------------------------------------------
Aku melahap sereal sarapan pagiku dengan perlahan di All Day Dining. Suasana sarapan pagi ini ramai, ramai oleh para penampil. Beberapa dari mereka aku agak hapal mukanya. Tapi aku terlalu canggung untuk mengajak mereka foto bareng. Tidak seperti Anin dan Ai tadi, yang tanpa malu mengajak Jonsi nya Sigur Ros untuk berfoto bersama. Masih lekat di ingatanku, kejadian semalam, semua perkataan Kim Thayil. Kita teman. Gila. Apakah ini artinya kami semua sudah sejajar dengan mereka?
Aku menelan ludah dan menghirup kopi panasku. Stefan datang ke meja, dengan tumpukan sosis, telur, kentang goreng dan beberapa iris bacon.
“Lu berdua sialan” ucapnya pelan.
“Sorry men, abisnya kita juga kaget” senyumku tak enak.
“Lu tau gue mesti berkali-kali minjem kameranya Zee buat liat foto kalian ngobrol ama Kim Thayil?”
“Ntar ketemu lagi kok pasti, kan sehotel” senyumku.
“Dari tadi pagi gue nyariin gak nemu! Pasti gara-gara elo berdua mereka jadi males ketemu orang!!”
“Halo kakakku dan teman kakakku yang mesum” Ai datang dengan secangkir kopi di tangannya dan duduk di sebelah Stefan.
“Ini lagi… Tadi foto ama Jonsi… Kok gue gak ketemu mereka semua!!”
“Anin lagi nyari-nyari Billy Gibbons buat foto bareng tuh” tawaku.
“Kelakuan!” Stefan menggerutu.
“Yah… Sabar aja Fan, kita disini ampe minggu kan, dan besok kita nonton Soundgarden” aku nyengir luar biasa lebar.
“Tapi kalian ketemu ama Kim Thayil!!! Gue kapan!!” bentaknya dengan berisik seperti biasa.
“Udah dong, malu men…”
“Hah! I want to meet Kim Thayil!!” gerutunya.
“Kim’s already going to the venue man, you’ll see him around” senyum seorang bule yang tak sengaja lewat meja kami.
“Ah…” Kami speechless. Aku melihat nametagnya. Stephen Ferrara – Soundgarden Guitar Tech to Mr Cornell.
“I’ll be going there also. They want to see the empty venue before the crowd come” senyumnya. Dateng ke venue kosong? Mungkin untuk “bertapa” sebelum manggung kali ya? Atau kesempatan sebelum mereka lihat-lihat venue di tengah keramaian? Atau apa?
“And you are…”
“We’re Hantaman, from Indonesia” aku menunjukkan nametagku.
“Cool!! Your music’s so good” pujinya.
“What?”
“I heard your CD last night. Cool stuff. See you around!” dan dia pun berlalu dengan buru-buru. Tampaknya ingin menyusul Soundgarden yang ingin berkeliling pagi-pagi.
“Fan..”
“Iya gue tau…”
“CD kita didengerin Soundgarden”
“Tolol anjing….”
“Iya…”
“Gila ini”
“Gila”
“Gila”
“Gila”
“Gila”
------------------------------------------
“Gak jalan di sekitar Venue dulu mas? Biar ga tegang?” tanya Ai yang melihatku tidur-tiduran menunggu waktu makan siang.
"Justru lebih tegang kali, abis makan siang kan kita langsung jalan kesana.... Nunggu di backstage, siap-siap..." Aku menelan ludah sambil mengobrol terus dengan Kyoko untuk mengusir rasa gugup. Kyoko sedang begitu repotnya di Cafe yang baru buka. Bisa dibilang kalau tidak ada Kyou-Kun, dia repot sendiri, apalagi para tamu yang sudah berumur suka rewel. Maklum orang tua.
Mendadak rasanya ingin buang air kecil terus. Tapi di cuaca yang terik seperti ini, dorongan untuk minum air putih begitu kuat.
Anin ditemanin Stefan dan Ilham berkeliling hotel, mencari sisa-sisa artis headliners yang bisa mereka ajak foto bareng. Tentu salah satu mangsa utama mereka adalah Billy Gibbonsnya ZZ Top, selain para personil Soundgarden. Bagas pasti sedang diam di kamar. Sena katanya kekenyangan karena sarapannya kebanyakan. Zee? Tak tahu. Sedangkan aku sedang berusaha mengusir gugup di kamar hotel.
Aku membaca berita-berita yang meliput soal kami.
"Unit Rock Hantaman Akan Menggetarkan Fuji Rock Festival"
"Hantaman Tur ke Jepang"
Gila, cuma main sekali dua kali dibilang tur. Kami belum selesai manggung dibilang menggetarkan. Gugup rasanya. Andai ada Kyoko disini, aku bisa lebih tenang mungkin. Makan siang masih satu Jam lagi. Bisa dibilang aku bosan sekarang.
Mendadak ada suara ketukan di pintu. Aku membukanya dengan malas.
"Oi"
"Eh kalian, masuk" aku menyuruh Stefan, Anin dan Ilham masuk.
"Kacau nih ga ketemu siapa-siapa di hotel" keluh Anin.
"Pada di venue kali... Kita aja yang belom kesana kan?" senyumku gugup.
"Ntar deh, abis makan kita bikin sarang aja di backstage.... Gue baru berani jalan-jalan di venue kalo udah manggung" ujar Stefan pelan, tak seperti biasanya.
"Tangan gue keringetan parah" Anin meremas-remas tangannya sendiri sambil duduk di kasurku.
"Kalian keliatan banget sih kalo deg-degan gitu" Ilham memperhatikan kami bertiga.
"Kalo kayak gini, yang ga deg-degan cuman satu" sahut Stefan.
"Siapa?"
"Tuh si Bagas"
"Oh... Hebat bisa setenang itu ya" sahut Ilham amazed.
"Dia tabrakan sampe mobil ringsek aja masih biasa aja kali" jawabku.
"Emang kaku banget ya orangnya?"
"Ga ngerti" sahut Anin, yang padahal sepupunya sendiri.
"Itu kan sepupu lo?" tanya Ilham.
"Tetep gak ngerti" Anin tampak mondar mandir di kamarku, ditonton oleh Ai yang duduk sila di atas kasurnya sambil memainkan handphonenya.
"Eh si Zee nanyaiin kita lagi dimana" Ilham memberi info ke kami.
"Ga usah dikasih tau dulu Ham. Gue lagi ga jelas nih, kacau... Ga bisa makan ntar kayaknya saking gue gemeteran gini" Anin mondar mandir terus. Aku tiduran dengan lemah di atas kasur. Stefan duduk di karpet sambil sibuk sendiri entah ngapain.
"Ada yang bisa dilakuin gak buat nenangin kalian?" tanya Ai mendadak.
"Cium gue" sahut Stefan yang sekarang sudah tiduran di karpet.
"Ih... Serius dong"
"Serius gue"
"Lucu ya, jam terbang sebanyak kalian aja masih gemeteran kalo mau manggung" Ilham tampak bingung sambil duduk di kursi dan mengutak-ngatik kameranya.
"Wajar, ini beda levelnya" jawabku sambil berguling-guling di kasur. Pesan dari Kyoko sudah berhenti, karena dia pasti sudah sibuk di Cafe.
Acara kampus -> Jakarta -> Luar kota -> Indonesia -> Asia Tenggara -> Asia.
Seperti itu kira-kira perjalanan kami dalam 7-8 tahun bersama ini. Apakah kami mungkin bisa menembus level dunia? Setidaknya kami harus bisa menaklukkan Fuji Rock Festival terlebih dahulu. Dan detik demi detik, waktu berjalan dengan cepatnya, memaksa kami untuk menghadapi kenyataan dalam medan perang di Field of Heaven.
------------------------------------------
Musik Trash yang dibawakan oleh Stigmata bergaung di telinga kami. Kami sudah berada di backstage, menunggu saatnya kami tampil. Bisa dibilang suasana sangat ramai, penuh orang, dan lucunya banyak yang membawa anak. Suasana sangat nyaman untuk siapapun disini, baik orang yang berkeluarga atau datang bersama teman-teman. Banyak juga yang memakai kostum aneh.
Dari tadi juga Stefan ketika sedang menuju venue mau tidak mau harus jelalatan terus karena banyak sekali pemandangan menarik para perempuan jepang dengan dandanan musim panas mereka. Tapi ketika sudah sampai backstage dan semua peralatan kami sudah diserahkan ke panitia untuk segera ditata di panggung, Stefan terdiam lagi.
Sekarang posisiku dan adikku bergantian. Kepalaku sekarang yang bersender ke pundak Ai. Zee dan Ilham tidak henti-hentinya mengambil foto dan video kami. Stefan dan Anin sedang mojok di backstage, di dekat asbak dan tak henti-hentinya mereka berdua menghisap rokok. Bagas sedang diam saja sambil membaca berita. Klasik. Sena sudah di FOH Mixer, menunggu giliran dirinya menjaga kami dari sana. Chiaki sedang hilir mudik, memastikan kami baik-baik saja, dalam artian tidak kurang minum, makan maupun rokok.
Aku sudah menghentikan ritualku minum air sejak beberapa menit yang lalu. Pasti sangat merepotkan apabila di panggung mendadak rasa ingin buang air kecil muncul.
Kami pasti lebih panik lagi jika Stigmata sudah selesai manggung. Anin mendadak memanggilku. Aku berdiri dan berjalan ke arah Anin dan Stefan yang sedang merokok. Bagas menyusulku setelah sepupunya memanggil dia untuk mendekat.
"Mereka beres sebentar lagi" Anin lalu menarik nafas. "Dan abis itu ada jeda 30 menit sebelum kita naik... Gue mau ngomong sesuatu" kami semua menatap Anin yang menghisap rokoknya dalam-dalam, terlalu dalam bahkan. Dia lalu menghancurkan puntungnya di asbak.
"Kita udah sampe sini. Makasih buat kalian yang selalu nemenin gue dari awal. Makasih buat kalian yang bikin mimpi gue jadi nyata. Dan...."
"Paham-paham... Tenang, aja, kita ancurin stagenya. Kita Godzilla men, dan ini Jepang" senyum Stefan menepuk punggung Anin yang tampak terharu.
Anin menatap Stefan dengan senyum penuh arti.
"Udah, bentar lagi gue dicium malah" Stefan berdiri dan meregangkan badannya. "Lo gak gugup apa Gas?" Stefan malah menanyai Bagas yang tampang tenang setiap saat.
"Enggak. Ini gak ada bedanya kan sama yang lain?" jawabnya pelan dengan muka datar.
"Bener juga sih kalo dipikir-pikir" tawaku mendengar jawabannya.
"Haha" tawa Stefan kecil sambil membakar rokok lagi.
"Mereka udah beres tuh... Yuk, siap-siap" senyumku sambil berbalik, menghadap ke panggung dari belakang.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
Aku melirik dari balik panggung. Tampak banyak penonton memadati bagian depan panggung. Suara orang riuh rendah, seperti chaos dalam ketertiban mereka yang berdiri dengan rapih di depan panggung.
Aku menarik nafas. Aku menatap layar handphoneku. Ada satu pesan dari Kyoko. "<3". Sungguh sangat berharga untukku, dan beberapa saat lagi kami akan menaiki panggung. Musik latar dari speaker Line Array yang menggantung dengan cantiknya di Stage mulai memelan volumenya.
"Minna-San, Konnichiwa" salam dari announcer bergema disitu. "Kyou-wa, Indonesia no Rokku Band, Hantaman, Jikko suru yotei desu" sekarang, akan tampil Hantaman, katanya. Suara tepuk tangan penonton terdengar membahana di telingaku.
"Mas, sini handphonenya" adikku mendekatiku dan menerima handphone dariku. "Semua pasti lancar..." lanjutnya sambil menepuk bahuku. Aku mengangguk. Dua orang kru berdiri di jalan masuk dari backstage ke panggung. Mereka memegang bass Anin dan gitarku. Gitar Hagstorm Vikingku, dan Fender P Bass. Di panggung, P Bass Anin yang lain sudah nangkring. Begitu juga dengan Les Paul Black Beautyku, Gitar akustik Yamaha APX1000, dan Aria Pro II TA ku. Aku menggosok tanganku yang berkeringat ke celanaku, dan menatap muka gugup anak-anak.
"Come on Guys!!" teriak Chiaki memberi aba-aba.
Bagas keluar duluan. Dia dengan dinginnya langsung duduk di balik drumset dan menaruh handuk kecil entah dimana. Tanpa aba-aba dia langsung memainkan solo drum dengan ketatnya. Penonton yang jumlahnya ribuan itu bertepuk tangan dan ikut riuh dalam permainan Bagas yang ketat.
"Gak kelamaan tuh?" bisik Stefan ke aku dan Anin.
"Biarin aja, kita tinggalin disitu sakit hati gak ya si Bagas?" candaku mencairkan suasana.
"Hahaha..." tawa Anin pelan menutupi gugupnya.
"BTW, norak amat sih lo" Stefan mengomentari jersey timnas Indonesia yang dipakai Anin.
"Gapapa, biar nasionalis" jawab Anin.
"Gapapa~ biar nasionalis~" Stefan meniru Anin dengan lebay.
Aku tertawa melihat mereka berdua.
"Yuk Nin" ajakku.
Aku dan Anin berjalan dengan pelan ke arah panggung, menerima alat perang kami yang dari tadi dipegangi oleh kru. Aku dan Anin kini sudah berada di tengah panggung, menunggu solo drum Bagas selesai. Aku mendekati deretan efek gitarku dan kakiku sudah siap di atas pedal volume.
Solo drum panjang itu akhirnya berakhir. Kini saatnya aku dan Anin masuk, menggetarkan Naeba, Niigata, Jepang.
Pelan-pelan kami bertiga membangun suasana sebelum si setan panggung itu masuk. Beberapa bagian massa sudah mulai mengangkat tangan, mengacungkan tanda metal dengan jari mereka. Beberapa bagian sudah bergoyang. Alunan gitar dan bass yang bersahutan, mengisi panggung dengan kerasnya.
Anin tampak berkonsentrasi, dan di saat itulah aku melihat bendera Indonesia kecil diacungkan di tengah massa. Aku tersenyum melihatnya. Aku lantas melirik ke belakang.
Stefan. Celana pendek, kemeja putih yang dibuka semua kancingnya, tanpa dalaman, dan sneaker converse belel andalannya. Rambut gondrongnya digerai lebar, dia lantas berlari kedepan dengan liarnya, dengan tatapan nanar dia yang biasa. Meloncat merebut microphone dari standnya, dan berteriak ke arah microphone.
"JAPAN!!!!"
Lagu pertama, Mass Power. Lagu yang terinspirasi dari gerakan mahasiswa tahun 98. Stefan meneriakkan dan menyanyikan seruan terhadap penguasa lalim dengan Bahasa Inggris. Hilang sudah kegugupan kami. Kini kami mencair, jadi satu dengan penonton yang riuh rendah. Alunan melodi kasar dan lembut terdengar bersahutan di seluruh penjuru arah. Keringat pertama mulai menetes.
Badan Anin yang besar terlihat bergerak dengan lincahnya di sudut panggung sebelah sana. Stefan berlarian, menunjuk ke arah penonton seakan-akan mereka menyetujui kerusuhan yang terjadi di Jakarta tahun 1998.
Penonton membalas aksi Stefan dengan reaksi mengayunkan tangannya, ikut larut dalam irama keras dan tajam yang hadir di udara. Bisa kulihat wajarh ceria para penonton, tenang saja, mereka akan bisa mengerti arti dari lagu-lagu kami karena Anin yang akan memberitahukannya.
Selesai lagu pertama, maka tepuk tangan dan teriakan bersemangat timbul.
"Konnichiwa!!" teriak Anin di microphone, yang disambut oleh para penonton. Anin lantas berbicara dengan Bahasa Jepang yang sangat lancar, memperkenalkan kami satu persatu. Tiba-tiba terdengar teriakan yang familiar dari arah Bendera Indonesia.
"Hantaman!!! Liat Sini!!" sekumpulan anak usia mahasiswa tampak berkumpul, mengangkat bendera itu.
"Lo ngapain semua disini" canda Stefan lewat microphone.
'NONTON.... WOOOO!!!"
"Jangan ngabisin duit bonyok lu ya..." sambutnya sambil tertawa.
“Hei Naeba!!! We’re Hantaman from Indonesia!!!” teriak Stefan yang disambut lagi oleh sorak sorai penonton. “My name is Stefan!!! And you’re going to enjoy our music!!!” sahutnya keras sambil disambut oleh penonton. “Next song!!”
Anin langsung berbicara dengan Bahasa Jepang, memberitahu lagu selanjutnya dan menceritakan sedikit tentang maksud lagunya. Aku tertegun dan berharap bisa bicara selancar itu.
Lalu kami menghajar panggung dengan lagu selanjutnya, berteriak dan menghentak. Bernyanyi dan menari. Membakar Naeba. Suasana yang panas lebih panas lagi. Kebanyakan penonton yang tidak mengerti Bahasa Indonesia pun tidak peduli. Mereka lebih peduli terhadap lagu kami, dan serunya pengalaman menonton band asing dari negara nun jauh di Asia Tenggara sana.
Sudah dua lagu kami bawakan. Dan suasana tampak makin panas. Beberapa orang menyemut, makin mendekat ke panggung. Tampaknya mereka makin tertarik oleh hingar-bingar keributan disini.
“Do you like it??” teriak Stefan dengan super pedenya.
“YEAHHHH” teriak penonton tak mau kalah.
“Next! LAGU YANG ELO SEMUA GAK BAKAL NGERTI SOALNYA BAHASA INDONESIA!!!!!!!!!!!!!!!!!” teriaknya kalap di panggung. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya yang tak bisa diam dan liar itu.
------------------------------------------
Sudah sejam kami membakar Naeba. Massa tampaknya menikmati musik kami, terlihat dari banyaknya yang menonton dan mereka tak segan ikut bergoyang. Memang tak seliar penonton di Inonesia yang sampai moshing, tapi disini mereka sangat apresiatif!!
Aku sedang menghancurkan gendang telinga mereka dengan solo gitar panjangku di lagu Malaikat Kematian, lagu sebelum lagu terakhir. Aku sudah hanyut, hanyut dalam nada nada yang kubuat, hanyut dalam ketatnya irama yang dijaga oleh Anin dan Bagas, hanyut dalam teriakan dan nyanyian parau Stefan.
Jari-jariku menari dengan kencangnya di gitarku, dalam keringat yang menetes di tengah teriknya Naeba.
Stefan tampak tidak fokus, dia tampak gelisah sebelum dia mulai menyanyi lagi. Apakah dia kelelahan. Tapi so far suaranya selalu stabil, dan kali ini sukses. Kami benar-benar tidak menyangka penonton akan seantusias ini oleh penampilan kami.
Aku lantas bernafas, dan menyudahi permainanku di lagu itu, yang tampaknya kepanjangan untukku. Aku berlari kebelakang dan mengambil gitar lain untuk lagu terakhir, dan menunggu Anin atau Stefan menyapa penonton sebelum penutupan.
Tapi Stefan tampak termenung. Dia melihat ke lautan manusia di Naeba. Di depan Field of Heaven. Dia tampak gemetar. Aku tersenyum. Pasti dia terharu. Pasti dia merasa ini pencapaian yang luar biasa bagi kami. Aku menepuk bahunya.
"Yuk, kita tutup"
"Ya... "
"Ya?"
"Itu..." Stefan menunjuk ke arah FOH Mixer. Tak jauh dari sana ada tiga sosok yang langsung membuat bulu kudukku berdiri.
Kim Thayil, Matt Cameron, dan Chris Cornell!! Mereka berdiri dari jauh, memperhatikan kami. Chris Cornell tampak seperti pertapa tua yang penuh pengalaman. Matt Cameron tampak seperti seorang bapak-bapak bule biasa yang baru saja menjemput anaknya dari sekolah. Mereka tanpa Bassis mereka, Ben Shepherd.
Chris menenggak kaleng birnya, dan matanya tertutup oleh kacamata hitam yang tebal. Soundgarden. Dewa. Prasasti. Begawan.
Mendadak.
Chris Cornel mengacungkan jempolnya pada kami. Microphone yang dipegang oleh Stefan jatuh. Anin menghampiri kami.
"Ada apa sih, ayo, gue udah ngomong tadi di mik kalo abis ini lagu terakhir" Penonton pun tampak bingung dan mereka melihat ke arah yang aku dan Stefan lihat.
"Soundgaruden!!" teriak salah satu dari mereka sambil menunjuk ke arah Chris Cornell, Kim Thayil dan Matt Cameron. Beberapa orang tampak mengejar mereka untuk berfoto atau meminta tanda tangan. Bodyguard mereka dan beberapa panitia segera mengamankan dan menarik tiga orang dewa rock itu menyingkir dari sana.
Tapi tidak akan kulupa itu. Acungan jempol dari Chris Cornell.
Chris Cornell. Gila.
Anin lantas mencoba mengendalikan situasi dan berbicara panjang lebar lagi dalam Bahasa Jepang. Baiklah, lagu terakhir kami, dan Anin sudah bicara dengan panjang lebar yang disambut oleh apresiasi dari penonton. Tentunya mereka semua tampak puas.
Kelahi Berani. Aku memejamkan mata. Gitarku kugenggam dengan erat.
“On Drum!! Bagas!!” teriak Stefan mendadak. “Bass… Anin..” tepuk tangan penonton makin deras. Aku masih memejamkan mata.
“On guitar, AYA!!!” teriak Stefan. Aku membuka mataku dan tersenyum ke penonton. “His girlfriend is Japanese!!!” teriaknya. Penonton entah kenapa malah bertepuk tangan dan aku hanya tersenyum, sambil maju ke microphone di depanku.
“Ano wa, Stefan, Akuma da!!!” teriakku. Stefan bingung, celingukan, beberapa penonton tertawa dan bertepuk tangan dengan riuhnya. Stefan tampak menghampiri Anin dan berbisik. Anin memberitahu artinya. Dan sebelum dia sempat bereaksi, aku memainkan intro lagu tersebut. Tanganku mencabik gitarku dengan liar, menghasilkan suara-suara yang keras dan indah.
Arti dari kalimat tadi simple. “Itu Stefan, dia Setan” dan panggung kembali riuh oleh suara-suara dari musik rock. Vocal Stefan yang parau kembali bergaung di telinga mereka, membakar, menyuruh mereka bergoyang, bertepuk tangan dan bersahut-sahutan. Rasanya gila, aku mencabik gitarku seakan-akan tidak akan ada hari esok. Biarlah hari ini jadi abadi, pikirku.
Suara hentakan drum Bagas terdengar stabil di telingaku, teriakan Stefan, dan Bagaimana stabilnya Anin menjaga ketukan, gila, orgasme di telingaku.
“NAEBAAAAAAAA” teriak Stefan dengan semangat, menyemangati penonton yang bergoyang dan menunjuk ke arahku yang sudah mulai mempermainkan nada-nada dengan ganasnya. Kami terbakar, dan keringat mendamaikan.
Semua begitu cepat, momen abadi kami berlalu dengan cepat dan luar biasa.
------------------------------------------
Senyap. Suara detak jantungku yang kencang tertelan oleh suara penonton. Riuh rendah. Bising yang mendamaikan. Keringat kami tertiup angin musim panas pegunungan Negara matahari terbit itu.
Aku, Stefan, Anin dan Bagas maju ke pinggir panggung dan menunduk ke arah penonton, diiringi oleh tepukan tangan dan kemeriahan mereka. Suara announcer yang memberitahu bahwa penampilan kami telah selesai bergema di area Field of Heaven.
Mahasiswa Indonesia yang membawa bendera Indonesia mendekati kami. Dia menyerahkan bendera itu ke Stefan. Stefan lantas mengacungkan tinggi-tinggi bendera Merah Putih itu dengan tangannya, yang diikuti oleh tepuk tangan dari penonton. Kami lantas mulai berjalan dengan perasaan penuh ke backstage.
Yang menyambutku pertama adalah pelukan adikku,
"Luar biasa!" teriaknya.
"Makasih..." aku masih lemas karena lega, sambil menepuk punggung Ai. Ai lantas melepas pelukannya dan memeluk Anin lalu Bagas. Mereka tampak lemas dan kecapaian, tapi mereka menyambut pelukan Ai dengan senang juga.
Ai lalu berhadapan dengan Stefan.
"Awas lho!" ledek Ai sebelum memeluk Stefan.
"Come on.. Sini" muka Stefan tampak teduh. Dan Ai mempercayainya
"Congrats ya Fan, beres manggungnya, keren kalian" mereka berdua berpelukan dengan tenang.
"WOI!" teriak Ai sambil melepas pelukan dari Stefan. Stefan tersenyum tipis dengan jahilnya. "Mas, dia pegang pantat aku!!!" Ai tampak kesal dan menyesal telah memeluk Stefan.
"Ih boong, orang kepegang doang kok" ledek Stefan balik.
"HUH!!!" Ai lalu menjauh dari Stefan, yang menyisakan senyum jahat Stefan ke arahku. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Walaupun Stefan selalu jahil kepada adikku, tapi dia tidak pernah jahat. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkah mereka berdua.
"So?" Ilham datang dengan keringat, tampaknya dia baru dari area crowd.
"Gila!" teriak Anin dengan muka sumringah.
"Jadi gini perasaannya dia habis beres rilis single di Jepang ya?" tanya Stefan sambil menunjukku.
"Lebih hebat ini lah" jawabku sambil tersenyum, dan basah oleh keringat.
What an awesome day.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
"Ke kamar gue Ya..." pesan singkat dari Stefan masuk ke handphoneku. Ai sudah tidur, kecapaian setelah nonton James Bay tadi. Crowd disini memang gila dan penuh sesak, hingga aku beberapa kali harus bertindak sebagai human wall untuk adikku pada saat James Bay manggung tadi.
Aku bergegas keluar dan mengunci pintu, seraya berjalan dengan malas ke kamar Stefan. Aku mengetuk pintunya dan Stefan segera membukanya dari dalam. Rokok dengan jelas berada di bibirnya. Dia tampak letih dengan muka yang sumringah. Aku lantas masuk, dan tidak menemukan Sena.
"Sena mana?"
"Sama Anin dan Chiaki ke minimarket..." jawab Stefan.
Aku duduk di kursi sambil menaruh kakiku di atas meja.
"Pegel?" tanyanya.
"Iya, dan bahkan kita belom nonton Soundgarden"
"Tadi gila ya..." ucapnya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
"Banget, gue gak nyangka mereka responsif banget ama musik kita, bahasanya aja kagak ngarti" jawabku.
"Bukan"
"Tapi?"
"Gue selalu tau kalo musik, bahasa apapun bisa bikin kita nyatu sama semua orang di dunia... Tapi... Chris Cornell tadi..." tatap Stefan dengan dalam.
"Jempolnya?"
"Iya"
"Berarti dia dengerin CD kita..." aku berkesimpulan.
"Berarti mereka denger CD kita..."
"Gila ya..."
"Kita gila.... Makasih buat elo tapi..."
"Kok gue?" tanyaku.
"Kalo lo gak ke Jepang dulu, mungkin kejadian ini gak pernah ada"
"Ngasal" tawaku sambil menatap ke langit-langit.
"Bener... Entah kenapa gue yakin ada hubungannya"
"Gak secara langsung tapi pasti" balasku.
"Dan jujur gue gak tau selanjutnya apa" Stefan melempar dirinya ke kursi di hadapanku.
"Sama"
"Besok kita lihat Soundgarden dulu lah ya, kita kasih jempol balik" tawanya.
"Pasti"
------------------------------------------
BERSAMBUNG