Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
Bimabet
kereennn.. ga ada abis2 nya bilang keren k karya om rb ini.. ceritanya penuh passion, dan yg paling bikin merinding gimana cerita bisa bikin kita buat tetep semangat chase on our dream!!
 
Edun.....
Kebawa emosi gue.....
Proud of them berhasil menaklukan Jepang, Stefan yang gagah perkasa saja sampe kesentil emosinya
Akhirnya ngak cuma Arya yg berhasil ngejajah Jepang tapi juga Hantaman....
 
MDT SEASON 1 - PART 41

----------------------------

fuji-r10.jpg

"Gimana ntar malem?" tanya Stefan.

"Jadi, di kamarnya aja katanya" jawabku. Kyou-Kun mengundang aku dan teman-temanku untuk minum hari Sabtu malam, setelah kami menonton Soundgarden dan dia tampil bersama Shuya Okino. Jangan repot-repot juga beli minuman katanya, banyak minuman tersedia dan silahkan mabuk sampai pagi, katanya. Mungkin Sena, Anin dan Stefan yang akan mabuk. Aku hanya akan menemani saja.

Malam itu, sesaat sebelum Soundgarden tampil, aku, Sena, Anin dan Stefan sedang nangkring di depan railing pembatas antara panggung Green Stage dengan area penonton. Kami tentu saja ingin melihat Soundgarden dari dekat. Mereka baru akan tampil 45 menit lagi, dan area penonton sudah mulai dipenuhi manusia, dan air.

Hujan rintik-rintik membasahi Naeba. Kami berempat memakai jas hujan warna-warni yang disediakan oleh panitia. Dengan tolol, seperti anak sehabis pulang sekolah, kami menunggu kemunculan empat dewa rock yang menamai diri mereka Soundgarden di panggung utama. Hari ini kami banyak menonton kesana kemari, dan Ai sendiri sudah kecapaian dan istirahat di kamar hotel. Bagas? Jangan harap dia suka nonton konser. Dia adalah musisi yang tidak suka mendengar musik, setahuku.

"Untung gue dah pipis" celetuk Anin.
"Gue gak minum apapun dari siang" balas Stefan.
"Sama" balasku dan Sena bersamaan.

"Tapi gue gatel pengen ngerokok, kalo ke smoking area bentar, bisa balik lagi gak ya gue?" tanya Stefan.

"Gak bisa" jawab kami bertiga dengan tegas. Stefan menurut dan kami terlihat seperti empat ekor monyet tolol yang bersandar di railing. Tidak cuma kami, ada banyak orang lainnya juga yang berselimutkan jas hujan warna warni memadati area Green Stage. Mereka semua sama seperti kami, menyukai Soundgarden. Mencintai mereka. Memuja mereka.

"Gak sabar" celetuk Stefan.
"Sama dong" balasku.
"Bangsat 40 menit lagi nih" Anin melihat jam tangannya.

"I'm gonna break my rusty cage and run!!!!" teriak Stefan mendadak sambil bergoyang-goyang di railing. Kami tertawa. Dalam hati aku berharap Soundgarden akan membawakan lagu itu. Itu lagu favoritku dari mereka. Panggung terlihat gelap. Lampu penerangan hanya menyorot ke area penonton untuk memudahkan manuver massa.

Masih teringat kejadian kemarin. Jempol Chris Cornell. Ke arah kami. Gila. Dan perkataan Kim Thayil. Kita teman. Gila juga. Aku menggelengkan kepala dengan tak sabar. Waktu terasa begitu pelan, lambat, dan mengesalkan. Aku tidak sabar bergoyang dan mengacungkan tinju di udara, mendengarkan empat orang dewa asal Seattle itu untuk pertama kalinya secara langsung. Aku menghirup udara bersih Naeba, dan menatap muka teman-temanku.

"Siap kan kalian?"
"Gue udah siap dari lahir" seru Stefan.
"Rasanya kayak mau naek jet coaster bang" Sena tampak sumringah.

Anin tampak berkomat-kamit sendiri sambil menutup mata.

"Berdoa apaan sih?" tanya Stefan usil.
"Mudah-mudahan gue masih dikasih umur buat nonton Pearl Jam sama Alice in Chains" ucapnya dengan syahdu.
"Gue jadi inget pas kita nonton Metallica bareng itu" sahutku.
"Oh iya, yang si Stefan hampir berantem karena nendang kepala orang itu ya?" tawa Anin.

"Kan namanya juga moshing, ******!" bentak Stefan kesal.
"Gak sampe nendang kepala juga kali" bantah Anin.
"Orang itu aja yang katro"
"Ah elu mah gak dimana juga pasti berantem"
"Kagak, disini aman-aman aja"
"Kok gue curiga tar malem pas mabok lo bakal gelut ama kakak iparnya si Arya" Anin memikirkan yang tidak-tidak.

"Kakak ipar dari manaaaa juga" tawaku.
"Tapi mau kan?" tanya Sena.
"Mau kok" senyumku.
"Kapan?"
"Kagak sekarang lah.... Masih panjang perjalanan" jawabku diplomatis.

"Gimana bisa Bang, kan ketemu aja susah" celetuk Sena asal.
"Diem lu! Gue tonjok kalo kebanyakan ngomong!" bentak Stefan yang melihat perubahan air mukaku dari tenang jadi mengkerut.

Benar juga, kapan ketemunya lagi setelah kami pulang dari Jepang? Tapi tak apa lah... Kita coba jalani dulu.

----------------------------

soundg10.jpg

"Minna-San, Konbanwa. Kyou-wa, Rokku Lejen... Saun Garuden, Jikko suru yotei desu !!!"

Anjing. Suara penonton sudah mulai sangat ramai. Kami nangkring di depan, berdesak-desakan dengan massa. Nafas kami berempat berat, dengan rintik hujan pelan yang membasahi Naeba malam itu. Panggung masih gelap.

Mendadak ada suara-suara aneh dari Speaker. Seperti suara suara manusia yang bicara tapi tak jelas. Terlihat bayangan beberapa pria bergerak di panggung, tapi tidak jelas. Tapi perasaan kami berkata kalau itu mereka.

"Chris!!!!!" teriak Stefan sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Bulu kuduk kami semua berdiri. Nafas kami terasa berat, sebagai satu kesatuan masa yang jumlahnya sepertinya puluhan ribu ini. Dan kami sangat beruntung bisa ada di paling depan. Ini mengerikan.

Terlihat lampu sorot mulai menyala, yang diikuti oleh suara riuh rendah dari penonton. Lautan manusia. Dan kami bagian dari lautan itu. Lampu sorot-lampu sorot itu bergerak liar, menjelajah panggung, dan lantas semua mengarah ke satu titik di tengah panggung. Tepat di depan Microphone.

"WAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!
!!!" teriakan penonton begitu keras, menjadi satu dalam lautan manusia.

Mendadak pria gondrong berkumis, yang berusia 50-an tahun maju dengan menenteng gitar di badannya. Dia menatap lautan manusia yang makin histeris, dan tersenyum.

304910.jpg


"Konbanwa, Naeba" ucapnya dengan penuh percaya diri.
"OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!!!!!!!!!!!!!!!!!" jawab penonton dengan aura mengerikan. Puluhan ribu manusia!!!

"Our last show in Japan was in 94" Chris Cornell menarik nafasnya dalam-dalam. Dia terlihat gagah dengan kaus lengan panjang hitamnya dan celana jeans. Mereka memang sempat bubar di tahun 97, dan kembali aktif lagi di tahun 2010.

"We've Been Away for Too Long"

Damn!


You can’t go home, no I swear you never can
You can walk a million miles and get nowhere
I got no where to go and it seems I came back
Just filling in the lines for the holes, and the cracks

Hey, no one knows me
No one saves me
No one loves or hates me
I’ve been away for too long

This place has a sṗecial kind of falling apart
Like they put the whole thing together in the dark
No one knows where the edge of the knife is
And no one knows where intelligent life is

Hey, no one knows me
No one saves me
No one loves or hates me
Going straight

I only ever really wanted a break
I’ve been away for too long
No I never really wanted to stay
I’ve been away for too long
I’ve been away for too long
I’ve been away for too long
Keyholes, trough key holes
Where those
I am still hiding
Everyone inside
Tank girls and fly guns and silver boots on my way home

Going straight
I only ever really wanted a break
I’ve been away for too long
No I never really wanted to stay
Going straight
I only ever really wanted a break
I’ve been away for too long
No I never really wanted to stay
I’ve been away for too long


Membius!! Kami jadi satu dengan puluhan ribu manusia lainnya disini, dibawah rintik hujan yang luar biasa di Naeba. Soundgarden!!! Suara-suara bising dari panggung terdengar seperti nyanyian malaikat, genderang perang yang ditabuh dan suara surgawi yang membius. Gila. Baru lagu pertama tapi kami sudah terlena.

"Nin?" tanya Stefan mendadak.
"Kenapa?" tanyaku sambil terus-terusan menggoyangkan kakiku.
"Bang Anin nangis cuy" celetuk Sena.

"Gila" Anin menatap ke arah panggung dengan mata berkaca-kaca. "GUE HIDUP UNTUK INI!!!" teriak Anin sambil melihat empat dewa Rock, Chris Cornell, Kim Thayil, Ben Shepherd dan Matt Cameron menggoyang Naeba dengan musik cadas nan anggun mereka.

"Mampus sih emang" bisikku ke mereka.

"Good Evening, We are Soundgarden" teriak Chris Cornell di microphone, yang disambut oleh teriakan lautan manusia yang histeris. "My name is Chris Cornell and You people are awesome... We've been seeing so many cool acts here in Fuji Rock Festival.... From Japan, Nepal, Singapore, Indonesia... You guys rock!!"

"Indonesia.. Disebut men!!!" teriak Stefan. "CHRIS!!! CHRISS!!!!" teriaknya ke arah panggung, yang sudah pasti tak terdengar karena ditelan oleh suara gemuruh massa. Dan tanpa ba-bi-bu lagu selanjutnya sudah dimulai.


"Wih, Taree...... " Anin terbius. Kami semua terbius. Suara vokal miris Chris Cornell, sayatan gitar Kim Thayil, dentuman bass Ben Shepherd dan gebukan indah dari Matt Cameron membuai kami semua. Lautan manusia bergoyang serentak mengikuti musik yang membius. Kami ingin berada disini selamanya.

"Fan" bisikku.
"Ya?" matanya menatap Chris Cornell erat-erat.
"Main gitar dong kayak Chris Cornell, kan dia pahlawan elo"
"Ga mau, capek"
“Tapi ntar di Tokyo mau kan, selagu doang” pintaku.
“Iya kan udah latihan, diem sekarang, gue lagi ngeliat mereka!!” tunjuk Stefan ke Soundgarden yang sedang melagukan sabdanya di panggung.

images11.jpg

Kami terlalu fokus melihat dewa-dewa dari Olympus turun menemui rakyat jelata seperti kami. Lagu demi lagu kami lalui, melihat liukan dan gemuruh jejak dewa. Melihat para begawan dan peletak dasar imajinasi bermusik kami menjadi nyata di atas panggung. Menggila.

Sudah berapa lagu lewat, kami tetap terbius oleh semua bebunyian malam itu.


“Wow… Slaves and Bulldozers….” bisikku ke diriku sendiri, menikmati kegilaan musik rock yang bergema di tengah pegunungan Naeba. Merobek alam dan menantang cahaya bulan. Rintik hujan sudah berhenti, tapi suasana masih tetap syahdu, mengiringi teriakan Chris Cornell.

Ben Shepherd terlihat gagah sekali, dalam balutan jaket kulit dan t-shirt yang menutupi badan besar dan buncitnya itu. Liukan permainan bassnya tetap kalem, walau dirinya selalu bergerak asal-asalan di panggung, tidak peduli keadaan sekitarnya.

benshe10.jpg

Every word I said is what I mean
Every word I said is what I mean
Everything I gave is what I need
Virgin eyes and dirty looks
On what I have and why I took
Counting all the hands I shook
Now I know why you've been shaking
Now I know why you've been shaking
So bleed your heart out
There's no more rides for free
Bleed your heart out
I said what's in it for me
Everything I've held is what I've freed
Everything I've held is what I've freed
Everything I've shown is what I feel
Burying lies and stealing jokes
And laughing every time I choke
Biding all the time you took
Now I know why you've been taken
Now I know why you've been taken
So bleed your heart out
There's no more rides for free
Bleed your heart out
I said what's in it for me


Kenapa ada musik seindah ini? Gemuruhnya terdengar begitu kuat di hatiku. Tenggelam dalam bebunyian yang menjadikan kami semua satu. Semua manusia di Green Stage, bercampur, larut, menjadikan kami satu kesatuan manusia yang hanyut dalam irama-irama kemarahan yang terdengar lantang di panggung. Suara bising gitar dari Kim Thayil dan Chris Cornell bersatu, memabukkan puluhan ribu manusia yang memadati area itu.

kim-th10.png

Bising penuh agresi, dalam balutan lagu yang bertempo pelan. Matt Cameron pun sungguh gagah, suara gebukan drumnya benar-benar indah dan stabil. Seakan menuntunmu menuju jurang untuk terbang, melayang, menggila bersama suara-suara indah musik rock. Musik rock yang paripurna, jujur, tanpa bermaksud menggurui.

Lighting panggung pun ikut mengatur mood, untuk menjadikan suasana semakin syahdu dan menggetarkan hati.

“Chris Cornell ngapain tuh?” tanya Stefan, melihat Chris seperti akan membanting gitarnya.
“Ga tau, gila aja kalo banting-banting gitar” tawaku.

Chris Cornell tampak tenggelam dalam emosinya sendiri, dia memainkan gitarnya begitu liar, tidak peduli dengan keadaan sekitar. Dia mencabiknya sepenuh hati, sampai lagu selesai dan menyisakan bising. Dia menarik senar gitarnya dengan penuh perasaan dan lantas gitar itu jatuh kebawah, menyisakan senar-senar yang putus di tangannya. Dia lantas tersenyum kepada kami semua dan lampu mendadak mati. Suara penonton terdengar membahana secara tiba-tiba.

“Woh, gak kerasa udah setengah main” bisik Anin. Tak lama kemudian lampu sorot kembali menyorot ke arah Chris Cornell.

“You are awesome. You are our reason. Our reason to exist”
“WAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA” teriak lautan manusia, menjadi bagian dari dialog bersama Chris Cornell, seorang dewa.

“You know, Johnny Cash… He’s our hero… One of our reason in music” bisiknya ke microphone. Seorang kru memberikannya gitar baru. “And that’s why it’s such an honour when he decided to cover this song”

Mendadak raungan dua gitar terdengar di panggung. RUSTY CAGE!!!


You wired me awake
And hit me with a hand of broken nails
You tied my lead and pulled my chain
To watch my blood begin to boil
But I'm gonna break
I'm gonna break my
I'm gonna break my rusty cage and run
Too cold to start a fire
I'm burning diesel burning dinosaur bones
I'll take the river down to still water
And ride a pack of dogs
I'm gonna break
I'm gonna break my
I'm gonna break my rusty cage and run
Hits like a Phillips head
Into my brain
It's gonna be too dark
To sleep again
Cutting my teeth on bars
And rusty chains, I'm gonna break my
Rusty cage and run
When the forest burns
Along the road
Like God's eyes
In my headlights
When the dogs are looking
For their bones
And it's raining icepicks
On your steel shawl
I'm gonna break
I'm gonna break my
I'm gonna break my rusty cage and run


Ini lagu favoritku, dari Soundgarden. Benar-benar gila. Aku hanya bisa tertegun mendengar lagu ini dimainkan langsung di depanku. Aku menggoyangkan kepalaku sesuai irama, terbius dalam lengkingan suara Chris Cornell, beratnya gitar, dan bagaimana disiplinnya Ben Shepherd dan Matt Cameron menjaga ketukan di lagu yang kompleks ini.

“I'm gonna break my rusty cage………. I’M GONNA RUUUUUUN!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” teriak Chris Cornell dengan gagahnya. Aku terbius, mengacungkan tinjuku ke udara. Dan ikut berteriak bersamanya.

Malam yang sempurna.

----------------------------

shutte10.jpg

Aku duduk di dalam shower, mengingat semua momen gila ini. Mulai dari bertemu Kim Thayil – Manggung ditonton oleh Soundgarden – dan menonton Soundgarden. Mengerikan, mereka semua sudah muncul di depan mataku. Masih kuingat bagaimana ketenangan Matt Cameron, keteduhan Kim Thayil, liarnya Ben Shepherd dan suara lengkingan Chris Cornell.

Soundgarden menutup konser mereka di Fuji Rock Festival dengan salah satu lagu terbaru mereka yang menyejukkan hari, Live to Rise dari soundtrack film Avengers.


Bisa dibilang agak cocok, karena lagu ini membuat suasana menjadi tenang kembali setelah kami semua disiram oleh rock yang penuh kemarahan dengan tensi tinggi. Sebuah lagu yang fresh dan memiliki refrain yang kalem, seperti menyuruh kami untuk beristirahat setelah konser.

Aku menutup mata dan membiarkan air hangat membilas sabun dari badanku, melemaskan badanku dan membiarkan diriku menikmati perasaan lelah dalam tiga hari ini. Aku mematikan airnya saat badanku sudah bersih. Terdengar ketukan pelan di pintu kamar mandi.

“Mas, udah jam 12 malem, gak kemaleman emang?” tanya Ai dari luar.
“Mereka juga pasti abis beres manggung!” teriakku dari dalam.
“Yowes…”

Aku berpakaian dengan santai, T-shirt dan celana pendek, lantas kemudian keluar dan mendapati adikku pun sudah siap untuk pergi ke kamar Kyou-Kun.

“Jadi itungannya dia kakak iparku juga dong” senyum Ai dengan manisnya.
“Pinter” aku mengacak rambutnya dan mulai membuka pintu keluar sehabis merasa siap.

Aku lantas mengetuk pintu kamar teman-temanku satu per satu. Kami berkumpul di koridor. Ilham, Sena, Stefan, Anin, Zee dan bahkan Chiaki sudah siap menuju kamar Kyou-Kun yang berada di lain lantai.

“Are you sure it’s okay join you guys?” tanya Chiaki ragu.
“Sure” jawabku pelan sambil mulai memimpin mereka berjalan.

“Zee minum?” tanya Anin dengan annoyingnya. Aku dan adikku bertukar pandang dan tersenyum geli.
“Of course” jawab Zee.
“Ah dia mah” tawa Ilham dari belakang, masih setia membawa kameranya kemana-mana.

“Gue masih gak percaya tadi” Stefan mendadak mengingatkan kami akan keagungan Soundgarden.
“Sama, kayak mimpi” jawabku.
“Itulah, gila ya, bisa ketemu mereka walau cuma nonton” sahut Anin.
“Lu sama si Arya ngobrol sama Kim Thayil, bego!!” teriak Stefan sambil menendang pantat Anin. Kami semua tertawa melihatnya.

Tak berapa lama kemudian kami sudah ada di depan kamar Kyou-Kun. Aku mengetuk pintu dengan percaya diri, dan pintu terbuka perlahan.

“AYA!!! Please come!!” sapanya dengan senang.
“Pfft… Aya…” tawa Stefan dari belakang.
“Manis banget ya” ledek Sena.
“kampret….” bisikku pelan, disambut senyum geli teman-temanku.

“Shuya!! Boku no Indonesia no Tomodachi!!” teriak Kyou-Kun. Dan kami pun kaget. Seorang Jepang berambut gondrong rapih, dengan setelan santai dan brewok yang anggun menyapa kami.

“Yosh…” dia melambaikan tangannya ke kami, sambil meminum sekaleng bir.

“Ya, itu kan….” bisik Anin.

“Iya gue tau” aku melongo. Shuya Okino. DJ, Producer, dan musisi yang sangat berpengaruh di dunia Acid Jazz Jepang. Memang Kyou-Kun habis tampil bersamanya. Tapi kukira dia tidak akan mengajak Shuya Okino untuk minum-minum di kamarnya.

shuyao10.jpg

Shuya, Kore wa, Imoto no Koibito!!” Kyou-Kun mendadak menarik bahuku dan memelukku, memberitahukan kepadanya kalau aku pacar adiknya.

“Ah Jya.. Mae ni itta” Shuya Okino tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arahku, memberitahukan kepadaku kalau tadi memang Kyou-Kun sudah bercerita padanya.

“Ah, Arya, dozo yoroshiku…….” salamku.
“Okino Shuya… Boku ni Shuya o yobu… yosh…” Oke… dia minta dipanggil ‘Shuya’ saja.

Anin lalu lagi-lagi maju dan memperkenalkan dirinya dengan Bahasa Jepang yang sangat lancar ke Shuya Okino, dan mereka langsung mengobrol panjang. Kyou-Kun lalu menarikku ke arah meja, dimana beberapa botol minuman keras dan belasan kaleng bir sudah tersusun rapih.

“Aya, I know you don’t drink… Please tell your fren, don’t ashamed. Please drink all. More better!!” dan aku mengerti.
“Guys… Abisin katanya”

Stefan tanpa ba-bi-bu langsung merangsek ke arah meja, mengajak Kyou-Kun high five dan langsung mengambil sekaleng besar bir, tanpa berkenalan terlebih dahulu. Tak sampai lama mereka semua sudah asyik dengan minuman mereka masing-masing dan mengobrol dengan bahasa yang campur-campur.

Anin sedang berfoto dengan Shuya Okino. Pasti langsung diupload ke instagram. Dari kemarin juga seperti itu, tiap ketemu musisi terkenal pasti ngajak foto bareng. Aku membuka balkon, karena asap rokok sudah mulai membumbung di kamar. Hitung saja ada berapa perokok. Kyou-Kun, Shuya, Stefan, Zee, Anin dan Sena. Lima orang.

Aku menyingkir dan meminum lemon tea kalengan yang disiapkan oleh Kyou-Kun.

Ai menyusulku dan berdiri tepat di sampingku.

“Untung aku juga gak minum” tawanya.
“Cheers” candaku sambil menyentuhkan kaleng lemon tea itu di hidungnya.
“Duh, liat tuh si Stefan” bisik Ai.

Stefan tampak sedang intens mengobrol dengan Chiaki, entah kenapa charmnya keluar. Aku sudah berpuluh-puluh kali melihat Stefan mencoba menarik perhatian perempuan. Dia memang asal, dan kasar. Tapi lihatlah dia. Selalu berusaha lembut dan persuasif pada perempuan yang akan jadi mangsanya. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa.

“So! This is Ai Chan, rite??” tanya Kyou-Kun yang menyusulku ke balkon.
“Yep” jawabku pelan sambil melirik ke dalam. Shuya memutar musik di laptopnya, sedangkan Anin berusaha terus mengobrol dengan Zee. Ilham duduk dan mengambil beberapa foto, sedangkan Sena sedang bingung mau meminum apa dulu, apakah bir, sake atau whisky.

“I’m Kyoko brother”
“I’m Arya’s sister” mereka berdua bersalaman dengan lucunya. Mereka lantas mengobrol, berkenalan, layaknya perkenalan anggota keluarga baru.

Aku menatap jauh ke arah gunung. Naeba. Gila. Cheers. Aku mengacungkan kaleng lemon tea ku ke langit, mengajak alam untuk bersulang atas semua kejadian gila setahun belakangan ini.

----------------------------

wing-610.jpg

“Yes yes… Aya sleep with Kyoko!! A lot!!” tawa Kyou-Kun yang sudah mabuk, disambut derai tawa Anin dan Sena. Aku tertawa melihatnya. Orang mabuk, mau diapain lagi? Shuya duduk dengan santainya, menenggak birnya sedikit demi sedikit. Ilham berdiri di balkon, entah memotret apa.

“So, mereka bilang your girlfriend orang sini, rite?” Zee mendadak menghampiriku yang sedang duduk di kasur. Dia duduk di sebelahku, dan terlalu dekat sebenarnya.
“Yes” jawabku ramah.
“Japanese are boring my friend….” bisiknya.
“Pacar gue enggak” jawabku.

“Hah… dimabuk cinta…” serunya. Mukanya merah. Gawat. Anak ini juga sudah mulai mabuk. Dia lalu bersender kepadaku. Aku menelan ludah. “I like it here tapi… No ibu shouting to me all the time!! suruh Zee pakai hijab......”

“Oh… good then… “ aku berdiri, menghindarinya, dan melihat ke sekeliling.

“His ex girlfriend, you know what??? Is a SHIT!!!!” teriak Anin dengan muka senang, sambil menunjuk ke arahku.

“Reary?” tawa Kyou-Kun.
“Yes… She.. she… aduh apa ya anjir… She…. Bang!! Bahasa Inggrisnya galak apaan sih!!” teriak Sena.
“Berisik ******!” teriak Anin.
“Yes, she’s berisik!!” teriak Sena ke Kyou-Kun.
“Hahahahaha….” Kyou-Kun tertawa saja tanpa mengerti artinya. Aku mengurut dahiku sendiri.

“Ham” aku menghampiri Ilham di luar.
“Yo?”
“Gawat nih di dalem, dah pada kacau”
“Kayaknya mesti diudahin deh, udah jam 3 juga” bisiknya.
“Liat tuh temen lo… Udah tidur-tiduran di kasur sambil pegang-pegang tetenya sendiri” aku menunjuk ke Zee.

“Kampret”

“Untung ga ada Stefan, dia liat langsung ditunggangin tuh” bisikku ke Ilham.
“Loh, bukannya Stefan tadi banget ada?” tanya Ilham.
“Loh iya? Lah, adek gue mana??” aku bingung juga karena Ai tidak ada.
“Gampang lah, adek lo kan ga mungkin mabok kan? Kita amanin dulu yang di dalem” seru Ilham sambil masuk ke kamar.

“Nin, udah yuk…” Ilham berusaha menepuk Anin, sembari berbicara ke Kyou-Kun dengan bahasa jepang yang super lancar itu.
“Oh udah? Oke….. Kanaya mana, mintain bill” jawabnya.
“Tolol ini di Jepang Bang” teriak Sena.

“Oh iya…..” Anin lalu berdiri dari duduknya di lantai, dan langsung berjalan pelan ke arah pintu. Sena lalu tos dengan Kyou-Kun dan melambai ke arah Shuya Okino. Shuya yang dari tadi diam sambil merokok hanya membalas lambaiannya dengan lemah. Tampaknya Shuya adalah tipe orang yang kalau mabuk adem ayem saja.

Aku berbisik ke Kyou-Kun.

“So, we have to rest, see you again in Mitaka soon” ucapku singkat sambil menjabat tangannya..
“Okay!! My BROTHER IN LAW!!” dia menepuk kepalaku dan aku pasrah saja.

“Ya!” teriak Ilham yang berjalan pelan, mencoba memperhatikan Sena dan Anin yang berjalan pelan juga tapi agak sempoyongan.
“Kenapa?”
“Zee tuh!”

Shit.

“Zee” tegurku ke perempuan yang sebenarnya manis itu.
“Ya”
“Pulang, ke kamar”
“You come with me?” tanyanya dengan tatapan panas, sambil memegang bagian-bagian sensitif dari badannya.

“No”

“Come lah…. I want to feel….”
“Zee insyaf Zee… Pakai Hijab seperti apa yang mama bilang!” teriak Ilham bercanda.
“Shut up!” teriak Zee balik sambil berdiri. “I’ll teach you a lesson!!” teriaknya ke Ilham.

Waduh. Mendadak Zee berjalan dan lalu bertumpu ke Ilham.

“Headache kan?” tanya Ilham meledek.
“Hmm…” Zee mendorong Ilham, menyuruhnya untuk cepat jalan.

“Okay guys!! See you again!!” aku melambaikan tangan ke dua orang Jepang yang sedang mabuk itu. Kami lantas keluar dari kamar, menuju ke lantai kami. Agak sulit membawa tiga orang mabuk. Tapi tampaknya mereka bertiga masih bisa berjalan dengan baik dan agak mendingan, kalau dibandingkan dengan Stefan ketika mabuk. But wait. Stefan kemana? Adikku kemana?

Aku membuka handphoneku dan mencoba menelpon Ai. Tidak ada nada sambung sama sekali. Sekarang Stefan. Sama, nihil. Aku mengecek whatsapp dan langsung mengirimkan pesan yang sama. “Kalian dimana?”

Tidak ada jawaban.

Oh, sudah sampai kamar Ilham. Kami dengan cepat memasukkan Zee dan menyuruhnya berbaring. Dia tampak berusaha menarik-narik tanganku ke arah kasur, tapi dia kalah kuat kalau dibandingkan dengan diriku.

“You want this?” Zee mendadak mencoba membuka T-shirtnya dan menunjukkan buah dadanya yang dibalut baju dalamnya. Shit.
“Woi udah-udah” Ilham buru-buru menarik selimut dan menutupi badannya. Zee mencoba meronta.

“Mbak tidur mbak...” teriak Sena dari arah pintu, bersender ke dinding dengan muka telernya.
“No! Saya mau sama dia...” Zee masih mencoba menarikku. Aku mengangkat tanganku dengan buru-buru, menjauh dari dirinya. Tapi tampaknya dia menurut ketika Ilham menahannya dan membisikkan sesuatu di telinganya.

“Lo bacain ayat kursi ya Ham?” tanya Anin iseng.
“Kagak... Gue bisikin tar gue bilangin ke emaknya kalo bandel” Ilham lantas menjauh dari Zee yang tampak meregangkan badannya di bawah selimut.
“Emang lo kenal emaknya?” tanyaku penasaran.
“Ga kenal, gue asal aja ngomong gitu” Ilham meringis dengan konyolnya, saat kami semua keluar dari kamarnya dan menjauh.

Jadi aman sekarang. Berikutnya kamar Anin dan Bagas.

“Bentar! Agak sepet gue kalo masuk kamar terus liat Bagas, ke kamarnya Stefan dan Sena dulu deh!” serunya, berusaha sok sadar.

“Siap” jawabku lalu menggiring mereka ke kamar Stefan dan Sena.

“Lho…” Sena bingung karena kartu aksesnya tidak berfungsi.
“Rusak?” tanya Ilham.
“Enggak Bang… Ini ada yang ngunci gembok dari dalem” serunya.
“Loh?”

Aku mencobanya dan memang benar. Handle pintu bergerak, itu artinya kartu akses kamar hotel Sena berfungsi. Tapi tak bisa di dorong. Artinya gembok di dalam kamar digunakan.

“Stefan dah di dalem dong?” tanyaku.
“Harusnya” jawab Ilham.
“Kayaknya ngewe” sahut Anin asal, sok sadar.

“Ga kedengeran suaranya tapi” Sena juga berusaha sok sadar.
“Iya lah hotel bagus” jawabku.
“Wih pasti ngewe dia mah” Anin bersikeras.
“Ah…. Sial, sama siapa tapi?” tanya Sena.
“Gak tau…..” jawab Anin, mendadak menatapku tajam.
“Apaan liat-liat gue?” aku bingung.

“Ya, sama adek lo kali?”
“Ga mungkin!!” jawabku.
“Masa ga mungkin?” tanya Anin lagi.

“Sama Chiaki kali……” aku berkesimpulan sendiri.
“Ya kaliiii” jawab Anin.

“Chiaki apa Ai nih? Kalo Ai gue loncat dah dari balkon” sahut Sena yang duduk di karpet koridor.

“Iya, Chiaki apa Ai? Lagian, Ai kan kemana-mana pasti laporan dulu lah sama kakaknya…. Nah sekarang ga lapor, tau-tau ilang, ga bisa ditelponin, udah pasti lah dia sama Stefan menemukan cinta di Jepang kali, iri sama elo” lanjut Anin panjang, meracau.

“Duh, bukannya gue gak rela, tapi ya….” aku mendadak panik.
“Kok panik gitu coy… beneran incest dong elo kalo gitu….” Anin bingung melihatku.
“Bukan panik… Tapi masa sih??”

“Bukan ga mungkin….. Stefan kan suka galak ama Ai, nah pas mabok dia jadi lembut kali, emang lo tadi liat mereka gimana?” tanya Anin.
“Engga… Gue sibuk di balkon, ngobrol ama Ilham, merhatiin lo betiga ama Kyou-Kun kocak banget, gue jujur ga merhatiin Stefan, Chiaki, ama Ai…” aku makin gelisah.

“Stefan, sama Ai, face it…” bisik Anin.
“Cek dulu di kamar lo Ya” Ilham memberi ide.
“Bener”

Aku lalu bergegas ke kamarku, mengambil kartu akses dan menempelkannya ke sensor. Terbuka.

Kosong.

“Ga ada orang……..” aku berbalik dan menemukan Ilham, Sena dan Anin menatapku.
“Fix ini sih…”

----------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
MDT SEASON 1 - PART 42

----------------------------

46361710.jpg

“Bangun!!” teriak Ai di telingaku dengan cerianya.
“Hmmmhh??”

“Aku masuk kamar semalem Mas Arya udah tidur, yuk ah, sarapan dulu, udah jam 9, ntar tidur lagi, kan sore kita jalan ke Tokyo” serunya dengan senang.
“Hoaaahhmmmmmmm………… BTW, semalem kemana?” tanyaku masih penasaran.
“Loh, sori, hapeku semalem low batt, kenapa emang?”
“Gapapa, kok semalem mendadak gak ada?” tanyaku lagi.
“Oh… Yaudah, makan yuk” jawabnya yang tidak menjawab sama sekali.

Aku masih penasaran, tapi tidak baik tampaknya menanyainya langsung begitu saja.

“Masalahnya semalem kamu sama Stefan ngilang lho…”Aku bangkit, lantas memakai celana training dan jaket tracktop, lalu memakai sendal jepit.
“Iya sih” jawabnya dengan muka yang mengantuk.

“Oh…” aku merasa mukanya seperti menjawab pertanyaanku. Aku menelan ludah dan lalu berjalan keluar bersamanya untuk turun sarapan ke bawah. Di jalan aku merangkul bahunya.

“Eh, kenapa nih?” tanyanya.
“Gapapa, aku ngerti kok, kamu udah dewasa kan, cuma pesanku hati-hati aja” bisikku.
“Haaaa?” Ai tampak bingung.

Dia menghabiskan waktu di jalan ke All Day Dining dengan memandangiku dengan bengong. Duh, kenapa sih ini. Ada apa sebenarnya, apa tembak aja gitu ya, biar gak penasaran. Kami masuk ke All Day Dining, lalu aku mengambil beberapa potong roti dan sebungkus kecil selai, dan mengisi kopi di cangkir. Aku lantas duduk.

Ai lalu menghampiriku dengan sepiring salad dan jus. Dia duduk di depanku dan mulai makan. Aku masih memperhatikan gesturenya. Benarkah semalam dia dan Stefan tidur bareng?

Aku akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

“Jadi semalem, kamu sama….”

“Pagi semua!!” Stefan mendadak datang, membawa piring berisi kentang, tumpukan sayuran dan beberapa potong bacon.
“Pagi” senyum Ai sambil melihat ke arah Stefan yang duduk di sampingnya.

Wait. Kenapa mereka berdua senyum-senyum? Kenapa duduk samping-sampingan? Aku menghentikan makanku dan menatap mereka berdua dengan tajam. Kanan. Kiri. Stefan. Ai. Stefanus Giri Darmawan. Aisyah Ariadi Gunawan. Mereka berdua tampak heran dengan kelakuanku, tapi mereka diam saja, tanpa bertanya.

“Kalian….” Aku menekuk jidatku, dan mereka juga.

“Sorry for last night” Zee mendadak datang dan duduk di sebelahku.

“It’s okay… Lo mabok semalem kan?” tanyaku, dan kesal kenapa setiap aku mau bertanya ke Ai dan Stefan, ada saja yang mengganggu. Ai dan Stefan pun mendadak menghentikan makan mereka sambil melihat ke arahku dan Zee.

“Kalian?” tanya Stefan dengan seringai mesumnya.
“Enggak woi… Cuma bantuin dia jalan abis mabok kemaren malem” jawabku.
“Kirain” tawanya.
“Sorry gue bukan elu Fan…” ledekku sambil masih penasaran.

“So, we’re cool?” tanya Zee sambil menepuk punggungku.
“Uhk… Oke… Cool.. Cool” jawabku sedikit terbatuk akibat tepukannya.

Aku menarik nafas, menghabiskan rotiku dan segera menyesap kopi pagi itu. Aku menarik nafas lagi dan bermaksud untuk bertanya lagi.

“Sini, temenin gue ke minimarket deh, rokok gue abis!” seru Stefan sambil menarik tangan Ai. Ai tampak pasrah.

WTF.

Zee menatapku dengan aneh. “What’s wrong with you?” tanyanya melihat gelagatku.
“Nothing…”

----------------------------

wing-610.jpg

Kami sedang membereskan koper kami, bersiap untuk jalan ke Tokyo sore hari nanti. Kami sudah tidak kuat lagi untuk menjelajahi area Fuji Rock Festival. Terlalu luas dan terlalu letih, lagipula, Kami sudah menikmati Soundgarden kemarin malam. Pengalaman yang tidak terlupakan.

Tapi masih ada yang mengganjal.

Soal Stefan dan Ai. Bukan, bukannya apa-apa, tapi aku khawatir kalau diantara mereka malah hubungannya jadi aneh, apalagi kalau Stefan tidak berencana membawa hubungan mereka kemana-mana. Baiklah, akan kucoba untuk menanyakannya ke Ai.

“Dek....” tegurku.
“Ya mas?” tanyanya sambil melipat beberapa baju bekas pakai dan menyusunnya rapih di dalam koper.

“Soal semalem.....”
“Oh kenapa?”
“Jadi kamu sama....”

Mendadak ada ketukan di pintu. Aku menarik nafas kesal dan langsung berjalan ke pintu. Aku membukanya. Chiaki ternyata.

“Arya, there’s a guest for you...” senyumnya.
“Guest?”
“Yes, he’s waiting downstairs, at lobby.... He said that you will recognize him” senyumnya.

Aku mengrenyitkan jidatku, dan tanpa ambil pusing, langsung berlalu ke bawah, lewat lift, meninggalkan Chiaki dan Ai. Kepalaku masih bingung, soal misteri semalam.

Tak lama proses menuju lobby, setelah melewati lift dan segala tetek bengek perhotelan, aku melihat sosok itu duduk di lobby, dengan secangkir kopi di depan mukanya.

Sial.

“Hi” sapa Lars-Inge Björnson dengan senyumnya yang terlihat angkuh.
“Hi, what brings you here?” tanyaku dengan malasnya.
“Some of A.E.U.G. artists are playing here” jawabnya singkat. Memang ada beberapa penampil Jazz di acara ini.

“So? Is there a reason to meet me? You know, we’re not friend or collague” tanyaku ketus. Dia memang bukan teman atau kenalanku. Jadi aku harus tanya maksudnya apa ingin menemuiku, apalagi setelah kejadian tidak enak via skype beberapa waktu lalu, dimana dia dengan tegas meremehkan jalan bermusik yang kuambil, terutama setelah aku mencoba mengaransemen ulang tawaran dari mereka.

“How was your show?” tanyanya singkat, tanpa memedulikan pertanyaanku.
“Going well” jawabku cuek, ingin segera mengakhiri percakapan.
“People Loves Rock music” sambungnya.

“So?” tanyaku dengan bingung.
“See… Your band’s music, a lot of people like it… No, they love it… And that’s why you need to elevate” Elevate? maksudnya apa? Meningkatkan diri dalam apa?

“What’s your point?” tanyaku.
“Your band, playing here, that’s my idea” senyumnya meremehkan. “And the comitee loves the idea. They thought that your band will attract people. Because people loves angry and aggressive music. The comitee loves your band, and people loves your band”

Oke, jadi dia mengusulkan Hantaman untuk main di Fuji Rock Festival ke panitia, pasti karena kedekatan dia dan beberapa orang yang berposisi penting disini. Dan panitia menyukai Hantaman, mereka yakin Hantaman bakal ditonton orang banyak. Lalu? Apa maksudnya memuji? Atau apa?

“Please be straightforward… To the point…” aku kesal mendengarnya.

“Don’t you get it? People loves your music…. That means your band’s music is only just a selling object…. Dumb or clever, rich or poor, they could enjoy your music, because it’s just an object… But, if you join us… You will become an art… A cultural agent… loved by few, but only selected sophisticated society…. Not by commoners….” senyumnya sombong.

Aku berdiri dan menatap matanya tajam. Dia mengatai Hantaman Cuma sebagai komoditas jualan, bukan sebuah seni. Karena semua orang menyukainya, sedangkan kalau bergabung dengan A.E.U.G, tampaknya menurut dia, aku akan berkesempatan membuat sebuah karya seni yang agung, yang hanya sedikit orang terdidik yang menyukainya. Picik.

“Rubbish” jawabku sambil tertawa.
“Sorry?”
“Your head, is full of shit” ucapku.

“Ahaha… See, Your friends are happy, right? People who watched you feel happy. The Committee is happy.. And, now you can be happy to… By creating a work of art with us” senyumnya. Gila. Semurah itukah musik di luar Jazz bagi dia? Jadi maksudnya, kalau Hantaman sudah puas main di Fuji Rock, dan orang senang menontonnya, sudah, begitu saja? Dan aku bakal puas lalu meninggalkan Indonesia dan bergabung dengan A.E.U.G? Nonsense. Tolol.

“That’s not how music works… And Jazz, it’s more precious than it… So… Fuck You” aku lantas berbalik dan bersiap meninggalkan Lars.
“Typical South-East Asian…. Afraid to leave their comfort zone…” aku bisa merasakan senyuman picik Lars dari balik punggungku.

“Typical Asshole… thinks that he’s better than anyone else. Bye asshole.. I’ll make my own album…”
“Bad choice, again… Especially with skills like that and ear that good….” pujinya sambil menyesali keputusanku.
“Bye…. Hope I won’t see you again….” dan aku berjalan menjauh, meninggalkan culasnya pria kaukasian itu.

Sinting. Siapa dia menganggap Jazz “elit” seperti itu. Jazz, seperti musik lainnya, adalah suara teriakan hati manusia, yang sama bagusnya dengan jenis musik yang lain. Heran orang sepicik itu bisa menjadi CEO perusahaan rekaman yang termasuk besar di Jepang. Pasti karena pertimbangan ekonomi, seperti bisa mendongkrak penjualan album atau apalah entah.

Jazz, malah tumbuh sebagai musik pelipur lara kaum kulit hitam di Amerika sana, pada awal abad 20, karena rasisme, ketidak setaraan hak-hak sipil, dan juga depresi ekonomi. Walaupun sekarang Jazz berkembang menjadi musik yang niche dan masuk ke tempat-tempat elit, Jazz adalah musik pop pertama di dunia dan Jazz punya unsur pemberontakan yang kencang. Orang seperti Lars adalah parasit di dunia musik. Bagiku semua musik sama bagusnya. Sama berharganya dan sama indahnya. Awas. Akan kurekam sendiri album soloku dan akan kujejalkan ke mulutnya kalau aku bertemu dengannya lagi.

----------------------------

Aku harusnya diam saja. Aku tidak akan memberitahukan alasan kenapa Hantaman diundang ke Fuji Rock Festival. Aku harusnya tidak mengatakan bahwa Hantaman diundang karena Lars ingin membuktikan bahwa musik kami ‘receh’ dan bisa dengan mudahnya dibawa kemana-mana, karena banyak orang suka, jadi tidak ada harganya dan bukan merupakan karya seni agung.

Tapi Stefan, Anin, dan Sena tertawa. Bagas tidak. Ia diam saja menatapku kosong sewaktu aku cerita.

“Tolol tu bule” ledek Anin.

“Banget Bang…. Dia gimana sih mikirnya, lah kita malah untung kan main disini, dibayar juga, dibayarin hotel, di terbangin, tolol sih…. Kebanyakan jedotin pala di meja kali Bang si bule ini” Sena tertawa terbahak-bahak.

“Bangsat sih, untung lo sendirian ngobrolnya, kalo sama gue, udah pecah tuh kepala gue gebuk pake korsi” Stefan agak emosi mendengarnya, tapi dia juga berpikir malah kami yang untung dengan perjalanan kami ke Jepang sekarang.

“Kalo lo mau pecahin kepalanya, gak akan gue tahan-tahan deh kalo sekarang” tawaku.

“So… Kita makan siang dulu ya, sama Chiaki mau dibawa ke restoran lain lagi, terus ntar sore, jam 3 kita jalan ke Tokyo…. Ilham tadi bilang ama gue, kalo dia udah konfirmasi lagi ke penginapan yang di Ochanomizu, katanya dah siap, sama tiap kamar dapet portable wifi kayak bolt gitu, kan ntar pas kita pergi dari sini, simcard kita kudu dibalikin ke Chiaki…..” jelas Anin panjang lebar.

“Siap pak guruuu” sahut Sena dengan tololnya.

----------------------------
----------------------------
----------------------------

on_the10.jpg

Kami sudah berada di van lagi. Anin, Bagas dan Zee ada di kursi belakang. Lalu aku dan Ai, di belakang supir ada Stefan dan Sena. Dan Ilham di sebelah supir, mengajak supir berbincang dengan Bahasa Jepang yang sangat lancar. Membicarakan hal-hal umum, seperti berita regional Jepang dan cuaca.

Chiaki tentu saja tidak ikut. Dia sudah selesai tugasnya, dan tadi mengantarkan kami sampai parkiran setelah membantu proses check out. Dia tampak puas dengan tugasnya, dan menyalami kami dengan penuh arti. Masih kuingat senyum sumringahnya saat dia melambai ke arah mobil yang menjauh. Dia melambai tanpa henti dengan bersemangat. Dan aku berterimakasih karena dia telah menemani kami dan mengurus kami selama di Naeba Ski Resort. Dan selamat tinggal Fuji Rock Festival, Tiga hari dua malam yang gila dan bersejarah untuk kami.

Tapi tetap saja. Misteri Stefan-Ai semalam belum terpecahkan.

Ai tertidur di sebelahku, dengan mukanya yang polos dan terlihat bodoh itu. Mulutnya menganga dengan tololnya. Isi mobil semuanya tewas. Bahkan Anin mengorok di belakang. Zee juga tewas. Bagas tidak. Matanya menatap depan dengan lurus, bagai sedang berkonsentrasi penuh, entah apa yang ada di dalam kepalanya yang penuh misteri itu.

Mataku pun menyipit, perjalanan ke Tokyo ini membuatku ngantuk, dan tidak ada distraksi dari smartphone, karena simcard kami sudah dikembalikan ke Chiaki. Jadi aku tidak bisa mengobrol dengan Kyoko untuk sementara, sebelum bertemu dengan modem wifi portable di penginapan.

Aku mencoba menutup mataku, agar kami semakin cepat sampai di Tokyo. Mendadak kudengar pembicaraan Stefan dan Sena yang sayup-sayup.

“Emang gak papa gitu Bang?” tanya Sena sambil berbisik ke Stefan.
“Santai aja…. Paling si Arya doang yang sewot….”
“Jadi semalem parah banget ya Bang?” tanya Sena.
“Wah enak banget, apalagi kan anaknya badannya tipis, jadi enak dibolak-balik….”

WTF.

“Gitu ya?”
“Kulitnya enak banget megangnya, putih banget.. hahaha” bisik Stefan. Mungkin dia pikir semua orang sudah tidur, kecuali Ilham dan supir. Aku lantas melirik ke adikku yang bisa dibilang langsing dan berkulit putih itu. Aku menelan ludah. Sialan. Kok disombong-sombongin sih, jadi pengen marah rasanya. Tapi jangan sekarang Ya, dengerin dulu, ntar lo bisa nasihatin Stefan. Panas boleh tapi jangan emosi gak terarah gitu dong.

“Gue sejak pertama ketemu juga penasaran sih Bang….” bisik Sena. Sialan. Ngomongin adek temen kok begitu?
“Sama, makanya kemaren gue hajar aja, duh gila, akhirnya kesampean juga sih setelah sekian lama….. Gue entotin sampe abis….” bisiknya pelan.
“Ada video kan?”
“Ada dong….”

Anjing. Jangan divideoin juga dong. Sialan. Awas lo Fan. Kalo di rest area awas lho.

“Ham! Rest Area yang paling deket mana ya? Gue mau pipis!” teriakku mendadak, yang membangunkan beberapa orang, termasuk Ai. Stefan mendadak diam.

“Bentar gue tanya… Ano, Chikaku no Resutoeria… soko ni iku koto ga dekimasuka?” tanya Ilham ke Supir, menanyakan rest area terdekat dan apakah kita bisa berhenti disana.
“Ah… Hai.. Hai… Chotto ne, Chikaku ni arimasu…” jawabnya, mengindikasikan ada rest area yang dekat.

trip-310.jpg

Tak lama kemudian mobil melambat, mendekat ke sebuah rest area besar sore itu. Setelah mobil van parkir, kami semua turun, dan beberapa orang meregangkan badan dan beranjak ke toilet. Tim perokok, Zee, Anin, Stefan dan Sena malah lebih dulu mencari smoking area.

Aku meraih lengan Stefan.

“Eh, kenapa Ya?” bingungnya.
“Ikut gue bentar, gue mau ngobrol” tanyaku sambil menahan emosi.
“Lho…” Stefan kaget karena aku menarik tangannya ke ujung yang berlainan dengan smoking area. Tepatnya di taman sepi, yang ada area bermain anaknya.

Stefan dengan tololnya duduk di ayunan, melihat diriku yang tampak serius, menatapnya dengan tajam.

“Apaan nih, mau nembak?” tanyanya dengan seringai khasnya.
“Gini Fan… Gue gak masalah lo ada apa-apa sama dia.. Tapi please… Jangan lo umbar-umbar gitu, terserah mau lo pacarin kek, mau kalian Cuma fling doang, mau kalian Cuma one night stand doang, tapi lo hormatin dia dong, ga usah lo sombong-sombongin gitu…. “ marahku dengan muka yang agak panas.

“hah…” Stefan bingung.
“Udah lah Fan, gue tau kalian ngapain semalem…”
“Lo kenapa men? Kangen ngegele ya?” tanyanya bingung.
“Fan udah dong, jangan becanda terus… Gue nahan marah nih dari tadi, pas lo ngomongin Ai begitu begitu gimana di mobil…. Ayolah man…” marahku.

“Ai?”
“Ayolah, jangan dikira gue gak denger Fan!” bentakku.
“Ai?” mukanya makin bingung.

“Tadi di mobil sama Sena ngomongin Ai kan?!”

“WAHAHAHAAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAAAAAAAAAAAAA” tawanya tolol. Dia lantas mengeluarkan rokok dan langsung membakarnya.

“Kok ketawa?”
“Bentar lo liat deh ini….” dia mengeluarkan handphonenya dari saku.
“Hah….” gantian aku yang bengong, melihat foto Chiaki yang berbaring bugil, tidur di atas kasur kamar hotel.

“Jadi….” gantian aku yang bengong.
“Gue bukan sama adek lu, bego!! Lo cemburu ya kalo gue sama adek lo??” tawanya puas.
“Bukan anjing, kakak mana yang rela adeknya diomongin kayak gitu” kesalku.
“Hahaha tolol!!”

“Sialan….” kesalku.

“Ya, gini deh, lo kenal gue kan, gue ada dua peraturan gak tertulis di hidup gue…. Yang pertama, gue akan berusaha semaksimal mungkin untuk gak nidurin temen sendiri… Makanya Cheryl, Kanaya, dan Ai, karena gue udah anggep temen, maka gue gak akan berusaha tidur ama mereka… Kalo gue ngomong mau ngapa-ngapain ama mereka itu Cuma becanda aja…..” dia menghisap rokoknya dalam-dalam di sore musim panas yang teduh itu.

“Terus…. Yang kedua, kalo gue terpaksa harus nidurin temen gue sendiri, itu artinya gue ada apa-apa sama mereka, udah bukan sekedar temen lagi… Ngerti? Dan kalo udah kayak gitu, ga akan gue sombong-sombongin… Masa kasih liat foto bugil pacar sendiri?” tawanya.
“Ngerti!” bentakku dengan kesal.

“Sewot amat sih, oh ya satu lagi, ketiga berarti ya… Gue gak akan nidurin pacar atau mantannya temen gue… Makanya gue gak mau sama Karina, bahkan Kanaya sekalipun karena bekas elo… Ngarti? Kan ini pacar incest lo… Jadi ya gak gue tidurin lah say…” tawanya sambil merokok.
“****** ah…”
“Malu ya Mas Achmad?” tanya Stefan nakal.
“Udah ah…”

“BTW mau liat videonya yang semalem??” dia tampak mengutak-ngatik handphonenya.
“Gak mau!”
“Tuh kan bener gue bilang, lo doang yang sewot” tawanya.
“Tai”
“Mulus lho Ya, dan emang enak ya memek Jepang tuh ya? Tos dulu dong, sama kita” tawanya.
“Tai”

“Ah… Sumimasen… Tabako o suwanaide kudasaiiiiiii” mendadak seorang satpam datang, sambil membawa asbak dan dengan ramah dia menyodorkannya ke Stefan, dengan gesture meminta Stefan mematikan rokoknya.
“Ngomong apa dia Ya?”
“Jangan ngerokok disini katanya” tawaku.
“Ah iya lupa… Kirain Jakarta”

“Tolol”

----------------------------

ochano10.jpg

Ochanomizu. Kamar penginapan yang homy. Ai sedang menata isi koper agar mudah mengambilnya kalau akan bepergian besok. Aku duduk di lantai kayu, saling berkirim pesan dengan Kyoko. Tak sabar besok, sangat tidak sabar rasanya. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Masih ada 14 jam lagi menuju pertemuanku dengan Kyoko.

Kami menginap di penginapan yang kamarnya seperti kamar-kamar apartemen kecil, dengan tempat tidur di atas futon. Area futon sendiri beralaskan tatami, sangat cozy. Aku tentu, sekamar lagi dengan Ai.

airbnb10.jpg

“Enak ya rumah orang Jepang”
“Ini kamar sewaan dek…..” jawabku sambil terus mengobrol dengan Kyoko di handphoneku.
“Haha, udah ga fokus dia…” Ai selesai menata koper dan lalu melempar dirinya ke atas futon.

“Haha, keliatan ya?” tanyaku.
“Banget”

“Ya, buka dong” ketukan dan suara manusia terdengar di pintuku. Aku bangkit dan membukanya. Stefan.
“Masuk”

Stefan masuk, dan duduk di lantai kayu, sambil melihat ke arah Ai yang sedang tidur-tiduran.

“Buset, baru aja masuk Ya, udah siap lagi kalian?” candanya.
“Siap apaan?” tanyaku.
“Ngincest.. Tuh pacar lo dah siap” tunjuk Stefan ke Ai yang sedang berbaring santai di atas futon.
“Berisik ah si mesum”

“Kakak lo nyangkain gue kemaren malem tidur sama elo… Hahahaha” tawa Stefan mendadak.
“Hah?” Ai bangkit, kaget sambil menatap mataku.
“Ah tai ah, udah Fan…” ujarku malu.

“Ceritain gih biar dia ga parno” tawa Stefan.
“Aduh Mas… kemaren malem itu… Sadar kan kalo minuman non alkohol mereka abis?”
“Enggak”
“Situ sibuk ngobrol ama Ilham sih, sama merhatiin Anin sama Kakak Ipar kayak orang bego gitu” tawa Ai.

“Terus?” bingungku.
“Ya aku pikir, aku mau beli dulu, lagian stok snack juga menipis, yaudah deh aku minta tolong Chiaki buat minjem supir…. Untungnya malem-malem ada yang standby…. Soalnya banyak yang mondar-mandir ke minimarket, kan jauh juga jaraknya dari hotel…..”

“Terus?”
“Stefan mendadak ikut pas aku sama Chiaki pergi…. Terus….. Aku dianterin sampe ketemu supir, terus mereka balik lagi ke atas….” cerita Ai panjang.
“Kok gak bisa ditelpon?”
“Batre lowbatt, mati henponku udah dari di kamar tempat minum-minum itu….”
“Kok baliknya lama?”
“Ya sopirnya ga bisa bahasa inggris, jadi muter-muter ga jelas di kota….. Bingung aku… Untung akhirnya ketemu juga minimarket yang biasa itu……” Ai cemberut sambil memasang muka memelas. Aku menggeleng-gelengkan kepala, sambil melihat sinis ke arah Stefan.

“Ehehehe ehe hehe” tawa Stefan mengesalkan.
“Tai ah…. Ini pasti jadi bahan ketawaan anak-anak nih… Yakin gue” kesalku.

“Dijamin, liat aja ntar malem pas makan malem…” tawa Stefan.

“Si Ilham ikut ya?” tanyaku.
“Iya kata Anin, si Zee sih dah balik, lagian si Ilham bela-belain banget dia empat hari ini nemenin kita” jawab Stefan.
“Lo tumben liat si Zee ga jelalatan Fan?” tanyaku.

“Lucu sih, manis banget Arab Melayu gitu, kulitnya coklat lagi, mana badannya kecil-kecil kenceng gitu” sahut Stefan.
“Makanya tumben lo gak jelalatan”
“Jangan lah, kasian Anin, kan udah gue bilang ke elo…. Soal jangan ngembat pacar temen… Dan itu berlaku buat mantan dan kecengan juga loh” tawa Stefan.
“Tumben bener” celetuk Ai yang sudah tidur-tiduran lagi.

“Komentar aja sih” sahut Stefan.
“Biarin”
“Bi~a~rin..” Stefan meniru Ai. Mendadak bantal terbang ke kepala Stefan dan telak kena kepalanya.

----------------------------

“Enjoy the dinner – makan malam - , Aya :3” pesan line dari Kyoko membuatku tersenyum di restoran beef bowl yang terkenal itu. Yoshinoya. Kami semua makan berjejer, di counter. Bedanya dengan Yoshinoya di Indonesia banyak. Porsinya lebih beragam, jual bir dan sake, ada menu babi, dan buka 24 jam.

Ilham tampak mem-brief kami untuk besok dan selasa.

“So… Besok jam 10 gue dateng ke penginapan kalian, terus kita ke Meidai Dori, liat-liat gitar, terus kita ke Akihabara, nah, abis itu misah deh silakan, kan tadi katanya Ai mau ke Harajuku, yang mau ikut Ai siapa?” tanyanya.
“Gue, sama Kyoko pasti bareng Ai” jawabku.
“Gue juga deh, di Akihabara kelamaan tar ketularan Anin” jawab Stefan.

“Gue ama Bang Anin aja” jawab Sena.
“Bagas?” tanya Ilham.
“Gue tidur aja. Selasa malam kan kita manggung” jawabnya dingin sambil melihat ke layar handphone, sambil makan.
“Ehm… Oke, nah selasa siang, jam dua check sound ya di Gravity Shinjuku, kalian pasti seneng kenalan sama owner barnya, ajaib orangnya…. Manggungnya jam 8 malem yak…”

“Rebo ?” tanya Anin.

“Gue sih mau ke Mitaka” jawabku.
“Kalo gitu gue ke Musium Ghiblinya” senyum Anin.
“Yaudah rebo semua ke Mitaka boleh” Ilham menyimpulkan.

“Kemisnya gue mau ke musium Bandai, sama gundam front, cukup gak waktunya?” tanya Anin.
“Ga cukup, jauh itu Musium Bandai, gak worth it pula, mendingan Gundam Front…” sahut Ilham.
“Yah, Ham, yaudah Musium Bandai dulu aja”
“Aduh ngapain disono”
“Ayo lah……”
“Serius garing Nin….” Ilham tampak malas.
“Plis”
“Dah garing jauh, Gundam Front aja ya”
“Plis”

“Diiyain aja Ham sebelom dia mewek” celetuk Stefan sambil menenggak birnya.
“Hahh……… Yowes lah” Ilham menyerah, dan Anin melebarkan senyum kemenangan.

“Dan Ham, Zee kapan gabung ama kita lagi?” tanya Anin sumringah.
“Selasa dia mau nonton kok”
“ASIIIIIIK”

“Mas…” Ai membisikiku.
“Ya?”
“Ntar abis ini langsung tidur aja, besok biar cepet ketemu Kyokonya” senyumnya.
“Iya”

“Hah apa? Abis ini kalian mau nganu??” canda Stefan asal.
“Ih nyebelin deh” sahut Ai kesal.
“Ahaha…. Lagian pake bisik-bisik segala, kan curiga kita” tawanya.
“Ih, ngeselin ya, awas kalo di harajuku ganggu gue belanja, gue banting”
“Banting ke kasur boleh, mau si Sena gue suruh ke kamar Arya terus kita banting-bantingan di kamar gue?” canda Stefan.
“Najis”
“Najis-najis gini, seenggaknya di kepala kakak lo, kita udah tidur bareng lho” tawanya.

“HAHAHAHA……….” tawa dari teman-temanku mendadak terdengar, sambil mereka melihat dan menunjuk ke arahku. Sial.

----------------------------
----------------------------
----------------------------

800px-10.jpg

Jam 9 kurang 5 menit, pagi hari. Aku semakin gugup, dadaku bergemuruh, membayangkan Kyoko muncul di depanku. Kami berjanji bertemu di minimarket yang tidak jauh dari penginapan. Jaraknya hanya 100 meter. Aku sudah memakai t-shirt, jeans dan sneakersku, bersiap untuk turun ke lantai bawah dan berjalan kesana. Ai masih tidur. Aku tidak tega membangunkannya.

Semalam susah sekali tidur. Aku benar-benar merasa gila semalam, tersiksa oleh perasaan yang benar-benar membuat jantungku serasa mau copot ini. Kyoko. Setelah enam bulan, akhirnya aku bisa melihatnya lagi sebentar lagi. Tak sabar rasanya.

Aku bangkit, dan keluar dari kamar.

Aku berjalan dengan agak tergesa-gesa. Mataku hanya fokus menuju ke minimarket. Lalu aku berdiri di depannya. Menunggu. Menunggu. Menunggu.

Jam 9 pas. Kyoko mana? Aku celingukan mencari sosok perempuan yang sangat kurindukan itu.

Aku memutuskan untuk masuk sebentar, sambil masih celingukan. Lalu lantas aku mengambil kopi kalengan dan segera membayarnya di kasir. Jam 9 lebih sedikit. Kyoko mana? Aku menghabiskan kopi dengan cepat, meminumnya dengan buru-buru. Aku segera melemparkannya ke tempat sampah yang tepat.

Masih belum ada Kyoko. Jam 9 lewat lima menit. Lima menit? Terasa seperti sudah satu jam disini. Aku memeriksa handphoneku. Pesan terakhirnya 15 menit yang lalu. “On train to Ochanomizu… Tunggu Kyoko”. Aku bernafas dengan sulit, selain karena suasana yang juga agak gerah karena terik matahari Musim Panas di Tokyo.

Nafas Ya, nafas.

Jangan sampai lupa nafas.
Mana Kyoko?

Oh iya, aku tidak dapat menghubunginya, modem wifi tertinggal di kamar. Oke. Sabar. Sabar. Sabar.

Aku lantas termenung, melamunkan semua perjalanan hidupku yang membawaku sampai di titik ini. Di depan minimarket di Ochanomizu, Tokyo. Di dekat penginapan dimana teman-teman se-band ku menginap. Setelah acara internasional yangberhasil kami taklukan. Gila. Dan ingatanku kembali ke musim dingin di Jepang kemarin. Betapa isinya hanya Kyoko. Aku bisa gila karenanya.

9 lewat 10. Mana dia?

Aku celingukan dengan bodohnya. Dan mendadak. Aku merasakan ada aura hangat mendekatiku.

“Aya?”

Aku berpaling. Aku terkesima. Seorang perempuan, dengan rambut pendek yang ditata agar terlihat acak-acakan, dengan sweater tipis berwarna merah, celana model parachute berwarna coklat muda, sneaker converse, dan tote bag anyaman. Mukanya yang cerah. Dia tersenyum tipis dan memancarkan aura malu-malu yang menggemaskan.

copy_o10.png

“Kyoko…” senyumku, sambil berjalan perlahan mendekatinya. Senyum Kyoko makin mengembang. Seluruh giginya yang putih terlihat di mataku.

“Ano…. Sumimasen… Maafu…. Kyoko, te-ratt….” senyumnya malu, meminta maaf karena telat dengan Bahasa Indonesia seadanya. Tangannya bergantung di tali tote bagnya dengan lucunya.

Aku lantas memegang pipinya. Masih lembut seperti enam bulan lalu. Tanganku bergerak pelan, membelai pipi, berjalan ke rambutnya dan mengacak rambutnya dengan gemas.

“Watashi wa rokkagetsu matteita, mo juppun wa daijobu...”

Aku sudah menunggu selama enam bulan, menunggu 10 menit lagi pun tidak apa-apa.

----------------------------

BERSAMBUNG
 
hooosssh.. deg-degan nih, wktu scene ai stefan..! apalagi pikiran kotor ane, mereka mlh trisum ama chiaki. haha mybad..!


yuhuuuu, kyoko muncul..! ayo

ikeh
.
.
ikeh
.
.
 
MDT SEASON 1 - PART 43

----------------------------

airbnb10.jpg

Aku duduk sambil tersenyum penuh arti di dalam kamar penginapan. Akhirnya aku melihat Ai dan Kyoko berinteraksi. Mereka akhirnya bertemu. Percakapan antara mereka sungguh lucu, bercampur antara Bahasa Indonesia dan Inggris.

Perlahan kumakan makanan sarapanku yang tadi kubeli di minimarket.

“Saigo tabemasenka?” tanya Kyoko sambil menahan senyumnya, mengetes bahasa Jepangku. Dia bertanya apakah aku tadi memang belum sarapan.
“Tabete imasen deshita, Kyou wa tabemasu…” jawabku pelan sambil makan.
“Anata ni tabemono o motte konakereba naranai..” Kyoko memperhatikanku sambil tertawa kecil.

“Hmmm……..” Aku berpikir keras mengartikan kalimatnya.
“Berum bisa?” tanya Kyoko dengan manis.
“The sentence is too complex” keluhku sambil tetap makan.

“Padahal udah rajin ya belajarnya” tawa Ai memperhatikan kami berdua.
“Jyadi tadi Kyoko birang… Seharusnya Kyoko ba..wa Tabemono fo’ Aya” tawanya.
“Iya, bilang aja kalau Bahasa Jepangku masih belum bagus” tawaku.

“E?” bingung Kyoko.
“See? Your Indonesia-go is also limited” tawaku.
“Ah… So, talk in English like before? But I want improve my Indonesia-go” Kyoko tersenyum sambil memeluk kakinya, memperhatikanku sarapan.

“Kalian berdua lucu amat sih, langsung rasanya kayak aku dianggurin” tawa Ai.
“Kan udah lama gak ketemu”

“Ano….. “ Kyoko berusaha mencerna kalimat Ai.
“My sister said that… Ah.. Nevermind” jawabku sambil menaruh kotak bento di meja dan langsung mengacak-ngacak rambut Kyoko. Kyoko masih bingung dengan Bahasa Indonesia yang terlalu cair dan kompleks.

“Assalamualaikum!!” pintu kamar penginapanku diketok oleh entah siapa. Suaranya seperti suara Anin.
“Siapa tuuh” Ai membuka pintu dengan semangat. Anin dan Stefan.

“Masih nungguin si Sena beres mandi nih, gue belom sarapan lagi” keluh Anin.
“Eh… Ini dia nyonya Arya…” Stefan langsung merangsek masuk dan melihat Kyoko yang sedang duduk di sebelahku.

“Haro” Kyoko berdiri dan menunduk ke arah Stefan dan Anin.
“Itu, Stefan dan Anin”
“Haro… Kyoko suda.. banya. mendengga… tentang karian…” Kyoko tersenyum sambil melambai ke arah Stefan dan Anin.
“Halo juga, pasti dengarnya kejelekannya ya?” tanya Stefan dalam Bahasa Indonesia yang sengaja dibuat resmi dan kaku agar Kyoko cepat mengerti.
“Ah… Chigaimasu… Aya selalu cerita yang.. Baik.. Baik..” senyum Kyoko.

Mendadak Anin berusaha menyombong, menyapa Kyoko dalam Bahasa Jepang yang sangat kompleks dan lancar. Kyoko tampak kaget dan senang dengan Bahasa Jepang yang lancar itu dan langsung menanggapi Anin dengan semangat.

“Aku jadi gak ngerti dong” bisikku sambil menyentuh pipi Kyoko dengan hidungku.
“Maka… Aya haru.. beraja yanggu… rajin” senyumnya sambil mengacak-ngacak rambutku gemas.

“Jadi geli liatnya… Gue beli sarapan aja deh” tawa Stefan sambil berlalu ke bawah.

Geli. Iya, aku juga geli. Tapi tak tahan lagi. Sudah enam bulan lebih tidak melihat Kyoko, maka sekarang saatnya untuk melepas rasa rindu yang luar biasa melilit ini.

----------------------------

ct_ywx10.jpg

“Tuh kan” celetukku saat Stefan, Anin dan Sena melongo di Meidai Dori. Mereka kaget saat melihat hamparan alat-alat musik di sepanjang jalan itu. Aku tersenyum saja sambil menggandeng tangan Kyoko yang juga geli melihat kelakuan tiga orang itu yang mendadak blingsatan.

“****** gue harus beli yang mana?” tanya Anin panik.
“Anjing jadi pengen beli gitar!!!” teriak Stefan panik.
“Bang kalo duit gue ga cukup minjem ya” teriak Sena panik ke arah Anin.
“Berisik” balas Anin sambil langsung berjalan dan masuk ke salah satu toko disana.

“Dulu dia juga kayak gini ya?” tawa Ai, bertanya ke Ilham.
“Banget, berapa jam dulu disini, sampe gue pegel ngetranslate disini” keluh Ilham mengenang perjalananku Desember lalu.

“Mereka sepe..ti Anakku… Anakku..” bisik Kyoko.
“Nanti di Akihabara juga pasti” jawabku sambil tersenyum. Kyoko tertawa saja sambil terus menggenggam tanganku, memperhatikan tiga orang yang blingsatan di sekitaran Meidai Dori.

Anin mendadak balik lagi keluar toko.

“Arya! sini lo!”
“Apaan sih?” tanyaku bingung. Aku berjalan masuk ke salah satu toko sambil menggandeng Kyoko.

“Liat!!”
“Wow”
“GIBSON THUNDERBIRD LIMA SENAR HARGANYA CUMA 50REBUAN YEN???” Anin histeris.
“Gue bilang juga apa” tawaku.

“INI MURAH ANYINGGGGGG” paniknya sambil melihat-lihat lagi ke seantero toko.

“Ini juga lumayan nih” tunjukku ke salah satu Bass yang dipajang
“Wuih iya, Rickenbacker 4003, tapi masih 100rebuan…” komentar Anin.
“Harga barunya lo tau kan berapa nih” tawaku.

“Duh jadi bingung… Kalo gue beli Rickenbacker tar duit buat belanja mainan abis….” bingung Anin.
“Ya belinya dibatesin dong..” tawaku.

“Eh, sini lo!!” mendadak Stefan muncul dan menarik tanganku. Dia membawaku keluar ke toko lain. Pemandangan yang lucu. Stefan menarik tanganku dan aku menarik tangan Kyoko.

“Gak bercanda ini?” Stefan menunjuk ke tumpukan gitar fender yang harganya berkisar 50ribu sampai 70ribu Yen, sekitar 5.5 juta rupiah sampai 7.5 jutaan.
“Enggak bercanda Fan… Makanya kemaren gue cerita kan, disini lama banget milih-milihnya” senyumku jumawa.
“Ini kontol banget emang harganya!!”

“Aya…” bisik Kyoko.
“Ya?”
“Kontoru… arutinya apa? Mura?” tanya Kyoko bingung
“Ano…. Jikai wa…” ntar aja, jawabku. Kyoko hanya mengrenyitkan dahinya sambil bingung menatapku.

----------------------------

“Puas?” tanya Ilham sambil menertawakan mereka bertiga.

Stefan muncul dengan Gitar Fender Jaguar yang berhasil ia beli dengan harga 60 ribuan Yen, ditambah dengan efek vocal TC Helicon secondhand yang dengan penuh kebanggan dia sombong-sombongkan ke kami. Anin terpaku dengan Gibson Thunderbird Bass 4 senar yang dia dapat seharga 4 jutaan. Sena membeli travelling guitar kecil dan beberapa efek gitar yang murah-murah. Mereka semua terpaku, dan tampak kelelahan.

“Karian, mau makan?” tanya Kyoko yang amazed melihat mereka yang tampak capek belanja, padahal jam baru menunjukkan jam 1 siang.
“Boleh, tolong tunjukkan tempat makan yang murah ya?” balas Stefan masih dengan menggunakan bahasa Indonesia yang kaku.

“Yasui resutoran” bisikku ke Kyoko yang sedang berusaha mencerna kalimat Stefan.
“Hmm… Ano… Ah… Eki mae ni Aru!” serunya.
“Okay then” jawabku.

“Apa katanya?” tanya Stefan yang siap berangkat sambil menenteng tas gitar.
“Depan stasiun ada, Fan” jawab Anin yang mukanya masih amazed.
“Oh, ayo…”

“Please come…” Kyoko menarik tanganku pelan dan kami berdua lantas berjalan menuju depan stasiun.

“Saizeriya?” tanyaku ke Kyoko saat kami tiba di depan restoran, tak lama kemudian.
“Hai… Itarian food, Aya’s fren must be like!” jawabnya ceria dengan bahasa Inggris yang amburadul.
“Okay, demo…. Tomodachi wa?” aku bingung dan bertanya teman-temanku ada di mana, karena mereka dan adikku tidak kelihatan.

Kyoko lantas menunjuk ke arah kami datang tadi. Terlihat teman-temanku dan adikku berjalan tergopoh-gopoh, dan tampaknya mereka capai mengikuti ritme berjalanku dan Kyoko. Kecuali Ilham.

“Ya, kasian dong mereka ritme jalannya belom kejepang-jepangan” tawa Ilham yang mengambil foto mereka semua terengah-engah.
“Kampret si Arya” keluh Anin.
“Dasar Kontol” umpat Stefan.
“Aya… Aya katanya mura? He said? tanya Kyoko bingung ke diriku. Dia masih menyangka kalau Kontol = murah, gara-gara pembicaraan Stefan tadi di toko alat musik.
“Never mind” jawabku sambil menekuk mukaku dengan anehnya.

“Yuk ah masuk” ajak Ilham
“Restoran apa nih Bang?” tanya Sena bingung.
“Ini kayak Pizza Hut gitu deh” jawab Ilham sambil mempersilahkan kami semua masuk.

Kami semua masuk beriringan, tak lupa ketika memesan meja, Anin berkata ke waiter agar kami ditempatkan di tempat yang merokok. Untung ada meja yang cukup untuk banyak orang disana. Setelah kami duduk, Kyoko, Anin dan Ilham berjibaku untuk memesankan kami makanan. Tentunya Stefan sudah pasti memilih Bir.

“Gak kembung minum gituan mulu?” tanya Ai masih dengan nafas yang tersenggal-senggal.
“Kok elu duduk di samping gue?” tanya Stefan sewot sambil menyalakan rokoknya.
“Abis duduk dimana lagi?”
“Pacar incest lo lagi sama pacar benerannya sih ya?” Kyoko mendengarnya dan senyum menahan tawa. Dia sudah mendengar betapa Stefan sering meledekku dan Ai sebagai pasangan incest.

“Asal ih”
“Asal~ ih~” tiru Stefan dengan nada mengesalkan.
“Kok elu jadi sering ngikutin omongan gue sih sekarang?” tanya Ai sewot.
“Suka-suka gue dong” bentar Stefan pelan sambil menatap Ai tajam.
“Ribut mulu, gue laper nih” teriak Anin dari sebrang meja.

“Berisik amat sih” keluhku sambil menggelengkan kepala.
“Tau, diliatin orang tuh” tawa Ilham sambil celingukan.
“Abis adek lo mulai duluan sih” keluh Stefan kesal.
“Nyalahin orang lain” jawab Ai sambil menjulurkan lidahnya.
“Biarin” Stefan meniupkan asap rokok ke arah Ai.

“Mas!” Ai menunjuk ke arah Stefan sambil menatapku tajam. Aku hanya menggelengkan kepala karena kekacauan di restoran siang itu.

----------------------------

takesh10.jpg

Sudah jam 3 sore. Anin, Sena dan Ilham ada di Akihabara. Aku tadi melihat betapa kalapnya Anin di gedung Radio Kaikan. Disana pasti surga untuk orang-orang semacam Anin dan Ilham. Untung tadi dia cuma beli satu bass saja di Ochanomizu. Dan untung jarak Ochanomizu dan Akihabara hanya satu stasiun saja, jadi kami bisa pulang dulu ke penginapan dan menaruh belanjaan disana.

Aku dan Stefan ada di Coffee Shop, di tengah Harajuku. Dia sedang merokok lagi dengan nyamannya, di dalam ruangan merokok. Aku menyesap kopi dinginku perlahan, sambil memperhatikan jalanan yang ramai berisi orang lalu lalang.

Ai dan Kyoko sedang ada di toko permen. Ada satu toko permen besar sekali di Harajuku. Aku lupa namanya, yang pasti model iklannya Avril Lavigne. Tapi entah kenapa waktunya kok seperti lama sekali untuk sekedar belanja di toko permen.

“Lama ya” keluhku sambil melihat jam tangan.
“Biarin aja, kayaknya si Kyoko euforia ketemu adek lo deh” tawa Stefan.
“Dan Ai juga euforia ketemu Kyoko” tawaku balik.
“Gimana rasanya, ketemu dia lagi?”

“Lucu”

“Lucu kenapa?”
“Rasanya tuh kayak kita gak pernah pisah sebelumnya, kayak lagi jalan-jalan weekend sama pacar aja” tawaku.

“Lo selalu lucu emang kalo lagi punya pacar” tawa Stefan.
“Haha, lo juga dong, punya pacar sekali-kali”
“Gak mau”
“Kenapa?”
“Ribet”

“Kok ribet?”
“Gue masih pengen bebas” jawabnya pelan.
“Sampe kapan Fan? Lo gak bisa bebas sampe tua loh…”
“Sampe nemu yang tepat?” jawabnya ragu.
“Tepat itu yang kayak apa sih?”
“Gak tau, sejauh ini ya gitu-gitu aja” dia menghisap rokoknya lagi dalam-dalam.

“Dan gue juga penasaran kenapa lo selalu ngehindari komitmen” lanjutku.
“Ah lo tau kan alasannya kenapa?”
“Tau, tapi masa se-serius itu?” tanyaku balik.
“Serius Ya, gue selalu bosen liat orang tua gue, nikah berpuluh taun, tanpa konflik, tanpa apapun, terlalu adem dan semua terlalu bagus di mata gue, sampe gue bosen liatnya…” jawab Stefan.
“Aneh, padahal semua orang pengennya kayak orang tua lo… Termasuk gue. Lo tau kan gue kayak gimana keluarganya?” tanyaku lagi.

“Entah… Semuanya keliatan bosenin hahaha…..”
“Makanya karena bosen ni anak jadi setan gini kali ya” tawaku sambil memperhatikan jalan, dan akhirnya aku melihat adikku dan pacarku berjalan mendekati coffee shop tempat aku dan Stefan menunggu.

“Mas… Kyoko belanja permennya banyak banget….” tawa Ai saat dia duduk di sampingku.
“Aku sih gak heran”
“Haha…” tawa Kyoko sambil duduk di kursi kosong, dengan kantong penuh permen.
“Kyoko can eat it all?” tanya Ai bingung.
“Of cos… Why?” tanya Kyoko dengan muka bingung juga.

“Kamu baru kenal Kyoko sekarang sih….” tawaku melihat muka bingung Ai.
“Kayaknya Kyoko bisa ngabisin martabak manis seloyang sendiri ya?” tawa Ai masih dengan ekspresi bingungnya.
“Maru.. tabak manis?” tanya Kyoko sambil mengambil lagi permen jeli yang ada di dalam kantong untuk dia makan.
“You’ll like it!” tawa Ai sambil memperhatikan Kyoko yang memang sangat menyukai makanan manis apapun.

“Jalan lagi? Gue masih penasaran liat Sneakers di mari…” Stefan bangkit dan mematikan rokoknya.
“Ayo” aku menghabiskan kopi dinginku dan kami berempat keluar, menuju sore di musim panas yang hangat itu. Aku terlalu fokus untuk menggandeng Kyoko, seakan tidak ingin melepasnya, sehingga setelah sekian lama berjalan, Ai lalu menegurku.

“Mas…”
“Ya?”
“Liat Stefan?”
“Emang kenapa?”
“Kok dia ngilang?” tanya Ai bingung.
“Ah biarin aja, udah gede ini, siapa tau dia kecantol cewek” jawabku berhenti sejenak, ikut celingukan.

“Ai Chan” tegur Kyoko mendadak.
“Yes?” Kyoko lalu menunjuk toko yang menjual gula-gula kapas di tengah kerumunan orang.
“Only 500 Yen, let’s go” Kyoko melepas tangaku lalu dia mengajak Ai mengantri disana. Ai tampak senang mengikutinya. Lucu rasanya bisa melihat adikku cepat akrab dengan Kyoko. Aku berdiri memperhatikan mereka dari jauh, melipir ke pinggir.

“Eh elo disini” tegur Stefan melihatku.
“Loh, tadi kemana?”
“Ada deh…” tawanya ringan.
“Aneh…”

“Lah ini ada lagi si anak setan” Ai dan Kyoko datang dengan membawa gula-gula kapas yang besarnya naudzubillah itu.
“Gede amat” bingung Stefan.
“Biarin, enak tau” jawab Ai.
“Gendut lho entar…”
“Kyoko aja gak gendut-gendut makan manis mulu”
“Itu karena dia jalan kaki kemana-mana, bego, ayo ah, kita cari sneakers cepetan!” Stefan menarik tangan Ai dengan paksa, terus merambah Takeshita Street.

“Kawaii…” bisik Kyoko sambil berjalan di sebelahku, melahap gula-gula kapas.
“Kawaii? Dare?” tanyaku ke Kyoko, maksudnya siapa yang dia bilang lucu.
“Imoto to Tomodachi, Sutefan… Kappuru ka? Watashitachi no yona?” tanyanya kepadaku.
“Iee… Chigaimasuyoo….” gusarku.
“Usoo..”
“Hountou….”
“Haha…. Usotsuki..” bisiknya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar kesimpulan Kyoko. Masa dia sangka mereka berdua couple seperti kami. Terus aku bilang bukan, dia malah bilang aku bohong. Yasudah lah… Haha.

Kita nikmati saja hari ini terus. Lucu memang, seperti double date antara Aku, Kyoko, Ai dan Stefan. Terus terang sejak aku menyangka mereka berdua tidur bareng di Naeba, aku agak sedikit berbeda memandang mereka.

----------------------------
----------------------------
----------------------------

“******” Stefan menggelengkan kepala melihat tumpukan action figure, model kit dan macam-macam lainnya di kamar Anin.
“Murah-murah banget semua Fan…” Anin tampak kalap melihat mereka semua satu per satu.
“Ini kalo pas balik, ketangkep ama bea cukai gue gak mau bantuin loh” keluh Stefan sambil mencoba mengambil satu kotak.

“Mazinger Z… Ini robot apaan nih jadul banget begini tampangnya” bingung Stefan.
“Emang robot jadul fan…”
“Tapi ini kok tulisannya taun 2000an?”
“Kan mainannya ada terus sampe sekarang, bego”
“Anjing gue dibego-bego” Stefan melempar kotak robot itu ke arah Anin.
“Woi bangsat… Kalo penyok awas!” Anin menangkapnya dengan susah payah, untung tidak jatuh.

“Yaudah guys, gue nganter Kyoko balik sampe Mitaka dulu ya” senyumku ke dalam kamar Anin.
“Daaah” Anin melambaikan tangan kearah kami, dan Bagas tampaknya masih tidur. Gila, seharian hibernasi, tapi memang rasanya sangat lelah beberapa hari ini.

“Nganterin balik ampe rumah?” tanya Stefan.
“Iya”
“Ketebak banget mau ngapain…” seringainya.
“Apa sih”
“Pasti ngewe ya? Hahahahaha…”

“Aya? Ngewe wa.. nani?” tanya Kyoko polos kepadaku.
“Huss… Enough-enough… let’s go to Mitaka…” Aku segera mengajak Kyoko berjalan turun ke lantai bawah untuk kemudian ke Stasiun kereta malam itu. Kami sudah makan malam, dan aku sangat menikmati hari ini. Dan akhirnya aku bisa berdua lagi dengan Kyoko. Berdua seperti dulu.

Bisa kulihat tadi betapa cerianya muka teman-temanku dan Ai di hadapan Kyoko. Dan aku senang mereka semua bisa menyambut Kyoko dengan baik, dan sebaliknya. Tadi bahkan Ai merengek agar Kyoko menginap saja di penginapan kami, karena dia masih ingin mengobrol panjang lebar dengan calon kakak iparnya, katanya. Tapi masih ada tiga hari lagi bersama. Tentunya masih banyak waktu untuk Ai. Tapi tampaknya terlalu sedikit untuk aku dan Kyoko.

Kami berjalan berdua di malam yang hangat itu, bergandengan tangan seperti dulu.

“Aya…”
“Yes?”
“You know I Miss you so much?” bisiknya sambil bergelayutan di tanganku.
“I know… And I miss you too…” bisikku balik sambil menggenggam tangannya erat. Stasiun Ochanomizu sudah di depan mata.
“And Kodama miss you too” tawanya.
“I know, Kyou-Kun told me”
“And he said that you meet saungaruden, right?”
“Yes, awesome” tawaku.

“And I can’t wait to see Aya’s video when in Fuji… Must be so cool!” serunya saat kami masuk Stasiun. Kami berpisah sementara untuk masuk gerbang Stasiun.
“Mee too, Can’t wait to see the video” senyumku. Pasti di channel youtube Fuji Rock Festival akan tayang. Chiaki sudah memberitahu kami untuk menunggunya muncul.

“And you know what?” bisikku ke Kyoko. “Aku kangen sekali sama Mitaka”
“Mitaka seraru… Siappu… Kapanpun, Aya akan datanggu ke sana” jawab Kyoko dengan Bahasa Indonesia yang masih terbata-bata.

Aku menempelkan kepalaku ke kepala Kyoko dan kami lantas berjalan ke Platform tujuan kami.

----------------------------
----------------------------
----------------------------

untitl10.jpg

Jam 10 malam, dan aku serta Kyoko sedang berpelukan di dalam kamar yang sepi itu. Baju kami berdua masih lengkap. Aku memeluknya dari belakang, di atas futonnya yang tebal. Aku mencium wangi tubuhnya yang tampaknya keluar dari lehernya.

Pada saat kami datang ke café, suasana sudah sangat sepi, hanya ada Kodama yang berbaring dengan tololnya di dapur. Kyou-Kun tampaknya pergi minum. Setelah secangkir teh hangat yang dibuatkan oleh Kyoko, kami berdua lantas saling berpandangan dan ciuman kecil terjadi diantara kami berdua. Hidung kami berdua bertemu, mengingat masa 6 bulan yang lalu, dimana kami untuk pertama kalinya saling menyentuh dan lantas berakhir bersama. Tak butuh waktu lama untuk kami memutuskan untuk naik ke atas, ke kamar Kyoko.

AC yang mendinginkan kamar membuat kami semakin erat berpelukan. Sudah bermenit-menit kami lalui tanpa suara. Diam, saling menggenggam dan merasakan keberadaan masing-masing.

“Aya to issho ni iru to ochitsuku” bisik Kyoko, menyatakan betapa dia sangat merasa nyaman bersamaku.
“Watashi mo…” bisikku sambil mencium pipinya yang lembut.

Aku menciumi bagian belakang lehernya dan menghirup aroma rambutnya yang tak berubah. Damai rasanya. Perasaan seperti ini yang kurindukan sejak enam bulan yang lalu. Berdua dengannya, dalam kesunyian malam, merasakan genggaman tangannya yang lembut, dan membenamkan diri bersama.

“Kyoko…. You know? This is all I ever want…” bisikku. Aku mencium bagian belakang telinganya dengan lembut, merasakan badannya sedikit bergetar menahan geli. Aku lantas mencium bahunya dan membenamkan kepalaku di lehernya, menciumnya perlahan, merambat dan menjelajahinya dengan perlahan. Matanya terpejam, dengan senyum tipis, menandakan dia merasa nyaman dalam pelukan dan ciumanku.

“Aya….” Kyoko beringsut, berbaring telentang dan menatap mataku tajam. “Anata ga iru dake de wakaushi wa shiawase dayo….” bisiknya. Aku menatapnya terus ke dalam matanya, mencoba mengartikan kata-katanya.

“Ano….” tawaku.
“Sentence too hard?” tanyanya
“Hai…” Aku mencium hidungnya.
“That means… Aku senang ada Aya disini she kar.. rang…”
“Sepertinya Bahasa Indonesianya Kyoko lebih bagus daripada Bahasa Jepangku” pujiku.
“Sonna koto arimasen” jawabnya dengan bercanda, mengetes pengetahuan Bahasaku. Aku tahu artinya, itu artinya ‘gak bener ah’

“Emm…. Kyoko wa hontou ni atama ga ii desu yo!” balasku. Mengatakan bahwa dia memang pintar.
“She karang… Kita cho.. Ba… Bicara dungan.. Bahasa.. Inndonesia” Kyoko tersenyum melihatku yang menatapnya dengan lekat.

“Bentar, jangan ngomong dulu” bisikku sambil mencium bibirnya erat. Kyoko menerimanya dengan baik. Bibir kami saling melumat dengan lembut, saling menyentuh, mencoba meredakan rasa rindu yang sudah melilit sekian bulan lamanya. Nafas kami beradu, bibir kami saling mencium dengan penuh perasaan, merasakan diri masing-masing yang selalu kami pikirkan selama ini.

Ada rasa panas yang kami mendadak rasakan, dan kami merasa baju kami mengganggu. Tanganku mendadak bergerak, merayap lewat pahanya, meraba-raba badannya yang masih berpakaian lengkap. Kyoko tersenyum malu menanggapinya. Aku membenamkan kepalaku di bahunya, merasakan tangan Kyoko membelai pipiku dengan lembut. Dan dia membisikkan sesuatu kepadaku. “Kondoomu motteru?”

Aku mengangguk, menandakan kalau aku membawa kondom. Aku tertawa tanpa suara dan membalikkan badannya agar menghadapku. Kini kami berhadapan, dan kami kembali berpelukan, saling menciumi dengan penuh hasrat. Bisa kurasakan ada sesuatu yang menegang dibawah celanaku. Sudah enam bulan aku tidak menyentuh dirinya. Aku bisa merasakan kami degup jantung kami berdua, saling beradu. Entah kenapa rasanya gugup. Padahal aku sudah beberapa kali tidur dengannya.

Tanganku mulai perlahan ingin membuka sweaternya. Tanganku memegang sweaternya dan berusaha melepaskan sweater tipis itu. Sekarang atasan Kyoko hanya tinggal T-shirt polos berwarna abu-abu muda yang dengan jelas memperlihatkan bentuk tubuhnya. Bentuk tubuhnya yang berlekuk indah, yang selalu tersembunyi di balik pakaiannya yang sopan.

“Iroppoi…” bisikku memuji keseksian bentuk tubuhnya.
“Uso….” bisiknya membalasku, mengatakan kalau aku bohong.
“Uso janai..” bisikku balas.
“Us..” dan sebelum sempat membalas ucapanku lagi, aku melumat bibirnya dengan bibirku, tanganku memeluk pinggangnya dengan erat, mendekapnya dan merasakan kontur badannya di badanku. Tanganku lalu turun, meremas pantatnya yang indah itu, yang bersemaya, di balik celananya. Kyoko merespon semua perbuatanku dengan memeluk kepalaku dan membelai rambutku dengan lembut. Dia pasti sudah sangat merindukanku.

“Aya…”
“Yes?”
“I wait for moment like this… like forever… And now dream come true…” matanya mengerling penuh haru, lalu mencium bibirku lagi dengan lembut. Mendadak ia mendorongku, dan menduduki pinggangku. Kyoko berinisiatif untuk memulai.

Ia melepas t-shirt polosnya perlahan, dan bisa kunikmati transisi bagian atas tubuhnya. Perutnya yang rata dan indah itu mulai terlihat, lalu perlahan bisa kunikmati buah dadanya yang bulat sempurna itu. Indah sekali, dibalut dengan pakaian dalam berwarna putih dan bermotif polka dot merah.

Tanganku tak mau diam, aku mencoba melepas sabuknya, dengan agak terburu buru.

“Yukkuri… “ bisiknya agar aku pelan-pelan. Aku tersenyum dan mulai memperlambat tempo. Aku lalu melepas bagian atas celananya, mulai dari sabuknya, lalu kancing celananya, lalu menurunkan resletingnya sambil menatap mukanya yang terus tersenyum malu ke arahku. Rasanya seperti dua orang remaja yang akan melakukan hubungan seks untuk pertama kalinya. Kyoko lalu mendekat ke arahku dan meluruskan kakinya, agar celana yang ia pakai gampang dilepas.

Kini badan indah Kyoko yang hanya memakai pakaian dalam yang senada ada di atas tubuhku, memeluk tubuhku, membuatku merasakan tiap lekuk dan bentuknya dengan erat di badanku. Dia mencium bibirku pelan dan lalu mencium pipiku. Dia bergerak perlahan, mencium telingaku, lalu turun kebawah ke leherku. Tangannya menggenggam diriku, mengisyaratkan bahwa ia ingin memulainya duluan. Aku pasrah saja. Dia bergerak terus ke bawah, sambil sesekali mencium badanku, dan menghirup aroma tubuhku.

“Aya… Daijobu?” tanyanya mendadak.
“Daijobu…” bisikku, mengizinkannya untuk membuka celanaku. Kyoko lalu membukanya perlahan, dimulai dari sabuk, lalu kancingnya, dan menurunkannya perlahan. Dia lantas menurunkan celana dalamku dan selanjutnya, penisku yang sudah berdiri tegak terlihat di hadapannya.

Kyoko lantas menyentuhnya dengan bibirnya. Ia mencium kepalanya perlahan, seakan-akan itu adalah binatang menggemaskan yang ia idam-idamkan. Dia menciumnya dengan lembut, lalu dia berbaring di samping kakiku dan mulai. Mulai memasukannya ke mulutnya.

“Unngh…” aku kaget. Perlahan ia mengulum penisku, naik turun, berusaha untuk tidak menggunakan tangannya. Pelan tapi pasti, ia menggerakkan kepalanya untuk memberikanku kenikmatan. Ia menutup matanya, mencoba menghayati bentuk penisku dan mencocokannya dengan gerakan mulut dan lidahnya. Dia berusaha memberikanku kenikmatan. Kenikmatan lewat sentuhan dirinya yang sudah lama tak kurasakan ini.

Cukup lama aku merasakannya. Hingga aku tidak tahan lagi. Aku sudah ingin menerkamnya dari tadi.

“Kyoko… Yamete…” bisikku.
“Ngg?” dia bingung, mungkin dia berpikir dia berbuat kesalahan. “Nanika?”
“Come…” Aku menyuruhnya naik dan memelukku. Aku memeluknya dengan erat, menciumnya dan lantas membanting badannya perlahan ke atas futon. Aku berubah posisi, bangkit dan lalu mencoba menciumnya. “Turn around” bisikku sambil menciuminya. Kyoko menurut. Ia berbalik badan, dan telungkup di hadapanku. Aku menumpang di belakang pantatnya, dan lalu membuka perlahan baju dalamnya. Punggungnya yang bersih dan halus kini tanpa penghalang lagi, dan aku menurunkan celana dalamnya untuk kemudian membuatnya telanjang. Aku lantas membuka t-shirtku dengan tidak sabar dan menurunkan celanaku sejadi-jadinya. Aku lantas menimpa Kyoko dari belakang dengan lembut, menciumi dan meraba bagian belakangnya. Kuciumi punggungnya, perlahan, sampai ke lehernya. Tanganku meremas pantatnya dengan lembut, mencoba untuk menguasai tubuhnya dengan penuh kasih sayang.

Terkadang remasan tanganku di pantatnya mendapatkan reaksi geli dari badannya. Terutama karena aku merabanya hampir mengenai daerah kewanitaannya. Puas menguasai bagian belakang tubuhnya, aku lantas membalikkan tubuhnya, melihat payudaranya yang indah, menguasai seluruh pandanganku. Dengan perlahan juga, aku merabanya, sambil melihat erat ke matanya. Aku meraba buah dadanya yang besar dengan seksama, sambil mencoba mencium bibirnya yang indah itu. Kedua tanganku sibuk mempermainkan kedua buah dadanya. Kuremas pelan, sambil kumainkan putingnya, dan lantas tanganku dengan nakalnya membuatnya geli.

“Ummm…..” desahnya di balik ciumanku. Dengan nakal juga aku langsung memindahkan bibirku untuk melumat putingnya, kembali memetakan memoriku akan badannya di kepalaku. Kulumat semuanya dengan penuh penghayatan. Ini rasa yang sangat luar biasa. Rasanya sungguh nikmat, wangi tubuhnya membiusku, begitu juga dengan kelembutan kulitnya yang memanjakan sentuhanku.

Aku mencoba untuk berbaring di sebelahnya sekarang, sambil menciumi bibirnya. Tanganku mencoba meraba pinggangnya, dengan perlahan meraba ke area kewanitaannya. Dia tampak sudah siap. Aku lalu memeluknya, menciumnya perlahan. Dia memagut bibirku dengan penuh perasaan.

Aku bangkit dan dia mengikuti perpindahan badanku. Kami duduk berdua di atas futon, saling menghadap, dan memandang. Kyoko dan Arya, ada disini lagi sekarang dan saling memadu cinta kembali.

Dia tersenyum kepadaku, kami berdua sudah telanjang bulat dengan indahnya dan kami lantas saling berciuman. Aku meraih lehernya, dan terus menciumi seluruh bagian yang bisa kucium. Kami beradu bibir, dan tak jarang kami saling menciumi leher satu sama lain, dan tanganku terus berusaha meraih buah dadanya yang menantang itu.

Akhirnya kuraih buah dadanya untuk kucium, mulai dari putingnya, kulitnya, terus naik ke atas untuk kuciumi leher dan bibirnya. Kami bertukar ciuman dan rabaan dengan begitu panasnya. Terasa jika kami berdua sudah sangat ingin langsung pada intinya, tapi kami mencoba menahan diri untuk bisa menikmati malam ini lebih lama lagi.

Aku meraih paha Kyoko, mencoba menyingkapnya. Lalu aku menarik tubuhnya, agar bisa kupeluk sambil duduk. Kedua kakinya melingkari diriku dan dia meraih pelukanku. Dia dengan panas menempelkan badannya ke diriku, lalu menciumiku dengan nafsu yang ditahan. Bibir kami beradu dengan panas, penuh hasrat dan rasanya tubuh kami berdua naik suhunya.

Kupeluk erat dirinya dan aku menciumi lagi buah dadanya. Tidak tahan karena tubuhnya menggantung begitu saja di badanku, aku menjatuhkannya dengan pelan ke futon. Dia menyerah. Kyoko menyerah begitu saja ketika aku meremas tangannya dan melumat kembali buah dadanya dengan bibirku. Dengan sabar aku menjilati putingnya, untuk terus merayap, merambah dan menjelajahi seluruh permukaan buah dadanya dengan lidahku.

“Unngh… Aya… Ah…” Kyoko mengerang. Dia menikmati ini semua. Aku lantas berpindah untuk mencium lehernya dengan ganas.

“Uhh…..” desahnya di telingaku. “Aya… Kimochi….” bisiknya dengan manis. Aku meneruskan ciumanku, melumat lehernya habis-habisan. Seluruh feromon yang ia punya tampak keluar dengan derasnya dari lehernya. Maka aku tidak bisa berhenti. Kulumat terus lehernya, sambil sesekali berpindah ke pipi, lalu memagut bibirnya, dan dengan tak tahan lalu menstimulasi lehernya lagi.

Memang bagian paling menarik dari perempuan adalah payudaranya. Aku berbalik lagi melumat payudaranya dengan penuh nafsu. Kakinya terus melingkari badanku di saat aku melahap kedua belah buah dadanya dengan penuh gairah.

“Ahh…… Aahh… Aa… Aahh…” Kyoko makin merasakan serangan dari bibirku ke seluruh badannya, terutama saat aku bergerak kebawah, ke perutnya, ke ulu hatinya dan lalu kuciumi pahanya. Hingga wajahku kini sekarang menghadapi vaginanya. Dengan pelan kujulurkan lidahku, sambil menyentuh bibir vaginanya yang lembut dan wangi itu.

“Uuuuh………….” dia mengerang kenikmatan saat lidahku bermain, menjilati bibir vaginanya dengan mesra. Tanganku menahan kakinya dan membelai perut dan dadanya. Tangan Kyoko meremas rambutku, tidak tahan oleh kenikmatan yang kuberikan. Aku tidak ingin menghentikannya, kubasahi seluruh permukaan vaginanya dengan lidahku, lalu menciuminya dan memainkan seluruh permukaannya. Aku memeluk pahanya, membiarkan lidahku mengambil alih, untuk merasakan tubuhnya yang indah. Kyoko mengerang, mendesah dan bersuara tidak karuan karenanya. Tangannya bergerak otomatis meraba buah dadanya sendiri saking nikmatnya.

Aku masih berkutat di bibir vaginanya, dengan segala cara aku menstimulasinya, dengan ciuman, jilatan, bahkan permainan bibirku kuberikan semua kepada dirinya. Kepada daerah kewanitaaanya. Aku melahap daerah kewanitaannya dengan seksama dan tanpa cela. Badannya mendadak menegang.

“Aya… Ahh….. Ahh… “ tangannya menarik rambutku tanpa tenaga. Punggungnya menegang dan menekuk ke arahku. Dia tampak ingin menghentikannya karena terlalu gila mungkin rangsangannya. Tapi aku tak peduli.

Kyoko sudah menyerah. Dia hanya bisa menyentuh rambutku dengan lemah, sambil berbaring dengan pasrah di atas futon kamarnya. Suasana malam musim panas yang tenang seakan menyuruhnya untuk pasrah saja menerima apapun yang kuberikan.

“Nggg……” badannya terkulai dengan lemas karena jilatanku. Dia terlihat sangat menikmatinya. Aku semakin bersemangat melihatnya. Tanganku lalu mencoba naik meraba buah dadanya, tapi posisinya agak sulit, jadi aku hanya bisa memuaskan diriku dengan meraba perut dan pahanya.

“Aya… Aaaahhh… Aaa………”Dia menegang dan mengejang. Aku menghentikan jilatanku dan naik keatas tubuhnya.
“You came?” tanyaku dengan nafas berat.
“No… Almost…” senyumnya malu-malu. Aku lantas melumat bibirnya kembali dan menciuminya dengan lembut.

Kutarik lagi tubuhku, dan Kyoko bangkit mengikutiku. Dia tampak tidak ingin melepas bibirku dan menciumnya dengan penuh perasaan sambil meremas rambutku. Kami saling memagut, memadu kasih dengan ciuman-ciuman dalam yang tanpa henti.

Sepertinya ini sudah saatnya. Aku mencari celanaku dan merogoh ke dalam sakunya. Aku mengeluarkan kondom dan menggenggamnya di tanganku. Kyoko lalu mendorong tubuhku, agar aku berbaring. Dia meremas penisku dengan tangannya. Jari-jarinya yang lembut menggenggam batang kemaluanku dengan jahilnya. Ia meremasnya pelan, lalu dia meneruskan pekerjaannya tadi yang belum selesai.

Dia meraba badanku, sambil melihat ke mataku dengan tajam. Aku sedikit bangkit dan meraihnya, lalu berciuman dengannya sejenak. Tangannya merayap dari dadaku ke selangkanganku. Ia membuka mulutnya kembali dan memasukkan penisku ke dalam mulutnya sambil menatapku. Tangannya meremas lembut penisku saat ia mengulumnya dengan gerakan pelan.

Dia memasukkannya penuh ke dalam mulutnya, menjilatnya dan menyelimutinya dengan dinding dalam mulutnya yang lembut. Ia memperlakukannya seperti seakan-akan penisku terbuat dari coklat favoritnya. Ia kulu, dengan penuh penghayatan, sambil menatapku dan tidak sedikitpun berusaha mengendurkan iramanya.

Tangannya mengocok pelan, lalu dengan gerakan perlahan ia melepas penisku dari mulutnya. Ia menggenggam batangnya lalu menyibakkannya ke arah lain, dan mulai menjilati buah zakarku dengan lembutnya. Ia kadang menggigitnya lembut dengan bibirnya, tetapi lidahnya benar-benar menguasai. Gila. Sensasi macam apa ini? Rasanya begitu lembut. Rasanya aku tidak ingin mengakhiri malam ini.

Kyoko terus mengulum penisku dalam dalam, sambil mengocoknya lembut, dan aku lalu menarik tubuhnya. Aku membiarkannya menciumi bibirku dengan panas.

“Aya… Don forget…” bisiknya. Aku mengangguk dan merobek bungkus kondom yang kubawa. Aku memakaikannya dengan cepat, dan Kyoko memeluk tubuhku dengan sabar. Setelah selesai kupakai, dengan lembut Kyoko duduk diatas selangkanganku dan pelan-pelan kurasakan penisku masuk ke vaginanya yang telah licin itu.

“Aahh….” Kyoko mendesah. Dia menggerakkan pantatnya dengan irama pelan, sambil terus berada dalam pelukanku. Aku meremas buah dadanya yang indah itu, sambil kami tetap berusaha saling berciuman. Bisa kurasakan dinding vaginanya meremas penisku dengan nikmatnya, dan rasanya sungguh luar biasa. Kami berciuman dan aku tetap meraba-raba seluruh permukaan badannya.

Dia sedikit bangkit dan aku berusaha untuk menciumi putingnya.

“Unnh….” desah Kyoko sesuai irama gerakan badannya. Tentunya ekspresi mukanya sudah tidak dapat ia control lagi dengan segala kenikmatan yang ia rasakan sekarang. Penisku menghunjam vaginanya dengan deras dan bibirku terus melumat putingnya. Kedua tanganku tidak berhenti meremas dadanya. Sudah pasti ia merasakan stimulasi yang luar biasa.

“Daisuki….” bisikku perlahan.

Kyoko hanya mengangguk pelan sambil mendesah. Ia tidak bisa menahan lagi rasa nikmat yang menjalar dari daerah kewanitaannya ke seluruh badannya.

“Ohh… Ahhh… Ahh… Mmm…..” aku berpindah mencium bibirnya. Pantatnya masih terus bergerak, dan penisku dengan nyamannya merasakan stimulasi gila-gilaan dari dinding vaginanya. Suara pantatnya beradu dengan pahaku, bergema di telingaku. Badannya berada dalam pelukanku. Tanganku meremas pantatnya dengan erat, sementara nafas kami berdua beradu. Muka kami saling menempel, beradu pipi, beradu nafas dan bisa kulihat pipinya memerah. Dia sangat menikmatinya.

“Mmmnnn……” desahnya saat aku meremas erat pantatnya yang bulat. Tanganku lalu bergerak kemana-mana. Bergerak merambah, menyentuh, dan merasakan kelembutan kulitnya. Aku mencoba memetakan badannya dengan tanganku. Bibir kami berdua tidak bisa lepas saat aku mulai menciumnya lagi. Kami bahkan menyesuaikan irama ciuman kami dengan irama gerakan pantatnya.

Seakan-akan kami tidak ingin membuang waktu lagi, Kyoko duduk tegak dan membiarkan tanganku meremas semua yang bisa kuremas. Dia bergerak dengan liarnya di atas penisku. Kedua tanganku meremas buah dadanya dengan erat. Tangannya bertumpu ke badanku. Aku lantas memegang perutnya, membantunya bergerak. Buah dadanya yang besar itu berguncang dengan indahnya di mataku. Ekspresi kenikmatannya menambah pemandangan yang luar biasa.

“Aya… Uhh… Kimochi ii ne….” bisiknya dalam guncangan tubuhnya yang hebat itu. Sejauh ini memang malam ini adalah malam terpanas kami. Buah dadanya terus menari seirama dengan naik turun badannya. Ia menatapku lekat, merasakan kenikmatan yang luar biasa. Tak terasa, saking hebatnya kami berdua bergerak, vaginanya sudah sangat basah sehingga aku bisa bergerak semakin leluasa di dalam sana.

Aku menahan tubuhnya, agar irama percintaan kami berubah menjadi pelan. Aku mencium bibirnya dan mengisyaratkan berubah posisi. Kyoko menurut. Ia melepas penisku dari tubuhnya dan badannya mengikuti tanganku. Aku membaringkannya dan lantas kembali bermain dengan bibir vaginanya. Aku menjilatinya kembali, sengaja agar stimulasi yang ia rasakan semakin luar biasa.

“Ahh.. Aya… Dame… Dame.. Kusugattai…” Ia kegelian. Aku tertawa lalu beringsut ke atas. Aku memeluknya dari belakang, dan memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Aku memeluk perutnya dan ia membelai pipiku, saat aku menghunjamkan penisku. Kedua kakinya tertutup rapat, memberikan jalan untuk penisku menggaulinya dari belakang. Kyoko berbaring miring memunggungiku. Aku menggunakan posisi ini agar dapat bebas menciumi lehernya dan mempermainkan buah dadanya.

Beberapa orang menyebutnya posisi sendok. Aku tak peduli apa namanya. Tapi aku bisa dengan leluasa menyetubuhi Kyoko dari belakang dan penisku bisa masuk dengan dalam. Kyoko pasrah, bersandar ke badanku saat penisku menggagahinya, tanganku dengan aktif meremas payudaranya dan ciuman-ciumanku menjelajahi lehernya.

Desahannya sudah tanpa suara dan tangannya terkulai. Tak jarang ia menyeka keringat yang turun ke wajahnya, ataupun berusaha merabaku dengan lemah. Aku menguasai dirinya. Dia tidak berdaya di pelukanku. Dia pasrah menerima seluruh gerakan cintaku. Aku sangat bersemangat bersatu dengannya malam ini. Tidak ada siapapun lagi di dalam kepalaku kecuali Kyoko.

Aku meraih pahanya dan berusaha melebarkan pahanya, agar aku bisa makin leluasa menggaulinya. Kyoko pasrah, dan malah sedikit merubah posisinya agar aku dapat menciuminya. Aku menerima ajakannya. Bibir kami berdua bertemu, dengan panas dan tanpa ragu tanganku ikut berbuat nakal. Aku meraba bibir vaginanya sementara penisku dengan gerakan yang stabil menghunjam ke vaginanya.

“Aya… umai…” bisiknya keenakan.
“Ummm?” balasku sambil mencium lehernya dengan ganas. Entah kenapa bibir kami berdua tidak bisa diam. Selalu mencium apa saja yang lewat di depan kami, leher, bibir, pipi, bahu, secuil kulit Kyoko yang lewat di depan mataku pun tidak luput dari ciumanku. Aku kembali menutup paha Kyoko dan menarik penisku perlahan.

“Unhh…” bisiknya mengambil nafas. Aku lantas bergerak ke atas tubuhnya, dan menyibakkan kedua belah pahanya. Aku mengambil posisi misionaris, dan Kyoko pasrah begitu saja.

“Aaaahhh…….” bisiknya saat aku kembali memasuki vaginanya. Aku menggaulinya dengan gerakan yang bersemangat, dan bibir kami berdua kembali bertemu. Tangan Kyoko terkulai ke samping, tak kuasa menerima semua kenikmatan malam itu. Rasanya seperti selamanya.

“Uhh… Uhh…” desahnya seirama dengan gerakan pantatku yang terus menusuk vaginanya tanpa ampun. Kadang mata kami berdua bertemu dan kami saling tersenyum malu dalam persetubuhan kami. Gila. Aku terus menggerakkan penisku di dalam vaginanya yang semakin lama terasa semakin sempit dan licin. Panas tubuhnya merambat lewat pelukannya dan daerah kewanitaannya.

Aku tak bisa berhenti lagi. Aku terus menggaulinya, menatap wajahnya erat. Kyoko menatapku dengan tatapan pasrah yang penuh arti. Aku menerima sinyal darinya. Dia tampaknya sudah tidak tahan lagi.

Gerakanku malah semakin liar. Aku menstimulasinya terus terusan. Rasanya penisku selalu tidak cukup dalam menggagahinya. Penisku bergerak dengan nyamannya, tanpa penghalang kecuali pengaman, dengan leluasa dalam tubuh Kyoko. Dia makin lama semakin lemas dan bisa kulihat dia mengerang tertahan dengan mata tertutup.

Aku hapal bahasa tubuh seperti ini.

“Nng…” desahan kecil muncul dari mulutnya. Aku terus menggaulinya tanpa henti.

“Ahh…. Nnng…..” Badannya semakin tegang. Matanya tampak terpejam lebih keras lagi. “Mmmhhh….” semakin terasa sempit lubang vaginanya.

“Aya…. AAHH…….. AYA……………” Dia mengejang, mendesah tidak karuan. Punggungnya menjadi kaku, dan tangannya mencengkram erat pergelangan tanganku.

“Unnng……. Ahhh…. Ahhh……..” Kyoko menegang, dengan liarnya dan badannya mengeras sesaat. Aku semakin liar menggerakkan tubuhku. “Aya… iku… iku… Aaaahh….” Badannya semakin tegang, menjepit penisku dengan keras. Aku tak tahan lagi.

“Kyoko… Ahh….“ bisikku sambil melepas spermaku di dalam tubuhnya. Tentunya terhalang oleh kondom.
“Unngg…. Aaaaahh……” desah Kyoko melepas orgasmenya. Kami bertatapan dalam diam, dan nafas kami berdua terdengar sangat berat.

Kami berdua mencapainya bersama. Mendadak kami tersenyum, dengan lemah. Saling menatap. Kami telah melepas rindu. Kami telah bersama malam ini. Aku tersenyum dengan tololnya dan mencium bibirnya lembut. Tanganku mencoba meraih selimut, dan kami berdua menutup diri dengan selimut itu. Kami berpelukan cukup lama, sebelum aku beringsut setelah penisku kembali melemah.

Kyoko lalu meraihku dan memelukku. “Anata nashidewa ikite ikanai” bisiknya.
“And… That means?” bisikku dengan manis, sambil mencium pipinya.

“I cant live without you, Aya”

----------------------------

BERSAMBUNG
 
Njir berasa ikut nonton konser nya soundgarden beneran

Thanks update nya om
Tambah lagi dong
 
Bimabet
MDT SEASON 1 - PART 44

----------------------------

untitl10.jpg

"Aya..."
"Hmm?"
"Wake up"
"Hmmm?"
"Aya...."
"Hm?"

"Aya... It's 11 o'clock"

Deg. Aku membuka mataku. Kami masih telanjang berdua, berbalut selimut di dalam kamarnya. Sedangkan aku check sound jam 2 siang. Shinjuku. Kepalaku langsung berputar kaget karena bingung. Apakah aku harus ke Ochanomizu dulu, lalu baru ke Shinjuku bersama anak-anak, atau langsung bertemu di Shinjuku?

Aku mencari handphoneku yang entah ada dimana. Ketemu setelah aku mengacak-ngacak tumpukan bajuku di kamar Kyoko.

Sepi.

Oh iya... Aku dari kemarin mengandalkan modem wifi. Dan sekarang tidak ada sinyal apapun di handphoneku.

"Kyoko?"
"Yes" Kyoko duduk di sebelahku sambil menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut.
"Umm... Wifi password, please?"
"Ah, sure..."

Kyoko memberitahuku dan lantas mendadak pesan di setiap media sosial masuk dengan serentak. Handphoneku langsung panas.

"Dimana lo?"
"Mas dimana?"
"Dimana lo?"
"Pake kondom kan?"

Bentar... bentar... Aku duduk terlebih dahulu dan bersandar ke dinding. Kyoko lalu merebahkan dirinya di pahaku dan dia pun ikut memeriksa handphonenya. Satu-satu deh. Grup Hantaman dulu.

"Guys sori, gue lupa kalo tanpa modem wifi gak bisa online..." sahutku di grup.
"Lo dimana?" tanya Anin panik.
"Di rumah Kyoko"
"Buset dah"
"Sorry, tar ketemuan di Shinjuku aja gimana? Tolong bawain semua gitar dan efek gue ya Nin... Lo tau kan apa aja bawaan gue"
"Yowis gapapa, santai men...=D" jawab Anin.

"Si Bangsat, pasti abis ngewe ya?" Stefan mendadak memotong pembicaraan.
"Udah biariin, wajar kali hahaha" sahut Anin.
"He he he" balasku awkward.
"Minta videonya dong" Sahut Stefan bercanda.
"Ngga mau"

Lantas aku berpaling ke adikku.

"Mas... dimana?"
"Duh maaf, aku ketiduran semalem di rumahnya Kyoko.. Maklum lah..."
"Jahat"
"Maaf...."
"Jahat, gak bilang-bilang dulu... Dan masa semalem Stefan..." keluhnya.
"Stefan kenapa?"

"Coba scroll keatas deh =(" pinta Ai.
"Kok?" tanyaku.
"Aku males ngulang lagi..." nadanya terlihat kesal.
"Kenapa Stefan?"
"Udah liat aja di atas...."

"Stefan semalem tidur disini Mas..." message jam 7 pagi tadi.
"WHAT!!!" balasku terlambat.

"Huhuhuhu" balas Ai.
"Kamu diapain sama dia??"
"Gak kok tapi..."
"Kok jawabnya gitu?" bingungku.
"Udah ntar aja, ke sini dulu apa langsung ketemuan dimana =("
"Yah... Yaudah lah"

Aku beralih ke Stefan. Pusing juga membalasi dan chatting pindah-pindah gini.

"Fan semalem lo tidur sama Ai?" tanyaku langsung.
"Woi.. Chill men, gak usah cemburu gitu, kita ga ngapa-ngapain, gue cuma ketiduran di kamar lo doang" jawabnya dengan santai.
"Oh... Yowes..." mendadak hatiku lega.
"Santai dong, jangan cembokur gitu" ledeknya.
"Tai"
"Eh Ya..." selanya.

"Yes?"
"Enak semalem? Udah gak ngewe berapa lama?" tawanya di ujung sana.
"Gak perlu tau ente" jawabku kesal

"Aya, want to take a bath?" tanya Kyoko mendadak. Ia membenamkan dirinya di pahaku, menikmati keberadaanku di kamarnya.
"Yep... And we will meet them at Shinjuku, 2 o'clock"
"Okay...." senyum Kyoko dengan lucunya.

----------------------------
----------------------------
----------------------------

image11.jpg

"Baju kemaren tuh" ledek Stefan saat aku dan Kyoko masuk ke dalam Gravity Rock Bar, Shinjuku. Aku tersenyum kecut. Dan Kyoko tampak mengulum senyumnya. Memang tampak obvious kalau semalam aku dan Kyoko tidur bersama. Aku lantas menghampiri Ai yang nongkrong di bar dengan bosannya.

"Oi" aku melempar badanku di kursi bar. Kyoko sedang ke toilet.
"Ih ini dia yang ninggalin rombongan gak ada kabar" kesalnya.
"Semalem gimana ceritanya?"
"Iya... Jadi dia nyariin Mas semalem... Terus katanya mau nunggu di kamar... Yaudah kutinggal tidur.." jawab Ai.
"Terus?"

"Pas aku bangun, ada badan di Futonnya Mas... Aku pikir itu Mas Arya, pas aku liat, kaget aku, taunya anak setan" lanjut Ai sambil merengut.
"Elu tuh yang anak setan." sahut Stefan dari kejauhan, dia sedang memperhatikan Sena dan Anin yang sedang menyusun peralatan di panggung. Bagas tampak sedang menyetel drum. Ilham sedang mengambil foto mereka semua.

"Zee kapan kesini?" tanyaku ke Ilham ketika dia mendekat ke meja bar.
"Ntar lah pas main, kenapa, kangen ya" tawanya.
"Kagak, nanya doang"
"Tuh pacar lo, kalo dia tau Zee ngapain elo pas di Naeba marah gak ya" bisik Ilham saat Kyoko sudah keluar dari toilet.
"Hus"

Kyoko lalu mendekat dan duduk di kursi bar di sebelahku. Aku masih pegal karena berjalan dengan cepat kesini. Untung tadi sudah makan dengan Kyoko, jadi tidak lapar. Oke, saatnya mempersiapkan alat-alatku.

"Oi... Indonesia-Jin!" teriak seseorang dengan anehnya dari dalam office Bar. Keluarlah seorang pria dengan penampilan ajaib. Seorang pria berusia 60an tahun, buncit, dengan rambut panjang awut-awutan berwarna putih. Mukanya tampak selalu bahagia. Dia mengenakan T-Shirt Judas Priest dan rompi yang isinya pin dan patch band-band rock dan metal dari seluruh dunia. Dia mengenakan celana kulit berwarna hitam dan sepatu bot koboi yang berujung lancip.

"This is Tatsuo-san" Ilham memperkenalkannya.
"Hai Hai... Naisu tu hef yu hir" senyumnya dengan muka penuh kebahagiaan. Oke, satu lagi orang ajaib, pikirku.
"Dia yang punya dan ngelola tempat ini" bisik Ilham. "Jangan ngomong bahasa Jepang tapi ama dia..."
"Kenapa Ham?"
"Dia sok-sok amrik metalhead gitu, jadi kalo sama orang asing senengnya pake Inggris"
"Oh..." aku menahan tawa. Lucu. Orang Indonesia suka sok-sok Jepang dan orang Jepang ada yang sok-sok Amrik.

"Please-please... Drink... Biru? Ano, Whisky?" tawanya saat ia berjalan dengan lucunya ke balik bar.
"Just coke please" teriakku dari atas panggung.
"Ahahaha!!! Coke!!!" tawanya.
"He don't drink" teriak Ilham ke Tatsuo-San.
"Oke oke... Ah.. " dia melirik Kyoko dan mengajaknya bicara dalam Bahasa Jepang. Kyoko lalu tersipu dan menunjukku. Tatsuo lalu nyengir kuda dan mengangguk penuh arti.

"Ngomong apa tuh ncek2" bisik Stefan ke Ilham.
"Dia ngeflirtingin si Kyoko, terus pacarnya temen kita itu bilang kalo itu cowo gue" tawa Ilham.
"Gila opa genit amat" komentar Anin dan aku hanya tersenyum sambil menyusun efek gitarku.

Tunggu. Ibanez Tubescreamerku kemana?

Pedal wah dan volume Dunlop ada, terus MXR Reverb, Boss SD-1, BBE MB-2, Voodoo Lab Tremolo, Digitech Obscura, MXR A/B oke ada, Boss AD-8 untuk efek gitar akustik juga ada.... Tapi Ibanez Tubescreamerku kemana?

"Sena" panggilku.
"Kenapa bang?"
"Ini Tubescreamer gue kemana ya?" aku bingung.
"Perasaan ada dah, bentar..." dia mengobok-ngobok tas Anin dan kami berdua berusaha mencari-cari di semua tas yang kami bawa.

"Masa ketinggalan di Naeba..." keluhku sambil jongkok. Semua efek gitarku sudah tersusun dengan rapih, kecuali Ibanez Tubescreamer.
"Kalo ga pake Tubescreamer gimana Bang?" tanya Sena yang tampaknya sudah menyerah mencarinya.
"Wah jangan dong... Beda karakternya kalo gue pake SD-1 doang, tar feel beberapa lagu jadi aneh" keluhku.

"Wats wurong?" tanya Tatsuo-san mendadak, jongkok di sampingku.
"Ah... I lost one of my stompbox"
"And wat is it?"
"Tube screamer"
"Aaa... Ibanes!! Come!" dia bangkit dan menepuk punggungku. Dia mengajakku masuk ke office barnya. Dan aku kaget. Disana tertumpuk rapih ratusan efek gitar stompbox. Aku terbelalak dengan herannya. Gila.

"Kool rait??" tawanya bangga.
"WOW" aku terbelalak dan teman-temanku di belakangku juga panik melihatnya. Gila. Ini koleksi yang tak bernilai.

"So, please use!!" dia mengambil Ibanez Tubescreamer dari salah satu laci. "Only for tonait... " senyumnya.
"Wow thanks!!" aku senang dan langsung menundukkan kepala ke arahnya.
"But..."
"Eh?"
"Tonait you have to drink!!!" tawanya.

Anak-anak di belakangku mendadak menahan tawa mereka.

Shit.

----------------------------

Sudah jam setengah delapan malam. Kami ada di backstage yang sempit itu, sambil memeriksa list lagu.

"Gimana kalo gue gak usah maen gitar aja Ya di lagu itu" bisik Stefan sambil mengeluarkan rokoknya dari kotak rokok.
"Harus ah, masa gue main gitar sambil nyanyi sendirian" tawaku.
"Sok-sokan sih"
"Biar" jawabku sambil melihat lirik lagu yang nanti akan kunyanyikan di panggung. Tenang, satu lagu saja dan anak-anak sudah setuju akan membawakannya.

“Itu lagunya artinya apa sih? Kok lo ngebet pengen bawain” tanya Stefan bingung, memutar-mutar batang rokok di tangannya.
“Ini dia ngerasa gak pasti sama masa depannya, terus dia ngegantungin harapannya di orang yang dia sayang” senyumku.
“Tumben Pearl Jam mellow”
“Pearl Jam banyak tau yang liriknya mellow, Cuma musiknya keras aja… Elo makanya jangan dengerin Soundgarden ama Foo Fighters terus dong Fan” tawaku.

Stefan hanya tertawa kecil sambil menyalakan rokoknya. Dia menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya. Aku mencium bau yang familiar.

“ANJING” kagetku. Stefan tertawa pelan menatapku.
“Duh Fan, masih aja ya elo” tawa Anin di sudut lain ruangan, melihat ke arah cermin, memastikan penampilannya oke di depan Zee.
“Lo dapet gele dari mana??” tanyaku dalam bisik. Bagas masih diam dan menatap ke layar handphone.

“Kemaren di Harajuku, yang gue ngilang bentar itu” bisiknya sambil memberi batang rokok yang sudah diisi daun ***** itu ke diriku. Aku mengambilnya dan menghisapnya dalam, menahan asapnya supaya tidak keluar dari sistem pernapasanku.
“Kok tau di Harajuku?”
“Lo pernah liat kan orang-orang negro yang keliaran nawarin sneakers atau manggil-manggil elo?” tanya Stefan.
“Iya”
“Mereka itu jualan gele ama ecstasy juga” tawanya sambil mengambil batang rokok itu dan menghisapnya dalam-dalam.
“Kok tau?”

“Lo pikir apa yang bisa bikin gue gak stress pas kemari bareng ortu gue hahahaha…. Ternyata udah lama gak gue liat negro-negro itu masih aja jualan gele, hebat bisa ga ketangkep” tawanya konyol.
“Sini sebelom manggung” aku mengambil lagi batang rokok itu dan menghisapnya dalam-dalam.
“Tapi kalo ketangkep disini parah men hukumannya”
“Iya”

“Udah, buat ntar lagi, gue belinya dikit soalnya” tawa Stefan puas.

Lumayan, rasanya jadi agak ringan dan rileks. Aku menarik nafas panjang dan siap menghantam malam ini.

----------------------------

“KONBANWAAAAAAAAA!!!!!!” teriak Stefan keras di microphone.
“MALAAAAM” jawab kebanyakan dari seratusan lebih orang yang memenuhi Gravity Rock Bar.

“Indonesia semua nih?”
“Iya Mas!” ada suara yang teriak di belakang.
“Mas saya kemaren ikut nonton di FUJI ROCK FEST lho!!!” teriak salah satunya lagi. Aku menggenggam gitarku sambil menatap lautan kecil manusia di dalam bar tersebut. Kyoko, Zee dan Ai duduk di area Bar bersama beberapa orang lainnya. Ilham tentunya sibuk mengambil foto dan video kami. Sedangkan Sena ada di mixer, seperti biasa.

“Belajar yang bener dong, maen terus…. Kasian orang tuanya dah bayarin mahal-mahal” jawab Stefan.
“Kan beasiswa Mas!!” teriak yang lain lagi, riuh rendah.

“Kagak nanya elo, kontol!” teriak Stefan yang sedang high, disambut tawa para penonton. Heran, disebut kontol senang.

“Main musik yuk, jauh-jauh ke Jepang masa gak maen musik” bisikku di microphoneku.
“Nah, orang ini, ke Jepang, kemaren malah dapet pacar!” teriak Stefan sambil menunjuk Kyoko. Kyoko bingung dan menunjuk dirinya sendiri. Ai menepuk bahunya sambil membisikinya dalam senyum. Mendadak para penonton yang didominasi oleh orang Indonesia itu bertepuk tangan. Untukku.

“Yaudah lah, ini mumpung loh kalian bisa nonton kita gratis” bisik Stefan ke Microphone sambil memberi aba-aba pada kami. Tanpa menunggu lagi kami langsung mulai. Seisi ruangan bergema dengan musik keras. Suara yang padat dari gebukan drum Bagas, riff-riff penjaga ketukan dari Anin, dan raungan gitarku memadati Gravity Rock Bar.

“Langit merobek bola mataku, menggelapkan asa dan pikirku” teriak Stefan di microphone. Lagu pertama malah ini. Matahari tak kan selamanya cerah. Lagu yang mengisahkan kebosanan Stefan akan hidupnya yang serba aman dan nyaman. Tak heran kalau tingkahnya jadi seperti setan begitu. Kebalikan dari diriku, yang selalu tidak aman ketika masa tumbuh kembangku, yang malah sekarang membuatku jadi lelaki dewasa yang selalu main aman dan selalu berusaha tenang dan santai di setiap kesempatan.

Terutama setelah ada Kyoko. Bisa kulihat dia antusias memperhatikan diriku bermain gitar dalam suasana Seattle Sound. Nada nada miring yang menyayat serta raungan gitar yang dihasilkan kedua tanganku merobek malam itu. Dan semua yang menonton minta disakiti lebih dalam lagi.

Baiklah. Kita panaskan malam ini.

----------------------------

Tepuk tangan membahana di ruangan yang besarnya seperempatnya tempat biasa kami nongkrong di Mega Kuningan itu. Bisa kulihat penonton yang kebanyakan orang Indonesia itu tampak puas. Kami bahkan baru setengah main.

“Suka?” tanya Stefan dengan santai di Microphone. Stefan sudah memakai kostum kebanggaannya. Tanpa atasan, alias telanjang dada. Peluh sudah membasahi badannya yang berselimutkan tato itu. T-Shirt kemarinku yang masih kupakai rasanya sudah tak nyaman. Tapi tak apa.

“LAGI!!!” teriak para penonton yang kangen akan musik rock dari Indonesia.
“Suka?”
“SUKA!!!”
“Kirain kalian kangennya sama dangdut” tawa Stefan sambil mengambil rokok dan membakarnya di atas panggung. Anin tertawa lalu melirik ke arah Bagas. Bagas diam saja.

“Ada yang pernah dengerin Arya nyanyi gak?”
“Pernah!!!” teriak Ai dari bar.
“Nah, itu adeknya Arya, hati-hati, jangan kalian kecengin, kakaknya galak” canda Stefan di depan penonton. Mereka semua tertawa, ada beberapa suara iseng bersiul ke arah Ai yang hanya menggelengkan kepalanya saja.

“Dan gue disuruh main gitar, dia mau nyanyi sambil main gitar tapi… Duh ngomong apa ya gue…” tawanya sambil mengambil sekaleng bir lagi dan meminumnya di depan penonton. Tidak habis. Dia lemparkan kaleng itu ke tengah kerumunan masa. Dan tololnya ada saja yang berebutan mengambilnya.

Stefan berjalan ke arah gitar akustikku dan menggendongnya. “Oke, all set!”

“Malem guys” bisikku di Microphone.
“MALEM!!”

“Jepang… berarti banget buat gue”
“Jangan curhat, ******!” mendadak Stefan melempar kaleng bir kosong ke kepalaku. Aku menepisnya sambil tertawa.

“Oke deh… Kono uta wa, Kyoko no tameni…” aku mempersembahkan lagu itu untuk Kyoko dan bisa kulihat ekspresi kaget Kyoko saat kami memulai lagu itu.


Hear the sirens
Hear the sirens
Hear the sirens
Hear the circus so profound


Aku menyanyikannya sambil memainkan gitar listrikku untuk mengisi riff-riff yang diperlukan. Stefan sementara kalem dan fokus memainkan gitar akustik.

I hear the sirens
More & more in this here town
Let me catch my breath & breathe
And reach across the bed
Just to know we're safe
I am a grateful man
The slightest bit of light
And I can see you clear
Have you take your hand, and feel your breath
For fear this someday will be over
I pull you close, so much to lose
Knowing that nothing lasts forever
I didn't care, before you were here
I danced in laughter with the everafter
But all things change
Let this remain


Aku bernyanyi tanpa melihat ke penonton, hanya menatap Kyoko, dan mendadak semua orang disini menghilang. Hanya ada aku dan Kyoko di ruangan itu. Aku bisa menatap senyumnya yang begitu lebar saat kunyanyikan lagu itu tepat ke arahnya.

Hear the sirens
Covering distance in the night
The sound echoing closer
Will they come for me next time?
For every choice mistake I've made
It's not my plan
To send you in the arms of
Another man
And if you choose to stay I'll wait
I'll understand
It's a fragile thing
This life we lead
If I think too much I can get over
Whelmed by the grace
By which we live our lives
With death over our shoulders
Want you to know
That should I go I always loved you
Held you high above, true
I study your face
And the fear goes away


Dan solo gitarku meraung membelah hening. Aku tidak bisa menjelaskan betapa bercahayanya muka Kyoko saat kunyanyikan bait-bait yang tadi. Dan benar, setiap menatap muka Kyoko, rasanya rasa takut menghilang.

It's a fragile thing
This life we lead
If I think too much I can get over
Whelmed by the grace
By which we live our lives
With death over our shoulder
Want you to know
That should I go I always loved you
Held you high above, true
I study your face
And the fear goes away
The fear goes away
The fear goes away
Aah ah, oh oh
Aah ah, oh oh


“WOOOOOOOOOO!!!!!!!” para penonton dan Kyoko tidak menyangka itu suaraku. Aku memang terlalu sering menjadi backing vokal di band ini dan hampir tak pernah menyanyi. Terakhir kali aku menyanyi adalah di acara reuni teman kuliahku yang berakhir dengan perkelahian antara suaminya Dian dan Bram.

Aku tersenyum dan seseorang penonton menghampiriku sambil menyodorkanku botol berisi bir. Aku terpaksa meraihnya dan mengacungkannya ke atas, dan disambut oleh tepuk tangan seisi Bar. Terutama Kyoko. Ya, memang, sepekat apapun dan seragu apapun kita akan masa depan kita, biarkanlah kita menggantung harapan di orang yang kita sayangi.

Salah satunya Kyoko.

----------------------------

hqdefa10.jpg

“KANPAI!!” beberapa orang bergabung dengan kami untuk toast. Mereka tampaknya puas berfoto-foto dengan kami dan meminta tanda-tangan di CD Hantaman milik mereka. Kami melayani mereka dengan ramah, termasuk Stefan yang sedang asyik mojok dengan beberapa orang mahasiswa Indonesia yang tadi menonton kami.

“Untung yang nonton hampir ga ada cewek” tawa Anin di meja yang disediakan untuk kami. Kyoko, Zee dan Ai sudah bergabung bersama kami.
“Aya tida perunah birang karo Aya bisa me…nya… nyi” Kyoko membuka obrolan.
“Surprise” bisikku yang disambut tawa Kyoko.

“Asik nih malem ini, enak lebih cair” sahut Anin yang menengok ke arah Bagas yang sedang duduk di kursi bar sendiri dengan bir di depan mukanya.
“Dia tidak apa alone there?” tanya Zee ke Anin, yang disambut Anin dengan gelagapan.
“Ah… Ya… Anu… Biarin aja, orangnya emang gitu”

Sementara Sena sedang menjalankan tugasnya sebagai Kru kami, dan tak lupa dia mengembalikan efek gitar yang aku pinjam tadi ke Tatsuo San. Tatsuo san terlihat merayap ke arah meja kami. Membawa nampan berisi beberapa minuman.

“Feri Good!! Cool!! Indonesia-Jin, you rock!!” serunya sambil menaruh beberapa minuman di atas meja kami. “And because your musik gud, free drink for the band and three pretty gyaru here!!” dia menunjuk ke arah Ai, Kyoko dan Zee.
“Thanks!!” seru Zee senang. Dasar pemabuk.

“And Indo Guitar! Becos yu borow mai efek, you have to drink to pay” seringainya. Anjir. “But oni tri glass. Here.” Apaan nih. Satu gelas bisa kulihat, satu gelas bir besar. Aku menelan ludahku sendiri. Sisanya warnanya oranye dan biru. Aku tak tahu yang lain itu apa.
“Bir, dan dua cocktail, yang oranye screwdriver tu kayaknya” sahut Anin di tengah hingar bingar musik rock yang diputar disana sebagai musik latar.
“Hmmm……..”
“It’s okay Aya, just a little won’t get you drunk” bisik Kyoko sambil senyum. Tunggu. Muka Kyoko merah dan senyumnya agak aneh.

“Dek, dia minum apa tadi?” bisikku ke Ai.
“Amm……. Beberapa sih, gak merhatiin aku, sibuk ngeliatin kalian” Ai meringis.
“She takes some glass of beer and beberapa shots” sahut Zee di sebrangku. “Like me” senyum Zee bangga. SIalan.

“Mas kalo segitu doang mah ga akan mabok tau… Liat si aki-aki rocker ini ngeliatin mas terus sambil senyum-senyum… dia nungguin tuh…” bisik Ai.

“What will happened if I don’t drink?” tanyaku ke Tatsuo-san.
“Kontol lu putus!!! Hahahaha” tawa Stefan sambil merangkul Tatsuo-San. “Ini ncek-ncek keren banget men!!! Dia aja jadi bokap gue kali ya?” Stefan menenggak segelas besar Bir dan lalu jalan kembali ke bar, minta tambah ke bartender. Aku Cuma menggelengkan kepala.

“You have promise to me” senyum Tatsuo kepadaku menagih janji. Aku akhirnya menyerah, meraih segelas besar bir. Gelas pertama. Kyoko memeluk pinggangku dan menyemangatiku dengan tatapannya yang aneh. Sarap. Pacar gue mabok.
“Kyoko nyengir mulu nih” bisikku ke Ai.
“Haha… Biarin aja, kan dia mau have fun” tawa Ai melihat ekspresi Kyoko.

Akhirnya aku meraih pinggir gelas dengan mulutku dan cairan pahit itu masuk ke dalam tenggorokanku. Ayo, make it quick. Rasa bir sebenarnya biasa saja. Tapi aku tidak suka dengan after taste kering di lidah dan rasa seret di leher yang menurut beberapa orang “segar” itu. Kagok edan. Aku langsung menghabiskannya sekali minum. Aku menaruh gelasku dengan bangga di meja. Gila. Kembung rasanya.

Kyoko bertepuk tangan. “Kakkoi!” serunya. Cool? sialan, tawaku dalam hati.
“******, dia gak bisa diajak minum, tapi nih aki-aki bisa bikin dia minum” tawa Anin.
“Haha… two more!!” sahut Tatsuo-san.

“Anjir… Parah, bir gak bikin mabok kan?” tanyaku dengan tolol.
“How old are you? Ten?” tanya Zee meremehkan. Mukanya sudah mulai merah dan dia tak henti-hentinya minum. Apapun. Dan rokok selalu menyala di tangannya.

“Dua lagi Ya…” sahut Anin memberi semangat sambil menenggak bir lagi. Sena, bisa kulihat dia bergabung dengan Stefan di bar, mengobrol tertawa sambil merokok.
“Hup” seruku sambil mengambil minuman yang mereka sebut screwdriver itu. Aku mencium baunya. Bau jeruk.

“Screwdriver!! oren jus and vodka” seru Tatsuo-san, memberitahuku. Kagok edan lagi. Aku menenggaknya, karena sudah berjanji kepada Tatsuo-san, dan Ibanez Tubescreamer adalah efek yang paling penting untuk membawakan lagu-lagu Hantaman. Minuman itu masuk ke dalam mulutku. Di luar dugaanku, rasanya halus. Walau rasa pahitnya masih terasa.

“Iuhhh….” seruku saat aku telah menghabiskannya. Aku menjulurkan lidahku yang terasa pahit dan tenggorokanku terasa panas. “Water” keluhku dan Ai langsung mengambil botol minuman kecil dari tasnya dan langsung diberikan kepadaku. Aku membasahi tenggorokanku dengan air putih.
“Mas…” bisik Ai.
“Kenapa?”
“Muka mas agak merah”
“Kampret”

“Ternyata lo gak pernah minum tuh karena gampang mabok ya?” ledek Anin.
“Berisik ah… Satu lagi dan gue bebas…” keluhku.
“Aya so cool… One more and free from debt” bisik Kyoko dengan mukanya yang masih aneh. Aku menatapnya dengan heran. Kok tumben, jadi agak bebas gini tingkah lakunya di depan orang banyak. Dia memeluk tanganku dan bersandar dengan manjanya di bahuku. Aku mengambil satu gelas lagi, yang minumannya berwarna biru itu. Entah apa itu.

Mendadak Zee menahan tanganku. Dia mengambil gelas shot yang nganggur di atas meja dan menuangkan isinya ke dalam gelasku.

“Woi!” bentakku.
“Ayolah… Just a little more” tawanya. Tangan Kyoko mendadak menghampiri tangan Zee dan mengambilnya dari tanganku. Zee bingung melihatnya dan menahan tawanya.
“She’s drunk!” teriak Zee ke kami.
“Anata mo!” kamu juga, teriak Kyoko ke Zee.

“Calm down girls…” Anin berusaha menengahi.

“Last one!” aku tanpa ba-bi-bu lagi menenggaknya sambil berusaha menahan rasa pahit. Untung rasa manisnya juga banyak, tampaknya untuk menyamarkan alkoholnya. Jadi bisa dibilang orang yang banyak meminum ini dengan tidak sadar akan mengkonsumsi alkohol dengan banyak.

“Done!” teriakku sambil menaruh gelas kosong itu di meja. Semua orang di mejaku bertepuk tangan.
“Stefan!!!” teriak Anin. “Udah nih!!”
“Mantap… Ayo lanjut Ya!! Minum lagi” seru Stefan.
“Udah-udah… “ aku masih mengusir rasa pahit di mulutku.

“Kareshi wa kakkoi….” bisik Kyoko dengan nada aneh di telingaku, sambil mengambil gelas entah apa di meja dan meminumnya lagi.
“Kyoko… enough… Mada.. mada…” aku mencoba menahannya agar tidak terlalu banyak minum.
“Udah lah men, biarin dia…”
“Yes… Biarin… Ashita wa still not working… So let Kyoko enjoy tonait!” teriak Kyoko di telingaku.
“Kampret” aku menggelengkan kepalaku yang agak berat. Untung tidak sampai mabuk. Zee tampak menertawaiku.

“So, gue beli ini kemaren di akiba” Anin mendadak caper lagi ke Zee.
“Getter robo?” tanya Zee melihat foto di handphone Anin.
“Yes. Karya Go Nagai memang keren ya?” sahut Anin sumringah.
“Go nagai? Itu kan karya Ken Ishikawa… Hahahahahahaaa…” tawa Zee sambil menunjuk ke hidung Anin. Anin mendadak melongo sempurna.

“Ahh… Ehehehehe.. Gitu ya” Anin mengusap-ngusap kepala botaknya.

“Arya sayang!” teriak Stefan mendadak. Dia tampak blingsatan mondar-mandir di bar itu.
“Hmm?” aku mencoba menjawabnya dengan sulit karena ramainya suasana selesai kami manggung itu.
“Sini lo!”
“Tapi…” aku menunjuk ke Kyoko yang makin lama erat memeluk tanganku dari samping.
“Udah biarin aja, biarin cewek-cewek have fun… Adik iparnya bisa jagain kan?” tawa Stefan.
“Bisa…” jawab Ai sambil melihat Stefan dengan aneh.

“Yaudah” aku bangkit sambil menahan tubuh Kyoko agar ia tidak ikut.
“Doko iku no?” ucap Kyoko manja sambil berusaha menahanku.
“Chotto… Oshaberi” bisikku sambil menunjuk Stefan, menandakan kalau aku ingin mengobrol dengannya. Kyoko merengut dan duduk kembali. Dia mengambil gelas lain yang masih penuh dan meminumnya. Aku hanya geleng-geleng kepala.

“Apaan?” tanyaku ke Stefan setelah berhasil pergi dari meja itu.
“Sini”
“Ya ampun” aku kaget saat dia mengajakku ke backstage dan dia memberi sebatang rokok yang tampaknya sudah berisi *****.
“Abisin buruan…” tawa Stefan.
“Gila lo”
“Ayo kapan lagi, ini turunnya cepet kok, tadi ngerasain sendiri kan?” tawanya.
“Iya deh” aku menyambarnya dan dia menyalakan batang rokok itu dengan cepat. Gila. Terbang lagi ke udara. Mabok enggak giting iya. Aneh lu Ya.

----------------------------
----------------------------
----------------------------

maxres14.jpg

Selesai sudah. Jam 12 malam. Kami harus mengejar kereta terakhir ke arah Ochanomizu, dari Shinjuku. Kami berjalan perlahan di trotoar dengan pura-pura tertib. Anin memeluk bahu Ilham. Untung keduanya badannya besar. Sena dijaga oleh Bagas. Ai menenteng tasnya sendiri, tas Kyoko dan ranselnya Zee. Stefan menggunakan handphonenya. Untuk merekam video. Video siapa? Videoku.

“Stop, man…” pintaku ke dirinya.
“Diem lu, kapan lagi lu kayak gini” tawanya. Tumben dia tidak begitu mabuk. Malah Anin dan Sena yang super tepar kelihatannya. Semua peralatan musik kami terpaksa menginap karena kami terlalu parah untuk membawa mereka semua pulang.

“Mas diemin aja deh” sahut Ai.
“Itu kalo lo sebar di fesbuk gue bacok ya” kepalaku masih berat. Masih agak melayang rasanya. Mungkin ada sedikit pengaruh alkohol, tapi banyak pengaruh *****.

“Gila orang ini ganteng banget” tawa Stefan masih merekam videoku.
“Kontol” umpatku.
“Itu line gue, bayar royalti ya” Stefan tampak berbahagia.

Bagaimana tidak? Kyoko bergelayut dengan mabuknya di tangan kiriku dan Zee dengan kondisi yang sama-sama mabuk parah, ada di tangan kananku.

“Nanishiteruno?” Ngapain lu? Kyoko melirik dengan lemah ke arah Zee sambil berusaha jalan.
“Urusai!” balas Zee. Berisik, katanya.
“Kare wa… Watashi no koibito!” Dia cowok gue, teriak Kyoko. “Ssst…” aku berusaha menyuruhnya diam.
“Doo demo ii yo…” Bodo amat, balas Zee.

“Nggh…” Kyoko berusaha melepas tangan Zee dari tanganku dengan paksa.
“Woi Woi Woi… Udah… Udah…” aku berhenti berjalan. Ai lalu berusaha membantuku.
“Sini mas…” Ai menarik Kyoko dan memapahnya perlahan. Ai tampak repot, membawa tiga tas dan sekarang sambil memapah Kyoko.

“Mmm….” Zee malah memegang tanganku makin erat dan membenamkan kepalanya di lengan bajuku. Kalau ada yang tidak kenal kami, pasti dia yang disangka pacarku.
“Mbak… mbak.. Udah mbakk… Ham!!! Tukeran!!” teriakku ke Ilham.
“Buset… Sabar aja, ini gue lagi mapah gorila juga!” balas Ilham.
“Gas?” pintaku ke Bagas. Bagas Cuma diam tanpa melirikku. Nihil.

“Oi… Temae!! Kutabare!!” Kyoko berontak dari pelukan Ai dan berusaha menjauhkan Zee dari diriku.
“Buset kasar banget” tawa Ilham mendengar bahasa Kyoko.

“Weits… Udah… udah… Dek.. Gantian deh kayaknya tadi salah.. Kyoko aja yang sama aku…” Ai dengan cepat bertukar korban perang denganku. Sekarang sepertinya aman. Stefan masih menyeringai sambil merekam semua kejadian tolol tadi.

“Ung? Onna tarashi….” Kyoko menyentuh hidungku dengan telunjuknya lalu menyentil hidungku.
“Buset apaan lagi sih” keluhku sambil menggandeng dan berusaha agar Kyoko jalan lurus.
“Lo dikatain playboy” teriak Ilham.

Duh. Untung sudah masuk ke gerbang Stasiun. Kami terpaksa masuk ke platform lewat pintu yang khusus orang cacat dan tua. Petugas stasiun membantu kami untuk menyentuhkan kartu prabayar kami ke sensor. Sepertinya banyak sumimasen dalam kalimat Ilham ke para petugas. Mereka memakluminya. Orang mabuk bukan barang baru di Jepang.

Kami lantas menunggu di platform.

“Mas… Gimana ini…..” Ai mendadak panik. Sialan. Zee malah memeluknya dari samping. Dan berbisik hal-hal yang mesum ke telinga Ai sambil berusaha menciumnya.
“Wah ini dia!” Stefan malah mengambil video mereka.
“Woi bukannya bantuin!!” teriak Ai dengan geli.
“Duh tahan ya, bentar lagi naik kereta, dan sampe ke penginapan….” Muka Ilham terlihat tidak enak. Anin dan Sena sudah terlalu mabuk untuk menanggapi apapun. Untung tidak ada yang muntah.

“Woh kereta!!” seruku senang sambil melihat kereta yang datang. Kami bergegas naik saat kereta itu berhenti di platform. Aku sejenak bernapas lega. Bisa duduk nyaman dan sepertinya Zee dan Kyoko sudah tidak terlalu berulah lagi. Kereta sangat sepi. Di gerbong ini Cuma ada kami.

“Aya…. “ bisik Kyoko di telingaku, saat kami duduk di kursi.
“Hmm?”
“Namete kure…” Jilatin gue, sambil dia menyentuh area kewanitaannya.
“******” aku menahan tangannya agar menjauh dari area-area porno.

“Wih, kayak bokep yang pelecehan di kereta” tawa Stefan sambil terus merekam.
“Anjing” umpatku ke Stefan.

“Aya…. Mata wa… Shabutte ageru??” Atau mau elu di blowjob? Kampret. Kyoko mendadak memegang penisku. Dan aku dengan sigap menarik tangannya.
“Ahahahahahahahhaa” tawa Stefan. Mendadak Zee bangkit, dan menjauhi Ai. Kami sengaja duduk berjauh-jauhan agar tidak saling menggangu. Tapi Zee memberontak. Perempuan yang berasal dari Singapura ini lalu duduk di sebelahku. Aku lagi-lagi terjepit diantara Zee dan Kyoko.

“Kuchikitanai” bisik Kyoko.
“Dia bilang Zee bitch!” teriak Ilham dari sudut lain.
“Gak usah semuanya lo translate begoooo” teriakku pusing. Kepalaku berat, dan harus menghadapi dua orang perempuan yang mendadak liar ini.

“Mo ichido… Kare.. Wa… Watashi… No… Koibito…” jelas Kyoko panjang lebar, menegaskan kalau aku pacarnya.
“Maji de?” Sumpe lo? Bangsat. Zee melawan Kyoko dan sekarang dia bersender juga di tanganku. Aku berasa seperti raja minyak, setidaknya di mata Stefan yang terus menyeringai sambil merekam.
“Bantuin dong, kontol”
“Ahahaha, Arya jadi gue” Stefan malah tertawa.

“Hontou… Nando mo issho ni nemashita!” bentak Kyoko.
“Wahahahaha bangsat” tawa Ilham dari jauh.
“Apaan artinya?” tanya Ai bingung dan berusaha mendekati Zee lagi untuk menariknya.
“Ehmm… Itu…”
“Ahahaha.. She said you two slept together many times. I don’t care… I want to know what it feels like fucking you” tawa Zee.

“Yah.. kampret” keluh Ai mendengarnya.
“Maaf ya dek…”
“Yah udah gede kan, abis mau apa lagi..” Dia mencoba menarik Zee untuk duduk menjauh lagi.

“Sumpah ini kocak abis!!” Stefan merasakan euforia gila-gilaan.

“ii kagen ni shiro!” jangan ngaco lagi deh, teriak Kyoko ke Zee. Sumpah, kosakata Bahasa Jepangku bertambah banyak detik ini.

“Yee sampe” teriak Ilham saat kereta kami mendadak berhenti. Kami semua bergegas turun dan keluar dari stasiun cepat cepat di malam yang hangat itu. Untung musim panas. Kalau tidak pasti berat memakai mantel sambil membawa orang mabuk seperti ini.

“Yah bis ga ada ya jam segini?” Ilham merengek bingung saat dia melihat jadwal bis di halte.
“Uhh… Hoek…”
“Woi Anin mau muntah!!” teriak Stefan sambil merekam Anin. Ilham dengan cepat membawa Anin ke pinggir selokan, dan Anin dengan puas memuntahkan isi perutnya ke selokan.

“Lemah” bisik Sena yang ada di genggaman Bagas.
“Gas, tukeran sama Ai gih” pintaku.
“Gak. Gue punya pacar” balasnya dingin. Hmm… susah.

“Hmph… Otaku” ledek Zee saat dia melihat Anin muntah. “Not cool… But this handsome one… He makes me horny everytime he’s around” dia menunjukku dengan muka telernya sambil bertumpu ke Ai.
“Wahahahahaha” tawa Stefan mendadak.
“Maaass…” Ai kaget saat Zee meremas pelan payudaranya.
“And his sister… Cantik… Also makes me horny….” bisiknya ke Ai.
“Tolooooooong”

“Woi… Udah…” Aku dengan refleks menarik Zee.
“Jebakan berhasil… Come… Jalan… I’ll make you my fuckboy” Zee malah menarik tanganku.
“Furinaide!!” teriak Kyoko
“Katanya jangan pegang-pegang” jawab Ilham sambil memapah kembali Anin yang sudah selesai muntah. Kami berjalan kembali dan aku menghindari Zee. Ai yang terpaksa jadi babysitternya.

“Aya…. Muramura… Suru” bisiknya sambil berjalan.
“What?”
“Horny”
“Just… Shut up and walk” kesalku.
“Aaaa…… Aya angry… Aaah……” Kyoko malah terlihat seperti ingin menangis.

“Heh… Iyarashii” bisik Zee ke Ai. Tapi Kyoko mendengarnya.
“Urusai!” bentak Kyoko.
“Iyarashii?” bingungku.
“Dia bilang si Kyoko cewek mesum” celetuk Ilham.

“UDAAAAAAAAAAH”

----------------------------

airbnb10.jpg

Akhirnya. Setelah berjalan kaki yang terasa sangat lama itu, kami sampai di penginapan. Susah memisahkan Zee dan Kyoko. Dan sekarang, Zee malah masuk kamarku. Tak salah juga. Karena Ai yang memapahnya. Zee langsung melepas sepatunya dan menghambur ke dalam, langsung ke atas futon.

“Eh eh eh eh eh eh eh” Ai mencoba menahan Zee yang tampaknya mau menelanjangi dirinya sendiri. Aku sendiri masih membantu membuka sepatu Kyoko. Kyoko lalu merayap ke arah yang sama dengan Zee. Lebih tepatnya melindungi Ai dari Zee karena Zee ingin menerkam Ai. Yes. In a sexual way. Dia berusaha meraba-raba dan menciumi Ai.

“Massss toloooonggg” Aku masuk ke dalam dan memisahkan mereka.
“Temae wa nani o gishi ni shite ka!!!!” lo ngapain ke adek ipar gue. Kyoko malah menerkam Zee, mencoba berkelahi dengannya.
“Kampret” Aku mencoba menarik Kyoko dari Zee.

“Stefan daripada ngerekam terus bantuin dooong” keluh Ai.
“Wah ini sih goldmine sayang…”
“Sayang-sayang…” Ai lalu merebut handphone Stefan dan malah menguncinya.
“Ih nyebelin deh…”
“Siapa yang nyebelin coba” bentak Ai.

“Guys? Zee gimana? Yang laen udah aman… Dia mau ditaro dimana? Dibawa ke Yokohama pasti ribet abis nih” Ilham mendadak muncul di kamarku.
“Taro kamar siapa kek! Pokoknya jangan di kamar gue!” perhatianku dari Kyoko dan Zee dari tadi terdistraksi.

“Waduh Ya…” Aku melihat ekspresi muka Stefan, Ai dan Ilham melongo melihat ke arah Zee dan Kyoko. Aku mengengok kembali ke arah mereka.
“Anying” aku melihat sekarang Zee dan Kyoko malah saling akan bermesraan. Mereka tampak saling berpelukan sambil saling menatap, ingin berciuman.

“STOPPPP” Aku menengahi mereka berdua dan Zee malah membisikiku.
“Threesome?”
“NO!”

----------------------------

“Aku tidur ya mas…” Ai sudah berganti baju tidur, aku juga. Kyoko sudah terlelap di pojokan, di futon sendiri di daerah lantai kayu dekat meja. Akhirnya bisa lega. Zee diamankan di kamar Stefan. Ilham jadi ikut menginap, di kamar Anin.
“Iya… Capek gila” bisikku.
“Itu Zee gak bahaya di tempat Stefan?”
“Enggak. Stefan bukan pemerkosa…” jawabku pelan.
“Yaudah… Good night”
“Hmmm” itulah kenapa aku tidak suka mabuk minuman. Jadi tidak santai. Jadi horny. Jadi gak woles. Jadi kacau. Setidaknya high karena ***** Cuma melayang dan lucu saja. Selesai. Tidak mendadak ingin having sex. Paling mendadak ingin makan.

Aku akhirnya berusaha menutup mataku. Dan hening terasa lama. Sudah, hari ini sudah harus ditutup sampai sini saja.

Lama terdiam, mendadak aku merasakan ada yang menyentuhku.
“Kenapa dek?”
“Mmmmm….”
“Ai?” Aku berbalik dan malah menemukan Kyoko merayap ke arahku.
“Aya…. “ bisiknya.
“Ya ampun…” aku melirik ke arah Ai yang sudah terdiam dari tadi. Pasti sudah tidur.

“Aya… Dakishimete….” bisiknya sambil merengek. Mukanya kelihatan mabuk parah. Dan dia minta dipeluk. Aku melirik lagi ke arah Ai.
“Okay…” Cuma minta dikelonin gapapa kali. Ntar kalo dia udah tidur aku pindah ke futon dia disana.

Dia masuk ke pelukanku dan kami memunggungi Ai. Aku memeluknya erat, menyesalkan kenapa aku tadi tidak menghentikannya minum. Dan Zee, ya ampun. Itu anak kalau sudah mabuk mendadak jadi predator seksual. Tapi kenapa Cuma ke aku dan Ai? Masa karena Ai mirip aku lantas dia serang juga? Dan tadi kok dia mau cium-cium Kyoko? Ah udah lah, masa bodo.

“Aya…”
“Hmm?”

Kyoko mendadak bergerak sedikit, dan dia membuka celananya, menurunkannya dengan cepat. Pantatnya dan area kewanitaannya mendadak polos. Dan dia menggesekkan pantatnya ke penisku.

“Kyoko.. No…”
“Hamete kure…. Onegai…” Fuck me? Please? Shit. mendadak bangun. Shit. Shit.

“Hayaku… Chotto dake…” Cepat, sebentar saja. Sial. Tanpa pikir panjang aku menurunkan celanaku dan dengan cepat menyisipkan penisku ke dalam vaginanya, dengan cepat. Masih belum terlalu basah. Agak kering malahan. Tapi Kyoko tampak tak peduli. Aku memeluknya dari belakang dan menggerakkan pantatku perlahan. Kyoko tampak berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara apapun.

Sialan.

Kyoko tampak menikmatinya, walaupun ini jauh dari kata sempurna seperti persetubuhan-persetubuhan kami sebelumnya. Drunk fuck. Dia mabuk. Aku sedikit. Mungkin. Lebih ke giting. Aku berusaha menyelesaikannya dengan cepat saja, untuk memenuhi hasrat mendadak Kyoko. Rasanya beda, entah kenapa seperti asal. Tapi nikmat juga. Seperti ada sensasi takut ketahuan oleh orang yang tidur di sebelahmu. Adikmu sendiri. Shit. Haha. Sakit kedengarannya. Sudah lah, selesaikan dengan cepat.

“Hayaku…” dia menyuruhku menggerakkannya lebih cepat.
“Iku…” bisikku, mengisyaratkan aku akan keluar dengan cepat. Karena aku menggaulinya dari belakang, rasanya sangat sempit dan tidak licin, sehingga gesekkannya memaksaku keluar lebih cepat. Sangat cepat malahan.

“Mmmnnn…”
“Ssshh…”

“Kyoko…” aku berusaha mencabutnya karena mendadak akan keluar.
“Mmm….” Kyoko malah menahan pantatku agar tak mundur.
“Aduh….” aku berusaha mundur secara paksa dan akhirnya penisku dapat keluar juga. Shit. Sudah keluar.

“Hehe…” tawa Kyoko pelan.
“Ahh…. Yukkuri o yasumi…” Aku menaikkan celanaku dan langsung meninggalkannya yang masih teler di futonku. Rasanya tidak begitu nyaman. Keluar hanya sedikit, dengan cara yang tidak romantis dan instan. Sudah lah. Kasihan si Kyoko. Teler begitu. Aku duduk sebentar di sebelahnya dan mencoba memakaikan celananya kembali. Untung dia menurut. Aku lalu mencium sebentar pipinya yang lucu itu.

“Daisuki” bisikku.
“Mmmnn… “ Kyoko hanya tersenyum sambil menggulung badannya.

What a night…

----------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd