Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
MDT SEASON 1 - PART 39

------------------------------------------

46361710.jpg

“Jadi besok kalian main jam 3 sore ya?” tanya Ai saat dia membereskan barang bawaan kami di kamar hotel kami, di Naeba Prince Hotel.
“Iya”
“Kok pagi amat?”
“Kan kita bukan nama besar lah, apalah kita dibandingin sama yang lain disini” tawaku.

“Tapi kan?” Ai tampak ingin protes.
“Lah kita udah tau dari jaman kapan kali kalo kita main sore-sore….” Aku memeriksa gitar-gitarku. Aman, semuanya tidak ada yang rusak, sekalian kita cek saja setemannya ada yang turun atau tidak.

“Bukan, maksudnya kalian kan kalo di Indonesia seringnya jadi headliners…..”
“Ini panggung dunia…. Bisa main disini aja something lah…” senyumku sambil memperbaiki seteman gitar, sebelum makan siang dan check sound.

Ketukan mendadak terdengar di pintu hotel. Ai membukanya. Chiaki ternyata.

“Sumimasen…. This is your food… Enjoy!” Ai menyambut barang bawaannya dan mendapati dua bungkus bento dan ice tea dalam kemasan.
“Thank you” senyum Ai dan Chiaki pun cepat berlalu.

Aku melihat jam tanganku. Jam 1 siang. Dua jam lagi sound check. Chiaki akan menjemput kami di kamar masing-masing jam 2 siang. Aku melihat peta venue. Gila, jarak antar stage jauh-jauh gini. Sekarang kami bisa menggunakan mobil golf untuk bepergian di daerah landai, tapi tetap harus menggunakan kaki di tempat-tempat yang menanjak. Dan besok, karena massa penonton sudah datang, kami tidak bisa menggunakan mobil golf lagi.

“Duh gak sabar James Bay” Ai tampak sumringah melihat jadwal. James Bay main besok juga, jam 8 malam di panggung utama.
“Jadi kan aku temenin?” senyumku.
“Mauuu” Ai tampak senang sambil membuka kotak makanan yang porsinya besar itu.

“Mas….” tegur Ai mendadak saat aku masih menyetem gitarku.
“Ya?”
“Ini gak ada babinya kan?” Ai tampak khawatir
“Ya elah, cuek aja kali, kan ga tau ini” tawaku. Ai Cuma tersenyum kecut sambil mulai memakannya. Setengah jam sebelum Soundcheck kami akan memeriksa lagi list lagu yang akan dibawakan besok. Gemetar rasanya, membayangkan crowd yang sama sekali tidak mengerti bahasa yang akan kami bawakan, karena sebagian besar lagu kami ditulis dalam bahasa Indonesia. Tapi tak apa, katanya musik adalah bahasa universal kan? Lagipula Anin berjanji akan bicara di panggung, menjelaskan maksud dari setiap lagu. Aku mengambil lipatan kertas yang disimpan di dalam tas gitarku dan membaca isinya.

Intro
Mass Power
Perkenalan
Matahari Tak Kan Selamanya Cerah
Kegagalan Berketurunan
Ilusi (kita bikin akustik yuk lagu ini sama lagu abisnya)
Teriakan Yang Terbungkam (masih akustik)
10 Tahun Tanpa Jawaban
Bullet Against Bullet
Setengah Jam di Udara
Malaikat Kematian (solo gitar Arya panjang-panjangin)
Kelahi Berani
Outro

List lagu yang untuk nanti akan kami bawakan besok membuatku tersenyum. Gila, lagu-lagu ini, yang kami buat selama tujuh tahun ini, besok akan berkumandang dengan kencangnya disini.

“Makan mas… Enak loh… Cuma bantuin abisin ya, buatku kebanyakan” senyum Ai saat dia sedang melahap makanan, sambil melihat acara TV yang dia tidak mengerti. Aku juga belum mengerti, sekilas bisa kutangkap sedikit-sedikit maksudnya, tapi aku tidak bisa menangkap omongan mereka yang terlalu cepat dan kalimat-kalimat yang lebih kompleks dan casual masih membingungkan untukku.

“Oke” Aku selesai menyetem gitar dan membereskan semuanya, sebelum makan, rapat bersama anak-anak dan langsung sound check.

------------------------------------------

main-q10.png

“Ancur kaki gue” keluh Stefan.
“Makanya dah gue bilang pake sepatu boot kan” celetuk Anin. Semua pakai sepatu yang cocok dengan kondisi di Naeba Ski Resort pada saat musim panas, kecuali Stefan. Kami semua memakai Boot, termasuk Ai.

“Ntar gue pas di Tokyo pake apa kalo disini pake Boot, mana gue Cuma bawa sepatu ini lagi…” Stefan mengeluhkan sneakers Converse Jack Purcell nya.
“Gue dong bawa sepatu lain” Ai menimpali Stefan.
“Centil!”
“Biarin”

Aku tersenyum saja sambil membawa dua tas gitar di tangan kanan dan kiriku. Bagas tampak tidak bawa apa-apa. Stik drum dia sudah minta di riders ke panitia. Chiaki dan seseorang dari seksi keamanan mengiringi kami. Ada dua orang kru yang membantu mengangkut Bass Anin, Gitar akustikku dan tas efek kami. Jalannya lumayan agak berat ke stage Field of Heaven.

Stage ini kapasitasnya 5000 orang. Penampil utama di Stage ini adalah Indigo Jam Unit, band Jazz yang ternama dari Jepang, dan Sakanaction, band pop/rock yang dari Jepang juga. Penampil dari luar negeri yang merupakan headliners tersebar di tiga panggung utama, yakni Green Stage, White Stage, dan Red Marquee. Sayang, Shuya Okino yang diiringi oleh Kyou-Kun manggungnya bentrok dengan Soundgarden waktunya.

Aku sudah berkabar dengan Kyou-Kun, dan kami berjanji untuk bertemu nanti malam, setelah dia sound check, sekitar pukul 9 malam.

“Medan tempur kita besok tuh” tunjuk Anin saat kami sudah semakin mendekati sebuah lapangan landai dengan Stage yang berdiri tegak. Megah untuk kapasitas 5000 orang. Beberapa panitia terlihat mondar-mandir, dan banyak orang yang berkumpul di FOH Mixer. Aku menelan ludah. Ini dia. Besok. Aku mengambil handphoneku dan mengambil banyak foto. Mataku terus mengedip, dan jantungku berdetak tak percaya.

“Senewen ya Mas?” tegur Ai.
“Iya”
“Tenang, aku yakin kalian pasti bisa…” Ai menepuk bahuku dengan rasa bangga. Aku tersenyum melihatnya.

“KONTOL!” teriak Stefan sambil berlutut.
“Kok gak sopan gitu sih?” celetuk Anin kesal.
“Pegel bego!”
“Makanya jangan kebanyakan ngerokok” candaku.

“Jangan difoto kenapa sih!” bentak Stefan yang masih berlutut ngos-ngosan ke Zee.
“Well… Saya Cuma dokumentasikan” jawabnya sambil tetap mengambil foto Stefan, sementara Ilham tampak banyak merekam video landscape.

“Minna… This is the fixed schedule for tomorrow” ucap Chiaki ramah, sambil membagikan kertas yang ia dapat dari panitia lain.

12.10 Electrico (Singapore)
13.50 Stigmata (Sri Lanka)
15.20 Hantaman (Indonesia)
17.10 Jump with Joey
19.00 Little Creatures
21.00 Strange Reitaro

“Mantep, kita menang lawan Singapur hahahaha!” teriak Stefan sambil melihat jadwal Jumat besok.
“Woi” Anin menendang kakinya sambil melirik ke arah Zee.
“Whatev…” celetuk Zee santai sambil terus mengambil foto-foto kami.

“Chiaki”
“Yes” jawabnya cerita.
“Could I have also the schedule for another Stage? Me and my sister want to watch James Bay after the show” pintaku ke Chiaki.
“Sure! Wait a moment” Chiaki lalu bicara di handy talky dan kembali menggiring kami menuju backstage.

“James Bay?” tanya Stefan.
“Nemenin Ai, tapi emang bagus tuh orang musiknya” pujiku.
“Bilang aja mau pacaran” ledeknya.
“Asal” jawabku.

“Gue besok mau nonton ZZ Top di White Stage” seru Anin.
“Gue juga bang!” seru Sena menimpali.
“Gue apa ya….” Stefan tampak bingung.
“Sigur Ros enggak ya? Kita udah ke Tokyo sih pas mereka maen…” keluhku.

“Ah bebas lah ntar, gue mau coba liat performer dari negara-negara aneh” senyum Stefan sambil berjalan. “Elu nonton apa?” tanya Stefan ke Bagas.

“Paling di kamar aja istirahat” jawabnya dengan dingin dan tanpa ekspresi, yang disambut oleh muka aneh Stefan.

------------------------------------------

wing-610.jpg

“Okay!! Meet you at 9 pm!! See U!” pesan Kyou-Kun di media sosial. Aku baru kembali memeriksa isi handphoneku setelah kami Sound Check dan kembali lagi ke penginapan. Matahari sudah akan tenggelam. Aku beristirahat, karena Sound Check memang melelahkan, dan baru saja selesai mengirim foto-foto hari itu ke Kyoko, yang tentunya dia sambut dengan sumringah, dan kami berdua saling melempar ekspresi kangen, tidak sabar ingin segera bertemu di senin pagi.

“Ntar dijemput Chiaki di kamar ya jam 7, atau kalo mau nunggu di lobby, kita mau diajak makan di tempat ramen di Kota Mikuni” sahut Anin di grup Hantaman.
“Wih ramen boleh deh, daripada masak indomie” sahut Sena.
“Norak lu” balas Anin.
“Kalo gue malah penasaran sama memeknya Chiaki men… Enak gak ya?” tanya Stefan mendadak.
“Tolol” balasku singkat.
“Emang cuma elo aja yang boleh ngerasain memek Jepang? Gue juga mau!!” balasnya lagi.

“Gue kacau nih, kalo tiap ada Zee gue jadi ga konsen” celetuk Anin mendadak.
“Jangan curcol bang” balas Sena kocak.
“Gue embat juga tu anak WKWKWK” sahut Stefan.
“JANGAN T_T “ tangis Anin di grup.

“Si Ilham sekamar ama Zee ya? hahahaha” tawaku.
“Ilham ga mungkin ngembat cewek” jawab Anin tegas.
“Yakin?” tanyaku menggoda.
“AAAAAAAAA” teriak Anin di grup, yang membuatku tertawa.

“Kenapa Mas? Seneng amat?” tanya Ai yang baru saja selesai mandi, masih dalam balutan kimono handuk.
“Si Anin keliatan banget nih kalo dia demen ama si Zee” jawabku.
“Aduh… itu mah keliatan banget, kalo aku yang jadi cewek itu mah udah pasti ilfil” tawa Ai sambil berkaca dan memakai moisturizer di mukanya. Rambutnya masih dibungkus handuk. Sedangkan aku masih malas-malasan, tidur-tiduran di kasur dan mengirim foto selfie konyol ke Kyoko, yang ia balas dengan foto selfie konyol juga.

“Haha, seneng liat Mas kayak gitu”
“Apaan?”
“Enggak” Ai sudah berganti kostum menjadi celana pendek dan atasan tanpa lengan tanpa kusadari.
“Enggak apaan?” aku bangkit dan meregangkan punggungku.
“Dulu pas jamannya Karina mana ada kayak gitu” tawanya.
“Alah… Karina lagi disebut-sebut” kesalku.
“Makanya aku makin gak sabar mau ketemu sama Kyoko… Pasti nyenengin orangnya”
“Emang”
“Tahun ini asik banget ya… Bisa nonton James Bay gak bayar, di Jepang lagi, dan ketemu sama kakak ipar” tawanya.
“Hus…”
“Masa gak mau nikah sih sama Kyoko?”
“Emm….. Mau sih… Tapi…”

“Tapi apanya?”
“Tau deh…. kita liat ntar aja” senyumku, sambil membayangkan makan malam kami di Mikuni, kota di kaki gunung, tak jauh dari Naeba Ski Resort.

------------------------------------------

shoyu-10.jpg

Aku dan Ai menatap nanar dua buah mangkuk Ramen yang sudah kosong itu. Sena, Stefan, Anin dan Zee sedang merokok di luar. Yang tampangnya masih tetap normal setelah melahap Ramen dengan porsi naudzubillah itu cuma Chiaki, Ilham dan Bagas. Sisanya kekenyangan. Anin yang biasanya makannya super banyak malah tidak mampu menghabiskannya.

Syukurin, pikirku. Sekarang tidak cuma aku yang mabuk Ramen. Semua mabuk Ramen. Ai menyenderkan kepalanya di bahuku.

“Gawat mas… Satu suap lagi aku muntah nih”
“Kan”
“Iya… Tau gitu mesen setengah aja porsinya” keluh Ai terlambat.

Muka Bagas tetap datar, dia menatap kosong ke depan sambil menyeruput teh dingin pelan-pelan. Untung ini di pegunungan, jadi suasana malam tak terlalu panas, mirip suhunya seperti Jakarta pada tengah malam. Dan karena udaranya bersih dan tidak lembab, kata Stefan merokok disini rasanya lebih lega. Entahlah. Aku tidak mengerti bedanya udara yang bagus atau tidak bagus dipakai untuk merokok.

“So, after they smoke, we will back again to hotel!!” seru Chiaki dengan cerianya. Rasanya tak tega melihatnya setelah membaca niat-niat mesum Stefan ke Chiaki. Dasar predator seksual, pikirku sambil geli. “There’s also minimarket, you can buy things before go back” serunya yang diamini semua orang.

“Ntar beli apa ya… gak kepikir, aku udah eneg banget sama makanan” bisik Ai.
“Beli aja apa gitu, tar malem laper lagi, soalnya kita banyak jalan dari tadi”
“Kakaknya perhatian banget sih” goda Ilham.
“Apaan” balasku sambil memegang perutku yang tampaknya membesar.

“Hehe” tawa Ilham. Tampaknya dia sedang mencari perhatian Ai. Pusing lihatnya. Stefan sok kenal sok dekat sama Chiaki, tapi aku tau maksudnya pasti mesum. Zee direcokin terus sama Anin, ini udah pasti masalah klasik Anin, si super ngarep. Satu lagi ini, Ilham kok mendadak jadi sok manis di depan Ai. Ampun gusti.

“Kemaren Ilham keganggu gak diinepin Mas Arya?” tanya Ai yang mencoba berbasa basi.
“Biasa aja kok, toh kemaren kan sibuk juga, jadi jarang ketemu sama dia” jawab Ilham.
“Tetep aja, ditumpangin sebulan... kalo gue sih udah kesel pasti" tawa Ai.

Ilham Cuma nyengir kuda. Stefan mendadak masuk dan duduk di antara aku dan Ilham, menenggak bir yang ia pesan sampai habis.

“Terus tapi yang nganter Mas Arya beli gitar kan Ilham ya?”
“Iya, waktu itu emang pas lagi gak ada kuliah”

“Eh, mereka berdua itu pasangan incest loh” bisik dengan penuh canda Stefan ke Ilham.
“Hah?” Ilham bingung.

“Lu kalo percaya sama orang ini itungannya jadi orang Kafir Ham” tunjukku ke Stefan.
“Hahaha…. Tapi kalian berdua emang deket banget sih, jadi orang-orang yang gak kenal kiranya kalian couple”
“Ya kan?” tawa Stefan ke Ilham.

“Afeksi kakak adik seperti itu termasuk wajar. Apalagi kalau mereka sangat dekat sedari kecil” Bagas membuka suara sambil berdiri dan keluar dari kedai Ramen. Tentunya dengan muka datar. Aku, Ai, Stefan melongo. Ilham bingung kenapa kami melongo.

“Kenapa kalian?” tanyanya.
“A… Anu….” aku bingung menjawabnya.
“Kenapa sih?” Ilham makin bingung.
“Kalo lo kenal orang itu, lo bakal bingung kenapa dia ngomong”
“Lah, bukannya omongannya wajar ya?” tanya Ilham lagi.

Kami semua amazed karena itu salah satu kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Bagas sejauh ini. Rasanya seperti mendengar anak bayi yang baru belajar bicara.

“Maksudnya…. Itu orang ga pernah ngomong”
“Ga pernah ngomong kayak gitu?” tanya Ilham bingung.
“Enggg….” Stefan menggaruk rambut gondrongnya.

“Whatever lah…. Chiaki, come on, let’s go, me and my sister want to go to minimarket first” seruku ke Chiaki yang disambut olehnya selalu dengan ceria.

------------------------------------------

46361710.jpg

Setelah mandi, aku lantas memakai sandal jepit dan bersiap untuk turun, bertemu dengan Kyou-Kun. Aku pun penasaran, ingin mengobrol banyak lagi dengan dirinya. Sebentar lagi jam 9 malam, dan kami berjanji untuk bertemu di smoking area lobby. Di Jepang sangat mudah menemukan smoking area atau smoking room, tak seperti di Singapura. Aku mencoba mengajak anak-anak menemaniku.

“Guys, gue mau ketemu kakaknya Kyoko nih di smoking area lobby, ada yang mau ikut?” tanyaku di grup.
“Males, gue lagi mikirin gimana caranya ngajak Chiaki biar ikeh-ikeh kimochi sama gue” sahut Stefan.
“Jadi penasaran bang wkwkwkwkwk… Ane skip yah, perut ane kepenuhan” Sena menjawab.
“Ikut deh, dia bassis juga kan? Gue pengen ikutan ngobrol” jawab Anin.

Tak berapa lama aku keluar setelah berpamitan dengan Ai, dan berpapasan dengan Anin di koridor. Kami segera menuju ke lift dan dengan sabar menunggu lift itu datang.

“Besok ya” bisik Anin.
“Iya, penampilan pertama kita diluar Asia Tenggara” tawaku.
“Gue ada dua lagi deg-degannya” sahut Anin.
“Alah, persis banget kayak Anggia jaman dulu tingkah elo sekarang”
“Abis gimana men, dia lucu dan pengetahuannya soal jejepangan gila banget!!!” seru Anin gemas.

“Elu badan aja yang segede kingkong ya, tapi meltingnya gampang amat” candaku.
“Men, sumpah, Zee itu aduh, kacau banget…”
“Zee kenapa?” mendadak suara perempuan mengagetkan kami.
“eh… Anu, aduh, itu, apa… Aduh…. Jadi…” Anin kelabakan karena itu adalah suara Zee. Ternyata dia akan turun juga.

“Haha… Dia muji tadi, katanya lo pengetahuannya gila banget” aku berusaha menengahi. Lift datang, pintu terbuka dan kami bertiga masuk.
“Oh, not special lah…” balas Zee santai.

Bisa kurasakan perubahan air muka Anin begitu kentara. Aku hanya bisa menahan tawa sambil melihat ke arah angka yang makin lama makin kecil, sesuai dengan lantai hotel yang ia lewati. Gawat juga tapi, sampe kedengeran gini bunyi jantungnya Anin. Makin awkward.

“Zee ngapain kebawah?” tanyaku memecah keheningan.
“Rokok… Ilham tak suka bau-bau rokok… Jadi saya rokok dibawah saja” jawabnya dengan logat melayu yang kental.

“Ooo…” aku hanya mengangguk sambil mencoba melirik ke arah pria botak bertubuh tinggi besar dan berkulit gelap yang bernama Anindito Widyatmo ini. Dia sedang gelisah, saudara-saudara. Aku seperti sedang melihat pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Jerman. Dan bek-bek Indonesia sedang digempur habis-habisan oleh gelombang serangan Jerman yang mematikan. Satu persatu semuanya runtuh. Dan ups. Sudah sampai ke lantai Lobby. Aku segera celingukan.

“AYA!” teriak seseorang, yang suaranya familiar.

“Kyou-Kun!!!” aku melihat pria Jepang pendek dengan rambut tipis itu. Senyumnya masih lebar. Topi fedora bertengger dengan rapih di atas kepalanya. Celana pendek dan t-shirt, serta sandal jepit menjadi pilihan bajunya malam ini rupanya. Mukanya berseri-seri melihatku. Aku menghampirinya dan langsung menerima pelukannya.

“How are you my brother!!” teriaknya di telingaku.
“Genki genki…. Anata wa?” baik, jawabku, dan aku menanyakan kabarnya balik.
“Ahaha, benkyoshimasuyoo….. Boku mo genki!!” dia tertawa, menyadari aku sudah belajar bahasa Jepang dan mengatakan kalau ia sehat juga.

“Jya, kore wa watashi no tomodachi desu… Shinpai shinaide, nihongo mo dekimasune….” aku memberitahu kalau ini teman-temanku, walau Zee bisa dibilang baru kenal, dan mereka juga bisa berbicara bahasa Jepang.

Anin maju dan memperkenalkan dirinya, diikuti dengan kalimat yang panjang dan rumit. Aku mendadak blank. Zee juga. Dan mereka bertiga mendadak bicara dalam bahasa cepat yang sulit kumengerti. Aku hanya bisa tersenyum sambil bingung.

“Ahaha… Still studying, right!! It’s okay! Let’s talk in English!!! But if you meet Kyoko. Please talk Indonesia!! She’s always study!” seru Kyou-Kun dengan bahasa Inggris yang kacau.
“Okay… okay” tawaku. Kami lantas berjalan sambil mengobrol ke arah smoking room. Anin mendadak membisikiku.

“BTW, Aya?” tawanya.
“Kan mereka ga bisa baca R sama Y digabung gitu Nin”
“Iya tapi tetep a…… SHIT!!”

Kami melihat sosok itu di dalam Smoking Room. Pria bertubuh tinggi besar, dengan jenggot tebal, mata yang dalam dan kulit gelap. Auranya teduh, dia sedang melihat ke arah handphonenya sambil merokok dalam-dalam. Rambut gondrong awut-awutannya diikat kebelakang, lengkap dengan uban yang membuatnya semakin terlihat agung. Kupluk hitam khas dirinya bagaikan mahkota raja-raja agung dari India.

Aku dan Anin terpana. Kyou Kun tampak cuek, Zee juga.

“Ya…” Anin berbisik dengan gugup ke arahku.
“Iya Nin” Kami berdua melihat sosok idola yang agung. Idola yang mempengaruhi musik kami dengan kentalnya.

Pria itu terlihat duduk dengan agung, terlihat begitu luar biasa mengagumkan, dengan gerakan merokoknya yang tenang dan ekspresinya yang minim.

“Siapa?” Zee berbisik kepada kami.
“Kim Thayil” jawab Anin.

kim-th10.png

“Yes?” Kim Thayil melirik ke arah kami!! Tatapan matanya yang teduh seakan menusuk jantungku dan Anin. Kami lantas gelagapan, karena gitaris Soundgarden menyapa kami.
“Ahh….. So…. Ehmm…” Anin tercekat.
“So… Wee… Are from…..” Lanjutku.
“Indonesia…. And…”

“Oh, from Indonesia, Great, watching or performing?” senyumnya dengan teduh. Mampus.
“Ah… Ehhmmmm” Aku mendadak tercekat.
“They’re performing tomorrow” Zee menjawabkan untuk kami, dengan senyumnya yang tipis.

“Cool” jawabnya dengan tenang, sambil menghisap rokoknya dalam. “Japanese cigars are so light” ujarnya berbasa basi. “Oh yes.. Yes… Amm… Do you want.. to try….. Indonesian Cigarrettesss???” Anin mendadak mengangkat kotak rokok kreteknya dan bermaksud memberikannya ke Kim Thayil.

“Haha, let me finish this one first” dia mengacungkan rokoknya yang masih panjang.
“Tolol lu” bisikku.
“Anjir gimana dong….” Anin tampak gemetar.

“Ah, can… Can We have your autograph?” tanyaku bodoh tanpa mempersiapkan kertas ataupun bolpoin. Aku merogoh ke semua sakuku yang kosong.
“What? No need, MAN… If you’re performing tomorrow, that means we’re friends….. And friends don’t ask for autograph… They shake hands” Kim Thayil lantas mendekatiku dan menyalami tanganku yang kaku, dengan senyumnya yang teduh.

Anin lantas mengangkat tangannya dengan kaku, menunggu Kim Thayil menyalami tangannya. Selesai bersalaman, yang dengan sigap diabadikan oleh kamera Zee yang selalu ia bawa kemana-mana, Anin mendadak berteriak kepada Kim Thayil. “Wait Wait!” dia langsung blingsatan kabur, tampaknya ke arah kamarnya.

“So, at what stage?” tanya Kim Thayil.
“Emm… Field of Heaven..”
“Cool, at what time?”
“3.20 pm…” jawabku gugup.

“Cool” Kim Thayil menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu membuang abunya ke asbak. Tak lama kemudian Anin datang, membawa CD Hantaman.

“So… Mr Thayil, this is our CD… Please listen to it…” Ujarnya dengan muka penuh harap.
“Sure… And… I think I’ll GFN… Chris needs someone to accompany him drinks” balasnya sambil melihat handphonenya dengan muka agak ditekuk. Mungkin dia merasa Chris Cornell mengganggu ritual merokoknya yang tenang. Ia lantas mematikan rokoknya.

Dia meraih CD Hantaman, album pertama dan album kedua sekaligus. Pintar juga Anin membawa dua-duanya.

“Aaand I’ll take one… Thanks man, good luck for tomorrow” ujarnya pelan sambil mencabut sebatang rokok kretek dari kotak rokok yang dipegang Anin dengan kaku. Dan ia pun berlalu sambil membawa dua album Hantaman.

“Gokil… Kim Thayil man!!” seruku.
“Banget!!!”
“Alhamdulillah” syukurku sambil memeluk Anin.
“Dia bilang Good Luck!!” Anin berseru seperti anak kecil.

Dan kami berdua lantas merasa semangat untuk menjajah panggung disini menjadi berlipat ganda.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
MDT SEASON 1 - PART 40

------------------------------------------

46361710.jpg

Aku melahap sereal sarapan pagiku dengan perlahan di All Day Dining. Suasana sarapan pagi ini ramai, ramai oleh para penampil. Beberapa dari mereka aku agak hapal mukanya. Tapi aku terlalu canggung untuk mengajak mereka foto bareng. Tidak seperti Anin dan Ai tadi, yang tanpa malu mengajak Jonsi nya Sigur Ros untuk berfoto bersama. Masih lekat di ingatanku, kejadian semalam, semua perkataan Kim Thayil. Kita teman. Gila. Apakah ini artinya kami semua sudah sejajar dengan mereka?

Aku menelan ludah dan menghirup kopi panasku. Stefan datang ke meja, dengan tumpukan sosis, telur, kentang goreng dan beberapa iris bacon.

“Lu berdua sialan” ucapnya pelan.
“Sorry men, abisnya kita juga kaget” senyumku tak enak.
“Lu tau gue mesti berkali-kali minjem kameranya Zee buat liat foto kalian ngobrol ama Kim Thayil?”
“Ntar ketemu lagi kok pasti, kan sehotel” senyumku.
“Dari tadi pagi gue nyariin gak nemu! Pasti gara-gara elo berdua mereka jadi males ketemu orang!!”

“Halo kakakku dan teman kakakku yang mesum” Ai datang dengan secangkir kopi di tangannya dan duduk di sebelah Stefan.
“Ini lagi… Tadi foto ama Jonsi… Kok gue gak ketemu mereka semua!!”
“Anin lagi nyari-nyari Billy Gibbons buat foto bareng tuh” tawaku.
“Kelakuan!” Stefan menggerutu.

“Yah… Sabar aja Fan, kita disini ampe minggu kan, dan besok kita nonton Soundgarden” aku nyengir luar biasa lebar.

“Tapi kalian ketemu ama Kim Thayil!!! Gue kapan!!” bentaknya dengan berisik seperti biasa.
“Udah dong, malu men…”
“Hah! I want to meet Kim Thayil!!” gerutunya.

“Kim’s already going to the venue man, you’ll see him around” senyum seorang bule yang tak sengaja lewat meja kami.
“Ah…” Kami speechless. Aku melihat nametagnya. Stephen Ferrara – Soundgarden Guitar Tech to Mr Cornell.
“I’ll be going there also. They want to see the empty venue before the crowd come” senyumnya. Dateng ke venue kosong? Mungkin untuk “bertapa” sebelum manggung kali ya? Atau kesempatan sebelum mereka lihat-lihat venue di tengah keramaian? Atau apa?

“And you are…”
“We’re Hantaman, from Indonesia” aku menunjukkan nametagku.
“Cool!! Your music’s so good” pujinya.
“What?”
“I heard your CD last night. Cool stuff. See you around!” dan dia pun berlalu dengan buru-buru. Tampaknya ingin menyusul Soundgarden yang ingin berkeliling pagi-pagi.

“Fan..”
“Iya gue tau…”
“CD kita didengerin Soundgarden”
“Tolol anjing….”
“Iya…”
“Gila ini”
“Gila”
“Gila”
“Gila”
“Gila”

------------------------------------------

wing-610.jpg

“Gak jalan di sekitar Venue dulu mas? Biar ga tegang?” tanya Ai yang melihatku tidur-tiduran menunggu waktu makan siang.
"Justru lebih tegang kali, abis makan siang kan kita langsung jalan kesana.... Nunggu di backstage, siap-siap..." Aku menelan ludah sambil mengobrol terus dengan Kyoko untuk mengusir rasa gugup. Kyoko sedang begitu repotnya di Cafe yang baru buka. Bisa dibilang kalau tidak ada Kyou-Kun, dia repot sendiri, apalagi para tamu yang sudah berumur suka rewel. Maklum orang tua.

Mendadak rasanya ingin buang air kecil terus. Tapi di cuaca yang terik seperti ini, dorongan untuk minum air putih begitu kuat.

Anin ditemanin Stefan dan Ilham berkeliling hotel, mencari sisa-sisa artis headliners yang bisa mereka ajak foto bareng. Tentu salah satu mangsa utama mereka adalah Billy Gibbonsnya ZZ Top, selain para personil Soundgarden. Bagas pasti sedang diam di kamar. Sena katanya kekenyangan karena sarapannya kebanyakan. Zee? Tak tahu. Sedangkan aku sedang berusaha mengusir gugup di kamar hotel.

Aku membaca berita-berita yang meliput soal kami.
"Unit Rock Hantaman Akan Menggetarkan Fuji Rock Festival"
"Hantaman Tur ke Jepang"

Gila, cuma main sekali dua kali dibilang tur. Kami belum selesai manggung dibilang menggetarkan. Gugup rasanya. Andai ada Kyoko disini, aku bisa lebih tenang mungkin. Makan siang masih satu Jam lagi. Bisa dibilang aku bosan sekarang.

Mendadak ada suara ketukan di pintu. Aku membukanya dengan malas.

"Oi"
"Eh kalian, masuk" aku menyuruh Stefan, Anin dan Ilham masuk.
"Kacau nih ga ketemu siapa-siapa di hotel" keluh Anin.
"Pada di venue kali... Kita aja yang belom kesana kan?" senyumku gugup.
"Ntar deh, abis makan kita bikin sarang aja di backstage.... Gue baru berani jalan-jalan di venue kalo udah manggung" ujar Stefan pelan, tak seperti biasanya.
"Tangan gue keringetan parah" Anin meremas-remas tangannya sendiri sambil duduk di kasurku.

"Kalian keliatan banget sih kalo deg-degan gitu" Ilham memperhatikan kami bertiga.
"Kalo kayak gini, yang ga deg-degan cuman satu" sahut Stefan.
"Siapa?"
"Tuh si Bagas"
"Oh... Hebat bisa setenang itu ya" sahut Ilham amazed.

"Dia tabrakan sampe mobil ringsek aja masih biasa aja kali" jawabku.
"Emang kaku banget ya orangnya?"
"Ga ngerti" sahut Anin, yang padahal sepupunya sendiri.

"Itu kan sepupu lo?" tanya Ilham.
"Tetep gak ngerti" Anin tampak mondar mandir di kamarku, ditonton oleh Ai yang duduk sila di atas kasurnya sambil memainkan handphonenya.

"Eh si Zee nanyaiin kita lagi dimana" Ilham memberi info ke kami.
"Ga usah dikasih tau dulu Ham. Gue lagi ga jelas nih, kacau... Ga bisa makan ntar kayaknya saking gue gemeteran gini" Anin mondar mandir terus. Aku tiduran dengan lemah di atas kasur. Stefan duduk di karpet sambil sibuk sendiri entah ngapain.

"Ada yang bisa dilakuin gak buat nenangin kalian?" tanya Ai mendadak.
"Cium gue" sahut Stefan yang sekarang sudah tiduran di karpet.
"Ih... Serius dong"
"Serius gue"

"Lucu ya, jam terbang sebanyak kalian aja masih gemeteran kalo mau manggung" Ilham tampak bingung sambil duduk di kursi dan mengutak-ngatik kameranya.
"Wajar, ini beda levelnya" jawabku sambil berguling-guling di kasur. Pesan dari Kyoko sudah berhenti, karena dia pasti sudah sibuk di Cafe.

Acara kampus -> Jakarta -> Luar kota -> Indonesia -> Asia Tenggara -> Asia.

Seperti itu kira-kira perjalanan kami dalam 7-8 tahun bersama ini. Apakah kami mungkin bisa menembus level dunia? Setidaknya kami harus bisa menaklukkan Fuji Rock Festival terlebih dahulu. Dan detik demi detik, waktu berjalan dengan cepatnya, memaksa kami untuk menghadapi kenyataan dalam medan perang di Field of Heaven.

------------------------------------------

dsc_1710.jpg

Musik Trash yang dibawakan oleh Stigmata bergaung di telinga kami. Kami sudah berada di backstage, menunggu saatnya kami tampil. Bisa dibilang suasana sangat ramai, penuh orang, dan lucunya banyak yang membawa anak. Suasana sangat nyaman untuk siapapun disini, baik orang yang berkeluarga atau datang bersama teman-teman. Banyak juga yang memakai kostum aneh.

Dari tadi juga Stefan ketika sedang menuju venue mau tidak mau harus jelalatan terus karena banyak sekali pemandangan menarik para perempuan jepang dengan dandanan musim panas mereka. Tapi ketika sudah sampai backstage dan semua peralatan kami sudah diserahkan ke panitia untuk segera ditata di panggung, Stefan terdiam lagi.

Sekarang posisiku dan adikku bergantian. Kepalaku sekarang yang bersender ke pundak Ai. Zee dan Ilham tidak henti-hentinya mengambil foto dan video kami. Stefan dan Anin sedang mojok di backstage, di dekat asbak dan tak henti-hentinya mereka berdua menghisap rokok. Bagas sedang diam saja sambil membaca berita. Klasik. Sena sudah di FOH Mixer, menunggu giliran dirinya menjaga kami dari sana. Chiaki sedang hilir mudik, memastikan kami baik-baik saja, dalam artian tidak kurang minum, makan maupun rokok.

Aku sudah menghentikan ritualku minum air sejak beberapa menit yang lalu. Pasti sangat merepotkan apabila di panggung mendadak rasa ingin buang air kecil muncul.

Kami pasti lebih panik lagi jika Stigmata sudah selesai manggung. Anin mendadak memanggilku. Aku berdiri dan berjalan ke arah Anin dan Stefan yang sedang merokok. Bagas menyusulku setelah sepupunya memanggil dia untuk mendekat.

"Mereka beres sebentar lagi" Anin lalu menarik nafas. "Dan abis itu ada jeda 30 menit sebelum kita naik... Gue mau ngomong sesuatu" kami semua menatap Anin yang menghisap rokoknya dalam-dalam, terlalu dalam bahkan. Dia lalu menghancurkan puntungnya di asbak.

"Kita udah sampe sini. Makasih buat kalian yang selalu nemenin gue dari awal. Makasih buat kalian yang bikin mimpi gue jadi nyata. Dan...."
"Paham-paham... Tenang, aja, kita ancurin stagenya. Kita Godzilla men, dan ini Jepang" senyum Stefan menepuk punggung Anin yang tampak terharu.

Anin menatap Stefan dengan senyum penuh arti.
"Udah, bentar lagi gue dicium malah" Stefan berdiri dan meregangkan badannya. "Lo gak gugup apa Gas?" Stefan malah menanyai Bagas yang tampang tenang setiap saat.

"Enggak. Ini gak ada bedanya kan sama yang lain?" jawabnya pelan dengan muka datar.
"Bener juga sih kalo dipikir-pikir" tawaku mendengar jawabannya.

"Haha" tawa Stefan kecil sambil membakar rokok lagi.
"Mereka udah beres tuh... Yuk, siap-siap" senyumku sambil berbalik, menghadap ke panggung dari belakang.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

Aku melirik dari balik panggung. Tampak banyak penonton memadati bagian depan panggung. Suara orang riuh rendah, seperti chaos dalam ketertiban mereka yang berdiri dengan rapih di depan panggung.

Aku menarik nafas. Aku menatap layar handphoneku. Ada satu pesan dari Kyoko. "<3". Sungguh sangat berharga untukku, dan beberapa saat lagi kami akan menaiki panggung. Musik latar dari speaker Line Array yang menggantung dengan cantiknya di Stage mulai memelan volumenya.

"Minna-San, Konnichiwa" salam dari announcer bergema disitu. "Kyou-wa, Indonesia no Rokku Band, Hantaman, Jikko suru yotei desu" sekarang, akan tampil Hantaman, katanya. Suara tepuk tangan penonton terdengar membahana di telingaku.

"Mas, sini handphonenya" adikku mendekatiku dan menerima handphone dariku. "Semua pasti lancar..." lanjutnya sambil menepuk bahuku. Aku mengangguk. Dua orang kru berdiri di jalan masuk dari backstage ke panggung. Mereka memegang bass Anin dan gitarku. Gitar Hagstorm Vikingku, dan Fender P Bass. Di panggung, P Bass Anin yang lain sudah nangkring. Begitu juga dengan Les Paul Black Beautyku, Gitar akustik Yamaha APX1000, dan Aria Pro II TA ku. Aku menggosok tanganku yang berkeringat ke celanaku, dan menatap muka gugup anak-anak.

"Come on Guys!!" teriak Chiaki memberi aba-aba.

Bagas keluar duluan. Dia dengan dinginnya langsung duduk di balik drumset dan menaruh handuk kecil entah dimana. Tanpa aba-aba dia langsung memainkan solo drum dengan ketatnya. Penonton yang jumlahnya ribuan itu bertepuk tangan dan ikut riuh dalam permainan Bagas yang ketat.


"Gak kelamaan tuh?" bisik Stefan ke aku dan Anin.
"Biarin aja, kita tinggalin disitu sakit hati gak ya si Bagas?" candaku mencairkan suasana.
"Hahaha..." tawa Anin pelan menutupi gugupnya.

"BTW, norak amat sih lo" Stefan mengomentari jersey timnas Indonesia yang dipakai Anin.
"Gapapa, biar nasionalis" jawab Anin.
"Gapapa~ biar nasionalis~" Stefan meniru Anin dengan lebay.

Aku tertawa melihat mereka berdua.
"Yuk Nin" ajakku.

Aku dan Anin berjalan dengan pelan ke arah panggung, menerima alat perang kami yang dari tadi dipegangi oleh kru. Aku dan Anin kini sudah berada di tengah panggung, menunggu solo drum Bagas selesai. Aku mendekati deretan efek gitarku dan kakiku sudah siap di atas pedal volume.

Solo drum panjang itu akhirnya berakhir. Kini saatnya aku dan Anin masuk, menggetarkan Naeba, Niigata, Jepang.


Pelan-pelan kami bertiga membangun suasana sebelum si setan panggung itu masuk. Beberapa bagian massa sudah mulai mengangkat tangan, mengacungkan tanda metal dengan jari mereka. Beberapa bagian sudah bergoyang. Alunan gitar dan bass yang bersahutan, mengisi panggung dengan kerasnya.

Anin tampak berkonsentrasi, dan di saat itulah aku melihat bendera Indonesia kecil diacungkan di tengah massa. Aku tersenyum melihatnya. Aku lantas melirik ke belakang.

Stefan. Celana pendek, kemeja putih yang dibuka semua kancingnya, tanpa dalaman, dan sneaker converse belel andalannya. Rambut gondrongnya digerai lebar, dia lantas berlari kedepan dengan liarnya, dengan tatapan nanar dia yang biasa. Meloncat merebut microphone dari standnya, dan berteriak ke arah microphone.

"JAPAN!!!!"


Lagu pertama, Mass Power. Lagu yang terinspirasi dari gerakan mahasiswa tahun 98. Stefan meneriakkan dan menyanyikan seruan terhadap penguasa lalim dengan Bahasa Inggris. Hilang sudah kegugupan kami. Kini kami mencair, jadi satu dengan penonton yang riuh rendah. Alunan melodi kasar dan lembut terdengar bersahutan di seluruh penjuru arah. Keringat pertama mulai menetes.

Badan Anin yang besar terlihat bergerak dengan lincahnya di sudut panggung sebelah sana. Stefan berlarian, menunjuk ke arah penonton seakan-akan mereka menyetujui kerusuhan yang terjadi di Jakarta tahun 1998.

Penonton membalas aksi Stefan dengan reaksi mengayunkan tangannya, ikut larut dalam irama keras dan tajam yang hadir di udara. Bisa kulihat wajarh ceria para penonton, tenang saja, mereka akan bisa mengerti arti dari lagu-lagu kami karena Anin yang akan memberitahukannya.

Selesai lagu pertama, maka tepuk tangan dan teriakan bersemangat timbul.

"Konnichiwa!!" teriak Anin di microphone, yang disambut oleh para penonton. Anin lantas berbicara dengan Bahasa Jepang yang sangat lancar, memperkenalkan kami satu persatu. Tiba-tiba terdengar teriakan yang familiar dari arah Bendera Indonesia.

"Hantaman!!! Liat Sini!!" sekumpulan anak usia mahasiswa tampak berkumpul, mengangkat bendera itu.
"Lo ngapain semua disini" canda Stefan lewat microphone.
'NONTON.... WOOOO!!!"
"Jangan ngabisin duit bonyok lu ya..." sambutnya sambil tertawa.

“Hei Naeba!!! We’re Hantaman from Indonesia!!!” teriak Stefan yang disambut lagi oleh sorak sorai penonton. “My name is Stefan!!! And you’re going to enjoy our music!!!” sahutnya keras sambil disambut oleh penonton. “Next song!!”

Anin langsung berbicara dengan Bahasa Jepang, memberitahu lagu selanjutnya dan menceritakan sedikit tentang maksud lagunya. Aku tertegun dan berharap bisa bicara selancar itu.

Lalu kami menghajar panggung dengan lagu selanjutnya, berteriak dan menghentak. Bernyanyi dan menari. Membakar Naeba. Suasana yang panas lebih panas lagi. Kebanyakan penonton yang tidak mengerti Bahasa Indonesia pun tidak peduli. Mereka lebih peduli terhadap lagu kami, dan serunya pengalaman menonton band asing dari negara nun jauh di Asia Tenggara sana.

Sudah dua lagu kami bawakan. Dan suasana tampak makin panas. Beberapa orang menyemut, makin mendekat ke panggung. Tampaknya mereka makin tertarik oleh hingar-bingar keributan disini.

“Do you like it??” teriak Stefan dengan super pedenya.
“YEAHHHH” teriak penonton tak mau kalah.

“Next! LAGU YANG ELO SEMUA GAK BAKAL NGERTI SOALNYA BAHASA INDONESIA!!!!!!!!!!!!!!!!!” teriaknya kalap di panggung. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya yang tak bisa diam dan liar itu.

------------------------------------------

Sudah sejam kami membakar Naeba. Massa tampaknya menikmati musik kami, terlihat dari banyaknya yang menonton dan mereka tak segan ikut bergoyang. Memang tak seliar penonton di Inonesia yang sampai moshing, tapi disini mereka sangat apresiatif!!​

Aku sedang menghancurkan gendang telinga mereka dengan solo gitar panjangku di lagu Malaikat Kematian, lagu sebelum lagu terakhir. Aku sudah hanyut, hanyut dalam nada nada yang kubuat, hanyut dalam ketatnya irama yang dijaga oleh Anin dan Bagas, hanyut dalam teriakan dan nyanyian parau Stefan.

Jari-jariku menari dengan kencangnya di gitarku, dalam keringat yang menetes di tengah teriknya Naeba.

Stefan tampak tidak fokus, dia tampak gelisah sebelum dia mulai menyanyi lagi. Apakah dia kelelahan. Tapi so far suaranya selalu stabil, dan kali ini sukses. Kami benar-benar tidak menyangka penonton akan seantusias ini oleh penampilan kami.

Aku lantas bernafas, dan menyudahi permainanku di lagu itu, yang tampaknya kepanjangan untukku. Aku berlari kebelakang dan mengambil gitar lain untuk lagu terakhir, dan menunggu Anin atau Stefan menyapa penonton sebelum penutupan.

Tapi Stefan tampak termenung. Dia melihat ke lautan manusia di Naeba. Di depan Field of Heaven. Dia tampak gemetar. Aku tersenyum. Pasti dia terharu. Pasti dia merasa ini pencapaian yang luar biasa bagi kami. Aku menepuk bahunya.

"Yuk, kita tutup"
"Ya... "
"Ya?"
"Itu..." Stefan menunjuk ke arah FOH Mixer. Tak jauh dari sana ada tiga sosok yang langsung membuat bulu kudukku berdiri.

Kim Thayil, Matt Cameron, dan Chris Cornell!! Mereka berdiri dari jauh, memperhatikan kami. Chris Cornell tampak seperti pertapa tua yang penuh pengalaman. Matt Cameron tampak seperti seorang bapak-bapak bule biasa yang baru saja menjemput anaknya dari sekolah. Mereka tanpa Bassis mereka, Ben Shepherd.

soundg10.jpg

Chris menenggak kaleng birnya, dan matanya tertutup oleh kacamata hitam yang tebal. Soundgarden. Dewa. Prasasti. Begawan.

Mendadak.

Chris Cornel mengacungkan jempolnya pada kami. Microphone yang dipegang oleh Stefan jatuh. Anin menghampiri kami.

"Ada apa sih, ayo, gue udah ngomong tadi di mik kalo abis ini lagu terakhir" Penonton pun tampak bingung dan mereka melihat ke arah yang aku dan Stefan lihat.
"Soundgaruden!!" teriak salah satu dari mereka sambil menunjuk ke arah Chris Cornell, Kim Thayil dan Matt Cameron. Beberapa orang tampak mengejar mereka untuk berfoto atau meminta tanda tangan. Bodyguard mereka dan beberapa panitia segera mengamankan dan menarik tiga orang dewa rock itu menyingkir dari sana.

Tapi tidak akan kulupa itu. Acungan jempol dari Chris Cornell.

Chris Cornell. Gila.

Anin lantas mencoba mengendalikan situasi dan berbicara panjang lebar lagi dalam Bahasa Jepang. Baiklah, lagu terakhir kami, dan Anin sudah bicara dengan panjang lebar yang disambut oleh apresiasi dari penonton. Tentunya mereka semua tampak puas.

Kelahi Berani. Aku memejamkan mata. Gitarku kugenggam dengan erat.

“On Drum!! Bagas!!” teriak Stefan mendadak. “Bass… Anin..” tepuk tangan penonton makin deras. Aku masih memejamkan mata.

“On guitar, AYA!!!” teriak Stefan. Aku membuka mataku dan tersenyum ke penonton. “His girlfriend is Japanese!!!” teriaknya. Penonton entah kenapa malah bertepuk tangan dan aku hanya tersenyum, sambil maju ke microphone di depanku.

“Ano wa, Stefan, Akuma da!!!” teriakku. Stefan bingung, celingukan, beberapa penonton tertawa dan bertepuk tangan dengan riuhnya. Stefan tampak menghampiri Anin dan berbisik. Anin memberitahu artinya. Dan sebelum dia sempat bereaksi, aku memainkan intro lagu tersebut. Tanganku mencabik gitarku dengan liar, menghasilkan suara-suara yang keras dan indah.

Arti dari kalimat tadi simple. “Itu Stefan, dia Setan” dan panggung kembali riuh oleh suara-suara dari musik rock. Vocal Stefan yang parau kembali bergaung di telinga mereka, membakar, menyuruh mereka bergoyang, bertepuk tangan dan bersahut-sahutan. Rasanya gila, aku mencabik gitarku seakan-akan tidak akan ada hari esok. Biarlah hari ini jadi abadi, pikirku.

Suara hentakan drum Bagas terdengar stabil di telingaku, teriakan Stefan, dan Bagaimana stabilnya Anin menjaga ketukan, gila, orgasme di telingaku.

“NAEBAAAAAAAA” teriak Stefan dengan semangat, menyemangati penonton yang bergoyang dan menunjuk ke arahku yang sudah mulai mempermainkan nada-nada dengan ganasnya. Kami terbakar, dan keringat mendamaikan.

Semua begitu cepat, momen abadi kami berlalu dengan cepat dan luar biasa.

------------------------------------------

Senyap. Suara detak jantungku yang kencang tertelan oleh suara penonton. Riuh rendah. Bising yang mendamaikan. Keringat kami tertiup angin musim panas pegunungan Negara matahari terbit itu.

Aku, Stefan, Anin dan Bagas maju ke pinggir panggung dan menunduk ke arah penonton, diiringi oleh tepukan tangan dan kemeriahan mereka. Suara announcer yang memberitahu bahwa penampilan kami telah selesai bergema di area Field of Heaven.

Mahasiswa Indonesia yang membawa bendera Indonesia mendekati kami. Dia menyerahkan bendera itu ke Stefan. Stefan lantas mengacungkan tinggi-tinggi bendera Merah Putih itu dengan tangannya, yang diikuti oleh tepuk tangan dari penonton. Kami lantas mulai berjalan dengan perasaan penuh ke backstage.

Yang menyambutku pertama adalah pelukan adikku,

"Luar biasa!" teriaknya.
"Makasih..." aku masih lemas karena lega, sambil menepuk punggung Ai. Ai lantas melepas pelukannya dan memeluk Anin lalu Bagas. Mereka tampak lemas dan kecapaian, tapi mereka menyambut pelukan Ai dengan senang juga.

Ai lalu berhadapan dengan Stefan.

"Awas lho!" ledek Ai sebelum memeluk Stefan.
"Come on.. Sini" muka Stefan tampak teduh. Dan Ai mempercayainya
"Congrats ya Fan, beres manggungnya, keren kalian" mereka berdua berpelukan dengan tenang.

"WOI!" teriak Ai sambil melepas pelukan dari Stefan. Stefan tersenyum tipis dengan jahilnya. "Mas, dia pegang pantat aku!!!" Ai tampak kesal dan menyesal telah memeluk Stefan.
"Ih boong, orang kepegang doang kok" ledek Stefan balik.

"HUH!!!" Ai lalu menjauh dari Stefan, yang menyisakan senyum jahat Stefan ke arahku. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Walaupun Stefan selalu jahil kepada adikku, tapi dia tidak pernah jahat. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkah mereka berdua.

"So?" Ilham datang dengan keringat, tampaknya dia baru dari area crowd.
"Gila!" teriak Anin dengan muka sumringah.
"Jadi gini perasaannya dia habis beres rilis single di Jepang ya?" tanya Stefan sambil menunjukku.

"Lebih hebat ini lah" jawabku sambil tersenyum, dan basah oleh keringat.

What an awesome day.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

wing-610.jpg

"Ke kamar gue Ya..." pesan singkat dari Stefan masuk ke handphoneku. Ai sudah tidur, kecapaian setelah nonton James Bay tadi. Crowd disini memang gila dan penuh sesak, hingga aku beberapa kali harus bertindak sebagai human wall untuk adikku pada saat James Bay manggung tadi.

Aku bergegas keluar dan mengunci pintu, seraya berjalan dengan malas ke kamar Stefan. Aku mengetuk pintunya dan Stefan segera membukanya dari dalam. Rokok dengan jelas berada di bibirnya. Dia tampak letih dengan muka yang sumringah. Aku lantas masuk, dan tidak menemukan Sena.

"Sena mana?"
"Sama Anin dan Chiaki ke minimarket..." jawab Stefan.

Aku duduk di kursi sambil menaruh kakiku di atas meja.
"Pegel?" tanyanya.
"Iya, dan bahkan kita belom nonton Soundgarden"
"Tadi gila ya..." ucapnya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

"Banget, gue gak nyangka mereka responsif banget ama musik kita, bahasanya aja kagak ngarti" jawabku.
"Bukan"
"Tapi?"

"Gue selalu tau kalo musik, bahasa apapun bisa bikin kita nyatu sama semua orang di dunia... Tapi... Chris Cornell tadi..." tatap Stefan dengan dalam.
"Jempolnya?"
"Iya"

"Berarti dia dengerin CD kita..." aku berkesimpulan.
"Berarti mereka denger CD kita..."
"Gila ya..."
"Kita gila.... Makasih buat elo tapi..."

"Kok gue?" tanyaku.
"Kalo lo gak ke Jepang dulu, mungkin kejadian ini gak pernah ada"
"Ngasal" tawaku sambil menatap ke langit-langit.

"Bener... Entah kenapa gue yakin ada hubungannya"
"Gak secara langsung tapi pasti" balasku.

"Dan jujur gue gak tau selanjutnya apa" Stefan melempar dirinya ke kursi di hadapanku.
"Sama"
"Besok kita lihat Soundgarden dulu lah ya, kita kasih jempol balik" tawanya.
"Pasti"

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gila benar melek mata aja udah ada 2 part lagi yg diupdate Om @racebannon,
udah kepalang sikat abis Om race.

Terima kasih Updatenya Om,

Semangat dalam berkarya dan bekerja, sukses RLnya dan sehat selalu. :top:
 
W.o.W
kok bisa sih?
ane emang penikmat novel. metropop, teenlite, dll ane lahap.
tp kenapa y, MDT punya suhu serasa nendang banget y? begitu hidup, merinding ane bacanya waktu konser.

one word 4 U, AWESOME..!
 
Sure… And… I think I’ll GFN… Chris needs someone to accompany him drinks” balasnya sambil melihat handphonenya dengan muka agak ditekuk.

Sekarang gmn ya perasaan si Kim setelah gak ada lagi Chris yg ngajakin ngedrink bareng. Hiks..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd