Bab 26
“Kecuali bahwa orang yang mengambilnya adalah manusia setengah setan separuh iblis!” kata Panembahan Wicaksono Aji dengan tegas,
“Jika yang mengambil adalah sejenis setan, siluman atau iblis, meski manusia yang bersekutu dengan mereka,
Sepasang Mutiara Langit akan memancarkan Sinar Pelebur Ruh.
Jangankan terkena secara langsung, cukup terserempet sudah bisa mengirim mereka ke peristirahatan abadi.”
“Lalu ... bagaimana dengan manusia biasa?” tanya Kamalaya yang sedari awal hanya menyimak saja.
“Mutiara Langit bisa mengetahui isi hati seseorang. Jika hanya menyentuh saja tanpa bermaksud memiliki, Mutiara Langit akan mengeluarkan sengatan kecil seperti sengatan lebah, meski sedikit menyakitkan tapi tidak merenggut nyawa. Jika ada yang berniat buruk hati, baik pada majikannya atau pada Mutiara Langit sendiri, secara otomatis benda itu akan memancarkan Sinar Pelebur Raga.” ujar Panembahan Wicaksono Aji dengan tajam. “Tubuh bisa hangus terbakar!”
“Betul-betul benda yang mengerikan!” gumam Mahesa Krudo, sambil membayangkan jika dirinya berubah menjadi seonggok arang hitam berbentuk manusia.
Hii!!
“Kita harus mencegah jangan sampai benda pembawa maut itu jatuh ke tangan orang sesat,” tandas Wanengpati, setelah menghela napas panjang,
“Perlu sekali merencanakan suatu langkah untuk mencegah bencana yang kemungkinan besar akan terjadi di bumi ini.”
“Aku setuju dengan perkataanmu, sobat Wanengpati,” timpal Linggo Bhowo, “ ... permasalahan ini sekarang bukan hanya milik rimba persilatan, tapi juga sudah menjadi permasalahan dunia. Kami Empat Golok Sakti dari Perguruan Karang Patah siap membantu sepenuh hati!”
Perkataan Linggo Bhowo diiyakan oleh tiga orang temannya yang lain.
“Terima kasih atas kesediaan sobat-sobat dari Empat Golok Sakti. Saat ini kami semua memang mengharapkan bantuan yang tidak sedikit. Sementara kita masih menunggu kedatangan Sepasang Raja Tua dan Bidadari Berhati Kejam yang sedang melakukan penyelidikan di wilayah Selatan dan Utara. Sebentar mereka juga akan sampai di tempat ini.”
“Apakah yang dimaksud dengan Sepasang Raja Tua itu adalah Raja Pemalas dan Raja Penidur?” tanya Janapriya dengan kaget.
“Benar!”
Tentu saja Empat Golok Sakti mengenal siapa adanya Sepasang Raja Tua itu, sepasang kakek tua yang memiliki tabiat sebagai tukang malas dan tukang tidur.
“Bukan sebentar lagi, tapi mereka memang sudah sampai,” gumam Panembahan Wicaksono Aji.
Sebagai orang yang waskita, tentu saja si kakek pendeta memiliki ilmu yang tidak rendah. Dari desiran hawa yang berhasil ditangkap, ia bisa memastikan siapa saja yang mendekati tempat itu, bahkan saat Kakek Pemikul Gunung dan Juragan Padmanaba masih dalam jarak ratusan tombak dari tempat kediamannya di lereng Gunung Gamping, sudah bisa diketahui dengan pasti.
Tak lama berselang, terlihat di kejauhan Raja Pemalas dan Raja Penidur yang datang agak belakangan.
Jika Raja Pemalas berjalan dengan langkah ogah-ogahan, namun tanpa perlu tempo lama sudah sampai di tempat itu, seperti angin berhembus di pagi hari.
Tentu saja kakek pemalas itu mengerahkan 'Langkah Sakti Pemalas' sebagai landasan jurus peringan tubuh. Beda dengan Raja Penidur,
si kakek malah berjalan sambil tidur, bahkan dengan mata terpejam rapat-rapat.
Tapi langkah kakinya tidak kalah cepat dengan sobatnya si Raja Pemalas. Tak perlu ditanya, kakek tukang mimpi itu menggunakan salah satu ilmu andalannya yang bernama 'Berjalan Sambil Tidur' untuk mengimbangi 'Langkah Sakti Pemalas'!
Yang membuat mereka kaget adalah, ternyata di tubuh masing-masing memanggul dua orang, yang entah hidup entah pingsan.
Linggo Bhowo dan Mahesa Krudo segera menghampiri dan membantu menurunkan sosok yang dipanggul Sepasang Raja Tua.
“Mereka dari Perguruan Perisai Sakti!” kata Raja Pemalas setelah dua orang itu diturunkan dari pundak masing-masing.
Wanengpati segera menghampiri orang-orang yang diduga dari Perguruan Perisai Sakti itu. Setelah melihat ciri-ciri khusus yang ada, memang menunjukkan bahwa mereka berasal dari Perguruan Perisai Sakti.
“Dimana Paman menemukan mereka?” tanya Wanengpati sambil melepaskan beberapa totokan untuk menyadarkan dua orang itu.
“Di tepi utara hutan sebelah, saat kami berdua sedang menyusuri tempat-tempat yang mungkin digunakan sebagai sarang para pemiliki rajah setan.” urai Raja Pemalas sambil sesekali mengurut-urut pundaknya yang pegal. Sedang Raja Penidur langsung menuju ke arah dipan, lalu terkulai tertidur di samping Nawala yang telah 'bertapa' terlebih dahulu.
“Mereka pingsan sudah lama, entah pingsan entah tidur aku juga tidak tahu. Sudah kucoba berulang kali membuka totokan mereka, satu pun tidak ada yang berhasil.” kata Raja Pemalas sambil ngeloyor pergi, “Mungkin aku sudah terlalu tua, jadi sudah berkurang tenaganya.”
Wanengpati pun mengerutkan kening, sambil bergumam, “Heran, totokan jenis apa yang bisa membuat dua orang ini pingsan seperti ini. Mirip dengan orang yang sedang tidur nyenyak.”
Wanengpati memeriksa dengan seksama, bahkan Mahesa Krudo ikut serta memeriksa salah satunya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada dua noda hitam di bagian tengkuk. Noda itu terlalu kecil jika tidak diamati dengan teliti.
“Ini apa?” gumam Mahesa Krudo, secara tidak sadar tangan kiri bergerak hendak menyentuh noda hitam itu.
“Jangan disentuh!”
Suara kereng terdengar menggema di pelosok padukuhan itu. Jelas sekali bahwa suara tanpa wujud merupakan lontaran tenaga dalam tingkat tinggi lewat udara yang hanya bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh tua rimba persilatan. Benar saja, sesosok bayangan berkelebat cepat ke arah para pendekar berkumpul.
Wuss!!
Terlihat sosok wanita yang masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikan di masa mudanya telah hadir di tempat itu.
Siapa lagi jika bukan Bidadari Berhati Kejam!?
“Jika kau ingin tertidur selamanya, sentuh saja noda hitam itu,” tandas Bidadari Berhati Kejam.
Mahesa Krudo masih tertegun melihat kedatangan sosok wanita parobaya di depannya.
“Memangnya kenapa, nini?”
“Kalau kau ingin tahu, itu adalah 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa'!”
“Apa!? 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa'?” seru Panembahan Wicaksono Aji dengan kaget. “Tidak mungkin!”
“Kenapa tidak mungkin? Itu jelas-jelas 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa', buat apa kau masih menyangkalnya?” sergah Bidadari Berhati Kejam dengan cepat sambil memutar badan ke arah Panembahan Wicaksono Aji. “Jika kau tidak percaya, coba periksa sendiri!”
Panembahan Wicaksono Aji setengah berlari menuju ke arah dua orang Perguruan Perisai Sakti yang terkapar di tanah. Setelah meneliti sebentar, terlihat kakek pendeta itu menggeleng-gelengkan kepala dengan bersuara pelan, “Tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi!”
“Jika kau mengatakan tidak mungkin, lalu bagaimana bisa racun maut itu berada di tubuh orang ini!? Apa dibawa oleh cacing tanah hingga kemari?”
Panembahan Wicaksono Aji terdiam.
Dirinya tahu betul perihal adanya 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa' itu, sebab pada masa lima puluhan tahun silam, dirinya bersama dengan beberapa orang jago-jago muda yang waktu itu masih berdarah panas, pernah mengobrak-abrik Perkumpulan Bidadari Lembah Angker yang dipimpin oleh Empat Ratu Mesum, yang tak lain tak bukan merupakan empat saudara perguruan.
Mereka terdiri atas Ratu Arak Merah, Ratu Bulan Darah, Ratu Gurun Pasir dan Ratu Jubah Merah yang rata-rata berusia sekitar dua puluh lima tahunan dengan tubuh tinggi semampai berkulit kuning cerah, dan tentu dilengkapi dengan seraut wajah cantik.
Bahkan guru mereka yang dijuluki Biang Iblis Segala Racun, merupakan salah satu dari pengamal ajaran Bhirawa Tantra ikut bergabung ke Perkumpulan Bidadari Lembah Angker sehingga membuat keganasan perkumpulan yang rata-rata terdiri dari gadis-gadis cantik ini semakin liar mengumbar nafsu angkara.
Akan halnya Biang Iblis Segala Racun, bagai api disiram minyak, kelakuannya tidak lebih baik dari hewan!
Setiap hari kerjanya hanya mengumbar nafsu birahi, tidak peduli siapa pun, asal ia suka langsung comot begitu saja.
Terlebih lagi Empat Ratu Mesum pun tidak luput dari sasarannya, namun karena semua penghuni Lembah Angker termasuk orang-orang bejat seakan tidak peduli dengan tata susila dan kesopanan.
Beberapa tokoh aliran hitam tertarik untuk bergabung dengan Perkumpulan Bidadari Lembah Angker, tentu saja tujuannya hanya bau keringat dan dengusan nafsu para penghuni Lembah Angker.
Konon kabarnya, Ratu Bulan Darah dan Ratu Gurun Pasir berhasil menguasai Ilmu ‘Merubah Syaraf’ yang bisa membuat seseorang bagai kerbau dicocok hidung bahkan bisa merubah tingkah laku seseorang yang semula baik hati bisa berubah seratus delapan puluh derajat menjadi bengis tak terkira.
Andaikata dijadikan budak nafsu pun juga tidak bisa menolak kehendak Ratu Bulan Darah dan Ratu Gurun Pasir yang terkenal sangat gemar melahap para pemuda-pemuda tampan.
Pada mulanya Empat Ratu Mesum hanya mengganas di seputar wilayah Lembah Angker dengan melakukan penculikan-penculikan terhadap para pemuda-pemuda tampan.
Pernah terjadi rombongan calon pengantin dari desa tetangga hilang diculik anak buah Lembah Angker dan diketemukan keesokan harinya sudah menjadi mayat dengan kondisi tubuh kurus kering karena disedot sari keperjakaannya.
Memang salah satu syarat untuk menguasai Ilmu ‘Merubah Syaraf’ secara sempurna adalah pelakunya sering-sering berhubungan dengan perjaka murni untuk disedot sari keperjakaannya.
Dengan seratus orang perjaka murni saja sudah bisa menguasai Ilmu ‘Merubah Syaraf’ tahap menengah, bisa di bayangkan jika ingin Ilmu ‘Merubah Syaraf’ secara sempurna, entah berapa nyawa yang harus melayang demi ambisi sesat itu.
Sedangkan Biang Iblis Segala Racun pun tidak mau ketinggalan. Ia pun mulai menciptakan jenis racun baru yang berasal dari tetesan keringat nafsu birahi gadis-gadis muda yang diajaknya kencan, kemudian digabungkan dengan beberapa jenis ludah beracun binatang melata, diantaranya Ular Kobra Hitam dan Kalajengking Berbulu, hingga terciptalah sejenis 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa'.
Racun maut ini bisa membuat orang tewas secara perlahan-lahan, dimana sensasi yang pertama kali muncul adalah korban seperti dikerubuti gadis-gadis cantik rupawan dalam keadaan polos tanpa busana yang menari-nari di depan mata, kemudian sedikit demi sedikit sukma terasa melayang-layang ke awing-awang dibawa terbang para gadis cantik dalam khayalan dan pada akhirnya akan mati dengan tubuh kering kerontang.
Selain itu, dengan penggunaan racun dalam takaran tertentu, bisa membangkitkan nafsu birahi yang berkobar-kobar!
Beberapa tokoh rimba persilatan pernah berusaha menyadarkan Empat Ratu Mesum agar menghentikan kelakuan buruk mereka dan kembali ke jalan kebenaran, namun karena pada dasarnya sudah bermoral bejat dan sesat, ajakan itu hanya dianggap angin saja, bahkan keadaan menjadi berbalik.
Justru Empat Ratu Mesum mengajak bergabung tokoh-tokoh persilatan masuk ke dalam Perkumpulan Bidadari Lembah Angker.
Tentu saja, Empat Ratu Mesum dan anak buahnya menggunakan senjata terampuh yang dimilikinya, yaitu tubuh mulus nan menantang!
Hal ini membuat para tokoh persilatan yang sudah tua menjadi jengah sendiri, sehingga terjadilah perang terbuka antara Perkumpulan Bidadari Lembah Angker dengan tokoh-tokoh golongan putih. Lagi-lagi aliran putih harus dipecundangi untuk kesekian kalinya, sebab bagaimana mungkin mereka bisa bertarung dengan leluasa mengerahkan segala ilmu kesaktian yang dimiliki, jika lawan mereka berkelahi sambil melepas pakaian satu persatu hingga telanjang bulat?
Dari delapan kali penyerangan yang dilakukan, yang didapat delapan kali kekalahan, itu pun masih diimbangi dengan beberapa nyawa tokoh aliran putih yang ikut melayang.
Sehingga membuat beberapa tokoh tua persilatan memulai menyusun rencana untuk menghadapi Empat Ratu Mesum dari Lembah Angker. Mereka melakukan serangkaian percobaan bahkan sampai menguji keteguhan hati para pendekar yang akan diutus menghadapi perkumpulan sesat itu.
Tidak hanya berbekal ilmu-ilmu kesaktian, keteguhan hati yang kokoh bagai batu karang sangat diperlukan dalam menghadapi serangan kali ini. Akhirnya, dari puluhan tokoh-tokoh silat yang mengajukan diri, hanya enam orang saja yang lolos.
Mereka adalah murid Pertapa Gunung Gamping yang bernama Wicaksono Aji, Peniup Suling Taman Hijau, Pengelana Gerbang Awan, Si Pedang Buta serta Dewa Pembunuh Bayangan dan Dewa Pembunuh Naga yang terkenal dengan Sepasang Dewa Pembunuh.
Setelah disepakati bersama, mereka berenam langsung menuju ke sarang Perkumpulan Bidadari Lembah Angker.
Tanpa perlu bertutur kata seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, enam utusan rimba persilatan langsung mengeluarkan pukulan-pukulan tenaga dalam tingkat tinggi.
Akibatnya, markas mesum itu bagai dilanda prahara.
Beberapa orang gadis muda yang sedang asyik masyuk dengan pasangan kencan, langsung meregang nyawa tanpa sempat berteriak, bahkan untuk berpakaian pun tidak sempat karena sudah keburu berangkat menemui raja neraka. Bahkan sampai-sampai Ratu Jubah Merah yang saat itu sedang berpacu dalam puncak birahi tinggi dan mendapat serangan mendadak itu langsung tewas seketika terkena hantaman pukulan sakti Dewa Pembunuh Bayangan tanpa sempat membela diri.
Hingga pada akhirnya, terjadilah pertempuran hidup mati antara enam utusan aliran putih dengan segenap anak buah Perkumpulan Bidadari Lembah Angker. Meski sudah memamerkan keelokan dan keindahan tubuh mereka, namun enam utusan yang sudah digembleng lahir batin hanya tertawa saja sambil memanfaatkan kesempatan emas itu untuk mengurangi jumlah pengeroyoknya.
Yang paling menakutkan justru Si Pedang Buta.
Sepasang mata putihnya seakan memancarkan hawa membunuh yang amat tinggi, hingga setiap kelebatan jurus 'Ilmu Pedang Buta' selalu meminta korban nyawa,
bahkan ada pula yang sampai kepalanya terpenggal dalam sekali tebas saat berusaha merayu Si Pedang Buta. Anak buah Lembah Angker dalam waktu sekejab mata sudah tumpang tindih menjadi mayat-mayat yang berserakan diikuti dengan bau anyir darah memenuhi tempat itu akibat gempuran enam orang pilih tanding tersebut.
Pada akhirnya, Biang Iblis Segala Racun dan Empat Ratu Mesum yang kini tersisa tiga orang, harus bertarung mati-matian.
Ratu Arak Merah dan Ratu Bulan Darah pun harus meregang nyawa di tangan Sepasang Dewa Pembunuh. Meski berhasil membinasakan lawan, namun Dewa Pembunuh Naga harus kehilangan sebelah lengan kiri dikarenakan terkena Ilmu ‘Merubah Syaraf', sebab hanya itu satu-satunya cara untuk menghambat perubahan syaraf tubuh.
Maka, ia harus merelakan salah satu anggota tubuhnya terpotong oleh sabetan trisulanya sendiri!
Dewa Pembunuh Bayangan sendiri terluka dalam cukup parah akibat beradu tenaga sakti dengan Ratu Arak Merah, meski tingkat kesaktiannya lebih tinggi seurat, namun perbedaan tenaga dalam mereka tidak begitu jauh. Andaikata Ratu Arak Merah tidak dalam kehabisan tenaga akibat mengumbar nafsu sesat sehingga belum sempat mencerna tenaga sari perjaka yang baru saja didapatnya, mungkin Dewa Pembunuh Bayanganlah yang akan tewas Ratu Arak Merah.
Kali ini, Biang Iblis Segala Racun harus ketanggor tiga lawan tangguh sekaligus!
Wicaksono Aji, Peniup Suling Taman Hijau dan Pengelana Gerbang Awan saling bahu-membahu menghadapi tokoh paling kosen dari Perkumpulan Bidadari Lembah Angker,
namun pada akhirnya Biang Iblis Segala Racun harus tumbang di tangan jago-jago muda persilatan ini.
Dada pecah terkena pukulan maut ‘Tapak Pelebur Baja’ murid Pertapa Gunung Gamping, seluruh tulang belulang remuk dihantam Suling Hitam dan yang pasti yang mengakibatkan kematiannya adalah kelebatan Tombak Awan Bergolok milik Pengelana Gerbang Awan tepat menebas lehernya!
Ratu Gurun Pasir sendiri juga mengalami yang tidak jauh berbeda. Tubuh penuh jejak luka, bahkan darah merah berceceran membasahi tanah, namun akhirnya kepalanya terkulai lemas setelah sebuah totokan maut yang dilancarkan oleh Peniup Suling Taman Hijau mengakhiri penderitaannya.
Semua yang mendengar kisah dari Panembahan Wicaksono Aji terhenyak!
Tidak disangkanya bahwa di rimba persilatan pernah terdapat perkumpulan secabul itu. Sulit sekali membayangkan jika mereka menjadi korbannya.
Seumpama hanya kehilangan nyawa itu sudah lebih baik daripada harus kehilangan harga diri menjadi budak nafsu birahi.
“Hemm, aku yakin bahwa salah satu dari orang-orang itu ada yang masih hidup hingga sekarang ini,” kata Panembahan Wicaksono Aji lebih lanjut.
“Benar! Mungkin sekali bahwa orang itu adalah salah satu dari Empat Ratu Mesum, jika bukan Ratu Arak Merah atau Ratu Bulan Darah, tentulah Ratu Gurun Pasir yang masih hidup!” kata Linggo Bhowo.
“Ratu Arak Merah atau Ratu Bulan Darah jelas tidak mungkin, sebab mereka tewas dengan dada hancur terkena pukulan maut Sepasang Dewa Pembunuh. kemungkinan besar dia adalah ... Ratu Gurun Pasir!” jawab Panembahan Wicaksono Aji dengan pasti.
“Bagaimana Paman Panembahan bisa meyakinkan hal itu?” tanya Wanengpati dengan rasa ingin tahu.
“Di kala ia terkena totokan maut di bagian belakang kepala yang dilancarkan sobat Peniup Suling Taman Hijau, kami berenam tidak memeriksanya apakah ia sudah tewas ataukah masih hidup waktu itu. bahkan disaat kami berenam mengubur mereka semua dalam satu liang lahat, tidak terpikirkan oleh kami untuk memeriksa mayat satu persatu! Termasuk didalamnya Biang Iblis Segala Racun dan Empat Ratu Mesum pun kami satukan dengan para anak buahnya,” ucap Panembahan Wicaksono Aji dengan pelan, “ ... sebab diantara sebuah jasad yang ada, hanya Ratu Gurun Pasir yang kelihatan paling utuh jasadnya. Aku yakin, kemungkinan besar perempuan sesat itu masih hidup.” imbuh si kakek pendeta.
“Lalu, bagaimana cara memulihkan mereka dari keganasan racun maut itu itu, Paman Panembahan?”
“Hanya ada satu cara! Tapi pengobatan ini bisa hanya dilakukan oleh gadis yang masih suci. Benar-benar perawan murni!” yang menjawab justru Bidadari Berhati Kejam.
Panembahan Wicaksono Aji mengangguk pelan.
Memang hanya dirinya, Peniup Suling Taman Hijau dan Bidadari Berhati Kejam sudah mengetahui bagaimana cara menetralisir hawa beracun akibat 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa'.
Sejak penyerangan puluhan tahun silam ke Lembah Angker, dirinya dan Peniup Suling Taman Hijau serta adik seperguruannya yang bergelar Bidadari Berhati Kejam berupaya membuat penangkal racun tersebut, sebab saat itu ditemukan beberapa tokoh silat dalam keadaan setengah sadar dan sebagian dalam keadaan tertidur pulas akibat ‘Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa’. Dan mereka berenam berniat mengembalikan kesadaran dari tiap-tiap tokoh silat tersebut.
Dikarenakan Sepasang Dewa Pembunuh dalam keadaan terluka parah, sedang si Pedang Buta dan Pengelana Gerbang Awan pun juga sedang terburu-buru untuk menyelesaikan urusannya yang tertunda,
maka tugas menyembuhkan para tokoh persilatan yang terkena hawa beracun diserahkan pada Wicaksono Aji dan Peniup Suling Taman Hijau, bahkan Bidadari Berhati Kejam turut membantu usaha ini. Lebih lagi sahabat karib Bidadari Berhati Kejam yaitu Dewi Obat Tangan Delapan sampai-sampai ikut membantu turun tangan.
Beberapa jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan beracun telah dicobanya, namun gagal. Hingga tanpa sengaja Peniup Suling Taman Hijau terkena setetes dari 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa' hingga membuatnya tak sadarkan diri hingga berhari-hari. Tentu saja Bidadari Berhati Kejam sedih melihat nasib saudara seperguruannya dalam keadaan seperti itu.
Hingga pada hari ke sepuluh, nafas Peniup Suling Taman Hijau sudah terlihat pelan sekali, bahkan kadang ada kadang tidak. Suara degup jantung juga nyaris tak terdengar saat telinga ditempelkan di dada. Waktu itu Bidadari Berhati Kejam baru saja dalam perjalanan mencari Jamur Hitam yang ada hanya di sebelah tenggara Lembah Angker. Mendapati Peniup Suling Taman Hijau sudah dalam keadaan sekarat menanti ajal, Bidadari Berhati Kejam akhirnya menangis tersedu-sedu.
Wicaksono Aji pun berusaha untuk menenangkannya sang adik seperguruan. Hingga tanpa sengaja, beberapa tetes air mata Bidadari Berhati Kejam terpercik masuk ke dalam lubang hidung Peniup Suling Taman Hijau, hingga laki-laki bersuling hitam itu tersedak lembut, namun sedakan ini tanpa disadari oleh Bidadari Berhati Kejam dan Wicaksono Aji berdua.
Saat Wicaksono Aji sedang berusaha menenangkan gadis itu, Peniup Suling Taman Hijau membuka mata, tersadar dari tidur panjangnya!
Tentu saja hal itu menggembirakan mereka berdua.
Setelah diteliti lebih lanjut, barulah diketahui bahwa yang bisa menetralisir hawa racun itu adalah tetesan air mata dari Bidadari Berhati Kejam!
“Kalau cuma air mata gadis perawan, itu gampang!”
“Gampang bagaimana ... “ potong Linggo Bhowo, namun sesaat kemudian ia tersadar, “Ohh iya!”
Tentu saja ia ingat bahwa pada anak gadis Ki Dalang Kandha Buwana dan salah satu dari Sepasang Naga Dan Rajawali, bukankah mereka juga masih gadis suci?
Kemudian Ayu Parameswari dan Nawara dibangunkan Nyi Lastri atas perintah suaminya.
Hanya untuk dimintai air mata gadis murni!
-o0o-