Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
Bimabet
MDT SEASON 1 - PART 32

-----------------------------------------

agen-l10.jpg

"Radio FM Surabaya... Balik lagi disini bareng temen-temen Hantaman dari Jakarta..." ucap sang penyiar radio di depan microphonenya, di dalam studio yang dingin, kontras dengan kondisi di luar yang panas.

"Udah ada beberapa pertanyaan yang masuk nih dari pendengar... Terutama yang paling banyak ditanya... Ya Arya... Hahaha" tawa pasti terdengar di radio-radio orang Surabaya. Kami sedang ada di Surabaya di pertengahan Februari ini, ada manggung disana besok, sekalian safari ke beberapa radio. Acara hari ini adalah sesi akustik sekaligus wawancara ala-ala radio yang sudah pasti kalian semua hapal alurnya.

"Ini pertanyaan buat Arya nih"
"Yes" jawabku.

"Dari Mirna di Tegalsari, katanya apa bener Mas Arya punya pacar orang Jepang?"
"Ahahaha..." tawaku. Kru Hantaman yang lain melirikku. "Bener"
"Diceritain dong Mas gimana ketemunya..." goda si penyiar.

"Yah, ga ada hubungannya sama album kedua kita hahahaha" jawabku mengelak.
"Oh gitu ya" tawa si penyiar.
"Udah jawab aja" perintah Anin sambil senyum.
"Yah... Adiknya temen" jawabku agak menghindar.

"Sekarang ada pertanyaan lain nih dari... Siapa ini namanya, dari twit**ter, @wulan1996, katanya, siapa aja sih personil Hantaman yang udah nikah?"
"Gak bakal" jawab Stefan cuek di Microphone sambil menyeringai.
"Ah masa sih Mas Stefan..."
"Yang laen juga pada belom, tapi gue sih gak bakal" seringainya jahil.

"Kualat lo entar" celetuk Anin.
"Biarin, daripada elo kawinnya ama robot"
"Elo kawinnya sama kain pel" balas Anin.

"Jomblo jomblo ribut amat sih" bisikku ke microphone yang disambut dengan tawa penyiar dan para kru radio.
"Sombong si Anj..."
"Sopan nyet!" Anin menendang kaki Stefan pelan. Dan Stefan kaget serta meringis walau tidak kesakitan.

"Nah ini ada pertanyaan terakhir dari twit**ter sebelum lanjut ke lagu berikutnya ya, ini dari @irawanawanawan .... Kalau misal besok tau kalian bakal mati, dan kalian dikasih satu permintaan yang pasti bakal terkabul, permintaan apa yang paling pengen dikabulin... Dari Bagas deh coba.."

"Gak tau" jawab Bagas
"Mau jadi pilot Gundam" jawab Anin.
"Mau mendadak jadi pendeta biar gampang tobat" canda Stefan.
"Pengen teleport ke Jepang...." jawabku sambil menghela nafas membayangkan Kyoko.

--------------------------------------

jalana10.jpg

"Cakep tadi penyiarnya, coba minta nomer telponnya, gue tidurin tuh..." seloroh Stefan di dalam mobil sewaan itu. Yang menyetir adalah Anin. Aku di sebelahnya, di belakang Bagas dan Stefan. Mereka duduk dengan tenang, walau Stefan selalu ribut seperti tadi.

"Bacot banget sih monyet" ledek Anin sambil menyetir dengan tenang.
"Berisik banget sih... Gue ngomong apa dikomentarin mulu"
"Suka suka gue dong"

"Jadi kita jemput Sena di hotel, terus makan siang dan cek sound kan malemnya?" aku mendadak bertanya sambil memperhatikan handphoneku. Mengirimkan foto-foto suasana Surabaya ke Kyoko.
"100 untuk Pak Achmad" jawab Anin sambil terus menyetir, mendekati lokasi hotel.

"Tuh si anak alay sepupu kalian" tunjuk Stefan ke arah lobby hotel. Dari jauh terlihat Sena melambai-lambai ke arah kami. Anin mengarahkan mobil itu masuk ke drop off dan berhenti. Sena berjalan dengan pelan ke arah mobil.

"Cepetan Kontol! Gue dah laper!" teriak Stefan sambil membuka kacanya. Orang-orang di sekitar melihat ke arah datangnya suara dan itu membuat Sena menjadi malu dan dengan setengah berlari menuju mobil untuk kemudian segera masuk.
"Gak usah pake teriak napa sih..." keluh Anin.
"Suka suka gue... Jalan cepetan!"

"Eh emang lo tau jalannya ke tempat makan kita Nin?" tanyaku.
"Santai... Udah googling tadi..."
"Kalo kesasar gue berakin elo..." bisik Stefan dari belakang.
"Berisik ih! Makin laper gue jadinya" keluh Anin.
"Abis lo gak dengerin gue sih... Kan gue suruh nyewa sopir..."
"Kebiasaan ada Mang Ujang lo jadi kolokan gitu sih" balas Anin.

"Kagak ada hubungannya... Biar gampang aja, ini bukan Jakarta tau...." sahut Stefan kesal.
"Biar hemat juga... Kalo kudu bayar supir tiga hari? Lagian ntar cek sound juga dijemput panitia... Paling besok juga ga kemana mana karena dah mulai acara.... dan besoknya pulang, udah" jelas Anin panjang lebar dengan nada sewot.
“Pelit amat..”
“Biar bayaran kita ga kepotong buat sopir tau…”

Aku diam saja dan memeriksan handphoneku kembali. Ada kiriman foto dari Kyoko. Foto selfie dirinya memakai mantel.

Betapa rindunya dengan suasana disana, pasti disana masih dingin, di bulan Februari ini. Betapa kangennya berjalan berdua di taman yang tenang, dengan Kyoko sambil memperhatikan anak kecil yang sedang belajar jalan atau belajar naik sepeda. Atau sekedar melihat tupai atau burung yang lewat di tengah dinginnya hari. Atau menemaninya berburu makanan manis di pelosok Mitaka.

Tapi pasti berat kalau aku meninggalkan seluruh kehidupanku disini. Tentunya karena hidupku adalah bersama Hantaman dan studioku. Tidak mungkin aku nekat kesana dan menumpang hidup di Kyoko, itu jadi benalu namanya.

Ada notifikasi pesan. Whatsapp. Coba kubuka. Dari nomor yang tidak kukenal ternyata.

“Siang bro….”
“Siang, siapa nih?” di foto profilnya terdapat foto turntable yang disorot lampu warna-warni.
“Pras”
“Oh, apa kabar…”
“Baik, nah gue dapet nomer elo dari Kanaya nih…” lanjutnya.
“Terus?”
“Iya, kita mendadak banyak materi buat rekaman dan mau ngerekam di studio elo… Sekaligus elo jadi produsernya, gimana?” tanya Pras dengan nada penuh harap.
“Wah menarik, tapi arahannya ntar mau yang kayak pas manggung di acara bulan lalu?” tanyaku balik.
“Pastinya… hahaha”
“Wah menarik, mau2..” jawabku dengan senang.
“Siap… Bisa ketemu kapan?”

“Paling weekdays besok ya? Gw weekend di Surabaya soalnya”
“Sip… ntar kabarin aja” sahut Pras menutup pembicaraan.
“Mantep”

Aku tersenyum dan membagi info itu ke teman-temanku.

“Pierre T mau rekaman”
“Oh ya?” Anin tampak kaget.
“Denger dari mana Bang?” tanya Sena.

“Gue barusan dikontak ama Pras, sekalian gue dijadiin produsernya katanya” senyumku.
“Serius tuh… Emang musik elektronik perlu rekaman di Studio?” tanya Stefan sini dari belakang.
“Kan belom tentu elektronik juga kali, lagian musik apapun butuh produser” jawab Anin.
“Gue nanya Arya kok elo yang sewot sih kuda”
“Kenapa sih selalu rese kalo gue yang nanya-nanya”
“Udah nyetir aja sana… Kalo kesasar awas.” balas Stefan gemas.

“Gue seneng sih ama musik mereka…” komentarku.
“Bedanya apa emang ama Maliq dan Soulvibe.. Kayak gitu-gitu aja” Stefan mencoba menilai.
“Cerewet aja nih orang, pas mereka manggung kemaren yang duluan joget situ” keluh Anin.

“Berisik! udah nyetir aja sana” dan mobil mendadak oleng karena Stefan mencubit puting Anin dari belakang.
“BANGSAT!!”

--------------------------------------
--------------------------------------
--------------------------------------

15195810.jpg

“Makasih ya Mas, keren tadi manggungnya…” Ketua Panitia acara menyalami kami yang sudah basah oleh keringat sehabis tampil.
“Sama-sama lho” ucap Stefan dengan muka sumringah.
“Itu dibelakang silakan kalo mau ngebir”
“Wah mantaaap” sorak Stefan dan Anin mendengar kabar baik itu.

Kami lantas berjalan ke ruangan yang sudah disediakan untuk kami di area backstage. Melihat botol bir dingin, Stefan langsung jelalatan dan langsung membuka botolnya untuk langsung ia tenggak. Anin juga, langsung menyambar sebotol, sedangkan Bagas duduk dengan kakunya dan langsung membuka handphonenya. Aku lirik layarnya. Lagi-lagi membuka laman berita politik. Aku hanya geleng-geleng kepala dalam diam.

Aku duduk dan menyalakan handphoneku. Ada beberapa pesan dari Kyoko. Temanya masih sama dan memang itu tema yang selalu kurindukan. Kegiatannya sehari-hari, ulah-ulah konyol kakaknya, kabar tentang Kodama, dan kemajuannya belajar Bahasa Indonesia. Dan sekarang jadi lucu. Dia mencoba chatting dan video call denganku dalam Bahasa Indonesia, sementara aku membalasnya dengan Bahasa Jepang, yang juga sedang kupelajari di Jakarta sana.

Ya, demam Kyoko terus berlanjut. Dan diam-diam aku juga sedang menabung lagi untuk next trip ke Jepang. Ditambah nanti aku akan jadi producer untuk Pierre T, itu artinya pundi-pundi uang akan bertambah untukku. Makin banyak yang bisa kuambil, makin banyak juga yang bisa kutabung untuk perjalanan selanjutnya bertemu dengan Kyoko.

“Permisi mas…” LO (Liaison Officer) kami mendadak masuk. “Ada wartawan yang mau wawancara, boleh?” tanyanya.
“Ntar aja deh… Capek” sahut Anin.
“Oh oke…”
“Cewek apa cowok?” tanya Stefan mendadak.
“Cewek mas…”
“Masuk!”
“Woi!” sela Anin.
“Diem lu bangsat, masuk aja gapapa”

LO kami mengangguk, dan sebelum dia menghilang, aku meminta kepadanya untuk membawakan minuman non alcohol untukku. Tak berapa lama wartawan itu masuk.

“Permisi…”
“Ayo-ayo duduk sini..” Stefan lantas menarik kursi mendekati dirinya dan mengajak wartawati itu untuk duduk. Lumayan cantik juga, pikirku. LO akhirnya masuk untuk membawakan minuman ringan untukku.

“Gak capek Mas abis manggung?” tanyanya ke kami semua.
“Lumayan sih” seruku sambil meminum minuman tadi.
“Ah enggak kok, santai, ini kan sambil istirahat” seringai Stefan. Aku sudah hapal seringai yang benar-benar berbau nafsu itu.

“Jadi gimana Surabaya, panas ya haha…..” basa-basi si Wartawati
“Lumayan, ini aja keringetan gini” jawab Anin ramah.
“Bisa kita bikin lebih panas lagi kok” sahut Stefan.

“Oh gitu… hehe…” senyumnya ke arah Stefan. “Nah, mulai aja ya mas…” dia mengeluarkan recorder dari tasnya dan mulai menyalakannya.

“Saya sudah denger album pertama dan kedua kalian, dan memang keliatan ada perbedaan, kalau di album pertama lebih ‘marah’ di album kedua ini lebih kalem, tapi lebih nyelekit liriknya… Apa bener?” tanyanya. Tampaknya dia sudah riset terlebih dahulu.
“Gak salah… Memang di album ke dua ini kita lebih milih-milih lirik kita karena range pendengar kita nambah, jadi banyak anak remaja juga, jadi kita berusaha untuk gak sekasar album pertama, walau tema yang diusung sama… Jadi mungkin kedengerannya lebih nyelekit karena bahasanya yang lebih sopan itu…” jawab Anin panjang.

“Lebih sopan sedikit sih” sahut Stefan.
“Nah ini yang suka bikin liriknya” tunjuk Anin.

“Oh gitu, dan dari segi sound lebih mateng juga ya?”
“Ilmunya orang itu udah banyak soalnya” tunjuk Anin ke diriku. “Secara komposisi juga lebih mateng karena disini proses bikin lagunya banyak bareng, gak Cuma sekedar ide-ide pribadi yang diusulin ke grup, tapi emang bener-bener kita bikin lagu-lagunya dari scratch”

“Dan disini gak Cuma unsur dari rock dan seattle sound aja kan pengaruhnya?” tanyanya lagi.
“Saya masukin banyak influence dari Jazz, terutama di solo gitar dan dinamikanya” jawabku.

“Ngomong-ngomong soal Jazz, selamat ya udah rilis single Mas…” serunya kepadaku.
“Makasih…”
“Saya beli lagunya hahaha…”
“Makasih lagi…”

“Dan nyambung sama singlenya Mas Arya, ada kepikiran gak, misalnya Mas Stefan gitu, bikin album solo….”
“Wah gak bisa saya jawab sekarang..” jawab Stefan.
“Haha, kapan dong?”
“Ntar aja di hotel gimana?” seringainya.

--------------------------------------

days_h10.jpg

Aku sudah mandi malam itu, tidak nyaman rasanya berkeringat begitu deras tadi. Lengket badanku. Aku segera berpakaian dan bersiap untuk video call bersama Kyoko, sambil menunggu Anin dan Stefan yang melanjutkan sesi wawancara di Lobby Hotel. Tampaknya obrolan akan panjang. Aku permisi karena ingin mandi dan istirahat, sudah ada mereka berdua, sudah sangat mewakili Hantaman.

“Will contact you in a moment, ready?”
“15 menit… Belum menghidupkan notebook di kamar.” jawab Kyoko dalam Bahasa Indonesia yang grammarnya kaku. Aku mengeluarkan laptopku, dan sebelum sempat menyalakannya, aku melihat pesan masuk dari Stefan.

“Keluar dari kamar men” Aku dan dia memang sekamar.
“Kenapa?”
“Cepetan”
“Why?”
“Cepet ke kamar Anin ama Bagas aja”
“Why?”
“Gue lagi bawa wartawan tadi ke kamar, biasa…” aku bisa merasakan seringai khasnya terpancar dari layar handphoneku.
“Ah anjing ngembat cewek lagi…” keluhku.
“Ntar gue share fotonya”
“Gak perlu, gue keluar sekarang ya…” infoku ke Stefan. Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuannya yang tampaknya tak berubah.

Aku menyambar laptopku dan keluar dari kamar, lalu mengetuk kamar Anin dan Bagas.

“Masuk” seru Anin dari dalam. Aku masuk dan menemukan Bagas sudah tidur seperti biasanya. Anin baru beres mandi, sepertinya akan segera menyusul Bagas. Aku menaruh laptopku di meja dan langsung menyalakannya. Aku sengaja menghadap ke kasur, dan membelakangi jendela agar tidak diintip oleh Anin.

“Mau webcaman ama pacar?” tanya Anin.
“Iya”
“Monggo, gue tinggal tidur aja ya, capek, tapi gila tuh orang, berhasil juga cewek baru lagi diembat..”
“Biasa Stefan mah…” balasku.

Aku segera login ke Skype, dan tanpa menunggu waktu lagi muka Kyoko muncul di hadapanku. Aku mematikan suaranya.

“Hi” ketikku.
“Why typing, we usually talk?” balasnya.
“Because I’m in my friend’s room”
“Aah… Baik..” ketiknya lucu.
“Jadi aku tidak bisa berlatih bahasa jepang bersama Kyoko” ketikku sengaja dalam kalimat yang baku.
“Tidak apa. at least we can see each other <3 Miss you!!” seru Kyoko dalam tulisannya.

Aku tersenyum, melihat ke arah ekspresinya yang masih seperti malu-malu menggemaskan. Sungguh kangen sekali, ingin bertemu dengannya.

“Today was tired”
“Lelah.. Hari ini lelah…” tulis Kyoko, melatih Bahasa Indonesianya.
“So, how’s Kodama? Kodama wa genki?” tanyaku.
“Kodama today so cute… I took a lot of picture of him because I see him sleeping in kitchen… I send the photo to your email. Please see ^-^” aku tersenyum.
“A moment please” Aku beralih dari skype ke web browser.

Dengan tak sabar aku membuka emailku. Dan ada satu email selain dari email Kyoko yang menarik perhatianku.

Inbox:

[email protected] – Kodama Photo
[email protected] – Recording with A.E.U.G.


Apa ini? dengan buru-buru langsung kubuka email yang dibawah email Kyoko. Dan langsung kubaca.

Dear Mr Arya Achmad,
I believe we’ve met before. My name is Lars-Inge Björnson from A.E.U.G. Long story short, our Board of Director have been listening to your single – Matahari Dari Timur. And they’re very interested in you.
On behalf of A.E.U.G. family, we invite you to join us as Recording Artist, and we could use your sound and recording engineering knowledge and skill for collaborate in some of our projects. We’re hoping to assist you to create a full-length album that embodies your music vision.
Mr. Kenichi Towa has agreed to act as your Executive Producer. All recording process will be held at one of our studio in Setagaya, Tokyo. We will cater your stay and living expenses during the album recording process.
We could talk about this issue whenever you’re ready. My skype account is bjornsonAEUG.
Best regards,
Lars-Inge Björnson
Chief Executive Officer
A.E.U.G
(Axis Entertainment Utsunomiya Group)

Fuck.

Shit.

Kenichi Towa. Tidak hanya di Jepang, tapi namanya terkenal di seantero dunia untuk urusan produser musik Jazz. Shit.

Kepalaku langsung berputar rasanya. Bayangan akan Kyoko mendadak memenuhi kembali kepalaku. Jantungku berdegup kencang melihat email itu. Aku gemetar. Tidak. Bukan karena urusan album. Tapi itu berarti aku akan bisa lama berada di Jepang.

Dan hanya Kyoko yang kupikirkan sekarang.

--------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Habis jumatan, muncul update 2 part
Cakep bgt dah suhu :jempol:
 
MDT SEASON 1 - PART 33

--------------------------

sebstu10.jpg

Aku masih tertegun. Walau email tersebut sudah berumur lebih dari tiga hari. Entah kenapa rasanya tidak sabar. Aku sudah memberitakan tentang tawaran dari A.E.U.G. ke Kyoko. Tentu saja, dia menyambutnya dengan sangat sumringah dan meriah. Kami lantas bicara semalaman. Semua rencana-rencana akan kehidupanku disana lantas terbentuk. Bagaimana membagi waktu antara rekaman dan Kyoko. Dan kami berdua begitu bersemangatnya sehingga mendadak kami sudah jauh merencanakan liburan bersama ke luar kota, seperti Kyoto atau Osaka. Membayangkannya saja sudah seperti ada kembang api di dadaku. Rasanya berbunga-bunga memikirkan liburan bersama dengan Kyoko.

Ibuku dan Ai sudah tahu soal ini semua. Tapi kami belum membicarakannya terlalu jauh. Beritahu teman-temanmu dulu, katanya, mereka yang paling berhak berpendapat soal ini, katanya.

Dan itulah yang aku pikirkan sampai sekarang. Aku belum berbicara soal ini dengan mereka, walau kami sudah pulang dari Surabaya beberapa hari yang lalu. Aku terbayang terus perkataan Stefan soal ketakutannya akan kemungkinan aku pergi dan menetap di Jepang. Dan email ini seperti perwujudan ketakutannya. Entah akan seperti apa keberterimaannya akan isu ini. Sejauh ini memang isi kepalaku sedang berputar mencari cara yang tepat untuk mengatakan ini semua ke anak-anak Hantaman.

Aku masih duduk di kursi studioku, menunggu Pras datang. Mukti dan Raditya juga akan menyusul. Ya, Pierre T jadi menunjukku sebagai produser album mereka. Cukup cepat juga, sebulan mereka mendadak memutuskan untuk mempermanenkan band iseng yang sebenarnya sudah matang itu. Dan mendadak setelah beberapa video cover mereka di youtube akan lagu-lagu nu disco/electrofunk mereka agak booming di public, mereka mau membuat album. Tapi mereka memang memiliki modal yang besar sebagai DJ yang sudah dikenal namanya. Untuk massa pun mereka sudah punya, tinggal ditambahkan saja penggemar masing-masing mereka. Pasti sangat banyak.

Siang itu kopi terasa hambar di lidahku. Sebuah dilema terbentuk antara Hantaman dan Kyoko. Keduanya penting untukku. Dan kesempatan seperti ini tak akan dua kali. Jadi kupikir semua orang dalam posisiku akan mengambil keputusan yang sama.

Bagaimana tidak? Kesempatan untuk membuat album dengan produser kelas dunia ikut berpartisipasi. Kenichi Towa itu legend. Bisa gila. Aku membayangkan jika Karina mendengar kabar ini dan mendengar nama Kenichi Towa ikut berpartisipasi. Pasti dia akan lebih sinis lagi padaku. Dan Setagaya? Itu jaraknya cuma 5-10 menit pakai bis/kereta ke Mitaka. Aku bisa lebih leluasa lagi menghampiri Kyoko dan sebaliknya. Aku bahkan sudah membayangkan segala macam hal tentang Kyoko di kepalaku.

Aku menghela nafas panjang ketika pintu studioku terbuka.

"Siang Arya.."
"Eh Pras..." sapaku sambil bersender malas.
"Tunggu yang lain ya? Mereka masih dijalan..."
"Siap..."
"Nih kalo mau denger sample yang dah sempet gue bikin" dia memberikanku headphonenya. Tak lama lalu kupasang ke telingaku. Dia menyetel sebuah lagu.

Nice. Electrofunk dengan pengaruh kental pop 80 an dan ada sedikit nafas black musicnya.

"Kalo lo betiga dah bisa bikin gini mah ga usah pake gue dong" tawaku.
"Masalahnya kita mau rekaman analog... Ibarat kata Jamiroquai lah..." jawab Pras sumringah.
"Kenapa musti analog?"
"Beda man feel nya, kehangatan suaranya, apalagi kalo elo yang produserin... Lo kan unik, musisi jazz, gitaris band rock, dan semua yang lo produserin rasa organiknya itu kacau banget kerennya man...." jawab Pras panjang.

"Berlebihan" tawaku.
"Serius... Hahaha...."

"Weits... Misi..." Mukti dan Raditya sudah datang, mereka masuk ke dalam studio bareng.

Tak lama kemudian mereka mengambil tempat duduk dan kami mencoba mendengarkan beberapa materi sample yang telah mereka karang. Aku menjabarkan ke mereka beberapa hal yang perlu disiapkan dan referensi yang lebih luas lagi untuk memperkaya sound mereka. Karena mereka DJ, maka referensi mereka sama banyaknya denganku. Jadi proses diskusi bisa lebih menarik dan melebar.

Mereka memiliki banyak koleksi synth dan instrumen musik yang menarik, yang bisa memperkaya sound mereka. Tentunya eksplorasinya bisa lebih hebat lagi di album mereka. Senang rasanya bertemu dengan orang yang sudah banyak eksplorasi jenis-jenis musik dan alat musik seperti mereka. Karena memang ada beberapa musisi yang close minded dan tidak banyak referensi, dan tipe seperti ini yang susah untuk diproduseri.

--------------------------

Sore menuju malam ini aku gelisah menunggu kedatangan teman-temanku di studio. Rasa berbeda ini pastilah kurasakan karena aku berencana untuk mengutarakan isi tawaran tersebut dan rencanaku kepada mereka. Berulang kali aku melatihnya dalam kepalaku, agar nanti tak salah bicara. Mereka biasanya akan datang di hari-hari ganjil seperti senin, rabu dan jumat seperti sekarang ini, tentunya setelah pekerjaan mereka sehari-hari beres. Mengobrol, lalu berlatih, setelah itu seperti biasa, meluncur ke Mega Kuningan untuk sekedar minum dan bersantai.

Aku membayangkan muka Stefan dan Kyoko berganti gantian. Dan bayangan akan bertemu lagi dengan Kyoko dalan waktu dekat pastinya membuat kepalaku berputar lebih dalam lagi.

Sebenarnya kekhawatiran soal aku akan menetap di Jepang itu pertama datang dari Anin. Tapi karena memang Stefan lebih outspoken dan cuek, dia yang sering menyuarakannya. Aku sangat paham ketakutan mereka. Hantaman tanpa satu personilnya pasti cacat. Tapi bisa kutarik kesimpulan lain lagi. Dari mereka semua, yang pekerjaannya full dari musik bermusik hanyalah aku. Tanpa band ini pun mereka sudah bisa mencukupi kehidupan mereka.

Dalam kepalaku masih terus memutar mutar kata, berharap mereka sepemikiran denganku nanti. Berharap mereka dapat menerima kata-kataku. Dan berharap mereka ikut senang dengan kemungkinan-kemungkinan kedepan.

Ingatanku terbang ke tadi malam. Salah satu obrolan yang sangat panjang dengan Kyoko lewat video call. Kami membicarakan soal keluarga masing-masing. Aku akhirnya memberitahukan detail tentang ayahku, tentang ibu dan adikku sejauh ini kepada Kyoko. Betapa dia dengan sabar mendengarkan semua ceritaku, yang tentunya aku menceritakannya dalam bahasa yang campur-campur, Jepang, Inggris dan Indonesia. Dan semalam aku mengetahui fakta yang membuatku makin tak sabar untuk bertemu dengan Kyoko.

“Ka rau.. Wakutu.. Itu.. Kyoko.. Tidakku… Berutemu.. Aya… Kyoko.. akan.. ikutto… Omiai… So.. Kyoko very thankful to Aya…” senyumnya manis di layar komputerku. Omiai. Perjodohan khas Jepang. Jadi kalau waktu itu aku tidak ke Jepang, tidak mengantarkan Kyou-Kun mabuk malam itu, dan kalau waktu itu mesin kopi mereka tidak rusak, tidak akan ada Aya dan Kyoko. Tidak akan ada perasaan yang pelik seperti ini.

“Bengong aja Mas?”
“Eh?” suara Anin yang masuk ke dalam studio, dengan diiringi Bagas mengagetkanku.
“Iya tumben bengong gitu, kangen pacar ya?” senyum Anin sambil menarik kursi untuk duduk di dekatku. Aku menelan ludah sambil tersenyum tipis.

“Stefan belom dateng?” tanya Anin.
“Belom, paling masih di jalan abis dari tempat gawe” jawabku pelan. Bagas sudah dengan asyiknya duduk di kursi sambil melihat ke layar handphonenya. Dengan muka tanpa ekspresi seperti biasa.
“Stefan akhir ini rada-rada gampang sewot ya?” tanya Anin retoris.
“Lagi banyak pikiran kali”
“Siapa tau ngerasa bersalah soal kejadian itu..” Anin menjawab sendiri pertanyaannya.
“Haha…” tawaku pelan menanggapinya. Aku masih di depan layar komputer di studio. Salah satu tab browsernya membuka email dari A.E.U.G.. Tentunya hari ini akan kutunjukkan ke mereka.

“Pasti ngomongin gue nih anjing-anjing ini” mendadak suara yang familiar itu terdengar di pintu masuk studio.
“Eh si kampret” sapa Anin.
“Halo bitches….” sapa Stefan ke kami semua.

“Jadi mau langsung latihan atau mau ngeroko-roko dulu nih?” tanya Anin. Aku terus-terusan menelan ludah sambil menatap ke arah Stefan dengan khawatirnya.
“Ini si monyet satu ini ngapain sih ngeliatin gue terus?” tanya Stefan sambil melihatku.
“Tau, dari tadi kayak bengong” sahut Anin.
“Pasti kangen Memek Nippon”
“Sepertinya”
“Udah pijet aja yuk di Sumo abis ini, siapa tau kangennya ilang” ajak Stefan dengan muka nakal.
“Haha…” tawaku ringan sambil meregangkan badan.

“Sumpah lo keliatan kaku amat, bener-bener mesti pijet ini sih” senyum Stefan sambil mengambil kotak rokok dari saku celananya. Aku malah melirik ke tangannya dan jadi memperhatikan tato yang memenuhi tangannya itu. Jariku gemetar sambil perlahan meraih mouse.

“Ngapain sih pada ngeliatin komputer? lagi liat bokep bareng?” tanya Stefan sambil menarik kursi dan duduk di sebelah Anin.

Baiklah. Sekarang atau tidak sama sekali.

“Ga tau tuh” sahut Anin sambil meregangkan badannya.

Oke. Sekarang kali ya.

“Diem aja si anjing” Stefan melirikku dengan matanya yang tajam.

“Jadi gini….”
“Gimana?”
“Bentar ya gue mau cerita dulu…….” selaku.
“Lo mau ngomong kalo seakan-akan lo udah divonis kanker Ya…” bingung Stefan sambil melihat gerak-gerikku yang aneh.

“Nah… “ Aku membuka emailku, dan menunjuknya. “Jadi waktu kita di Surabaya kemaren, gue dapet email ini……”. Aku melihat Anin dan Stefan mencoba membacanya dengan seksama. Stefan mendadak bergerak merebut mouseku dan mereka berdua meneliti email tersebut.

Dear Mr Arya Achmad,
I believe we’ve met before. My name is Lars-Inge Björnson from A.E.U.G. Long story short, our Board of Director have been listening to your single – Matahari Dari Timur. And they’re very interested in you.
On behalf of A.E.U.G. family, we invite you to join us as Recording Artist, and we could use your sound and recording engineering knowledge and skill for collaborate in some of our projects. We’re hoping to assist you to create a full-length album that embodies your music vision.
Mr Kenichi Towa has agreed to act as your Executive Producer. All recording process will be held at one of our studio in Setagaya, Tokyo. We will cater your stay and living expenses during the album recording process.
We could talk about this issue whenever you’re ready. My skype account is bjornsonAEUG.
Best regards,
Lars-Inge Björnson
Chief Executive Officer
A.E.U.G
(Axis Entertainment Utsunomiya Group)

Selesai membacanya, Stefan menatapku dengan tajam.

“Ada yang gak lo ceritain sehabis lo dari Jepang?” selidiknya.
“Gue… Dia nonton waktu gue rilis single… dan sempet ngobrol bentar…”
“Ngobrolin apa?” aku bisa merasakan mataku mengedip dengan tidak nyamannya dan lidahku terasa kaku.

Suasana menjadi hening.

“Cuma tukeran kartu nama dan kenalan…” jawabku.
“Cuma itu?”
“Iya”
“Terus?”
“Terus waktu kita di Surabaya ada email ini…” aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya.

“Jadi?” tanya Stefan dengan suara datar.
“Yah, gue udah mikirin beberapa hal…”
“Gue sih simpel aja… Kita mau dikemanain?” tanya Stefan lagi.
“Maksudnya?” tanyaku balik.
“Udah jelas kalo ada kayak gini lo pasti bakal langsung mikir untuk terbang kesana kan?” tuduhnya.

“Bentar dulu Fan…”
“Gak pake bentar-bentar… Emailnya waktu di Surabaya dan ini sekarang udah berapa hari dari Surabaya?? Kenapa waktu itu gak langsung ngasih tau kita ?? Itu pasti karena lo udah punya agenda sendiri di kepala elo” ucapnya dingin, menahan ledakan.
“Fan, dia aja belom ngomong dia mau ngapain…” Anin berusaha menimpali.
“Diem lu”
“Biar dia ngomong dulu lah, ini kan kita baru baca terus elo main nyimpulin aja…” lanjut Anin masih dengan akal sehatnya.
“Kan elu yang duluan khawatir kalo dia bakal kabur kesana kan!” bentak Stefan ke Anin.

Anin menelan ludahnya.

“Jadi, emang apa rencana lo?” tanya Stefan sinis sambil memutar-mutar kotak rokok di tangannya.
“Jadi….”
“Apa?”

“Gue udah ngerencanain bakal kesana…” jawabku.
“Udah ketebak”
“Tapi gak for good… Cuma sampe album yang mereka janjiin beres aja…” jawabku lagi.
“Terus?”
“Ya abis beres gue pulang”
“Impossible” balas Stefan pendek.

“Impossible gimana?” tanyaku ke Stefan.

“Abis bikin album ada tur, ada promo, ada anu anu dan segalanya Ya. Lo pikir gue bukan orang musik??!!?”
“Ya pokoknya sampe semua beres lah…”
“Sampe idup lo beres??”
“Ya gak gitu juga kali…… Sampai semua urusan yang terkait sama ini beres” tunjukku ke layar komputer.

“Bullshit” sinisnya kepadaku.
“Fan…”
“BULLSHIT ANJING” bentaknya.
“Gak mungkin gue disana selamanya….”

“REKAMAN BUTUH WAKTU BERAPA LAMA? KITA AJA BUTUH WAKTU SETAHUNAN BUAT BERESIN ALBUM KEDUA!!!”
“Iya tapi kan…”
“KITA BARU BERES BIKIN ALBUM YA!! LO PIKIR ABIS HARI INI BERES, KITA GAK BAKAL MANGGUNG LAGI? GAK BAKAL BARENG LAGI?” bentaknya ke arahku.

“Iya gue ngerti… makanya gue gak mungkin selama itu…..”
“GAK MUNGKIN LU GAK LAMA BANGSAT!!”

“Fan… bentar…. Kita kan belom tau timelinenya…. “ Anin berusaha menengahi. “Dia bisa aja susun materi dan komposisi segala macemnya disini kan, kirim partitur by email… Disono tinggal mastering ama recording, katakanlah dikebut sebulan dua bulan, promo sebulan… Dia aja dua minggu disana jadi tuh satu lagu…. Ya nggak? Kita bisa libur tiga bulan itu bisa diatur sih….” jelasnya panjang lebar.

“BULLSHIT!!” bentaknya.
“Hei… yang reasonable dong…” tegur Anin.
“Stefan… ini Kenichi Towa… Kapan lagi gue dapet kesempatan buat kerja bareng dia…” jelasku.

“INI PASTI BUKAN SOAL ALBUM ATAU KENICHI TOWA SIALAN INI KAN!! LO LANGSUNG MAU KESANA GARA-GARA PACAR LO ITU KAN???”
“Fan…”
“LO PASTI BAKAL DILAMA-LAMAIN DISANA KARENA LO PENGEN TERUS-TERUSAN SAMA CEWEK YANG LO BANGGA-BANGGAIN TERUS ITU KAN???” teriaknya.

“Jangan bawa-bawa dia Fan…” tegurku.
“GAK MUNGKIN GAK BAWA-BAWA DIA ANJING!!! KALO GAK ADA DIA LO PASTI MIKIRNYA PANJANG!!!” matanya menajam dan suaranya meninggi.
“Fan, tadi kan gue udah bilang kemungkinan yang paling asik buat kita… Bisa kok diatur, pasti berat buat kita, tapi jangan dibikin susah…” Anin masih selalu berusaha menengahi. “Dan kalo emang dia bakal ngelama-lamain disitu, karena ceweknya dia, ya berarti dia gak profesional Fan, sesimpel itu aja, dan kalo itu kejadian, baru kita berhak kecewa…..”

“JANGAN SOK BIJAK ANJING!!” Stefan berdiri, tampak berusaha pergi.

“Fan, bentar!” bentakku.
“Apa?”
“Lo kenal gue kan, gak mungkin gue ngelama-lamain kayak gitu….”
“KARINA YANG KAYAK TAIK GITU AJA LO TAHAN PACARAN BERTAHUN-TAHUN… LAH INI YANG KAYAKNYA MALAIKAT GITU UDAH PASTI LO GAK AKAN MAU PISAH. PASTI LO BURU-BURU PENGEN KESANA KARENA DIA KAN? UDAH YAKIN GUE, GAK AKAN BALIK LAGI LO… SONO AJA DI JEPANG AMPE LO BUSUK!!”
“Udah gue bilang jangan bawa-bawa pacar gue!”
“SUKA SUKA GUE!! LO JUGA SUKA-SUKA ELO SENDIRI MAIN MUTUSIN AJA MAU PERGI KESANA!!! LO GAK MIKIRIN KITA KAN? LO CUMA MIKIRIN PACAR LO DOANG KAN!!!”

“Sekali lagi gue bilang, jangan bawa-bawa Kyoko!”
“ATAU??” tantangnya.
“Guys… udah dong... Kita udah gede…” Anin berusaha menenangkan suasana.

“JUSTRU KARENA UDAH GEDE… NI ANAK PASTI MIKIRNYA KAWIN!! UDAH AJA ILANG HANTAMAN, UDAHAN AJA KALO DIA DIIZININ SEMAU MAUNYA SENDIRI!!!” Stefan membentak sambil menunjuk-nunjuk mukaku.
“Toh gak ada Band ini kalian semua masih bisa makan kan?” aku menyahut terpancing emosi.

“Yang cari makan utamanya lewat musik itu gue… Bukan elo Fan! Kalo studio ini besok gak laku gue makan apa?? Seenggaknya gue kalo investasi album disana, dengan link yang gila dan aman, gue gak usah kalang kabut kalo studio gue mati…” aku berusaha membela diriku sendiri.
“SEJAK KAPAN INI SEMUA SOAL CARI DUIT??? LO GAK MIKIRIN 7 TAHUN INI KITA NGAPAIN AJA??? SEGAMPANG ITU LO NINGGALIN ORANG-ORANG YANG BARENG AMA ELO SELAMA 7 TAHUN DEMI CEWEK YANG BARU LO KENAL DUA BULAN-TIGA BULAN????” bentaknya.

“Lo jealous ama Kyoko? Lagipula siapa bilang gue bakal menetap disana… Gue Cuma mau bales ketertarikan mereka dengan baik Fan…” balasku.
“BULLSHIT!!! Ini jalan buat elo biar bisa bareng sama dia terus tanpa harus mikirin kita… Yang lo pikirin cuman titit lo sendiri….” dia berhenti membentakku, sepertinya energinya telah habis.
“Lo berlebihan Fan…” Anin berusaha menepuk pundak Stefan.

“DIEM LU ANJING”
“Kok gue ikut dibentak juga?” Anin bingung.
“LO BILANG DULU LO TAKUT KALO ARYA KE JEPANG DAN BERMUSIK DISONO, TAPI SEKARANG LO MALAH NGEBELAIN DIA!!!”
“Gue Cuma coba cari jalan tengah…”
“BERISIK”
“Gue Cuma coba mikir sehat bangsat!” bentak Anin balik.

“Udah lah…. Gak usah diterusin lagi kalo si bangsat ini mikirnya udah Jepang-jepang-jepang mulu…” Stefan tampak emosi. “Gue balik”
“Fan.. Udah lah… Biasa aja kali…” Anin masih berusaha menengahi semuanya.

“Lo bilang ke gue untuk mikirin kalian, tapi kalian ada mikirin gue gak?” tanyaku.
“Tuh kan…”
“Tuh kan apa?” tanyaku balik ke Stefan.
“Lo lagi cari alesan biar lo gak keliatan kayak asshole” Stefan tampak meringis menahan emosi.

“Siapa yang asshole disini? Kita bukannya cari solusi tapi lo malah marah-marah… Dan sikap lo yang kayak gini bikin orang ini kepalanya dijait” aku menunjuk ke arah Bagas.

“Oke, lo gak usah ketemu gue lagi aja sekalian” Stefan menunjuk ke hidungnya sendiri. “Anggap aja band ini udah gak ada lagi. Dan anggap aja kita gak usah kenal lagi kalo ternyata perjalanan kita selama ini lo anggap cuman batu loncatan doang buat karir musik elo” mukanya memerah dan nafasnya tampak sangat mengandung emosi.

“Kok jadi kesana kesimpulannya?” tanyaku bingung.
“Udah lah… Kita siapa sih buat elo… Kita kan gak punya pacar orang Jepang dan gak ada world class producer yang minat ama kita…” Stefan berbalik dan keluar studio. Aku menatap punggungnya dengan kesal. Anin berusaha menyusulnya. Bagas terdiam dan menatap ku dengan kosong.

Mendadak sepi. Aku menggigit bibirku sendiri dan jatuh terduduk di kursiku.

--------------------------

guitar10.jpg

Aku terduduk sendiri di kamarku malam itu. Kegaduhan sudah hilang. Asap dari daun itu menemaniku. Pikiranku yang kalut agak terbang karenanya. Aku sedang tidak berselera membuka handphoneku atau memikirkan hal tadi. Sehabis menghisap semua yang bisa kuhisap, aku berjalan terhuyung ke arah studio. Rumah seperti sepi. Ibuku selalu tidur pagi. Jam 9 malam seperti ini dia sudah tertidur.

Ai mungkin belum pulang. Mungkin. Aku sedang tidak peduli lagi pada keberadaan apapun.

Aku membuka kunci studioku. Menyalakan lampunya, dan menatap ruangan yang tadi ada pertengkaran disini. Selama bertahun-tahun aku mengenal Stefan, belum pernah aku bertengkar dengannya sampai detik tadi. Mengerikan. Kondisi hatiku malah makin kacau walau rasanya dunia tampak tenang. Ilusi zat-zat psikotropika dalam darahmu. Mengerikan. Aku menyalakan komputer dan menatap kosong ke layarnya. Buat apa aku nyalakan? Buang-buang waktu. Apakah sebaiknya aku lupakan saja soal hidup di sini dan segera terbang kesana? Mengejar Kyoko? Ini memang jalan termudah untuk bisa bersamanya.

Aku lantas meninggalkan kursiku dan duduk bersandar di lantai, meneliti setiap sudut studio. Tumpukan CD, piringan hitam, turntable, midi controller, tumpukan efek gitar, gitar-gitarku, drum, ampli-ampli yang tersusun rapih…. Dan gitar patah yang dibingkai itu… Hasil karya Stefan yang mabuk. Sialan. Kenapa aku sekarang malah memikirkan mereka? Bukankah dia tadi orang yang langsung naik pitam dan membentakku karena mimpiku?

Entahlah.

Aku tenggelam dalam diriku. Kepalaku berputar. Entah kenapa pikiranku yang buruk soal apapun tak hilang. Kyoko, Stefan, Jepang, Hantaman, Shit!. Kenapa harus seperti ini?

“Mas?” suara Ai memecah kepalaku.
“Hmm?”
“Kok tumben gak ada anak-anak?”
“Baru balik kamu?”
“Iya, biasanya rame disini, tumben gak latihan… “ bingungnya sambil melangkah ke dalam studio.

“Loh.. kok matanya merah gitu?”

“Gapapa” pasti karena pengaruh *****.
“Ada apa mas? kayaknya ada problem?” tanya Ai menghampiriku lantas duduk di sebelahku di lantai.

“Gapapa…”
“Gapapa itu artinya ada apa-apa” jawabnya sambil tersenyum. Aku tersenyum balik sebisaku.
“Sini..” bisiknya sambil meluruskan kakinya. Dengan otomatis aku merubah posisiku dan berbaring. Kepalaku bersender di pahanya. Ia bersender di dinding studio dengan nyamannya.

“Berantem ama Kyoko?”
“Bukan”
“Anak-anak kemana?”
“Gak tau”
“Jangan-jangan karena email itu?” tanyanya menyelidik.
“Kayaknya”

“Kasian kakakku…” bisiknya sambil membelai rambutku dengan jari-jarinya.

--------------------------

BERSAMBUNG
 
Serius nih suhu, ane kuat ko kalo harus baca marathon sampe tengah malem jg. Suer.
Jd kalo mau updet lg, jangan ragu-ragu suhu..!
:khappy::khappy:Ngarep.
 
si anjing kalo ngebacot, kontol doank digedein, otak ga dipake, orang kok sensi bener, situ lagi pms yee

hehehe
lanjut lg master

keep the faith
 
Part-part ini adalah saat-saat yg paling bikin gue gak nyaman selama baca MDT series, bahkan semua cerita di the lucky bastard universe.

Konflik nya paling tajem, menutut gue lebih tajem dibandingkan perselingkuhan arya.

Suhu RB gokil emang, baca cerita yg udah pernah dibaca aja emosi masih dapet banget!!

Salut!!
 
Bimabet
MDT SEASON 1 - PART 34

--------------------------

sebstu10.jpg

Ai mengulum bibirnya dari tadi, serius mendengarkan ceritaku soal kejadian tadi di studio ini. Beberapa saat ia tampak menerawang, mencoba membayangkan keributan tiga arah antara aku, Anin dan Stefan.

“Pelik” komentarnya sambil masih membelai rambutku.
“Hh….” aku menghela nafas dengan lemahnya, membenamkan kepalaku di pangkuannya.

“Aku sih udah pasti bilang, jangan cari Stefan dulu sekarang…. Cari mati namanya…”
“Iya”
“Mas udah bilang ke Kyoko soal ini?”
“Belum”
“Loh kirain langsung?” tanyanya.
“Sejujurnya aku jadi dilema, kayak harus milih antara Jepang atau anak-anak” jawabku.

“Paham...” Ai mengangguk dengan muka kasihan padaku.
“Bakal… tapi butuh waktu… Aku gak mau bikin dia ikut pusing mikirin masalah baru yang mendadak ada sekarang… Seenggaknya aku harus dah punya keputusan bulet pas ngobrol sama dia entar..” aku berusaha menjaga perasaan Kyoko.

Kami berdua mengambil nafas secara bersamaan.

“Sebenernya gak harus kayak tadi kan reaksinya si Stefan......” balas Ai.
“Makanya, aku udah capek-capek ngarang skenario buat tadi, tapi amburadul. Aku tau dia gak bakal suka sama ideku, tapi gak segininya…”
“Dia kan emang meledak-ledak” balas Ai.
“Banget”
“Dan kalo dari cerita Mas tadi, dia emang khawatirnya udah lama kan?” tanya Ai.

“Iya, tapi Anin yang khawatir aja gak sampe kayak gitu reaksinya…” jawabku.
“Stefan bukan Anin sih.....” sanggah Ai. “Stefan adalah Stefan, dan dia kayak gitu emang cara kerja otaknya kali ya?” senyum Ai padaku.
“Iya sih…”
“Mungkin karena Mas juga ga pernah ada di pihak yang bersebrangan ama dia, jadi bingung pas adep-adepan kayak gitu….” Ai masih membelai rambutku, mengurainya dengan jarinya yang lembut.
“Sepertinya itu kesimpulan yang lumayan tepat....”

“Dan aku juga paham, ini kesempatan Mas buat bareng sama Kyoko kan? Aku tau Mas pasti mules tiap bayangin Kyoko, pasti kangen banget ama dia….”
“Kamu gak salah” jawabku sambil tersenyum tipis dengan lemahnya.
“Jadi… menurutku ya diemin dulu aja si Stefan, dan jangan lupa buat ngasih tau Kyoko secepatnya…”
“Hmm….” jawabku enggan.

“Dan bisa dibilang apapun nanti keputusannya, harus enak buat semua pihak kan…” lanjutnya.
"Banget. Aku gak mau Stefan jadi dendam sama aku juga..."

Aku menghela nafas dengan malas, dengan mata berat dan sepertinya rasa rindu pada Kyoko dan rasa sesal akibat pertengkaran tadi bercampur. Bercampur menjadi perasaan yang berat.
"Kasian kakakku... " Ai tersenyum prihatin dan memeluk kepalaku dengan erat. Setidaknya aku memiliki adik seperti dia, yang selalu bisa jadi tempat bicara.

--------------------------
--------------------------
--------------------------

guitar10.jpg

Stefan has left the group.

Itu terjadi sehari setelah pertengkaran malam itu. Sena bingung, panik kenapa Stefan left. Dia kalang kabut bertanya di grup. Tapi tidak ada yang menjawab. Aku dan Anin pun masih saling diam, seperti menjaga jarak dan berpikir masing-masing dengan senyapnya. Hari ini pelajaran Bahasa Jepang tidak ada yang masuk sedikitpun ke dalam otakku.

Semua vocab, tenses dan anu anunya terasa amburadul di kepalaku. Kepalaku masih teringat ekspresi Stefan waktu itu. Betapa kecewanya dia. Dan kekecewaan yang aneh juga ada di dalam kepalaku. Rasanya tidak enak berhari-hari tidak berkomunikasi dengan teman akrabmu sendiri. Hari-hari yang biasanya ramai mendadak sepi. Di sisi lain aku juga jadi bingung dan jadi agak kaku berkomunikasi dengan Kyoko. Untungnya dia tidak terlalu banyak membahas lagi soal rencana kalau aku jadi mengambil tawaran ke Jepang itu.

Tiap dia berusaha mengajakku berbicara soal rencana di Jepang, aku selalu menjawabnya dengan memberitahunya untuk membahasnya lagi nanti setelah aku benar-benar sudah bicara dengan pihak A.E.U.G.

Dan rasanya aku ingin segera cepat mengakhiri pelajaran bahasa Jepang hari ini. Benar-benar blank rasanya.

Doaku lantas baru terjawab sejam kemudian. Pelajaran selesai, dan di buku catatanku Cuma ada sedikit tulisan dan corat-coret huruf hiragana yang sengaja kutulis banyak-banyak untuk sedikit menenangkanku dari kekalutan yang kupikirkan. Sebelum membereskan meja dan berlalu ke motorku, aku melihat media sosialku. Sepi. Hanya ada balasan dari Kyoko, Ai dan Kanaya.

Ya, Kanaya, sudah beberapa hari ini aku memintanya untuk memberitahuku kalau-kalau Stefan mampir di Pub. In case keberanianku muncul untuk kembali mengajaknya bicara dengan baik. Bicara dengan benar tanpa emosi, dan benar-benar memikirkan win-win solution buat semua orang.

“Stefan gak kesini lagi” jawabnya.
“Oh, oke… Tapi gue mau kesana sih malem ini, abis les Jepang” balasku.
“Ngapain?”
“Gue ada janji ama Pras…”
“Emang hari ini jadwalnya dia main?” tanya Kanaya.
“Enggak, emang gue janjian aja ama dia.. Kan harusnya elo yang lebih ngerti jadwal dia maen dong hahaha….”
“Iya ya hahaha…. Suka agak ketuker gue… Soalnya jam segini DJ belom main” jawabnya.
“Yaudah… Gue jalan kesana ya…”
“Oke”

--------------------------

004df610.jpg

“Minum apaan?” tanya Kanaya seperti biasa.
“Heineken deh..” jawab Pras.
“Gue Coca Cola aja” jawabku sambil senyum.

“Sip” Kanaya segera memproses pesanan kami dan berlalu, menyapa meja yang lain, untuk sekedar mengobrol dengan para pengunjung lainnya.

“Gue kagum pas tau lo gak minum dan gak ngerokok” puji Pras.
“Biasa aja kali… haha” tawaku lemah. Dalam hati aku berharap dia tidak mengetahui soal konflik yang terjadi antara aku dan teman-temanku.

“Serius, di lini kerjaan kita, rokok dan miras itu hal biasa kan?”
“Biasa sih, tapi orang kayak gue juga banyak kan?” tanyaku ke Pras.
“Haha… tapi hebat deh, sama orang kayak elu…”

“BTW Mukti sama Raditya ga kesini?” tanyaku lagi.
“Mereka percayain ke gue aja… Soalnya emang yang paling banyak bikin lagu dan arrange gue…” senyum Pras.
“Oh…”
“Eh si Stefan mana sih, udah beberapa hari gue kesini gak liat dia, biasanya paling rajin kesini abis dia gawe…” bingung Pras sambil celingukan.

“Lagi sibuk kali” jawabku sekenanya.
“Kali?”
“Kenapa?”
“Elo kan seband dan sobatnya kan? Kok jawabnya pake kali.” bingung Pras.
“Hehe… biarin lah, mending coba sini gue denger materi lagu-lagu baru kalian…..” jawabku menghindar sambil bersiap menerima headphone dari dirinya.

--------------------------

“Nah di bagian itu gue mau pake string quartet” senyum Pras dengan sumringahnya.
“String quartet? Kenapa gak synth aja? Bayarnya mahal lho…” sanggahku.
“Biar organik bunyinya”
“Emang, tapi ntar costnya bengkak” aku mencoba untuk tidak membuat biaya produksi album ini menjadi lebih mahal.

“Gapapa lah, kan kita ga cari duit dari sini, lagian lumayan, kalo live, coba lo bayangin pake string quartet gitu, keren tau” senyum Pras.
“Keren sih, tapi coba lo pikir lagi deh, gue coba tanyain nyewa mereka berapaan, kalo mahal banget jangan protes ya…” aku memberitahunya. Pras hanya senyum seperti berpuas diri, pasti dia sedang membayangkan betapa indahnya string quartet dalam album Pierre T. Kalau memang dia nekat mau memakain string quartet ya tak apa lah, sewa studio untuk rekamannya bisa lebih lama nanti. Dan lebih lama menyewa berarti semakin banyak uang untukku nanti.

Aku melihat ke arah handphoneku. Jam 12 malam. Sudah sangat lama kami berdiskusi disini. Untung malam ini tidak ada acara yang hingar bingar. Aku membuka handphoneku dan mengetik beberapa pesan untuk Kyoko.

“Matteimasenka? Mada kaigi de…. Taihen da ne…” sapaku ke Kyoko, menanyakannya apakah dia benar-benar tidak menungguku malam ini untuk Video Call, dan memberitahunya aku masih meeting, dan meetingnya melelahkan.
“Kyoko tidak tunggu Aya. Tadi Aya sudah bilang akan bicara dengan orang malam ini. Kyoko sudah akan tidur. Ganbatte ne Aya ^-^” tulisnya dalam bahasa Indonesia yang kaku sekali.

Dalam writing, kami berdua sudah lumayan terlihat fasih. Tapi jangan suruh aku bicara atau mendengar dalam bahasa Jepang. Masih kacau dan amburadul. Dan perbincangan kami di Video Call pun masih kacau, campur-campur dalam tiga bahasa.

“Okay then… Skype tommorow? <3”
“Okay… See u :*”
“:*”

Aku lantas menutup handphoneku.

“Eh lo mau featuring gak di salah satu lagu?” tanya Pras mendadak.
“Hmmm? Belom ada yang kepikiran sih, ntar gue kasih tau kalo mau… Haha” dan sekarang jadi susah memutuskan apapun, karena kepalaku rasanya seperti terombang-ambing.

--------------------------

Jam 2 pagi. Aku sudah sendirian di parkiran pub, menyalakan mesin motor Vespaku. Diskusi malam ini berlangsung sangat lama. Dan aku masih tidak ingin pulang. Hatiku masih sesak, membayangkan dua hal yang sama-sama tidak nyaman. Antara tidak bisa bertemu Kyoko dalam waktu dekat, dan membayangkan Hantaman sudah sampai disini saja. Berhari-hari tanpa komunikasi dengan mereka rasanya tidak nyaman. Gamang, dan menyesakkan.

Aku memacu motorku perlahan dari parkiran dan menemukan Kanaya sedang berdiri di pinggir jalan dengan muka kesal.

“Kenapa?” tanyaku sambil menghampirinya.
“Biasa, gojek dan grab lagi gak jelas gini….” keluhnya.
“Mau bareng?” tanyaku.
“Ga usah deh… Bentar lagi palingan dapet”
“Yah, kalo nebeng mah gratis kali…” aku bermaksud membantunya.

“Hhmmmm…. Yowes…” sambutnya dan dia dengan perlahan naik ke kursi belakang.

Tak berapa lama dia memecah keheningan.
“Masih belom ngobrol ya kalian?” tanyanya. Dia sudah mendapatkan info soal pertengkaran itu dari Anin, dan dia langsung bertanya kepadaku beberapa hari yang lalu. Sudah kukonfirmasi semuanya. Makanya aku selalu memintanya tolong, untuk menginformasikan kalau-kalau Stefan muncul di Pub.

“Belum” Aku menggigit bibirku sendiri dalam gelapnya Jakarta dini hari.
“Jadi makin sering giting dong lo?” tanyanya nakal.
“Ga bisa dibilang gitu juga, stok gue udah abis” jawabku dengan kepala kosong.
“Haha… Mau mampir dulu gak? Siapa tau mau ngobrolin soal ini, sekalian gue ada barang bagus…” bisik Kanaya dari belakang.

“Boleh” jawabku lemah tanpa berpikir. Rasanya malas pulang juga. Lagipula aku sedang agak butuh melupakan kekesalan hari ini. Siapa tahu beban agak sedikit terangkat.

Motorku perlahan meluncur ke arah Gandaria. Tak berapa lama aku parkir di parkiran kosannya, dan mengikutinya berjalan pelan ke arah kamarnya. Aku sudah memberitahu orang rumah bahwa aku tidak akan pulang malam ini. Tenang, aku tidak bermaksud sedikitpun untuk melakukan hal yang aneh-aneh. Kyoko terlalu besar untuk dikhianati. Aku hanya ingin mengobrol dan menghilangkan penatku.

kamar-11.jpg

Aku duduk dengan santai di dalam kamar itu, sementara Kanaya mengoprek lemari bajunya, mencari sebuah kotak rokok. Tak berapa lama dia melempar kotak rokok itu ke arahku. “Nih” senyumnya sambil menungguku membukanya. Dia lantas beralih membuka laptopnya dan mencoba menyalakannya. Dia lalu menyetel musik agar suara kami bicara tidak terdengar ke luar.

Aku membuka kotak rokok itu, dan menemukan beberapa batang rokok yang filternya sudah diganti dengan gulungan kertas.
“Ajaran elo” senyumnya cuek dengan muka capek.
“Hahaha… “ aku mengambil satu batang dan melemparkan kotak rokok itu kembali ke Kanaya.

Tanpa menunggu waktu Kanaya menyalakannya dengan koreknya. Aku menghisapnya dalam-dalam.

“So?” tanya Kanaya.
“Halus ya, gak sekasar yang lo kasih waktu itu” jawabku.
“Bukan, maksud gue soal Stefan dan lain-lainnya…”
“Oh…”

Aku menghela nafas dan menerawang.

“Gue jadi bingung harus ngapain….” lanjutku. “Antara langsung cabut aja ke Jepang, which is kalo jadi, ya sehabis ngeproduserin Pras dan kawan-kawan… Atau ngatur waktu seperti yang waktu itu Anin bilang ke gue ama Stefan, udah denger kan?” tanyaku ke Kanaya.
“Iya… Cuman bisa aja kan pilihan kedua itu jadi molor?” tanya Kanaya.
“Bisa, mungkin banget molor, tapi bisa diantisipasi….”

“Nah itu kan soal musik, teknis lah, kalo soal perasaan lo sendiri gimana?” senyum Kanaya menahan tertawa. Sepertinya pengaruhnya sudah mulai ada.

“Sejujurnya…. Gue lebih banyak mikirin soal pacar gue…..” jawabku sambil senyum.
“Dan?”
“Dan gue bahkan udah banyak bikin rencana sama dia, sampe rencana liburan berdua, saking dia senengnya denger kabar soal kemungkinan gue ke Jepang lagi, dan kali ini dalam waktu yang lebih lama dari sebulan” lanjutku panjang sambil nyengir tak karuan.

“Yah, namanya cinta bisa bikin orang jadi tolol” senyum Kanaya.
“Setolol muka lo sekarang” jawabku dengan muka yang mungkin lebih tolol lagi dari sekarang.

“Haha…… cuman kalo gue liat foto-foto elo di instagram, kalian berdua emang gitu banget ya?” tanya Kanaya.
“Gitu gimana?”
“Ya gitu”
“Gitu apaan”
“Gitu”
“Ga jelas”
“Gitu lah pokoknya” tawanya asal.

“Pusing ya…. Gue tau gue gak akan mungkin ninggalin anak-anak kok…” senyumku ke Kanaya.
“Cuman mereka insecure tau… Mereka tau lo potensinya gede banget, makanya mereka takut lo jadiin mereka batu loncatan, atau suatu saat ditinggal karena lo ngejar sesuatu yang lebih gede… Apalagi si Anin bilang, ketakutan mereka nambah karena ada Kenichi apa tuh….” balas Kanaya panjang.
“Kenichi Towa…”
“Nah itu… sama karena lo punya alasan yang lebih kuat lagi buat terbang dan lama atau menetap di Jepang, yaitu pacar lo”

“Hoo.. Haha… Gue sayang sama semuanya Nay… Hantaman keluarga gue, dan Kyoko juga suatu saat gue harap jadi keluarga gue, tapi segala keputusan yang gue pikirin, pasti kedengeran kayak bakal ngorbanin satu hal…” jawabku panjang.
“Maksudnya?”
“Orang bakal bilang gue tolol karena diem terus di Indonesia, gitu-gitu aja, walau Hantaman kan gak kecil sebenernya, dan sekarang di depan mata gue ada label internasional, dengan produser kelas dunia, nawarin gue untuk rekaman disana…. Dan gue juga tau gue bakal dibilang tolol kalo serta merta terbang ke Jepang buat rekaman dan ninggalin band yang udah gue bangun dari nol…………..” ya, semua terkesan egois.

“Paham, dilema ya, dan dilema ini diperparah dengan adanya pacar lo?” tanya Kanaya.
“Iya. Kalo boleh mah gue terbang kesana aja gue suruh dia pindah Indonesia, sama satu lagi… Kalo bisa gue mau rekamannya di Indonesia aja, dimastering ama distribusi doang sama label A.E.U.G. mah….” jawabku panjang.
“Nah tuh nemu jawaban yang bagus”
“Ah iya…. Emang bikin cerdas barang ini” aku memuji benda yang sedang kuhisap sekarang ini.

“Bukannya bikin bego?”
“Tergantung sudut pandang itu sih…” senyumku tolol
“Sudut pandang siapa?” tanya Kanaya tak fokus.
“Gue bisa… elo bisa…. “
“Teler ni orang” Kanaya menunjuk hidungku.
“Kayak yang elo enggak aja?” tanyaku balik.

“Hahaha…. terusin dong ngobrol seriusnya” tawa Kanaya.
“Nah iya, tadi itu ide bagus tuh….. Dan gue jadi gak sabar ngomong ama Stefan dan Kyoko… Yang pasti mereka semua keluarga buat gue…. Dan entah kenapa rasanya tepat, Budjana juga gitu kan, rekamannya mah disini, di US Cuma mastering dan distribusi doang….. “
“Gak ngerti gue” jawab Kanaya tolol.

“Stefan pasti emosi karena takut… “ lanjutku.
“Ngelantur lo…”
“Dengerin aja apa susahnya sih….” tawaku.

“Hmm…. Panas” Kanaya membuka jaketnya dan lalu merebahkan dirinya dengan asal-asalan di karpet.

“Ah ngajakin ngobrol malah goler-goleran” keluhku.
“Iya, paham, jadi lo sebisa mungkin yang banyak dikerjain di Indonesia kan…. Dan lo bakal ngomong ama pacar lo dan Stefan soal ini….” balas Kanaya asal dengan muka menahan tertawa.
“Sialan malah mau diketawain gue” senyumku.

“Jadi kesimpulannya, kalo mutusin atau diskusiin apa-apa jangan pas lagi tegang kali ya… Coba lo ngomong ama si Stefannya sambil giting.. Pasti aman” ledek Kanaya.
“Bisa…..”

Mataku lantas tertuju pada tumpukan majalah. Majalah yang paling atas majalah urbanEars. Aku mengambilnya tanpa permisi. Sejenak kubuka dan kulihat-lihat. Sedangkan Kanaya sudah seperti kucing malas yang berbaring di karpet.

Ketemu.

“Perjalanan musik Arya Achmad di Jepang” aku melihat-lihat artikelnya. Tidak ada yang special, hanya penceritaan ulang dari pengalamanku disana. Ada beberapa fotoku sedang manggung, dan sebagainya. Tapi ada satu foto yang menarik perhatianku.

Foto Aku dan Kyoko. Di depan Hachiko. Foto pertama kami bersama. Dan aku tersenyum melihatnya.

----------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd