
Sukar sekali memberi jawaban yang pasti.
Alangkah malunya Citra bila temannya mengetahui bahwa kesuciannya telah hilang.

Tapi, ia sendiri dibayang-bayangi oleh kengerian yang sebenarnya.. sehingga butuh jalan keluar yang baik.
Dari keraguannya itu, akhirnya Citra memilih jawaban. "Cuma keisengan tangannya aja, kok..”

"Ohhh.. syukurlah kalau cuma begitu. Berarti kau belum dinodai.
Memang, ada baiknya kamu harus cepat-cepat pindah dari rumah itu sebelum keisengan itu ngelunjak jadi kebiadaban..”

Kebiadaban itu sudah terjadi..!!
Ingin sekali Citra mengatakannya demikian, tapi kata-kata itu tersekat di tenggorokan, tak jadi terlontar.

Hanya saja, ia menjadi termenung dalam kebungkamannya.
Pikirannya mulai menerawang pada kelakuan Oom Piet yang makin menggila.

Yang masih segar dalam ingatannya adalah saat tadi pagi ia selesai mencuci bajunya, lalu ia ingin mandi.
Tiba-tiba, Oom Piet muncul dari dalam bak mandi yang besar itu.
Rupanya, lelaki setengah baya itu mengetahui kebiasaan Citra jika habis mencuci, pasti mandi.

Karena istrinya pergi mengantar kedua anaknya ke sekolah..
maka Oom Piet langsung masuk ke dalam bak mandi dalam keadaan polos.

Air di dalam bak mandi hanya setengah, dan ia menunggu Citra di situ..
sampai pintu kamar mandi terdengar dikancing oleh Citra.

Citra hampir berteriak sekeras-kerasnya sewaktu Oom Piet muncul dari dalam bak mandi..
pada saat Citra telah melepas segala pelapis badannya.
Untung tangan Oom Piet segera meraih mulut Citra dan membekapnya sambil berbisik..

"Ssst.. Kalau kau berteriak dan bibi mendengar, maka masalah ini akan diadukan pada tantemu.
Tantemu nggak akan percaya kalau aku naksir kamu. Kamu yang akan dianggap kurang ajar sama suami tantemu.
Diam, jangan teriak-teriak..”

Sambil berbisik begitu, tangan Oom Piet melepas bekapan di mulut Citra, dan berpindah meremas di dada.
Citra berhasil meronta, lalu mundur sampai ke sudut. Sayang ia tak sempat meraih handuk untuk menutupi tubuhnya..
sehingga ia hanya bisa mendekap dadanya sambil menghadap ke dinding.

Kepalanya berpaling, menampakkan wajah yang marah dan muak kepada Oom Piet.
"Jangan anggap aku seperti masa muda tante, Oom. Aku bukan perek. Keluar sana..!"

Citra memberanikan diri mengusir Oom Piet dari kamar mandi.
Namun Oom Piet justru mendekat, dan Citra kebingungan menghindarinya.

"Sudah lama aku menaruh hati padamu, Citra. Sumpah. Aku ingin sekali memilikimu..”
"Jangan dekati aku, Oom..!" Kata-kata itu tak didengar oleh Oom Piet.

Lelaki setengah baya itu justru makin mendekat dan meraih pundak Citra sambil berbisik..
"Sekali ini saja, Citra. Sekali saja..”

“Lepaskan aku..!! Persetan dengan kemauanmu. Ohhh.. lepaskan..!"
Citra meronta, tapi Oom Piet lebih cekatan meraihnya dan menciumi wajah Citra penuh nafsu.

Tak ada pilihan lain bagi Citra, tangannya pun bergerak cepat menampar wajah Oom Piet. Plakkk..!!!
Keras sekali tamparan Citra, membuat Oom Piet terhenyak.

Kemudian dengan kedua tangan Citra mendorong Oom Piet kuat-kuat.
Maka, terpelantinglah lelaki itu dan jatuh dengan kepala membentur dinding.

Benturan itu cukup keras, dan mengakibatkan kepala Oom Piet bocor. Darah mengalir dari luka di belakang kepala.
Citra menjadi tambah tegang. Ia buru-buru meraih handuk dan membalut tubuhnya dengan handuk itu..
kemudian cepat-cepat keluar dari kamar mandi.

Ia dicekam ketakutan. Terengah-engah ketika sudah berada di dalam kamarnya.
Ia mengunci pintu kamarnya, takut kalau Oom Piet masuk dan mengamuk. Tak terasa ia pun melelehkan air mata kesedihan.

Sedih memikirkan nasibnya yang belakangan ini menjadi bahan incaran lelaki jalang.
Sampai-sampai oomnya sendiri tega hendak memperkosanya untuk yang keduakalinya.

Beruntung saat ini Citra dalam keadaan sadar, dalam keadaan sebagai diri pribadinya yang asli.
Tak ada pengaruh obat dan lain sebagainya.. sehingga dalam keadaan seperti saat ini,
Citra tetap akan melawan perbuatan tak senonoh itu.

Semasa ia masih punya tenaga dan kesempatan, ia akan melawan tindakan seperti itu.
Ia tak mau menjadi hina oleh kemauannya sendiri.

"Citra, tolong panggilkan dokter..” kata Oom Piet sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar Citra.
Debar-debar di dalam dada Citra membuat napasnya sedikit sesak.

Khawatir kalau Oom Piet terlalu banyak mengeluarkan darah, dan mengalami akibat yang lebih parah jagi.
Citra jadi bingung kala itu.

Untung tantenya segera datang, dan la mendengar Oom Piet mengaku terpeleset di kamar mandi.
Maka, luka di kepala Oom Piet itu segera diurus oleh tantenya, dan Citra merasa aman.

"Bagaimanapun ia pamannya kamu, Tra..” kata Andani mengomentari penuturan Citra..
tapi suatu saat ia akan berusaha lebih hati-hati lagi.

“Lelaki semacam itu, jelas tidak akan berhenti bertindak sebelum keinginannya tercapai.
Jadi, aku sangat setuju kalau kau pindah, mencari kontrakan sendiri..”

"Kau bisa membantuku, kan..?"
"Mudah-mudahan bisa. Yang kutau, di sekitar sini tak ada rumah petak yang dikontrak-kontrakkan.
Kalau di rumah Hanna, nah.. di sana ada. Memang masyarakat sekitarnya punya usaha mengontrakkan rumah petak.
Cuma.. ya, kamu harus mau campur tangan dengan tukang bakso, tukang somay, pokoknya orang-orang macam gituanlah..”

"Kalau memang adanya itu, apa boleh buat. Tapi kalau ada, aku mau cari yang agak bersih. Tenang..”
Andani seperti teringat sesuatu. Ia bersemangat. "O, iya.. ini nih..!
Rumah di ujung deretan rumahku ini juga katanya mau dikontrakkan. Satu rumah.
Nggak dipetak-petakkan per kamar kayak di rumah Hanna..”

"Utuh satu rumah..?"
"He-eh.. Orangnya mau dinas di luar negeri selama tiga tahun. Rumah dan beberapa perabotannya akan dikontrakkan.
Cuma.. beberapa harga kontrakannya, aku nggak tahu. Kalau kamu mau, yuk kuantarkan ke sana..”
-----ooOoo-----

Rumah itu cukup luas. Halamannya sendiri mempunyai padang rumput yang sangat leluasa buat bermain-main.
Bersih dan tampak segar. Rumah itu milik pegawai kedutaan yang dua hari lagi akan berangkat ke Roma.

Di dalamnya, selain ada telepon juga ada antena parabola.
Semua itu termasuk dalam satu perabot yang harus dibayar uang sewanya.

Satu tahun 20 juta. Gila. Punya uang dari mana Citra..? Gajinya satu tahun tidak sampai sebesar itu.
Sampai di tempat kerja, Andani masih membicarakan soal rumah tersebut.

"Eh, asyik juga lho kalau kamu menempati rumah itu. Aku bisa sering main ke situ..”
"Iya. Aku sendiri juga senang kalau tinggal di rumah seperti itu.
Tapi.. duapuluh jutanya itu yang bikin sesak napas..” kata Citra.

"Apaan yang duapuluh juta..?" Tegur Ranu, nimbrung pembicaraan Andani dan Citra.
"Gue harus cari uang dua puluh juta nih, Ran. Buat kontrak rumah. Bagus deh rumahnya..” kata Citra.

"Lu bisa bantu gue nggak..?"
"Bantu nyengir bisa..” jawab Ranu.

"Gue punya ide kalau lu butuh uang segitu..”
"Apaan..?” Citra bersemangat. Serius.

"Cari boss, ajak nonton, minta bayaran duapuluh juta. Beres..”
"Huhhh.. konyol lu. Emangnya gue perek..!?" sambil Citra menepuk-nepuk punggung Ranu.
Akibatnya, Ranu benar-benar meringis karena merasa sakit oleh tepukan keras Citra.

Gurauan Ranu itu tiba-tiba menjadi satu bahan renungan buat Citra. Mencari boss.
Ya, barangkali memang bisa dilakukan oleh Citra dengan mengandalkan kecantikannya.

Tetapi, apakah itu patut dan layak..?
Apakah itu tidak akan merendahkan harga dirinya sebagai gadis yang cantik dan terpelajar..?

Apakah aku masih punya harga diri? Bisiknya dalam hati. Aku sudah kotor. Sudah ternoda dan menjadi hina.
Apakah aku pantas membanggakan diri sebagai gadis yang masih punya harga diri..?


Lamunannya dibuyarkan oleh tepukan tangan Ranu dari belakang. Citra sempat memekik dan nyaris melonjak.
"Gila lu..!" Makinya asal nyeplos.
"Hei, kapan kamu mau ajak aku ke rumah Gizma..? Udah nggak sabaran nih..”

“Tenang aja. Pokoknya bereslah..”
"Huhhh.. beres, beres.. Buktinya sudah tiga hari dari sejak aku berkenalan dengan Gizma, kamu nggak ajak aku ke sana.."
Ranu bersungut-sungut.

"Eh, gimana kalo malam ini..? Ntar kita pulang jam delapan aja, yuk..?"
"Pulang jam delapan..?"

"Alaaah.. gue bisa bikinin alasan deh supaya lu bisa cabut jam delapan. Asal, kita ke rumah Gizma. Oke..?"
"Ke rumah Gizma..?” Nah.. sepertinya ada sedikit titik terang buat Citra.

Barangkali Gizma bisa membantunya mencarikan pinjaman uang 20 juta untuk mengontrak rumah tersebut.
Boleh juga gagasan Ranu secara tidak sengaja itu.. pikir Citra.

Mereka berdua menuju rumah Gizma. Ranu agak heran ketika bajaj yang mereka tumpangi berhenti di tanah kosong..
depan sebuah rumah kuno yang gelap dan rusak berat itu. Seperti bekas terbakar.

Baru turun dari bajaj saja Ranu sudah bergidik. "Ini..? Di sini Gizma tinggal..?" Katanya terheran-heran.
"He-eh.. Kenapa..?"

"Ah, yang benar aja, Tra, masa’ perempuan secantik Gizma tinggal di tempat seperti ini..?
Ini kan rumah sudah tidak dihuni puluhan tahun lamanya. Ngaco aja lu..!"

"Ikuti aku aja deh. Jangan banyak omong..” seraya Citra melangkah menerobos rumput liar..
menuju rumah kuno yang banyak coretan-coretan dari tangan iseng.

"Tra.. lu jangan main-main deh. Gue nggak suka kalo lu nakut-nakutin..”
"Siapa yang nakut-nakutin. Bego. Gue mau anter kamu ke rumah Gizma..”

“Iya. Tapi masa di sini sih..? Konyol lu, ah..”
"Lu yang konyol Kalau lu nggak mau, ya udah. Kita pulang sajalah..”
Mereka jadi ribut sendiri sebelum melangkah terlalu dekat dengan rumah gelap dan kotor itu.

Malam itu rembulan menampakkan senyumnya di balik awan. Cahayanya sebagian menerpa bumi..
dan membuat suasana di sekitar rumah kuno itu menjadi tambah menyeramkan, sekalipun remang-remang.

"Sumpah, Ran. Gue ketemu dia di sini..”
"Kapan..? Dan lagi, ngapain kamu di rumah itu, kok bisa ketemu Gizma..?"

Hampir saja Citra tergelincir dengan pertanyaan Ranu.
Untung ia segera mampu menguasai diri dan mengekang jawaban yang sebenarnya.

Ia hanya berkata, "Lu nggak usah tanya macem-macem deh. Sekarang gini aja, lu ke rumah dia atau nggak. Pilih..!"
"Ya, mau. Tapi gue nggak mau kalo diajak ke rumah serem itu..”

"Jadi mau lu diajak ke mana..? Ke hotel..?" Ranu jadi tertawa sendiri. Citra sedikit sewot.
"Udah, ah. Kalo lu nggak mau, kita batalin ajal Kalo kita ribut di sini, nggak enak. Ntar dikira orang kita mau ngapa-ngapain..”

Citra hendak kembali ke jalanan, tapi tangan Ranu segera meraih lengan Citra.
"Oke deh...” katanya. "Asal lu beneran nih, ya..? Kalo lu main-main ama gue, gue enggak mau kenal lu lagi..”

"Kalo lu nggak percaya ama gue, ya udah. Kita pulang aja..”
"Percaya, percaya..” Akhirnya Ranu mengalah.

“Tapi ingat, Tra. Jangan jauh-jauh dari gue..”
"Takut kalau gue lari..?"

"Hm.. terus terang, aku takut sama tempat serem kayak gini..” Citra mengikik geli.
Ranu tambah merinding mendengar suara tawa Citra.

"Ah, lu jangan ketawa deh. Bikin sport jantung aja tawamu itu..”
seraya mereka melangkah mendekati rumah kuno tersebut.

Sejenak Citra memandang salahsatu tiang yang masih berdiri di rumah itu.
Bayangan dalam benaknya melayang pada masa-masa ia diikat di tiang itu.

Ia juga memandang lantai tiang yang banyak tumbuh lumut dan rumput.
Terkenang pula saat ia digilir oleh enam lelaki tak bertanggungjawab di lantai Itu.

Hati Citra tergores, lukanya terkuak lagi. Tak sadar ia pun menangis.
Mulanya melelehkan air mata, akhirnya mengisak. Pedih.

Kenangan itu membuat Citra nyaris meratapi mahkotanya yang hilang di situ.
"Citra..” bisik Ranu tegang. "Kenapa menangis..? Takut, ya..? Gue juga nih..”

Ranu tidak tau masalah yang sebenarnya. Citra masih berusaha menutupi rahasia pribadinya itu.
Karena takut didesak oleh berbagal pertanyaan, akhirnya Citra berusaha menguasai emosinya.

Ia berhenti menangis sekali pun masih tersendat-sendat napasnya.
Ia melangkah meninggalkan tempat kenangan pahit itu.
Bara dari dendamnya untuk sementara diredam kuat-kuat dalam dada.

Tempat itu sunyi. Tempat itu lembab dan berbau apek.
Yang ada hanya desau dan desiran angin, lalu lolongan anjing di kejauhan.

Samar-samar kedengaran.. sehingga menambah suasana serem makin mencekam.
Langkah Citra hati-hati sekali karena di situ juga terdapat pecahan botol atau beling lainnya.

Setapak demi setapak mereka melangkah. Debar-debar jantung Ranu lebih keras ketimbang Citra.
Pemuda bertubuh sedikit kurus itu memang kelihatan sekali rasa takutnya.

la menggandeng lengan Citra, dan Citra merasakan tangan yang menggandengnya itu gemetar sejak tadi.
Bahkan Citra pun merasakan tangan yang memegangi lengannya itu kini berair.
Keringat dingin Ranu mengucur dari tiap pori-pori kulitnya.

"Gizmaaa..!!” Seru Citra ketika mereka tiba di tempat..
yang diperkirakan dulu pernah menjadi ruang makan keluarga pemilik rumah ini.

"Gizma.. Aku datang bersama Ranu..” Sepi. Tak ada jawaban. Bunyi berdenting pun tak ada.
Hanya lolong anjing di kejauhan yang mewarnai kesunyian di tempat remang ini.

Citra melirik ke sana-sini, mencari pintu yang dulu dipakai masuk ke ruangan yang amat terang dan mewah.
Tetapi di situ tidak ada pintu, kecuali pintu yang menuju ke dapur dan sudah tak berdaun pintu lagi.

"Kurasa kau hanya mempermainkan aku saja, Tra..” bisik Ranu sambil gemetar.
"Tidak Sumpah. Aku dibawa kemari oleh Gizma. Dulu, kayaknya di situ ada pintu. Gizma membuka pintu di situ..
kemudian ada sinar terang di dalamnya. Lalu, kami masuk dan ngobrol di dalam kamar yang mewah..”

Citra melangkah dengan hati-hati.
Jantungnya pun jadi berdetak-detak setelah semua dinding yang gerompal dan retak-retak itu diperiksanya.
Ternyata tidak ada pintu sepotong pun.

Tiba-tiba.. "Aaaow..!!” Ranu melompat dan berteriak keras sambil memeluk Citra.
Ngeeeooong..!! "Bangsat..! Kucing..” cacinya sambil teregah-engah.

Seekor kucing berbulu putih melompat dari sebuah tumpukan kardus dan segera berlari keluar.
Kucing itulah yang mengejutkan Ranu..
dan suara teriakan Ranu yang membuat Citra bagai kehilangan denyut jantungnya.

Akhirnya mereka terengah-engah bersama sambil menahan rasa geli justru membuat Ranu kesal sendiri.
"Kita cabut aja, Tra. Brengsek..!" Citra tak bisa membantah.

Ranu ngomel-ngomel tiada hentinya. Menganggap Citra penipu..
menganggap Citra konyol, menganggap.. apa saja dianggap oleh Ranu.

Citra tak bisa bilang apa-apa, sebab dia sendiri merasa heran. Sangat terheran-heran.
Sukar sekali baginya meyakinkan Ranu, bahwa di tempat itulah Citra bertemu dengan Gizma yang cantik..
dan mempunyai kamar yang mewah.

Nyatanya malam ini di situ tidak ada Gizma, bahkan pintu dari kamar mewah itu pun tak ada.
Mau bilang apa kepada Ranu..?

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------
 
---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------

Cerita 080 – Semua Karena Nafsu..!.. [Part 7]

"Aku sudah menduga.. kamu pasti cuma bercanda..” gerutu Ranu.
"Bercanda pala lu rengat..! Gue sendiri tadi juga ketakutan..”

Citra kesal sendiri jadinya. Mereka lalu naik bajaj, kembali ke Blok M.
Citra mengajak Ranu makan di gudeg lesehan, jalan Melawai.

Mereka duduk di atas tikar yang digelar di pinggiran jalan..
sambil menikmati teh poci dan makan nasi gudeg ala Yogyakarta.

Semua ditanggung oleh Citra, karena ia merasa bersalah tak bisa membuktikan kebenaran kata-katanya.
Citra ingin menenteramkan hati Ranu yang kelihatannya sangat kecewa dengan peristiwa tadi.

Dan, usaha Citra menenangkan jiwa Ranu itu berhasil.
Ranu justru tertawa sendiri setelah termenung sejenak, sambil menunggu hidangan yang dipesannya.

"Gue rasa lu salah alamat, Tra. Bukan itu kali rumah Gizma..”
"Ya, ampun, Ranu...I Apa gue perlu menjalani sumpah pocong sih..? Bener deh.
Aku lihat sendiri, jelas sekali, dia mengajak gue ke situ dan masuk ke kamar yang punya perabot serba logam.
Bagus deh tempatnya. Sampai sekarang aku masih menyimpan gelas pemberiannya.
Gelas dari beling yang berbentuk segi empat. Bukan bulat kayak gelas-gelas biasanya. Pokoknya ..”

Citra berhenti bicara, la memandang tiga cowok yang turun dari sebuah mobil Jeep terbuka.
Dua di antaranya sudah dikenal Citra.
Yang berambut cepak, adalah cowok yang waktu itu dipanggil dengan nama Yon.

Sedangkan yang satu lagi, yang agak gemuk.. Citra tak tau namanya.
Tetapi, cowok itu juga yang telah memperkosanya dengan kasar.

Citra ingat, cowok agak gemuk itu selain memperkosanya..
juga menggigit salahsatu dada Citra yang menonjol hingga menjadi lecet. Sakit.
Hanya saja, waktu ia masuk ke kamar Gizma, semua rasa sakit itu menjadi hilang.

"Hei, kok bengong aja..? Terusin dong cerita lu..” kata Ranu. Citra gelisah. Menghela napas dalam-dalam.
Ia melirik Yon dan dua temannya yang duduk di tikar samping Ranu.

Debar-debar jantungnya membuat Citra sukar bicara. Debar-debar itu bercampur rasa dendam dan cemas.
"Kenapa sih..?" Desak Ranu berbisik. Citra menyembunyikan wajah.

Kentara kalau dicekam kecemasan yang menggelisahkan. Ranu jadi curiga.
"Ran, kita pulang aja, yuk..”

"Pulang..? Belum makan udah pulang..? Gimana sih..? Baru aja duduk..”
"Pulang aja deh..” Citra bergegas.
Ia lantas bicara kepada pelayan nasi goreng, "Mbak.. kami nggak jadi makan. Hm.. berapa teh poci ini..?"

Tiba-tiba cowok yang belum pernah dikenal Citra, teman Yon, menyapa..
"Lho.. kok nggak makan..? Cowoknya lagi boke, ya..?"

Ranu berpaling, memandang dengan sikap bermusuhan. "Eh, lu ngomong jangan asal gonggong, ya..!"
"Lu kenapa nyolot..? Memang elu yang jadi cowok tuh cewek..? Huhhh.. ngaca dong. Nggak pantes, tau..?"

"Ran, udah.. Cepetan kita pulang, Ran..” Citra menarik tangan Ranu, tapi Ranu bertahan.
Rupanya dia ada nyali juga untuk melawan cowok brandal itu.

Tiba-tiba cowok yang pernah menggigit dada Citra berseru. "Hei, Yon.. lihatl Tuh dia cewek yang kita antre tempo hari..”
Ohhh.. malunya Citra. Merah padam wajahnya seketika itu..
sebab ada beberapa pembeli yang langsung berpaling memandangnya.

Ranu semakin panas mendengar ucapan cowok itu. Apalagi Yon berkata.. "Iya. Benar juga, Dar.
Dia yang waktu itu kita antre malah cekikikan geli..”
Kemudian Yon dan Dar tertawa. Teman yang tadi membuat gara-gara ikut tertawa juga.

Ranu tak bisa menahan emosinya. Kaki kanannya segera bergerak cepat, melayang dari bawah ke samping..
dan menghantam punggung cowok di sampingnya itu.

Cowok Itu terjungkal ke depan, tersungkur menabrak sebaskom sayur kerecek.
Mukanya terbenam di sayur yang pedas itu. "Ran.. Kabuuur..!!" Citra menarik-narik tangan Ranu.

Tapi Ranu masih belum puas. Waktu cowok yang tadi dipanggil Dar oleh Yon itu mendekat..
Ranu segera melayangkan kembali tendangannya.
Tapi, Dar menangkis dan Yon segera menendang perut Ranu dengan keras.

"Hughhh..” Ranu terbungkuk.
"Ranuuu..!!” Teriak Citra panik. "Ohhh.. tolong.. tolong pisahin mereka..!!”

Cowok yang tadi wajahnya masuk ke dalam baskom sayur, kali ini mengambil botol bekas Fanta..
Kemudian langsung menyerang Ranu. Botol itu dihantamkan ke kepala Ranu.

Pyarrr..!! Ranu memekik kesakitan. Kepalanya berdarah. Tergores oleh pecahan botol di pelipisnya.
Yon segera menghantam mulut Ranu dengan piring kosong yang sempat diambilnya dari meja.

Prakkk..!! "Uhhh..” Ranu sempoyongan. Citra menjerit-jerit. Kemudian menahan tubuh Ranu yang hampir jatuh.
"Cepat lariii.. lari, Ranuuu.. ayo, lekaaas..!!” Citra menarik Ranu. Dan, mereka pun segera melarikan diri.

Ranu masih digandeng Citra, sebelah tangannya memegangi luka di wajahnya yang mengucurkan darah.
Orang-orang tak berani melerai perkelahian itu, karena mereka tau anak-anak yang mengejar Ranu itu
punya kelompok tersendiri yang bisa datang sekaligus dalam jumlah banyak.

"Hei, jangan lari kau..!!” Teriak Dar, yang nama lengkapnya Darso.
"Kejar dia, Srok..!!” Teriak Yon kepada cowok yang wajahnya tadi terendam sayur.

Asrok, nama panggilan cowok itu, kali ini mengeluarkan rantai dari pinggangnya.
Rupanya ia ke mana-mana selalu mengenakan ikat pinggang dari rantai untuk menghadapi perkelahian sewaktu-waktu.

Asrok lari dengan cepat. Ia penasaran kepada Ranu. Sementara itu.. Ranu masih terus ditarik oleh Citra..
Kendati kepalanya terasa sangat pusing dan sakit. Langkahnya pun jadi terhuyung-huyung.

"Tolooong..!!” Teriak Citra sambil berlari. Asrok semakin dekat. Larinya cepat lagi.
Sedangkan Ranu makin lemah. Larinya bertambah lamban.

"Belok ke situ, Ran..!!” Kata Citra begitu melihat sebuah rumah makan Padang masih buka.
Dan, mereka pun segera masuk ke rumah makan Padang sambil berteriak-teriak..

“Tolong.. tolong, kami dikejar penjahat.. kami mau dirampok. Oh, tolooong..”
Hanya ada tiga orang yang makan di rumah makan tersebut. Mereka justru ketakutan mendengar seruan Citra.

Dua lelaki yang ada dalam satu meja itu menghentikan makannya.
Tetapi, seorang wanita yang duduk sendirian menikmati makanannya itu segera berdiri mendekati Citra.

"Lawan dia, Citra..”
"Oh, kau.. Gizma..” Citra memeluk Gizma.

Ranu duduk di sebuah kursi dengan lemas tanpa disuruh.
Semua orang hanya memperhatikan mereka tanpa berani berbuat apa-apa.

"Lawan dia. Matikan satu, dan yang lain akan mundur..” bisik Gizma.
"Aaaow..!!” Ranu merintih kesakitan.
Rupanya ia baru aja mencabut serpihan beling botol yang tersisa di lukanya.

Citra segera mengeluarkan saputangan dari tas gantungnya, dan menempelkannya pada luka-luka Ranu.
Pada saat itu, badan Citra merasa dingin sekali. Menurutnya karena ia terlalu dicekam rasa takut.

Ia segera berdiri dan bicara pada Gizma, tetapi lagi-lagi Gizma pergi tanpa bilang-bilang padanya.
"Gizma..?” Citra kebingungan mencari Gizma.

Orang-orang yang memperhatikan seperti patung, tak bergerak.
Mereka bagai mengalami shock melihat adegan berdarah itu.

"Hei, keluar kau..!!” Teriak Asrok sambil berdiri di depan pintu rumah makan. Rantainya bergemerincing.
Ranu berdiri sambil memegangi lukanya.

"Keluar..!!” bentak Asrok lagi. Citra maju ke depan Ranu. Matanya tajam tak berkedip.
Menatap Asrok dengan mulut terkatup rapat.

Asrok siap mengibaskan rantainya. Tapi, begitu melihat Citra berdiri dengan wajah kaku, Asrok jadi melangkah mundur.
Sepertinya ia merasa takut melihat wajah cantik Citra yang kaku dan bermata tajam itu.

Ia sempat mengusap tengkuk kepalanya yang merasa merinding.
Citra melangkah sampai ke batas pintu. Asrok masih mundur perlahan-lahan.

Beberapa meter di belakang Asrok, tampak Yon dan Darso berlari-lari menyusulnya. "Embat aja, Srok..!" Teriak Yon.
Darso berdiri di samping Asrok sambil memandang Citra. Napasnya masih terengah-engah.

Darso berbisik agak keras, "Gue seret ceweknya, lu habisin muka cowoknya. Yuk..!!”
Darso hendak melangkah mendekati Citra.. tapi tangan Asrok yang memegang rantai tiba-tiba berkelebat.

Cring.. Prakkk..!! "Aaaow.. Srok..! Apa-apaan lu..!?"
Asrok mendekati Darso.. kemudian rantainya disabetkan kembali. Crakkk..!! Kepala Darso berdarah.

"Hei, hei.. Dia teman kita sendiri, Srok. Masa’ lu buta sih..?" Teriak Yon sambil melerai, memegangi tangan Asrok.
Tetapi, rantai itu pindah ke tangan kiri dan menghantam ke pundak Yon. "Aaaow..!!” Yon berteriak.

Darso hendak bangun dalam keadaan bingung, sebab ia diserang teman sendiri.
Asrok mendekat dengan mulut rapat. Rantainya diputar-putarkan di atas kepala.

Lalu, dalam satu hentakan rantai itu disabetkan kembali ke arah kepala Darso.
Prakkk.. Prakkk..!! "Aaah..!! Aaaow..!!” Darso berteriak kesakitan. Ia terjatuh dengan kepala berdarah.

Kini, rantai itu kembali menghantam mulutnya. Proook..!! Mulut itu pun mengucurkan darah.
Gigi Darso rontok dua biji. Asrok bagai orang gila yang tak kenal belas kasihan sama sekali.

Setelah ia menendang perut Yon hingga Yon terpelanting kesakitan..
maka rantainya pun disabetkan ke wajah Darso beberapakali.

Bahkan kini ia sendiri berteriak, "Aaa.. grrr..!!” Prak, prak, prok.. jeprot.. jeprot..!! Rantai itu disabetkan bertubi-tubi.
Tubuh Darso terkapar di jalanan dengan bermandi darah..
Tetapi Asrok masih menghantamkan rantai sebesar jempol kaki orang dewasa ke tubuh Darso.

"Jangan, Srok.. Jangan..!!” Teriak Yon melihat Darso bermandi darah di jalanan. Asrok tak peduli dengan teriakan Yon.
Orang-orang yang menyaksikan adegan itu pun merasa ngeri.
Banyak yang memalingkan wajah, tak tega melihat kepala Darso dihancurkan Asrok dengan rantai.

Tubuh Darso hanya bisa berkelojotan beberapakali. Rantai masih dihantamkan tak beraturan ke bagian kepalanya.
Rantai itu sendiri berlumur darah. Sampai-sampai salahsatu pintu toko di dekat Darso terkapar terkena percikan darah.

Asrok seperti orang kesetanan. Tak ada yang berani memegang atau menghentikan gerakannya.
Darso masih kejet-kejetan.. dan Asrok belum berhenti menghantamkan rantainya ke bagian kepala Darso..
yang sudah tak berujud kepala manusia lagi.

Lebih dari seratuskali sabetan, akhirnya Darso tak bergerak lagi. Ia mengembuskan napas terakhir..
pada saat otaknya memercik keluar dari tengkorak kepalanya yang dihancurkan oleh rantai Asrok.

Asrok terengah-engah. Jatuh berlutut.
Wajahnya, dan beberapa bagian tubuhnya, terkena percikan darah dari kepala Darso.

"Daaar..? Darsooo..!!” Teriak Asrok dalam keadaan sangat terkejut.
Ia segera merangkak mendekati kepala Darso yang sudah hancur. Memandang dengan mata membelalak liar.
Ia melihat rantai yang digenggamnya ternyata bermandikan darah.

"Daaar.. Kenapa kau..? Ohhh.. Darsoo..”
Orang-orang yang mengerumuni dari kejauhan menjadi heran melihat tangis Asrok semacam tangis penyesalan.
Banyak yang berpendapat, perbuatan Asrok adalah perbuatan di luar kesadaran diri sendiri.

Citra tersenyum tipis memandang kematian Darso. Napasnya menghempas lega.
Ia pergi membawa Ranu tanpa setau orang-orang. Tiga dendam telah terpenuhi.

Citra merasa puas melihat kematian orang-orang yang pernah memperkosanya.
Menurutnya, cara kematian yang mereka alami cukup sepadan dengan kekejian mereka saat merobek kegadisannya.

Tinggal tiga lagi. Yon, orang yang tadi ikut mengeroyok Ranu. Lalu.. Tom, yang memiliki rambut panjang seperti rocker nyasar.
Dan Sam, si pendek dengan penis kecil. Mereka harus mengalami kematian yang lebih mengerikan lagi.
Paling tidak, sama mengerikannya dengan kematian teman-teman mereka.

Lalu, bagaimana dengan Oom Piet..? Apakah ia harus mati juga..? Ia telah menikmati kehangatan Citra..
dengan cara memberikan obat pada kuah mie yang sengaja disendokkan untuk Citra.

Oom Piet memperdaya Citra.. menikmati apa yang ia inginkan dalam keadaan Citra tak bisa apa-apa.
Apakah ia perlu mengalami nasib seperti Darso..?
Citra masih mempertimbangkan, sebab bagaimanapun juga itu menyangkut masalah keluarganya sendiri.

Sekarang yang dipikirkan Citra adalah hadiah buat Gizma. Kalau ia tidak memberi hadiah pada Gizma..
maka nyawanya yang menjadi jaminannya. Ini aturan main yang mereka sepakati berdua.

Sekarang, siapa yang dijadikan korban..? Lelaki mana yang ingin diberikan kepada Gizma..?
Apakah Ranu..?

----oOo----

Rumah pegawai kedutaan itu akhirnya berhasil ditempati Citra.
Dalam waktu satu malam, ia berhasil memperoleh check kontan sebesar duapuluh juta..
dari seorang lelaki yang bernama Oom Harllan.

la seorang pengusaha hotel, yang pada malam itu istrinya sedang melahirkan.
Citra mengantar Ranu untuk menjahitkan luka-lukanya akibat perkelahian di jalan Melawai.

Pada saat Citra menunggu Ranu selesai ditangani dokter..
di pintu gerbang rumah sakit ia sempat berkenalan dengan Oom Harllan.

Omong punya omong, kenal punya kenal, akhirnya Oom Harllan mengajak Citra untuk pulang bersama-sama.
Waktu itu, tubuh Citra masih terasa dingin, seperti direndam di dalam tumpukan batu es.

Citra tau, lelaki setengah baya itu tergoda oleh kecantikannya.
Mata lelaki itu sering memandang ke bagian dada Citra yang tampak menantang.

Citra masih bisa jaga gengsi.. sekalipun dalam hati kecilnya.. ia merasa tak perlu melayani Oom Harllan.
Tapi, mulutnya sempat melontarkan kata.. "Saya sedang bingung, Oom..”
"Kenapa bingung..? Apa kesulitanmu..? Mungkin bisa kubantu..”

"Saya butuh uang duapuluh juta untuk menebus saudara saya. Besok saya harus lunasi rekening rumah sakit itu, Oom.
Ah, saya bingung sekali, sebab sampai hari ini saya nggak pegang uang lebih dari seratus ribu..”
Oom Harllan tersenyum. "Itu kan masalah kecil. Bisa saja saya bantu kamu, asal kamu juga bisa bantu juga..”

Citra sengaja tertawa dengan kesan kurang percaya. Oom Harllan menjadi lebih penasaran..
Lalu ia nekat mengeluarkan buku check dari tas kecil yang dibawa-bawanya sejak tadi.

Setelah membubuhkan angka 20 juta rupiah, ia berikan check itu kepada Citra.
"Nih, kalau kamu nggak percaya. Saya serius..” Citra diam sejenak, mempelajari check tersebut.

Lalu, ia tersenyum nakal seraya berkata.. "Saya juga serius..” Ia meremas tangan Oom Harllan.
Mata lelaki itu semakin berbinar-binar.
Citra menambahkan kata.. "Malam ini juga saya ingin membalas pertolongan ini..”

"Hanya malam ini saja..?"
Citra menggeleng. "Sampai kapan Oom butuh pertolongan, saya siap sedia membantu.
Hm.. sebentar, saya bilang dulu pada saudara saya yang di dalam..”

Citra pergi menghubungi Ranu. Oh, belum selesai juga. Bibir Ranu ikut dijahit..
karena sobek waktu dihantam piring oleh Yon. Ia tak berani mengganggu Ranu.

Ia hanya menulis sebuah pesan pada selembar kertas, kemudian dititipkan kepada seorang suster.
"Tolong, sampaikan pesan ini kepada teman saya itu. Terimakasih sebelumnya, Suz..”

Selepas menyelesaikan urusannya, Citra segera beranjak menyusul Oom Harllan yang sudah menunggunya di parkiran.
Suasana saat itu sangat sepi, maklum sudah pukul 12 malam.

“Maaf, Oom. Nggak kelamaan kan nunggunya..?” Tanya Citra sambil duduk di samping laki-laki itu.
Oom Harllan hanya tersenyum, namun tangannya tidak tinggal diam.

Dia mulai mengelus betis mulus Citra, membuat Citra jadi merinding syur.
Iiih.. belum apa-apa sudah dag-dig-dug gini.

Ia biarkan saja tangan laki-laki itu menyelinap ke balik gaun putihnya..
Menyelusuri kulit pahanya, bahkan sampai ke pangkalnya. Mungkin memang harus seperti ini pada awalnya.

Dan tanpa basa-basi lagi tangan Oom Harllan menyelinap ke balik celana dalam Citra. Tetap ia biarkan.
Bahkan Citra ingin diperlakukan seperti itu.

Maka ia merasakan jemari Oom Harllan mulai mengelus-elus jembut dan bibir kemaluannya.
Oh.. baru dielus saja sudah terasa enaknya.
Maka Citra membiarkan saja semuanya terjadi. Dengan hasrat semakin menggila tentunya.

“Kita tak mungkin bisa melakukannya di sini, Tra..” kata Oom Harllan setengah berbisik.
“Kalau kelihatan orang lain kan, bisa heboh..”

“I-iya, Oom..” sahut Citra sambil menahan tangan Oom Harllan agar jangan menjauh dulu dari liang vaginanya..
karena elusan itu terasa geli-geli enak.

“Di dekat sini ada hotel..” kata Oom Harllan sambil menunjuk ke arah selatan.
“Kita ke sana aja yuk..” ajak Citra. “Tapi oooh.. jangan cabut dulu tangannya, Oom.. elusan Oom enak sekali..”

Sebagai jawaban, Oom Harllan mengangsurkan bibirnya ke bibir Citra sambil bertanya.. “Beneran kamu mau..?”
“Bener, Oom.. ngapain aku bohong..?” Citra membiarkan bibir laki-laki semakin dekat ke bibirnya.

Lalu Oom Harllan melumatnya.. sementara tangannya tetap mengelus-elus liang vaginanya..
sehingga Citra jadi terkejang-kejang dalam perasaan yang indah dan tiada duanya.

Bisa ia bayangkan alangkah nikmatnya kalau semua ini dilakukan di dalam kamar tertutup..
sehingga ia dan Oom Harllan akan bebas melakukan apa saja.

“Ayo, Oom.. kita ke hotel aja, yuk..?” Ajak Citra sambil mencium pipi Oom Harllan.
Laki-laki itu mengangguk dan mengeluarkan tangannya dari balik celana dalam Citra.

Kemudian mereka segera bergegas menuju hotel yang tak jauh dari rumah sakit itu.
Sebuah hotel kecil tapi bersih, membuat Citra senang bisa check-in di situ.

Kamarnya tidak besar, tapi fasilitasnya lengkap. Berbeda dengan waktu di parkiran rumah sakit..
Setelah berada di dalam kamar hotel itu, Oom Harllan jadi agresif.

Begitu masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya, dia langsung menerkam Citra.
Memeluknya dengan ciuman ganas di bibir dan lehernya.

Ini memang yang Citra inginkan. Maka ia segera membalas dengan memeluk tubuh pria tua itu penuh hasrat..
dengan jantung berdegup kencang dan membayangkan apa yang akan terjadi dengan benak penuh tanda tanya.

“Buka ya bajunya, biar nggak kusut..” kata Oom Harllan sambil mencium pipi Citra dengan bibir terasa hangat.
Citra mengangguk sambil tersenyum.

Walaupun dengan malu-malu, ia menanggalkan gaun dan underwearnya..
sehingga tinggal cd dan bh saja yang masih melekat di tubuh sintalnya.

“Hmmm.. ternyata tubuhmu mulus juga..” kata Oom Harllan sambil mengelus-elus bongkahan payudara Citra.
“Mulus dan sintal..” kata Citra menggoda.

“Ah.. iya, bener. Tubuhmu memang bahenol, seksi sekali..” Oom Harllan melepaskan kancing bh Citra yang bernomor 36.
“Wow, ini baru toge..!!” Katanya sambil tersenyum puas, lalu meremas buah dada Citra yang besar itu dengan lembut.

“Oom kok masih pakaian lengkap gitu..? Buka juga dong biar adil..”
Citra berusaha melepaskan kancing baju Oom Harllan, kemudian laki-laki itu sendiri yang menanggalkannya.

Disusul dengan pelepasan celana denimnya yang berwarna biru gelap.
Mereka kini sama-sama hanya mengenakan celana dalam saja.

Citra melirik malu-malu saat Oom Harllan bertindak lebih cepat. Ia menanggalkan satu-satunya yang melekat di tubuhnya..
sehingga ia duluan telanjang bulat.

Yang membuat Citra berdebar adalah ketika melihat penis Oom Harllan yang tampak sudah keras dan mengacung tegak.
Ukurannya standar saja, tidak tergolong besar ataupun kecil. Panjangnya juga lumayan, sepertinya Citra akan menyukainya.

Ketika Oom Harllan naik ke atas tempat tidur, Citra tak kuat lagi menahan hasrat;
ingin ia segera memegangi penis yang tampak sudah tegang itu.

“Ini harus diapain, Oom..?” Tanyanya pura-pura lugu sambil mulai menggenggam ringan.
“Ya dimasukin ke dalam memekmu, makanya buka dong celana dalammu biar Oom leluasa..”
Sahut Oom Harllan sambil menurunkan celana dalam Citra dengan hati-hati.

Sedikit demi sedikit kemaluan Citra mulai terbuka..
lalu terbuka sepenuhnya setelah celana dalam itu dilemparkan ke dekat bantal oleh Oom Harllan.

“Hmm.. nggak kebayang.. memekmu pasti enak..” kata laki-laki itu sambil mengelus-elus jembut Citra..
yang dibiarkan tumbuh liar dan lebat sekali.

Kemudian Oom Harllan mendorong dada Citra dengan lembut..
supaya ia merebahkan diri di tempat tidur yang lumayan besar ini.

Citra pun manut saja. Bahkan ia berkata.. “Aku ngikutin mau Oom aja. Jangan diketawain ya..
Soalnya aku masih bodoh banget. Anggap aja sekarang ini aku cuma anak TK, dan Oom jadi gurunya..”

“Santai aja, Tra.. kita lakukan secara pelan dan lembut..” sambut Oom Harllan.
“Tapi bagaimana kalau kamu hamil nanti..?”

“Yah jangan bikin hamil dong, Oom..” Citra tertawa.
“Aku nggak akan nuntut apa-apa, bantuan Oom tadi sudah sangat berarti buatku..”

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------
 
Bimabet
---------------------------------------------oOo------------------------------------------------

Cerita 080 – Semua Karena Nafsu..!.. [Part 8]

“Berarti pada waktu mau klimaks..
Oom harus cabut dan dilepaskan di luar..?”
“Terserah.. pokoknya asal jangan hamil. Oom tentu lebih pengalaman dalam soal itu..” Citra terus memasang wajah lugu.
“Iya, tenang aja. Aku jamin takkan hamil..” Oom Harllan memastikan.

“Tapi besok-besok kalau mau aman, pasang alat KB aja di dokter.
Bilangnya sudah punya suami gitu. Jangan ngaku masih lajang..”
“Oke, Oom..” sahut Citra dengan senyum.

Oom Harllan rebahan di sampingnya, saling berhadapan dan mulai asyik mempermainkan bulatan payudara Citra.
Mula-mula cuma diremas-remas dengan lembut. Namun lama kelamaan mulai mengulum putingnya.

Citra menggelinjang ketika miliknya terasa disedot-sedot seperti anak kecil oleh Oom Harllan.
Ujung lidah laki-laki itu terasa bergerak-gerak, menyapu-nyapu puting payudaranya yang sangat montok ini.
Citra jadi geli-geli enak dibuatnya.

Dan jari Oom Harllan juga merayap ke arah vagina Citra lagi.
Mungkin mau melanjutkan yang terhenti di parkiran tadi.

Dielusnya bibir kemaluan Citra, lalu klitorisnya..
Itu benar-benar membuat Citra mengejang-ngejang dalam nikmat yang luar biasa.

Baru pakai jari saja sudah begini enaknya.. apalagi kalau penisnya sudah dimasukkan.. pikirnya nanar.
Citra jadi tak sabar lagi untuk merasakannya. Tapi ia harus menahan diri agar rencananya tidak kacau.

Tak lama kemudian, Oom Harllan meminta agar Citra menelentang.
Pikirnya laki-laki itu sudah mau memasukkan penis ke dalam liang vaginanya. Tapi ternyata tidak.

Oom Harllan malah menciumi pusar Citra. Lalu menurun ke arah kemaluan.
“Oom..” Citra terkejut ketika Oom Harllan mulai menciumi belahan kemaluannya.

Tapi lalu teringat kalau itu adalah salahsatu kesukaan laki-laki..
karena itu ia pun diam sebab seharusnya memang seperti itu.

Citra menurut saja ketika kedua pahanya direntangkan selebar mungkin.
Ia melakukannya dengan jantung semakin deg-degan..
namun tetap diam saja sambil menatap langit-langit kamar hotel.

Dan tiba-tiba Citra merasakan sesuatu yang geli tapi enak luar biasa mulai menjalar di liang vaginanya.
Oh.. rupanya Oom Harllan sudah mulai menjilatinya. “Ahh..” Citra langsung merintih.

Terlebih ketika ia rasakan jilatan laki-laki itu terpusat di kelentitnya,
Citra jadi tak bisa menahan rintihan-rintihannya lagi.

“Oom.. kok enak banget sih..? Terus, Oom.. iya, yang di situ enak sekali.. ooh..!!”
Citra menggeliat-geliat dalam arus nikmat yang sungguh luar biasa.

Sekujur tubuhnya seolah dialiri arus listrik yang membuatnya berdenyut dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun.
Bahkan.. tak lama kemudian ia merasakan liang vaginanya berkedut-kedut..
dan Citra merasa seperti melesat ke angkasa, membuatnya merintih.

“Oomm.. ooh..!!” Citra tak tau apa yang sedang terjadi saat itu..
namun bisa ia tebak kalau Oom Harllan seperti sengaja ingin membuat vaginanya basah sebasah-basahnya.
Bukan hanya lendirnya sendiri yang membasahi vagina itu, tapi juga air liur Oom Harllan yang sama banyaknya.

Kemudian Oom Harllan naik ke atas sambil mengarahkan batang penisnya ke vagina sempit Citra.
“Sengaja kubikin becek, supaya nggak sakit nanti..” katanya sambil mulai menggesekkan penis ke vagina gadis itu.

“Ehm.. Oom..!” Desis Citra begitu merasakan desakan penis Oom Harllan..
yang mulai berusaha untuk menembus masuk liang nikmatnya.. membuat napasnya tertahan.

“Pahanya lebih direnggangkan lagi..” kata Oom Harllan yang dituruti juga oleh Citra.
Terasa desakan penis laki-laki itu kuat sekali, mulai membenam sedikit.

Citra makin merenggangkan pahanya supaya Oom Harllan tidak kesulitan dalam melakukan penetrasi.
Pelan ia merasakan sedikit demi sedikit batang kemaluan Oom Harllan mulai masuk ke dalam liang vaginanya.

Tapi laki-laki itu tidak mendorong langsung sampai tuntas..
melainkan digeser-geser dulu, lalu makin lama makin dalam masuknya.

“Sakit..?” Tanya Oom Harllan ketika Citra merasa ada yang sedikit perih di dalam liang vaginanya.
“Sakit sedikit..” sahut gadis itu. “Tapi nggak apa-apa, teruskan aja, Oom..!”

“Tahan ya sakitnya.. hanya pertamakali ini saja terasa agak sakit, nantinya pasti enak..”
“Iya.. aku kuat nahan sakit kok, Oom.. tuntaskan aja semua..” sahut Citra sambil mencumi laki-laki itu.

Lalu desir-desir nikmat itu makin lama makin nyata..
ketika penis panjang Oom Harllan mulai berayun di dalam liang vaginanya.

Oh.. pantaslah bersenggama itu disebut surga dunia. Memang sungguh luar biasa enaknya.
Citra selalu menyukainya.. terutama dengan lelaki perkasa dan baik hati seperti Oom Harllan ini.

Oom Harllan mulai menggerakkan penisnya secara teratur.. mengocok lembut namun kuat..
Sleppp.. masuk semakin dalam.. ditarik lagi.. slebb.. didorong lagi.. luar biasa nikmatnya..!

Sehingga rintihan Citra berlontaran begitu saja. “Oom.. enak sekali, Oom.. iya, Oom.. enak..!”
Oom Harllan mendekap lehernya sambil berbisik..
“Memek kamu juga enak banget.. meski nggak perawan tapi tetep menggigit..”

Citra tidak tau apakah ucapan itu keluar dari kejujurannya atau hanya ingin menyenangkan hatinya saja.
Yang jelas Citra segera meremas-remas rambut laki-laki itu sampai jadi kusut masai..
karena menahan geli-geli enak enjotan penis Oom Harllan yang berada di dalam jepitan liang kemaluannya.

Oom Harllan pun mulai ganas melumat bibir tipis Citra..
sambil meremas-remas buah dada gadis itu dengan agak keras..
Sementara penisnya tetap mengenjot liang kemaluan Citra secara terus menerus.

Oh.. nikmat sekali. Sehingga Citra jadi sering terpejam-pejam dibuatnya.
Batinnya seolah melayang-layang di langit ketujuh. Luar biasa indah dan nikmatnya.

Tidak butuh waktu lama.. tiba-tiba sekujur tubuh Citra sudah mengejang oleh puncak kenikmatan.
Bersamaan dengan bagian dalam liang vaginanya yang terasa berkedut-kedut cepat..
Lalu.. ssrrr.. srrrr.. srrr.. srrr.. seperti ada yang mengalir di dalamnya.

Citra baru saja mengalami orgasme. Entah berapakali ia mengalami hal itu. Citra tak peduli lagi dengan semuanya.
Kecuali satu hal.. bahwa enjotan batang kemaluan Oom Harllan sungguh luar biasa enaknya.
Membuat Citra terkadang memejamkan mata, terkadang melotot, dan sesekali juga menahan napas.

“Hah..” Tiba-tiba Oom Harllan mencabut batang kemaluannya, kemudian bergegas naik ke atas perut langsing Citra.
Sambil memegangi penisnya yang sudah berlumuran lendir, ia mendengus panjang.

Crett.. crott.. crett.. crett..!! Moncong penisnya menyemburkan cairan kental hangat ke buah dada, leher dan pipi Citra.
Citra yang siap sedaritadi, terlihat senang saat dada dan mukanya disemprot oleh cairan kental itu.
Bahkan yang ada di pipi ia usap dan dijilatinya dengan penuh nafsu.

Oom Harllan pun lalu mencium kening gadis itu. “Kamu sangat memuaskan.. aku merasa nggak rugi..”
“Masa’ sih, Oom..?” Citra bangkit dan meraih handuk yang disediakan oleh hotel.

Ia seka keringatnya yang telah bercampur aduk dengan keringat Oom Harllan.
Ketika melirik ke samping, dilihatnya laki-laki itu mulai kelojotan dengan muka memerah padam.

“Citra.. ughh.. tubuhku sakit..!” Citra yang sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa memandanginya.
Dan sama seperti Yammar dan Alex, akhirnya Oom Harllan pun berubah menjadi patung batu.

Malam itu juga, urusan Citra selesai. Badannya kembali panas, tidak sedingin tadi.
Gizma muncul di kamar hotel, dan menyuruh Citra memejamkan mata.
-----ooOoo-----

Itulah riwayat rumah kontrakan seharga duapuluh juta.
Kini rumah itu ditempati oleh Citra sendirian.

Kadang-kadang saja Andani tidur di situ, atau Hanna, atau Ninung.
Hanya Sarah yang belum pernah datang ke rumah kontrakan Citra.

Ranu sendiri pernah datang ke rumah Citra, tapi ia tidak bermalam di sana.
Ia hanya membicarakan soal Gizma, dan rasa kagumnya terhadap kecantikan perempuan itu.

Tetapi pada sore ini, Ranu datang tidak sekadar bicara soal Gizma.
Luka jahitannya masih membekas, belum kering betul.

Sepertinya bukan hanya luka jahitan di pelipis saja yang belum kering, melainkan luka di hatinya juga masih basah.
la penasaran, karena beberapa hari ini diam-diam ia mencari Yon dan Asrok, namun gagal.

"Kau ini apa-apaan..? Mengapa harus mencari mereka..?" Citra kesal karena hatinya mencemaskan Ranu.
"Nggak perlu lagi cari-cari mereka. Ntar bikin lu tambah susah..”

“Tra, aku masih penasaran sama omongan mereka. Aku nggak rela kamu dikatakan pernah diantre dan lain sebagainya.
Aku ingin robek mulut tuh anak, biar nggak sembarangan kalo ngomong..”

Citra salut terhadap pembelaan Ranu. Tapi sifat Ranu yang penasaran membuatnya cemas sekali.
Citra tau, Ranu punya keberanian. Tapi Citra juga bisa mengukur kekuatan yang ada pada Ranu.

Tidak seimbang dengan mereka. Tubuh Ranu sendiri agak kurus, tidak sekekar tubuh Tom atau Yon.
Kalau terjadi duel antara Ranu dengan Tom, Citra sangsi untuk mengharapkan kemenangan dari Ranu.

"Ran, lupakan omongan mereka itu. Kamu nggak perlu penasaran lagi sama omongan mereka.
Anggap saja mereka sedang mabuk..” Ranu geleng-geleng kepala.

"Mereka nggak sedang mabuk, dan nggak bisa dianggap begitu, Citra.
Mereka harus diberi pelajaran. Biar nyaho. Biar tau adat..”

Napas Citra dihela panjang-panjang.
Susah juga membujuk Ranu untuk melupakan kata-kata Yon.

Ranu sendiri bilang.. “Tra.. sejak aku tau kau berdiri di depanku menghadang Asrok..
aku semakin merasa nggak rela kalau kamu dilukai oleh mereka, secara fisik maupun batin.
Aku tau kamu sakit hati oleh kata-kata mereka, dan aku harus membalas sakit hatimu itu..”

"Nggak perlu, Ran. Nggak perlu..”
"Kenapa nggak perlu..?" Yukas Ranu cepat.

"Kalau tidak ada kamu, nasibku akan seperti korban yang dihancurkan dengan rantai itu.
Jadi, apa salahnya kalau aku merasa beruntung..
sebab kamu berani berdiri di depanku ketika Asrok hendak masuk rumah makan..?
Pembelaanmu yang seperti itu, nggak bisa kubalas dengan ucapan terimakasih saja..”

"Bisa..” kata Citra cepat.
"Nggak bisa..” Ranu ngotot. Citra diam.

Lama sekali mereka saling membisu. Duduk Citra lebih santai lagi.
Merebah di sofa empuk, kepalanya berpaling ke arah akuarium, tak berani memandang Ranu.

Mungkin ada sesuatu yang telah selesai ia renungkan..
Karena tiba-tiba Citra berkata dengan tanpa memandang Ranu..

"Jangan mencampuri urusan pribadiku, Ran..”
"Urusan.. urusan pribadi, bagaimana..?"

"Kematian mereka adalah urusan pribadiku. Aku tak ingin mereka mati di tangan orang lain.
Tak ingin mereka hancur di tanganmu. Aku yang bertindak sebagai algojo mereka..” Citra memandang Ranu,

"Bukan kamu yang berhak membunuh mereka..”
Merinding tengkuk kepala Ranu mendengar ucapan Citra dengan wajah dingin itu.

Ranu tau, Citra bukan sedang main-main. Gadis itu serius.
Karena itu, Ranu tidak berani menyepelekan ucapan tersebut.

"Apa yang telah terjadi sebenarnya, Citra..?” Bisik Ranu dengan hati-hati sekali.
Tak ada senyum sedikit pun di bibirnya, tak ada canda sepatah kata pun dari tiap katanya.

Mata Ranu pun menatap Citra dengan serius, sampai dahinya sedikit berkerut.
“Tra..” sapanya lagi setelah Citra diam saja. "Aku sahabatmu, bukan..?" Citra masih diam.

"Kau percaya padaku, bukan..?" Citra tak ada reaksi. Makin lama suara Ranu semakin lembut mengharu.
Baru sekarang Citra merasakan kesungguhan Ranu dalam berbicara dengannya..
seakan pada saat itulah jati diri Ranu muncul di depan Citra.

"Sejak peristiwa di Melawai itu, Tra.. kau sudah kuanggap bukan sekadar sahabat.
Dukamu kujadikan dukaku juga. Sungguh, Tra. Aku merasa berhutang nyawa padamu.
Jadi, apa salahnya kalau aku ikut membantu meringankan bebanmu.
Apa salahnya kalau aku turut menanggung masalahmu..?"

Citra masih diam. Makin membiru hatinya mendengar kata demi kata yang diucapkan penuh perasaan itu.
"Katakan, kau ada masalah apa dengan mereka. Katakan yang sebenarnya.
Kalau itu suatu rahasia, nyawaku yang jadi jaminan untuk menutup rahasia itu. Nyawaku, Tra..”

Tak tahan juga Citra memendam keharuan itu. Kian lama kian jelas kedua matanya digenangi air.
Bantalan sofa masih dipeluknya. Matanya yang basah menerawang, mulutnya ditutup dengan bantalan sofa itu.

Ia belum mengisak. Ia bertahan untuk tidak mengisak. Namun, apakah ia akan mampu..?
Ranu bergeser, duduk lebih dekat lagi dengan Citra.
Kini semakin yakin hati Ranu.. bahwa Citra telah menyimpan satu rahasia pribadi yang ingin dipikulnya sendiri.

Ranu merasa tak rela jika Citra menanggung beban penderitaan seorang diri.
Maka, dengan lembut dan masih penuh hati-hati, Ranu pun berkata pelan..

"Kau menyimpan dendam kepada mereka selama ini..? Benar begitu..?" Citra mengangguk samar.
Ranu menghela napas, menenangkan emosi. Tapi rasa penasarannya mendesak batin, memaksa ia bertanya..

"Kenapa kau mempunyai dendam kepada mereka..?"
Makin deras air mata itu mengalir, makin sulit Citra mengekang isak tangisnya.

Akhirnya, ia pun memeluk Ranu dalam satu luapan tangis yang meratap-ratap.
Di sela tangisnya itu, Citra melontarkan kata mengharukan.. "Aku.. aku dinodai oleh mereka, Ranuuu..”

"Ya, Tuhan..!!” Ranu bagai lemas. Tulangnya seperti dilolosi dari bawah. Ia memeluk Citra erat-erat.
Tubuh Citra terguncang-guncang oleh tangisnya yang kian menjadi.
-----ooOoo-----

Sore beranjak petang. Hari itu mereka libur.. sehingga tak ada beban harus pergi ke tempat kerja.
Citra memuaskan tangisnya dalam pelukan Ranu.
Setelah ia merasa sedikit puas, ia pun menceritakan awal peristiwa menyakitkan itu terjadi.

"Itulah sebabnya aku ingin menangis ketika aku melihat tiang dan lantai pada rumah kuno itu, Ranu.
Aku teringat saat-saat mahkotaku hilang direnggut mereka secara beramai-ramai..”
"Sungguh biadab mereka itu..” geram Ranu dalam terawangnya yang mengandung dendam.

"Mereka berenam. Tiga di antaranya telah kubunuh..”
"Kau yang membunuhnya?" Ranu sangsi. Citra mengangguk.

"Satu orang terjatuh dari lantai lima di tempat kerja kita.
Satu lagi dihantam mobil dan tergencet pagar pembatas jalur.. dan yang terakhir..
yang kemarin diremukkan kepalanya oleh temannya sendiri..”

Semua kematian yang diceritakan Citra terbayang jelas dalam ingatan Ranu.
Tetapi, ia masih tidak tau, mengapa Citra merasa sebagai pembunuh mereka.
"Padahal kau tidak menyentuh mereka seujung rambut pun, kan..?" Tanyanya.

"Aku mempunyai semacam kekuatan gaib. Kekuatan itu mulanya tidak kuketaui. Sejak peristiwa di Melawai itu..
baru aku bisa menyimpulkan, bahwa di dalam diriku ternyata ada satu kekuatan gaib, yang tak kutau..
entah dari mana datangnya. Aku bisa memerintahkan musuh-musuhku untuk melakukan apa saja.
Bahkan bisa mendorong mereka dengan hanya menggunakan pandangan mata.
Oh, banyak sekali perubahan pada diriku yang membingungkan, Ran.
Terutama terjadi setelah aku mengalami pemerkosaan itu..”

Citra tak jadi melanjutkan ceritanya.. karena pada saat Itu ada sebuah Vespa berhenti di depan rumahnya.
Ia bergegas membukakan pintu untuk sang Tamu.

"Oh, kau Nico..? Lama sekali tidak menemuiku..?" Hati Citra berdebar-debar. Nico datang. Berdiri di depan pintu.
Memandang ke dalam, menatap Ranu sebentar, kemudian memandang keadaan di luar rumah.

Nico berkata dengan dingin.. "Rumah ini cukup nyaman. Tenang dan sepi. Memang enak untuk santai.
Hebat sekali kau bisa kontrak rumah seharga duapuluh juta. Mestinya kau harus bekerja keras dong..”

"Nico.. masuklah dulu..”
"Oh, tidak. Aku tidak ingin mengganggu kalian.
Aku cuma ingin menyampaikan pesan dari Oom Piet sekeluarga, yang telah kau kecewakan dan kau lupakan itu..”

"Nico, kita perlu bicara. Kau tidak akan mengerti jika ..”
"Kensi sakit. Sekarang diopname di rumah sakit. Cuma itu pesan yang harus kusampaikan padamu.
Oke, aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang, Citra..”

"Nico..? Nic..!" Citra berlari mengejar Nico yang sudah berada di atas Vespa.
Ia sangat cemas dan sedih melihat sikap Nico yang dingin.

"Nico, kau pasti belum paham dengan apa yang terjadi dan telah menimpaku belakangan ini.
Kita perlu bicara tanpa emosi, Nico..”
"Kurasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kurasa semuanya sudah jelas bagiku..”

"Nic.. aku masih.. masih mencintaimu. Aku ..”
"Buang saja cinta itu. Terlalu murah buatku..!"

Setelah mengucapkan kata-kata demikian, Nico menstarter Vespa-nya..
kemudian pergi tanpa mau berpaling pada Citra lagi.
Citra hanya memandang kepergian Nico dengan tangis yang tak bisa dibendung lagi.

Ia memandang sampai Nico hilang di balik tikungan. Bibirnya digigit sendiri sambil melangkah gontai.
Di pintu, Ranu berdiri memperhatikan Citra dengan penuh rasa iba.

Tanpa diminta, ia menyambut Citra yang limbung, lalu memeluknya kuat-kuat setelah pintu ditutup.
Citra menghamburkan tangis untuk yang keduakali dalam pelukan Ranu.

Bisikan lembut sempat didengar oleh Citra.. "Tabah. Bersabarlah.
Ada masanya sendiri untuk berhenti dari penderitaan. Ada masanya, Citra.
Sekarang yang kau butuhkan adalah ketabahan..”

"Nico.. Aku masih mencintai dia, Ran. Aku mencintai Nico, tapi dia tidak mau tau dengan masalahku..”
"Suatu saat, dia pasti mau tau. Bersabarlah, Citra. Maklumilah sikapnya tadi..
karena ia melihat aku berada di sini berdekatan denganmu. Ia pasti cemburu padaku.
Orang cemburu sukar diberi penjelasan pada saat rasa cemburunya di puncak.
Tapi nanti, setelah emosinya reda, kita baru bisa memberi penjelasan padanya..
dan ia pasti mau mengerti tentang semua ini, Citra..”

Ranu. Alangkah bijaknya dia dalam keadaan seperti itu. Alangkah besar rasa persahabatannya.
Kalau saja Ranu tidak pandai menghibur hati Citra dengan serangkai kata-katanya..
sudah pasti Citra akan berlarut-larut dalam tangisnya.

Ucapan-ucapan sederhana dari Ranu, bagi Citra sungguh suatu penghibur hati yang sedang duka.
Ternyata inilah orang yang dicari Citra sejak ia kehilangan mahkotanya.

Ranu pandai mengalihkan rasa. Pandai pula membawa diri dalam bergaul.
Ia tau apa yang dibutuhkan Citra pada malam ini. Bukan buaian mesra, melainkan kesegaran jiwa.
Peralihan satu konsentrasi.

Karenanya, Ranu mengajak Citra jalan-jalan..
supaya pikiran Citra tidak terbelit oleh duka dan kenangan pahitnya terus-menerus.

"Aku masih punya sisa gaji untuk bulan ini..” kata Ranu.
"Bagaimana kalau kita nonton di Twenty One..? Ada film lucu di sana..”
-----ooOoo-----

Ranu punya sasaran yang tepat. Film lucu itu mampu mendominir otak Citra..
Sehingga suasana yang ada di dalam gudang bioskop itu telah mengubah duka Citra menjadi suka.

"Sayang sekali kita tidak bisa bersama Gizma..” bisik Ranu.
"Kalau saja Gizma ada di antara kita, mungkin suasana akan jadi lebih ceria lagi..”

Kata-kata diucapkan Ranu pada saat mereka makan di Pujasera.
Citra melirik Ranu, ia melihat rona sesal membentang tipis di wajah Ranu.

Lalu, Citra pun berbisik lirih.. "Kau ngebet sama dia..?"
Geli juga Ranu mendengar pertanyaan itu. "Ngebet dalam hal apa..?" Ia ganti bertanya.
Citra hanya mengikik sembil menikmati sisa es telernya.

Ranu bicara sambil mempermainkan sendok gelas yang telah kosong. "Aku penasaran sekali.
Dia itu.. masih kuliah atau sudah bekerja..? Masih single atau udah punya suami..?"
"Lu tanya aja sendiri kalau lagi ketemu dia..” jawab Citra.

"Coba ceritakan sedikit tentang perkenalanmu dengan Gizma. Ada pembicaraan apa saja selama ini dengannya..
mungkin aku bisa mempunyai kesimpulan untuk menyelidiki pribadinya..”

"Ah, lu kayak detektif aja Terlalu banyak nonton HAMMER kali lu..”
Sifat canda Citra sudah nampak normal kembali. Ranu senang, sebab itu ia tertawa lepas.

"Eh, Ran.. elu bener-bener naksir dia..?"
"Busyet dah. Lu pikir main sandiwara..?"

"Bukan begitu, Ran.. kalo lu beneran naksir dia, gue sampein ke dia deh. Ntar gimana kata dia, gue sampein ke lu..”
"Mau jadi comblang lu..? Hahaha..”

"Demi seorang sahabat, nggak ada salahnya, kan..?" Citra melirik lucu.
"Boleh juga begitu. Tapi.. kira-kira dia udah punya suami apa belum, sih..? Kalo menurut pandangan lu, gimana..?"

"Kalau menurutku sih.. dia belum punya suami. Memang usianya kayaknya, di atas kita.
Yah, mungkin tiga-empat tahun lebih tuaan dia ketimbang kita. Tapi, gue nggak pernah lihat dia jalan ama cowok.
Di rumahnya juga gue lihat nggak ada tanda-tanda kehidupan cowok di sana..”

Ranu merenung, manggut-manggut sambil menggumam. "Ah, sayang kita nggak tau di mana rumah dia sebenarnya..”

CONTIECROTT..!!

---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd