Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Laeli, IRT Kesepian Pemuas Birahi

Episode 5

Sari berangkat kerja seperti biasa, akhir-akhir ini dia jarang berinteraksi dengan kedua ibu-ibu tetangganya. Narti dan Leli, meski keduanya lebih tua namun pembawaan mereka yang masih millenial membuat Sari nyaman ngobrol terutama sambil belanja sayuran di warung Bu Millah langganan mereka.

Sari usia nya kini menginjak 20 tahun, gadis lulusan SMA itu bukan tidak punya pacar, tapi selama ini hubungannya dengan pria itu sebatas makan bareng, nonton bareng atau terkadang lari pagi bareng.

Jangankan berciuman, pegangan tangan saja bisa dihitung dengan jari satu tangan. Kolot memang, tapi nilai itu yang ditanamkan orang tua Sari dan dia mengikuti ajaran orang tuanya.

Gontai langkahnya menyusuri gang menuju jalan raya dimana dia biasa menyetop angkot ke pusat perbelanjaan. Rekan-rekan kerjanya tahu perubahan Sari yang tidak ceria seperti biasanya, namun enggan untuk menanyakan, gerangan apa sebab murungnya si Dara Jelita.

Kulitnya kuning langsat, dengan postur tubuh proposional, rambut hitam lurus terurai sepinggang. Berhidung mancung dengan sepasang bulu mata lentik. Bibir tipis merona, dagu sedikit membelah. Meski tanpa make-up, kecantikannya tetap memancar, meredupkan pesona gadis-gadis kota metropolitan lainnya.

Salah satunya adalah Mirna, rekan kerja Sari nan cantik full make-up itu sering kali dibuat iri. Karena Sari sering mendapatkan perhatian khusus Leader dan Manajer mereka.
Melihat sosok Sari dan Mirna seumpana kita menyaksikan Bawang Merah dan Bawang putih dalam kehidupan nyata, atau bisa jadi Cinderella dan Drunela Barbeta.
Sari tidak pernah ambil pusing soal iri hati Mirna padanya, namun bagi Mirna itu adalah kesalahan Sari padanya yang tak akan dilupakannya.

Mirna mendekati Sari, entah mengapa hari itu Mirna merasa perlu tahu masalah apa yang sedang dihadapi Sari.

"Sar..kamu kenapa?" sapanya di sela-sela kesibukan mereka melayani customer pengunjung pusat perbelanjaan itu.

"Ahhh...aku gak apa-apa Mir, agak gak enak badan aja," kilah Sari.

"Kita makan siang yukk..." ajak Mirna yang kebetulan jam istirahat sudah menghampiri mereka.

Galau Sari mengikuti langkah Mirna, menuju kantin langganan mereka.

"Ceritalah Sari...kamu tuh udah aku anggap keluargaku sendiri lho..siapa tahu beban mu berkurang sedikit," rayu Mirna dengan suara sejuk menenangkan.

"Hmmmm...ahhh...," Sari menarik nafas dalam,
"Ibuku sakit Mir, harus dioperasi dan butuh biaya yang tidak sedikit...hiksss..hiks...hikss...," tak terasa air mata Sari menetes.

Mirna mengusap pundak Sari memberikan dukungan.
"Sabar Sar, kamu harus kuat yaa. Aku do'akan supaya ibumu cepat sembuh yaa."

Mereka pun menyantap makan siangnya, tiba-tiba Mirna menyeringai tanpa sepengetahuan Sari.

"Sari...kamu sudah coba pinjam ke koperasi?" sambil makan Mirna mencoba berdiskusi.

"Sudah Mir dan ditolak, gajiku gak cukup membayar cicilan perbulannya." Sari menunduk dalam, sambil tetap mengunyah makanannya.

"Emmmmm....gimana klo aku saranin kamu pinjam ke Om aku aja?" ajak Mirna semangat.
"Butuh berapa sih Sar?"

"Aahhh aku gak enak Mir, aku kan gak kenal keluarga kamu." Sari menolak tawaran Mirna, rasanya gak pantas saja kenal juga belum, tiba-tiba datang meminjam uang.

"Ehhh....Om-ku ini baik orangnya, percaya deh. Dia tuh paling seneng menolong orang begini." kembali Mirna meyakinkan.

Sari mengangkat kepalanya, menatap lekat mata Mirna.

"Seriusan Mir...kamu gak becanda kan?" Sari berharap telinganya tidak salah dengar ucapan Mirna.

"Gak lah Sar...mana aku tega becandain kamu yang lagi kesusahan."

"Begini aja, nanti malam aku kasih kabar yaa ke kamu. Aku akan hubungi Om dulu ceritain masalah kamu." Mirna mantap menjawab kegelisahan Sari.

Secercah harapan di wajah Sari mendengar penjelasan Mirna. Hari itu mereka selesaikan pekerjaan dengan sedikit harapan untuk jalan keluar masalah Sari. Meski tidak berharap penuh, namun Sari merasa tak ada salahnya mencoba.

Malam harinya Mirna mengabarkan bahwa Om-nya bersedia membantu Sari. Tapi Sari harus bicara sendiri ke Om-nya. Mirna memberikan kontak yang bisa dihubungi Sari.

Malam itu, sambil berbaring di kontrakannya Sari berusaha mengontak nomor tersebut. Terdengar nada sambung. Kemudian,

"Iya Halooo...," suara bariton menyapa diujung sana.

Sari gugup, belum pernah seumur hidupnya berbicara dengan lelaki asing, apalagi sampai harus meminjam uang.

"Ehhh hmmmm Om mohon maaf, saya Sari temennya Mirna." Sari membuka pembicaraan.

"Mirna yang mana yaa?" Suara bariton itu kembali bertanya.

"It...itu...ehh anu.. itu yang kerja di Mall Om," Sari berusaha menjelaskan.

"Ohhh..iya..iya...ini Sari yang orang tuanya sakit yaa?" enak sekali suara bariton itu terdengar di telinga Sari.

"I....ii..iyaa Om," Sari gemetar menjawab. "Hmmm...anu...Om...hmmm anu." lidahnya kelu, keringat mengucur di keningnya.

"Hahahahhaha... sudah..sudah..Om sudah tahu. Kapan Sari bisa temuin Om?" suara bariton itu menenangkan Sari.

"40 juta kan yang dibutuhkan Sari?" tanya si Om.

"Iya Om..tapi Sari mohon pengembaliannya dicicil yaa Om," dengan memelas Sari meminta keringanan.

"Udah..santai aja...kita bicarakan nanti yaa. Sekarang, kapan Sari ada waktu temuin Om untuk mengambil dananya?"

Sari terkejut, semudah itu meminjam uang ke orang yang tidak dikenal. Hanya berbekal berteman dengan keponakannya saja.

"Besok malam Sari bisa Om, habis pulang kerja." Sari bersemangat menjawab.

"Ahhh tepat sekali, kebetulan Om juga besok ada acara di Mulia Senayan, kita ketemu di sana yaa." Si Om menutup pembicaraan malam itu.

Sari berbinar, terasa lega dadanya. Beban yang menghimpit beberapa hari ini hilang entah kemana. Tak sabar menunggu esok malam, Sari terlelap dalam harapan semoga esok hari ada berita baik untuk ibunda tercinta.

Keesokan hari di tempat kerja, Sari mengucapkan terimakasih kepada Mirna yang telah berbaik hati menolong kesusahannya.

"Mir...terimakasih banyak yaa...," Sari menggenggam tangan Mirna erat, matanya berkaca-kaca.

"Iya.***papa Sar...aku cuma perantara aja kok," sambut Mirna.

"Mir..temenin aku yukk, ketemu Om kamu di Senayan habis pulang kerja?"

"Aduuuhhh Sar maaf banget aku dah ada janji, lagian kamu kan dah kenal Om aku, gak perlu lah aku temenin yaa." Mirna menyunggingkan senyumnya.

"Ya sudah..aku jalan sendiri deh...sekali lagi makasih ya Mir." Sari memeluk Mirna, Mirna menerima pelukan Sari, bibirnya menyunggingkan senyum penuh misteri.

Bergegas Sari mencari ojek, jam pulang kerja begini ojek adalah pilihan terbaik untuk transportasi di dalam kota.
Tiba di tujuan Sari menelpon si Om.

"Sari sudah sampai Om." ujar Sari ketika terdengar suara bariton mengangkat telponnya.

"Ok...Sar, bilang ke receptionist minta dibantu naik lift ke ruang 7010 yaa," jawab si Om.

Sari beranjak ke receptionist. Seorang pria berpakaian unik membantunya naik lift ke lantai 7. Di tatapnya lorong hotel itu, dicarinya kamar 7010. Sari gemetar tubuhnya tiba di depan kamar 7010, jarinya gemetar menekan bel.

Ting..tong...
Suara bel berbunyi.

"Masuk..." suara bariton itu terdengar keras.

Sari terkaget, dilihatnya pintu itu tidak tertutup rapat ternyata. Terbuka sedikit namun tadi Sari tidak begitu memperhatikan. Perlahan Sari mendorong pintu itu.

"Assalamualaikum Om."

Ditongolkan kepalanya ke dalam kamar. Kosong tak ada orang.

"Masuk Sar..sebentar ya..silahkan duduk dulu," terdengar suara dari dalam kamar mandi.

Sari melangkahkan kakinya memasuki kamar hotel yang luas itu, tempat tidur rapi dan lebar. Terlihat empuk menggoda untuk ditempati. Gemericik air di kamar mandi terdengar rintik-rintik. Sari menghempaskan tubuhnya di atas kasur itu, tangannya mengusapi seprei putih yang begitu lembut menggoda. Matanya mengitari kamar itu, lemari pakaian, kulkas mini, televisi besar tesedia dalam kamar.

"Ehemmm, sudah makan Sar?" suara bariton itu menyadarkan Sari.

Tubuhnya perlahan memutar menghadap sumber suara.
Tangannya menutup mulutnya yang menganga lebar. Matanya melotot tak percaya menatap sosok lelaki paruh baya di depannya.

Lelaki itu, berusia 57 tahun, berkulit bersih dengan bulu di dada bidangnya. Jenggotnya panjang tertata rapih, perut sedikit saja membuncit. Namun penampilannya yang hanya mengenakan celana dalam hitam keluar kamar mandi, membuat Sari sedikit terkejut. Ditambah Sari tahu betul siapa si Om bersuara bariton itu. Meski tidak kenal secara akrab karena jarang berinteraksi namun Sari dan tetangga lainnya pernah berpapasan dan bertegur sapa.

"Om Lutfi...?"

Sari tak percaya lelaki yang mau membantunya adalah Lutfi, tetangga kontrakannya yang misterius dengan istri bercadar.

Lutfi terkekeh..

"Kenapa kaget begitu, kayak belum kenal aja," suara baritonnya menggoda telinga.

Lutfi menghampiri Sari. Sari bergerak menjauh. Badannya gemetar. Mulutnya terkunci rapat. Pertemuan ini betul-betul membuat jantung Sari berhenti berdetak sejenak.

Lutfi melemparkan amplop coklat besar ke atas meja kerja dalam kamar itu.

"Ini uang yang kamu butuhkan. 50 juta, Om tambahin buat kamu. Kamu bisa pakai uang itu tanpa harus mengembalikan.
Tapi syaratnya temani Om malam ini disini." suara bariton itu terasa mengintimidasi.

Sari masih tak bergerak. Tubuhnya gemetar. Otaknya masih tak percaya dengan apa yang berlaku saat ini.

"Kamu boleh keluar dan pergi dari sini dan silahkan cari pinjaman di tempat lain untuk pengobatan ibumu. Om ga maksa," kembali suara bariton itu meracuni pikiran Sari.

Ditatapnya Lutfi yang berdiri 2-3 meter di depannya, matanya beralih ke amplop coklat besar. Kemudian kembali menatap Lutfi lagi.

Lelaki itu tiba-tiba melepaskan celana dalamnya. Mulut Sari terbuka lebar. Sebatang kontol kekar berwarna kemerahan mencuat dengan gagahnya. Itu kontol pertama yang Sari lihat semenjak dia beranjak remaja.

Lutfi menghampirinya, Sari tertunduk menangis, airmatanya mengalir deras. Ingin kakinya berlari keluar kamar ini. Namun bayangan wajah ibunda yang terbaring lemah di rumah sakit menahan langkah kakinya. Ingin rasanya pergi dari situasi ini, namun jeritan adiknya yang memelas menghiba, menahan tubuh Sari tetap pada posisinya.

Lutfi tepat berada di depannya, lelaki itu memutari tubuh Sari.

"Kamu boleh keluar dari kamar ini jika keberatan atau kamu buka pakaianmu dan temani Om disini," suara Lutfi berbisik di telinganya halus, namun tajam menusuk kalbu.

Sari bimbang. Amplop coklat itu mengoda batinnya. Tapi nuraninya menolak itu, lalu terbayang ibunya dan adik-adiknya yang sedang memohon kepada Sari. Perlahan tangannya gemetar mencopoti satu persatu pakaiannya.

Airmatanya menetes mengiringi jatuhnya baju, celana dan pakaian dalamnya berguguran.

Lutfi terpesona melihat tubuh molek Sari. Payudara yang belum terlalu besar namun bulat kencang dengan puting pink menggoda. Pinggang ramping, dengan bokong besar membulat ibarat gitar Spanyol.

Lutfi bergeser ke depan Sari kembali. Ditatapnya celah vagina Sari, yang bersih tanpa cela, masih berbentuk garis lurus. Perlahan tangan Lutfi menyibakan bibir vagina Sari.

Sari terkejut laksana kesetrum listrik, ketika jari itu menyentuh bagian terlarang yang selama ini disimpannya, dijaganya dengan baik.

"Sshhhhhh.....ssshh....hmmmm..." lenguhan Sari mulai terdengar.

Lutfi berdecak kagum, melihat bagian dalam memek berwarna pink manja itu. Disentuhnya klitoris yang masih malu-malu sembunyi.
Tubuh Sari bergidik mendapati perlakuan Lutfi. Cairan pelumasnya mulai merembes. Lutfi mendengus penuh nafsu.

Lalu....

"Pakai kembali bajumu." suaranya tegas terdengar.

Sari melohok kaget. Ditatapnya Lutfi dengan seksama. Dia bingung apakah Lutfi membatalkan niatnya membantu dirinya. Atau dirinya kurang menarik di mata Lutfi.

Lutfi yang paham kebingungan Sari, tersenyum mesum. Jenggotnya bergerak-gerak ketika kemudian dia berbicara.

"Kita makan dulu, sebelum penghulunya datang." Lutfi menjelaskan.

Sari tambah bingung dibuatnya. Tubuhnya masih mematung tak bergerak.

"Saya mau nikahin kamu secara kontrak. 50 juta ini sebagai maharnya. Selama 6 bulan ke depan kamu jadi istri saya. Setelah itu kamu bebas menentukan, lanjut dengan saya atau kamu mau mencari yang lain," jelas Lutfi

Meski tak percaya dengan apa yang didengarnya, namun Sari akhirnya memakai kembali bajunya, kemudian berusaha duduk tenang di atas tempat tidur itu. Masih tak percaya dengan apa yang terjadi, drama apa yang sedang dijalaninya ini.

Lutfi kemudian menjelaskan secara singkat, bahwa dirinya menganut ajaran nikah kontrak yang dihalalkan dalam ajaran keyakinannya. Lutfi tak ingin menyetubuhi Sari secara zinah tanpa nikah, tadi perlakuannya hanya ingin mengetahui kondisi tubuh Sari secara utuh. Karena pihak laki-laki boleh melihat tubuh wanita yang ingin dinikahinya. Dan Sari pun, sebagai pihak perempuan, juga sudah melihat tubuh Lutfi.

Lufti berkeyakinan Sari masih perawan ting-ting ketika tadi jarinya berusaha membelah bibir vagina Sari. Sari hanya mendengarkan dengan seksama. Selera makannya hilang entah kemana.

Tak berapa lama kemudian datang beberapa laki-laki dan perempuan ke dalam kamar itu. Sari hanya menatap mereka satu persatu, berusaha tersenyum menyambut uluran tangan mereka bersalaman.

Dilihatnya seorang lelaki paruh baya dengan jenggot putih dan jubah hitamnya. Usianya paling hanya terpaut 3-4 tahun dengan Lutfi. Dua laki-laki lainnya masih berusia muda dengan jenggot yang menghiasi dagu mereka. Keduanya terlihat menggandeng perempuan berkerudung, yang satu mengenakan cadar, satunya lagi tidak. Kedua perempuan itu tersenyum ramah kepada Sari. Sari hanya menganggukkan kepalanya membalas senyuman mereka.

Lutfi memberikan gaun putih bertaburan payet keemasan.

"Kamu ganti bajumu dengan gaun ini, ini kerudungnya."

Ditatapnya gaun indah itu, apakah benar malam ini dia harus menikah.
Kepalang tanggung, posisinya tidak menguntungkan. Masih baik bahwa dia dinikahi, meski pernikahan macam apa seperti itu.

Sari beranjak ke kamar mandi, ditatapnya cermin besar itu. Gadis desa ini akan menikah malam ini, dengan lelaki yang sebenarnya tidak terlalu dikenalnya. Lama dia mematut diri merapihkan gaun putih itu. Dikenakannya kerudung yang panjang itu dengan bahan sama bertabur payet keemasan. Dirapihkannya wajahnya yang terlihat pucat sembab.

Sari tak pernah bermake-up maka malam ini pun dia tidak membawa make-up apa-apa. Ditariknya kerudung yang menjuntai aneh di dadanya. Rupanya itu adalah cadar penutup wajah. Dikenakannya cadar itu, terasa aneh tapi Sari merasa nyaman mengenakannya.

Setelah dirasa cukup, Sari perlahan keluar dari kamar mandi. Dilihatnya semua orang sudah duduk rapi diposisi masing-masing.

Lelaki paruh baya itu memulai ritual pernikahan Sari dan Lutfi yang duduk berendengan. Lutfi lancar mengucapkan ijab kabul dalam setarikan nafas.
Acara dilanjutkan dengan do'a.

Kemudian sepasang pria-wanita muda bercadar itu pamit meninggalkan kamar. Lutfi menyilahkan mereka undur diri.

Kemudian dia merengkuh Sari dalam dekapannya. Sari gemetar. Meski Lutfi saat ini suaminya, tapi Sari baru pertama kali itu merasakan dipeluk lelaki dewasa. Ditambah masih adanya tamu dalam kamar itu, membuat Sari sedikit grogi. Lutfi mengajak Sari ke tempat tidur.

Tak lama terdengar para tamu itu pamit meninggalkan kamar. Terdengar suara pintu tertutup. Sari menatap Lutfi, lelaki itu merebahkan dirinya diatas tempat tidur. Lutfi beranjak sejenak meredupkan lampu kamar. Suasana menjadi temaram menambah syahdu keadaan.

Sari pasrah menerima nasibnya. Dilihatnya Lutfi sudah telanjang bulat menghampirinya. Sari bergidik membayangkan sebentar lagi dirinya akan bersetubuh dengan lelaki itu.

Lutfi menyibakan gaun Sari, berusaha membuka resleting gaun itu. Perlahan namun pasti gaun itu terlepas dari tubuh Sari. Jakun Lutfi turun naik menyaksikan tubuh telanjang istri mudanya. Dibukanya cadar yang menutupi wajah, namun tidak kerudungnya.

Dilolosinya BH dan celana dalam Sari. Dilumatnya bibir Sari yang merekah menggoda. Sari gelagapan. Dia berusaha membalas ciuman Lutfi, lelaki yang sudah menikahinya. Mereka berciuman, Sari masih terbata-bata mengikuti gerak lidah Lutfi, tubuhnya mulai menghangat. Gairahnya tiba-tiba meningkat.

Tangan Lutfi meremas payudara Sari yang kecil namun kencang sekal. Putingnya dipilin-pilin hingga Sari kelojotan dibuatnya.

"Ahhhh...ssshhhh....hmmm...ahhhh....geli Ooommmm..." Sari melenguh tak karuan.

Lutfi semakin ganas, tangannya turun ke bawah mengelus belahan surgawi Sari. Meleleh cairan keluar dari bibir memeknya. Sari mendesah panjang, meresapi usapan tangan Lutfi yang terasa kasar.

Ouuuhhh...sshhhmmm.

Hmmmm...hmmm...cup..cuppp..ckk..ckkk.ckk...

Rakus sekali Lufti mengenyot puting yang tegak menantang. Dihisapnya, dibuatnya tanda merah di buah dada ranum perawan istrinya. Lidahnya terus meresapi dua payudara ranum mengkal itu, cukup lama hingga kemudian bibirnya turun mengurusi perut ramping berkulit selembut sutera.

Sari hanya bisa mendesah dan mendesah menerima perlakuan Lutfi, "Ahhhh....ahhhh....Ooommmm....ahhh...."

Lutfi tak peduli, lidahnya tetap ke bawah menyusuri lembah hingga tepat di depan bibir kenikmatan Sari. Diusapnya labia mayora Sari. Tubuh Sari melenting keatas.

Ouuuhhhhh ssshhh....ahhhh.

Emmmhhhh...shhhh cup...cupp sslrruppp...slruuupp ckckckck ahhhh...

Lutfi menyerang memek kecil berwarna pink merona. Sari memejamkan mata, ketika terasa lidah kasar Lutfi memasuki gerbang kewanitaannya.
Ditariknya rambut Lutfi kasar, klitorisnya terasa disedot Lutfi, gigitan-gigitan kecil Lufti pada klitorisnya membuat Sari belingsatan.
Ahhhhh....ouhhh...ahhh...seerrr....seerrr....seerrr...cret....cretttt...

Sari melenting menikmati orgasme pertamanya, matanya berkunang-kunang. Nafasnya terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat kemudian lemas tak berdaya.

Di bawah sana Lutfi sibuk menghisap semua cairan yang keluar dari memek istrinya. Lidahnya lincah menari-nari di labio minora.

Diangkatnya kedua kaki Sari, diletakkannya dipundak. Senyum mesumnya lebar, dituntunnya batang kejantanannya diusap-usapkan di bibir memek Sari.

Sari hanya bisa mendesah pasrah,
"...ahhhh.....hmmmm Ooommm...ahhh..lemessss Oommm."

Lufti mencium bibir Sari menyedot lidahnya kemudian turun menghisap payudaranya.

Sari mendekap tubuh Lutfi, kakinya tiba-tiba mengunci leher Lutfi. Kepala kontol Lutfi tepat berada ditengah-tengah bibir memek Sari. Lutfi menekan perlahan kontolnya. Meleset.
Kembali diaturnya agar kontolnya tepat posisinya, ditekan kembali. Meleset kembali.

Lutfi sabar berusaha, ditempelkannya kembali kepala kontolnya, ditariknya bibir memek Sari dengan jarinya.
Kemudian...Sslleepph, kepala itu masuk.

Sari menjerit,
"..auuww....ahhh..."

Lutfi segera menyambar bibir Sari. Dikecupnya mesra, Sari kembali rileks menyambut lidah Lutfi yang ganas.

Lutfi diam sejenak menarik nafas dan...

Jleebb, preet...sreet...

Sekali hentak kencang...kontol itu merobek sesuatu. Sari melolong kesakitan, suaranya memilukan. Airmatanya bercucuran, Lutfi mencium kedua mata Sari dengan lembut, dibiarkannya kontol itu menikmati kedutan-kedutan memek perawan.

"Hikssss... hikssss...sakiittt Ooom..cabuuutt Ommm..mmhhh ahhhhh Ommm."

Pantatnya memberontak namun gerakannya membuat syaraf-syaraf vaginanya bekerja seperti mengemut dan menyedot kontol Lutfi yang diam makin terbenam.

Lutfi melolong panjang
"...aaaahhh.....nikmat.. bangsaaaaattt...anjing nikmat banget."

Kasar sekali Lutfi berteriak. Sari bergidik merasakan nikmat yang sama. Memeknya justru bertolak belakang dengan bibirnya.

Lutfi mulai memompa kontolnya, Sari terhempas-hempas menerima pompaan Lutfi. Keduanya sama-sama mendesah, kelamin mereka saling mengunci. Bibir mereka makin merapat.
Ceplak...ceploookkk...ceplakkk..ceplokkk suara benturan pinggang Lutfi dengan pantat Sari.

Sari kembali menegang, memeknya mengeluarkan cairan kenikmatan.
Lutfi terdiam sejenak menikmati siraman hangat pada batangnya.

Kemudian kembali Lutfi menghajar memek mungil Sari, Lutfi merasa kontolnya dicekik memek Sari. Dia sekuat tenaga memaju mundurkan pantatnya. Berusaha melonggarkan bibir vagina itu.

Semakin berusaha semakin kencang memek itu menjepit. Ketika kontolnya ditarik, memek Sari terasa menyedot dengan kuat. Ketika kontol itu terbenam dalam, memek Sari serasa memijit batang Lutfi.

Keduanya terus memadu kasih, saling bertukar saliva, hingga kemudian Sari menjerit untuk ketiga kalinya. Orgasme. Dan Lutfi pun mengerang garang....

Croooot...crooott...croot..ahhhh...ahhh hmmmm...grrrrrrrrmmm.

Lutfi menumpahkan seluruh isi kantung kemihnya, menyirami rahim kecil Sari untuk pertama kalinya. Sari meneteskan air mata mengingat dirinya sudah tidak perawan lagi. Karena sudah dijebol oleh suaminya.

Lutfi menggelosor ke samping Sari, kontolnya terlepas,
Plop....cairan kental putih bercampur darah keperawanan Sari keluar dari sela-sela memek Sari. Keduanya memejamkan mata, berpelukan menghangatkan tubuh yang tiba-tiba merasa kedinginan.

Sepi... sunyi, kamar itu menjadi saksi dua insan yang sudah membuat janji menikah kontrak itu menunaikan kewajiban suami istri pertama kali.

Sari terlelap dalam alam khayal, dia memakai gaun indah melayang di udara, warna-warni kupu-kupu mengitari tubuhnya. Bunga-bunga bertebaran di mana-mana, merekah indah. Di ujung sana Pangeran berkuda menuju ke arahnya, samar-samar siluet pangeran itu menghampiri Sari, semakin jelas, semakin jelas dan jelas.

Bukan satu Pangeran tapi dua, bukan Pangeran muda, tapi tua.

Ahhhhhhhhh....Sari bangkit dari tempat tidurnya.

Terkejut, diraihnya kepala itu, kepala yang sedang asyik menjilat-jilat dan mengenyoti bibir memeknya.

"Bersambung ke Episode Berikutnya"
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd