----------------------------
“Yaudah lah ya, jangan bikin lagu Bahasa Jepang, tar kedengerannya aneh pake logat elu Fan” Anin menutup diskusi kami malam itu.
“Inggris aja…. Gue ada beberapa lirik yang belom kepake, tar malem gue kirim lewat imel” jawab Stefan sambil menghisap rokok dalam-dalam, di suasana Pub sudah mulai hingar-bingar di selasa malam itu.
Kami memutuskan untuk menggunakan Bahasa Inggris saja di lagu baru yang khusus dibuat untuk album repackaged versi Jepang. Nanti malam, sepulang dari sini, Anin akan mengirim email ke Kairi untuk persetujuan kerjasama dan informasi-informasi lainnya.
“Sepupu lo lagi yang bakal ngerombak design cover nya ya?” tanya Stefan padaku.
“Iya, biar dia aja, kan dia juga yang ngerjain semua design cover album kita, berarti kita harus nyiapin budget buat bayar dia juga” jawabku. Ya, suaminya Dian yang akan mengerjakan cover CD dan Vynil untuk album repackaged ini, karena semua lirik lagu kami akan di translate dalam Bahasa Jepang di covernya saja, untuk pasar Jepang. Jadi butuh penyesuaian di design covernya.
Kami akan menambahkan satu lagu baru berbahasa Inggris dan single nomer satu di album kedua ini akan kami buat versi Bahasa Inggris juga. Untuk yang kedua, memang tinggal menghapus suara vocal dari file digitalnya dan Stefan rekaman ulang dengan lirik baru. Mulai senin kemarin kami sudah repot untuk membahas masalah ini, ditambah lagi anak-anak Pierre T melanjutkan kembali proses rekaman mereka yang tertinggal karena aku ke Jepang minggu lalu.
Masih pegal rasanya, padahal kami sudah landing dari hari Jumat, dan sekarang hari Selasa.
“Nambah?” tanya Kanaya yang menghampiri meja kami.
“Gue enggak” jawabku sambil melihat-lihat menu.
“Bir nya isi lagi aja, BTW Nay, orang ini minum lho di Jepang!” seru Stefan.
“Oh ya?” Kanaya tampak penasaran.
“Udah gitu direbutin cewek disono, gile, ganteng banget ya kacau… Sayang sama elo ga jadi apa-apa” canda Stefan.
“Alah hahaha… Apaan sih, apa hubungannya sama gue coba” tawa Kanaya memanggil waiter untuk mengisi ulang gelas bir Anin dan Stefan.
“BTW gue masih penasaran si Bagas ngilang kemana pas Kamis itu” Aku masih penasaran.
“Dia beli oleh-oleh buat pacarnya di Akiba, tau langsung ilang gitu aja, gue taunya juga gara-gara dia nitip buat taro di koper gue pas lagi packing” jawab Anin.
“Oh iya ya si Bagas itu punya pacar…” tawa Stefan.
“Nay besok dateng kan?” tanya Anin mendadak.
“Ya masa gak dateng, kebetulan besok gue gak gawe kan, lumayan lagi makan gratis” dia menjulurkan lidahnya ke arah kami sambil kemudian berlalu ke meja lain.
“Gue lebih mending Kanaya lo daripada Cheryl” aku mendadak bersuara.
“Iya lah mantan cem-ceman elu”
“Apa sih Fan… Bukan, kalo Cheryl kan ninggi dan gimana ya… Orangnya… Ah tau deh” aku kehilangan kata-kata.
“Paham kok, tapi Cheryl yang bikin banyak band yang maen disini maju, Kanaya masih baru sih itungannya, dia Cuma nerusin program yang sebelomnya aja, dan yang punya tempat ini juga kayaknya ga mau ngurusin langsung, Cuma suka liat pembukuan aja kayaknya” jelas Anin panjang lebar.
----------------------------
----------------------------
----------------------------
“Jadwal elo main ya malem ini?” tanyaku ke Pras yang sedang memakai sepatu di teras studioku, di hari rabu pukul 7 malam itu.
“Iya… Sayang ya, kalo bisa gue ikut tumpengannya” tawanya.
“Bentar lagi dateng sih, adek gue yang ngambil, mesennya deket-deket sini, langganan nyokap gue”
“Adek lo, belom pernah ketemu gue”
“Lo recording kan seringnya siang-siang, gak pernah sampe jam segini, ini kan sengaja biar Radit sama Mukti langsung ikut tumpengan kan..” tawaku.
“Iya sih, Sebatang dulu ah sebelom jalan” dia menyalakan rokok dan duduk bersandar di teras.
Mendadak terdengar suara mobil parkir. Tak lama kemudian sosok perempuan yang sangat familiar muncul di hadapan kami.
“Mas bantuin dooong” dia meminta tolong dengan nada manja.
“Eh halo” sapa Pras sambil tersenyum.
“Butuh berapa orang?” tanyaku ke Ai.
“Sendirian juga bisa”
“Gue bantu deh” Pras bangkit juga dan mematikan rokok yang baru ia bakar ke dalam asbak.
Tak lama kemudian Tumpeng Nasi Kuning yang cukup besar itu sudah tersimpan dengan baik di tengah studio, beralaskan meja yang biasanya jadi alas asbak di teras. Dan ini juga kali pertamanya Ai bertemu dengan anak-anak Pierre T. Setelah berkenalan mereka bertiga tampak sangat antusias mengobrol dengannya. Berbasa-basi. Tapi aku mencium bau busuk dalam perkataan-perkataan mereka. Aku hanya menahan tawa saja dari tadi, sambil menunggu orang-orang yang lain datang.
“Malam BITCHES!!!” Stefan mendadak masuk dengan Kanaya.
“Ini dia si anak setan” ledek Ai melihat Stefan masuk dengan satu pak bir kalengan dan langsung menaruhnya di salah satu sudut.
“Arya harus minum!” Stefan menunjuk ke arahku dengan muka super tengil.
“Minum gundulmu” keluhku dengan menunjukkan muka kesal ke arah Kanaya, yang disambut dengan tawanya tanpa suara.
“Anin mana nih, yang nge arrange, keburu Pras jalan….” Mukti mendadak bersuara.
“Salam mualaekum”
Pria dengan perut buncit, brewok lebat dan tangan penuh tato itu masuk ke dalam studioku, diiringi dengan teman seband nya yang gondrong nanggung. Kang Bimo dan Kang Wira.
“Wa’alaikum salam Kang… Mana Kang Giting?” tanyaku.
“Ga bisa ikut euy dia… Anaknya gering…” jawab Kang Wira santai.
“Ngaroko heula diluar yeuh, Stefan yu temenin saya…” ajak Kang Bimo mendadak.
“Ayo Kang..”
----------------------------
“Gue udah harus jalan nih, Anin masih di jalan ya?” Pras berbisik ke arahku. Musik latar mengiringi pelan dari speaker monitor di dalam Studio. Aku sedang mengobrol dengan Kanaya di luar, menemaninya merokok. Sedangkan Kang Wira, Stefan dan Kang Bimo sedang jalan sebentar ke minimarket, membeli rokok untuk stok semalaman.
“Iya nih, gue telpon ya…”
“Gak usah, gue cabut dulu deh… Bye” Pras segera pergi menuju mobilnya, karena memang beberapa saat lagi dia sudah harus ada di Pub. Malam ini Resident DJ nya dia.
“Anin mana sih?” Kanaya tampak bingung, karena Anin biasanya tidak telat.
“Tau, udah jam setengah 8 gini, orang-orang dah pada laper…”
Aku beralih ke handphoneku untuk menanyakan Anin dimana.
“Dimana woi” Tapi kulihat dan kutunggu lama, tidak ada balasan juga.
“Kenapa?” tanya Kanaya yang melihat perubahan air mukaku.
“Gak ada balasan”
“Ini dia!” mendadak teriakan Stefan terdengar dari parkiran. Aku bingung dan menyaksikan Anin masuk tergopoh-gopoh.
“Maaf guys…” Anin langsung masuk dalam studio tergopoh-gopoh.
Aku lantas melihat Stefan mencekik Sena sambil menggiringnya masuk, diiringin dengan tawa para personil Frank’s Chamber.
“Si Kontol ini ternyata dari tadi berak di minimarket!!”
“Ampun bang, kebelet banget, takutnya kalo sampe sini keburu cepirit” suaranya terdengar memelas.
“Udah laper gue, cepetan mulai!!” Teriak Stefan di telinga Sena. Aku hanya tertawa melihatnya.
----------------------------
“Makasih ya guys udah pada dateng…” Anin membuka syukuran malam itu dengan nafas terengah-engah. “Semua perjalanan kita di Jepang kemarin pasti karena kalian semua, karena bantuan, doa dan support dari temen-temen semua… Kita mau ngucapi terimakasih, secara kecil-kecilan, walaupun emang semua yang diundang gak bisa dateng, tapi mereka udah kirim salam, kayak Cheryl, lalu Pras, lalu ada beberapa lainnya yang ga sempet hadir…”
“Buruan bego, laper” bisik Stefan ke Anin.
“Berisik” balasnya. “Jadi, makasih banyak, dan silakan langsung disikat aja tumpengnya, itu ada beberapa minuman juga monggo… Abisin ya” senyum Anin menutup speech singkatnya. Tak lama kemudian kami semua sibuk mengambil makanan dan mengisi perut masing-masing. Aku memilih makan di luar, karena memang lebih lega untuk bergerak.
Mendadak Ai datang dan duduk di sebelahku.
“Mas…”
“Ya?”
“Aku diajakin jalan weekend ini”
“Sama?”
“Salah satu dari tiga orang yang tadi kayaknya rekaman disini, lupa aku yang mana” bingungnya.
“Kok lupa?”
“Abis mereka cerewet banget sih”
“Ya jangan lupa lah sama yang ngajakin jalan, si Pras bukan yang tadi balik duluan?”
“Kayaknya” jawab Ai sambil memasukkan makanan ke mulutnya.
“Kok kayaknya sih, kasian dia udah usaha ngajak-ngajak cewek buat jalan” tawaku.
“Haha… Tau ah”
“Tuh, kebiasaan deh, ada cowok ngajak jalan, ngajak kenalan suka garing gitu kamunya” komentarku memperhatikannya.
“Tau, lagi males aja”
“Cobain aja dulu, siapa tau bisa lanjut”
“Lanjut apaan?” tanya Stefan yang mendadak duduk di sebelah Ai.
“Ah anak ini lagi” keluh Ai.
“Yang sabar ya, kan gue temennya kakak lo” canda Stefan melihat muka Ai yang tampak kesal.
“Dia diajakin jalan sama si Pras kayaknya” bisikku ke Stefan.
“Ahahaha… laku nih ye” ledek Stefan.
“Sialan”
“Kok sialan, bukannya seneng gitu ada yang masih demen sama elo… Boleh sih good looking, tapi kalo rese dan manjanya dah mulai wah, gawat” Stefan mulai membuka sesi ledek-ledekan dengan Ai.
“Lo apa sih maunya”
“Lah bener kan?”
“Bener apanya?”
“Liat aja di Jepang, mau makan siang aja rewelnya susah bener, gak mau di tempat biasa kayak Yoshinoya lah, Matsuya lah, pengen cari yang aneh… Giliran dapet yang aneh, bingung karena menunya gak ada fotonya, waiternya ga bisa Inggris lah, itu resiko tau… Terus malah ga jadi makan disana karena bingung, malu-maluin aja” keluh Stefan mengingat-ngingat acara jalan berduanya dengan Ai.
“Mendingan kalian berdua kawin deh cepetan, biar bisa tiap hari berantem” ledekku.
“Ga mau” jawab mereka berdua dengan serentak. Aku tertawa dan masuk ke dalam, mengambil air minum untukku.
“Tadi Stefan bilang, katanya kamu direbutin cewek ya diJepang kemaren?” Kang Bimo tiba-tiba mencecarku.
“Ya ampun… Udah lah Kang, itu temen sama pacar saya mabok, terus jadi ngaco” jawabku sambil mengambil minum.
“Ini bukan ceweknya?” Kang Bimo menunjukkan akun instagram di handphonenya.
“Iya, dapet darimana pula” keluhku.
“Si Stefan ngepoin katanya”
“Kasian ah udah, dia juga nyesel banget sama kejadian itu”
“Bukannya kasian si Bang Anin ya?” Senan mendadak nimbrung dan dia mendapatkan tatapan tajam dan sinis dari Anin.
“Udah tuh, sepupu elo bentar lagi jadi monster gorila kalo lo terusin” ledekku.
“Tapi emang beda euy kalo orang kasep mah, dimana-mana dikejar cewek” puji Kang Bimo sambil mengelus-ngelus brewoknya sendiri.
“Kasep darimana kang” tawaku.
“Kamu mah aneh masa bilang cowo laen kasep” ledek Kang Wira.
“Biarin saya mah jujur, da soalnya saya kasep juga, sesama kasep boleh dong saling memuji”
“Kasepak kuda meureun”
“Kudana diewe ku maneh nya, jadina nyepak-nyepak urang”
Orang-orang ajaib, tawaku dalam hati. Kembali ke luar lagi ah, ngobrol lagi sama adikku dan Stefan. Mendadak Kanaya menarik tanganku.
“Jangan” katanya.
“Kenapa?”
“Liat tuh”
Aku mengintip dari dalam, dan melihat Stefan sedang merokok sambil mengobrol intens dengan Ai. Muka mereka berdua tampak serius. Tak jarang Ai sedikit tersenyum kecil mendengarkan omongan Stefan.
“Mesra amat” komentarku.
“Siapa tau pas mereka jalan berdua di Jepang nemu momen yang pas kali, biarin aja Ya, pasti mereka ga sadar interaksi mereka jadi kayak gitu” tawa Kanaya sambil berbisik kepadaku.
“Eh kasep, sini coba, saya mau denger ceritanya gimana kamu bisa direbutin sama cewek-cewek di Jepang” Kang Bimo memanggilku lagi untuk bergabung bersama dirinya dan Kang Wira.
“Duh Kang, apaan sih” aku menggaruk kepalaku dan duduk di dekat mereka.
“Cerita buruan” Kang Wira tampak bersemangat.
“Saya bantuin deh” Sena bergabung dengan kami, dia dengan cepat menarik kursi untuk duduk di dekat kami. Aku melirik ke arah Anin yang sedang mengobrol intens dengan Mukti dan Raditya. Sementara Kanaya tampak asik mengintip Stefan dan Ai tanpa yang lain sadari.
Anin memberikan tanda ‘cerita aja lah, bodo amat’ ke arahku dengan gesture tangannya. Aku akhirnya memulai cerita. “Jadi waktu kita abis main di Rock Bar di Shinjuku, kan anak-anak sama cewek-cewek dikasih free flow tuh” ceritaku.
“Cewek-ceweknya siapa aja?” Kang Bimo tampak antusias mendengarkan cerita ini.
“Si Ai, Pacar saya, sama si cewek yang di IG tadi…”
“Namanya Zee” sahut Sena.
“Nah iya, terus…”
“Tapi insiden yang di hotel perlu diceritain juga tuh” Sena menyeringai.
“Kampret”
“Apa lagi nih” Kang Bimo duduknya makin condong ke depan.
“Gini kang, kan kakak iparnya si Bang Arya ngajak kita minum-minum di kamarnya, terus abis dari sana kan pada mabok, si cewek ini goda-goda Bang Arya terus”
“Wih, gimana tuh”
“Ya ngajakin ML gitu”
“Gak segitunya kali Sen, Cuma narik-narik doang kok” sanggahku.
“Di ingetan ane gak gitu ah Bang” tawa Sena.
“Itu mah fantasi elu kali” balasku.
“Seksi pasti euy” Kang Wira tampak antusias juga.
“Kulitnya coklat abis Kang, licin banget, terus badannya ramping tapi padet” Sena mendespriksikan Zee ke mereka.
“Cantik juga lagi, ini si kasep mah bisa aja dapet cewek cakep mulu” Kang Bimo menggelengkan kepalanya.
Aku melirik ke Kanaya yang tampak senyum-senyum sendiri mengintip Stefan dan Ai. Duh, adik gue ngapain nih sama si anak setan itu.
“Lanjut ya, dia mau ngebugilin dirinya sendiri gitu di kasur pas di taro sama Bang Arya”
“Wih kalo saya mah langsung lupa istri da” komentar Kang Bimo.
“Sayang saya anak baik-baik” aku menangkupkan kedua belah tanganku seperti orang yang sedang semedi, disambut oleh tawa mereka.
“Jadi si cewe ini mah kayaknya ngecengin si Arya yah” Kang Wira memberi kesimpulan.
“Keliatan banget…” tawa Sena.
“Lanjut” perintah Kang Bimo.
“Mau di luar aja gak sambil ngeroko? Seru kayaknya” ajak Kang Wira.
“Udah pewe tapi kang” aku memberi alasan agar kebersamaan Stefan dan Ai tidak terganggu.
“Lanjut”
“Nah, jadi karena pas di rock bar di kasih free flow, pacar saya sama si Zee ini kebanyakan minum”
“Dan pas balik, mereka berdua kayak nafsu banget pengen ngewe ama dia” tawa Sena.
“Wah threesome atuh”
“Engga lah, saya kan anak baik-baik” tawaku.
“Terus?”
“Dua-duanya berantem gitu, saling ngeledek, saling ngatain, hampir main fisik, demi ngerebutin Bang Arya”
“Gila, ganteng maksimal kamu, kalo kapan main ke Bandung saya kasih Piringan hitam gratis deh” puji Kang BImo.
“Tai ah” kesalku.
“Saya mah udah khilaf pasti” puji Kang Wira.
“Terus, si cewek ini siapa sih sebenernya”
“Temennya temen kita yang tinggal di Jepang sana, dia fotografer sama videografer…” jawabku.
“Fotografer seksi gini mah saya gak bisa konsen dipoto ama dia” tawa Kang Bimo.
“Dandanannya mah biasa aja ah, T shirt, jeans…” sanggahku.
“Seksi itu bukan di baju, kasep… Di pembawaan di gimana dia mengidentifikasi tubuhnya secara seksual bisa menarik bagi laki-laki tanpa harus buka-bukaan” jelasnya. “Cheryl tuh, pake baju minim kayak apa juga saya gak tertarik da, soalnya dia mah minim pakaiannya, bukan seksi auranya”
“Tapi buat saya si Zee ini mah biasa aja Kang…” bantahku.
“Tapi dari cerita kamu, berhasil bikin saya ngaceng, jadi seksi atuh awewe teh” senyum Kang Bimo.
“Anjir ngaceng… males bet…” Sena mengeluh sambil menutup mukanya dengan tangannya.
“Wajar atuh… Emang kamu gak ngaceng liat kejadiannya langsung”
“Sejujurnya sih iya kang” tawa Sena.
“****** kalian semua” tawaku.
“Kamu ngaceng gak?” tanya Kang Wira kepadaku.
“Em….”
“Udah pasti ngaceng, Cuma karena kamu anak baik-baik, jadi bisa nolak…” tawa Kang Bimo.
“Jadi ngaceng berjamaah dong kita sekarang” tawa Kang Wira.
“Jadi ngaceng bersama tuh sakral ya, karena kita tanpa liat si awewe teh tetep bisa ngaceng, jadi alam udah mengisyaratkan kita untuk ngaceng bareng gara-gara auranya dia yang ga keliatan” Kang Bimo mengatakannya sambil menerawang ke langit-langit.
“Ngaco si anjing”
“Biarin ngaco, yang penting ngaceng”
----------------------------
Aku dan Ai berjibaku berdua di dapur, mencuci piring dan gelas bekas syukuran kecil-kecilan tadi. Sisa-sisa makanan sudah masuk ke lemari es, siap untuk dijadikan sarapan besok pagi. Sudah pukul 12 malam, dan sudah lama aku tidak memeriksa handphone, pastilah Kyoko sudah tidur.
Selesai mencuci piring aku membuat teh panas dan duduk di meja makan, mengeluarkan handphoneku, mengucapkan selamat malam dan selamat tidur ke Kyoko yang pasti sudah terlelap di Mitaka sana.
Ai lalu duduk di sebelahku dan menaikkan kakinya ke kursi.
“Ngantuk”
“Sama” jawabku.
“Terus apa?”
“Ya tidur lah…. BTW kok kamu jadi keliatan agak gak semangat gitu tadi?”
“Lagi males jalan ama cowok” jawabnya pelan.
“Males jalan ama cowok tapi pas di Jepang dibawa ama Stefan mau” ledekku.
“Itu beda”
“Beda gimana?”
“Beda lah…” mukanya seakan agak bingung dan mempertanyakan pertanyaanku. “Aku kan dah kenal lama sama orang itu” Stefan maksudnya.
“Oh, haha, kirain kalo sama Stefan gimanaaa gitu rasanya” tawaku.
“Udah ih… Geli”
“Geli kenapa”
“Inget waktu di Jepang… Ah tau… Malu kalo diinget-inget lagi”
“Di sex shop?”
“KOK TAU???”
“Ya Stefannya ngetawain kamu di depan aku…..”
“Ah nyebelin…. Tidur ah” Ai lalu bangkit dan beranjak ke kamarnya. Aku hanya tertawa kecil saja sambil berusaha menghabiskan teh panas yang kubuat sendiri.
----------------------------
----------------------------
----------------------------
Dan hari-hari kembali seperti dulu lagi, sibuk di studio bersama Pierre T dan seminggu ini aku bersama teman-teman Hantaman berusaha mengcompose lagu baru untuk album repackaged. Suaminya Dian juga sudah aku kabari untuk me-remake cover Album kami, karena kebetulan kami sudah dapat formatnya dari Titan, untuk di CD dan di Piringan Hitam. Dan semua lagu-lagu kami sudah ditranslate liriknya ke Bahasa Jepang. Jadi tinggal pintar-pintar sang desainer saja menyesuaikannya. Dia tentunya senang, karena bisa dibilang mendadak ada rejeki datang sebelum lahiran anaknya. Sekarang sudah Agustus, harusnya sebulan lagi lahir.
Sudah dua minggu kami meninggalkan Jepang, dan sudah dua minggu itu juga aransemen pacaranku dengan Kyoko kembali ke webcam. Webcam – Line – Webcam.
Hari rabu maghrib ini aku sedang menunggu teman-temanku untuk datang, seperti biasa, kembali mengaransemen dan mengkomposisi lagu. Aku menunggu sambil melatih beberapa lick gitar yang tampaknya cocok untuk solo di lagu baru ini, sampai lupa waktu.
Dan tumben, jam segini kok pada telat. Aku akhirnya melihat ke media sosial untuk memantau pergerakan mereka.Tapi aku melihat Line terlebih dahulu, memeriksa apakah ada pesan dari Kyoko atau tidak. Ada ternyata.
“Aya, tonight can do video call?” tanyanya.
“Maybe not, my friends come to studio tonight, we're arranging new song for Japan version's album” balasku.
“Oh, it’s okay. Kyoko wait”
“No, get some rest, it’s okay sayang” biasanya kami beres latihan sampai jam 12 malam, dimana di Jepang sudah jam 2, balasku menyisipkan bahasa Indonesia di dalam percakapan kami. Tumben, biasanya dia mengetik selalu menggunakan Bahasa Indonesia.
“Kyoko wait for Aya, okay….” balasnya.
“Okay then…” balasku bingung.
----------------------------
“Kyoko must be sleeping, tommorow okay?” tanyaku setelah teman-temanku menghilang dari studio dan aku bersiap-siap untuk tidur.
“I’m awake. Still waiting” jawabnya dengan cepat.
“Really? In a moment, I’ll contact you via Skype” aku dengan cepat membawa teh ke dalam kamarku dan segera menyalakan komputer. Ini sudah jam 2 malam di Jepang. Kenapa dia harus menungguku? Bukannya biasanya tidak apa-apa?
Aku langsung membuka skype dan mengontak Kyoko. Tanpa menunggu lama dia langsung mengangkatnya. Dan wajahnya muncul di layar komputerku.
“Kyoko…”
“Hai Aya” mukanya tampak sangat mengantuk.
“You wait for me? Ini sudah malam sekali Kyoko, Ima nemuranakareba naranaiyo…” aku mengatakan kalau dia harusnya sudah tidur sekarang.
“But Aya… Anata to hanashi o.. shinakereba naranai………” mukanya tampak sedang memikirkan sesuatu yang sulit atau besar.
“Nan desuka?” ada apa.
“Ano….”
“Kyoko, nan desuka?”
“Aya… watashi…..”
“Nan desuka?” aku benar-benar sangat penasaran.
“Ano… Kyu ni okyaku-san ga kita-mitaimasen…………..” jawabnya.
Okyaku-san? Tamu? Guest?
“Kyoko… English?” tanyaku.
“Ano…. My period is late….” mukanya tampak takut.
“What?”
“My period should start…. day after Aya come home…” telat sekitar 15 hari berarti.
“Kyoko, it’s okay, it must be late…. Don’t panic” aku mencoba menenangkannya.
“Demo… it never late…” dia mengulum bibirnya dan terlihat khawatir.
“Maybe you just tired...” senyumku. Duh, coba dia ada disini, pasti bisa kupeluk. Bukan sekali dua kali memang aku mendengar cerita tentang telat mens, yang ternyata cuma akibat dari kelelahan ataupun pikiran yang stress.
“But Aya…” dia menunjukkan sesuatu ke arah webcam. Apaan tuh?
WHAT THE HELL.
Test pack.
POSITIF
----------------------------
BERSAMBUNG