---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------
Cerita 080 – Semua Karena Nafsu..!.. [Part 6]
"Apa.. apa yang harus kulakukan..?” Citra kebingungan. Panik.
Ia ingin menelepon resepsionis, tapi tidak jadi.
Karena suara Alex menghentak mengagetkan sambil tubuhnya menggeliat kaku.
Matanya terpejam kuat-kuat pada saat kulit kakinya mulai menjadi berbintik-bintik kasar.
Citra jadi merinding. Debaran jantungnya membuat sekujur tubuh gemetar.
Sekali lagi ia menyaksikan tubuh orang yang habis diajaknya bercumbu menjadi kaku.
Kedua kakinya yang berbentuk kulit menjadi keras berbintik-bintik. Lalu, perubahan itu merayap ke atas.
Penisnya yang tadi keras kini juga berbintik-bintik kaku.
Dan akhirnya, sekujur tubuh Alex berubah menjadi patung batu..
dalam keadaan kedua tangan mendekap dada dan mulut menganga.
Alex menjadi patung batu..
dengan ekspresi wajah bagai orang memekik dalam mencapai puncak kenikmatannya.
"Alex.. Alex, ohhh..” Citra menangis, napasnya makin terengah-engah.
Ia meraba tubuh Alex, ternyata benar-benar berubah menjadi patung batu yang kasar.
Tubuh Citra yang belum sempat mengenakan pakaian itu menjadi panas, tidak sedingin tadi.
Keringatnya mulai bercucuran bagai menyembur dari pori-pori kulitnya.
Dalam keadaan takut dan kebingungan itu, Citra mendengar suara lembut di belakangnya.
“Terimakasih, Citra..” Wajah Citra segera berpaling.
"K-kau..!!" Bentak Citra begitu melihat Gizma merapikan rambut di depan cermin.
"Memuaskan sekali orang-orang pilihanmu itu.. aku menyukai hadiah seperti ini, Citra..”
Gizma berkata sambil menyeka keringatnya yang mengucur di sekujur tubuh.
Ia tersenyum memandang Citra yang berwajah bingung.
"Dia temanku. Kenapa dia menjadi patung..? Ohhh.. Gizma, aku tak mau seperti ini.
Aku tak mengerti apa maksud kemisteriusan ini, Gizma..?”
"Akan kujelaskan maksudnya. Tapi, pejamkan matamu dulu..” Citra tertegun dengan napas masih ngos-ngosan.
Gizma masih tetap kalem, kendati napasnya sendiri tampak terengah-engah, namun tak separah Citra.
Ia berkata dengan penuh wibawa.. "Pejamkan mata, Citra. Kau harus beristirahat, Teman..”
Sekali ini, Citra kembali memejamkan mata. Tak lebih dari sedetik.
Ia buru-buru membuka matanya karena ingin menanyakan sesuatu kepada Gizma.
Tetapi, ketika ia membuka kelopak matanya, ternyata dia kembali tercengang.
Ia berada di dalam kamarnya lagi. Duduk di tepian ranjang dengan mengenakan gaun tidur yang tipis.
Kamar itu sepi. Tak ada patung Alex. Tak ada Gizma. Sepertinya semua itu hanya sebuah mimpi belaka.
Ia melihat pakaian seragam kerjanya tergeletak di lantai, di bawah kursi.
Sepertinya ia tadi sudah pulang, melepas pakaian seragamnya dan berganti gaun tidur yang tipis itu.
Hanya saja, semua itu tidak disadari Citra. Tak diingatnya sama sekali.
Yang ia ingat hanya berada dalam kamar hotel bersama Alex. Bercumbu dan selesai.
Gizma muncul, Citra memejamkan matanya. Lalu, ketika ia hendak menanyakan sesuatu pada Gizma..
tau-tau ia sudah berada di dalam kamarnya sendiri. Uhhh.. sangat ajaib. Membingungkan sekali.
Citra menjadi malu pada dirinya sendiri. Ketika ia berdiri di depan cermin, ia melihat wajahnya layu. Pucat.
Kesegarannya bagai terkuras habis untuk bercinta bersama Alex.
Pada saat itu ia merasa benar-benar malu pada diri sendiri, mengapa ia menjadi perempuan jalang.
Padahal selama ini nafsunya tak pernah terbakar sehebat itu. Ia pandai menyembunyikan perasaan pribadinya.
Ia pernah mengharapkan ciuman dari Nico, tapi ia bertahan untuk tidak mengatakan harapannya itu.
Sekarang kenapa keadaan jadi terbalik sama sekali. Ia begitu berani memancing lelaki.
Berani menyerang lelaki lebih dulu. la jadi buas dan beringas dalam bercumbu. Oh, malunya.
Padahal dalam keadaan seperti saat ini, saat ia memandang dirinya di cermin ini..
ia sama sekali tidak menyukai caranya yang brutal itu.
Dalam keadaan seperti sekarang, ia tidak akan berani memancing-mancing lelaki..
untuk menggiringnya ke alam bercinta yang beringas.
Menyadari sikapnya belakangan ini, maka timbullah kekhawatiran dalam hati Citra.
Ia mengeluh dalam kecemasan, dan berbisik pada dirinya sendiri..
"Bagaimana kalau aku sampai hamil..? Perutku sering merasa mual, ingin muntah tapi susah.
Oh.. jangan-jangan benih-benih itu berubah menjadi janin dalam rahimku. Ohhh.. mengerikan sekali.
Aku tidak mau hal itu terjadi. Tidak..!!"
-----oOo-----
Siang itu, Citra sengaja datang ke rumah Andani sendirian.
Tidak begitu mengherankan kedatangan itu bagi Andani.
Tapi yang mengherankan adalah kelesuan wajah Citra dengan kemurungannya.
"Kenapa sih..?" Tak perlu dijelaskan, Citra sudah paham arti teguran Andani itu.
"Ada sedikit masalah..” jawab Citra. "Carikan rumah kontrakan buat aku dong..”
"Kontrakan..? Kok aneh..? Bukannya kamu lebih enak tinggal di rumah oommu yang mentereng itu..?
Kok malah kamu pindah sih..? Nggak salah nih..?"
"Ketenanganku sudah terganggu di sana. Aku mulai muak..” Citra bicara sambil cemberut.
"Bisa kau jelaskan padaku, Tra..?"
Mulanya Citra sedikit ragu. Tapi akhirnya ia bicara juga apa adanya kepada Andani.
"Aku diganggu Oom Piet terus-menerus. Tingkahnya makin lama makin menjengkelkan sekali..”
Andani berkerut dahi memandang Citra yang cemberut lesu.
la menjadi curiga melihat semburat warna pucat yang melapisi wajah Citra.
Lalu, ia pun berbisik.. "Kau diganggu.. diganggu dalam birahi..?"
Citra mengangguk. “Tapi, kuminta ini rahasia sekali lho, An. Jangan sampai ada yang tau..”
"He-eh..” Andani mengangguk beberapakali.
“Tapi.. tapi ia berhasil menodaimu..? Atau hanya kejahilan tangannya saja..?"
Sukar sekali memberi jawaban yang pasti.
Alangkah malunya Citra bila temannya mengetahui bahwa kesuciannya telah hilang.
Tapi, ia sendiri dibayang-bayangi oleh kengerian yang sebenarnya.. sehingga butuh jalan keluar yang baik.
Dari keraguannya itu, akhirnya Citra memilih jawaban. "Cuma keisengan tangannya aja, kok..”
"Ohhh.. syukurlah kalau cuma begitu. Berarti kau belum dinodai.
Memang, ada baiknya kamu harus cepat-cepat pindah dari rumah itu sebelum keisengan itu ngelunjak jadi kebiadaban..”
Kebiadaban itu sudah terjadi..!!
Ingin sekali Citra mengatakannya demikian, tapi kata-kata itu tersekat di tenggorokan, tak jadi terlontar.
Hanya saja, ia menjadi termenung dalam kebungkamannya.
Pikirannya mulai menerawang pada kelakuan Oom Piet yang makin menggila.
Yang masih segar dalam ingatannya adalah saat tadi pagi ia selesai mencuci bajunya, lalu ia ingin mandi.
Tiba-tiba, Oom Piet muncul dari dalam bak mandi yang besar itu.
Rupanya, lelaki setengah baya itu mengetahui kebiasaan Citra jika habis mencuci, pasti mandi.
Karena istrinya pergi mengantar kedua anaknya ke sekolah..
maka Oom Piet langsung masuk ke dalam bak mandi dalam keadaan polos.
Air di dalam bak mandi hanya setengah, dan ia menunggu Citra di situ..
sampai pintu kamar mandi terdengar dikancing oleh Citra.
Citra hampir berteriak sekeras-kerasnya sewaktu Oom Piet muncul dari dalam bak mandi..
pada saat Citra telah melepas segala pelapis badannya.
Untung tangan Oom Piet segera meraih mulut Citra dan membekapnya sambil berbisik..
"Ssst.. Kalau kau berteriak dan bibi mendengar, maka masalah ini akan diadukan pada tantemu.
Tantemu nggak akan percaya kalau aku naksir kamu. Kamu yang akan dianggap kurang ajar sama suami tantemu.
Diam, jangan teriak-teriak..”
Sambil berbisik begitu, tangan Oom Piet melepas bekapan di mulut Citra, dan berpindah meremas di dada.
Citra berhasil meronta, lalu mundur sampai ke sudut. Sayang ia tak sempat meraih handuk untuk menutupi tubuhnya..
sehingga ia hanya bisa mendekap dadanya sambil menghadap ke dinding.
Kepalanya berpaling, menampakkan wajah yang marah dan muak kepada Oom Piet.
"Jangan anggap aku seperti masa muda tante, Oom. Aku bukan perek. Keluar sana..!"
Citra memberanikan diri mengusir Oom Piet dari kamar mandi.
Namun Oom Piet justru mendekat, dan Citra kebingungan menghindarinya.
"Sudah lama aku menaruh hati padamu, Citra. Sumpah. Aku ingin sekali memilikimu..”
"Jangan dekati aku, Oom..!" Kata-kata itu tak didengar oleh Oom Piet.
Lelaki setengah baya itu justru makin mendekat dan meraih pundak Citra sambil berbisik..
"Sekali ini saja, Citra. Sekali saja..”
“Lepaskan aku..!! Persetan dengan kemauanmu. Ohhh.. lepaskan..!"
Citra meronta, tapi Oom Piet lebih cekatan meraihnya dan menciumi wajah Citra penuh nafsu.
Tak ada pilihan lain bagi Citra, tangannya pun bergerak cepat menampar wajah Oom Piet. Plakkk..!!!
Keras sekali tamparan Citra, membuat Oom Piet terhenyak.
Kemudian dengan kedua tangan Citra mendorong Oom Piet kuat-kuat.
Maka, terpelantinglah lelaki itu dan jatuh dengan kepala membentur dinding.
Benturan itu cukup keras, dan mengakibatkan kepala Oom Piet bocor. Darah mengalir dari luka di belakang kepala.
Citra menjadi tambah tegang. Ia buru-buru meraih handuk dan membalut tubuhnya dengan handuk itu..
kemudian cepat-cepat keluar dari kamar mandi.
Ia dicekam ketakutan. Terengah-engah ketika sudah berada di dalam kamarnya.
Ia mengunci pintu kamarnya, takut kalau Oom Piet masuk dan mengamuk. Tak terasa ia pun melelehkan air mata kesedihan.
Sedih memikirkan nasibnya yang belakangan ini menjadi bahan incaran lelaki jalang.
Sampai-sampai oomnya sendiri tega hendak memperkosanya untuk yang keduakalinya.
Beruntung saat ini Citra dalam keadaan sadar, dalam keadaan sebagai diri pribadinya yang asli.
Tak ada pengaruh obat dan lain sebagainya.. sehingga dalam keadaan seperti saat ini,
Citra tetap akan melawan perbuatan tak senonoh itu.
Semasa ia masih punya tenaga dan kesempatan, ia akan melawan tindakan seperti itu.
Ia tak mau menjadi hina oleh kemauannya sendiri.
"Citra, tolong panggilkan dokter..” kata Oom Piet sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar Citra.
Debar-debar di dalam dada Citra membuat napasnya sedikit sesak.
Khawatir kalau Oom Piet terlalu banyak mengeluarkan darah, dan mengalami akibat yang lebih parah jagi.
Citra jadi bingung kala itu.
Untung tantenya segera datang, dan la mendengar Oom Piet mengaku terpeleset di kamar mandi.
Maka, luka di kepala Oom Piet itu segera diurus oleh tantenya, dan Citra merasa aman.
"Bagaimanapun ia pamannya kamu, Tra..” kata Andani mengomentari penuturan Citra..
tapi suatu saat ia akan berusaha lebih hati-hati lagi.
“Lelaki semacam itu, jelas tidak akan berhenti bertindak sebelum keinginannya tercapai.
Jadi, aku sangat setuju kalau kau pindah, mencari kontrakan sendiri..”
"Kau bisa membantuku, kan..?"
"Mudah-mudahan bisa. Yang kutau, di sekitar sini tak ada rumah petak yang dikontrak-kontrakkan.
Kalau di rumah Hanna, nah.. di sana ada. Memang masyarakat sekitarnya punya usaha mengontrakkan rumah petak.
Cuma.. ya, kamu harus mau campur tangan dengan tukang bakso, tukang somay, pokoknya orang-orang macam gituanlah..”
"Kalau memang adanya itu, apa boleh buat. Tapi kalau ada, aku mau cari yang agak bersih. Tenang..”
Andani seperti teringat sesuatu. Ia bersemangat. "O, iya.. ini nih..!
Rumah di ujung deretan rumahku ini juga katanya mau dikontrakkan. Satu rumah.
Nggak dipetak-petakkan per kamar kayak di rumah Hanna..”
"Utuh satu rumah..?"
"He-eh.. Orangnya mau dinas di luar negeri selama tiga tahun. Rumah dan beberapa perabotannya akan dikontrakkan.
Cuma.. beberapa harga kontrakannya, aku nggak tahu. Kalau kamu mau, yuk kuantarkan ke sana..”
-----ooOoo-----
Rumah itu cukup luas. Halamannya sendiri mempunyai padang rumput yang sangat leluasa buat bermain-main.
Bersih dan tampak segar. Rumah itu milik pegawai kedutaan yang dua hari lagi akan berangkat ke Roma.
Di dalamnya, selain ada telepon juga ada antena parabola.
Semua itu termasuk dalam satu perabot yang harus dibayar uang sewanya.
Satu tahun 20 juta. Gila. Punya uang dari mana Citra..? Gajinya satu tahun tidak sampai sebesar itu.
Sampai di tempat kerja, Andani masih membicarakan soal rumah tersebut.
"Eh, asyik juga lho kalau kamu menempati rumah itu. Aku bisa sering main ke situ..”
"Iya. Aku sendiri juga senang kalau tinggal di rumah seperti itu.
Tapi.. duapuluh jutanya itu yang bikin sesak napas..” kata Citra.
"Apaan yang duapuluh juta..?" Tegur Ranu, nimbrung pembicaraan Andani dan Citra.
"Gue harus cari uang dua puluh juta nih, Ran. Buat kontrak rumah. Bagus deh rumahnya..” kata Citra.
"Lu bisa bantu gue nggak..?"
"Bantu nyengir bisa..” jawab Ranu.
"Gue punya ide kalau lu butuh uang segitu..”
"Apaan..?” Citra bersemangat. Serius.
"Cari boss, ajak nonton, minta bayaran duapuluh juta. Beres..”
"Huhhh.. konyol lu. Emangnya gue perek..!?" sambil Citra menepuk-nepuk punggung Ranu.
Akibatnya, Ranu benar-benar meringis karena merasa sakit oleh tepukan keras Citra.
Gurauan Ranu itu tiba-tiba menjadi satu bahan renungan buat Citra. Mencari boss.
Ya, barangkali memang bisa dilakukan oleh Citra dengan mengandalkan kecantikannya.
Tetapi, apakah itu patut dan layak..?
Apakah itu tidak akan merendahkan harga dirinya sebagai gadis yang cantik dan terpelajar..?
Apakah aku masih punya harga diri? Bisiknya dalam hati. Aku sudah kotor. Sudah ternoda dan menjadi hina.
Apakah aku pantas membanggakan diri sebagai gadis yang masih punya harga diri..?
Lamunannya dibuyarkan oleh tepukan tangan Ranu dari belakang. Citra sempat memekik dan nyaris melonjak.
"Gila lu..!" Makinya asal nyeplos.
"Hei, kapan kamu mau ajak aku ke rumah Gizma..? Udah nggak sabaran nih..”
“Tenang aja. Pokoknya bereslah..”
"Huhhh.. beres, beres.. Buktinya sudah tiga hari dari sejak aku berkenalan dengan Gizma, kamu nggak ajak aku ke sana.."
Ranu bersungut-sungut.
"Eh, gimana kalo malam ini..? Ntar kita pulang jam delapan aja, yuk..?"
"Pulang jam delapan..?"
"Alaaah.. gue bisa bikinin alasan deh supaya lu bisa cabut jam delapan. Asal, kita ke rumah Gizma. Oke..?"
"Ke rumah Gizma..?” Nah.. sepertinya ada sedikit titik terang buat Citra.
Barangkali Gizma bisa membantunya mencarikan pinjaman uang 20 juta untuk mengontrak rumah tersebut.
Boleh juga gagasan Ranu secara tidak sengaja itu.. pikir Citra.
Mereka berdua menuju rumah Gizma. Ranu agak heran ketika bajaj yang mereka tumpangi berhenti di tanah kosong..
depan sebuah rumah kuno yang gelap dan rusak berat itu. Seperti bekas terbakar.
Baru turun dari bajaj saja Ranu sudah bergidik. "Ini..? Di sini Gizma tinggal..?" Katanya terheran-heran.
"He-eh.. Kenapa..?"
"Ah, yang benar aja, Tra, masa’ perempuan secantik Gizma tinggal di tempat seperti ini..?
Ini kan rumah sudah tidak dihuni puluhan tahun lamanya. Ngaco aja lu..!"
"Ikuti aku aja deh. Jangan banyak omong..” seraya Citra melangkah menerobos rumput liar..
menuju rumah kuno yang banyak coretan-coretan dari tangan iseng.
"Tra.. lu jangan main-main deh. Gue nggak suka kalo lu nakut-nakutin..”
"Siapa yang nakut-nakutin. Bego. Gue mau anter kamu ke rumah Gizma..”
“Iya. Tapi masa di sini sih..? Konyol lu, ah..”
"Lu yang konyol Kalau lu nggak mau, ya udah. Kita pulang sajalah..”
Mereka jadi ribut sendiri sebelum melangkah terlalu dekat dengan rumah gelap dan kotor itu.
Malam itu rembulan menampakkan senyumnya di balik awan. Cahayanya sebagian menerpa bumi..
dan membuat suasana di sekitar rumah kuno itu menjadi tambah menyeramkan, sekalipun remang-remang.
"Sumpah, Ran. Gue ketemu dia di sini..”
"Kapan..? Dan lagi, ngapain kamu di rumah itu, kok bisa ketemu Gizma..?"
Hampir saja Citra tergelincir dengan pertanyaan Ranu.
Untung ia segera mampu menguasai diri dan mengekang jawaban yang sebenarnya.
Ia hanya berkata, "Lu nggak usah tanya macem-macem deh. Sekarang gini aja, lu ke rumah dia atau nggak. Pilih..!"
"Ya, mau. Tapi gue nggak mau kalo diajak ke rumah serem itu..”
"Jadi mau lu diajak ke mana..? Ke hotel..?" Ranu jadi tertawa sendiri. Citra sedikit sewot.
"Udah, ah. Kalo lu nggak mau, kita batalin ajal Kalo kita ribut di sini, nggak enak. Ntar dikira orang kita mau ngapa-ngapain..”
Citra hendak kembali ke jalanan, tapi tangan Ranu segera meraih lengan Citra.
"Oke deh...” katanya. "Asal lu beneran nih, ya..? Kalo lu main-main ama gue, gue enggak mau kenal lu lagi..”
"Kalo lu nggak percaya ama gue, ya udah. Kita pulang aja..”
"Percaya, percaya..” Akhirnya Ranu mengalah.
“Tapi ingat, Tra. Jangan jauh-jauh dari gue..”
"Takut kalau gue lari..?"
"Hm.. terus terang, aku takut sama tempat serem kayak gini..” Citra mengikik geli.
Ranu tambah merinding mendengar suara tawa Citra.
"Ah, lu jangan ketawa deh. Bikin sport jantung aja tawamu itu..”
seraya mereka melangkah mendekati rumah kuno tersebut.
Sejenak Citra memandang salahsatu tiang yang masih berdiri di rumah itu.
Bayangan dalam benaknya melayang pada masa-masa ia diikat di tiang itu.
Ia juga memandang lantai tiang yang banyak tumbuh lumut dan rumput.
Terkenang pula saat ia digilir oleh enam lelaki tak bertanggungjawab di lantai Itu.
Hati Citra tergores, lukanya terkuak lagi. Tak sadar ia pun menangis.
Mulanya melelehkan air mata, akhirnya mengisak. Pedih.
Kenangan itu membuat Citra nyaris meratapi mahkotanya yang hilang di situ.
"Citra..” bisik Ranu tegang. "Kenapa menangis..? Takut, ya..? Gue juga nih..”
Ranu tidak tau masalah yang sebenarnya. Citra masih berusaha menutupi rahasia pribadinya itu.
Karena takut didesak oleh berbagal pertanyaan, akhirnya Citra berusaha menguasai emosinya.
Ia berhenti menangis sekali pun masih tersendat-sendat napasnya.
Ia melangkah meninggalkan tempat kenangan pahit itu.
Bara dari dendamnya untuk sementara diredam kuat-kuat dalam dada.
Tempat itu sunyi. Tempat itu lembab dan berbau apek.
Yang ada hanya desau dan desiran angin, lalu lolongan anjing di kejauhan.
Samar-samar kedengaran.. sehingga menambah suasana serem makin mencekam.
Langkah Citra hati-hati sekali karena di situ juga terdapat pecahan botol atau beling lainnya.
Setapak demi setapak mereka melangkah. Debar-debar jantung Ranu lebih keras ketimbang Citra.
Pemuda bertubuh sedikit kurus itu memang kelihatan sekali rasa takutnya.
la menggandeng lengan Citra, dan Citra merasakan tangan yang menggandengnya itu gemetar sejak tadi.
Bahkan Citra pun merasakan tangan yang memegangi lengannya itu kini berair.
Keringat dingin Ranu mengucur dari tiap pori-pori kulitnya.
"Gizmaaa..!!” Seru Citra ketika mereka tiba di tempat..
yang diperkirakan dulu pernah menjadi ruang makan keluarga pemilik rumah ini.
"Gizma.. Aku datang bersama Ranu..” Sepi. Tak ada jawaban. Bunyi berdenting pun tak ada.
Hanya lolong anjing di kejauhan yang mewarnai kesunyian di tempat remang ini.
Citra melirik ke sana-sini, mencari pintu yang dulu dipakai masuk ke ruangan yang amat terang dan mewah.
Tetapi di situ tidak ada pintu, kecuali pintu yang menuju ke dapur dan sudah tak berdaun pintu lagi.
"Kurasa kau hanya mempermainkan aku saja, Tra..” bisik Ranu sambil gemetar.
"Tidak Sumpah. Aku dibawa kemari oleh Gizma. Dulu, kayaknya di situ ada pintu. Gizma membuka pintu di situ..
kemudian ada sinar terang di dalamnya. Lalu, kami masuk dan ngobrol di dalam kamar yang mewah..”
Citra melangkah dengan hati-hati.
Jantungnya pun jadi berdetak-detak setelah semua dinding yang gerompal dan retak-retak itu diperiksanya.
Ternyata tidak ada pintu sepotong pun.
Tiba-tiba.. "Aaaow..!!” Ranu melompat dan berteriak keras sambil memeluk Citra.
Ngeeeooong..!! "Bangsat..! Kucing..” cacinya sambil teregah-engah.
Seekor kucing berbulu putih melompat dari sebuah tumpukan kardus dan segera berlari keluar.
Kucing itulah yang mengejutkan Ranu..
dan suara teriakan Ranu yang membuat Citra bagai kehilangan denyut jantungnya.
Akhirnya mereka terengah-engah bersama sambil menahan rasa geli justru membuat Ranu kesal sendiri.
"Kita cabut aja, Tra. Brengsek..!" Citra tak bisa membantah.
Ranu ngomel-ngomel tiada hentinya. Menganggap Citra penipu..
menganggap Citra konyol, menganggap.. apa saja dianggap oleh Ranu.
Citra tak bisa bilang apa-apa, sebab dia sendiri merasa heran. Sangat terheran-heran.
Sukar sekali baginya meyakinkan Ranu, bahwa di tempat itulah Citra bertemu dengan Gizma yang cantik..
dan mempunyai kamar yang mewah.
Nyatanya malam ini di situ tidak ada Gizma, bahkan pintu dari kamar mewah itu pun tak ada.
Mau bilang apa kepada Ranu..?
CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------