Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
BAB VI

POV Riko


"Ayo dihabiskan Pak"

"Beli di mana ini? banyak sekali nasinya. Enggak kuat lagi perut saya, penuh...", tanya Pak Yanto. Ia bertelanjang dada hanya membelitkan sarung sebagai bawahannya. Dada serta perutnya berkeringat karena kepedasan usai menyantap nasi goreng yang aku beli.

"Yang jualan di depan portal dekat pos sekuriti itu, ramai juga ternyata yang beli"

"Oooooo....", Pak Yanto adalah yang paling pertama menyelesaikan makan malamnya.

"Kamu gak sengaja ngelama-lamain kan Mas?", tanya Mirna memandang penuh curiga kepadaku. Badannya berbalut daster yang dia bawa dari rumah. Ia masih berkeringat usai berhubungan intim dengan Pak Yanto.

"Enggak kok hehehe, kebetulan pas aku pulang tahu-tahunya kamu dan Pak Yanto ngilang, pas ke dapur, eh ada suara-suara gitu ya aku intip aja, begitu deh"

"Hmmmmm... kamu gak marah kan?"

"Kenapa mesti marah?"

"Itu loh Pak Riko, tadi itu sebetulnya ibu udah kepengen ajakin saya tempur, kan saya inget punya janji sama Pak Riko, saya engga berani nurutin, bener kan?"

"Sebenernya janjinya gimana sih? Ribet banget perasaan", gerutu Mirna.

"Janjinya itu Pak Yanto gak boleh gituan dengan kamu kecuali ada aku"

"Kalau oral seks, megang-megang?"

"Kalau itu ya silakan-silakan aja, asalkan balik lagi ke perjanjiannya, PAK YANTO ENGGAK BOLEH BERHUBUNGAN BADAN DENGAN KAMU, KECUALI ADA AKU. ITU! APA KURANG JELAS?! Gak ribet ah"

"Tuh bener kan Bu, apa saya bilang. Hehehe"

"Mmmmhh......"

"Kamu kalo belum siap-siap banget pakai kerudung ya jangan terlalu memaksakan, daripada copot-pasang, dilihat ibu-ibu yang lain bingung juga mereka", ucapku kepada Mirna yang jika keluar dari rumah akhir-akhir ini tidak mengenakan kerudung. Mirna beberapa bulan yang lalu rutin ke pengajian komplek dan mulai perlahan berani mengenakan kerudung. Namun karena ibu-ibu lebih sering menggosipnya, dia mundur. Mirna tidak nyaman karena dia ingin suasana yang betul-betul religius, mendukungnya lebih baik, bukan tempelan belaka. Lagipula apabila dia ingin mengenakan kerudung harus benar-benar diniatkan dari hatinya bukan karena ingin dilihat atau meniru orang lain. Jika berpijaknya selalu demikian, niscaya tidak akan pernah sungguh-sungguh. Pelaksanaannya akan berat. Apalagi sifat dan sikap belum menyesuaikan dengan pakaian yang sudah dipakai. Ceritanya akan senasib pula.

“Menurut kamu, aku cantikkan pakai kerudung atau enggak?”, tanya Mirna sembari membereskan piring.

“Hhmmm sama cantiknya sih”

“Kalau menurut Pak Yanto?”

“Kamu merasanya bagaimana?”, Pak Yanto menatap lancip ke arah bodi Mirna. Aku yakin mereka akan bermain satu ronde lagi.

“Ditanya, malah nanya balik, cantikkan mana?”

“Cantikan pakai kerudung, supaya gak ada yang terpikat dengan kamu lagi, cukup suamimu dan aku. Hehehe”

“Eemmm begitu….”

“Pasti kamu pakai kerudung didorong-dorong Bu Aminah, ya?”, terka Pak Yanto.

“Enggak aah, emang karena mau aja”

“Ohh karena Bu Aminah, bagaimana cerita kok bisa Bu Aminah membujuk Mirna memakai kerudung?”

“Karena ibu-ibu di komplek ini hampir kebanyakan sudah memakai kerudung loh Pak Riko, makanya Bu Aminah awalnya bertanya Mirna kapan? Selanjutnya ia menganjurkan, enggak ada yang salah kan?”

“enggak salah, justru bagus banget. Sekarang tergantung Mirnanya, komitmennya”

“Pelen-pelen kali yaa….”

“Namanya baru ya harus pelan-pelan, enggak bisa langsung wuussshhhh, alim!”, sahutku.

“Kalau aku dah kerudungan berarti gak bisa nakal-nakal lagi dong dengan Pak Yanto?”, tersenyum Mirna menengok muka ke Pak Yanto.

“Itu mah balik lagi ke kamunya sayang, bukannya ke Pak Yanto”

“Ada juga balik ke kamu, Mas, kok Pak Yanto sih. Semua ini kan akar masalah awalnya dari kamu”

"Heheheh oh iya yaa hahaha...."

Aku tentunya dengan senang hati mempersilakan jika Mirna mantap berkeinginan kuat memakai kerudung sehingga warga turut akan memandang positif kepadanya. Bukan lepas-pasang seperti sekarang. Aku juga akan mendapatkan nilai tambah sebagai sosok suami yang dianggap berhasil mendidik istrinya dengan sabar, kasih sayang, dan penuh kebaikan. Mirna juga akan jauh dari kesan perempuan nakal, seksi yang acap memamerkan aurat, tidak rentan digodai atau dirayu lelaki hidung belang. Cukup Pak Yanto seorang. Aku masih waras tidak mau istriku dijadikan objek seksual semata. Fantasi ya fantasi bukan berarti istriku adalah budak seks pikiranku yang murahan 'dijajakan' kepada kaum pria manapun. Di sisi lain, selama Mirna berkerudung awal-awal semuanya baik-baik saja, bahkan sampai hari ini. Aku amat mendukungnya. Namun ketika dia copot-pasang, berbedalah pandangannya. Itulah murni persepsi masyarakat. Aku tidak menyalahkan. Aku menganjurkan Mirna agar lebih baik dari segi penampilan. Apalagi aku sebagai seorang suami masih jauh dari kata sempurna.

Selesai makan malam, aku menyangka Pak Yanto dan Mirna akan langsung melanjutkan ronde ke-2 mereka, melainkan Pak Yanto mengajak aku mengobrol di halaman depan rumahnya, sedangkan Mirna membereskan peralatan makan malam kami di dapur. Suasana teduh angin sepoi-sepoi. Kelelawar berlompat hinggap dari pohon ke pohon. Pak Yanto dan aku duduk menyaksikan jalanan yang lengang di depan rumahnya saat malam hari. Pemandangan kami agak terhalang oleh pepohonan yang tumbuh di perkaran

"Bagaimana di kantor Pak?"

"Ya sama saja, kalau lagi sibuk, sibuk. Selalu ada yang dikerjakan"

"Engghh.. pekerjaan buat saya apa benar-benar enggak ada ya? Bosan juga jika lama-lama melamun di rumah"

"Hahahaha kesehatan Pak Yanto sendiri bagaimana sekarang? Bukannya tidak ada sih, lebih karena mempertimbangkan kondisi bapak", jawabku halus.

"Yang enggak berat, yang enggak perlu angkat-angkat?"

"Tukang pos pak hahahaha"

"Kalau itu saya mending jadi tukang pijet aja sekalian, serius ini loh Pak Riko. Buat nambah-nambah juga, supaya istri saya enggak mandang saya sebelah mata terus"

"Pak Yanto kenapa gak bantu-bantu istrinya saja?"

"Saya merasa numpang hidup, alangkah baiknya saya punya penghasilan sendiri, terus saya beri istri, walau usia sudah tak muda. Beda rasanya"

"Hhhhmm bener, lebih bertanggung jawabnya kelihatan"

Rengga mengirimkan pesan singkat melalui WA.

Malam Hari Pukul 20:30

Rengga: Paaah lagi di mana? di tempat papa bisa magang?".
Aku: lagi di rumah Pak Yanto. Kamu mau magang di tempat papa?
Rengga: Bukan. Ada temen aku yang mau magang.
Aku: berapa orang?
Rengga: Dua orang, cowok semuanya.
Aku: Nanti papa tanyain dulu ya. Kamu lagi di mana?
Rengga: OTW pulang ke rumah.
Aku: sampai di rumah aja kita bahas. Kalau udah sampai, tolong kabarin papa.
Rengga: iya, baik Paaah.

"Bagaimana Pak Riko?"

"Emmm gimana yaaah, semustinya usia kayak bapak udah cukup tinggal nikmati hidup, di desa ngemong cucu, bukan bekerja lagi hehehehe"

"Saya maunya begitu, keadaan nyatanya kan enggak"

"Hhhmmm... baik saya usahakan lagi ya Pak. Kalau ada kabar pasti saya kabarin ke Pak Yanto"

"Naah, baiklah, terima kasih Pak Riko sudah mau mengusahakan"

Sejujurnya aku sudah buntu mencarikan pekerjaan untuk Pak Yanto. Malahan sudah tidak pernah ada di dalam benakku sejak ia terkena serangan jantung. Terlalu riskan apabila aku menerima Pak Yanto di perusahaanku dengan pekerjaan yang tergolong berat. Masuknya tenaga muda seperti Wawan memberi warna baru. Entah bagaimana jika Pak Yanto yang masuk. Ia menuntut lowongan kepadaku. Seandai dia seumuran teman-teman Rengga amat memungkinkan walau magang sekalipun.

Aku sempat bertanya mengenai keluarga Pak Yanto di kampung yang barangkali mempunyai kebon, ladang, atau sawah. Ayahnya dahulu bisa disetarakan dengan juragan tanah. Sayangnya habis untuk membayar hutang di mana-mana. Tak banyak yang bisa diwariskan kepada anak-anaknya, khususnya Pak Yanto. Kemudian aku menyarankan Pak Yanto untuk membuka warung. Aku mau memodalinya. Ia beralasan tidak pandai berjualan. Padahal di kampung ia membantu istrinya berjualan jajanan pasar. Katanya ia mental pekerja, bukan mental pengusaha. Ada saja inih alasannya orang tua. Sudah dikasih enak-enak, minta nambah yang lain. Tak apalah. Sabar.

"Ini Wawan baru saja menawarkan pekerjaan supir ojek pribadi, apaa mau? Ya saya jawab mau"

"Supir ojeknya siapa???", aku heran.

"Belum tahu", ungkap Pak Yanto sambil memegang ponsel.

"Hhhmmmm.... Pak Yanto bisa bawa motor?

"Yaa bisalah, karena enggak punya aja di sini, di kampung ada satu"

"Jadi Ojol sekalian!"

"Lebih baik pribadi, penghasilannya tetap, tujuan jelas, tidak perlu rumit-rumit pindah satu titik ke titik yang lain", jawab Pak Yanto berkilah.

"Motornya? Bagaimana?"

"Nah iya itu juga!"

"Lah bagaimana.... aduh Pak Yanto,,, Pak Yanto,,,,", aku geleng-geleng kepala. Dia bermaksud menjadi pengemudi ojek pribadi, asal mau. Akan tetapi motornya saja tidak punya. Payah, payah....

Lalu Mirna muncul selesai berberes di dapur rumah Pak Yanto.
"Mas hubungan temenmu yang namanya Jajang itu bagaimana???"

"Oh masih inget?"

Pak Yanto menyela sambil masuk ke dalam,"duduk Bu, ada kursi kok di dalam". Kemudian ia meletakkan kursi kayu tersebut serta mempersilakan Mirna duduk.

"Masih dong, kan kamu dulu puter-puter terus itu videonya Jajang sama perempuannya yang namanya siapa itu, aku lupaa...", tukas Mirna melempar pandang ke Pak Yanto.

"Raaniii....."

"Iyaa Rani, mereka masih awet?"

"Sudah kadaluwarsa..."

"Hah?! Maksudnya?!"

"Udah ketahuan istrinya Jajang hubungan mereka, sudah habis. Jajang sekarang ingin menjauhi Rani karena takut diceraikan istrinya", jawabku.

"Teruss?"

"Raninya ya gak terimalah, udah beberapa kali ditemenin bobok, masa mau ngilang gitu aja"

"Kok begitu banget sih, gilaa banget temenmu, tapi istrinya udah tahu suaminya ada main dengan satu rekan kerja?"

"Sudah tahu, baru-baru ini istrinya Jajang hubungin aku, dia minta kontak Rani dan bertanya di mana alamat kosnya"

"Kamu jawab apa?"

"Aku enggak mau ikut campur. Aku kasih kontak Wawan saja, supaya istrinya Jajang kontak-kontakan dengan Wawan. Kan Dia yang lebih dekat dengan Rani"

"Hhhmm... Wawan yang nemenin Pak Yanto di rumah sakit itu???"

"Iyaa betul", balasku memastikan.

Pak Yanto tiba-tiba menyahut,"yang namanya Rani itu seperti apa? Kayak cantik betul rupa dan bentuknya, sampai-sampai Wawan ikut kepincut juga"

"Bukannya Pak Yanto udah pernah lihat videonya?", jawab Mirna. Aku terkejut ternyata diam-diam mengambil video tersebut dari ponselku. Aku tidak tahu kapan dan bagaimana ia memperoleh.

"Yang Inii pakkk orangnyaa....", balasku. Lewat ponsel aku memperlihatkan gambar Rani seorang.

"Kamu nyimpen yaa?"

"Ini aku buka dari media sosial sayangku", jawabku atas singgungan Mirna.

Dalam gambar tersebut Rani sedang berpose berdiri di sebuah taman, mengenakan tanktop scoop, berwarna oranye. Ia adalah seorang ibu muda berusia 33 tahun yang merantau bekerja demi anak dan suaminya yang tinggal di kampung halaman. Tingginya lebih kurang 160 cm dengan postur badan ramping, namun tetap kencang-berisi. Kedua lengannya tidak terlalu terkesan sintal. Bukit kembar yang melembung hampir sama padatnya dengan payudara istriku. Akan tetapi, kentara lebih besar milik Mirna apabila dilihat dari video Rani sedang tak berbusana bersama Jajang. Bagian pinggul terlihat bundar. Rani lebih jeli merawat badannya ketimbang Mirna. Hanya saja, aku tipikal pria yang menyukai postur tubuh seperti Mirna.

Hubungan jarak jauh yang dijalani oleh Rani bersama sang suami dianggap peluang bagi laki-laki buaya untuk menggaetnya. Yang beruntung berhasil memikat adalah Jajang. Sayangnya Jajang telah lupa diri setelah ketahuan istrinya. Ia berubah menjadi pengecut, hilang keberanian dan tak punya nyali bertanggung jawab atas kata-kata 'menyihir' yang pernah diutarakan ke Rani, sekadar rayuan manis pula demi melanggengkan hubungan pertemanan curhat, berhadiah esek-esek. Aku belum tahu sejauh mana komunikasi Wawan dengan istri Jajang mengenai penyelesaian hubungan Jajang-Rani.

"Cantikan mana Pak?", tanya Mirna butuh pengakuan.

"Enghhh... tergantung, badan perempuan itu kan bentuknya beda-beda"

"Anak nanya cantikkan mana, mengapa malah jadi bahas badan", Mirna menggumal. Aku tersenyum dengan reaksinya.

"Cantik, ya cantik kamu. Rani ini lebih singset, kalau kamu montok banget. Hehehe"

"Gendut maksudnya?"

"Bukan, ya montok, berisi badannya. Kalau gendutkan perut dan badannya udah meluap membesar, gembrot....."

"Hhhmmmm..."

"Wawan kok bisa ya di luar banyak gadis-gadis muda, cantik, seumuran dia, malah tergiur emak-emak", Pak Yanto heran.

"Apa kabar dengan Pak Yanto? Hahahaha", ledekku.

"Hahahaha Pak Riko seharusnya menyandingkanku antara nenek-nenek dan emak-emak. Kalau dengan gadis-gadis saya cemaskan disangka kakek dan cucunya. Hahahaa"

Mirna lalu menimpali, "Yanti apa kabarnya Mas?"

"Yanti apa Yanto? Hahaha", balasku tertawa.

"Yantii.... yang bikin kamu kesengsem, jangan pura-pura lupa"

"Aku sudah lama enggak pernah kontak lagi. Mengapa kamu tanya soal Yanti?"

"Ya cuman tanya, gak harus pakai kenapa"

"Mmmmhh......"

"Di antara aku, Rani, dan Yanti, cantik mana?", tanya Mirna kepadaku seraya menatap ke Pak Yanto juga.

"Ya kamulah...."

"Kalau dilihat-lihat, Pak Riko ini semustinya harus bersyukur ibu paling cantik, paling bikin betah, sudah betah di rumah pinter pula merawat suami, gak bawel, jangan sampai nakal-nakal Pak Riko. Rugi! Ada EMAS di rumah, mengapa kita harus cari PEREK di luar?", Pak Yanto memberi nasihat.

"PERAK PAK, BUKAN PEREK, ngelawak aja nih Pak Yanto hehhehe"

"Iyaaa maksud saya Perak"

"Tuh kamu dengerin baik-baik Masss!", seru Mirna.

"Iyaa ini aku lagi dengerin...."

Jam telah menunjukkan pukul 9 malam. Kami bertiga terlena dalam obrolan sehingga lupa melanjutkan apa yang seharusnya dilanjutkan. Sebaliknya Pak Yanto mengatakan bahwa lebih baik kami pulang karena akan mengundang pertanyaan orang sekitar jika pulang terlampau malam. Lagipula Rengga sudah hampir tiba di rumah. Pak Yanto mengutamakan kenyamanan kami. Dia juga tidak berkeinginan menambah jatah dari Mirna. Pak Yanto hendak istirahat, tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada kami yang telah bertamu ke rumahnya. Dia memohon maaf tidak bisa memberi banyak dibandingkan dengan yang telah kami berikan.

Mirna memastikan kembali betulkah Pak Yanto tidak ingin menambah ronde. Bagi Pak Yanto hari masih panjang. Sia-sia apabila hubungan kekeluargaan kami bertiga hanya sebatas di atas ranjang. Dia ingin hubungan tersebut benar-benar bermakna kekeluargaan sesungguhnya. Mirna lalu berganti pakaian. Aku menanti seraya menyimak Pak Yanto berpesan bahwa jangan lupa lowongan pekerjaan untuk mengisi kekosongannya di rumah supaya tidak melulu diberi. Ia juga berjanji akan senantias menasehati Wawan apabila pemuda itu melenceng dari jalur yang seharusnya. Bagi Pak Yanto, Wawan lebih baik fokus bekerja tidak perlu mengurusi hal-hal yang sebetulnya adalah benalu bagi dirinya sendiri.

"Pak Yanto, kami pamit dulu yaaa, buahnya jangan lupa dimakan", tutur Mirna.

"Iyaa, hati-hati, jangan bosan-bosan kemari"

"Lain waktu pasti ke sini, deket juga kan", ungkapku.

"Semoga saya bisa gantian mentraktir kalian makan"

"Aaamiiin ditunggu Pak Yanto traktirannya. Yuk kami pulang dulu..", balasku melambaikan tangan ke Pak Yanto. Ia mengantarkan kami hingga depan pagar.

Aku dan Mirna berkaitan tangan menyelami malam, menyusuri pematang jalan yang lengang disinari lampu sorot. Laron terbang mengerumuni. Kami meminggir, menghindari mereka yang sebagian telah berguguran. Aku bertanya ke Mirna bagaimana perasaannya malam ini setelah melalui rangkaian gerak-laku bersama Pak Yanto. Ia mesem-mesem, berharap ada ronde kedua, namun hal itu tidak terwujud. Anak kami, Rengga, sudah hampir tiba, mustahil memintanya menunggu, ketika mamanya sedang asyik meraih birahi. Maka, Pak Yanto benar. Nafsu memang sulit dikendalikan, tergantung bagaimana diri kita menyetel hati.

Tidak selalu semua tentang seks. Kalau aku adalah dia, mungkin aku akan melanjutkan ronde kedua. Pak Yanto penuh pertimbangan agar kami tidak diterpa isu miring. Kemudian dalam perjalanan pulang aku meyakinkan Mirna sekali lagi bahwa jika benar-benar ia mau berkerudung secara totalitas, aku mendukungnya seratus persen sebagai suami. Kalau belum ya jangan dulu. Pandanganku lurus antara sikap dan sifat serta cara berpakaian. Tidak bisa diganggu-gugat.

"Dari mana papa dan mama?", tanya Rengga bersamaan sampainya dengan kami berdua. Ia turun dari Ojol.

"Rumah Pak Yanto", tukasku sembari membuka pagar.

"Ngapain? sampai malam begini"

"Silaturahmi tetangga"

"Emmmm... oh yaa ada makanan di rumah gak Maah? Aku laper nih", tanya Rengga menguap.

"Laper tapinya kamu malah nguap. Beli aja, mama enggak masak hari ini", jawab Mirna kelihatan lelah, masuk lebih dahulu ke dalam rumah.

"Oke deh, aku pesen makanan online aja"

"Ini uangnyaa", Aku mengeluarkan sejumlah uang dari dompet. "Temen kamu yang mau magang di perusahaan papa jadi?"

"Jadii paaah", Rengga lantas duduk di sofa depan. Ia mengeluarkan dua map biru dari ranselnya. "Iniih berkas temenku yang mau magang di tempat papa. Mereka dua-duanya dari jurusan administrasi niaga"

"Mana? sini Papa lihat"

"Iniiiihh...."

"Hendro dan Dicki?", tanyaku membuka kedua map.

"Iya betul"

"Kamu sendiri magang di mana?"

"Itu mereka kakak seniorku Paaah, aku belum waktunya. Mereka minta tolong ke aku. Hehehe"

"Yaaa sudah enggak apa-apa. Ini berkasnya papa bawa dulu yaah, bagaimana putusannya nanti dikabarin"

"Iyaaaa"

Aku lantas masuk ke kamar, berjalan lelah memegang map berisikan berkas milik kakak angkatan Rengga di kampus yang berkenan magang di perusahaanku. Aku tidak bisa memutuskan diterima atau tidaknya karena HRD yang akan menentukan nasib mereka. Aku sekedar membantu memfasilitasi. Sampai di kamar Aku amati Mirna mengambil handuk. Ia hendak membersihkan dirinya setelah bercinta dengan Pak Yanto. Aku berbaring di atas tempat tidur, menyongsong hari esok karena akan masih beraktivitas seperti sedia kala.

"Kamu udah tidur aja Mas, obat udah diminum belum?", tanya Mirna menegurku yang tengah nyaris terlelap.

"Belum, sudah ngantuk banget aku"

"Cuci muka dan kaki dulu kamu, habis dari luar loh"

"Iyaaa nanti, aku tidur dulu sebentar", jawabku rada malas. Kemudian lambat-laun kantuk menjemput. "Hoaaaaheeeemm"


Keesokan Hari....

"Istri Jajang sudah kamu kasih tahu?"

"Sudaaahh"

"Lalu?"

"Saya enggak paham juga dia mau ambil langkah seperti apa. Mau labrak Rani mungkin di tempat kosnya"

"Ah ngaco banget kamu, masa sebegitunya"

"Pak Riko gak tahu saja betapa kesalnya istrinya Pak Jajang. Dia itu ngoceh-ngoceh sampe nangis sepanjang telepon saya, curhat semua kelakuan bengal suaminya"

"Kasihan yaa, Kamu ada nambahin cerita apa???"

"Saya cerita apa yang saya tahu saja"

"Bagus, jujur itu, reaksinya?", tanyaku ke Wawan. Kami bertemu di parkiran kantor sore hari. Hari ini kami sukar bertemu. Wawan sedang sibuk-sibuknya. Demikian pula aku.

"Dia ternyata hampir udah tahu itu semua, baik yang luar maupun dalem"

"Ya pastilah dia periksa hapenya Jajang"

"Saya lepas nih ya Pak, tugas saya cukup sampai di situ. Semua yang dia tanyakan dan minta, sudah saya jawab semua"

"Sudah tenang kan???"

"Belum"

"Loh, mengapa belum?"

"Seandai Pak Jajang tahu saya ada ikut andil bocorkan kedok dia, habislah saya. Apalagi Pak Jajang dipecat, waduwh entah bagaimana ceritanya..."

"Bukannya istrinya menjamin kamu?"

"Iyaa betul, tapi siapa tahu kan Pak", jawab Wawan dengan raut cemas.

"Amaan, yakinlah, gak perlu ada yang ditakutin. Percaya sama saya. Jajang ketemu kamu gak ada reaksi apa-apa juga kan?"

"Yaa banyak merenung aja semenjak saya bilang enggak mau ikut campur urusan dia lagi dan Rani"

"Sudah, sudah, sekarang masalah itu jangan terlalu dipikirkan. Sekarang kamu istirahat di rumah. Senangi ibu dan bapakmu"

"Baik pak, sama-sama"

"Kamu langsung pulang ke rumah?"

"Iyaa, buru-buru nih", jawab Jajang mengencangkan resleting jaketnya.

"Mau temani saya sebentar?"

"Kemana Pak Riko? Apa tidak bisa lain kali Pak Riko? Saya sudah janji dengan orang tua"

"Oooh ya sudah silakan, hati-hati di jalan, Wan"

"Siyaap Pak Riko, lain kali mampir ke rumah dong Pak, masa Pak Yanto saja disamperin", gerutu Wawan.

"Asaal banget kamu ngomong! Yang ada kamu mampir ke rumah saya, masa yang tua samperin ya muda", balasku menyinggung.

"Oh ya yaah.... Hahaha maaf, maaf, nanti kalau waktunya pas saya mampir ke rumah Pak Riko deh"

"Ditunggu, Waan"

Ketika menggas motornya untuk berputar arah, Wawan berkata sambil menunjuk.
"Itu Pak Jajang dari jauh kayak merhatiin kita Pak"

"Sudah biarkan, orang lagi frustasi malah kamu lihatin, sana pulang. Orang tuamu pasti sudah nungguin"

"Baik... mari Pak Riko, saya duluan"

Berangsur-angsur motor Wawan menghilang dari pandangan bersamaan dengan lembayung terbenamnya matahari. Aku menyayangkan karena sebetulnya berkeinginan mengajak Wawan bertemu Rani sore ini di sebuah cafe. Itikad tersebut tersendat gugur, Wawan kadung mencegat dengan kalimat ia mau melepas. Dia mengalami samahalnya denganku. Masalah Jajang-Rani berputar-putar. Kami terseret merayang. Berlarut-larut tak kunjung tuntas. Apalagi Rani mengajakku bertemu sore ini. Ada hal penting yang mau dibicarakan. Wawan sudah terlanjur memiliki janji dengan orang tuanya. Padahal Aku perlu mengajak Wawan karena dia yang pernah mendengarkan seluruh isi curahan hati Rani dan hafal gerak-geriknya. Sebaliknya aku yang tidak mau ikut campur ini hanya mendapatkan dan mendengarkan informasi dari kiri-kanan. Aku juga sejujurnya berhasrat mengabaikan pesan permohonan Rani melalui WA. E.mpatiku menaklukan segalanya.

Siang Hari Pukul 13.30

Rani: Selamat Siang Pak Riko, mohon maaf mengganggu waktunya. Apakah sepulang kantor kita bisa bertemu?
Aku: ada keperluan apa? bisa disampaikan dulu di sini.
Rani: Aku mau bahas masalah hubungan dengan Pak Jajang, Pak. Aku mohon bapak dengerin saya dulu. Kasih kesempatan saya bicara. Aku benar-benar perlu bantuan bapak karena di sini yang paling dipojokkan keadaannya adalah Aku, pak. Padahal, awal mulanya ini semua karena Pak Jajang yang berusaha mendekati aku. Aku tidak mau dianggap perempuan gatel, ganjen, jalang. Aku punya anak di kampung. Kalau aku dipecat, aku gak tahu harus cari uang di mana lagi, pak. Tolong aku Pak Riko. Aku mohon.
Aku: (Aku diamkan)
Rani: Tolong Pak Riko. Aku mohon. Tolong... aku perlu kebijaksanaan bapak karena Pak Riko yang dekat dan kenal dengan Pak Jajang. Bapak satu-satunya harapanku, pak. Aku yakin Pak Riko adalah orang baik. Tolong Paaak.... aku mohon sekali.
Aku: oke saya lihat dulu waktunya yaa.
Rani: aku tunggu kabar baiknya....

Percakapan di atas telah aku teruskan ke Mirna. Ia menyarankan agar aku memberikan kesempatan bagi Rani bercerita dengan utuh, lurus, dan benderang sehingga aku dapat mendengarkan langsung tidak menurut penuturan orang lain apalagi katanya. Kesimpulan yang terbentuk nantinya pun jelas. Aku memiliki pegangan dan pendapat definitif hasil olah pikir otakku sendiri, bersambung dengan perasaan sebagai sesama umat manusia. Pembelaanku berharga dan krusial, bisa menolong Rani apabila situasi telah mendesaknya lengser. Sudah jatuh tertimpa tangga. Itu yang akan menimpa Rani kalau ia dibiarkan terbelit. Sudah dipecat, disangka perempuan SUNDAL Sejatinya bajingan sesungguhnya adalah Jajang, PENGACAU.

Aku segera mengabarkan Mirna bahwa aku izin pulang telat, hendak bertemu Rani sesuai dengan saran dari istriku. Mirna mengizinkan. Kemudian Aku menghubungi Rani. Ia lekas memberitahukan alamat atau cafe tempat kami akan bertemu. Aku segera meluncur ke sana, mengamati waktu menjelang malam. Sembari mengemudi, Aku ingin cepat-cepat pulang kendati Rani bercerita panjang lebar.

"Enggak kejauhan lokasinya kan Pak?"

"Enggak kok, ini masih searah jalan saya pulang ke rumah"

"Wah bagus dong, saya berarti enggak salah pilih. Ayo Pak Riko mau pesen apa? Saya sudah pesan duluan", ungkap Rani mengalihkan nanarku terhadap desain interior kafe yang industrial. Rani mencopot blazernya. Ia sangkutkan di bangku kayu di sebelahnya. Di kantor sehari hari Rani acap memakai blazer, seketika itu dicopot, kaos tanpa lengan berwarna hitam ada di depan tatapan mataku. Aku pun jadi paham mengapa Rani senantiasa mengenakan blazer di kantor, demi menghindari kaum pria nakal yang tahu bahwa dia adalah wanita pejuang LDR, berusaha mendekat.

Bagaimanapun saat dia melepas blakblakan blazernya, bodi ramping yang sintal itu kokoh menopang buah dada yang bulat melingkar nan mencolok, rasanya menantang mata mereka yang meliriknya untuk menerawang. Mirna jelas masih terdepan, kalau ada nomor dua, sulit untuk tidak membuang muka. Aku yang awalnya menganggap Rani biasa-biasa saja bila mengintip dari gambar dan video, di depannya berkata "Kok beda yah sekarang?" Apakah ini yang melumpuhkan kesetiaan Jajang pada istrinya. Apakah ini juga yang melumpuhkan kejujuran Wawan sehingga dia berbohong? Bagaimana aku? Aku tetap setia dengan istriku. HARUS! HARUS!

"Semua bermula dari sini Pak"

"Maksudnya?", tanyaku tak paham ketika Rani membuka obrolan.

"Iya perkenalanku dengan Pak Jajang awalnya dari sini. Kita itu tuh dulu sebenernya hanya teman biasa yang sering bertukar cerita bagaimana seorang pasangan yang berjuang demi sesuap nasi untuk pasangan yang lainnya yang berada tidak di dekat kita"

"Hhmmm... yang sapa duluan siapa?"

"Pak Jajang", jawab Rani. dalam hati aku lekas ketus,"emang bangsat dia!"

"Kok bisa lanjut?"

"Ya bisa, kita waktu itu sama-sama lembur. Pak Jajang ajak aku duduk-duduk sambil minum kopi. Awalnya dari situ"

"Cerita apa aja?"

"Cerita apapun yang menarik diceritakan, keseharian di kantor sampai rumah tangga", jawab Rani lugas. "Karena intensitas tersebut kita merasa kalau enggak ketemu, ya aneh. Kalau enggak aku yang ngajakin ngopi, Pak Jajang yang ngajakin sepulang kantor"

"Bisa sampai lanjut ke tempat tidur bagaimana ceritanya?"

"Pak Jajang kepengen tahu kosan aku. Padahal aku udah sering banget gak bolehin dia ke sana. Namun, dia selalu maksa. Kalau enggak mau ditunjukkin, dia bilang gak mau nemenin aku ngopi-ngopi lagi"

"Kalian sering chat-chatan juga?"

"Iyaa, Pak Jajang suka nanya aktivitas aku sedang apa, obrolan yang kita bahas di kafe biasanya juga akan diterusin lewat chat WA"

"Kamu sadar kan kalian sudah punya keluarga dan pasangan masing-masing?"

"Sadar kok, tetapi entah mengapa kita seperti individu yang kesepian. Apa yang aku butuhin di sini, ada di Pak Jajang. Sebaliknya menurut Pak Jajang diriku juga demikian baginya"

"Kalian berhubungan intim karena mau sama mau juga?"

"Awalnya aku menolak loh Pak, tetapi Pak Jajang suka bahas soal seks mulu denganku lewat chat. Hingga suatu saat pas dia mampir ke kosan aku, dia manfaatin kesempatan yang ada untuk rayu-rayu, sampai akhirny aku kalah juga"

"Udah sering kan kalian melakukan itu?", tanyaku hendak memperkuat dugaan.

"Cukup sering, pakai pengaman"

"Terakhir?"

"Dua hari yang lalu"

"ASTAGHFIRULLAH!! Jadinya masih?!!!", diriku tercengang. Kaget bukan main.

"Iya masih. Itu mengapa aku enggak terima istrinya kirim chat ke aku maki-maki. Aku dibilang LONTE, PELACUR, PELAKOR apalah dan sebagainya. Sakit hati banget bacanya", ungkap Rani merisaukan.

"Kamu kenapa enggak bilang aja ke istrinya bahwa Pak Jajang masih suka deketin kamu??"

"Maunya aku begitu, tetapi Pak Jajang cegah aku ngomong supaya aku bisa tetap dekat bersama dia"

"Hhhmmm berat banget... Lalu mau kamu seperti apa sih?"

"Aku pengen keluar dari situasi sulit ini"

"Jajang beneran betul masih suka mampir ke tempat kos kamu?"

"Beneran masih?"

"Seriuss, bener, lain waktu aku tunjukkin"

"Okee, saya ingin bukti..."
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd