“Lho Rico! Kok lu bisa disini. Katanya nginap untuk ngerjain tugas,” tanya Stefany kakakku kaget melihat aku di dalam rumah saat itu.
“Ga jadi, Cie. Tadi Kevin mendadak disuruh pulang sama nyokapnya. Jadi akhirnya kita semua bubar jalan deh,” jawabku santai karena memang aku telah mempersiapkan jawaban itu.
“Sejak kapan nyampe?”
“Barusan aja.”
“Barusan kapan?”
“Paling 5 menitan lalu.”
“Kok pas datengnya ga kedengeran.”
“Waktu itu lu lagi dikamar Cie, gimana bisa denger.”
“Beneran lu baru datang barusan?” tanyanya penasaran.
“Iya. Lha ini baru mau mandi,” kataku sambil menunjuk pakaianku sementara di bahuku ada handuk dan kubawa pakaian ganti di tangan.
Pandangan mata kakakku tertuju ke pakaian yang kukenakan sambil menunjukkan ekspresi mengiyakan. Memang kebiasaanku tak pernah berlama-lama memakai baju pergi begitu tiba di rumah. Satu kebiasaan yang berbeda dengan dirinya.
“Jadi tadi habis pulang sekolah ngapain aja?” tanyanya kembali. Memang, kakakku ini orangnya persistent.
“Tadi ada ekstra kurikuler sampe sore. Trus setelah selesai baru kita ke rumah Fendi untuk ngerjain tugas kelompok. Kita disitu terus sampe aku pulang barusan.”
“Ga kemana-mana selama disitu?”
“Nggak lah. Khan kita ngerjain tugas. Tentu sambil makan, ngobrol juga. Mau ngecek sama Fendi?” kataku meninggalkan dia sebentar untuk mengambil HP di kamarku yang pintunya terbuka dan balik ke dia lagi.
“Nih, aku telpon dia ya,” kataku.
“Ga usah.”
“Sama siapa aja tadi kerja kelompoknya?”
“Aku, Fendi, Kevin, dan Heri. Kita berempat”
“Coba telpon Heri!” serunya. “Pake speaker phone,” tambahnya lagi.
“OK,” kataku sambil mencari nama Heri dan menelponnya.
“Halo Her. Sorry nelpon malam-malam. Mau ngecek aja, lu tadi di rumah Fendi bareng gua khan?”
“Iyalah. Memang lu kenapa, Co? Sakit hilang ingatan atau apa?”
“Hahaha. Gapapa. Cuman iseng aja. Jam berapa kita balik tadi?”
“Setengah jam-an yang lalu lah kira-kira.”
“Pake baju apa gua tadi?”
“Lu pake baju kuning garis-garis hitam. Celana biru. Memang ada apa sih?”
“Gapapa. Ngetes telpon gua aja. Ok deh. Tengkyu ya,” kataku sambil memutus koneksinya.
“Memang kenapa sih Cie, kok nanya sampai detil gini. Biasanya ga pernah sampe gini,” tanyaku balik.
“Tas bajumu mana? Tadi lu bawa tas baju khan.” Yee, ditanya apa, responnya apa. Tapi ingatan kakakku memang lumayan hebat.
“Ada, di kamar,” kataku santai.
“Mana coba liat,” katanya.
Ya elah Cie, lu udah mirip kayak pejabat aja. Nembak sana sini supaya perhatian orang teralihkan dari kasus dirinya. Tentu hanya di dalam hatiku saja aku berani bicara gini.
“Tuh disitu,” kataku saat di dalam kamar menunjuk tas di meja yang masih belum kubereskan sejak datang.
“Aku lihat ya,” katanya. Satu hal yang sebenarnya meaningless karena di saat seperti itu tak ada seorangpun yang mampu mencegahnya untuk tak melihat isi dalam tas itu.
“Di dalam ga ada yang aneh-aneh khan,” sejenak ia menghentikan tangannya.
“Buka aja,” kataku santai. Berhadapan dengan kakakku memang kita harus mempersiapkan segala kemungkinan dengan cermat.
Kakakku tak berkomentar sama sekali saat melihat isi tas itu. Tentu baju seragam bekas, baju seragam baru untuk besok, kaus kaki, celana santai dan kaos tidur yang masih terlipat rapi serta satu potong celana dalamku ditambah alat-alat cowok seperti sisir, gel, dll bukan sesuatu yang menarik baginya. Sementara ia bahkan membantuku dengan membuang baju seragam bekas itu ke dalam ember pakaian bekas.
“Ini aku masukin ke ember ya,” katanya mengeluarkan seragam bekas itu dan berjalan mendekat ke ember itu.
"Thank you, Cie."
“Tas sekolahmu mana?” Ya, kakakku yang cantik ini tak akan berhenti sampai semuanya betul-betul tuntas!
“Itu disitu. Mau lihat, lihat aja.”
Lagi-lagi ia melihat isi dalam tas yang tak begitu menarik baginya.
“Memang kenapa sih Cie, kok nanya sampai detil gini. Biasanya ga pernah sampe gini,” kuulangi pertanyaanku.
“Sebagai kakak khan aku mesti ngawasin. Jangan sampe adiknya berbuat yang nggak-nggak yang bisa mengganggu sekolahmu. Ingat pesan dari Papa dulu khan?” katanya.
Hmm, pesan dari Papa ya... and how about you sis? Tanyaku balik, tapi beraninya cuman di dalam hati.
“Trus ini agak aneh aja. Kemarin bilang mau nginap kok sekarang tiba-tiba ada disini. Tapi ok lah yang penting lu udah sampe rumah,” katanya sambil berjalan keluar dari kamarku.
Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan berbalik.
“Lain kali kalo pulang mendadak gini apalagi sudah malam, kasih tau donk. Bikin kaget aja tiba-tiba ada suara di luar. Takutnya ada orang ga dikenal masuk rumah,” katanya. Secara logis, ini cukup masuk akal sebenarnya. Apalagi buat seorang cewek seperti dia di dalam rumah seorang diri. Namun untuk kasus saat ini.... hmmm, yah, ok...
“Jadi aturannya gimana, kalo aku pulang di luar rencana mesti kirim WA atau semacamnya?”
“Iya. Kalo lu pulang di luar jam normal sekolah atau di luar rencana, kasih tau dulu sebelum masuk rumah biar tahu.”
“OK. Trus Cie Stefany juga sama, kalo pulang di luar planning kirim message ke aku juga?”
“Hmm, kalo aku khan jadwalnya berubah-ubah. Jadi susah. Sementara ini kamu aja dulu.”
“Ookee” kataku. Seperti biasa... double standard. Tapi mo gimana lagi, she’s the boss in our house.
Sebelumnya...
Dengan super hati-hati aku balik ke dalam rumah dan masuk ke dalam kamarku. Lampu kamar tetap mati. Kain seprei tetap rapi. Pokoknya kubikin seolah aku tak ada disitu.
Aku mengganti celana dalamku dengan yang baru. Karena ada sisa sperma di celana dalamku yang sekarang. Kemudian celana dalam bekas itu kutaruh di dalam ember tumpukan pakaian kotor, agak di bawah. Sementara aku tetap memakai pakaianku yang kupakai lainnya.
Kini aku perlu menunggu saat yang tepat untuk memberi kesan seolah aku baru datang. Pertama-tama, hal itu baru akan kulakukan setelah aku memastikan di rumah hanya ada kakakku seorang. Untuk saat ini, aku tak ingin membuat suasana jadi gaduh.
Setelah memastikan itu, kini aku tinggal menunggu waktu yang pas untuk menunjukkan kemunculanku. Ini bukan hal yang sulit. Malam-malam gini kakakku memang biasanya selalu berada di kamarnya. Apalagi saat ini setelah...hmmm, you know what....yang bahkan terjadi sampai berjilid-jilid!
Sehingga pada akhirnya aku “tiba di rumah”, masuk kamar, naruh tas dll. Kemudian aku keluar kamar, dan saat menuju kamar mandi itulah aku sengaja membuat suara berisik untuk menarik perhatiannya dari dalam kamar. Kemudian keluarlah kakakku dan mulai menginterogasiku.
Satu hal yang tentunya telah kuantisipasi dan kupersiapkan dengan baik. Juga, ada baiknya ia mencecar bahkan mencurigaiku malam ini dibanding besok. Karena semua barang bukti masih fresh dan otentik untuk menjawab semua keraguan dan kecurigaannya. Baju yang kukenakan, kebiasaanku langsung mandi saat baru pulang, tas baju yang masih utuh, seragam kotor yang belum dikeluarkan, dan sebagainya, dan sebagainya. Barang-barang bukti ditambah jawaban dan alibi yang solid akan berhasil meyakinkan dia malam ini!
Sementara kalau aku menunggu kakakku tidur baru “pulang”, hal itu memang lebih memudahkanku karena tak perlu mempersiapkan macam-macam dan terhindar dari pertanyaan-pertanyaan yang menjurus. Namun besoknya bakal lebih gawat. Ia bakal lebih kaget melihatku pagi-pagi tiba-tiba ada di rumah sehingga kecurigaannya akan semakin besar. Sementara beberapa barang-barang bukti yang menguntungkanku telah hilang atau menjadi tak relevan lagi. Akibatnya, meski mungkin ia tak bisa membuktikanku berbohong, kecurigaan akan terus menyelimuti pikirannya. Pada akhirnya ini akan semakin meningkatkan kewaspadaan dirinya dan menyulitkan gerakku. Satu hal yang ingin kuhindari.
Saat kakakku mendekati ember itu sebenarnya hatiku agak berdebar. Saat itu aku sadar kalau aku telah membuat satu kesalahan kecil. Satu hal kecil yang akan membongkar semuanya. Apabila kakakku ketika itu tiba-tiba “mendapat inspirasi” untuk melihat isi dalam ember itu dan menemukan adanya celana dalam dengan sisa-sisa sperma yang masih agak fresh (bukan yang telah berhari-hari), aku bakal kesulitan untuk menjelaskannya. Bukankah aku baru datang? Dan kenapa kok letaknya bukan di atas?
Secara formal, sebagai seorang gadis berusia masih cukup muda yang boleh dibilang hampir tidak pernah pacaran, tentu ia tak tahu banyak tentang hal-hal seputaran sperma cowok bahkan mungkin sama sekali tak tahu. Juga, ia tak bakal mau mengurai-urai pakaian bekas adik cowoknya apalagi memeriksa celana dalamnya. Namun secara realita, hmmm.... dia tidaklah sepolos itu. Sama sekali tidak!
Jadi secara logis sebenarnya cukup ada kemungkinan ia melakukan itu. Dan dia adalah boss di rumah ini. Apapun yang dia mau, aku hanya bisa menurutinya dan ga bisa mencegahnya. Ibarat dalam peperangan, kakakku seorang jenderal dengan jumlah pasukan 10.000 orang, sementara aku hanya kopral dengan 500 prajurit. Adalah bunuh diri untuk bermusuhan secara terbuka apalagi berhadapan dengan frontal. Sehingga aku tak boleh bermusuhan secara terbuka. Kalaupun harus menyerang, itu harus dilakukan dengan diam-diam dan dengan jalan memutar untuk mencari titik lemah di bagian samping atau belakang secara tepat.
Untung saja, kelemahan yang kubuat itu tak dimanfaatkan dengan baik oleh kakakku. Ia tak menyentuh ember pakaian bekas itu. Sementara aku adalah orang yang mampu menyembunyikan perasaanku sebenarnya. Sehingga kekuatiranku tak nampak di permukaan yang sampai dapat menimbulkan kecurigaannya.
Selesai mandi, aku melihat kakakku sedang duduk di sofa ruang tengah.
“Belum tidur, Cie?”
“Bentar lagi,” katanya. “Dipasin jam 12 aja.”
Saat itu pukul 11.35 malam.
Setelah itu kita ngobrol sebentar di sofa tengah itu. Namun sama sekali tak membicarakan tentang kepulanganku atau hal-hal seputaran itu. Justru aku yang sempat pura-pura bertanya tentang kedatangan dan kegiatannya hari itu.
“Tadi pulang jam berapa Cie.”
“Agak sorean tadi aku udah balik ke rumah sih,” jawabnya. Ya, memang dia tidak bohong. Hmm, mungkin pulang agak awal untuk mempersiapkan diri ya, Cie.
“Kok tumben ga pulang malam hari ini?”
“Iya hari ini aku masih agak cape. Badan masih pegel-pegel karena exercise cukup berat kemarin. Makanya pulang cepat untuk bisa istirahat.”
Yah, istirahat tapi sambil melakukan olahraga yang lain.
“Oya di meja ada risoles barusan dipanasin, sama bumbunya juga. Biasanya malam-malam gini lu suka ngemil.”
Harus kuakui, dalam hal-hal tertentu, Cie Stefany ini memang seorang kakak cewek yang baik! Sementara, hiks, kadang justru aku yang suka nyinyirin dia dan ngedumel dalam hati.
Saat itu aku menyadari, kalau kakakku ini memang sengaja menungguku saat aku mandi barusan supaya kini dapat mengobrol denganku.
Saat itu kita ngobrol ngalor ngidul tentang hal-hal ringan. Aku dapat merasakan pembawaan dirinya yang kini sangat rileks dan tenang. Berbeda dengan saat awal bertemu tadi, kini terlihat tak ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Terlihat bahwa ia telah “berdamai” dengan apapun situasi yang dihadapinya hari ini dan dengan dirinya.
Bahkan malam itu adalah salah satu diantara saat-saat tak terlupakan dimana kita berdua dapat betul-betul bersikap santai dan apa adanya. Saat dimana kita tak memusingkan masalah-masalah yang ada atau hal-hal lain yang tak relevan diluar kita saat itu. Kalau biasanya aku suka nyinyir di dalam hati atau memperhatikan bajunya yang agak sexy dan lain-lain, di saat yang teduh seperti ini aku justru tak terlalu memperhatikan pakaiannya atau punya pikiran bercabang lainnya di dalam hati. Sebaliknya, dia juga less bossy terhadapku dan bersikap lebih natural. Bahkan ketika kami sedang berbincang-bincang saat itu, aku sama sekali tak memikirkan apa yang telah kulihat dari luar jendela kamarnya tadi. Fokusku hanya tertuju pada dirinya secara penuh.
Sampai akhirnya, tepat jam 12 teng kami berpisah untuk tidur...
Di dalam kamar, aku mencoba memetakan semuanya dan menggambarkan situasi yang ada secara keseluruhan. Hmm...Apapun yang terjadi, apapun yang kulihat hari ini, apapun yang kualami hari ini, apapun yang kurasakan hari ini, I love you as a sister, Cie Stefany. Untuk itu aku akan tetap mempertahankan status quo. Biarlah semuanya berjalan seperti biasanya. Kuliah dan sekolah kita, kehidupan sehari-hari, obsesimu yang tinggi dengan kebugaran dan olahraga. Juga, “bisnis MLM-mu”...apapun itu sebenarnya. Aku tak akan melakukan intervensi, membikin heboh suasana dan merusak harmonisasi yang telah stabil saat ini.
Akan tetapi, aku akan terus melakukan penyelidikan secara diam-diam. Tidak, hal itu tidak untuk membelejeti rahasia-rahasia dirimu apalagi untuk mempermalukanmu. Tapi aku melanjutkan semua ini karena aku mendapatkan gairah dan antusiasme yang luar biasa ketika membaca situasi, menganalisa, dan mengambil kesimpulan untuk kemudian dicocokkan dengan fakta yang ada. Aku tak pernah mendapatkan antusiasme seperti ini sebelumnya. Namun apa pun hasil yang kudapat, apa pun yang sesungguhnya terjadi dan yang akan terjadi (termasuk seandainya nanti hubungan kita memburuk atau berubah), aku akan selalu respek kepadamu.
Selamat tidur, Cie Stefany. It’s been a looong day and you deserve a good night sleep.