--------------------------
“Gimana?” teriak Raditya di mikrofon.
“Udah oke, gak usah take lagi” balasku.
“Serius?”
“Serius, udah ada empat versi di verse yang situ, kalo lo mau sekali take lagi bayar lagi lho” candaku yang disambut tawa Pras dan Mukti yang duduk di sampingku. Raditya sedang di dalam, take vocal untuk lagu keempat yang mereka rekam.
“Udah beres, paling besok kita kesini lagi” sahut Pras.
“Ditunggu, abis kalian ini masih ada yang mau recording lagi tar sore” jawabku.
“Siapa?”
“Band anak mahasiswa gitu lah”
“Bukan elo kan produsernya?” tanya Pras.
“Bukan lah hahaha……” tawaku. Mereka hanya menyewa studio saja.
“Yowes, kita jalan dulu…” sahut Mukti
“Woi… Gue masih di dalem studio!” teriak Raditya dari dalam.
“Kita tinggalin aja” tawa Pras.
Aku tersenyum, sambil melihat handphone.
“Kyo no gogo” pesanku tadi pagi, saat dia menanyakan kapan aku bisa video call. Siang ini.
“Yes Aya, Kyoko bisa ^-^” jawabnya dengan manis. Aku menarik nafas, siap untuk membicarakan semua yang terjadi dari sejak email itu aku tunjukkan ke teman-temanku. Stefan masih belum kembali ke grup, dan grup masih sepi.
----------------------------------
Jam 1 siang. Aku menatap Kyoko panjang di layar komputerku, sesaat setelah aku menceritakan semua kejadian pertengkaran antara aku, Stefan dan Anin. Mukanya tampak khawatir, dia pasti mengkhawatirkanku. Dia tampak menarik nafas panjang untuk menimpaliku.
“Aya…” sahutnya.
“Yes?”
“So, Aya already think about the decision?” tanyanya dalam bahasa Inggris yang amburadul.
“Sudah.. Sudeni…” jawabku.
“So?” senyumnya dengan manis.
“I decided to record the album here, but the mastering and distribution will be by A.E.U.G…. I will talk later to them about this…. Hope they can understand... It's usual in this bussiness”
“So Aya will go to Japan or no?” tanyanya.
“I will, but tidak selama seperti yang kita bicarakan kemarin… Demo, sugu ni nai… Saisho ni rokuon… Koko…” jawabku, menebak reaksinya. Artinya kurang lebih, tidak dalam waktu dekat aku akan ke Jepang, rekaman dulu disini.
Kyoko lantas tersenyum.
“I understand… I think it’s better like that… Aya’s friend is important. Kyoko can wait. Kyoko bisa tung-gu” senyumnya.
“Hontou?” tanyaku. Benarkah? Apa dia tidak kecewa karena rencana kami untuk bersenang-senang berdua batal?
“Yes… Teman Arya sudah se-pe…ti keruaga… Kazoku… Aya still upset?” tanyanya dengan senyum. Dia tidak begitu bisa menyembunyikan raut kecewanya, tapi tampak sorot matanya sangat tenang, dan aura besar hati terpancar dari layar komputerku. Aku tersenyum balik.
“Mochiron…” tentu saja. Tentu saja aku masih ada rasa kesal karena kejadian kemarin..
“It’s okay… Best friends fight. Teman baikku… pasuti… beke..rahi… Demo… sa-ring… me, ma.. afuu…”
“Memaafkan?” tanyaku sambil senyum. Maksud yang kutangkap dari perkataannya, pasti teman baik akan berkelahi di beberapa saat tertentu, tapi pasti saling memaafkan lagi.
“Ah.. that’s the word… So, Aya will talk to Aya’s friend?” tanya Kyoko.
“Yes….”
“When? Itsuka?” tanyanya sambil senyum.
“Ano…..” aku bingung.
“Haru.. Cepatto…”
“Harus cepat?” tanyaku balik mengkonfirmasi
“Iya” senyum Kyoko manis.
“But Aya….” lanjutnya. “Kyoko feel a little disappoint because Aya cant be here for long time like we plan. But Kyoko understand… I understand that Aya friend in the band is also important. Dari curita… Aya, mereka oranggu… baikku… Good friend… So Aya must also think of their feeling. Sorera o kizutsukemasen…” pesan Kyoko dengan manisnya.
Sorera o kizutsukemasen… Jangan menyakiti mereka.
“Ok….” jawabku pelan.
“But I miss you a lot” Kyoko menjulurkan lidahnya ke arah webcam.
“Miss you too…..”
“Aya…” sahut Kyoko.
“Yes?”
“Aya ta..hu apa yanggu.. paring Kyoko rindukan?” tanya Kyoko.
“Apa?” senyumku.
“Anata to Yoroimasu” mukanya terlihat malu.
“Yoroimasu?” tanyaku.
“Haha….” Kyoko tertawa. Aku membuka handphoneku lantas melihat artinya di google translate.
“Yoroimasu… Cuddling?” tanyaku. Cuddling, bermesraan.
“Hai…” senyum Kyoko dengan malu dan menggigit bibirnya sendiri. Sangat menggemaskan. Sungguh kangen rasanya pada dirinya.
“So, Kyoko will wait? Matteimasuka?” tanyaku.
“Mochiron!” tentu saja. Dan Kyoko melemparkan ciuman virtual ke layar computer.
----------------------------------
Entah kenapa rasanya hari ini begitu gugup. Aku memperhatikan jam tanganku di tengah les Bahasa Jepangku. Tak sabar rasanya melihat handphone, memeriksa kabar dari Kanaya soal keberadaan Stefan. Katanya kemarin Stefan sempat main ke Pub sebentar, bawa cewek. Tapi tak lama disana. Kata Kanaya, air mukanya entah kenapa agak lebih kalem dari biasanya, tidak sejahil dan seasal biasanya.
Aku pikir aku akan langsung mengajaknya bicara disana.
Tak sabar, aku ingin segera menemui Stefan disana. Jika ada. Dan setelah itu, membalas email, untuk membuat janji bicara dengan pihak A.E.U.G. Aku yakin mereka akan membalas proposalku dengan baik. Seperti banyak musisi Indonesia lainnya yang bernaung di label internasional, hal seperti itu sudah wajar. Tentunya kemarin tidak terpikir karena aku terburu euforia dan Stefan terburu emosi.
Detik demi detik terasa merambat begitu lama, dan dengan tidak sabar akhirnya pelajaran hari ini selesai sudah. Aku memeriksa handphoneku. Dan info dari Kanaya membuatku sumringah.
"Stefan lagi ada disini, buruan... tar keburu balik dia" infonya.
Dan aku dengan kalang kabutnya lantas membereskan buku-bukuku, lalu berjalan dengan cepat ke parkiran motor. Tak lama setelah itu aku memacu motorku dengan kecepatan tinggi ke arah Pub. Di dalam pikiranku yang terpikir hanyalah bagaimana caranya meluruskan ini semua.
Di tengah ramainya cahaya lampu malam Jakarta, aku mengemudikan vespaku dengan sedikit blingsatan. Aku tahu, kalau aku terlambat, aku harus menunggu lagi kabar dari Kanaya soal Stefan. Karena mendatanginya langsung di rumahnya atau menghubunginya secara langsung mungkin agak tidak bijak, mengingat betapa reaktifnya orang itu.
Dan.
Akhirnya aku sampai. Setelah mengunci helmku di motorku, aku lantas berjalan dengan buru-buru ke dalam Pub. Terlihat jelas aku celingukan, tampak seperti sedang mencari orang.
"Arya!" teriak Kanaya.
"Eh"
"Lagi di WC" bisiknya sambil menghampiriku.
"Dia duduk di?"
"Di bar, lo gimana?"
"Yang penting ketemu dia dulu" jawabku sambil membuka resleting jaketku.
Aku lalu duduk di ujung bar. Menunggu dengan tidak tenang, beberapa menit menunggu Stefan buang air rasanya seperti beberapa jam. Hingga lalu kulihat sosoknya duduk tak jauh dariku. Aku bisa merasakan nafasnya agak berubah ketika dia melihat diriku di ujung matanya.
Aku bangkit dari tempat dudukku, lalu berjalan dengan langkah pelan cenderung merayap, mendekati Stefan yang seperti tidak ingin melihatku.
"Fan" tegurku sambil mendekat.
"Bentar... Jangan disini... Disono" dia menunjuk meja dan kursi yang agak tersembunyi di pojok. Stefan lalu menyalakan rokoknya dan menyambar gelas bir yang menemaninya dari tadi. Aku mengikuti langkah pelan dan gontainya ke meja yang ia tunjuk.
"Ngomong" perintahnya dengan nada tegas, saat aku sudah duduk berhadapan dengannya.
"So... Gue udah ngobrol ama keluarga gue dan Kyoko"
"Jadi?"
"Mungkin lo udah denger dari Kanaya"
"Untungnya gitu, kalo enggak gue udah siram elo pake bir sekarang" ucap Stefan dengan muka kesal, sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. "Dan elo main kucing-kucingan ama gue, gak bisa apa hubungin gue langsung?"
"Gue kenal elo, makanya gue gak mau ganggu elo Fan" jawabku.
"Maksudnya gue emosian?"
"More or Less"
"Anjing"
"Gue harus jujur sama elo... So dengerin dulu"
"Silakan" ucapnya dengan cuek.
"Gue udah mutusin untuk rekaman disini, baru mastering dan promosi disono...."
"And then?"
"Jadi gue cuma bakal sebentar disana"
"Kayak Budjana gitu?" tanya Stefan.
"Iya"
"Kenapa gak kayak gini dari kemaren, kenapa kemaren kayak pengen langsung terbang ke Jepang?" tanya Stefan mencecarku.
"Sori, euforia..."
"Oke... Pacar lo?"
"Dia udah ngerti, dan dia bilang temen-temen gue berharga banget, jadi jangan kecewain mereka"
"Jijay"
"Yah......" aku mengangkat bahuku.
"Oke, paham. Tapi lo harus ngerti posisi kita Ya. Kita selama ini ada di bawah bayang-bayang elo. Lo bisa dibilang gerak di dua dunia musik. Skill lo gila. Jejaring lo di dunia musik lebih banyak. Pengetahuan lo soal Sound sama Recording hebat banget, jadi liat email kemaren, yang kepikiran sama gue cuma satu. Anjing, dia bakal ninggalin temen-temennya yang sampah ini" jelas Stefan panjang.
"Gak kayak gitu men"
"Bentar, dan karya lo diakuin produser kelas dunia. Ditambah pacar lo orang Jepang. Se enggak Jazz nya gue, gue tau lah A.E.U.G.... Banyak musisi Jazz Jepang yang besar namanya gara-gara label itu... Yang ada di pikiran gue cuma kita terkatung-katung ngaudisi gitaris yang udah pasti ga lebih jago dari elo... Lo bisa bayangin kan sakit pantatnya gue pas liat email itu?" tanya Stefan setelah mencecarku.
"Paham"
"Dan gue pribadi ngerasa kita gak punya daya apapun buat nahan elo... Jadi gue snap" lanjutnya.
"Paham"
"Paham-paham mulu" kesal Stefan.
"Iya, maksudnya, saat lo ngerasa ga bisa ngapa-ngapain lagi kan biasanya orang jadi defensif kan Fan"
"Gitu kira-kira"
"So we're good?" tanyaku.
"Maybe"
"Come on...." bujukku.
"Ada syaratnya...."
"Yaitu?"
"Lo kasih liat gue video lo ngewe ama pacar lo" ucapnya bercanda, masih dengan muka sinis.
"Tai" jawabku pelan.
"Sorry man" ucap Stefan sambil mematikan rokoknya.
"Gue yang sorry" balasku.
"Temenin gue mabok malem ini"
"Siap" jawabku sambil tersenyum tipis.
----------------------------------
----------------------------------
----------------------------------
Minggu yang lelah. Rangkaian pertengkaran dengan Stefan dan segala cerita setelahnya memang melelahkan. Stefan belum kembali lagi ke grup tapi. Dia bilang, dia mau menunggu Anin datang padanya untuk bicara baik-baik sepertiku. Memang orangnya baik, walau mesum dan ngaco, cuma pride-nya dia agak kegedean. Makanya harus hati-hati pendekatannya.
Aku sedang bersiap, menyalakan skype, lengkap dengan catatan soal tawaran dari A.E.U.G. yang sudah kubuat. Aku sudah berjanji untuk video call dengan Lars-Inge Björnson. Proses bargaining ke depannya yang akan menentukan masa depanku tentunya. Keputusanku sudah bulat, yakni rekaman disini dan baru akan proses mastering dan distribusi di Jepang sana. Makin kesini memang makin mudah, ada email, dan segala macam bisa dilakukan remote, tidak harus rekaman di tempat lagi, walaupun mereka sudah menawarkan untuk melaksanakan rekaman di studio mereka di Tokyo sana.
Pukul 5 sore waktu Indonesia. Berarti jam 7 malam waktu Jepang. Baiklah. Kita tunggu panggilan Skype dari orang itu, Lars-Inge Björnson.
Ketika waktu sudah menunjukkan jam 5, panggilan itu masuk.
Aku mengangkatnya dengan muka sumringah.
"Hi there" sapa Lars. Mukanya dengan jelas berada di layar komputerku.
"Hi..." sapaku balik
"How r' you doing?"
"Fine, hope you're also fine" balasku dengan ramah. Dan Lars mengiyakan.
"So... Let's get into bussiness" Lars tertawa.
"Okay..."
"So, when are you available? I'll book a flight for you" senyumnya dengan seringainya yang besar.
"Haha, listen, i'm still producing an album for a band here..."
"Okay..." dia berusaha mendengarkan dengan seksama.
"And I think I will do the recording here in Indonesia, then the Mastering, we can do it at your studio..." jelasku.
"Wait"
"Yes?"
"Recording, in Indonesia?"
"Yes, why?"
"Are you kidding?" bingung Lars.
"Of course not... Budjana did that with an American Label" jawabku.
"But we already sorting out some of best players here to join your album..." keluh Lars.
"With all due respect sir, but we here in Indonesia we also have a lot talented and skilled players" senyumku.
"It doesn't make sense... And how can Towa-San oversee your work?" tanyanya lagi, mempertanyakan posisi Kenichi Towa.
"Email?" jawabku.
"He's an old school guy, he doesn't have any email...." balas Lars.
"Somehow we can make it work, right?"
"Listen here... We offer you a recording opportunity... Not Mastering opportunity..." ucapnya tajam.
"But..."
"And we simply can't follow your term.... Why could you pass on something big like this?" sela Lars.
Tunggu. Aku tidak menolak offernya, kenapa dia langsung menyimpulkan kalau aku menolak offernya? Aku hanya bilang bahwa aku ingin proses recordingnya di Indonesia.
"Mr Björnson.."
"Call me Lars.."
"Ok... Lars, listen, My band still needs me here, we're just released our second album, and there's a lot upcoming gig for us..."
"Listen... Listen..." Lars memotongku. "Your band is good, but not great" lanjutnya. Dia mungkin sudah mendengarkan beberapa materi Hantaman di internet.
"Pardon?" mendadak dahiku berkerut.
"You're bigger than this, Arya... If your band blocking you from this big opportunity, then leave it... Right?" ucapnya tajam.
"Sorry but i don't think I could leave the band..." ucapku pelan.
"Arya... your guitar playing, your composition, is far more great than a mere grunge band... You guys sounds the same! Pearl Jam, Soundgarden, Alice In Chains, even your band, you guys sounds the same!!! You're not an angry teenager anymore... Grow up.. Stand for yourself... Be something" ucapnya dengan nada melecehkan.
Kaget.
Aku kaget. Bisa-bisanya orang yang kerja di industri musik melecehkan jenis musik lain. Setahuku orang-orang seperti Lars harusnya memiliki taste yang luas dan berpikir lebih holistik soal musik. Aku merasa terhina. Sumpah. Band-band besar seperti Pearl Jam, Soundgarden maupun Alice in Chains dihina juga olehnya? Oh my....
"So?" tanyanya.
"Sorry..." jawabku pelan.
"Sorry for what?"
"Sorry i couldn't work with someone like you" senyumku.
"Grow up, Arya... This is reality"
"And sorry Lars, the reality is far wider than your insight...."
"Just let me now whenever you change your mind" ucap Lars dengan muka mencibir.
"I won't... Bye"
Dan aku cepat-cepat mematikan window Skypenya. Selesai sudah. Aku sudah tidak berminat lagi untuk rekaman dengan A.E.U.G. kalau CEO nya meremehkan bandku, terutama jenis musik yang dimainkan oleh Bandku.
Aku marah. Aku merasa pengorbananku untuk memikirkan tawaran dari mereka sia-sia, belum lagi soal pertengkaran yang terjadi kemarin itu. Mereka mungkin hanya ingin menjadikanku entah apa, ladang uang untuk pasar Indonesia mungkin? Atau apapun, tapi etika bisnis Lars-Inge Björnson dan A.E.U.G. kurasa kasar.
Aku membuka handphoneku, mengirim pesan yang menceritakan soal pembicaraan yang menyebalkan ini ke grup Hantaman, Stefan, Kyoko, Kanaya, dan Ai. Lalu aku menutup handphoneku. Aku ambil kotak tupperware yang sangat berharga isinya untukku. Untung sudah restock.
Aku menyalakan air purifier, aku siapkan deodorizer. Aku buka kotak tupperware itu, kuambil sejumput, kuhaluskan daun keringnya. Kulinting dalam kertas rokok. Kubakar.
Persetan. Aku membatin sambil menghisapnya dalam-dalam.
-------------------------------
BERSAMBUNG