Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
BAGIAN V

Malam hari setelah pulang kerja, tentunya seusai rapi-rapi, aku bersama Mirna pergi ke rumah Pak Yanto. Dengan suasana santai dan rileks, aku mengenakan kaos berkerah biru tua dan celana khaki panjang berwarna abu-abu tua berjalan kaki didampingi Mirna yang mengenakan sweater lengan panjang berwarna merah dan bawahan legging berwarna biru dongker. Kami berjalan tidak dengan tangan kosong. Mirna menenteng plastik berisi buah-buahan yang dibelinya sesaat aku hampir sampai di rumah. Namun makan malam belum kami beli. Kami hendak memesannya via online setelah tiba di rumah Pak Yanto. Aku tidak mau sampai salah membeli makan. Jika Pak Yanto kumat, muncul masalah yang jelas-jelas tidak sangat diharapkan.

Aku dan Mirna berayun kaki dengan kompak. Warga sekitar yang melintas memandangi penasaran ke arah mana kami berjalan. Salah seorang perempuan bersama suaminya menyapa Mirna. Kami jawab jujur kami mau bertamu ke rumah Pak Yanto. Mereka baru tahu Pak Yanto sudah di rumah. Mereka pula menitip salam untuk Pak Yanto. Aku berjalan kaki dengan Mirna menuju rumah Pak Yanto bukan tanpa alasan. Aku bermaksud bahwa hubungan kami dengan Pak Yanto baik-baik saja terlepas dari keributan masa lalu supaya warga sekitar tidak lagi beranggapan miring bahwa Pak Yanto terusir karena bermasalah moral denganku. Pembuktian ini tidak hanya kali ini saja. Masih ada lagi berikutnya.

"Permisi, Assalamualaikum.... Assalamualaikum..."

"Walaikumsalam, ayo masuk, pintu pagarnya gak dikunci kok", jawab Pak Yanto. Ia menarik pagar besi hitam rendah tersebut sehingga kami bisa masuk ke halaman rumahnya. "Maaf ya belum sepenuhnya bersih inih..."

"Enggak apa-apa kok Paaa, kayak kita orang baru kenal aja, ucap Mirna.

"Wih teduh ya rumah Pak Yanto bagian depannya", Aku memerhatikan di halaman rumah Pak Yanto ada taman yang ditumbuhi pohon mangga dan nangka. Mereka berbatang besar, cabangnya menjalar menyelusur lewa5 ranting pohon yang menaungi halaman depan rumah Pak Yanto. Separuh dedaunan dan ranting yang telah rapuh jatuh ke tanah beserta buah yang keburu membusuk.

"Aah ini karena belum ada yang nebangin pohonnya, aslinya daunnya hanya mengotori jalanan di depan, buahnya jarang"

"Hhhmmmm", gumamku memerhatikan pohon mangga Pak Yanto.

"Maaf nih belum ada apa-apa hehehe"

"Iyaaa, santai kok Paaak"

Kami dipersilakan masuk ke ruang tamu rumah Pak Yanto kendati di depan halaman ada sepasang bangku kayu. Dari sana bisa memandang keluar siapa saja raut muka yang melintas di depan rumah karena tinggi pagar agak rendah. Di ruang tamu Pak Yanto kami duduk di bangku kayu panjang berbahan kulit dengan penopang yang masih kokoh. Sayangnya di beberapa bagian bangku sudah terdapat yang rombeng sehingga sponsnya terkuak mencuar. Kami maklumi kekurangan tersebut. Lampu gantung pula hanya dua yang menyala dari tiga yang terpajang antik. Gorden yang ada di sisi sebelah kanan kami dalam kondisi kusam memperihatinkan. Pak Yanto meletakkan kipas angin berdiri. Kami tidak terlalu merasa kepanasan karena di atas jendela terdapat lubang-lubang ventilasi.

"Mau minum apa? Kopi atau teh?", ujar Pak Yanto. Ia menyambut kami dengan kemeja bergaris dan mengenakan sarung bermotif kotak-kotak.

"Pak Yanto bisa bikin kopi?"

"Tiap hari dulu aku minuk kopi di sini, ya mana mungkin enggak bisa hehehe"

"Oh yaa yaa", sahut Mirna mengangguk.

"Saya kali pertama terpesona melihat ibu, dari depan sini Pak Riko" ujar Pak Yanto menunjuk ke teras depan. "Awalnya kami hanya senyum-senyuman biasa ya Bu? Hehehe"

"Hehe iyaa" Mirna malu, tak berani menolehku.

"Dari senyuman terus turun ke bawah ya Pak? Hahahaha"

"Aaah bisa saja Pak Riko ini", tersipu Pak Yanto yang duduk di dekatku. "Ayo ini mau minum apa? Masa saya selaku tuan rumah gak ngapa-ngapain? Gak sopan juga lah"

"Teh saja, teh manis hangat"

"Baik, tunggu sebentar, saya mau panaskan airnya dulu"

Sambil menunggu Pak Yanto, aku dan Mirna mengitari isi rumah ini. Setelah ruang tamu kita ternyata ada sebuah ruang tengah yang mungkin dulunya adalah ruang keluar, namun yang tertinggal hanyalah sebuah televisi berukuran 29 inch yang terletak di atas meja, mepet ke tembok. Ruang tengah ini cukup lowong. Mungkin pernah ada beberapa furnitur di dekat sebuah bangku untuk bersandar menghadap Televisi ini. Sekarang terkesan terbentang cat putih, salah satu sudut terdapat serpihan yang terkeloyak. Ada dua kamar bersebelahan di sini. Salah satu pintunya terbuka. Ia tempat menaruh lemari, sapu, kain pel, serta pakaian yang telah usang bertumpuk pada sebuah keranjang. Sebelahnya kurasa adalah kamar Pak Yanto. Aku enggan membuka apabila Pak Yanto belum menunjukkannya.

Kami menghampiri Pak Yanto di dapur. Ia sedang mempersiapkan tiga cangkir gelas. Sebuah panci berisi air sedang dipanaskan di atas kompor gas.

"Kelihatan kosong ya?"

"Ya Pak bener. Hehehe"

"Ini sebetulnya adalah rumah peninggalan kakak saya almarhum. Karena seumur hidup tidak pernah menikah jadinya saya yang mewarisi. Awalnya pengen dijual, mau nunggu harganya miliaran dulu heheheh"

"Hoooo... kerjanya apa pak kalau boleh tahu?", tanyaku tertegun.

"Dia pensiunan instansi pemerintahan"

"Hhhmmm... kalau ini kamar siapa?"

"Ini kamar tamu, kalau ada sodara dari kampung berkunjung biasanya nginep di sini"

"Boleh saya lihat?"

"Silakan, enggak dikunci", ujar Pak Yanto membukakan pintu kamar yang terbuat dari bahan plastik.

"Enggak usah dibukain pak, dari sini aja udah kelihatan", jawabku mengintip dari celah gagang yang sudah repas. Kayunya sudah lapuk.

"Hahaha pintunya sudah rusak, sering kena rembes air"

"Tempat tidur dan lemari isinya yaa"

"Hehhe iya, maklum saya bukan pengusaha, pak. Tidak bisa mengisi dengan barang mahal. Itu saja juga sudah berdebu di dalam"

"Hahahaha pengusaha: penggangguran banyak susahnya"

"Hahahaha nyindir banget Pak Riko"

"Pak Yanto mau makan malam apa? Soto? Nasi Goreng? Atau lainnya? Mau dipesen online", ucap Mirna mengecek ponselnya.

"Saya ikut kalian saja"

"Bener nih?"

"Iyaaa...."

Setelah menghampiri Pak Yanto, kami kembali ke ruang tamu. Mirna kelupaan memberikan buang yang dibawanya kepada Pak Yanto. Aku menyuruhnya segera menyerahkan. Pada saat bersamaan tiba-tiba ponselku berdering. Wawan menghubungiku malam-malam. Aku lekas menjawab. Pasti berkaitan dengan Jajang lagi.

"Ada apa Wan?"

"Istrinya Pak Jajang pengen saya tunjukkin di mana tempat kosnya Rani, gapapa?"

"Hhhmm mau apa dia? Dia enggak jawab pak. Pak Jajang itu ternyata keluarga istrinya kaya loh ya pak. Saya baru tahu"

"Saya juga baru tahu dari kamu"

"Dia berani bayar mahal juga"

"Berapa?"

"20 juta"

"Bujug! Serius kamu?!"

"Seriusss! kali ini saya enggak bohong. Dia minta saya serahin bukti-bukti yang berkaitan dengan perselingkuhan Pak Jajang, termasuk video dan percakapan chatnya ke saya yang berhubungan dengan Rani, sama ya itu pengen ditunjukkin tempat kosnya Rani, bagaimana?"

"Jajang gak tahu kamu kontakan sama istrinya kan?"

"Enggak pak. Istrinya menjaminkan keselamatan saya"

"Syukurlah... ya sudah kamu turutin apa maunya istrinya Jajang"

"Enggak masalah pak?"

"Enggak, turutin saja"

"Ya sudah, maaf ya Pak Riko mengganggu waktu istirahatnya. Selamat malam"

"Ya selamat malam"

Tidak seharusnya aku menerima telepon Wawan mengenai Jajang. Namun karena perkara itu akan segera menemui titik penghabisannya aku mau tidak mau ikut menangani. Itikad sungguh-sungguh Wawan harus didukung agar dia tidak bingung dan keluar dari jalur yang sudah benar. Dia bukan meneruskan tugas Jajang, melainkan menguak kebeneran dari kebusukan pimpinannya itu. Jajang dipecat? Tidak akan. Aku tidak sekejam itu. Cukup sampai dia berdiri bebas apabila dia memang masih ingin nakal lagi. Dengan demikian istrinya tenang dengam status sudah cerai. Jajang bisa berkelana cinta, tak mengapa kalau harus menyambung hubungan dengan Rani. Yang penting status rumah tangga mesti jelas, kecuali istrinya rela suaminya main dengan perempuan lain. Itu lain cerita.

Aku kembali masuk ke dalam ruang tamu Pak Yanto. Teh manis hangat yang dijanjikan belum juga dihidangkan. Malahan Mirna juga belum kembali ke tempat duduknya. Apakah mereka sedang ngobrol di sana? Atau yang lain? Hhmmm haruskah aku marah jika Pak Yanto melanggar janji lagi? Aku tarik nafas dalam-dalam. Tidak ingin berpikir negatif dulu.

"Sebentar ajaaaa...."

"Mass Riko nanti tahuu, repooot, kena lagi lohhh"

"Ayo pegang sebentar aja"

"Mmhhh... udah???"

"Masa segitu doang, ayo pegang yang seriuss"

"Enggak mau, takut ketahuan, enggak puas-puas ih dari kemarin"

"Mana bisa puas kontolku sama memekmu sayang"

"Jangan sayang-sayang ish"

"Ayo makanya dipegang yang betul"

"Takut ketahuan paaak"

"Yaudah ke sini aja kalau takut"

"Mau ke mana? Ishhh jangan di situ. Kalau ketahuan ribut lagi nanti"

"Ayoo sebentaran aja, perjanjianku dengan Riko itu gak ngentotin kamu di luar sepengetahuan dia"

Dari dinding tembok yang bersekat dengan dapur aku menguping percakapan Mirna dan Pak Yanto tanpa tahu yang sebenarnya mereka sedang lakukan. Di sisi lain, perkataan Pak Yanto ada benarnya juga seandai ternyata Mirna sedang didesak memegang penis Pak Yanto. Di mana salahnya? Karena kesepakatanku dengan Pak Yanto adalah tidak menyetubuhi Mirna di luar sepengetahuanku. Aku tidak perlu marah. Lagipula ucapan Pak Yanto ialah bentuk kesadaran diri dia terhadap kesepakatan tersebut. Suara Mirna dan Pak Yanto menghilang. Aku mengira mereka telah masuk ke dalam kamar tamu yang berada di dekat dapur. Aku berjalan mengendap-endap, mendekati pintu kamar yang rapuh. Aku amati dua cangkir teh sudah jadi, tetapi belum dihidangkan.

"Aaaaaaiiihhh"

"Huuufffhhhh... udah becek beginiih..."

"Aaihhhh, udaahh aaahh...", Mirna dalam posisi menungging. Celananya tersingkap separuh. Pak Yanto membenamkan mukanya ke selangkangan Mirna. Kedua bongkah pantat Mirna dalam kendali dua tangan bedegap Pak Yanto. Dipegangi keduanya berlainan arah agar celah vagina Mirna dengan mudah diakses oleh bibir pun lidahnya.

"Huuffffhhhhh ssrrrpppptt"

"Aaaaaahhhhh"

PLAAK PLAAAK PLAAAK

"Kenapa dipukul-pukul?", tanya Mirna berusaha menengok ke samping.

"Gemes sama pantat kamu", ucap Pak Yanto.

PLAAAK PLAAAK PLAAAK

"Aaaduuuh sakiit"

"Malam ini kamu nginep di sini yaa? Aku mau entot kamu sampai pagi"

"Ngaco, gak mungkin"

"Bandel kamu, hhhhhmmmmfffhhh"

"Hiiiyaaaaaaah Aaaahhhhh!", desah Mirna. Bibir Pak Yanto kembali menerjang vagina istriku. Apakah aku harus mencegahnya? Tidak perlu. Aku menikmati aktivitas mereka berdua selagi tidak ada adegan tindih-tindihan saat sedang gelap mata seperti sekarang.

"Beceeekkk bangeett memekmu, Mirna"

"Aaaaaahhhhhh..."

"Aku masukkin jariku yaaa hehehe, supaya tambah kuyup"

"Aaaihhhh jangaannn paak!"

Pak Yanto berusaha memasukkan satu jari telunjuknya ke tangan mirna. Aku sempat khawatir kukunya akan melukai, namun aku pastikan Pak Yanto mengetahui kebersihan dirinya. Jari jemari Pak Yanto berada di hadapan selangkangan istriku. Mirna bersikeras menghadang. Sayangnya Pak Yanto mengelak tak peduli. Ditangkis tangan Mirna yang hendak mencegah.

"Jaangaaaannn..."

"Coba duluu, nanti kamu keenakan sayang"

"Enggak ahhh, jangaaan Pakkk.... aku mohon"

"Cobain sedikit yah, nanti kamu ketagihan hehehe"

"Aaaaaahhhh, jangaaannn, aaiihhh"

Perlahan-lahan dengan lembut Pak Yanto mencelupkan jari telunjuknya ke liang senggama istriku. Pinggul Mirna bergoncang seakan-akan mau menghindar, namun sia-sia. Pak Yanto memegangi kuat-kuat. Jari telunjuknya memastikan bahwa vagina istriku benar-benar sudah licin sehingga ia bisa mulai melakukan aksinya. Jari tersebut keluar masuk, mengabaikan desah Mirna yang mengaduh-ngaduh. Justru Pak Yanto membarengi dengan menempelkan kembali bibirnya, menyentuh klitoris istriku. Lidah dan jari Pak Yanto saling bahu-membahu. Mirna dibuat kepayahan.

"Hhhmmmmffhhhh"

"Aaaaaaaahhhhhhh!! Udaahhh!!! Aaaaaaaahhh"

"Enakkkan? Hehehe enakkan??! Diginiin?! Heh?!!"

CLOK CLOK CLOOK

"Aaaaaaaaaihhhhh, aaaaaaaaaahhhh..."

"Uuffffhhhh makin becek memekmu, udah kepengen dientot inih dia"

"Aaaaaaaihhhhh...", bokong Mirna bergoyah-goyah seolah-olah minta ampun. Kepalanya menggeleng-geleng tak tentu arah. Jari Pak Yanto yang terkena cairan lengket vagina istriku terus menghunjam keluar-masuk. Kini ia mau merosok dengan dua jari. Jari tengahnya menyusul, berimpitan dengan jari telunjuk membombardir vagina istriku. Mirna hendak rubuh. Kedua tangannya masih menopang dengan siku. Pak Yanto terkekeh. Dia yakin Mirna sebentar lagi terjungkal. Pertahanannya ambruk.

CLOK CLOK CLOK CLOK

"Urrffhhhhhhh..."

"Aaaaaaahhhhhhhhhh!!"

"Bagaimanaa?!! Enakkkan?"

"Aaaaaaaiihhh iyaaah enaaaakkk!! Terussh, dikit lagiihhh"

"Uuurfffhhhhh..."

Pak Yanto kemudian memegangi kedua paha istriku. Ia tenggelamkan wajahnya di selangkangan istriku. Ia hisap klitoris mirna sehingga istriku menjerit hebat. Tubuhnya kemudian beringsut di kasur yang entah sudah berapa lama tidak ditiduri. "Aaaaaaaaaaaaahhhhhh!!!"

"Eemmmmfffhhhhhh...."

"Aaaaaaaaahhhh Pak Yanttooo!!! Enaaaaakkk!!!"

"Mmmmmfffrrrhh slleerrrphhh!"

"Aaaaaaaaaaahhhhh!!!!! Paaakkk!!! Mirnaaa keluaaarrr!!! Aaaihhhh!"

CREEESSSSSHHHHHHHHH!!

"Hehehehe manisss cairanmu", tertawa Pak Yanto di hadapan tubuh Mirna yang porak-poranda akibat ulahnya. Mirna tersengal-sengal setelah meraih orgasmenya yang tumpah di bibir Pak Yanto. Tubuhnya rubuh ke samping dengan rambut awur-awuran. Pak Yanto bersimpuh di depan istriku yang lemaa, sedangkan ia belum menunjukkan batang kemaluannya sama sekali. Ah sial, penisku sudah mengeras saja melihat Pak Yanto membantu Mirna meraih orgasmenya. Apakah aku biarkan saja ya sampai mereka berhubungan badan? Lagipula apa jurus ngeles tiba-tiba menghilang? Hmmmm. Aku lebih baik pergi keluar membelikan makan malam untuk kami bertiga. Barangkali ketika aku benar-benar tidak di sini Pak Yanto sudah telanjang bulat dengan istriku.

"Mas Riko kira-kira ke mana yaa?"

"Mungkin dia sedang keluar sebentar...", ucap Pak Yanto mengelus dahi istriku. "Lanjut???"

"Cek Mas Riko dulu di luar pak..."

"Baik, tunggu di sini..."

Ketika Pak Yanto akan ancang-ancang turun dari tempat tidur. Aku ambil langkah seribu keluar dari rumah Pak Yanto. Sesuai rencana, aku ingin membelikan makan malam terlepas apa yang akan terjadi antara Istriku dan pak yanto di rumahnya. Haruskah Aku marah apabila mereka terlanjur melepas birahi?

=YYY=

POV Mirna

"Hhhmmppphh....."

"Ohhhhhh..."

"Udah kerass banget..."

"Terusin dulu, masih menikmati aku"

"Sengaja kali yaa Mas Riko ninggalin kita berdua?"

"Jangan terlalu dipikirkan, ayo dijilat lagi", pinta Pak Yanto. Aku menyibakkan sarungnya, ternyata ia tidak mengenakan celana dalam saat aku bersama Mas Riko bertandang ke rumahnya. Yang aneh justru Mas Riko raib tak bilang-bilang. Aku tidak tahu ke mana dia dan kapan dia akan kembali. Sementara aku sudah dilanda birahi yang sangat meluap-luap usai Pak Yanto berhasil merangsang vaginaku hingga orgasme hebat. Sekarang vaginaku becek lagi di samping sedang mengoral batang penis Pak Yanto yang sudah seharusnya menusuk kelaminku. Aku sudah ingin disetubuhi oleh Pak Yanto. Sayangnya ia terikat perjanjian dengan Mas Riko. Aku tidak mau ketika sedang enak-enak berlomba mencapai birahi dengan Pak Yanto. Mas Riko memergoki kami. Terjadi keributan lagi, sedangkan aku sudah tidak punya alasan untuk tidak berhubungan badan dengan Pak Yanto. Aku telah menikmatinya. Fantasi Mas Riko tidak sembarangan. Mas Riko mendapatkan apa yang ia bayang-bayangi selama ini, sedangkan aku meraih kepuasan yang tak pernah aku bayangkan juga.

Wajahku terjerumus di antara kedua paha Pak Yanto yang ditumbuhi rambut-rambut halus yang menjalar dari rambut selangkangannya. Baunya khas menebar aura kejantanan dia sebagai laki-laki. Aku suka. Tentunya berbeda dengan bau kelamin Mas Riko.

"Sluuurpphhh"

"Ohhhhh, tolong pelirnya juga dijilat"

"Ummppphhh sluurpphhhh"

"Uennak Mirnaa, jadi istriku saja bagaimana?"

"Jangan ngaco deh pak"

"Jadi istriku dan juga istri Riko?"

"Itu apalagi..."

"Hehehehe, aku hanya bercanda, jangan dianggap serius. Teruskan lagi, enak penisku dijilatin kamu"

"Slurrrrphhh hhuummmphhh"

"Oooooooohhhhhhhh!"

"Sluuupprrrhhhh"

"Aayooo emuttt lagiii"

"Iyaaaaahh"

"Hhhmmmpppppphhh!", bibirku merasakan urat kemaluan Pak Yanto yang pejal. Kubasahi dengan liurku agar mudah nantinya keluar-masuk vaginaku yang sudah mengemis-ngemis hendak dicelupkan. Penis ini bertambah keras. Apakah aku harus melakukan ini sampai Pak Yanto orgasme sebagaimana aku tadi? Aku sungguh tidak rela. Aku ingin Pak Yanto meniduri aku. Kemana kamu Mas Riko? Aku mohon cepat datang. Lelah juga aku harus menghisap penis Pak Yanto terus. Aku kocok-kocok penis tersebut. Pak Yanto tiada bosan. Malahan ia mengelus pahaku, mengumbar senyum yang sepertinya ia sudah memahami apa yang aku inginkan.

"Paaakkk entot Mirna sekarang aja yuukk, mumpunng Mas Riko gak ada"

"Aku tidak mau melanggar janjiku. Sabar yaa. Silakan kalau kamu mau istirahat dulu", ucap Pak Yanto. Kami lantas rebahan bersama. Aku berbaring sambil sesekali mengocoki penisnya. Pak Yanto tidak berkomentar. Tumben-tumbenan juga ia tidak menggagahi gunung kembarku yang senantiasa jadi kegemarannya.

Seandai Bu Aminah tidak memberitahukan kontakku kepada Pak Yanto mungkin hubungan kami tidak pernah lanjut sampai di sini. Karena Bu Aminah, aku sering berbalas chat dengan Pak Yanto, membicarakan apa saja yang bisa dibicarakan ketika aku kosong di rumah selagi Mas Riko sibuk bekerja. Pertemanan kami memang memunculkan tatapan melenceng dari tetangga dan warga sekitar. Aku tidak risau karena memang tidak ada apa-apa antara aku dan Pak Yanto, meski sedikit-sedikit Pak Yanto keluar genit dan mesumnya.

Siang hari Pukul 13.25

Aku: itu kan celana dalamku pak? Kok bisa sih?! ish malu aku tahuk.
Pak Yanto: keselip mungkin.
Aku: engga. Enggak mungkin keselip, tempat naruhnya aja beda-beda.
Pak Yanto: kalau sengaja??? Celana dalam kamu harum.
Aku: jorok itu kan belum dicuci.
Pak Yanto: bagiku, harum selangkanganmu. Hehehe
Aku: idiih gak jijik?
Pak Yanto: kalau harum kenapa harus jijik? Bagaimana aslinya ya heheehe
Aku: mulai deh
Pak Yanto: yang mulai yang kirim dong.
Aku: siapa?
Pak Yanto: yaa suamimu. Ada sesuatu yang salah dengan dia.
Aku: hmmm???
Pak Yanto: coba kamu selidiki diam-diam. Tapi anggap aku tidak memberitahumu perihal celana dalam ini ya?
Aku: iya Pak.

Aku yakin seratus persen tidak mungkin celana dalamku tersesat ke rumah Pak Yanto karena pakaian kerja yang dikirimkan oleh Mas Riko. Tentunya ia sengaja menaruhnya karena fantasi suamiku mulai memasuki babak baru yang tidak semustinya terjadi. Itu mengapa aku enggan bercerita perihal kedekatanku dengan Pak Yanto yang semula hanya pertemanan biasa. Namun, ia menciumnya berbeda. Mas Riko ingin memanfaatkan situasi Pak Yanto yang telah tertarik secara seksual padaku karena bentuk tubuhku ini.

Setelah celana dalam ini kembali lewat Mas Riko dengan pengakuan bohongnya bahwa sperma yang menempel adalah spermanya, sedangkan jelas-jelas itu sperma Pak Yanto. Hal itu mempertebal keyakinanku bahwa ia makin gila dengan fantasinya agar aku disetubuhi pria lain. Dia benar-benar sengaja mengirimkannya. Mas Riko memiliki maksud terselubung. Aku tidak tahu harus bagaimana. Ketika aku larang ia justru mencari pelarian ke arah Yanti. Aku mula-mula cerita ini ke Frida, tetapi tanggapannya tidak terlalu serius. Frida terlampau sibuk menceramahiku tanpa memahami konteks yang sedang aku hadapi.

Sebaliknya Pak Yanto yang paling tanggap kendati dia berlaku tidak sopan, termasuk memohon izinku agar celana dalamku dikenai spermanya dengam tujuan menguji suamiku dia berbohong atau tidak, ternyata berbohong.
Awalnya dengan menghadapi dua orang gendeng ini aku mengira bisa mengerjai mereka sekaligus. Setali tiga uang. Mas Riko kena imbasnya. Pak Yanto kena batunya. Yang terjadi aku terlampau terjerumus dekat dengan Pak Yanto menelan mentah-mentah seluruh perkataannya karena aku merasa sudah kehilangan arah akibat strategi yang kacau.

"Pegang tangan boleh?"

"Mau ngapain?"

"Ya pegangan aja gak ngapa-ngapain, sebentaran"

"Ada Bu Aminah"

"Dia jauh di depan, kita kan jalan berdua di sini"

"Kalau ada yang lihat?"

"Ya masalahnya apa? Enggak ada hubungan apa apa juga kan?"

"Tetep aja Pak, gak enak", risauku.

"Suamimu pernah gandeng tanganmu kalau jalan?"

"Pernah"

"Kapan?", tanya Pak Yanto. Kami berbicara di tengah keriuhan pasar.

"Udah lama sih"

"Sudah lama kan? Nah!"

PLAAAAAP

Dia menggenggam tanganku kencang-kencang, sedangkan aku yang berusaha menariknya kuat-kuat tidak berdaya. Aku justru dibawanya keliling pasar melihat-lihat barang-barang jualan hingga kami sampai di penjual daster. Di sana ia timbul ide membelikan daster untukku. Pak Yanto mencocok-cocokkan kiranya mana daster yang pas aku kenakan. Di sisi lain, orang-orang di sana mengira bahwa aku adalah istrinya. Pak Yanto mencocokkan bukannya membantah malah menjawab iya. Katanya ia bangga seandai memiliki istri seperti diriku. Dia juga ingin orang lain terkagum padanya. Aku dipuji Pak Yanto tidak banyak tingkah. Jarang mengomel dan mau mengerti. Apalah artinya pengandaian kata Pak Yanto kalau kebenarannya berbeda. Kalau aku merasa tidak setuju dengan yang dia lakukan. Ia rela kembali ke penjual daster yang kami tidak membeli sesuatu apapun di situ untuk klarifikasi. Akan tetapi, aku mengatakan tidak perlu.

"Riko ini kelewatan masa kamu mau dibagi-bagi ke pria lain... gila dia!"

"Kalau Pak Yanto jadi suami aku, rela?"

"Ya enggak, mana rela aku"

"Kenapa enggak rela?"

"Ya mana rela secantik kamu, semontok kamu dilepas ke pria lain..."

"Memang badanku bagus?", tanyaku ketika Pak Yanto bertandang ke rumah selagi Mas Riko pergi bekerja.

"Butuh pengakuan apalagi? Kamu jangan minder dengan foto dan video Yanti yang suka dilihatin Riko, mesti bangga sama diri kamu sendirilah. Pusing kamu kalau banding-bandingin diri sendiri dengan orang lain"

"Gitu yaa? Gitu?"

"Iyaaa....", ucap Pak Yanto mencubit hidungku.

"Ishhh genit mulai kan. Jangan pegang-pegang. Sudah pulang sana gih Pak gak enak dilihat orang loh"

"Aku bingung di rumah ngapain, kamu juga kan?"

"Iyaa sih. Pak, lihat deh Mas Riko diem-diem coba mata-matai aku. Aku rasa dia mantau percakapan kita"

"Serius?"

"Iyaa nihhh"

"Hhhmmm kita kerjai bagaimana?"

"Kita berbalas pesan mesra gitu, rada-rada tendensius cabul"

"Ah itu maunya Pak Yanto"

"Kalau Riko ada ketertarikan dengan Yanti, masa aku salah ada ketertarikan denganmu?"

"Hhhmmmm..."

"Kita panasi saja Riko sekalian"

"Panasi bagaimana?"

"Ya itu tadi....", ucap Pak Yanto memegang kedua telapak tanganku merembet ke lengan. "Aku peduli dengan kamu, Mirna. Sekalipun aku saat ini menyentuhmu. Tidak terbersit sama sekali aku ingin kamu pisah dari suamimu. Aku punya anak dan istri yang juga harus disayangi"

"Lalu untuk apa deket-deketin aku?"

"Kita kan sama-sama sedang dalam kondisi tertekan, aku kesepian di sini, kamu risah dengan suamimu. Kita bisa saling mendukung"

"Apaa iyaaa?", tanyaku.

"Iyaaaa. Ayolaaahhh"

Jawaban Pak Yanto ketika itu merasuk ke dalam diriku di mana Frida sedang susah dihubungi, kerap pula kami tidak sepakat mengenai jalan yang ditempuh. Sebaliknya Pak Yanto benar-benar menunjukkan tekadnya mendukungku. Apalagi dialah orang satu-satunya ketika aku sedang menjalani hubungan rumit dengan Mas Riko yang kambuh berhubungan dengan Yanti lagi. Kalau Mas Riko merasa Yanti patut dibanggakan. Mengapa Pak Yanto tidak boleh membanggakan diriku. Semenjak saat itu aku dan Pak Yanto merangkai skenario bersama dengan kepura-puraan kami dengan catatan Pak Yanto tidak boleh kebablasan. Namun pada akhirnya hubungan kami kebawa perasaan juga. Aku sudah terlampau dekat dengannya akibat fantasi Mas Riko dan perkara hubungan masa lalunya dengan Yanti.

"Gimana gede kan lihat langsung?"

"Mau pamer?"

"Salah? Enggakkan?"

"Udah buruan, katanya mau kencing", ucapku menuntun Pak Yanto ke kamar mandi.

"Mau lihat ini kamu dong", terang Pak Yanto menunjuk ke arah selangkanganku.

"Untuk apa?"

"Ya aku udah tunjukkin, kamu masa enggak, gak adil dong?"

"Emmm.... jangan macem-macem ya?"

"Pernah?"

"Pernah. Grepe-grepe"

"Ah cuman grepe tangan kamu doang"

"Hhmmm doang?"

"Pengen yang beda", saat ucapan itulah Pak Yanto mulai menginginkan aku menyentuh penisnya hingga ia ingin mengacak vaginaku. Aku sejujurnya sejak kejadian itu ingin menjauhi Pak Yanto, tetapi tidak punya pilihan aku terlanjur kecemplung terlalu dalam. Aku hanya punya dia selama ini untuk berbagi cerita mengenai kenakalan fantasi suamiku. Hal itu juga merupakan alasan mengapa aku pasrah dan rela mengoral Pak Yanto, membiarkan Pak Yanto menikmati tubuhku karena aku merasa sudah percaya serta kenal dengannya. Apa yang perlu aku cemaskan? Ditiduri Pak Yanto? Sudah kenal. Sudah dekat apalagi yang kamu risaukan Mirna. Lagipula Fantasi suamimu hanya itu. Kamu berhubungan badan dengan orang yang kamu sudah kenal selama ini membantumu menyadarkan suamimu. Emosiku bergejolak. Aku perlu membalas semua yang Pak Yanto telah lakukan demi aku. Dia satu-satunya yang peduli. Aku mau bercinta dengannya. Dia melanggar janji karenaku. Dia juga setia terhadap janjinya dengan Mas Riko juga agar aku tidak jauh-jauh darinya lagi.

"Paaaakkk....."

"Apaaaa? Udah kepengen ya? Tunggu suamimu dulu Mirna, kamu mau aku dihajar dia lagi hehehe?"

"Hhhmmmmmmffffhhh", dengan kesadaran penuh tiba-tiba diriku mencium bibir Pak Yanto. Ia menyambut mesra. Aku dipeluknya. Bibir kami berpagut seraya penis Pak Yanto kembali kuraih. Aku ingin penis itu berdiri lagi. Ia harus menyelesaikan tugasnya.

"Hmmmmffffhhh"

"Masih kepengen entot memek aku kan Pak?", tanyaku yang bergeser berusaha mengoral vaginaku sendiri. Aku berbaring menyentuh daerah selangkangan polosku di hadapan Pak Yanto agar penisnya terpancing kencang lagi urat-uratnya.

"Ya masih, mana bosan sama memekmu"

"Aaaaaahhh udah sange banget aku pak, pengen dientot"

"Kamu bener gak mau makan dulu? Gak laper?"

"Riko tampaknya sebentar lagi mau sampai, dia ternyata beli makan, ini barusan kirim pesan"

Tak ada respon berarti dari Pak Yanto. Aku menyingkap sweater lengan panjangku separuh. Kulepas pengait BRA. Buah dadaku membusung lepas ingin memanjakan pria yang belakang menyukainya.

"Sambil nungguin Mas Riko, isepin nenen aku dulu yuk Pak"

"Urgghhh kamu ini bener-bener loh" Pak Yanto menghampiri badanku. "Kalau Riko pergokkin kita bagaimana?"

"Kan tadi Pak Yanto bilang selama Pak Yanto gak masukkin kontolny ke memek aku, Pak Yanto gak melanggar perjanjian"

"Bener...."

Pak Yanto merangkul pinggangku seraya aku mengocok penisnya. Ia tersenyum. Memulai dengan mencumbu tiap pangkal lehermu Kemudian segera berangsur turun ke pundak, sempat menciumi daguku, barulah tanpa aba-aba, Pak Yanto menyambar puting buah dadaku.

CYUUUPPPHHH SRRUUPPPTT

"Aaahhhhhhh...."

"Lebih enak buah dadamu ketimbang buah yang kamu berikan hehehe"

"Kan buah yang tadi belum dikupas"

"Gak usah enak yang ini"

CYOOOPPPHHHH SRRUUPPPTT

Penis Pak Yanto sudah berdiri maksimal lagi. Sekarang giliranku melicinkan liang vaginaku. Pak Yanto tak membiarkan aku berusaha sendiri, kembali jarinya berulah. Aku pasrahkan kepada Pak Yanto agar kelaminku lekas siap melahap penisnya. Dengan kedua kaki menjulur, aku buka pahaku lebar-lebar. Kami berdua saling memandangi ketika kedua jari Pak Yanto keluar-masuk liang peranakanku. Astaga aku seperti tersengat rasanya. Jari-jemari pak yanto kurang ajar. Aku jadi benar-benar menginginkan penis Pak Yanto yang segera menyelesaikannya. Pinggulku terombang-ambing.

"Aaaaahhhhhhhhhh"

"Uuuurfffhhhhh becek lagi..."

"Iyaaaaahhh Paaakk... aaaihhhhh...."

"Bener-bener sudah gak tahan aku, Mirna", ujar Pak Yanto membuang sarungnya.

Sekarang terpampang lebih jelas dan gagah penis Pak Yanto yang mencuat di depanku. Kepalanya seakan-akan memberi kode kepada vaginaku agar bersiap-siap. Namun, mendadak pintu rapuh itu terbuka. Mas Riko muncul seketika. Pak Yanto yang kaget berbalik badan. Aku lemas tidak tahu harus bagaimama jika Mas Riko mengamuk lagi.

"Ini gak mau makan dulu nih? Udah curi start aja" ucap Mas Riko. Di luar dugaan, ia justru tersenyum

"Maaf Pak Riko, maaf, maaf betul sekali saya", Pak Yanto menunduk-nunduk menyalami suamiku. Ia sudah menyesal duluan, takut dihajar lagi.

"Hahahahahaha"

"Mas, kenapa kamu malah ketawa?"

"Kamu udah kebelet banget ya sayang?", tanya Mas Riko mendekati yang duduk di atas tempat tidur sudah tidak mengenakan celana, namun sweater lengan panjangku masih menempel.

"Emmmm... i-iya maasss...", jawabku terbata-bata.

"Ya sudah lanjut..."

"Heh? Beneran ini?", Pak Yanto tak percaya.

"Ya lanjut. Kan Pak yanto enggak melanggar apa-apa"

"Heheheh"

Setelah diperkenankan, tanpa pikir panjang aku memberi perintah ke Pak Yanto untuk segera mencelupkan batang penisnya ke vaginaku. Aku amati Pak Yanto tengah menelanjangi dirinya. Aku tak mau kalah. Aku lepas sweater lengan panjangku sehingga kami berdua sudah bugil, berancang-ancang untuk mempertemukan dua kelamin yang sudah ingin saling memuaskan. Tak jadi menungging, aku memposisi diri berbaring. Aku ingin bercinta dengan Pak Yanto dengan posisi misionaris, posisi favorit aku dan Mas Riko. Aku usap terlebih dahulu klitorisku, memastikan dia masih basah dan licin. Kemudian aku buka kedua pahaku lebar-lebar. Pak Yanto memepet.

Pak Yanto mengelus batang penisnya dengan lumuran ludah dirinya sendiri agar ia bisa langsung menancapkan penisnya. Aku tidak jijik. Aku hanya sedang ingin Pak Yanto buru-buru memasukkan penisnya.

"Izin entot istrinya ya, Pak Riko..."

"Beresss...", ujar Mas Riko duduk di area dapur. Pintu kamar dalam keadaan terbuka.

"Hhmmmm...."

"Urghhh aku masukkan yaa.. hehehe", ucap Pak Yanto mengarahkan kepala penisnya ke liang senggamaku. Ia sengaja lama-lama di sana agar aku memelas.

"Aaahhh keburu kering lagi, ayo dimasukkin pak"

"Kamu izin dulu. Heheh"

"Isshhhh...."

"Yaudah kalau gak mau ya begini-begini aja", Pak Yanto mengerjaiku.

"Masss, izin ya"

"Izin apa?", tanya Mas Riko mempermainkaku sama halnya dengan Pak Yanto.

"Izin apa aja terserah kamu deh ih"

"Ayo bilang yang bener kalau gak, gak dimasukkin"

"Aaaaaaaaahhhh", Kepala penis Pak Yanto sudah masuk, tetapi ia keluarkan lagi karena syarat yang ia mau tidak dipenuhi.

"Maaasss izin aku mau dientot Pak Yanto"

BLLLLLLESSSSSSHHHH

AAAAAAAHHHHHHHHH!

Aku mendesah keras karena Pak Yanto lekas tiba-tiba membenamkan seluruh batang penisnya. Lalu Ia diam sejenak. Kami beradu pandang saling mengamati selagi kemaluan menyesuaikan diri. Kedua kakiku menjepit pinggang Pak Yanto seakan-akan tidak ingin ia mengeluarkan penisnya lagi. Pak Yanto pula mendekapkan tubuhnya dengan tubuhku. Ia menyerang ketiakku. Ia sapu dengan lidahnya. Aku tidak kuasa selain mengangkat kedua tanganku bergiliran.

"Selllleepppphhh"

"Ooohhhhhhh"

"Maniss keringatmu sayang"

"Ohhhhh"

Leherku juga disapunya. Tubuhku meronta-ronta. Ditambah penis pak yanto mulai berangsur naik-turun. Pinggul terbawa olehnya. Aku tidak mau penis itu lepas lagi. Aku mau ia di dalam terus. Aku rangkul leher Pak Yanto. Kami berciuman panas selayaknya suami-istri yang lama tidak bercinta. Ludah kami bertukar. Lidah saling menjelajah rongga mulut masing-masing. Pak Yanto menggigit bibir bagian bawah mulutku.

"Hmmmmfffhhhh"

"Hhhhmmmmfffffh

"Enak entot kamu sayang..."

"Aaaaaahhh iyaa enak banget dientot Pak Yanto...", desahku merasakan penis pak yanto tengah memggenjot vaginaku. Kepalang basah segalanya.

"Kamu mau dientot terus sama Pak Yanto sayang?", tanya Mas Riko menghampiri diriku yang sedang bergumul nikmat dengan Pak Yanto.

"Maauu masss aaaahhhh..."

"Ada syaratnya...."

"Aaaaahhhhhh aaapaaaa syaratnyaaaaa?"

"Kamu harus bilang Pak Yanto sayang kalau lagi dientot, bisaa?"

"Aaaaaaaahhh bisaaa!"

"Hehehe terima kasih Pak Riko, urghhhhh"

Aku tak tahu barusan bilang apa. Nafsu birahi telah menguasai isi pikiran dan batin. Di benakku sekarang hanya ada Pak Yanto dan penisnya. Aku ingin Pak Yanto memuaskan birahiku. Vaginaku menjepit batang kemaluannya. Pak Yanto semakin beringas. Penisny makin deras menghujani vaginaku. Bertambah becek.

"Aaaaahhhhhh Pak Yanto.... enaaakk..."

"Urghhhh.. iya sayang...."

"Pak Yanto sayaang.... aaaahhh"

"Urghhh habis makan kita main lagi ya?"

"Aaaaahhhh iya main lagiii"

Aku mulai merasakan kedutan di penis Pak Yanto. Pinggulnya mendorong-dorong kelaminnya yang tampak sebentar lagi menyemburkan sperma. Akibatnya aku juga tak kuasa menahan gelombang orgasmeku. Aku ingin lepas saja karena ini bukan yang terakhir. Pak Yanto masih akan menyetubuhiku.

"Urghhhh.... Pak Riko... izin crott di dalem yah"

"Iyaaa silakan, lagi enggak subur juga Mirna"

"Aaaaaaaaahh!" Kami berangkulan erat bersiap-siap melepas orgasme bersamaan. Pak Yanto menhisap daguku.

"Urghhhhhh.... mau keluarr akuuuh"

"Iyyaaa aku jugaaaa Pakk... enakkk... semburin pejunyaa dong..."

"Maaaauuu dipejuin?"

"Maaauuuuuuuu! Ahhhhhhhhh aku mau dipejuin..... aaahhh mau keluaarrr!"

"Aaarrrghhhhh aku jugaaaa!"

CRESSSSSSSHHHHHHHHHH

CROOOOT CROOOTT CROOOOTTTT

BERSAMBUNG...
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd