Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Pendekar Elang Salju

Bab 26

“Kecuali bahwa orang yang mengambilnya adalah manusia setengah setan separuh iblis!” kata Panembahan Wicaksono Aji dengan tegas,
“Jika yang mengambil adalah sejenis setan, siluman atau iblis, meski manusia yang bersekutu dengan mereka,
Sepasang Mutiara Langit akan memancarkan Sinar Pelebur Ruh.

Jangankan terkena secara langsung, cukup terserempet sudah bisa mengirim mereka ke peristirahatan abadi.”

“Lalu ... bagaimana dengan manusia biasa?” tanya Kamalaya yang sedari awal hanya menyimak saja.

“Mutiara Langit bisa mengetahui isi hati seseorang. Jika hanya menyentuh saja tanpa bermaksud memiliki, Mutiara Langit akan mengeluarkan sengatan kecil seperti sengatan lebah, meski sedikit menyakitkan tapi tidak merenggut nyawa. Jika ada yang berniat buruk hati, baik pada majikannya atau pada Mutiara Langit sendiri, secara otomatis benda itu akan memancarkan Sinar Pelebur Raga.” ujar Panembahan Wicaksono Aji dengan tajam. “Tubuh bisa hangus terbakar!”

“Betul-betul benda yang mengerikan!” gumam Mahesa Krudo, sambil membayangkan jika dirinya berubah menjadi seonggok arang hitam berbentuk manusia.
Hii!!
“Kita harus mencegah jangan sampai benda pembawa maut itu jatuh ke tangan orang sesat,” tandas Wanengpati, setelah menghela napas panjang,

“Perlu sekali merencanakan suatu langkah untuk mencegah bencana yang kemungkinan besar akan terjadi di bumi ini.”

“Aku setuju dengan perkataanmu, sobat Wanengpati,” timpal Linggo Bhowo, “ ... permasalahan ini sekarang bukan hanya milik rimba persilatan, tapi juga sudah menjadi permasalahan dunia. Kami Empat Golok Sakti dari Perguruan Karang Patah siap membantu sepenuh hati!”
Perkataan Linggo Bhowo diiyakan oleh tiga orang temannya yang lain.

“Terima kasih atas kesediaan sobat-sobat dari Empat Golok Sakti. Saat ini kami semua memang mengharapkan bantuan yang tidak sedikit. Sementara kita masih menunggu kedatangan Sepasang Raja Tua dan Bidadari Berhati Kejam yang sedang melakukan penyelidikan di wilayah Selatan dan Utara. Sebentar mereka juga akan sampai di tempat ini.”

“Apakah yang dimaksud dengan Sepasang Raja Tua itu adalah Raja Pemalas dan Raja Penidur?” tanya Janapriya dengan kaget.

“Benar!”

Tentu saja Empat Golok Sakti mengenal siapa adanya Sepasang Raja Tua itu, sepasang kakek tua yang memiliki tabiat sebagai tukang malas dan tukang tidur.

“Bukan sebentar lagi, tapi mereka memang sudah sampai,” gumam Panembahan Wicaksono Aji.

Sebagai orang yang waskita, tentu saja si kakek pendeta memiliki ilmu yang tidak rendah. Dari desiran hawa yang berhasil ditangkap, ia bisa memastikan siapa saja yang mendekati tempat itu, bahkan saat Kakek Pemikul Gunung dan Juragan Padmanaba masih dalam jarak ratusan tombak dari tempat kediamannya di lereng Gunung Gamping, sudah bisa diketahui dengan pasti.

Tak lama berselang, terlihat di kejauhan Raja Pemalas dan Raja Penidur yang datang agak belakangan.
Jika Raja Pemalas berjalan dengan langkah ogah-ogahan, namun tanpa perlu tempo lama sudah sampai di tempat itu, seperti angin berhembus di pagi hari.
Tentu saja kakek pemalas itu mengerahkan 'Langkah Sakti Pemalas' sebagai landasan jurus peringan tubuh. Beda dengan Raja Penidur,
si kakek malah berjalan sambil tidur, bahkan dengan mata terpejam rapat-rapat.
Tapi langkah kakinya tidak kalah cepat dengan sobatnya si Raja Pemalas. Tak perlu ditanya, kakek tukang mimpi itu menggunakan salah satu ilmu andalannya yang bernama 'Berjalan Sambil Tidur' untuk mengimbangi 'Langkah Sakti Pemalas'!

Yang membuat mereka kaget adalah, ternyata di tubuh masing-masing memanggul dua orang, yang entah hidup entah pingsan.

Linggo Bhowo dan Mahesa Krudo segera menghampiri dan membantu menurunkan sosok yang dipanggul Sepasang Raja Tua.

“Mereka dari Perguruan Perisai Sakti!” kata Raja Pemalas setelah dua orang itu diturunkan dari pundak masing-masing.

Wanengpati segera menghampiri orang-orang yang diduga dari Perguruan Perisai Sakti itu. Setelah melihat ciri-ciri khusus yang ada, memang menunjukkan bahwa mereka berasal dari Perguruan Perisai Sakti.

“Dimana Paman menemukan mereka?” tanya Wanengpati sambil melepaskan beberapa totokan untuk menyadarkan dua orang itu.

“Di tepi utara hutan sebelah, saat kami berdua sedang menyusuri tempat-tempat yang mungkin digunakan sebagai sarang para pemiliki rajah setan.” urai Raja Pemalas sambil sesekali mengurut-urut pundaknya yang pegal. Sedang Raja Penidur langsung menuju ke arah dipan, lalu terkulai tertidur di samping Nawala yang telah 'bertapa' terlebih dahulu.

“Mereka pingsan sudah lama, entah pingsan entah tidur aku juga tidak tahu. Sudah kucoba berulang kali membuka totokan mereka, satu pun tidak ada yang berhasil.” kata Raja Pemalas sambil ngeloyor pergi, “Mungkin aku sudah terlalu tua, jadi sudah berkurang tenaganya.”

Wanengpati pun mengerutkan kening, sambil bergumam, “Heran, totokan jenis apa yang bisa membuat dua orang ini pingsan seperti ini. Mirip dengan orang yang sedang tidur nyenyak.”

Wanengpati memeriksa dengan seksama, bahkan Mahesa Krudo ikut serta memeriksa salah satunya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada dua noda hitam di bagian tengkuk. Noda itu terlalu kecil jika tidak diamati dengan teliti.

“Ini apa?” gumam Mahesa Krudo, secara tidak sadar tangan kiri bergerak hendak menyentuh noda hitam itu.

“Jangan disentuh!”

Suara kereng terdengar menggema di pelosok padukuhan itu. Jelas sekali bahwa suara tanpa wujud merupakan lontaran tenaga dalam tingkat tinggi lewat udara yang hanya bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh tua rimba persilatan. Benar saja, sesosok bayangan berkelebat cepat ke arah para pendekar berkumpul.

Wuss!!

Terlihat sosok wanita yang masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikan di masa mudanya telah hadir di tempat itu.
Siapa lagi jika bukan Bidadari Berhati Kejam!?

“Jika kau ingin tertidur selamanya, sentuh saja noda hitam itu,” tandas Bidadari Berhati Kejam.

Mahesa Krudo masih tertegun melihat kedatangan sosok wanita parobaya di depannya.

“Memangnya kenapa, nini?”

“Kalau kau ingin tahu, itu adalah 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa'!”

“Apa!? 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa'?” seru Panembahan Wicaksono Aji dengan kaget. “Tidak mungkin!”

“Kenapa tidak mungkin? Itu jelas-jelas 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa', buat apa kau masih menyangkalnya?” sergah Bidadari Berhati Kejam dengan cepat sambil memutar badan ke arah Panembahan Wicaksono Aji. “Jika kau tidak percaya, coba periksa sendiri!”

Panembahan Wicaksono Aji setengah berlari menuju ke arah dua orang Perguruan Perisai Sakti yang terkapar di tanah. Setelah meneliti sebentar, terlihat kakek pendeta itu menggeleng-gelengkan kepala dengan bersuara pelan, “Tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi!”

“Jika kau mengatakan tidak mungkin, lalu bagaimana bisa racun maut itu berada di tubuh orang ini!? Apa dibawa oleh cacing tanah hingga kemari?”

Panembahan Wicaksono Aji terdiam.
Dirinya tahu betul perihal adanya 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa' itu, sebab pada masa lima puluhan tahun silam, dirinya bersama dengan beberapa orang jago-jago muda yang waktu itu masih berdarah panas, pernah mengobrak-abrik Perkumpulan Bidadari Lembah Angker yang dipimpin oleh Empat Ratu Mesum, yang tak lain tak bukan merupakan empat saudara perguruan.

Mereka terdiri atas Ratu Arak Merah, Ratu Bulan Darah, Ratu Gurun Pasir dan Ratu Jubah Merah yang rata-rata berusia sekitar dua puluh lima tahunan dengan tubuh tinggi semampai berkulit kuning cerah, dan tentu dilengkapi dengan seraut wajah cantik.
Bahkan guru mereka yang dijuluki Biang Iblis Segala Racun, merupakan salah satu dari pengamal ajaran Bhirawa Tantra ikut bergabung ke Perkumpulan Bidadari Lembah Angker sehingga membuat keganasan perkumpulan yang rata-rata terdiri dari gadis-gadis cantik ini semakin liar mengumbar nafsu angkara.

Akan halnya Biang Iblis Segala Racun, bagai api disiram minyak, kelakuannya tidak lebih baik dari hewan!
Setiap hari kerjanya hanya mengumbar nafsu birahi, tidak peduli siapa pun, asal ia suka langsung comot begitu saja.
Terlebih lagi Empat Ratu Mesum pun tidak luput dari sasarannya, namun karena semua penghuni Lembah Angker termasuk orang-orang bejat seakan tidak peduli dengan tata susila dan kesopanan.

Beberapa tokoh aliran hitam tertarik untuk bergabung dengan Perkumpulan Bidadari Lembah Angker, tentu saja tujuannya hanya bau keringat dan dengusan nafsu para penghuni Lembah Angker.

Konon kabarnya, Ratu Bulan Darah dan Ratu Gurun Pasir berhasil menguasai Ilmu ‘Merubah Syaraf’ yang bisa membuat seseorang bagai kerbau dicocok hidung bahkan bisa merubah tingkah laku seseorang yang semula baik hati bisa berubah seratus delapan puluh derajat menjadi bengis tak terkira.

Andaikata dijadikan budak nafsu pun juga tidak bisa menolak kehendak Ratu Bulan Darah dan Ratu Gurun Pasir yang terkenal sangat gemar melahap para pemuda-pemuda tampan.
Pada mulanya Empat Ratu Mesum hanya mengganas di seputar wilayah Lembah Angker dengan melakukan penculikan-penculikan terhadap para pemuda-pemuda tampan.

Pernah terjadi rombongan calon pengantin dari desa tetangga hilang diculik anak buah Lembah Angker dan diketemukan keesokan harinya sudah menjadi mayat dengan kondisi tubuh kurus kering karena disedot sari keperjakaannya.

Memang salah satu syarat untuk menguasai Ilmu ‘Merubah Syaraf’ secara sempurna adalah pelakunya sering-sering berhubungan dengan perjaka murni untuk disedot sari keperjakaannya.

Dengan seratus orang perjaka murni saja sudah bisa menguasai Ilmu ‘Merubah Syaraf’ tahap menengah, bisa di bayangkan jika ingin Ilmu ‘Merubah Syaraf’ secara sempurna, entah berapa nyawa yang harus melayang demi ambisi sesat itu.

Sedangkan Biang Iblis Segala Racun pun tidak mau ketinggalan. Ia pun mulai menciptakan jenis racun baru yang berasal dari tetesan keringat nafsu birahi gadis-gadis muda yang diajaknya kencan, kemudian digabungkan dengan beberapa jenis ludah beracun binatang melata, diantaranya Ular Kobra Hitam dan Kalajengking Berbulu, hingga terciptalah sejenis 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa'.

Racun maut ini bisa membuat orang tewas secara perlahan-lahan, dimana sensasi yang pertama kali muncul adalah korban seperti dikerubuti gadis-gadis cantik rupawan dalam keadaan polos tanpa busana yang menari-nari di depan mata, kemudian sedikit demi sedikit sukma terasa melayang-layang ke awing-awang dibawa terbang para gadis cantik dalam khayalan dan pada akhirnya akan mati dengan tubuh kering kerontang.

Selain itu, dengan penggunaan racun dalam takaran tertentu, bisa membangkitkan nafsu birahi yang berkobar-kobar!

Beberapa tokoh rimba persilatan pernah berusaha menyadarkan Empat Ratu Mesum agar menghentikan kelakuan buruk mereka dan kembali ke jalan kebenaran, namun karena pada dasarnya sudah bermoral bejat dan sesat, ajakan itu hanya dianggap angin saja, bahkan keadaan menjadi berbalik.
Justru Empat Ratu Mesum mengajak bergabung tokoh-tokoh persilatan masuk ke dalam Perkumpulan Bidadari Lembah Angker.

Tentu saja, Empat Ratu Mesum dan anak buahnya menggunakan senjata terampuh yang dimilikinya, yaitu tubuh mulus nan menantang!

Hal ini membuat para tokoh persilatan yang sudah tua menjadi jengah sendiri, sehingga terjadilah perang terbuka antara Perkumpulan Bidadari Lembah Angker dengan tokoh-tokoh golongan putih. Lagi-lagi aliran putih harus dipecundangi untuk kesekian kalinya, sebab bagaimana mungkin mereka bisa bertarung dengan leluasa mengerahkan segala ilmu kesaktian yang dimiliki, jika lawan mereka berkelahi sambil melepas pakaian satu persatu hingga telanjang bulat?

Dari delapan kali penyerangan yang dilakukan, yang didapat delapan kali kekalahan, itu pun masih diimbangi dengan beberapa nyawa tokoh aliran putih yang ikut melayang.
Sehingga membuat beberapa tokoh tua persilatan memulai menyusun rencana untuk menghadapi Empat Ratu Mesum dari Lembah Angker. Mereka melakukan serangkaian percobaan bahkan sampai menguji keteguhan hati para pendekar yang akan diutus menghadapi perkumpulan sesat itu.

Tidak hanya berbekal ilmu-ilmu kesaktian, keteguhan hati yang kokoh bagai batu karang sangat diperlukan dalam menghadapi serangan kali ini. Akhirnya, dari puluhan tokoh-tokoh silat yang mengajukan diri, hanya enam orang saja yang lolos.

Mereka adalah murid Pertapa Gunung Gamping yang bernama Wicaksono Aji, Peniup Suling Taman Hijau, Pengelana Gerbang Awan, Si Pedang Buta serta Dewa Pembunuh Bayangan dan Dewa Pembunuh Naga yang terkenal dengan Sepasang Dewa Pembunuh.

Setelah disepakati bersama, mereka berenam langsung menuju ke sarang Perkumpulan Bidadari Lembah Angker.
Tanpa perlu bertutur kata seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, enam utusan rimba persilatan langsung mengeluarkan pukulan-pukulan tenaga dalam tingkat tinggi.

Akibatnya, markas mesum itu bagai dilanda prahara.
Beberapa orang gadis muda yang sedang asyik masyuk dengan pasangan kencan, langsung meregang nyawa tanpa sempat berteriak, bahkan untuk berpakaian pun tidak sempat karena sudah keburu berangkat menemui raja neraka. Bahkan sampai-sampai Ratu Jubah Merah yang saat itu sedang berpacu dalam puncak birahi tinggi dan mendapat serangan mendadak itu langsung tewas seketika terkena hantaman pukulan sakti Dewa Pembunuh Bayangan tanpa sempat membela diri.

Hingga pada akhirnya, terjadilah pertempuran hidup mati antara enam utusan aliran putih dengan segenap anak buah Perkumpulan Bidadari Lembah Angker. Meski sudah memamerkan keelokan dan keindahan tubuh mereka, namun enam utusan yang sudah digembleng lahir batin hanya tertawa saja sambil memanfaatkan kesempatan emas itu untuk mengurangi jumlah pengeroyoknya.

Yang paling menakutkan justru Si Pedang Buta.
Sepasang mata putihnya seakan memancarkan hawa membunuh yang amat tinggi, hingga setiap kelebatan jurus 'Ilmu Pedang Buta' selalu meminta korban nyawa,
bahkan ada pula yang sampai kepalanya terpenggal dalam sekali tebas saat berusaha merayu Si Pedang Buta. Anak buah Lembah Angker dalam waktu sekejab mata sudah tumpang tindih menjadi mayat-mayat yang berserakan diikuti dengan bau anyir darah memenuhi tempat itu akibat gempuran enam orang pilih tanding tersebut.

Pada akhirnya, Biang Iblis Segala Racun dan Empat Ratu Mesum yang kini tersisa tiga orang, harus bertarung mati-matian.
Ratu Arak Merah dan Ratu Bulan Darah pun harus meregang nyawa di tangan Sepasang Dewa Pembunuh. Meski berhasil membinasakan lawan, namun Dewa Pembunuh Naga harus kehilangan sebelah lengan kiri dikarenakan terkena Ilmu ‘Merubah Syaraf', sebab hanya itu satu-satunya cara untuk menghambat perubahan syaraf tubuh.
Maka, ia harus merelakan salah satu anggota tubuhnya terpotong oleh sabetan trisulanya sendiri!

Dewa Pembunuh Bayangan sendiri terluka dalam cukup parah akibat beradu tenaga sakti dengan Ratu Arak Merah, meski tingkat kesaktiannya lebih tinggi seurat, namun perbedaan tenaga dalam mereka tidak begitu jauh. Andaikata Ratu Arak Merah tidak dalam kehabisan tenaga akibat mengumbar nafsu sesat sehingga belum sempat mencerna tenaga sari perjaka yang baru saja didapatnya, mungkin Dewa Pembunuh Bayanganlah yang akan tewas Ratu Arak Merah.

Kali ini, Biang Iblis Segala Racun harus ketanggor tiga lawan tangguh sekaligus!
Wicaksono Aji, Peniup Suling Taman Hijau dan Pengelana Gerbang Awan saling bahu-membahu menghadapi tokoh paling kosen dari Perkumpulan Bidadari Lembah Angker,
namun pada akhirnya Biang Iblis Segala Racun harus tumbang di tangan jago-jago muda persilatan ini.
Dada pecah terkena pukulan maut ‘Tapak Pelebur Baja’ murid Pertapa Gunung Gamping, seluruh tulang belulang remuk dihantam Suling Hitam dan yang pasti yang mengakibatkan kematiannya adalah kelebatan Tombak Awan Bergolok milik Pengelana Gerbang Awan tepat menebas lehernya!

Ratu Gurun Pasir sendiri juga mengalami yang tidak jauh berbeda. Tubuh penuh jejak luka, bahkan darah merah berceceran membasahi tanah, namun akhirnya kepalanya terkulai lemas setelah sebuah totokan maut yang dilancarkan oleh Peniup Suling Taman Hijau mengakhiri penderitaannya.

Semua yang mendengar kisah dari Panembahan Wicaksono Aji terhenyak!
Tidak disangkanya bahwa di rimba persilatan pernah terdapat perkumpulan secabul itu. Sulit sekali membayangkan jika mereka menjadi korbannya.
Seumpama hanya kehilangan nyawa itu sudah lebih baik daripada harus kehilangan harga diri menjadi budak nafsu birahi.

“Hemm, aku yakin bahwa salah satu dari orang-orang itu ada yang masih hidup hingga sekarang ini,” kata Panembahan Wicaksono Aji lebih lanjut.

“Benar! Mungkin sekali bahwa orang itu adalah salah satu dari Empat Ratu Mesum, jika bukan Ratu Arak Merah atau Ratu Bulan Darah, tentulah Ratu Gurun Pasir yang masih hidup!” kata Linggo Bhowo.

“Ratu Arak Merah atau Ratu Bulan Darah jelas tidak mungkin, sebab mereka tewas dengan dada hancur terkena pukulan maut Sepasang Dewa Pembunuh. kemungkinan besar dia adalah ... Ratu Gurun Pasir!” jawab Panembahan Wicaksono Aji dengan pasti.

“Bagaimana Paman Panembahan bisa meyakinkan hal itu?” tanya Wanengpati dengan rasa ingin tahu.

“Di kala ia terkena totokan maut di bagian belakang kepala yang dilancarkan sobat Peniup Suling Taman Hijau, kami berenam tidak memeriksanya apakah ia sudah tewas ataukah masih hidup waktu itu. bahkan disaat kami berenam mengubur mereka semua dalam satu liang lahat, tidak terpikirkan oleh kami untuk memeriksa mayat satu persatu! Termasuk didalamnya Biang Iblis Segala Racun dan Empat Ratu Mesum pun kami satukan dengan para anak buahnya,” ucap Panembahan Wicaksono Aji dengan pelan, “ ... sebab diantara sebuah jasad yang ada, hanya Ratu Gurun Pasir yang kelihatan paling utuh jasadnya. Aku yakin, kemungkinan besar perempuan sesat itu masih hidup.” imbuh si kakek pendeta.

“Lalu, bagaimana cara memulihkan mereka dari keganasan racun maut itu itu, Paman Panembahan?”

“Hanya ada satu cara! Tapi pengobatan ini bisa hanya dilakukan oleh gadis yang masih suci. Benar-benar perawan murni!” yang menjawab justru Bidadari Berhati Kejam.

Panembahan Wicaksono Aji mengangguk pelan.
Memang hanya dirinya, Peniup Suling Taman Hijau dan Bidadari Berhati Kejam sudah mengetahui bagaimana cara menetralisir hawa beracun akibat 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa'.

Sejak penyerangan puluhan tahun silam ke Lembah Angker, dirinya dan Peniup Suling Taman Hijau serta adik seperguruannya yang bergelar Bidadari Berhati Kejam berupaya membuat penangkal racun tersebut, sebab saat itu ditemukan beberapa tokoh silat dalam keadaan setengah sadar dan sebagian dalam keadaan tertidur pulas akibat ‘Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa’. Dan mereka berenam berniat mengembalikan kesadaran dari tiap-tiap tokoh silat tersebut.

Dikarenakan Sepasang Dewa Pembunuh dalam keadaan terluka parah, sedang si Pedang Buta dan Pengelana Gerbang Awan pun juga sedang terburu-buru untuk menyelesaikan urusannya yang tertunda,
maka tugas menyembuhkan para tokoh persilatan yang terkena hawa beracun diserahkan pada Wicaksono Aji dan Peniup Suling Taman Hijau, bahkan Bidadari Berhati Kejam turut membantu usaha ini. Lebih lagi sahabat karib Bidadari Berhati Kejam yaitu Dewi Obat Tangan Delapan sampai-sampai ikut membantu turun tangan.

Beberapa jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan beracun telah dicobanya, namun gagal. Hingga tanpa sengaja Peniup Suling Taman Hijau terkena setetes dari 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa' hingga membuatnya tak sadarkan diri hingga berhari-hari. Tentu saja Bidadari Berhati Kejam sedih melihat nasib saudara seperguruannya dalam keadaan seperti itu.

Hingga pada hari ke sepuluh, nafas Peniup Suling Taman Hijau sudah terlihat pelan sekali, bahkan kadang ada kadang tidak. Suara degup jantung juga nyaris tak terdengar saat telinga ditempelkan di dada. Waktu itu Bidadari Berhati Kejam baru saja dalam perjalanan mencari Jamur Hitam yang ada hanya di sebelah tenggara Lembah Angker. Mendapati Peniup Suling Taman Hijau sudah dalam keadaan sekarat menanti ajal, Bidadari Berhati Kejam akhirnya menangis tersedu-sedu.

Wicaksono Aji pun berusaha untuk menenangkannya sang adik seperguruan. Hingga tanpa sengaja, beberapa tetes air mata Bidadari Berhati Kejam terpercik masuk ke dalam lubang hidung Peniup Suling Taman Hijau, hingga laki-laki bersuling hitam itu tersedak lembut, namun sedakan ini tanpa disadari oleh Bidadari Berhati Kejam dan Wicaksono Aji berdua.

Saat Wicaksono Aji sedang berusaha menenangkan gadis itu, Peniup Suling Taman Hijau membuka mata, tersadar dari tidur panjangnya!

Tentu saja hal itu menggembirakan mereka berdua.
Setelah diteliti lebih lanjut, barulah diketahui bahwa yang bisa menetralisir hawa racun itu adalah tetesan air mata dari Bidadari Berhati Kejam!

“Kalau cuma air mata gadis perawan, itu gampang!”

“Gampang bagaimana ... “ potong Linggo Bhowo, namun sesaat kemudian ia tersadar, “Ohh iya!”

Tentu saja ia ingat bahwa pada anak gadis Ki Dalang Kandha Buwana dan salah satu dari Sepasang Naga Dan Rajawali, bukankah mereka juga masih gadis suci?

Kemudian Ayu Parameswari dan Nawara dibangunkan Nyi Lastri atas perintah suaminya.
Hanya untuk dimintai air mata gadis murni!

-o0o-
 
Bab 27

Wess! Wuss!!

Dua sosok tubuh terlihat berkelebatan dengan cepat membentuk bayangan putih dan hijau yang saling berkejaran diantara pepohonan.
Adakalanya bayangan putih mendahului, namun kadang pula bayangan hijau berusaha menyusul bayangan putih dan membuat langkah mereka sejajar.
Beberapa saat kemudian mereka sampai di sebuah bukit yang cukup lebat dengan pepohonan, dan berhenti tepat di tengah-tengah bukit dengan posisi saling berjajar.
Bayangan putih berdiri di sebelah kanan dan sedang kawannya tampak berdiri di sebelah kirinya.

Mereka adalah dua orang laki-laki yang masih muda usia!
Yang sebelah kiri dengan tubuh gempal berotot, bahkan cenderung gemuk.
Sebentuk cangkang atau tempurung kura-kura warna hijau tua tersampir di belakang tubuh.
Cangkang kura-kura dengan berat mencapai ribuan kati terlihat ringan di balik punggungnya.

Sedangkan pemuda yang sebelah kanan berbaju putih bersih lengkap dengan celana warna biru tua serta rambut cukup panjang diikat menggunakan ikat kepala merah terang.
Sorot mata terlihat serius memandang ke arah lereng bawah bukit dengan sepasang mata elangnya.

“Hemm, tempat itu memang cocok sebagai tempat persembunyian,” lirih sekali kata si baju putih.

“Ya, tidak ada tempat yang cocok untuk bersembunyi selain lubang tikus.” timpal si cangkang kura-kura dengan pelan.
“Bagaimana jika kita satroni mereka sekarang juga? Tanganku sudah gatal ingin menggebuk mampus mereka hingga ke akar-akarnya. Syukur-syukur ketuanya, si Topeng Tengkorak Emas ada di tempat itu! Sekalian saja kita dorong ke pintu neraka!”

“Jangan! Aku merasakan bahwa akan ada kejadian yang menarik nanti malam,” cegah si baju putih,
“Meski keterangan yang kita peroleh dari Ki Angon Segoro bahwa tempat di lereng Bukit Wonopringgo ini adalah sarang utama mereka,
aku yakin bahwa si Topeng Tengkorak Emas kemungkinan besar telah mengetahui bahwa lima tempat pemujaan aliran sesat mereka telah kita obrak-abrik dalam dua pekan terakhir ini.”

“Lalu bagaimana rencana selanjutnya?” tanya si gemuk bercangkang kura-kura.

“Kita menanti di tempat ini!” jawab si baju putih dengan singkat.

Si gemuk berbaju hijau terdiam, namun dalam otaknya berpikir,
“Orang-orang pemilik rajah setan itu benar-benar orang berilmu tinggi.
Jika tidak, mana mungkin beberapa tokoh aliran putih bisa kena pengaruh rajah sesat itu?
Jika cuma orang-orang golongan hitam, tanpa harus memiliki rajah sialan itu saja sudah kejamnya tidak ketulungan, apalagi jika sampai punya, apa tidak seperti harimau diberi sayap, tuh?”

“Apa Ketua yakin, bahwa cara yang kita lakukan beberapa waktu yang lalu benar-benar bisa menghilangkan pengaruh Rajah Penerus Iblis untuk selamanya?” tanya si gemuk sambil bersedekap di depan dada.
Sebutan Ketua pun terlontar dari mulutnya.

“Untuk sementara, memang cara itulah yang kita ketahui,” kata si baju putih yang dipanggil Ketua, “ ... sedang cara yang lain menurut Eyang Guru, kita harus bisa menemukan orang yang memliki ilmu Mantra Rajah Penangkal Setan yang bernama mantra 'Rajah Kalacarakra Pangruwating Diyu'. Lain dari pada itu, tidak ada lagi!”

“Sulit juga kalau begitu! Jika rajah sesat itu menempel di anggota tubuh yang lain sih, tidak masalah. Coba bayangkan jika rajah itu terletak di leher, apa perlu kita menebas batang lehernya untuk melenyapkan rajah itu?” gerutu si gemuk bercangkang.
“Padahal sebentar lagi akan ada perhelatan rimba persilatan yang diadakan tiga puluh tahun sekali.”

“Maka dari itu, kita harus bisa menuntaskan masalah ini sebelum perhelatan rimba persilatan terlaksana.”

Si ketua berbaju putih kembali diam membeku, akan tetapi pancaran matanya tidak pernah beralih pada suatu tempat yang ditutupi oleh rerimbunan perdu dan semak belukar dibawah sana.

Tempat itu hanya berbentuk lingkaran kecil yang menjorok ke dalam seperti liang tikus!

“Sebaiknya kita berdua tinggalkan tempat ini untuk sementara waktu. Nanti malam kita kembali lagi.”

“Baik.”

-o0o-

Di malam itu, bulan bulat penuh menggantung di langit malam.
Sinar cemerlang menerangi jagat raya dengan penuh keanggunan.
Bintang-bintang bertebaran dimana-mana seakan berusaha memenuhi langit cerah.
Beberapa burung hantu ada kalanya memperdengarkan suara menyeramkan di keheningan malam, bahkan beberapa kelelawar tampak beterbangan menikmati indahnya sang dewi bulan.

Namun, diantara rapatnya pepohonan dan rimbunnya dedaunan hutan, beberapa kelebat bayangan tampak bergerak ke arah selatan.

Wess! Wess! Blass!!

Gerakan kaki mereka terlihat begitu ringan dan enteng, seakan tidak menapak tanah sedikit pun.
Dengan beberapa kali loncatan saja, sampailah mereka pada suatu tempat yang menjadi tujuan mereka sebelumnya.
Liang tikus!

Tanpa perlu melakukan intip sana intip sini, salah seorang dari mereka yang berbaju putih dengan sulaman gambar naga langsung berjongkok menghampiri lubang yang cukup untuk seukuran manusia itu.
Dua pasang tangan diletakkan di depan mulut seperti corong, lalu berteriak keras,
“Kalian yang ada di dalam, keluarlah! Atau lubang anjing ini akan aku sumbat dengan kotoran kerbau!”

Terdengar suara menggema di tempat itu, bahkan sampai menggetar dedaunan dan pepohonan yang ada di sekitar tempat itu. Dinding-dinding liang yang sempit dan gelap terlihat bergetar keras hingga runtuh sebagian. Suara gaung terus menggema ke dalam hingga menggetarkan dinding-dinding kubah raksasa.
Bahkan bola kristal yang menerangi tempati itu pecah tidak kuat menahan getaran suara bertenaga dalam tinggi itu.

Prakk!! Prakk! Pyarrr!

Dinding-dinding kubah mulai retak. Retakan itu seakan memiliki kaki, menjalar kemana-mana.

“Setan alas! Rupanya para manusia busuk itu sudah bosan hidup rupanya!” geram suara si Topeng Tengkorak Emas yang kebetulan masih berada di markas pusat.

Disebabkan dari lima tempat yang dijadikan tempat sebagai lokasi penyebaran ajaran sesat Bhirawa Tantra, tidak ada satu pun yang utuh.
Bahkan beberapa pimpinannya telah tewas dan ada pula yang telah kembali pada kesadaran yang sejati.
Sadar jiwa dan raga!

Dari salah satu ‘Ilmu Bhirawa Tantra’ yang bernama 'Ilmu Terawang Sukma' diketahui bahwa yang menghancurkan tempat-tempat pengembang ajarannya adalah salah satu dari majikan Mutiara Langit Putih bersama dengan seorang kawannya.

Lalu ia berpaling ke arah bawahannya sambil berkata dengan kereng,
“Jin Hitam! Gendruwo Sungsang! Bunuh mereka semua! Cincang manusia sok pintar itu hingga hancur!”

“Laksanakan perintah, Pangeran!”

“Dan kalian ... “ katanya sambil menoleh ke sebelah kiri, “ ... bantu dua senopati! Bunuh mereka semua!
Dan kau Setan Nakal, gunakan Pasukan Mayat Bumi untuk menghadapi mereka sebab dari pancaran hawa yang berhasil kutangkap, mereka bukan orang sembarangan! Berhati-hatilah!”

“Siap laksanakan perintah, Ketua!”

Semua yang ada di tempat itu langsung menghaturkan sembah ke arah si Topeng Tengkorak Emas.

-o0o-

Sementara itu di bagian luar ...

“Aneh, kenapa tidak reaksi sama sekali?” gumam Nawala yang tadi menggunakan salah satu ilmu andalannya yang bernama 'Raungan Naga Di Bumi'.
Sesaat kemudian, terdengarlah suara gemuruh yang keras, sehingga tempat mereka berkumpul bagai dilanda gempa bumi.

Grhh! Grhhh!! Grahh!!

“Semuanya menghindar!” seru Bidadari Berhati Kejam sambil berkelebat menjauh.

Sontak semua jago persilatan yang ada di tempat itu berloncatan menjauhi tempat itu dengan menggunakan gerak peringan tubuh masing-masing.

Dhar ... Dharr ... Jderr!!

Liang tikus langsung meledak memperdengarkan suara yang keras, bagai letusan kecil gunung berapi. Tanah semburat ke atas diikuti dengan beberapa sosok bayangan keluar dari dalam tanah.
Di saat pilar tanah itu meluruh pelan, beberapa sosok tubuh berdiri menghadang di depan para tokoh persilatan yang ada di tempat itu.

“Selamat bertemu kembali, kucing garong!” seru Nawala saat melihat Kucing Iblis Sembilan Nyawa berada di antara kumpulan orang-orang yang baru saja keluar dari dalam liang.

“Bocah keparat! Jika malam ini aku tidak bisa membunuhmu, jangan sebut diriku ini manusia!” geram sekali Kucing Iblis Sembilan Nyawa saat mengetahui bahwa salah seorang dari mereka adalah Sepasang Naga Dan Rajawali.
“Hari ini pada tahun depan adalah setahun peringatan kematianmu!”

“Ha-ha-ha! Nawara, kau dengar apa katanya? Bukankah sedari dulu kita tidak pernah menganggapnya sebagai manusia, masa hal seperti itu saja dilontarkan di depan teman-temannya? Dasar kucing ******!” seloroh Nawala sambil berkacak pinggang sambil tertawa terbahak-bahak.

“Hi-hi-hi, Nawala! Benar apa yang kau katakan. Toh, sebentar lagi dia jadi bangkai kucing, apa sulitnya ... “

“Bangsat! Kuremukkan kepala kalian berdua!” potong Kucing Iblis Sembilan Nyawa.

Kemarahan yang menggelegak di dalam kepalanya membutuhkan penyaluran, dan satu-satunya penyaluran adalah harus bisa mengenyahkan pemuda ceriwis dan gadis bawel yang ada di depannya.

Tanpa banyak kata, Kucing Iblis Sembilan Nyawa melesat sambil melolos sebilah pedang dari balik punggung dan disabetkan dengan pengerahan tenaga sakti ke arah Sepasang Naga Dan Rajawali.

Wutt! Wutt!

“Teman-teman! Maaf kami mau berpesta terlebih dahulu!” Nawala berseru sambil menggunakan tombak panjang menangkis kibasan pedang lawan.

Trrang!

Pada saat yang bersamaan, pandangan mata Panembahan Wicaksono Aji tertumbuk pada sosok perempuan cantik yang berada di kiri sendiri Jin Hitam.

“Ratu Gurun Pasir! Kau masih ingat padaku?” tanya Panembahan Wicaksono Aji pada sosok wanita cantik yang berdiri di samping Jin Hitam.

“Heh, tentu saja aku masih ingat dengan tua bangka sepertimu ini!” kata Ratu Gurun Pasir sambil melolos cambuk berduri yang ada pinggang,

“Dendam lima puluh tahun harus dituntaskan malam ini!”

Selesai dengan kata-katanya, sosok wanita cantik yang ternyata Ratu Gurun Pasir itu segera mengelebatkan cambuk berdurinya hingga terdengar ledakan-ledakan nyaring menusuk telinga.

Ctarr! Tarr!!

“Jika kau kira dengan ilmu sesatmu yang kau bangga-banggakan itu bisa menaklukkan diriku, itu hanya mimpi di siang bolong!” sahut Panembahan Wicaksono Aji sambil menggeser tangan ke kiri dan ke kanan dalam posisi terjulur ke depan dengan tiga jari sedikit menguncup, lalu kaki kiri di tarik ke belakang sambil badan sedikit merendah, itulah gerakan pembuka dari jurus 'Belalang Sembah Menunggu Padi'!

Tenaga dalam yang terkandung dalam lecutan cambuk ditangkis dengan tangan kiri Panembahan Wicaksono Aji.

Pratt!

Cambuk berduri mental balik, namun dengan gerakan indah, Ratu Gurun Pasir memutar cambuk di tangannya sambil tangan kirinya melancarkan jurus totokan 'Pemutus Syaraf' ke arah lawan.

Wutt!

Masih tetap dalam jurus yang sama, Panembahan Wicaksono Aji segera merendahkan tubuh sambil kaki kanannya bergerak ke atas dengan cepat diikuti tubuhnya bergulingan di tanah.

Wukk! Takk!

Terdengar benturan keras saat ujung kaki kakek berjubah pendeta bertemu dengan ujung jari Ratu Gurun Pasir yang pada saat yang tepat bisa membelokkan serangan hingga saling beradu keras dengan lawan.

Di malam yang indah dimana bulan bulat penuh menerangi jagat raya, terbentang dua pertarungan hidup mati antara kebaikan melawan kejahatan.

Di posisi selatan terlihat Sepasang Naga Dan Rajawali sedang bertarung sengit dengan Kucing Iblis Sembilan Nyawa yang bersenjatakan sebilah pedang yang memancarkan sinar hitam keabu-abuan.
Jelas sekali, bahwa selain merupakan pedang pusaka, pedang yang bergagang kepala rajawali bertolak belakang itu telah dilumuri dengan racun mematikan.

Sedang di sisi timur, tampak berkutat seru Panembahan Wicaksono Aji yang meskipun sudah berusia lanjut namun kematangan tenaga dalamnya sudah mencapai taraf sempurna hingga dapat mengimbangi serangan dari Ratu Gurun Pasir yang bersenjatakan cambuk berduri.

Dengan Ilmu Silat 'Belalang Sakti Lengan Delapan' yang dimilikinya kakek pendeta itu bertarung seimbang dengan Ratu Gurun Pasir yang meskipun sudah berusia hampir sama dengan lawan, namun masih terlihat seperti gadis usia dua puluhan tahun.
Tentu saja ini hal ini menandakan tenaga dalam yang dikuasai sudah mencapai tingkat paling tinggi yang bisa dicapainya ditambah dengan adanya Ilmu 'Kembali Muda' yang diyakininya hingga bentuk tubuh mau pun wajah masih sama seperti saat enam utusan rimba persilatan menggempur Perkumpulan Bidadari Lembah Angker pada lima puluh tahun silam.

“Hmm, tukang tidur! Dua sobat kita sudah turun tangan, bagaimana dengan dirimu?” tanya Raja Pemalas sambil sedikit menggeliat.

Tanpa menunggu jawaban, kakek pemalas itu berjalan ke arah Gendruwo Sungsang dengan lambat-lambat sambil berkata lirih,
“Dari hawa yang bisa aku endus, kau pasti makhluk dari alam gaib! Siapa dirimu?”

“Huh, rupanya ada juga manusia yang memiliki ketajaman indera penciuman seperti dirimu!” sahut Gendruwo Sungsang dengan acuh tak acuh. “Kukira kau tak perlu tahu siapa diriku!”

“Yaah, manusia bau tanah macam diriku ini, untuk urusan cium-mencium memang sudah tidak jamannya lagi.
Tapi kalau cuma urusan dengan makhluk yang derajatnya lebih rendah dari manusia, penciumanku pasti tidak akan salah!” kata Raja Pemalas dengan tangan kiri mengkorek-korek telinga, hingga ia meringis-ringis kegelian.

“Memangnya kau bisa mengalahkan aku apa? Jika dilihat dari umurmu, mungkin sebentar lagi kau akan menghadap Raja Neraka!
Tanpa dibunuh pun kau akan mati sendiri!” ucap Gendruwo Sungsang dengan nada tetap datar.

Di antara Jin Hitam dan Gendruwo Sungsang, memang dialah yang paling sabar dalam menghadapi masalah apa pun, kecuali jika berurusan dengan makhluk berjenis perempuan, justru dialah yang paling tidak sabar!

“He-he-he, benar ... Benar ... !” seru Raja Pemalas sambil tangan kanannya melambai-lambai ke depan,
“Tapi ... aku akan menghadap Raja Neraka setelah kau duluan yang memberi laporan kesana!”

Seberkas hawa padat terlepas saat ia melambai-lambaikan tangan.

Gendruwo Sungsang yang tahu dirinya diserang, hanya mendengus pelan saja.

“Huh!”

Dari dengusannya keluar sebentuk uap tipis putih yang melayang-layang memapaki hawa padat yang dilepaskan lawan.

Debb! Blubb!

Dari benturan tadi, Raja Pemalas hanya sedikit merasakan getaran yang membentur tangan kanan, dalam hatinya ia mengerutuki panjang pendek,

“Diamput! Gendruwo jelek ini hebat juga tenaganya.
Tampaknya aku bakal ketemu lawan tanding seimbang nih.
Kalau dia pakai ilmu gaib, aku juga pakai ilmu gaib ahhh ... Biar seimbang.”

“Bagaimana? Masih mau diteruskan?” tanya Genderuwo Sungsang dengan nada datar.

Dari benturan tadi, ia memang merasakan sedikit tekanan, namun ia yakin sepenuhnya bisa mengalahkan kakek berbaju tambal-tambalan yang berdiri didepannya.

“He-he-he, yang bilang tidak itu siapa? Ayo maju!”

“Bagus! Kau sendiri yang mencari mati!”

Selesai berkata, Gendruwo Sungsang langsung menerjang ke arah Raja Pemalas yang kelihatan belum siap.
Justru karena terlihat belum siap itulah yang membuat Gendruwo Sungsang kecele.
Saat ia sedang mengayunkan kepalan tangannya yang sarat tenaga siluman ke arah muka Raja Pemalas dengan kecepatan kilat, namun dengan manis kakek pemalas itu berhasil menepis serangan dengan cara memutar badan setengah lingkaran ke kanan, kemudian diikuti dengan bacokan miring ke arah tengkuk dengan jurus 'Orang Malas Buang Ingus' yang dilambari enam bagian tenaga dalamnya.

Wutt! Blakk!

Terdengar suara berderak patahnya leher, bersamaan dengan itu pula laki-laki jelmaan itu langsung terjerembab ke bawah dengan kepala terkulai.

Brugh!!

“Huh, mudah amat kau mati!?” gumam Raja Pemalas sambil melenting menjauh.

Sementara itu Jin Hitam sudah saling baku hantam dengan Raja Penidur.
Berkali-kali Jin Hitam berusaha menyarangkan pukulan saktinya, akan tetapi berkali-kali pula ia gagal dalam serangannya.
Sebab gerakan Raja Penidur yang adakalanya menguap sambil menutup mulut, menggeliat malas, kadangkala malah jatuh dalam posisi tertidur, bahkan dalam posisi doyong ke belakang hampir menyentuh tanah pun si Raja Penidur masih bisa menghindari serangan ganas Jin Hitam.
Itulah jurus 'Dewa Mengantuk Membelai Sukma', salah satu dari rangkaian Ilmu Silat 'Dewa Tidur Panjang' ciptaannya!

“Bangsat! Setan alas! Kenapa kau tidak balas menyerang?” teriak Jin Hitam sambil berusaha menyarangkan sebuah pukulan yang sarat dengan tenaga maut, bahkan dalam pukulan kali ini sampai mengeluarkan gumpalan asap kelabu berbau busuk memualkan diiringi dengan suara ciutan tajam.

Wubb! Cwitt!!

Sebuah pukulan sakti yang acap kali digunakan di waktu menghadapi lawan tangguh baik dari alam manusia mau pun dari alam gaib.
Ilmu ‘Pukulan Pembantai’!

“Hi-hi-hi! Setan kok memaki setan! Apa tidak salah nih?” sahut Raja Penidur sambil terhuyung-huyung ke belakang menghindari ilmu ‘Pukulan Pembantai’ yang dilancarkan oleh Jin Hitam, tetap dengan menggunakan jurus 'Dewa Mengantuk Membelai Sukma'.

Wukk! Wutt!

Namun hujan pukulan tidak berhenti begitu saja. Satu pukulan lolos masih disusul dengan serbuan pukulan yang lain, hingga kakek tukang mimpi itu dikepung oleh ratusan pukulan yang datang silih berganti.

“Wah, wah, jika begini terus lama-lama aku bisa jadi perkedel! Nih, terima 'Tapak Inti Ungu' tingkat delapan!” seru Raja Penidur sambil bergerak sempoyongan ke kiri kanan menerobos di antara celah-celah ‘Pukulan Pembantai’ yang dilontarkan oleh Jin Hitam, tapak tangan kiri yang mengepulkan asap hitam keungu-unguan langsung menggedor dada Jin Hitam dengan telak.

Dhuess!!

Dengan diikuti raungan kesakitan, Jin Hitam pun berhasil menyarangkan satu ‘Pukulan Pembantai’ ke dada kanan Raja Penidur dengan telak pula.

Dhasss!

Keduanya sama-sama terpental hingga beberapa tombak ke belakang.
Bisa dikatakan satu pukulan di balas dengan satu pukulan.

Karena memang Jin Hitam bukan makhluk sejenis manusia, tentu saja serangan ‘Tapak Inti Ungu’ tingkat delapan yang disarangkan Raja Penidur padanya hanya membuat luka ringan.
Makhluk sejenis jin ini memang memiliki daya tahan terhadap segala macam jenis serangan bertenaga dalam tinggi.
Tidak percuma ia diangkat menjadi salah satu dari sepuluh orang terhebat dari Istana Iblis Dasar Langit di alam gaib.

Lain halnya dengan Raja Penidur, kakek tukang mimpi ini justru terluka dalam cukup parah, bahkan darah segar pun menetes dari mulutnya. Dengan terhuyung-huyung seakan mau jatuh, akhirnya ia berhasil bangkit berdiri.

“He-he-he, hebat ... Hebat! Jin busuk sepertimu memang sejenis makhluk jempolan!” kata Raja Penidur sambil mengacungkan jempol kanan, sedang tangan kiri menyusut darah yang keluar dari mulutnya, namun dalam hatinya,
“Jin busuk ini hebat betul! Baru beberapa jurus saja aku sudah hampir jadi pecundang! Kugunakan saja ilmu gaib ‘Kidung Sang Baka’. Sudah lama aku tidak menggunakannya.”

“Bagaimana, apa kau sudah mengaku kalah?” jengek Jin Hitam,
“Manusia macam dirimu, mana sanggup menjatuhkan mahkluk setangguh aku?”

“Jangan sombong kau, jin busuk! Yang tadi baru pemanasan,” sahut Raja Penidur sambil memasang kuda-kuda, dengan posisi tangan kiri di depan sedang tangan kanan disembunyikan di balik punggungnya sambil berucap,
“Dan ini baru sungguhan!”

Tapak tangan kirinya kembali mengeluarkan kepulan asap hitam keungu-unguan, namun kali ini warna hitam keungu-unguannya lebih pekat dan kental dari sebelumnya.
Tentu saja Raja Penidur tidak mau bertindak ayal lagi menghadapi makhluk halus di depannya, hingga kali ini ia menggunakan Ilmu 'Tapak Inti Ungu' hingga tingkat ke dua belas, suatu tingkatan yang paling jarang digunakan, sebab hanya menggunakan tingkat sepuluh saja, rata-rata lawan sudah takluk di bawah tapak tangannya.
Tentu saja pancaran dan kepulan asap hitam keungu-unguan semakin lama semakin kental hingga menyelimuti seluruh tangan kiri Raja Penidur.

“Huh, lagi-lagi kau gunakan ilmu picisan itu! Kuberi kau kesempatan dua jurus, aku tidak akan membalas seranganmu!” kata Jin Hitam dengan pongah.

Tentu saja ia merasa sombong, jika dengan tingkatan sebelumnya saja ia sanggup menahan dengan kekuatan tenaga gaib yang dimilikinya, tentu untuk tingkatan yang lebih tinggi, cukup dengan meningkatkan tenaga gaib beberapa bagian saja sudah bisa membendung serangan lawan.
Sedikit demi sedikit, tubuhnya berubah menjadi hitam kelabu yang semakin lama semakin menebal berwarna hitam.
Sebentar kemudian tubuh Jin Hitam sudah berubah menjadi hitam kelam seluruhnya, termasuk pakaian yang dikenakan pun ikut berwarna hitam kelam.

“Jika kau bisa menembus Ilmu ‘Baju Besi Iblis’ tingkat hitam, kau memang benar-benar manusia pilihan!”

“Ingat dengan janjimu!” kata Raja Penidur sambil berjalan selangkah demi selangkah ke arah Jin Hitam yang berdiri kokoh, hingga jarak mereka tinggal satu jangkauan saja.

Pelan-pelan, Raja Penidur menyorongkan tapak tangan kiri yang masih mengepulkan asap hitam keungu-unguan ke tengah dada Jin Hitam.

Jwoshh ... Jwoshh ... !!

Terdengar suara desisan tajam bagai besi panas dimasukan ke dalam air saat tapak tangan Raja Penidur menyentuh di tengah dada Jin Hitam yang saat itu menggunakan Ilmu ‘Baju Besi Iblis’ tingkat hitam!

Jin Hitam hanya tersenyum sinis karena sudah menduga apa yang bakal terjadi.
Memang terjadi sedikit guncangan di dalam tubuhnya saat mana tapak tangan Raja Penidur menyentuh tengah dada, namun ia yakin dengan Ilmu ‘Baju Besi Iblis’ tingkat hitam yang dikuasainya dengan sempurna.

“Jurus pertama!” jengek Jin Hitam. “Silahkan gunakan jurus yang kedua!”

Raja Penidur hanya tersenyum penuh arti. Mendadak tangan kanannya yang semua berada di balik punggung ditarik keluar dan secepat kilat ditempelkan dengan hentakan keras ke dada kiri Jin Hitam.

Wutt! Plakk!

Jin Hitam kembali menebarkan senyum sinis.
Tapi keadaan itu hanya sesaat terjadi. Wajahnya tiba-tiba mengernyit menahan sesuatu yang menyentak-nyentak di dalam dada.
Tubuhnya mulai gemetaran saat tapak tangan kanan Raja Penidur memancarkan cahaya kemilau putih terang yang menyilaukan mata.
Seiring dengan itu, kesombongan Jin Hitam sirna berubah menjadi seringai ketakutan!

-o0o-
 
Bab 28

“Kau ... kau ... pemilik Ki ... Kidung Sang ... Baka ... “ kata Jin Hitam terbata-bata.

“Betul!”

“Kenapa kau ... tidak ... “

“Apakah tadi kau bertanya padaku siapa diriku?” balik tanya Raja Penidur.

Sedikit demi sedikit tubuh Jin Hitam mulai berubah.
Warna hitam kelam yang melingkupi tubuhnya memudar sedikit demi sedikit dan akhirnya hilang.
Akan tetapi perubahan itu tidak hanya sampai disitu saja, tubuh Jin Hitam ada kalanya membesar sebesar bukit, kadang mengerut seperti manusia pada umumnya, kemudian meliuk-liuk seperti asap.
Dan terakhir secara perlahan-lahan memudar seperti membentuk bayangan tembus pandang, dan seringai kesakitan pun akhirnya terdengar dari mulutnya.

“Akkhh ... akhh ... amm .. phun ... ni ... ahu ... “

“Terlambat! Makhluk jahat sepertimu memang harus dilenyapkan di muka bumi! Mengampunimu hanya akan menambah masalah manusia saja!” kata Raja Penidur pelan, sambil terus mengalirkan kekuatan gaib dari ‘Kidung Sang Baka’ yang digunakannya.
“Terimalah kematianmu, jin busuk!”

Diiringi dengan satu sentakan keras, Raja Penidur kembali menambahkan daya hancur dari daya gaib ‘Kidung Sang Baka’!

Brashhh ... !!

Tentu saja Jin Hitam semakin meraung-raung kesakitan.
Beberapa pukulan dan tendangan sudah dicobanya untuk melepaskan diri, namun sepasang tapak tangan yang menempel didadanya seolah memiliki daya hisap yang amat kuat.
Hingga akhirnya ...

Dhuaarrr! Jdarrr!

“Tooobaaatttt .... !”

Tubuh Jin Hitam pun meledak diiringi raungan kematian menyayat.
Bukan hanya ia kembali ke alamnya di alam gaib, namun ia juga kembali ke pangkuan Sang Penguasa Jagat Raya.
Ilmu ‘Kidung Sang Baka’ merupakan salah satu ilmu gaib yang bermanfaat untuk mengusir makhluk halus dan sejenisnya.
Ilmu ini setara dengan kekuatan mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu' dan ‘Ilmu Sangkakala Braja’ yang juga bisa untuk membuka pintu masuk ke alam gaib.

Kali ini Jin Hitam harus mati mengenaskan di tangan Raja Penidur dikarenakan kesombongan dan rasa percaya diri yang berlebihan.
Andaikata ia tidak menganggap remeh lawan, mungkin ia masih bisa menghindari maut yang diberikan Raja Penidur lewat ‘Kidung Sang Baka’.

Bidadari Berhati Kejam sendiri langsung memilih lawan, digempurnya Ratu Siluman Kucing tanpa sempat beradu kata, sebab bagi nenek pemarah ini, beradu mulut hanya membuang tenaga sia-sia saja alias tidak ada artinya sama sekali.

Perempuan siluman yang kini telah berubah wujud menjadi sosok bertubuh sintal dengan wajah cantik mempesona dengan cekatan memapaki serangan nenek bersenjatakan pedang kuning kusam yang menjadi lawannya.
Serangan-serangan yang dilancarkan semakin lama semakin cepat, bahkan Ratu Siluman Kucing dengan beraninya menangkis serangan-serangan tajam dari Bidadari Berhati Kejam dengan sentilan-sentilan kuku jari tangan yang runcing laksana pedang.

Ting! Triing! Triing!

Beberapa kali terdengar suara dentingan nyaring saat kuku runcing bertemu dengan badan pedang. Bidadari Berhati Kejam yang mengetahui bahwa lawan berani menepis badan pedang, semakin gencar mengerahkan jurus-jurus pedang tingkat tinggi yang dimilikinya.

“Kurang ajar! Dasar siluman! Kau sedang sial karena membentur Pedang Pusaka Besi Kuningku!” seru Bidadari Berhati Kejam sambil melancarkan sebuah sabetan samping ke arah leher Ratu Siluman Kucing dalam jurus 'Pedang Menebas Angkasa'!

Wutt!

Wanita cantik jelmaan siluman itu segera merendahkan tubuh menghindari sabetan pedang, sambil tangan kirinya berusaha menyentil Pedang Besi Kuning dengan tujuan mematahkan badan pedang.

Criing!

Namun kali ini ia kecewa. Saat kuku jari tangannya menyentuh badan pedang, sebuah sengatan bagai petir langsung menerobos masuk ke dalam tangan dan menjalar masuk dalam tubuh dengan cepat.

Ratt!!

“Uhh ... “ Ratu Siluman Kucing mengeluh pelan sambil melemparkan tubuh ke belakang.

“Ini benar-benar pedang yang terbuat Besi Kuning! Celaka dua belas, ‘Tenaga Gaib Siluman Kucing’ tidak akan kuat menahan pamor gaib dari Besi Kuning!
Aku harus menghindari nenek peot ini!” pikir siluman berwajah cantik ini sambil berulang kali menghindari cecaran Ilmu ‘Pedang Sukma Gelap' yang dilancarkan oleh Bidadari Berhati Kejam.

Sebenarnya Ratu Siluman Kucing bukan takut pada jurus-jurus pedang yang dilancarkan oleh Bidadari Berhati Kejam, tapi dikarenakan pedang yang terbuat dari Besi Kuning itulah sebenarnya yang ingin dihindari.

“Hi-hi-hik! Coba kau ulangi lagi tingkahmu barusan!” ejek Bidadari Berhati Kejam sambil mempergencar serangannya, kali ini melancarkan jurus 'Langit Berawan', dimana gerakan pedang pelan-pelan melambat seperti gumpalan mendung di langit, namun anehnya meski terlihat lambat dalam gerakan, tapi kemana pun Ratu Siluman Kucing bergerak, ujung pedang yang runcing selalu bisa mengancam dirinya.
Benar-benar jurus pedang unik!

“Nenek peot keparat, kau kira aku takut padamu!” sambil berseru keras, Ratu Siluman Kucing tiba-tiba melenting ke belakang sambil berjumpalitan tiga kali dengan cepat.

Pada jumpalitan pertama, dari perut ke bawah berubah menjadi bentuk kaki kucing berbulu hitam, lalu diikuti jumpalitan yang kedua, kini bagian dada hingga ke batas perut telah berganti wujud menjadi hitam mulus dan pada jumpalitan ke tiga, telah berubah bentuk sempurna menjadi sesosok kucing hitam.

Tapi kucing ini bukan kucing mungil pada umumnya, tapi seekor kucing raksasa sebesar harimau!

Miiaoww! Miiaoww! Grrhh!!

Terdengar suara erangan keras memenuhi sekitar tempat itu.

Sosok berpakaian putih yang melihat pertarungan dari arah ketinggian terkejut melihat perubahan wujud Ratu Siluman Kucing.
Memang kehadirannya yang secara diam-diam bersama dengan kawannya yang bercangkang kura-kura telah berada di tempat itu cukup lama, sesaat sebelum pemuda baju putih bersulam naga mengeluarkan jurus 'Raungan Naga Di Bumi' untuk memaksa keluar orang-orang yang ada di dalam liang.

“Hemm, bagaimana menurutmu hasil pertarungan ini?”

“Saya kira, nenek berpedang itu akan kesulitan menghadapi kucing raksasa itu, meski pun ia bersenjatakan Besi Kuning yang paling ditakuti bangsa siluman.
Peluangnya kecil sekali untuk menang, kecuali jika pemuda yang mengenakan blangkon itu ikut membantunya.
Pula enam orang di belakang bertarung mengeroyok si pendek buntak itu, kemungkinan mereka berenam kalah justru lebih besar lagi.” sahut si cangkang kura-kura memberi analisanya, sambungnya pula,
“Lagi pula ... diantara mereka yang menyerang malam ini, mungkin hanya tiga orang saja yang membekal ilmu gaib tingkat tinggi.”

“Tepatnya ... lima orang!” kata si baju putih sambil bersedekap.
“Perhatikan dua orang kembar itu.
Tidak mungkin mereka berani menghadapi wanita berpedang hitam itu hanya dengan mengandalkan ilmu silat dan tenaga dalam tinggi saja, setidaknya mereka berbekal semacam ilmu-ilmu gaib tertentu.”

“Benar juga,” sahut si pemuda cangkang kura-kura manggut-manggut setelah mengamati beberapa saat.

Sementara itu, dari orang-orang yang keluar dari dalam liang, tinggal satu orang yang belum kebagian lawan tanding yaitu si pendek buntak yang disebut-sebut si pemuda bercangkang kura-kura.

Tokoh yang satu ini merupakan tokoh aliran hitam yang berjuluk si Setan Nakal.
Tubuh pendek buntak bundar seperti bola dan di bagian dahi tergambar dengan jelas sebentuk rajah aneh dengan mata merah bercahaya terang, seakan didahinya memiliki empat mata.
Sifatnya yang tidak mau kalah dan serba ingin menang sendiri itulah yang membuatnya dijuluki Setan Nakal.
Meski bertubuh pendek tapi Setan Nakal memiliki ilmu silat yang tinggi, terutama ‘Ilmu Sihir Pasukan Mayat Bumi’!

Setan Nakal inilah sebenarnya yang menyebarkan rajah setan bertanduk pada beberapa jago-jago silat di wilayah selatan dibantu oleh Kucing Iblis Sembilan Nyawa.
Termasuk diantaranya beberapa murid Partai Ikan Terbang pun terkena dampak dari Rajah Penerus Iblis meski berhasil dinetralisir oleh Ki Dalang Kandha Buwana dibantu Juragan Padmanaba yang kebetulan datang ke markas Partai Ikan Terbang.

“Huh, makhluk dari alam gaib pun tidak ada apa-apanya! Brengsek! Terpaksa harus aku gunakan pasukanku untuk mengenyahkan manusia-manusia bodoh ini,” pikir si Setan Nakal.
“Lebih baik aku gunakan saja Pasukan Mayat Bumi, biar mereka mati merana!”

Mulut Setan Nakal nampak berkomat-kamit membaca mantra. Sesaat kemudian tangan kiri diangkat ke atas kepala sedang tangan kanan terlipat ke belakang punggung dalam keadaan terkepal kencang. Setelah itu, kaki kiri menghentak tanah tiga kali dengan mengerahkan mantap.

Dukk! Dukk! Dukk!

Bersamaan dengan hentakan ke tiga, tangan kanan yang terlipat di belakang punggung ditarik ke depan dengan pelan namun pasti. Terlihat cahaya kuning berkilauan tergenggam di dalam kepalan tangan yang sedikit demi sedikit terbuka seiring dengan besarnya gumpakan cahaya kuning yang semakin terang.
Setelah seukuran kepala bayi, cahaya kuning terang itu dihantamkan ke tanah dengan cepat.

Wutt! Jglerr! Jglerr!

Terdengar ledakan nyaring saat gumpalan bola cahaya kuning membentur tanah, setelah itu diikuti melesatnya beberapa sosok bayangan dari dalam tanah.

Wutt! Wutt!

Bayangan tersebut berubah wujud menjadi empat sosok tubuh berpakaian compang-camping yang menebarkan bau busuk memualkan perut terlihat melayang-layang di udara setinggi dua tombak, lalu perlahan-lahan turun ke bawah dan akhirnya berdiri mematung tepat di belakang Setan Nakal yang saat ini sudah berdiri berkacak pinggang.

“Pasukanku, bunuh manusia-manusia busuk itu!” perintah Setan Nakal sambil jari tangan kirinya menuding ke rombongan Wanengpati berdiri.

Semua tindakan Setan Nakal tidak luput dari pandangan mata elang pemuda berbaju putih, gumamnya, “Rupanya si Setan Nakal sudah bermain-main dengan Pasukan Mayat Bumi.”

“Apa aku perlu turun tangan sekarang, Ketua?”

“Kita lihat dulu berkembangannya!”

“Tanganku sudah gatal ingin menjitak kepalanya yang klimis itu!”

Seperti halnya pemuda berbaju putih, Wanengpati pun dengan seksama mengamati segala tingkah laku dari Setan Nakal.

“Hemm, rupanya kakek pendek itu mengerahkan kekuatan sihirnya.
Kami harus berhati-hati,” pikir Wanengpati setelah melihat gerak cepat anak buah Setan Nakal yang meski terlihat berjalan terpatah-patah namun sebentar saja sudah berada dua tombak dari mereka berdiri.

“Gila! Setan dari mana ini?” kata salah seorang dari Perguruan Perisai Sakti yang memegang klewang sepanjang satu tombak, lalu meloncat tinggi ke atas, sambil berseru keras,

“Sobat! Apa yang sekarang kalian tunggu! Ayo, kita cincang habis mayat berjalan ini!”

Dari atas ketinggian, orang dari Perguruan Perisai Sakti yang bernama Wiratsoko langsung mengerahkan jurus ‘Membelah Batang Pohon’ dengan kecepatan tinggi serta dilambari dengan ‘Tenaga Perisai Sakti’ hingga delapan bagian.
Dua tangannya menggenggam gagang klewang dengan erat, dan bisa dipastikan seberapa besar kekuatan yang dimilikinya disaat ia melayang turun dengan cepat diikuti ayunan klewang.

Wukk! Crakk! Crakk!

Salah dari Pasukan Mayat Bumi langsung menjadi sasaran empuk bagi klewang Wiratsoko. Sudah terbayang dalam benaknya, sosok mayat yang terkena jurus ‘Membelah Batang Pohon’ akan terpotong rapi menjadi dua bagian.
Namun ia kecele!

Wratsoko justru langsung terpental balik ke belakang disaat klewangnya membentur langsung tulang pundak Pasukan Mayat Bumi, disebabkan dari dalam tubuh Pasukan Mayat Bumi terpancar daya lontar yang amat kuat, bahkan cenderung memiliki kekebalan terhadap segala macam serangan. Untuk mematahkan daya lontar, Wiratsoko berjumpalitan beberapa kali dan akhirnya turun dengan kaki terlebih dahulu dengan ujung tajam mata klewang amblas ke dalam tanah hampir setengah lebih!

Crepp! Jleg!!

Sepasang tangan yang memegang gagang klewang terlihat gemetar, bahkan getaran itu menjalar ke seluruh tubuh.

“Wiratsoko, apa yang terjadi?” tanya temannya.

“Mereka ... mereka bukan manusia!” gumam Wiratsoko sambil berusaha menghilangkan rasa gentar yang menyelimuti hatinya.

“Manusia atau bukan, kita harus mengenyahkan mereka semua!” seru Mahesa Krudo sambil menghunus golok, diikuti dengan saudara-saudara seperguruan.

Srakk! Sranggg!

“Betul! Kita harus bahu membahu menghadapi mereka!” kata Suratmandi sambil menghunus klewang, “Wiratsoko, tenangkan dulu hatimu, biar kami yang menghadapi mereka!”

Tanpa menunggu jawaban dari kawannya, Suratmandi dan Empat Golok Sakti dari Perguruan Karang Patah sudah menerjang ke arah Pasukan Mayat Bumi.
Sebentar saja terjadi perang tanding seru antara Pasukan Mayat Bumi yang kebal bacok dengan orang dari Perguruan Perisai Sakti dan Perguruan Karang Patah.

Terdengar suara-suara nyaring dan dentingan tajam saat klewang dan golok silih berganti menghantam tubuh.

Crakk! Crangg! Crokk!

Meski dengan gerakan kaku, Pasukan Mayat Bumi bisa mengimbangi para pengeroyoknya, bahkan beberapa tamparan tangan dan tendangan mereka ada yang mendarat di antara para pengeroyok.

Dhues! Deshh!!

Linggo Bhowo dan Janapriya tampak tersurut mundur saat pangkal tangan mereka terkena hantaman lawan. Rasa ngilu menjalar ke seluruh tubuh, seolah tulang-belulang mereka lepas semua.
Setelah mengalirkan hawa tenaga dalam dari pusar kemudian dialirkan ke seluruh tubuh, baru rasa ngilu berkurang banyak.
Kemudian dengan diikuti teriakan yang menggetarkan, mereka segera menerjang kembali ke arah Pasukan Mayat Bumi berada.
Kancah pertarungan kembali terbuka!

Sementara itu, Wiratsoko yang tergempur pertama kali hanya bisa memandangi kawan-kawannya yang sedang bertaruh nyawa.
Rasa gentar masih menyelimuti hati.

Pelan-pelan Wanengpati mendekati Wiratsoko.

Memang sudah direncanakan sebelumnya, bahwa Ayu Parameswari, Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba harus siaga di dalam padukuhan sekaligus mengawasi Nyi Dhandhang Gendhis yang sedang hamil tua.

Pada mulanya, Ayu Parameswari ingin ikut dalam rencana penyerangan, akan tetapi melihat situasi yang terjadi dan adanya kemungkinan bahwa pihak lawan melakukan siasat memancing di air keruh, mau tak mau Ayu Parameswari harus tinggal di Padukuhan Sonngsong Bayu.
Akan halnya Wanengpati bertindak sebagai pimpinan penyerangan sekaligus mengamati keadaan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan membahayakan keselamatan para kawan persilatan.

“Para mayat hidup itu memang hebat, sobat Wiratsoko! Kukira teman-teman kita sedang dalam bahaya besar,” tutur Wanengpati sambil matanya tidak lepas dari semua pertarungan yang terjadi,
“Secepatnya kita harus mencari kelemahan mereka.”

“Kelemahan?”

“Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Seperti misalnya ada yang cantik pasti ada yang jelek, ada baik ada pula yang buruk.” kata Wanengpati sambil menyentuh pundak Wiratsoko.

“Tapi dimana kelemahannya?”

“Itulah yang harus kita cari saat ini!”

Wanengpati tampak termenung, dalam kepalanya berpikir keras tentang bagaimana cara mengatasi Pasukan Mayat Bumi yang kini sedang dihadapi oleh kawan-kawannya.

“Ada satu jalan! Tapi ini kemungkinan berhasil atau tidaknya sulit sekali ditentukan!”

“Terangkan saja jalan pikiranmu!” potong Wiratsoko cepat sambil mencabut klewang yang masih menancap di tanah.
“Perkara berhasil atau tidak, itu urusan belakangan!”

“Mayat hidup itu dibangkitkan oleh kakek pendek yang sedang berdiri di sana,” kata Wanengpati sambil mengarahkan pandangannya ke arah Setan Nakal, lalu sambungnya,
“Entah siapa dia sebenarnya, aku pun juga tidak tahu.
Cuma yang jelas, jika dia bisa membangkitkan mayat hidup, dialah sebenarnya kunci untuk menghentikan mayat hidup itu pula.
Ibaratnya kawanan domba, kakek pendek buntak itu sebagai sang penggembala!”

“Betul! Masuk di akal juga apa yang kau katakan itu!” kata Wiratsoko sambil menghela napas panjang,

“Biar aku adu jiwa dengannya!”
Wiratsoko segera beranjak dari tempatnya berdiri namun baru selangkah dari tempatnya semua berdiri, Linggo Bhowo sudah jatuh terkapar bermandikan darah.
Rupanya salah seorang dari Empat Golok Sakti terlambat menghindar saat kepalan tangan mayat hidup mengenai dada dengan kecepatan kilat.

Dhueshh!!

Linggo Bhowo yang saat itu sedang melindungi Kamalaya dari terjangan mayat hidup dari arah belakang, ia rela mengorbankan diri menerima hantaman lawan, sebab tidak mungkin ia melepaskan pukulan tenaga dalam atau pun sabetan jurus golok, takutnya justru mengenai sang istri.

“Kakang!!”

Kamalaya menjerit tertahan saat melihat sang suami menjadi perisai hidup baginya.
Baru saja wanita cantik itu berteriak mengkhawatirkan keselamatan Linggo Bhowo, sebuah tendangan keras sarat kekuatan penghancur menghantam punggung dengan telak.

Wutt! Duakk!!

Wanita cantik itu langsung terpental ke depan beberapa tombak, dan jatuh tertelungkup dalam jarak sejangkauan dengan sang suami. Darah kental tampak tersembur keluar dari mulutnya.

“Bangsat! Aku adu jiwa dengan kalian!” bentak Wiratsoko melihat dua orang dari Perguruan Karang Patah sudah terluka parah, bahkan salah satu dari Pasukan Mayat Bumi sudah berjalan menghampiri, siap memberikan tangan maut pada pasangan suami istri itu.

“Wirat, jangan gegabah!” cegah Wanengpati, tapi terlambat!

Wiratsoko sudah melenting ke atas dengan kecepatan tinggi, dan lagi-lagi jurus ‘Membelah Batang Pohon’ digunakan untuk kedua kalinya.
Dari semua jurus yang dimilikinya, hanya gerakan itulah yang cocok digunakan dalam situasi seperti ini.
Dari atas ketinggian, Wiratsoko yang tidak memiliki keyakinan pada keberhasilan jurus ‘Membelah Batang Pohon’ hanya bisa berharap menyelamatkan nyawa Linggo Bhowo serta Kamalaya dari terkaman maut, dan kali ini ‘Tenaga Perisai Sakti’ digunakan hingga sepuluh bagian.

Wutt!! Crasss!!

Dan hasilnya ... badan mayat hidup terbelah menjadi dua bagian dengan potongan rapi akibat tebasan klewang!

Brukk!

Mayat hidup ambruk ke tanah diikuti dengan dengan keluarnya gumpalan asap berbau busuk dan akhirnya hilang tak berbekas.

Hal ini sama sekali diluar dugaan Wiratsoko sebelumnya!
Tentu saja yang kaget bukan hanya Wiratsoko, tapi juga Suratmandi serta Mahesa Krudo dan Janapriya.
Sedari tadi mereka melakukan segala upaya dari bacokan, tusukan, tebasan sampai lontaran pukulan-pukulan sakti pun tidak bisa membuat lawan tumbang.
Janapriya pun menotok bagian-bagian tertentu dari jalan darah di tubuh Pasukan Mayat Bumi, namun hasilnya nihil, bahkan mereka terpental balik akibat daya lontar yang dimiliki oleh lawan.

Tapi justru yang paling kaget sendiri adalah ... Si Setan Nakal!

“Kurang ajar! Bagaimana pemuda itu bisa mengetahui kelemahan dari Pasukan Mayat Bumi! Aku harus memperkuat mereka!” pikir Setan Nakal sambil mulutnya berkomat-kamit membaca mantra sihirnya.

Wanengpati sendiri juga kaget melihat keberhasilan Wiratsoko dalam gerak jurus yang sama.

“Aneh, bagaimana bisa dia mengalahkan mayat itu? Bukankah tadi dengan jurus yang sama dia kalah dalam satu kali gebrakan saja?” pikir Wanengpati.

“Kawan-kawan, gunakan tenaga puncak kalian! Cepat!” seru Wiratsoko sambil menerjang ke arah Pasukan Mayat Bumi yang berada dekat dengannya sambil berteriak keras pada Wanengpati,

“Sobat Wanengpati! Tolong bantu dua teman kita yang terluka!”

Tanpa menyahut, Wanengpati segera bergegas menghampiri Linggo Bhowo dan Kamalaya yang pingsan akibat luka-luka yang mereka derita.

Serempak Mahesa Krudo dan Janapriya segera mengerahkan jurus terakhir dari 'ilmu Golok Sejodoh' yang bernama 'Golok Lingkar Buana' yang dilambari dengan sepuluh bagian hawa tenaga dalam yang mereka miliki.
Maka, Pasukan Mayat Bumi yang kini telah diperkuat kemampuannya oleh Setan Nakal dari jarak jauh bagai dihujani oleh ribuan hawa golok tajam dari segala penjuru bahkan dari ujung kepala hingga ujung kaki tidak ada satu pun yang terlewatkan.

Wutt! Wutt! Crakk! Krakk! Crakk!!

Tapi anehnya, tidak ada satu pun dari jurus 'Golok Lingkar Buana' yang bisa membuat tiga setan bawah tanah itu terjungkal.
Demikian juga dengan Suratmandi tidak jauh berbeda, bahkan ia yang memiliki ilmu lebih tinggi dari Wiratsoko, juga tidak bisa berbuat banyak termasuk peningkatan ‘Tenaga Perisai Sakti’ hingga sepuluh bagian.
Bahkan saking besarnya hawa tenaga dalam yang dikeluarkan sampai-sampai klewangnya mengeluarkan bunyi dengung bagai ratusan lebah mengamuk.

Wutt! Crakk! Krakk!

Akhirnya, tinggal Wiratsoko saja yang kembali berhasil mengatasi salah satu Pasukan Mayat Bumi dengan cara membabatkan klewang dalam jurus yang sederhana, dimana ia menggerakkan klewang dalam posisi serong dari arah pundak kiri menebas ke bawah sampai di pinggang kanan.

Wutt!! Crass ... !!

Kembali satu lawan tumbang.

Tiba-tiba saja, Wanengpati berteriak keras, “Tancapkan senjata kalian ke tanah! Cepat!”

Tanpa berpikir panjang, dua golok dan satu klewang langsung menghunjam ke tanah dengan cepat dan secepat itu pula ditarik kembali dari dalam tanah.

Jrabb!

Kemudian secara bersamaan pula, golok dan klewang berkelebatan dengan cepat membabat habis Pasukan Mayat Bumi yang tersisa.

Crasss! Crakk! Cress!!

Kali ini, dua Mayat Bumi bagai dipotong-potong dengan pisau tajam dan akhirnya tumbang diikuti dengan gumpalan asap kelabu berbau busuk, lalu asap itu menghilang ditiup angin malam.

“Kurang ajar! Kalian harus mengganti nyawa pasukanku dengan nyawa busuk kalian!” bentak Setan Nakal, sambil mendorongkan dua buah pukulan sakti ke arah Wiratsoko dan kawan-kawan.

Wutt! Whess ... !!

Sebersit hawa pekat yang mengeluarkan bau busuk melayang dengan cepat, bahkan di tengah perjalanan berubah bentuk menjadi dua gumpalan berwujud bayangan kepala tengkorak. Rupanya dalam kemarahan akibat ‘Ilmu Sihir Pasukan Mayat Bumi’ gagal, Setan Nakal langsung menggunakan Pukulan 'Asap Tengkorak Merana'!

Baru saja Wanengpati beranjak untuk memapaki pukulan lawan, sebuah teriakan membahana mencegahnya,

“Kakang, biar aku saja yang menghadapi setan pendek ini!”

Sebersit hawa naga kemerah-merahan sarat tenaga dalam tinggi memapaki Pukulan 'Asap Tengkorak Merana' milik Setan Nakal.

Jdarr!! Darr!!

Terdengar benturan keras saat Pukulan 'Asap Tengkorak Merana' bertemu dengan hawa naga kemerah-merahan diikuti dengan buncahan asap berbau sangit di sekitar tempat itu.
Setelah asap mereda, terlihat sesosok gadis berbaju merah menyala dengan sebuah kipas dari sutera terbentang di depan dada.

Siapa lagi jika bukan Ayu Parameswari!

-o0o-
 
Bab 29

“Lebih baik kakang membantu nini Bidadari Berhati Kejam, biar kakek mungil ini saja aku yang menghadapi.”

“Ayu, kenapa kau sampai ditempat ini, bukankah ... “

Sambil berkipas-kipas dengan kipas suteranya, Ayu pun berkata,

“Maaf kakang, disana sepi sekali! Lagi pula ayah yang menyuruhku datang kemari.”

“Bocah ayu! Lebih baik kau mundur saja, kasihan dengan kulitmu yang halus itu.” seru Setan Nakal sambil berkacak pinggang, lalu lanjutnya sambil mejungkit-jungkitkan alis, “Atau ... He-he-heh ... “

“Dasar manusia mesum! Kiranya mulut ceriwismu belum pernah ditampar orang pulang pergi!”

“Benar ... benar ... ! Memang mulutku ini paling sering ditampar dengan bibir para gadis-gadis cantik!” balas si Setan Nakal sambil tertawa keras.

“Bagus kalau begitu! Rasanya kipasku ini sudah tidak tahan untuk segera menyumpal mulutmu yang bau busuk!” Sambil berkata, murid Naga Bara Merah segera membentangkan Kipas Naga Sutera Merah lebih lebar lagi diikuti dengan sentakan kipas menyamping ke arah Setan Nakal.

Debb!

Meski jaraknya cukup jauh, tapi hawa tenaga dalam membentuk larikan sinar merah melengkung bak bulan sabit mengarah ke Setan Nakal dengan kecepatan tinggi.

“Aku tangkis, cah ayu!” kata Setan Nakal sambil tertawa haha-hihi mendorong pelan jari telunjuk kanan ke depan.
Selarik cahaya hijau terang terpancar keluar dan akhirnya tepat berada di tengah-tengah jarak mereka berdua, sinar merah berbentuk bulan sabit berbenturan langsung dengan selarik cahaya hijau terang.

Bumm!

Ledakan nyaring terdengar saat sinar merah yang berasal dari Kipas Naga Sutera Merah dan cahaya hijau terang dari jari telunjuk Setan Nakal bertemu, dan benturan tenaga dalam dari ke dua belah pihak ternyata seimbang!

“Hebat betul kau cah ayu! Murid siapa kau ini?” tanya Setan Nakal.
Diam-diam ia merasakan jari telunjuknya tergetar oleh hawa tenaga dari gadis berbaju merah.

“Siapa guruku tidaklah penting bagimu!” Kata Ayu dengan diplomatis,
“Tapi jika kau tetap memaksa juga, kau boleh bertanya pada kipasku ini!”

Setelah ucapannya selesai, murid tunggal Naga Bara Merah dari Jurang Tlatah Api langsung memutar kipas terbentang lebar dalam lingkaran penuh, kemudian tangan kiri membentuk tapak menerobos masuk ke tengah lingkaran kipas diikuti dengan lesatan hawa naga yang seolah keluar dari telapak tangan.
Rupanya Ayu Parameswari menggabungkan jurus-jurus ‘Kipas Pengacau Langit’ di tangan kanan sedang tangan kiri melancarkan pukulan ‘Naga Memuntahkan Api’ yang dialiri dengan ‘Tenaga Sakti Naga Langit Timur’ tingkat ke enam!

Woshh!!

“Hrooarghh!!”

Tempat yang dilalui lesatan hawa berbentuk naga seperti dibajak membentuk parit panjang nan lebar.
Terlebih-lebih suara raungan naga yang menggema di tempat itu, bahkan orang-orang yang sedang berjibaku pun harus mengerahkan tenaga dalam tambahan untuk menahan rasa nyeri yang menusuk gendang telinga.

Melihat sesosok naga raksasa dengan mulut terbuka lebar mengarah padanya, Setan Nakal sedikit tercekat.

“Edan! Ilmu apa yang digunakan bocah ayu ini!” kata hatinya sambil melenting tinggi ke atas untuk menghindari terjangan hawa naga raksasa.
Akan tetapi, hawa naga yang menerbitkan suara menderu-deru membelah angin terlihat memutar diri sedemikian rupa, hingga ekor naga berkelebat cepat memburu ke arah lesatan Setan Nakal.

Wutt!

Dikarenakan posisi yang tidak menguntungkan itulah, membuat Setan Nakal nekad. Dengan mengempos ‘Tenaga Sakti Api Neraka Biru’ hingga tingkat ke lima, kemudian dialirkan ke sepasang tangan yang terkepal memancarkan pijar api kebiruan, dia berani memapaki serangan ekor naga yang datang dari atas.

Duassh ... ! Duarr !! Jderr!!

Terdengar desisan tajam diikuti dengan ledakan keras. Hawa naga merah hancur luluh sedangkan Setan Nakal mengalami nasib sial dimana tubuhnya terhempar ke bawah dengan keras, teramat keras malah, hingga membentur tanah sampai membentuk cekungan sedalam tiga tombak. Hawa tenaga dalam yang berbentuk sabetan ekor naga itulah telah memaksa tubuh tokoh aliran hitam bagai terbenam ke dalam tanah.
Sedangkan Ayu Parameswari sendiri yang mengendalikan hawa naga dari Kipas Naga Sutera Merah terjajar beberap langkah ke belakang, diikuti dengan muntahan darah kental dari mulutnya.

“Pijaran cahaya biru itu hebat juga! Uhh ... Dadaku sedikit sesak!” keluh Ayu Parameswari sambil menyusut darah yang menetes dari bibir indahnya.

Di atas bukit ...
Pemuda berbaju putih itu terkejut melihat datangnya gadis berbaju merah, namun yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah adanya kipas sutera bergambar naga merah yang dipegang si gadis cantik.

“Dia ... Titisan Sang Api!” desis si pemuda bercangkang kura-kura mengucapkan sebuah nama.

“Hemm, benar! Dia adalah pewaris tunggal dari nini Naga Bara Merah!” Gumam si pemuda berbaju putih, “ ... Akhirnya kita temukan juga penerus dari Pengawal Gerbang Timur. Ternyata gadis itu!”

Si pemuda bercangkang kura-kura menganggukkan pelan kepalanya.

Dengan adanya pengakuan itu, bisa dipastikan bahwa pemuda berbaju putih berikat kepala merah itu adalah Paksi Jaladara yang secara resmi diangkat sebagai Ketua Muda Istana Elang.

Akan halnya pemuda gemuk bercangkang kura-kura tentulah murid tunggal si Pengawal Gerbang Selatan alias Sang Air yang oleh kalangan tokoh persilatan dijuluki sebagai kura-Kura Dewa Dari Selatan yang bernama Joko Keling atau dengan menyandang nama keren Arjuna Sasrabahu!

Selama beberapa waktu berkelana di rimba persilatan, Paksi Jaladara telah mengukir nama harum sebagai sosok pemuda penegak keadilan.
Jurus-jurus silat yang mengadaptasi dari gerakan elang serta pancaran hawa dingin membekukan tulang dan sumsum membuatnya di juluki Si Elang Salju, tetapi tidak ada satu pun dari yang para tokoh persilatan mengetahui kalau sebenarnya ia juga sebagai Ketua Istana Elang yang bermarkas di Gunung Tambak Petir, kecuali orang-orang terdekatnya di Istana Elang.

Joko Keling sendiri pun mulai di kenal sebagai kawan seperjalanan si Elang Salju, sosok tubuh tambun kekar lengkap dengan sebuah tempurung atau cangkang kura-kura raksasa seringkali membuat orang salah sebut sebagai Jin Kura-Kura.
Karena pada dasarnya ia tidak ambil pusing dengan segala macam sebutan orang,
dengan enaknya ia menyandang gelar kehormatan, Jin Kura-Kura!

Sebutan itu pun sebenarnya muncul secara tidak sengaja saat ia lewat di sebuah desa kecil setelah sebelumnya membebaskan Ki Angon Segoro dari Rajah Penerus Iblis.
Di desa yang subur dan damai, terlihat beberapa anak kecil sedang bermain-main di tepi sungai.
Tentu saja hal itu sangat berbahaya bagi anak-anak seusia mereka.
Dengan maksud baik, Joko Keling berusaha mengingatkan anak-anak itu agar jangan bermain di sungai, tapi maksud baik itu disalahartikan oleh bocah-bocah itu.
Beberapa anak langsung menangis sambil lari terbirit-birit, bahkan anak yang paling kecil berusia kurang lebih tujuh tahunan menangis keras sambil berteriak histeris 'ada Jin Kura-Kura' berulang-ulang.

Tentu desa itu menjadi gempar!
Orang tua masing-masing anak berusaha menenangkan anak-anak mereka yang menangis.
Setelah mendengar penjelasan bahwa ada Jin Kura-Kura di tepi sungai, warga langsung terperanjat kaget.
Mereka langsung berbondong-bondong menuju tepi sungai dan melihat seekor kura-kura raksasa sedang berdiri berkacak pinggang!

Hampir saja terjadi baku hantam antara warga desa dengan Joko Keling karena disangka sebagai Jin Kura-Kura yang suka menculik anak-anak, andai Paksi Jaladara tidak turun tangan menengahi. Setelah memberi penjelasan panjang lebar, akhirnya warga desa berhasil diredam kemarahannya.

Dan lucunya lagi, bocah-bocah itu tidak takut lagi pada Joko Keling setelah datang Ki Angon Segoro, yang cukup di kenal warga desa menjernihkan kesalahpahaman yang terjadi.
Bahkan bocah kecil yang tadi menyebut Joko Keling sebagai Jin Kura-Kura yang paling sering berlama-lama nemplok di punggung Joko Keling.
Alasannya pun sederhana ... si bocah beberapa waktu yang lalu mimpi naik kura-kura, dan kini mimpinya itu telah menjadi kenyataan!

Satu hari satu malam lamanya Paksi Jaladara dan Joko Keling berdiam di desa itu, sebagai tanda permintaan maaf dari warga desa karena kejadian menggelikan tadi siang. Beberapa gadis desa acapkali melirik-lirik ke arah Paksi Jaladara yang tampan, bahkan Joko Keling pun tidak luput dari sasaran beberapa gadis yang ingin kenal lebih dekat.
Mulai detik itulah, nama Jin Kura-Kura berdengung!

“Jadi tinggal menunggu kemunculan pewaris Pengawal Gerbang Barat alias Sang Tanah yaitu Si Harimau Hitam Bermata Hijau dan Pengawal Gerbang Utara alias Sang Batu yang digelari Si Kapak Batu Sembilan Langit,” kata Paksi Jaladara sambil mata elangnya memandang tajam ke arah pertarungan di bawah yang semakin lama semakin mendekati titik puncak.

Tewasnya Jin Hitam di tangan Raja Penidur membuat Raja Pemalas semakin gencar dalam melakukan serangan.
Beberapa kali Gendruwo Sungsang harus jungkir balik menghindari jurus-jurus maut lawan.
Meski ia telah membentengi diri dengan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat merah yang setingkat lebih tinggi dari Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat hitam milik Jin Hitam, namun tetap saja ia harus menghindari benturan Ilmu 'Tapak Tangan Putih' yang digunakan oleh Raja Pemalas.
Andai hanya Ilmu 'Tapak Tangan Putih' saja, tak bakalan ia harus sungsang sumbel menghindari pukulan Raja Pemalas.
Dan celakanya, Raja Pemalas justru menggabungkan Ilmu 'Tapak Tangan Putih' dengan Ilmu gaib ‘Sangkakala Braja'!

Wutt! Wutt!

Beberapa serangan tapak Raja Pemalas lolos, menyerempet pun tidak.
Sambil tetap berjungkir balik di udara, Gendruwo Sungsang beberapa melancarkan pukulan-pukulan beruntun yang disertai dengan ‘Tenaga Gaib Siluman’ tingkat terakhir, maka terlontar sinar merah membara berbentuk bayangan samar tangan raksasa.
Rupanya, Gendruwo Sungsang berniat mengakhiri pertarungan sehingga tidak segan-segan mengerahkan Ilmu ‘Kepalan Iblis Merah' yang digabung dengan ‘Tenaga Gaib Siluman’.

Debb! Wess!!

“He-he-he, pantas saja namamu Gendruwo Sungsang!” kata Raja Pemalas, “ ... Dengan sungsang-sumbel begitu kau masih bisa memberikan serangan balasan!”

Raja Pemalas dengan masih terkekeh-kekeh sedikit menggeliat ke belakang sambil dua tapak tangannya yang memancarkan cahaya putih menyilaukan bertepuk tangan dua kali.

Plakk!

Pancaran sinar putih semakin menebal dan membesar, lalu dengan sepasang tapak tangan yang terisi gabungan tenaga gaib Ilmu ‘Sangkakala Braja’ dan Ilmu ‘Tapak Tangan Putih’ tingkat lima belas didorongkan ke depan dengan lambat-lambat.

Sett! Sett!!

Tanpa bisa dihindari lagi, Ilmu ‘Kepalan Iblis Merah' bentrok dengan Ilmu ‘Tapak Tangan Putih' di tengah udara kosong!

Duasshh!! Cesss ... !!

Kali ini tidak terdengar suara dentuman keras seperti yang sudah-sudah, justru yang terdengar adalah suara desisan lembut seperti besi panas yang dicelupkan ke dalam air dingin.
Suara desisan tetap terdengar seperti sebelumnya dan sinar merah membara terlihat saling dorong dengan sinar putih menyilaukan.
Adakalanya sinar merah membara itu berhasil mendesak mundur sinar putih, tapi tak lama kemudian berganti posisi dimana sinar putih sedikit dengan sedikit berhasil menekan sinar merah membara. Adu tenaga dalam pun terjadi di tempat itu.
Lengah sedikit saja, maka nyawa sebagai taruhannya!

Cess! Cess!!

Akan tetapi adu dua ilmu sakti beda alam itu tidak berlangsung lama.
Sedikit demi sedikit pancaran sinar putih yang berasal dari tapak tangan Raja Pemalas berhasil mendesak mundur sinar merah membara yang berasal dari tangan Gendruwo Sungsang.

“Setan belang! Manusia satu ini kedot juga!” pikir Genderuwo Sungsang sambil meningkatkan kekuatan puncak.

Kekuatan setiap makhluk pasti ada batasnya, demikian juga dengan sebangsa mahkluk halus.
Dari ubun-ubun kepala Gendruwo Sungsang mengeluarkan kepulan asap putih kemerah-merahan sama halnya dengan ubun-ubun Raja Pemalas juga mengepulkan asap putih tipis bergulung-gulung.
Rupanya kakek pemalas itu pun sudah sampai pada ambang batas kekuatan yang dimilikinya, kini yang bisa dilakukan adalah mempertahankan kekuatan agar tetap bisa mendesak lawan meski sedikit demi sedikit.

Dan pada akhirnya ...
Sinar merah membara semakin terdesak, hingga keringat sebesar biji-biji jagung terlihat menetas dari pelipis Gendruwo Sungsang. Bagi makhluk halus sejenis gendruwo ini, pertarungan terberat dan terlama adalah yang dialami sekarang!

Melihat kekuatan lawan tinggal satu tarikan napas, dengan mengambil resiko tinggi kehilangan nyawa, Raja Pemalas menghentakkan sepasang tapak tangannya diikuti dengan teriakan keras.

“Huppp ... Heyyaaaaa ... !”

Bagai dibantu tangan-tangan tak kasat mata, pancaran sinar putih mendadak berubah bentuk membesar menjadi lima kali lipat dari ukuran sebelumnya dan menabrak langsung tangan Gendruwo Sungsang yang masih berusaha mempertahankan Ilmu ‘Kepalan Iblis Merah’!

Duashhh!! Bhlarrr!!

“Ahhhhhh ... !!!”

Diiringi dengan jeritan menyayat, raga Gendruwo Sungsang meledak. Hancur berkeping-keping menjadi serpihan daging halus, di saat menyentuh tanah, berubah menjadi asap dan hilang disapu angin.

Akhirnya dua senopati tangguh Istana Dasar Langit di alam gaib hancur musnah di tangan manusia!

Raja Pemalas pun langsung ambruk pingsan ke tanah. Darah terlihat mengalir keluar dari sembilan lubang di tubuhnya, bisa dipastikan luka dalam yang dialami teramat sangat parah.
Kemungkinan butuh waktu bertahun-tahun untuk pulih kembali.

Raja Penidur langsung menyongsong tubuh Raja Pemalas, dibawanya ke pinggir arena berdekatan dengan dua orang dari Perguruan Karang Patah yang telah terluka terlebih dahulu akibat melawan Pasukan Mayat Bumi. Tanpa membuang-buang waktu, tangan Raja Penidur melakukan beberapa totokan di beberapa tempat di tubuh Raja Pemalas diikuti dengan mengalirkan tenaga dalamnya untuk memperingan luka dalam sang karib setelah sebelumnya memasukkan obat pulung warna hitam sebesar tahi kambing ke dalam mulut Raja Pemalas.

-o0o-
 
Bab 30

"Gila! Dua senopati telah tewas!" pikir Kucing Iblis Sembilan Nyawa sambil berjumpalitan menghindari serangan tombak di tangan Nawala.
"Aku harus pergi dari tempat ini!"

"Kucing garong! Lebih baik kau menyerah saja!" kata Nawala sambil memutar tombak panjang setengah lingkaran untuk menepis serangan pedang dari perempuan berbaju ketat hitam-hitam itu.

Syutt!

Bagai ular yang menempel di pohon, ujung tombak tahu-tahu telah mematuk tangan kanan yang menggenggam pedang.

Crepp!

Ujung mata tombak menusuk dalam hingga tembus ke pergelangan tangan dan tanpa bisa di cegah, pedang di tangan kanan si Kucing Iblis Sembilan Nyawa jatuh diikuti dengan suara kerontangan.

Klangg!

Nawara yang saat itu masih melesat ke atas, tidak menyia-nyiakan kesempatan emas yang diciptakan saudara kembarnya.
Wanita cantik berbaju putih-putih dengan sulaman rajawali langsung menukik ke bawah dalam gerak jurus 'Rajawali Emas Mengincar Kelinci' digabung dengan jurus 'Pedang Menari Diantara Kumpulan Rajawali'!

Syutt! Sratt!

Hawa pedang segera mengepung ruang gerak Kucing Iblis Sembilan Nyawa yang masih terpana dengan tusukan tombak Nawala.

Cras! Crass!!

Tanpa sempat menghindar, tubuh wanita sesat itu segera tercacah rapi menjadi puluhan bahkan mungkin ratusan potong. Sampai-sampai potongan tangan kanan masih tertusuk di ujung tombak Nawala.
Waktu saat tertusuknya tangan kanan dengan serangan mematikan Nawara hanya sekedipan mata saja.

Crepp! Crepp!

Nawala segera menari-narikan ujung mata tombak melakukan beberapa kali gerakan menusuk di antara potongan-potongan tubuh Kucing Iblis Sembilan Nyawa yang hampir meluruk jatuh ke tanah.

Blukk! Bluuk!

Seperti yang sudah diduga sebelumnya, potongan tubuh Kucing Iblis Sembilan Nyawa bergetar keras, kemudian secara aneh dan sulit diterima dengan akal sehat, potongan tubuh kembali menyatu, utuh seperti sediakala.
Itulah salah satu ilmu andalan yang dimiliki oleh murid Ratu Siluman Kucing yang bernama Ilmu 'Rawa Rontek'!

"Hi-hi-hik, dasar cah gemblung! Ribuan kali kau cacah tubuhku, maka ribuan kali pula tubuhku akan kembali seperti sediakala!" ucap Kucing Iblis Sembilan Nyawa sambil terkekeh-kekeh.

"He-he-he! Nawara, rupanya otak kucing kecil ini sudah karatan! Mau mampus saja masih pentang bacot!" timpal Nawala.

Nawara langsung mendekati Nawala yang masih berdiri dengan tombak tegak di tangan kanan, sambil berbisik pelan,
"Nawala, bagaimana ini? Kalau begini terus kita pasti kelelahan menghadapi dia? Sudah delapan kali kita ... "

"Tenang saja! Kali ini kucing jelek itu pasti mampus!" kata Nawala dengan suara agak keras.

Hal ini memang disengaja agar terdengar oleh lawan yang saat itu masih tertawa terbahak-bahak, bahkan tawanya semakin keras mendengar perkataan pemuda yang paling dibencinya.

"Kenapa kau begitu yakin?" tanya Nawara pelan.

"He-he-he, lihat saja di ujung Tombak Ekor Nagaku!" kata Nawala sedikit keras.

Nawara dengan sedikit terheran-heran mendongak ke atas, bahkan Kucing Iblis Sembilan Nyawa merasakan sesuatu getaran aneh pada tubuhnya pun ikut-ikutan memandang ujung tombak yang di pegang Nawala.

Empat pasang mata melotot sesuatu yang tertancap ujung Tombak Ekor Naga, ternyata selain potongan tangan kanan sebatas pergelangan, terdapat pula sebuah benda warna merah hati dan merah tua yang masih berlumuran darah tertusuk seperti sate.

Yaitu ... hati dan jantung!

Tawa Kucing Iblis Sembilan Nyawa berubah menjadi jeri kengerian!

"Kapan ... Bocah keparat itu menusuk jantung dan hatiku? Celaka dua belas!" pikir Kucing Iblis Sembilan Nyawa kebat-kebit,
"Dalam dua puluh kali tarikan napas, aku harus bisa mendapatkan bagian jantung dan hati itu kembali!"

"Kucing garong! Sekarang apa yang bisa kau lakukan tanpa jantungmu?"

Sambil menghela napas panjang, "Bocah tampan, kau menang! Kembalikan jantung dan hatiku, cepat!"

"Eee ... yang memberi perintah seharusnya itu aku, bukan kau! Atau apa kau mau benda busuk ini aku berikan pada anjing liar, hah!" gertak Nawala sambil memutar-mutar tombak di tangan kanan.

Tubuh wanita pemuja kucing tampak mengkerut menahan sakit, di tambah ancaman pemuda bertombak panjang itu semakin membuat tubuhnya menggigil.

"Ja ... jangan ... aku ... mohon ... " terbata-bata wanita sesat itu saat berkata.
"Berikan ... Cepat berikan padaku!" Lanjutnya sambil duduk demprok ditanah.

Ini adalah untuk pertama kali dalam hidupnya, ia meratap-ratap minta ampun selain itu sisa waktu yang dimilikinya semakin sedikit, kurang lebih tinggal sepuluh sebelas tarikan napas lagi.
Jika lebih dari itu, bisa dipastikan ia akan abadi di alam kematian!

Tiba-tiba, dari arah kegelapan malam, melesat cepat sesosok bayangan putih, dimana bayangan putih itu langsung melompat tinggi ke atas melewati ujung mata Tombak Ekor Naga yang berada di genggaman tangan Nawala.

Pemuda itu kaget bukan main!
Namun sebagai pemuda yang telah terlatih olah kanuragan tentu memiliki daya refleks yang tidak perlu diragukan lagi.
Dengan kecepatan sulit diikuti mata, Nawala segera menarik tombak memutar ke samping.

Swesshh!

Tetap saja sosok bayangan putih berhasil melompati ujung tombak dan kini berada sepuluh langkah dari belakang Nawala.
Pemuda itu segera membalikan badan setelah sebelumnya melihat pada ujung tombaknya tidak terdapat lagi jantung dan hati milik Kucing Iblis Sembilan Nyawa, yang tersisa hanyalah potongan tangan kanan.

Ternyata sosok bayangan yang melompati ujung Tombak Ekor Naga adalah seekor harimau besar berbulu putih!
Mulutnya terlihat mengunyah-ngunyah sesuatu yang bisa dipastikan adalah jantung dan hati manusia.
Bagaimana pun juga binatang tetaplah binatang, tidak bisa melewatkan begitu saja daging mentah yang terendus oleh hidungnya.

"Harimau putih ... ?" gumam Nawala kaget.

Nawara mengamati bentuk harimau berbulu putih dengan seksama, meski terlihat tenang tapi tidak bisa menyembunyikan kebuasan yang terpancar dari mata si raja hutan.

"Ini ... harimau liar atau ada orang yang memeliharanya?" kata Nawara dalam bentuk tanya.

"Entahlah ... " sahut Nawala, lalu sambil menoleh pada lawannya yang masih duduk berlutut, ia berkata,
"Kucing sial! Tampaknya umurmu habis pada malam ini saja. Maaf aku tidak bisa membantumu."

Dengan terengah-engah, Kucing Iblis Sembilan Nyawa berusaha berkata,
"Heh ... hh ... jik .. ka bukan ... karen ... na perbu ... atanmu ... akhu ... "
Sampai disini saja, sepasang mata Kucing Iblis Sembilan Nyawa melotot liar, lidahnya menjulur-julur keluar seolah sedang berusaha mempertahankan sesuatu, namun akhirnya dengan sentakan keras, tubuh wanita sesat itu luruh ke tanah, sambil berkelojotan seperti ayam habis disembelih. Sebentar kemudian, ia diam.
Mati!

Sepasang Naga Dan Rajawali saling pandang.
Tidak pernah disangkanya bahwa wanita sesat pemuja Siluman Kucing itu harus mati merana tanpa memiliki jantung dan hati.
Sambil menghela napas panjang, Nawala meraih potongan tangan yang masih tertancap di ujung tombak dan melepasnya dengan gerak pelan.
Lalu beranjak mendekati sosok kaku si wanita berbaju hitam ketat.

Setelah berada dekat, ia meletakkan potongan tangan sambil berjongkok, lalu berkata, "Ini tanganmu aku kembalikan.
Andai dewata menakdirkan dirimu menitis kembali, jadilah wanita biasa saja. Jangan jadi kucing!"

Sedangkan Nawara mendekati pedang yang tadi digunakan oleh Kucing Iblis Sembilan Nyawa.

"Hemm, ini pedang pusaka. Entah darimana ia mendapatkan pedang sebagus ini.
Heh, sayangnya sudah dilumuri dengan racun," keluh Nawara sambil mengamat-amati pedang bergagang kepala rajawali bertolak belakang yang kini berada di genggaman tangannya.
Lalu ia merogoh ke dalam saku baju sebelah kiri.

"Semoga dengan bubuk penawar racun ini bisa menetralkan racun yang ada di bilah pedang."
Bilah pedang diletakkan di atas tanah, lalu ditaburi dengan bubuk berwarna kuning gading berbau harum bunga. Terdengar suara desisan nyaring saat bubuk penawar racun menyentuh bilah pedang, lalu diikuti keluarnya asap berwarna abu-abu pekat berbau busuk.

Bwushh ... !

Sampai pada lima helaan napas, asap abu-abu semakin memudar, bau busuk makin menipis dan lima helaan napas berikutnya hilang sirna, yang tersisa hanyalah kepulan asap warna kuning temaram disertai bau harum bunga. Warna pedang yang semula hitam abu-abu berubah menjadi hijau kekuning-kuningan, bahkan terlihat jelas aura pedang yang menyelimuti bilah pedang.
Menyala terang di malam hari!

"Bagus!" seru Nawara dengan gembira.

Pedang bergagang kepala rajawali segera dimasukan ke dalam sarung pedang, setelah sebelumnya sarung pedang dilepaskan dari punggung mayat Kucing Iblis Sembilan Nyawa.

"Nawara, lebih baik pedang itu kau yang simpan saja!"

"Aku juga berpikiran begitu ... Tapi bagai dengan pedangku sendiri?"

"Gampang! Pedangmu kan hanya terbuat dari baja, meski baja pilihan tapi bukan pedang pusaka seperti yang kau pedang sekarang ini. Suatu saat bisa saja pedangmu itu patah."

"Benar juga katamu! Baiklah kalau begitu!" ksata Nawara pada akhirnya setelah termenung beberapa lama.

Mata naga Nawala mengedar ke sekitar, dan akhirnya terpaku pada pertarungan antara Bidadari Berhati Kejam yang bersenjatakan Pedang Pusaka Besi Kuning yang dibantu oleh Wanengpati yang saat ini telah menggunakan Keris Kiai Wisa Geni di tangan kanan sedang tangan kiri melancarkan jurus '108 Cakar Perpooh Sukma' untuk menghadapi Ratu Siluman Kucing yang telah menjelma menjadi seekor kucing raksasa.

Beberapa bagian tubuh dua tokoh sakti itu terlihat mengeluarkan darah segar akibat cakaran lawan.
Meski dikeroyok dua orang pendekar, akan tetapi kucing jejadian itu masih terlihat tangguh, bahkan terdesak pun tidak. Beberapa kali Bidadari Berhati Kejam harus mengumpat sambil jungkir balik menghindari sabetan ekor kucing raksasa itu.
Pada saat jungkir balik itulah, harimau berbulu putih masuk ke kancah pertarungan, bukan menyerang nenek pemarah atau pun Wanengpati si dalang muda, tetapi justru menyerang kucing hitam raksasa dengan terkaman tinggi.

Graauwh!!

Ratu Siluman Kucing kaget mendapati serangan yang tidak diduganya, bahkan untuk menghindar pun sudah sulit sekali. Tubuh harimau berbulu putih memiliki tinggi dan besar yang hampir sama dengan sosok kucing hitam raksasa, tentu saja bobot puluhan kati langsung menghantamnya dengan suara keras.

Bukk!

Terlihat gigi harimau yang besar dan kuat menancap dalam-dalam di leher Ratu Siluman Kucing, yang berusaha keras melepaskan diri dari gigitan harimau berbulu putih.

Dua makhluk beda jenis dan beda bentuk saling berguling-guling di tanah diikuti dengan suara gerengan kucing dan auman harimau.

Miaauww, miaauww ... !! Graauwh!!

Pesona pertarungan telah berubah dan tersisa dua arena saja.

Di sisi barat terlihat berkutat seru antara Setan Nakal yang mengandalkan Ilmu 'Api Neraka Biru' yang sekarang telah digunakan hingga tingkat sembilan dengan lawan tanding gadis cantik dari Jurang Tlatah Api yang mengandalkan Kipas Naga Sutera Merah disertai dengan hawa tenaga berbentuk naga merah yang berasal dari pengerahan 'Tenaga Sakti Naga Langit Timur'.

Sedang di sisi tenggara terjadi pertarungan hidup mati antara Ratu Siluman Kucing yang telah menjelma menjadi kucing hitam raksasa dengan seekor harimau berbulu putih yang entah darimana datangnya, langsung terjun ke dalam kancah pertarungan menggantikan pertarungan yang sebelumnya diawali oleh Bidadari Berhati Kejam yang kemudian dibantu oleh Wanengpati.
Meski dikeroyok dua orang, tetap saja mereka keteter.
Tusukan Keris Kiai Wisa Geni dan Pedang Pusaka Besi Kuning bagai menyentuh tembok baja saat berhasil menyentuh bagian tubuh dari lawan.
Bidadari Berhati Kejam langsung menyeret tubuhnya, sambil menotok beberapa kali untuk menghentikan pendarahan, demikian halnya dengan Wanengpati. Tubuh pemuda berbaju dalang terlihat cakaran panjang di bagian dada dan punggung, meski tidak terlalu parah, namun saja pedih sangat mengganggu saat ia mengerahkan jurus-jurus silat.

"Biarkan saja dua kucing itu saling cakar-cakaran sendiri. Syukur-syukur dua-duanya mampus," gerutu Bidadari Berhati Kejam sambil menyarungkan Pedang Pusaka Besi Kuning.

"Jangan begitu, Nini! Harimau putih itu telah menolong kita dari maut.
Setidaknya kita wajib berterima kasih padanya." sela Wanengpati.

"Huh, tanpa dibantu olehmu dan harimau sialan itu, aku pasti bisa membereskan kucing tengik itu!" kata Bidadari Berhati Kejam tidak mau terima kalah.

"Sampai kapan? Sampai kau berubah jadi daging cincang, begitu!?" tukas Raja Pemalas yang sudah siuman dari pingsannya.

"Kau ... !?"

"Apa ... !? Mau mengajak berantem? Ayo!" bentak Seru Raja Pemalas sambil berusaha bangkit berdiri.

"Sudahlah! Kalian ini dari dulu tidak pernah akur satu sama lain.
Lalu apa bedanya kalian dengan kucing dan harimau yang saling cakar itu?" cela Raja Penidur sambil bersandar di sebatang pohon.

Bidadari Berhati Kejam hanya mendengus saja.

-o0o-
 
Saran hu.... Jangan terlalu kebanyakan tokoh... Nyambungin nya rada susah n adak lupa... Maklum masih celeron otak nya... Hehehehehehe...:D
 
Cersil yg KEREN

Kangen genre cersil
Pasca Kho Ping Ho wafat, selesai pula pengarang cersil berkualitas.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd