Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Merantau ke Kota

Valeanakin1

Adik Semprot
Daftar
22 Jan 2021
Post
108
Like diterima
3.278
Bimabet

Selamat datang di Cerbung kedua ane. Setelah sebelumnya Balada Sang Perawan dapat sambutan yang baik dari pembaca sekalian. Dua tahun vakum, semoga masih ada yang bersedia membaca kisah ini. Meskipun fiksi, namun terdapat beberapa kisah dan karakter yang dibuat berdasar pengalaman nyata ane.
Selamat Membaca!

Thread ane yang lain Balada Sang Perawan

Indeks:
BAB I: Penghuni Baru
BAB II: Hari yang Aneh
BAB III: Kembali

BAB 1

Penghuni Baru​

Tetes hujan masih deras membasahi tanah. Aku terus saja melindungi ransel besarku agar tidak terlampau basah. Pada akhirnya tetap saja sekujur tubuh dan ransel ini kebasahan kala becak yang ku tumpangi terkena guyuran dari genangan yang diinjak pengendara motor lain.

"Sepertinya ini rumahnya pak," teriakku, deru hujan yang berisik membuatku harus mengencangkan suara. Seketika becak turut berbelok memasuki halaman. Setelah aku membayar dan mengucap terima kasih, becak itu pun berjalan meninggalkan diriku di hadapan rumah tua berwarna putih ini.

Aku memencet bel untuk kedua kalinya. "Apa salah rumah ya?" gumamku, namun rumah inilah yang dikirimkan oleh ibu kosku melalui chat kemarin. Lagipula di dinding depan nampak tulisan kecil dari tripleks yang menuliskan "ADA KAMAR KOSONG". Aku mengirim chat ke Ibu Kos untuk mengabarkan bahwa aku sudah berada di depan saat ini. Ku lihat sekilas profilnya, ia hanya memasang foto gambar pemandangan, sejauh ini aku belum tahu bagaimana rupa ibu kosku ini.

Suara geretan pintu membuyarkan lamunanku. Dari dalam nampak seorang wanita yang menyambutku dengan senyum. "Mas Zaki ya? Maaf ya, ibu denger suara bel, tapi lagi nyuci tadi."

"Kenalkan saya Bu Azizah," ucapnya sambil menyodorkan tangan.

Aku pun meraih tangannya. Nampak Bu Azizah berusia sekitar 40 tahun, dengan tinggi 152 centimeter, tubuh yang sedikit berisi, dan kulit yang sangat putih. Bu Azizah memiliki hidung yang cukup mancung untuk perawakan wanita Jawa sepertinya. Pagi ini ia mengenakan daster berwarna hijau dengan jilbab berwarna coklat. Sepertinya dikenakan terburu-buru karena harus segera membuka pintu, nampak beberapa helai rambutnya tidak tertutupi dengan baik.

Kini kami berdua sedang berdiri di kamar yang akan ku tinggali. Sebuah ruangan berukuran 12 meter persegi, dengan kasur, lemari, dan meja belajar. Sudah cukup bagiku, tak perlu AC maupun kipas angin, mengingat daerah ini masih terhitung asri sehingga tidak akan panas.

"Bagaimana kamarnya Mas Zaki?"

"Bagus bu, sepertinya akan betah," ucapku. Aku memang menyukainya, walaupun nampak sedikit tua, namun rumah ini terlihat nyaman. Harganya pun tidak memberatkan sama sekali.

"Jadi ini adalah kamar terakhir yang masih kosong. Kamar saya yang di dekat kamar mandi depan itu. Kamar yang ini (sambil menunjuk pintu di depan kamarku) ditinggali sama mahasiswi Universitas B, sedangkan kamar di belakang itu punya suami istri muda, suaminya karyawan hotel, yang istri di rumah aja. Mereka baru aja keluar tadi ke pasar, mungkin masih berteduh sekarang. Nanti juga kamu bakal kenal dengan mereka," ucap Ibu Azizah, seraya berjalan meninggalkan kamar.

"Oh," ia menengok ke arahku sekali lagi, "Ngomong-ngomong saya punya anak cowok seperti kamu, tapi udah jarang ketemu," ia tersenyum kecut.

Sambil merapikan kamar, aku mulai memikirkan keputusanku untuk merantau ke kota ini. Kehidupanku di kampung sebenarnya tidaklah buruk. Selulus sekolah diploma satu tahun lalu, aku langsung bekerja menjadi perangkat desa. Mendapatkan upah yang ku rasa cukup untuk hidup di sana, dan menjadi orang yang disenangi masyarakat sekitar. Jika saja saat itu aku tidak...

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Aku segera berdiri dan membuka pintu kamar. Nampak seorang pria dengan tinggi sepantaran denganku namun dengan tubuh yang lebih tambun sedang berdiri. Sepertinya ia berusia sudah hampir atau mungkin sudah berusia 30 tahun, wajahnya masih nampak muda namun rambutnya sudah nampak menipis membuat umurnya sulit diterka.

"Jadi ini si anak baru ya," sapanya, sambil meraih tanganku. "Aku Jafar, dan ini istri aku Rastri," aku hendak menjabat tangan Mba Rastri, namun ia hanya tersenyum tak meraih tanganku.

Setelah Rastri masuk ke kamar, Bang Jafar tersenyum ramah. "Haha, ga usah dikhawatirkan, istri aku itu tidak sombong orangnya. Hanya aja kadang ia suka berlebihan menjaga perasaan aku, sampai salaman dengan cowok aja ia gak mau."

Aku hanya mengangguk, sepertinya karakter manusia yang akan ku hadapi di rumah ini sedikit lebih unik dari yang ku duga.

"Tapi kalau ada perlu, kamu ga usah merasa sungkan ya! Karena serumah, anggap aja kita saudara," ucapnya seraya menepuk pundakku.

Sekarang tinggal satu orang yang belum ku temui. Mahasiswi Universitas B yang kamarnya berhadapan denganku. Jika ia mahasiswi semester akhir, berarti usianya sama denganku, jika ia semester awal berarti dia dua atau tiga tahun lebih muda. Namun apa pun, itu rasanya lega begitu tahu ada yang sebaya denganku di rumah ini. Semoga saja dia tidak sedingin Mba Rastri.

Ngomong-ngomong aku jadi teringat dengan rupa Mba Rastri. Wajahnya cukup manis. Aku menebak usianya sekitar 28 tahun, ia memiliki tubuh yang cukup tinggi, mungkin hanya tiga atau empat centimeter lebih pendek dariku. Kulitnya kuning langsat, rambutnya hitamnya diikat sebahu, tubuhnya langsing, memiliki perawakan yang membuat teduh. Jika saja dia lebih ramah, pikirku.

Tiba-tiba pintu di depan kamarku terbuka. Seorang perempuan keluar. Mata kami saling beradu. Sekilas saja, karena ia langsung berjalan ke arah dapur, mengisi air dengan botol yang digenggamnya. "Aku harus menyiapkan kata-kata untuk menyapanya," batinku. Kali ini ia berjalan kembali, mata kami saling beradu sekali lagi. Ia berhenti sejenak di hadapanku, lalu sedikit mendongak untuk menatapku.

"Halo, perkenalkan, Aku Zaki penghuni baru kamar ini." Namun sayang, hanya batinku yang berucap. Kata-kataku tak kunjung keluar.

Seperti kebingungan, perempuan itu hanya tersenyum tipis lalu kembali masuk ke kamarnya. "CLEK," suara pintu menutup seakan menyadarkanku. Perempuan barusan adalah perempuan idamanku. Tubuhnya sepertinya hanya sedikit lebih tinggi dari Bu Azizah, usianya sedikit lebih muda dariku. Kulit putihnya sedikit pucat seperti jarang terkena matahari, dengan rambut agak ikal, tubuhnya nampak semakin mungil mengenakan kaos yang kebesaran. Sisi depan rambutnya diwarnai dengan warna merah, perawakannya khas perempuan kota. Mungkin bukan perempuan paling cantik, di desa banyak perempuan yang lebih cantik dari itu, namun entah mengapa tatapan dari matanya yang besar sanggup membuatku tergagap.

"Aku harus segera tahu namanya," pikirku.



Entah sudah berapa lama aku terpaku di sofa ruang keluarga. Hujan yang tadi deras telah berganti mentari terik yang kemudian berganti oleh langit gelap. Mataku terus saja memandang ke arah pintu yang sama. Berharap perempuan itu kehausan, atau bahkan sekadar ingin menyelesaikan hajat di toilet. Dari perkataan Bu Azizah, aku tahu jika rumah ini hanya memiliki satu toilet dan letaknya berada di depanku saat ini. Jika sekali lagi ia keluar, aku akan mengajaknya berkenalan.

Bergantian Bu Azizah dan Bang Jafar menemaniku bercengkerama. Kini ku ketahui bahwa Bu Azizah mewarisi rumah ini dari ayahnya, dan memilih untuk menyewakan kamar-kamar kosong ini sejak 3 tahun lalu. "Sebelum itu berarti Ibu tinggal sendiri?" sebuah pertanyaan yang hendak aku ajukan, namun aku menahan diri. Baru berapa jam tinggal di sini, sebaiknya aku mencoba menjaga rasa penasaran terlebih dahulu. Bang Jafar sendiri bekerja sebagai karyawan hotel. Setiap hari dia berangkat bekerja pada pukul 10 malam dan pulang ke rumah pukul 7 pagi. Ia adalah orang sangat terbuka. Hanya dengan bercengkerama dengannya selama sejam, aku bisa mengetahui bahwa ia dan Rastri telah tinggal di rumah ini sejak pertama kali disewakan. Mereka memilih untuk tetap ngekos karena baginya mencicil rumah hanya untuk pasangan yang memiliki anak. Saat ini ia dan Rastri masih menikmati hidup berdua, dan belum membutuhkan kehadiran orang lain.

Sudah malam, rumah nampak sepi. Orang-orang sudah kembali ke kamarnya. Tanpa disadari, aku belum makan apa pun sejak tiba di sini. Kini perutku mulai merasakan kelaparan. "Menunggunya lain kali saja, aku harus makan," ucapku lemas. Namun di saat yang bersamaan pintu kamar itu sekali lagi terbuka. Kali ini ia keluar dari kamar mengenakan jaket yang menutupi kausnya. Ia memandangku dengan tatapan bingung, sepertinya belum terbiasa dengan kehadiranku di rumah ini. Dia berjalan mendekat, kehadirannya yang tiba-tiba membuat keberanianku melunak lagi. Namun aku tak boleh memanjakan diri, aku harus segera menyapanya.

"Kenalkan, aku Zaki, penghuni baru rumah ini," ucapku tersenyum kaku. Kali ini kata-kata itu sungguh keluar dari mulutku.

"Kila," jawabnya singkat, tidak ada ekspresi sama sekali dari wajahnya.

"Senang bisa kenalan dengan kamu," aduh, ucapan bodoh apa ini. Aku terlalu formal.

Kila hanya mengangguk. Ia melihatku sekali lagi, lalu berjalan ke arah ruang tamu. Kila mengenakan jaket, sepertinya ia hendak keluar rumah.

"Ki-Kila!" sapaku, suaraku sepertinya terlalu kencang, Kila nampak sedikit terkejut. Namun masa bodo, aku akan tetap mengucapkannya. "Aku baru mau makan, mau nyari makan bareng ga?"

Kila tersenyum. Ini pertama kalinya aku melihat dia tersenyum. Matanya yang bulat menyipit, bibirnya melengkung sempurna. "Maaf ya, pacar aku sudah nunggu di depan," ia lalu meninggalkan rumah.

Aku masih bisa tertegun, melihat tubuhnya menghilang dari pandanganku. Deru mobil berjalan menjauh kini terdengar semakin jelas. Sepertinya aku sudah mempermalukan diriku sendiri, batinku. Perempuan seperti Kila tentu saja sudah punya pacar, jika pun tidak, untuk apa dia berjalan mencari makanan denganku?

"Ibu mau masak nasi goreng, kamu mau, Ki?" ucap suara di belakangku. Bu Azizah, kini berdiri di belakangku. Aku terkejut dengan penampakannya yang tidak mengenakan jilbab. Rambutnya panjang digulung terikat, membuat leher putihnya terlihat. Tapi tak mungkin juga ia terus-terusan mengenakan jilbab di rumahnya sendiri.

"Ma-mau Bu, kalau boleh," ucapku lemas. Kali ini perutku benar-benar keroncongan.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd