Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT [No SARA] Panah Asmara (True Story)

Ijin ikut kisah real cerita ya om @Wisevil 🙏🏼
bagus penulisan & pembawaan alur cerita ya👍
abe juga ada kisah nyata seperti ini & hampir mirip..sayang gak mau ane expose soal ya tak pandai berkata2 😅🤭😑
Ok tetap pantegin cerita keren ya om 🙏🏼👍
Mantaapppppp
 
Panah Asmara

Aku banyak bicara dan itu menjadi salah satu hal yang membuatku mudah bergaul terutama dengan wanita. Beberapa wanita sudah pernah aku dekati. Beberapa berakhir dengan saling bergelut berlumuran keringat. Tapi dari sekian wanita, ada satu orang yang kusesali. Kenapa aku mengenalnya baru saat ini?

Ilustrasi:



Namanya tak mungkin kusebutkan disini, jadi sebut saja dia Nira. Wanita yang tidak banyak bicara pada saat pertama kali kami bertemu. Dia adalah seorang pengajar di sebuah sekolah islam terpadu. Dengan balutan gamis tebal, mustahil bagiku untuk melihat bentuk tubuhnya. Gamis itu pula yang membuatku tidak berfikir macam-macam saat pertama bertemu. Hanya saja, sepasang mata coklat miliknya tak mampu membuat mulutku untuk menegurnya.
"Kamu adiknya Alif ya?" Sapaku tiba-tiba saat dia sedang fokus menghitung jumlah uang yang akan disetorkannya. Saat itu aku sedang menjemput uang setoran tabungan koperasi sekolah yang kebetulan dia juga menjadi pengelolanya.
"Alif? Siapa alif?" Jawabnya sedikit acuh. Tak ada rasa tersingguh atau sakit hati yang muncul, bagiku itu wajar bila seorang dengan penampilan tertutup dan dipanggil ustazah di sekolah bersikap agak cuek terhadap laki-laki yang belum lama dikenal.
"Oh bukan ternyata. Aku kira kamu adiknya Alif, teman sekolahku dulu. Dia punya adik perempuan yang bermata coklat, sama seperti matamu" Aku masih mencoba mengajaknya berbicara. Bukan untuk menggoda atau mencari kesempatan, tapi entah kenapa aku sangat senang melihat mata coklat miliknya.


Aku mengambil slip setoran, tertulis di kolom penyetor sebuah nama yang aku cari, Nira.
"Baiklah ustazah Nira, uangnya pas yah. Oiya, tolong nomor HPnya ditulis disini" aku menyodorkan slip setoran tersebut. Nira kemudian menuliskan nomor HPnya dan aku meminta ijin menyimpan nomornya di HPku dengan alasan jika ada apa-apa dengan setorannya, aku bisa menghubunginya nanti.


Aku kembali ke kantor, tak lagi memikirkan Nira. Aktivitasku kembali seperti semula, sebagai seorang teller di sebuah perbankan syariah anak perusahan BUMN di sebuah kota kecil. Beberapa kali aku bertemu dengan Nira, kadang saat dia datang bertransaksi atau ketika aku pergi menjemput tabungan di koperasi sekolahnya. Tak ada yang berubah, Nira tetap saja bersikap biasa, sementara aku fokus menatap mata coklat miliknya saat dia sedang menghitung uang. Berminggu-minggu, berbulan-bulan aktivitas itu berulang hingga akhirnya aku dipindahkan ke bagian lain tidak lagi menjadi Teller. Aku ditugaskan sebagai Back Office sehingga aku hampir tidak lagi bertemu dengan Nira. Kurang lebih setahun kemudian, aku dimintai tolong oleh supervisi untuk mengambil uang di koperasi sekolah tempat Nira mengajar. Setibanya di sana, aku melihat Nira agak gendut. Rupanya dia sedang hamil. Ternyata dia baru menikah beberapa bulan lalu. Kami ngobrol seadanya, tanpa ada rasa apapun. Hal itu berulang kembali sampai setahun kemudian. Saat Nira sudah melahirkan, aku kembali menjemput setoran tabungannya. Entah apa yang mengawali, ternyata kami sudah asik bercanda di dalam koperasi. Menikah dan punya anak membuat Nira semakin terlihat ramah. Hal itu semakin membuatku lebih banyak berbicara, dan kami semakin akrab. Setiap minggu aku selalu menjemput tabungan dan selalu saja kami ngobrol hingga lupa waktu. Aku dan Nira semakin nyaman sebagai teman ghibah, Nira lebih banyak bercerita sementara aku lebih banyak mendengarkan dan menimpali cerita-ceritanya. Dari sekian banyak cerita-cerita yang dia sampaikan, tak jarang Nira bercerita tentang keluarga suaminya dan beberapa hal tidak menyenangkan yang dia alami. Aku mendengarkan semua itu sambil menyampaikan beberapa masukan dan saran-saran yang baik, agar dia lebih sabar serta memahami posisi suaminya. Tak pernah ada satupun kalimat dariku yang bertujuan untuk memperburuk keadaan, aku selalu memberikan saran-saran yang baik demi kebaikannya dan keluarga.


Suatu hari saat aku hendak ke warung kopi sebelah kantor, aku berpapasan dengan Nira yang kebetulan berada di banking hall. Aku menyapanya, menanyakan keperluannya lalu pamit dengan mengatakan bahwa aku mau ke warung sebelah "Mau ngopi bentar" ucapku.


Di warung, aku duduk. Menyalakan rokok, menghirup kopi lalu membuka pesan masuk di WA, ternyata dari Nira.
"Kiraen mau bantu kek. Udah tau temannya ngantri. Rame pula antriannya nih"
"Lha, gak bilang sih. Rame banget yah? Yaudah sini nunggunya sambil ngopi" tawarku basa-basi.
"Bangeeeet. Biarin aja, nanggung. Bakalan lama gak disitu?"
"Bentar sih, tapi kalo ada temen ngobrol ya bakalan lama"
"Disitu ada makanan?"
"Ada, nasi campur ama gado-gado. Mau mana? Saya pesanin" aku berharap dia mau mampir.
"Yaudah, gado-gado aja"
Belum selesai aku mengetik balasan, Nira sudah menepuk meja menghampiriku.
"Serius amat"
"Lho? Dah selesai? Cepet juga" aku kaget, kapan dia selesai transaksinya.
"Mana gado-gadonya?"
"Lagi dibuatin" aku menggeser kursiku, memberikan ruang kepada Nira untuk duduk disampingku tapi dia memilih duduk di depanku.
Pagi menjelang siang itu, kami ghibah seperti biasa dengab topik yang sudah biasa. Tentang Nira dan keluarganya. Ghibah kami lebih tepatnya disebut diskusi, dengan tema Mencintai Pasangan. Disaat itu, aku baru tau kalau Nira tidak mencintai suaminya tapi juga tidak membencinya. Dan dia bertanya padaku bagaimana cara agar dia bisa mencintai suaminya.
"Untuk apa kamu mencintainya?"
"Pertanyaan macam apa itu? Gak ada ahlak banget" Nira heran saat aku bertanya balik padanya.
"Apa kamu membenci suamimu?"
"Tidak"
"Kalau begitu bagus. Jika kamu belum bisa mencintainya, jangan paksakan. Yang penting kamu tidak membencinya. Cinta itu aneh, datang dan hilang semaunya. Kamu akan menemukan waktu yang tepat untuk mencintai suamimu"
"Aku merasa berdosa karena tidak mencintainya"
"Sejak kapan kamu tidak mencintainya? Kenapa? Apakah ada orang lain yang merebut cintamu dari suamimu?"
"Sejak kapan?? Sejak awal. Aku dan dia hanya berteman, tapi dia satu-satunya dari sekian laki-laki yang kukenal yang berani datang kerumah untuk melamarku. Jadi aku terima saja lamarannya. Lagi pula, dia baik, tidak pelit, tidak kasar, dan sangat sayang pada ibunya. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak laki-laki seperti itu. Awalnya aku berharap cinta akan datang seiring waktu berjalan. Tapi sampai sekarang, aku masih belum bisa mencintainya"
"Nah, itu kamu tau kan. Cinta datang karena terbiasa, seiring waktu. Mungkin memang belum waktunya. Jalani saja" ucapku sambil menyalakan rokok.
"Aku ingin mencintainya" ucapnya lirih.
"Mungkin kamu sudah mencintainya. Hanya saja kamu tidak menyadarinya. Definisi cinta seperti apa yang kamu gunakan? Seperti apa standar cinta yang kamu inginkan? Jika kamu ingin cinta romantis seperti di film-film, ingat bahwa itu cuma arahan sutradara. Standar cinta setiap pasangan berbeda-beda lho. Ada yang romantis dengan kata-kata, ada pula yang romantis dengan tindakan. Ada yang diam tapi memperhatikan, ada pula yang setiap pagi mengirimkan puisi-puisi cinta. Temukan saja cara mencintai yang paling pas buat kalian. Contohnya aku dan istriku. Kami tidak pernah saling memberikan bunga atau hadiah coklat, bukan berarti kami tidak saling mencintai. Tapi itu bukan cara kami. Cara kami mungkin hanya cocok diterapkan antara aku dan istriku saja"
"Yaaa tapi apa salahnya ingin kayak di film-film, pengen juga lah, aku rasain yang namanya jatuh cinta sama suamiku. Seperti waktu sekolah dulu." Nira masih saja mengeluh. Dan aku menjawabnya dengan tertawa.
"Memangnya jatuh cinta itu kayak gimana?" Aku bertanya sambil tersenyum dan menatap mata coklatnya.
"Liat apa!!" Suara Nira mengeras tetapi tidak marah. Dia tersenyum menyadari aku sedang menatap matanya.
"Mata itu. Aku beneran lho, suka sekali dengan warna mata itu" aku tersenyum
"Buaya!!"
"Eh, ayo belum dijawab. Memangnya kalo jatuh cinta itu seperti apa?" Aku menggodanya.
"Yaaa misalnya kalo lagi ngobrol tu betah berjam-jam, atau senyum kalo liat fotonya, deg-degan pas buka chatnya dia. Yaaa hal-hal kayak gitu lah"
Aku hanya tertawa kecil. Andai dia tau kalo aku sudah mulai betah ngobrol dengannya, dan senyum kalo melihat mata coklatnya.


Kuraih HPku, membuka WA dan mengirim pesan kepada Nira yang masih duduk di depanku "kalo kamu baca ini, deg-degan gak?"

[Suara notofikasi hp]
Nira membuka HPnya. Membacanya sebentar lalu melihatku.
"Apaan sih" jawabnya sambil tertawa kecil dengan memalingkan mukanya.
Wajahnya memerah.


"Fix. Kamu deg-degan" batinku.
Aku kembali membuka HP tapi dihentikan Nira.
"Apaan coba, iiiihhh....orangnya ada di depan kenapa pake chat?" Nira terlihat kesal namun aku tau, dia sedang berusaha menutupi malu.
"Eh enggak kok. Aku deg-degan makanya beraninya pake chat" aku memberanikan diri untuk menyampaikan sinyal kepadanya.
Kami sama-sama diam, mencoba menenangkan batin. Lalu Nira pamit, merapikan bekas makanannya, lalu pulang. Dan aku kembali masuk ke dalam kantor. Sambil berjalan aku membuka HP dan mengirim pesan WA kepada Nira.
"Maaf, aku sudah menyukaimu"


...Bersambung


Part 2: Ijinkan Aku Menyayangimu (hal 5)
Part 3: Aku Sedang Ingin Bercinta (hal 19)

Intermezzo (hal 23)

Part 4: Wik Wik Wik Wikk (hal 28)
Part 5: But I Can't Help Falling In Love With You (hal 31)
Part 6: Tak Ada Logika (hal 32)
Part 7: Masa Lalu Biarlah Masa Lalu, Jangan Kau Ungkit... (hal 33)
Sungguh Sangat menarik Huu... Apa yg suhu kisahkan tentang masalah cinta dg akhwat kok beti sama ane... 😅 😂
 
Part 8: Di Belakangku

Sore itu, nira akhirnya menceritakan semuanya. Sebuah cerita yang menjadi awal kenapa dia menjadi wanita yang merindukan cinta. Menjadi wanita yang pernah putus asa lalu pasrah dengan takdir. Tak lagi berharap lebih melainkan hanya menerima apa yang menjadi pemberian yang maha kuasa kepadanya.

Sore itu, Nira bercerita dengan tegar diantara sesak nafasnya, diantara tetes air matanya, Nira mencoba menggali lagi kenangan pahit yang selama ini dia buang. Bibirnya gemetar menjelaskan semua ceritanya. Tentang cinta, tentang kasih sayang, tentang pengorbanan, tentang penghianatan. Tentang seorang wanita muda yang rela menempuh perjalanan yang sangat jauh, bahkan terlalu jauh untuk seorang wanita berhijab seperti dia. Dengan sejuta tekad dan keberanian, dia menuju Surabaya, naik bus malam, menempuh perjalanan sendirian demi satu tujuan. Nira ingin menemui pacarnya yang berada di sana. Hari itu tepat 4 tahun mereka berpacaran, dan hari itu adalah hari ulang tahun pacarnya. Nira sengaja datang untuk memberikan kejutan padanya.

Jam 10 malam Nira tiba di kota pahlawan. Dia menelfon pacarnya, bercengkerama seperti biasa lalu pacarnya memberitahukan kalau dia sedang ada di hotel. Dia sedang mengikuti pelatihan bersama rekan-rekan kantornya. Dengan harapan memberikan kejutan, Nira mendatangi hotel tersebut, menerobos hujan, dia membawakan sebuah kue kecil dengan lilin di atasnya. Tak dirasakannya lelah karena perjalanan panjang, tak dihiraukan air hujan ataupun dinginnya malam, yang dia bayangkan adalah wajah pacarnya yang kaget tak percaya dengan kehadirannya. Membawakan kue ultah. Dia menemui pacarnya sambil menyanyikan lagu happy birthday, berdiri tepat di depan pintu kamarnya dengan kue kecil ditangannya, dengan rambut yang masih basah karena air hujan. Sementara pacarnya berdiri mematung tak percaya jika Nira sekarang berdiri tepat di depannya.

Sambil tersenyum, Nira menyelesaikan lagunya dan meminta pacarnya untuk mengucapkan doa sebelum meniup lilin. Tapi senyumnya berubah menjadi dingin, dan wajahnya yang ceria mendadak pucat. Sesosok wanita dengan balutan pakaian tidur berdiri jauh di belakang sana dengan tatapan keheranan. Nira terdiam, tak ada lagi keceriaan yang terlukis diwajahnya. Rasa lelah yang tadinya tak pernah dia hiraukan perlahan datang mendera. Dan dia tak mampu lagi untuk berdiri, Nira terjatuh tak berdaya.

Malam itu mereka bertiga duduk bersama di dalam kamar. Nira menatap tajam kearah wanita asing yang sedang bersama pacarnya itu. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Hanya air mata yang masih menetes tak berhenti. Sementara pacarnya masih sibuk berbicara dengan seseorang melalui telefon.

Malam itu, pacarnya menelfon salah satu teman wanitanya untuk menjemput Nira dan mengantarkannya pulang ke rumah pacarnya. Tidak mungkin baginya membiarkan Nira menginap dikamar itu dan menyuruh si wanita berpakaian baju tidur untuk pulang. Jadi, dia memutuskan untuk meminta Nira menunggunya dirumah bersama ibunya. Tak lama, teman wanita yang ditelfon itupun datang. Nira kemudian pergi meninggalkan pacarnya dan wanita asing itu, mengikuti teman pacarnya menuju rumah pacarnya.

Setibanya disana, Nira disambut oleh Ibu pacarnya. Dia dipersilahkan untuk mandi dan mengganti bajunya yang basah. Nira memang sudah kenal dengan ibu pacarnya. Jadi tak ada rasa canggung saat mereka bertemu. Hanya rasa kaget yang muncul di benak ibu pacarnya saat tau Nira datang ke surabaya dari kota kecilnya demi mengucapkan selamat ulang tahun bagi anaknya, yang saat ini sedang berada di hotel. Setelah mandi dan mengganti baju, Nira kemudian rebahan di depan TV, matanya terpejam tapi masih tersadar. Dalam lelap dia masih menangis, tapi air matanya enggan untuk keluar. Dinginnya udara malam itu membuat hatinya beku. Terdengar suara ibu pacaranya dan teman yang mengantarkannya sedang bercakap-cakap. Mereka bercerita tentang apa yang baru saja terjadi. Sedikit berbisik, karena khawatir Nira akan terbangun, ibu pacarnya pun berucap bahwa jika diminta untuk memilih, dia lebih memilih wanita yang saat ini sedang di hotel bersama anaknya. Bukan Nira. Baginya, seorang wanita yang rela menempuh perjalanan jauh hanya demi seorang laki-laki bukanlah wanita baik-baik. Wanita seperti itu tak ubahnya wanita yang sudah menyerahkan semua yang dia punya sehingga membuatnya nekat mengejar laki-laki. Dan ucapan itu terdengar jelas di telinga Nira yang saat itu masih terjaga dengan mata terpejam. Sungguh seakan semua isi dunia ini menjadi musuh baginya. Tak ada lagi tempat untuknya di kota surabaya ini. Kota yang katanya adalah kota pahlawan, malam ini terasa seperti kota penghianat. Penghianat cintanya, penghianat kesetiaannya.

Malam itu juga Nira meninggalkan rumah itu, menerobos derasnya hujan untuk kedua kalinya, Nira pergi kembali ke kotanya. Tangisnya tak terbendung, dalam derasnya hujan dia berteriak mempertanyakan keadilan tuhan. Dalam guyuran air hujan, air matanya menetes tak tertahankan. Badannya menggigil bukan karena kedinginan, tapi karena hatinya kini telah membeku. Tak ada lagi cinta yang tersisa, bunga yang dulu berkembang di hatinya kini tidak hanya layu dan berguguran tetapi tumbang, mati hingga ke akar-akarnya. Malam itu juga Nira memutuskan pulang. Sepanjang perjalanan, di dalam bus malam, saat penumpang lain sedang terlelap dalam mimpi, Nira masih berusaha mencerna kenyataan. Saat penumpang lain sedang menikmati mimpi, Nira berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini semuanya mimpi. Tapi semua itu gagal, semakin dia berusaha menganggap ini mimpi, semua ini semakin terasa jelas. Malam itu Nira memutuskan tak akan pernah ada cinta lagi untuknya.

Bersambung
 
Maaf suhu-suhu sekalian, update kali ini akhirnya ane bisa posting. Kali ini ane bercerita tentang apa yang menjadi alasan Nira menjalani kehidupan yang hambar dan hitam putih. Tak ada warna dan tak ada cinta.

Setelah mendengar apa yang terjadi padanya, ane akhirnya tau alasan kenapa Nira bertanya pada ane bagaimana caranya mencintai di masa-masa awal kami mulai dekat.
Semoga suhu-suhu bisa ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Nira.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd