Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Mia, Tetangga Sebelahku dan Akhir Hubungan Kami yang Tragis

DoubleDekker

Semprot Baru
Daftar
3 Feb 2023
Post
28
Like diterima
47
Lokasi
Chaos
Bimabet

Mia, Tetangga Sebelahku dan Akhir Hubungan Kami yang Tragis

Oleh DoubleDekker
Durasi Baca ± 7 menit



Kamar kost di sebelahku punya penghuni baru.

Namanya Mia. Usianya 34 tahun (lebih tua sepuluh tahun dariku). Menurut desas-desus, dia pindah setelah bercerai dari suaminya dan ingin memulai hidup baru. Pernikahan yang berusia hampir satu dasawarsa itu hancur karena Mia nggak kunjung memberikan anak.

Aku pertama kali bertemu Mia ketika dia sedang sibuk mengeluarkan beberapa barang dari dalam kardus. Pintu kamarnya yang terbuka membujukku untuk mengintip, namun pandanganku seketika terhenti ketika kedua mata kami bertemu.

“Se-selamat siang,” sapaku gagap. “Na-nama saya Rian, tetangga sebelah Mbak.”

“Oh, tetangga, ya?” Mia tersenyum. Dia bangkit lalu menjabat tanganku. “Nama saya Mia. Salam kenal.”

“A-anu,” Otakku berputar mencari-cari alasan. “Saya lihat Mbak sedang repot. Kalau nggak keberatan, boleh saya bantu?”

Wajah Mia mendadak cerah. Dia kembali meraih tanganku, bibirnya tersungging lebar. “Ya, ampun, boleh banget! Yuk, masuk!”

Hampir dua jam kami berbenah; mengeluarkan berbagai macam barang dari dalam kardus, lalu menatanya di ruangan. Kami nggak banyak bicara saat itu, namun suasana di antara kami juga nggak terasa canggung. Untuk perempuan yang baru saja bercerai, wajah Mia tampak begitu cerah. Keringat yang mengalir di dahi dan dagunya dia sapu dengan lembut, kedua pipinya hangat merona. Dia juga banyak bertanya berbagai macam hal; tentang tetangga-tetangga lain di sekitar kami, letak supermarket terdekat, serta restoran cepat saji yang enak dan murah. Kurasa Mia benar-benar antusias dengan kehidupan barunya.

Setelah selesai berbenah, Aku dan Mia beristirahat sebentar sambil minum segelas teh dingin. Kami kembali mengobrol, kebanyakan tentang keseharian kami dan rencana-rencana kami di masa depan. Aku nggak menyadarinya saat berbenah, namun Mia ternyata memiliki tahi lalat di lehernya. Sebuah bintik mungil berwarna hitam yang basah, bergerak naik dan turun ketika Mia meneguk minumannya. Pada cuaca yang panas ini, bintik hitam itu tampak seperti permata kecil yang berkilau.

Pada saat itu lah aku jatuh cinta dengan Mia.


***

Hari-hari setelahnya, pikiranku dipenuhi oleh satu hal: Mia, Mia, dan Mia.

Bibirnya yang tipis dan merah. Payudaranya yang besar dan sekal. Pinggulnya yang kencang, juga kakinya yang jenjang. Tahi lalat di lehernya yang basah. Seluruhnya meliuk-liuk di kepalaku, terang-benderang bagai komidi putar.

Aku benar-benar tersiksa. Pekerjaanku di kantor berantakan, bahkan tengah malam pun aku nggak bisa tidur. Paras cantik dan kemolekan tubuh Mia membalut total imajinasiku hingga setiap malam aku mengurung diri di kamar mandi, masturbasi. Membayangkan payudaranya dalam genggamanku. Membayangkan vaginanya menjepit erat penisku. Aku tahu tindakanku ini memalukan, tapi aku nggak bisa melakukan apa-apa. Jantungku selalu berdebar nggak keruan setiap kali bertemu dengannya.

Kondisi itu pada akhirnya memaksaku untuk menghindari Mia. Nggak ada lagi sapaan selamat pagi atau sore. Nggak ada lagi senyum ketika kami bersama-sama membuang sampah atau nggak sengaja bertemu di bawah tangga. Rasanya memang berat, tapi kurasa ini lah yang terbaik. Untungnya jalanku dimudahkan saat selama hampir seminggu Mia nggak pulang ke tempat kost kami. Selama itu pula intensitas masturbasiku mulai berkurang dan realita yang membosankan perlahan-lahan kembali menghampiri; perang besar di Eropa, satu lagi pejabat tersandung kasus korupsi, juga berita pembunuhan atau kecelakaan seperti seorang perempuan yang tewas terlindas mobil baru-baru ini. Ketika Mia kembali, perasaanku padanya nggak sebesar dulu lagi.

“Jadi gara-gara itu wajahmu cerah akhir-akhir ini?” tanya Siska, teman sekantorku saat kami makan siang bersama suatu hari.

“Begitulah,” aku mengangguk. “Omong-omong, kamu sudah lihat orangnya, kan? Cantik, nggak?”

“Cantik,” jawab Siska pendek. Kebetulan kemarin kami berpapasan dengan Mia ketika Siska mengantarku pulang.

“Tapi…”

“Tapi?”

“Aku harap kamu menjauhi dia.”

“Loh?” sanggahku heran. “Kenapa?”

“Ini… ini salah, Rian,” Siska menatapku erat-erat. “Nggak seharusnya kamu menyukai dia. Duh, ini bisa berbahaya buatmu.”

Aku membalas tatapan Siska dengan sinis. Entah kenapa dadaku terasa panas. “Maksudmu? Aku nggak pantas buat dia, begitu?”

“Sebaliknya,” sahut Siska. “Dia nggak pantas buatmu.”

Deg. Amarah tiba-tiba memuncak di kepalaku. Aku menggebrak meja, cukup keras hingga orang-orang di sekitar mengalihkan pandangan mereka pada kami. “Dengar, ya!” pekikku lantang. “Mia itu perempuan baik-baik, dan aku nggak peduli pendapatmu tentang dia. Jangan bilang apapun kalau kamu belum kenal dengan Mia!”

“Ta-tapi, Rian…” suara Siska terbata. “Mia–”

“Aku nggak mau dengar,” aku mengambil ponselku di atas meja lalu melangkah menuju kasir. “Seharusnya aku nggak perlu cerita apapun padamu.”

Aku pergi meninggalkan Siska sendiri. Hari itu, aku dan dia nggak bicara apapun lagi.


***

Benar-benar, deh. Gadis itu kenapa, sih? Kata-katanya sungguh keterlaluan. Apa maksudnya Mia nggak pantas buatku? Beraninya dia bicara begitu, padahal bertemu Mia pun baru sekali!

Namun, kalau dipikir-pikir, aku memang pernah mendengar desas-desus kalau Siska sebetulnya menyukaiku. Aku nggak pernah merasakan itu, tapi kalau melihat perhatiannya padaku dan kedekatan kami selama setahun terakhir, rasanya desas-desus itu benar. Siska mungkin cemburu karena aku menyukai Mia dan berusaha menjauhkanku darinya. Duh, benar-benar bodoh. Tindakannya itu justru membuatku semakin mantap memilih Mia ketimbang gadis kekanakan itu.

Aku merogoh kunci kamarku di saku. Amarah dalam dadaku masih belum juga mereda. Huh. Aku ingin secepatnya mandi, makan malam, lalu mengalihkan pikiranku dengan menonton Youtube hingga tertidur. Aku nggak ingin memikirkan Siska lagi.

Tepat saat pintu kamarku terbuka, sebuah suara yang sendu sayup-sayup terdengar di sebelahku.

Suara Mia. Dia sedang menangis tersedu-sedu di kamarnya.

Hatiku teriris. Tangisan itu benar-benar pilu. Aku ingat Mia selalu hadir sebagai pribadi yang ramah dan menyenangkan, namun kurasa perceraian itu pasti meninggalkan bekas luka yang dalam di dirinya. Yah, selebar-lebarnya sebuah senyuman, setidaknya bakal selalu ada kesedihan yang menyakitkan di baliknya.

Aku nggak bisa menahan diri. Telunjukku mengetuk pelan pintu kamar Mia.

“Mbak Mia? Mbak nggak apa-apa?”

Tangisan itu berhenti.

“Rian?”

“Ya, ini saya. Mbak nggak apa-apa? Mau cerita?”

Sunyi kembali. Sesaat kemudian kudengar suara kunci pintu terbuka. Mia muncul dengan daster pendek berwarna biru muda, kedua matanya merah dan sembab. Air mata tampak mulai mengering di pipinya. Wajahnya tertunduk seakan memikul beban yang berat.

“Rian,” sapanya lirih. “Ma-maaf, suaraku pasti mengganggumu.”

“Nggak apa-apa, kok, Mbak,” aku tersenyum, berusaha menenangkan. “Anu… kalau Mbak butuh teman bercerita, saya–”

Mia meraih tanganku. Setetes air mata kembali mengalir pelan dari sudut matanya.

“Aku…” sejenak dia mencari kata-kata yang tepat, namun kemudian menyerah. “Masuklah.”


***

Masih menggenggam tanganku, Mia lalu membimbingku masuk ke dalam kamarnya. Pintu ditutup, dan bersamaan dengan itu, seluruh cahaya yang menerangi pandangan kami. Ruangan itu benar-benar gelap.

“Kamar Mbak gelap banget,” ujarku. “Saya nyalakan lampunya, ya?”

Mia termenung. “Lebih nyaman begini,” ujarnya kemudian dengan suara yang agak parau. “Rian, duduklah dimana saja.”

Aku menjulurkan tanganku, meraba-raba sekeliling kamar. Kulkas… dispenser… lemari buku… jemariku berhenti pada sebuah sofa kecil di salah satu sudut. Mia ikut merebahkan tubuhnya di sampingku nggak lama kemudian, pinggulnya menghimpit pinggulku.

Kami nggak bicara selama beberapa waktu. Jujur, aku bahkan nggak tahu apa yang harus kukatakan pada saat seperti ini. Pikiranku benar-benar kosong dan jantungku mulai berdegup kencang. Kurasakan Mia merebahkan kepalanya di pundakku, menggenggam jemariku erat. Aku menelan ludah.

“Rian,” dia memanggil namaku lagi. “Aku senang kamu ada di sini. Kalau boleh jujur, pikiranku saat ini benar-benar kacau.”

“Sa-saya juga senang,” balasku, sebelum menyadari kalau kata-kataku bisa disalahartikan. “Maksud saya, saya senang kalau saya bisa membantu Mbak.”

“Kamu sudah banyak membantu, kok,” Mia tertawa kecil. “Rian, aku boleh minta satu hal?”

“Tentu saja. Apa itu?”

“Buat aku melupakan kesedihanku,” bisiknya. “Kumohon, bawa aku pergi dari kesengsaraan ini.”

Aku tertegun. Nggak biasanya Mia mengatakan hal aneh begini.

“Saya… saya nggak paham maksud Mbak,” tukasku ragu. “Tapi kalau Mbak mau bercerita isi hati Mbak, saya siap mendeng–”

Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirku.

Hah?

Jantungku meronta hebat. Selama beberapa menit kami terus berciuman, bahkan lidah Mia sempat meliuk-liuk di rongga mulutku, gesit menghajar lidahku. Aku nggak bisa melakukan apapun kecuali membiarkan Mia melumat habis bibirku. Rasanya otakku meleleh dibuatnya.

“Rian, aku nggak tahan lagi,” dia berujar setelah melepas ciumannya. Kudengar suara resletingku terbuka. Jemari Mia merogoh penisku yang mulai mengeras.

“Mbak Mia–”

“Panggil aku Mia.”

“Mia,” aku kembali menelan ludah. “Aku… aku menyukaimu,” ucapku. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.

“Aku tahu,” Mia menyeka bibirku yang basah oleh liurnya. “Tatapanmu saat kita pertama kali bertemu… aku tahu kamu terus memperhatikan tubuhku,” dia tersenyum. “Dasar nakal.”

Kami kembali berciuman, kemudian menanggalkan pakaian satu sama lain. Mia membuka kancing kemejaku dengan perlahan, melepas dasiku, lalu dengan satu gerakan cepat melilitkannya di kepalaku hingga menutup kedua mata.

“Aku malu kalau kamu melihat wajahku,” bisiknya di telingaku. “Ekspresiku aneh, tahu.”

Aku mengangguk. Dalam hati, aku nggak menyangka kalau ternyata Mia punya perilaku seksual yang unik begini. Toh, aku nggak mau memikirkan itu terlalu jauh. Saat ini Mia berada tepat di depanku. Perempuan yang selama ini kuidam-idamkan kini duduk di atas pahaku, telanjang bulat tanpa sehelai benang pun, dan–

“Ah…”

Dia memasukkan penisku ke dalam vaginanya.

Sensasi hangat bercampur geli seketika menghambur ke seluruh tubuhku. Aku nggak bisa melihat apapun, namun jelas kurasakan vagina Mia yang basah menjepit erat batang penisku, persis seperti yang selalu kubayangkan saat bermasturbasi. Napasku tertahan setiap kali dia mengangkat vaginanya, lalu berembus kencang ketika dia melaju turun.

“Mia… Mia… Mia…” aku memanggil namanya berulang kali. Mia tampak nggak peduli. Dia terus menindih tubuhku, lagi dan lagi, sementara desahnya semakin memburu. Beberapa rintihan kecil terselip dari mulutnya saat kuremas payudaranya sekuat tenaga. Benar-benar payudara yang besar; kelima jariku bahkan nggak menjangkau seluruh permukaannya.

“Ah… Rian…” gumam Mia terengah-engah. “Setelah ini… aku ingin… kamu terus bersamaku–ah!”

“Pasti, Mia,” jawabku bersungguh-sungguh sambil mengulum putingnya. “Aku pasti bakal terus menemanimu sampai akhir!”

Seks kami semakin intens. Suara tepakan dari bokong Mia yang memukul kedua pahaku semakin jelas terdengar. Perbedaan sepuluh tahun usia kami benar-benar nggak terasa; Mia begitu menggebu-gebu layaknya gadis remaja. Di satu sisi, aku tahu sebentar lagi aku bakal mencapai puncak. Mia pun begitu. Kami mempercepat seks kami untuk yang terkahir kali. Desah kami saling sahut-menyahut, saling bercampur. Keringat kami deras mengucur. Aku menghunjamkan penisku kencang-kencang. Sekali, dua kali, tiga kali, sebelum akhirnya kulepaskan spermaku ke dalam vaginanya.

Pada detik itu, dasi yang melilit kedua mataku jatuh terlepas.

Aku nggak melihat Mia.

Tentu saja dia ada di depanku, tapi itu bukan Mia–wajah itu bahkan nggak terlihat seperti wajah manusia. Rasanya seperti melihat tumbukan berbagai macam bagian wajah beserta organ dalamnya, hancur bercampur aduk dalam satu wadah. Bola mata yang meleleh. Hidung yang nggak lagi berbentuk. Bibir yang terbelah lebar, menyatu dengan tulang-tulang di pipinya. Semburat otak yang keluar dari celah batok kepalanya.

Makhluk itu menggelinjang hebat, seolah tertawa terpingkal-pingkal melihatku yang terbujur kaku sementara spermaku masih menyembur deras di vaginanya.

Perlahan tapi pasti, sebuah kenyataan yang mengerikan merasuk di kepalaku.

Selama hampir seminggu Mia nggak pulang ke tempat kost kami.

Seorang perempuan tewas terlindas mobil baru-baru ini.

“Aku harap kamu menjauhi dia.”

“Ini bisa berbahaya buatmu.”


Mia sudah meninggal seminggu yang lalu.

“HUUUAAA!!!”

Aku menjerit sekuat-kuatnya. Kulepaskan Mia dari tubuhku, lalu bergegas berlari menuju pintu. Jantungku berdebar seiring tiap langkahku, kencang bagai drum yang ditabuhkan. Aku benar-benar nggak peduli lagi. Pakaianku, seluruh kenangan dan perasaanku… pokoknya aku ingin keluar dari sini!

Tubuhku tiba-tiba terjatuh ketika kugapai kenop pintu. Aku menoleh dan melihat Mia menggengam erat salah satu kakiku.


“͎̩̞͎̪̜́̉ͦͅR͂̾͡IA̷̶͇̱̮̿̐͜͢N͈͖̳̺͗̕͡!̺͔̏͗̔͟͢ KͯȀ̝̮͔̣̘̞́̐M͜U̻̲͓͖͊ͪͥ̋̾̚͢ S̭U̯̞͗̆͊ͣͅD̛͉̜̺̆A̝̒H̰ͫ͋͐ͨ̅͜ BE̼̭͇̣̓ͤ̍̀̐͛͜R̴͎̥̥ͮ̍͒̋ͩJ̸̳̦̲̥̻̺ͦA̜̻Ņ̹̠̩̭̤͒ͮ͝J͍I̘͕͍̋̔̓ B̖̘͆A͐KȀ̠ͬL͕̙̻ͩ͐ͣ͛̆ͭ Ţ̬̯̮̥ͨ̈́͛ͮ͛ͨÈ̸̯̘̞R͓̬̺ͦ̈͐ͣU͠Ŝ̸͕̭̫͚̃ͯͩ͌ B͈̔̇ER͕S̡̰̯ͮ͟_̥̓͘AM͙͇͂̊̔͢A̡̭̓̍K̴̰̉ͬ_͡ͅU̡̫̰ͬͯͮͯ̀̚ ĤÌ̶͔̼̝̬̒́͌̇͡N̢̩̙͒ͮͭ̀͞G͔͕͔͒ͨG͈̈̚A̶͒̑̃̚ A͉̖̥̤͍̳̎̋͝Ķ̴̸̛̺̭͎̔ͯͥ̉H̯̓ͪ͌̕͡Î͍̗͂͘R͇͕ͪͣ́͡!̺͙́ͬ͘͟”̘͈̖̞ͧ͛͒̂̇

“Lepaskan!” aku meronta. “Lepaskan aku!”

Kami terus bergelut. Mia merangkak mendekatiku, menancapkan kuku-kukunya ke lantai hingga patah. Darah mengalir meninggalkan jejak lurus di sana. Aku nggak menyerah. Dengan satu tenaga terakhir kuhentakkan kakiku, mendarat dengan keras di wajah Mia. Rasanya begitu lembek. Genggaman Mia terlepas dan aku buru-buru bangkit, membuka pintu dan masuk ke dalam kamarku. Aku menjatuhkan diri di atas tempat tidur dan meringkuk dalam selimut.

Tubuhku menggigil hebat. Di luar kudengar Mia meraung, dentuman-dentuman yang kencang menghunjam dinding yang membatasi kamarku dengan kamarnya, tanpa henti hingga pagi menjelang.


***

Siang itu aku membereskan barang-barangku dan menghubungi salah satu teman. Sejujurnya, apa yang kualami sudah cukup meyakinkanku untuk segera angkat kaki dari tempat kost yang sudah kutinggali sejak dua tahun terakhir. Hari-hari berikutnya kuhabiskan dengan tinggal berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, sambil mencari tempat kost baru. Untungnya Siska datang membantuku. Gadis itu benar-benar khawatir, bahkan menjelaskan kalau sejak awal dia memang ingin membujukku keluar dari sana. Pada akhirnya, nggak butuh waktu lama bagi kami untuk menemukan tempat yang cocok.

Aku masih memikirkan Mia. Parasnya, senyuman yang terukir di wajahnya, juga nasibnya yang tragis. Pertemuan kami bakal terus meninggalkan bekas yang nggak akan pernah kulupakan seumur hidupku, baik dan buruknya. Meskipun begitu, toh hidup harus terus berjalan. Kini aku tinggal di tempat baru, penuh suasana baru, dan sepertinya aku juga bakal punya pacar baru. Yah, kadang-kadang aku merasa seperti diawasi oleh sesorang, tapi aku yakin itu cuma paranoiaku dan cepat atau lambat bakal berlalu.

Bagaimanapun, Mia sudah nggak ada lagi di dunia ini, kan?



[Selesai]
 
Terakhir diubah:
Halo suhu-suhu semua, terima kasih udah baca karya pertama ane! Silakan komentar kritik dan sarannya ya, biar ane makin semangat nulis karya selanjutnya 😁
 
Terakhir diubah:
Mantab.

Kalo Kata-kata

"Mia sudah meninggal seminggu yang lalu"

dirubah menjadi

"Jangan jangan perempuan yang tewas terlindas mobil seminggu yang lalu itu Mia"

-----------

Akan menjadi sempurna 👍

Lanjut keun....
 
Mantab.

Kalo Kata-kata

"Mia sudah meninggal seminggu yang lalu"

dirubah menjadi

"Jangan jangan perempuan yang tewas terlindas mobil seminggu yang lalu itu Mia"

-----------

Akan menjadi sempurna 👍

Lanjut keun....
Makasih masukannya hu. Ane masih belajar ini, lumayan buat bahan evaluasi 😁
Btw buat masukannya bisa minta tolong dikasih spoiler hu, biar pembaca lain tetep dapet klimaksnya 🙏
 
Waw siska nya sakti atau jngn2 di koran kliatan mukanya mia...
 
Bimabet
jarang banget nih cerita mistis/misteri kaya ginih...lanjut bos
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd