Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XVII. Tuduhan Buta


Sabtu malam itu kami semua duduk di ruang tamu setelah sore harinya aku mengajak mereka berjalan-jalan mumpung cuaca cerah. Yang jadi tujuanku sebenarnya adalah agar Agnes dan Jenni terbiasa dengan keberadaan satu sama lain. Yang pasti aku berhasil, kecanggungan mereka mencair dan saat kami sampai di rumah, mereka berdua sudah akrab dan kompak, sekali lagi aku merasa dikeroyok, tapi aku senang untuk itu.

Aku merasa sekarang sudah waktunya untuk mengklarifikasi soal apa yang sedang dicurigai oleh Agnes. Tapi sebelum aku mulai, aku dengar telepon berdering dan ternyata itu dari Hasan.

"Errik," katanya, "Apa aku bisa mempercayaimu untuk menyimpan informasi yang akan aku sampaikan? Maksudku benar-benar merahasiakannya, aku bisa dipecat dengan tidak hormat kalau sampai berita ini bocor."

"Ya. Tentu saja," kataku. "Kamu tahu kapan mereka akan bergerak, kan?"

"Bukan aku yang memberitahumu soal ini, ngerti?"

"Ya, aku paham."

"Senin jam setengah enam pagi."

"Senin bukannya hari libur? Bukannya kalian kekurangan orang?"

"Ya, sengaja agar mereka ga menyangkanya. Kemungkinan besar mereka ga akan kemana-mana."

"Oke. Apa untuk semua?"

"Ya, semuanya, semua di waktu yang bersamaan, lalu dikirim ke kantor yang berbeda-beda. Kami sudah dapat surat perintahnya."

"Terima kasih, Hasan."

Dia memutus sambungan telepon.

Aku tahu aku ga boleh memperingatkan Ana, Agnes atau adik-adiknya, tapi Agnes harus ada di rumah itu sejak Minggu malam untuk mendampingi ibunya, menenangkan adik-adiknya. Aku ga tahu metode apa yang akan dipakai polisi. Mereka bisa masuk paksa dan berlari atau berteriak di seluruh rumah untuk memberi efek kejutan, atau mengetuk pintu dengan sopan dan menunggu dibukakan pintu, tapi mengingat ini adalah kasus percobaan pembunuhan dan dilakukan secara serentak, aku merasa cara pertama lebih besar peluangnya untuk dipakai. Aku memutuskan untuk bertanya pada Agnes seperti apa keadaan di rumah itu.

"Agnes," kataku, memecah keheningan di antara kami saat kami nonton acara TV yang ga jelas, "Gimana keadaan disana sejak pertemuan aku dan ibumu?"

Dia langsung menjawab tanpa ditanya dua kali.

"Nah, begitu sampai di rumah, Ibu cerita ke Om Hadi kalau dia habis ketemu dengan Ayah, dan cerita bahwa Ayah mengalami kecelakaan yang mengerikan. Ibu bilang padanya semua yang Ayah ceritakan padanya. Lalu dia memutuskan untuk membatalkan pernikahan itu.

"Itu membuat mereka mulai bertengkar. Ibu bilang bahwa kalau dia tahu apa yang sudah terjadi padamu, dia ga akan memberi kesempatan Hadi hadir di rumahnya, apalagi di tempat tidurnya. Hadi terus bilang bahwa Ayah adalah masa lalu, dan bahwa Ibu sudah janji padanya. Perdebatan mereka terus berlanjut. Aku pergi tidur. Adik-adik juga sudah di kamar, walaupun Leo masih dengerin musik.”

Agnes terus melanjutkan ceritanya sampai hari Jumat pagi saat Adrian datang ke rumah mereka. Dia bilang Ibunya dan Adrian membahas tentang apa yang sudah kukatakan saat aku menemui Ana malam sebelumnya.

“Mereka penasaran kenapa Ayah baru bilang semua ini dua hari menjelang pernikahan dilaksanakan, dan Om Adrian menawarkan dia akan coba cari tahu apa alasan Ayah melakukan itu, jadi aku bilang padanya aku akan ikut menemui Ayah. Karena itu kami kesini kemarin.



"Saat kami pulang kesana, Om Hadi lagi keluar dan Ibu mindahin barang-barangnya ke kamar satunya. Jadi sepertinya kehidupan percintaan mereka sudah berakhir. Aku tanya kenapa, dan Ibu bilang dia ga bisa bersama Om Hadi saat tahu Ayah masih ada. Sejauh ini setelah kalian bertemu, Ibu merasa masih jadi istrimu, Ayah. Dia bilang berkali-kali kalau menceraikanmu adalah kesalahan besar.

"Lalu Om Adrian cerita ke Ibu semua yang Ayah ceritakan pada kami kemarin. Dia menyampaikannya semuanya persis seperti yang Ayah bilang, dan kenapa alasanmu menemuinya begitu mepet dengan pelaksanaan pernikahan, ya yang soal polisi dan soal Ibu ga mau bicara denganmu. Akhirnya Ibu bilang dia senang karena tahu yang sebenarnya, dia akan merasa berdosa kalau dia sudah menikah dengan Om Hadi lalu baru tahu ternyata selama ini dia sudah salah sangka pada Ayah.

"Om Adrian juga menyebutkan tentang surat yang Ibu terima, dan betapa ga masuk akal kalau Ayah yang menulisnya. Apa Ayah tahu dia mengambil kertas yang sudah Ayah tanda tangani sebagai contoh kemarin? Nah, dia menunjukkannya ke Ibu untuk membuktikan tanda tangan di surat itu bukan tanda tanganmu. Ibu jadi termenung setelah itu.

"Lalu Om Adrian pulang dan Ibu meneruskan pindahan dari kamar Hadi. Menurutku Ibu ga mengizinkan dia menyentuhnya lagi sejak malam itu, jadi aku ga tahu kenapa dia masih di tempat tidur sampai siang, mungkin dia lagi masturbasi."

Jenni mendengus tertawa dan langsung meminta maaf.

"Agnes!" Aku ga bisa menutupi kekagetanku, aku membuka mulut beberapa kali, tapi ga tahu harus bilang apa, hanya menatapnya sampai dia tersipu malu, dia menghela nafas panjang, lalu tertawa sendiri.

"Maaf Ayah, tapi aku sekarang sudah dewasa, aku tahu tentang cowok dan hal semacam itu." Katanya sambil tersenyum.

Senyumannya akan menaklukkan banyak hati anak laki-laki atau mengobarkan nafsu mereka. Senyum indah yang muncul ketika dia tertawa.

"Ayah, mau ngomong apa sih?"

"Jadi, gimana caranya kamu tahu soal cowok'? Pengalaman pribadi? Eksperimen?"

Dia mengangkat kedua tangannya ga berniat menjawab pertanyaanku dan aku tersenyum menyerah, aku ga akan memaksanya. Semua orang akan selalu menganggap anak perempuannya masih terlalu muda untuk tertarik pada anak laki-laki. Aku melirik ke arah Jenni, dan aku melihat senyuman terlebar yang pernah kulihat di wajahnya. Aku tahu dia senang aku percaya pada putriku sendiri, tahu bahwa dia ga akan melewati batas. Jenni punya pengalaman dengan ayah yang keras dan aku ga berencana menjadi ayah yang seperti itu untuk Agnes.

"Terus,“ kataku. "Gimana setelah Hadi pulang?"

Agnes lalu menceritakan bahwa Ana dan Hadi bertengkar, pertengkaran hebat yang akhirnya membuat Agnes pergi dari rumah. “Dia mau tahu kenapa Ibu menolaknya. Apa salahnya? Nah, Ibu bilang dia seharusnya tahu apa kesalahannya sendiri dan Ibu ga perlu memberitahunya.

"Ibu juga bilang padanya kalau dia sudah pindah ke kamar satunya. Aku yakin hubungan mereka sudah selesai. Saat aku membereskan koper, aku bisa dengar nada suara mereka makin tinggi. Om Hadi terus-menerus bilang kalau Ayah sudah merusak hubungan mereka yang indah, dan ga habis pikir kenapa Ibu mau dengan seorang pria cacat, maaf Ayah, tapi itu yang dia bilang, sedangkan Ibu punya laki-laki sehebat dia disampingnya. Kali ini aku harus tertawa. Dia orang yang membosankan! Ibu juga merasa begitu dan bilang padanya kalau Ayah sepuluh kali lipat lebih baik dari Om Hadi. Lalu dia membantah dengan bilang kalau memang begitu, kenapa dia bisa puas di tempat tidur bersamanya.

"Ibu mengingatkannya kalau kami ada di rumah dan kami anak-anak bisa dengar kata-katanya, dan nyatanya kami memang bisa dengar. Kami ga dengar yang Ibu bilang setelahnya karena jelas dia memelankan suara, tapi Om Hadi tetap teriak dan mengatakan apa yang dibisikkan Ibu sebagai kebohongan, karena dia tahu Ibu sangat puas. Lalu ada keheningan, diikuti dengan gumaman. Mereka ada di ruang tamu waktu itu dan aku sudah selesai berkemas, jadi aku meninggalkan catatan itu di dapur dan keluar dari rumah itu."

Perasaanku campur aduk mendengar semua itu, marah, malu karena mereka membicarakan hal-hal tempat tidur di dekat anak-anak, dan juga aku yakin ada perasaan sedih memikirkan semuanya, tapi sebelum itu ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan dibanding memikirkan perasaanku, juga apa pengaruh semua cerita itu pada Jenni yang juga ikut mendengarkan dengan saksama.

Aku harus mencari cara untuk membuat Agnes mau kembali ke rumah itu, agar bisa memberi dukungan pada ibunya saat badai menghantam rumah itu Senin besok. Itu artinya dia harus tahu segalanya - selain pengerebekan polisi tentunya.

"Wah, Agnes," aku menghela napas, "Sungguh kacau suasana disana."

Dia ga bilang apa-apa. Ada keheningan. Kedua wanita itu menunggu komentarku dan kalimat sebelumnya jelas ga cukup untuk mereka.

"Agnes," lanjutku. "Kamu boleh menginap malam ini, tapi aku mau kamu besok pulang kesana."

Aku melihat dia akan memohon agar diijinkan menginap lebih lama, jadi aku meneruskan tanpa menunggunya berkata apapun.

"Dengarkan Ayah. Aku mau bilang sesuatu dan setelah aku selesai nanti kamu akan paham kenapa aku minta kamu pulang besok. Tapi sebelum itu sekali lagi aku harus minta supaya kamu ga cerita ke Ibumu atau adik-adikmu, dan terutama ke Hadi, jangan ada yang sampai bocor. Masih ada yang belum bisa kuceritakan ke kamu. Ayah sudah janji ke Om Hasan, kamu tahu kan dia Polisi, dan keberlangsungan pekerjaannya tergantung pada aku menepati janji itu. Kamu janji akan merahasiakan apa yang akan kuceritakan?"

"Ya, Ayah," katanya dengan nada pasrah, "Ya, aku janji."

Aku pura-pura ga dengar nada jengkel saat dia berjanji.

"Kamu ingat aku cerita ke Adrian soal laki-laki berbaju coklat di foto?"

"Ya," katanya ga sabar.

"Nah, namanya Iwan dan dia mengaku ke kami kalau dia dibayar tiga puluh juta untuk membuntuti aku, dan setelah itu melapor ke beberapa orang laki-laki lain. Di salah satu foto yang diperlihatkan Tris ke Ibumu adalah foto aku pergi meninggalkan stasiun bersama dengan Iwan itu.

"Iwan cerita dia sengaja berbohong dan memancingku untuk masuk ke mobil jemputan dari klienku, mobil sedan warna merah. Empat jam setelahnya tiga orang naik mobil sedan merah membuang tubuhku di sebuah tempat pembuangan sampah di Semarang.

"Ibumu ditunjukkan empat foto yang menunjukkan aku dengan tante Emma, sepupuku dari Singapore, tapi ga ada satu foto yang menunjukkan aku bertiga dengan sepupuku dan suaminya atau foto saat aku meninggalkan stasiun bersama Iwan.

"Pengemudi dan pemilik mobil merah itu adalah salah satu pegawai Hadi. Dua lainnya juga orang yang kerja dengan Hadi. Mereka bertiga itu pamer ke Iwan kalau mereka masing-masing dibayar seratus juta 'untuk pekerjaan itu'. Ada yang bilang ke mereka kalau aku mau ke Surabaya dan mereka merencanakan pembunuhan itu."

Aku ga perlu bicara lebih banyak lagi. Agnes sudah kelihatan ketakutan. Akhirnya dia bicara, suaranya bergetar.

"Ayah, aku takut. Apa maksud Ayah, Om Hadi mencoba membunuhmu?"

"Tidak, bukan gitu, Sayang. Aku ga tahu peran apa yang dia punya di kasus ini. Dari semua yang kalian ceritakan, aku ga merasa kamu atau adik-adikmu dalam bahaya sementara ini karena Hadi. Selama ini dia ga pernah mempedulikan kalian memang, tapi itu lebih baik daripada dia membenci kalian. Kalau memang dia yang merencanakan semua ini, yang aku sendiri belum yakin seratus persen, aku ga tahu dia ingin aku mati untuk mendapatkan Ibumu, atau uangku. Tapi dari perkataanmu lagi, dia sepertinya benar-benar jatuh cinta pada Ibumu, dengan caranya sendiri."

"Cinta? cinta?" dia berteriak. "Dia ga tahu apa-apa tentang cinta. Dia cuma mau memiliki Ibu. Aku benci dia!"

Keseriusannya membuatku khawatir. Aku mulai ragu apa dia bisa pura-pura ga tahu apa-apa setelah mendengar ceritaku.

"Agnes," kataku pelan, "Sangat penting kamu ga bilang atau menunjukkan apa yang kamu tahu. Senin pagi kamu akan tahu alasannya. Aku mau saat itu kamu ada di sana untuk membantu ibumu."

"Memangnya hari Senin ada apa, Ayah?" tanyanya, memohon padaku dengan tatapannya, sangat ingin tahu.

"Aku mau kamu percaya saja sama Ayah," jawabku serius. "Lebih baik kamu ga tahu. Seperti yang aku bilang, aku sudah janji sama Om Hasan, tapi Ayah janji kalian akan baik-baik saja."

"Kalau gitu, ini ada hubungannya dengan polisi." itu adalah pernyataan yang dia simpulkan sendiri. Dia tersenyum penuh arti dan aku rasa dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Aku berusaha mempertahankan ekspresi datar.

"Satu lagi," kataku. "Kalau kalian punya masalah hari Senin besok, telepon aku. Aku akan bantu sebisaku."

"Oke," katanya, "Aku akan jaga rahasianya, Ayah."

Lalu aku ga ragu lagi dia pasti bisa menjaga rahasia.

"Bagus. Aku akan ada di rumah. Hubungi aku kalau kamu atau Ibu butuh aku."

Aku bangun dan bersiap menyiapkan tempat tidur Agnes di kamar lamanya.

"Waktunya tidur," kataku sambil bangkit berdiri. Jenni sedang mencuci piring dan peralatan masak untuk memastikan semua siap untuk dipakai lagi besok pagi. Agnes tersenyum penuh arti ke arahku sambil melirik Jenni, tapi ga bilang apa-apa. Begitu juga aku yang tetap diam di tempatku.

Ga dapat reaksi apa-apa dariku, dia mengangguk dan naik ke atas. Aku mendengar pintu kamar mandi tertutup. Aku membantu Jenni lalu setelah itu kami menyusul Agnes keatas.

Kami memakai kamar mandi di dalam kamar dan melepas pakaian, aku sengaja masih memakai boxerku. Jenni, telanjang di atas tempat tidur, menatapku penasaran.

"Aku ingat aku selalu mengantarnya sebelum tidur," kataku, merasa agak kekanakan.

"Itu cute banget," Jenni tersenyum.

Aku menunggu, duduk di tempat tidur, sampai aku mendengar Agnes keluar dari kamar mandi dan masuk ke kamar tidurnya. Telanjang dari pinggang ke atas, aku mengetuk pintunya dan dia berteriak menyuruhku masuk. Saat aku memasuki kamarnya. Dia sedang duduk di tempat tidur.

"Fuck!" serunya melihat tubuh dan kakiku.

"Agnes," aku menegur, "Aku ga tahu dari mana kamu belajar ngomong itu!"

Dia tersenyum, "Ayolah Ayah, pasti Ayah sudah pernah dengar yang jauh lebih parah dan begitu juga aku. Aku sudah dewasa sekarang. Tapi badanmu--!"

"Bukan pemandangan yang bagus, kan?" Aku menyambung sambil tersenyum, "Plat di sini, sekrup dan pin di sana, dan aku yakin kamu ga pernah lihat koleksi bekas luka yang lebih banyak."

Dia mulai menangis, membuatku kaget.

Aku duduk di tepi tempat tidurnya dan membelai wajahnya.

"Jangan menangis sayang. Ga ada yang terlalu sakit lagi, cuma beberapa kali nyeri sesekali."

"Bukan itu," isaknya. "Aku teringat betapa tampannya Ayah dulu, teman-temanku selalu iri karena aku punya Ayah yang keren."

"Aku masih orang yang sama di dalam tubuh penuh luka ini, Sayang."

"Aku tahu, tapi ngeri pada apa yang Ayah alami. Laki-laki itu!" nadanya penuh kemarahan.

"Lebih baik daripada mati sayangku, dan aku berhasil lolos dari kematian. Jangan khawatir."

"Ibu harus lihat apa yang dilakukan orang-orang itu, dan juga Hadi, apa yang sudah mereka lakukan ke Ayah. Apa Ayah ga mau balas dendam?"

"Aku marah pada apa yang dia lakukan, kalau dia yang melakukannya," kataku sambil merenung. "Aku marah karena Ibu ga mencariku lebih lama. Aku marah karena dia masuk ke dalam hidup kalian dengan cara paksa."

Jenni muncul di pintu dengan jubah mandi yang sangat pendek. Dia kelihatan cantik.

"Lihat ke pintu Agnes," aku menambahkan, "Aku mendapatkan kasih sayang dari dua wanita cantik, wanita luar biasa. Aku punya teman-teman yang luar biasa, tiga di antaranya sudah bekerja sangat keras untuk membantuku mencari bukti siapa yang melakukan ini kepadaku. Aku sudah menemukan sepupu dan keluargaku di Singapore, yang akan aku ceritakan di lain waktu.

"Aku kembali bekerja di kantor dan, sebagian besar karena Jenni, aku bisa bekerja dengan sangat baik. Aku jadi sangat menghargai hal-hal sederhana dan semua kemampuan yang harus aku pelajari lagi. Aku dapat kebebasan, dan cinta dari anak-anakku."

Aku menyibakkan rambut yang menutupi matanya, "Jadi, ga, aku ga mau lagi balas dendam, apa gunanya aku balas dendam?"

Agnes berbisik, lebih kepada dirinya sendiri, "Dan aku tahu Ibu juga mencintai Ayah."

Aku sebenarnya ga memperhatikan komentar itu. Jenni yang memberitahuku setelahnya

Aku merenungkan lagi kata-kataku tadi, dan memikirkan banyak hal sebelum menambahkan, "Yang sebenarnya aku mau, sayang - aku ingin keadilan. Mereka berbuat salah dan harus dihukum. Mereka harus belajar bahwa mereka sudah melakukan perbuatan yang jahat."

Agnes mengangguk. Jenni datang mendekat dan duduk di tempat tidur, meraih lenganku.

"Kamu lihat Agnes," katanya, "Ayahmu selalu melihat sebuah gelas yang setengah penuh, bukan setengah kosong. Itu artinya dia orang yang optimis. Banyak orang ga sadar apa yang mereka punya sampai mereka kehilangan semua. Ayahmu menghargai apa yang dia punya, karena dia hampir kehilangan semuanya."

Agnes memelukku.

"Ya sudah, selamat malam sayang, mimpi yang indah," kataku.

"Ayah dulu selalu bilang itu tiap malam," bisik Agnes, saat aku mencium keningnya dan Jenni memeluknya.

Lalu aku dan Jenni berjalan keluar.

"Jangan terlalu berisik," Agnes berseru saat kami menutup pintu.

Aku berhenti, tapi Jenni terkikik dan menarikku pergi dan kembali ke kamar tidur kami. Setelah itu kami berusaha supaya ga berisik.

Kami gagal.

Minggu pagi semua berjalan normal. Aku cerita ke Jenni soal apa yang akan terjadi Senin pagi besok. Agnes tidur sampai siang dan saat dia akhirnya muncul, kami keluar untuk makan siang sebelum mengantarnya pulang. Kami berhenti di depan gerbang rumah Hadi dan Agnes turun dari mobil. Saat dia mengambil kopernya dari kursi belakang, Ana berjalan keluar dari pintu depan rumah. Dia mendekati jendelaku dan aku menurunkannya.

Dia melihat Jenni, dan ekspresi bingung terlintas di wajahnya, dan ada ekspresi lain yang ga bisa ku tebak.

"Terima kasih karena sudah mengantarnya balik, Errik."

"Santai saja," jawab aku. "Aku rasa kamu akan lebih tenang kalau dia ada di rumah bersamamu."

"Kamu baik sekali," dia melirik Jenni yang tersenyum padanya.

Dia seperti mau bilang yang lain, tetapi berubah pikiran. Aku berpikir apa mungkin karena ada Jenni sehingga dia mengurungkan niatnya.

"Nah," katanya singkat. "Sekali lagi terima kasih."

Dia berbalik dan pergi, menarik salah satu tas Agnes saat dia berjalan kembali ke rumah.

"Sampai jumpa, Ayah," kata Agnes, memasukkan kepalanya melalui jendela yang terbuka untuk menciumku.

"Bye. Ingat - telepon kalau kamu butuh bantuanku untuk besok, apa saja."

Dia mengangguk dan meraih tas miliknya yang satu lagi lalu berjalan mengikuti ibunya.

Kami kembali ke rumahku dalam diam. Aku punya kesan bahwa Jenni, seperti juga Ana tadi, ingin bilang sesuatu, tapi dia menyimpannya dalam diam.

Ketika akhirnya dia berkata sesuatu, perseptif seperti biasa, yaitu bahwa Senin aku pasti ga masuk kerja, karena memang tanggal merah. Tapi dia juga merasa hari Selasa aku juga ga akan masuk kerja, karena itu kami menghabiskan sisa waktu sore itu untuk membahas pekerjaan yang masih harus kami lakukan. Aku memerintahkannya untuk menyelesaikan pekerjaan secepatnya supaya bisa ambil cuti hari Selasa. Kami sempat makan malam bersama sebelum dia pulang ke apartmentnnya.

Aku tidur awal malam itu, tiga gelas wiski memastikan aku tidur sebelum jam sembilan malam.

------

Seperti yang sudah kuduga, aku dibangunkan oleh dering telepon pada jam enam lewat empat puluh lima.

"Ayah," Telpon dari Agnes. "Om Hadi dibawa pergi Polisi. Mereka datang kesini sejak satu jam yang lalu."

"Apa kamu ga apa-apa?" tanyaku.

"Ya, ga apa-apa" gumamnya, "Cuma sedikit shock."

"Ibumu?"

"Dia kelihatan linglung, dia dari tadi keliling ke seluruh penjuru rumah untuk berberes. Polisi bikin rumah sedikit berantakan. Mereka mengeledah rumah, aku ga tahu apa yang mereka cari. Mereka mengambil komputer dan laptop Om Hadi juga banyak berkas punya Om Hadi. Ibu ga bilang apa-apa padaku. Seolah-olah ga terjadi apa-apa disini. Sekarang dia lagi siap-siap berangkat kerja."

"Usahain supaya dia ga pergi dan diam dirumah. Mungkin dia lupa kalau hari ini hari libur, ingatkan dia. Dia mungkin sedang shock, ga baik kalau dia keluar rumah, apalagi nyetir mobil."

"Oh ya, polisi bilang mereka akan datang lagi untuk bicara dengan Ibu. Seakan-akan mereka mengira Ibu juga terlibat, Ayah."

"Bisa kamu beritahu dia untuk telpon aku? Kalau polisi datang lagi, dia butuh didampingi. Nanti aku akan hubungi Om Alfon untuk minta tolong."

"Oke."

"Adik-adikmu gimana? Mereka ga ketakutan kan?"

Dia tertawa, "Mereka tidur terus, ga ada satupun yang bangun! Bahkan mereka ga tahu kalau polisi ada di kamar mereka saat mengeledah seluruh rumah."

"Baiklah. Bilang sekalian ke Ibu untuk menghubungiku soal menjaga anak-anak itu sementara."

Kami menutup telepon dan aku turun lalu bikin sarapan. Setelah itu bercukur, mandi, dan ganti baju. Aku sedang berjalan menuruni tangga saat telepon berdering lagi. Ana yang menelepon. Suaranya terdengar datar dan stres.

"Errik, kamu sibuk?"

"Halo Ana, aku ga sibuk, ini hari libur. Apa yang bisa aku bantu?"

"Oh, aku yakin kamu ingin membantu, kan?" bentaknya. "Apa belum cukup yang sudah kamu lakukan?"

"Sejauh yang aku tahu, aku belum melakukan apa pun." Aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Aku cuma memberitahu Agnes untuk menyuruhmu meneleponku. Dia menceritakan apa yang terjadi tadi pagi."

"Ayolah Errik," jawabnya dengan kesal, "Kamu yang mengatur semua ini. Kamu kan yang melapor ke polisi dan membuat tuduhan buta bahwa Hadi mencoba membunuhmu!"

"Bukan."

"Iya!" dia berteriak di telepon.

Aku menjauhkan telepon dari telingaku.

"Kamu mau Hadi kena masalah," dia masih berteriak, "Karena dia mendapatkan aku dan kamu ga bisa."

"Dari mana kamu dapat pemikiran itu?" Aku merasa makin sulit untuk tetap tenang.

"Itu sudah jelas!"

"Itu ngawur! Kamulah yang membuat tuduhan buta padaku. Ga ada sama sekali aku berniat seperti itu. Aku berani sumpah, Ana. Kamu bisa tanya Adrian. Tanya Agnes. Tanya Jeffry atau Alfon, atau Vivi atau Susan. Aku yakin ga pernah lapor polisi secara langsung apalagi menuduh Hadi terlibat dalam kasus pembunuhanku. Selama ini kami hanya berangkat dari kasusku, kasus orang hilang yang kamu dan Hadi sendiri lah yang melaporkan ke polisi, lalu Hasan dan Jimmy sudah mencari bukti dan petunjuk siapa pelakunya, apa yang mereka simpulkan adalah berdasarkan bukti-bukti itu Aku ga pernah bilang apa-apa."

"Bagaimana mungkin aku bisa mempercayaimu?" Dia lebih tenang sekarang.

"Ana, kamu lebih ingat tentang hidup kita bersama daripada aku. Kamu harus ingat-ingat lagi apa aku orang yang suka bohong ke kamu. Aku tahu bahwa aku bilang yang sebenarnya, lagipula aku dapat apa kalau aku sampai bohong? Dan sebenarnya, kamu memang ga harus percaya kata-kataku, dan aku ga terlalu peduli entah kamu percaya atau tidak.

"Dan soal masalah cemburu yang kamu bilang, lagi-lagi aku rasa kamu sudah mengenalku selama dua puluh tahun, dan aku yakin kamu lebih ingat masa itu dari pada aku sendiri. Apakah selama itu aku pernah jadi tipe laki-laki pencemburu? Apa aku pernah ga percaya kamu?"

Diam lama. "Ya, ga pernah."

"Dengar Ana." Aku akhirnya ga bisa menahan diriku lebih lama lagi. "Saat ini aku punya dua wanita luar biasa yang mencintaiku, mereka berdua cantik dan memberikan cinta mereka sepenuh hati padaku. Jadi, kenapa aku harus iri? Kamu sudah melanjutkan hidupmu. Kamu sudah menceraikan aku. Kamu hidup dengan orang lain yang mencintaimu. Kamu bebas dan aku bebas, dan sejauh ini aku menikmati masa-masa kebebasanku, yang sebenarnya ga pernah aku inginkan, ingat itu. Sampai pagi ini, aku berasumsi kamu juga merasa begitu."

"Jadi, kenapa kamu mau bantu aku?" Dia sudah melupakan argumennya tadi, dan sekarang pindah ke pertanyaan yang tulus tanpa tujuan lain.

"Oh, demi Tuhan, Ana, kamu sudah memberikan dua puluh tahun hidupmu untuk menemaniku. Kamu sudah tertipu sehingga mengira aku sudah meninggalkanmu untuk wanita lain. Sekarang kamu sedang dalam masalah. Sekali lagi aku tanya padamu, apa aku tipe orang yang akan berdiri diam dan ga melakukan apa-apa saat kamu butuh bantuan? Kamu ibu dari anak-anak kita. Nah, sekarang apa itu sudah cukup atau kamu masih butuh penjelasan yang lain?"

"Maaf," katanya tiba-tiba. "Kamu benar. Semua yang kamu bilang tadi masuk akal. Selalu begitu," dia terdengar sedih. "Kamu tahu polisi akan datang lagi? Mereka mungkin akan menangkapku karena membantu Hadi."

"Ya, Agnes yang memberitahu aku."

"Aku ga tahu harus berbuat apa."

"Apa kamu mau aku datang kesana? Kamu sepertinya butuh dukungan moral."

"Kamu ga keberatan? Tapi kalau Hadi melihat kamu di sini--"

"Hadi ga akan pulang hari ini, percayalah. Untuk penyelidikan seperti ini, mereka punya waktu setidaknya satu kali dua puluh empat jam untuk menanyainya."

"Jadi, kamu memang tahu soal ini?"

"Ya. Hasan ngasih tahu aku tadi malam, tapi itu inisiatif dari dia sendiri dalam kapasitas sebagai temanku, bukan sebagai seorang polisi, dan aku sudah bersumpah akan merahasiakannya. Dia akan kehilangan pekerjaan kalau aku membocorkan rahasia. Menurutmu kenapa aku suruh Agnes pulang?"

"Jadi kamu bohong!"

"Bukan, Ana, aku ga bohong. Masalah aku sudah tahu soal penggerebekan polisi belum kita bahas dari tadi. Kamu tadi menuduh aku lapor ke polisi. Aku tidak melakukan itu. Walaupun aku tahu soal penggerebekan, bukan berarti aku yang lapor polisi, mereka bahkan belum menemui aku sama sekali. Hasan memang memberi tahu aku, tapi untuk itu dia harus mengambil risiko kehilangan pekerjaannya. Dia tahu aku cuma ingin memastikan kamu dan juga anak-anak aman."

"Oh."

"Jadi, masih mau aku datang?"

"Ya, tolong."

"Aku akan menghubungi Alfon juga. Kalau mereka ingin menangkapmu, kamu akan butuh bantuannya."

"Apa menurutmu mereka akan menangkap aku?"

"Aku ga tahu, tapi kalaupun seandainya mereka cuma menginterogasimu di rumah, akan lebih baik kalau Alfon ada di sana."

"Errik!" Dia terdengar sedikit panik. "Aku ga tahu apa-apa. Kamu harus percaya padaku!"

"Ana, ingatanku tidak lengkap tapi aku yang aku tahu kamu orang yang jujur. Tentu saja aku percaya kamu."

Dia menghela napas cukup keras sampai bisa kudengar.

"Aku akan sampai di sana setengah jam lagi."

Kami menutup telepon dan aku menelepon Alfon di rumahnya. Dia bilang karena hari ini libur, dia bisa langsung ke tempat Ana. Nyatanya dia tinggal ga terlalu jauh.

Aku sampai di sana lebih dulu. Aku mengetuk pintu dan segera saat pintu depan terbuka, aku disambut dengan pelukan oleh tiga anak muda yang mengelilingiku. Aku melihat ke depan dan di ujung ruang tamu besar itu ada Ana yang berdiri memandang kami. Dia tersenyum melihat kami, tapi aku bisa melihat kesedihan terpancar dari pandangannya. Dia tampak ragu untuk mendekat dan ikut menyambutku, jadi aku melepaskan diri dari anak-anak dan mendekatinya. Aku memeluknya dan mencium pipinya. Anak-anak tampak senang melihat itu.

"Jangan khawatir," bisikku.

Air mata muncul di sudut matanya saat dia berbalik dan mengajakku ke dapur, aku meminta anak-anak untuk tetap di ruang tamu dan menunggu Alfon datang.

Seperti ruang tamu, dapurnya juga sangat besar. Aku penasaran apa semua ruangan sebesar ini.

Ana menyadari aku melihat sekeliling dan berkata, "Ya, semuanya juga besar!"

Aku tertawa. "Kamu selalu bisa membaca pikiranku!"

Dia menyiapkan kopi dan setelah itu duduk di hadapanku.

"Aku ga ngerti semua ini," dia memulai dan air matanya mulai menetes.

"Sejujurnya, Ana," aku meyakinkannya, "Sebaiknya memang kamu ga tahu. Kalau aku memberitahumu apa yang aku tahu, itu hanya akan mempersulit posisimu di hadapan polisi saat mereka datang lagi. Saat mereka sudah mencoretmu dari daftar tersangka, yang aku yakin akan mereka lakukan, aku akan memberitahumu semua apa yang aku tahu. Setuju?"

Dia mengangguk.

"Errik," dia terisak, "Aku merasa jauh lebih tenang karena kamu di sini."

Ana tampak merasa bersalah tapi aku mengulurkan tangan ke seberang meja dan meremas tangannya. Dia tersenyum. Lalu aku mendengar suara mobil saat Alfon datang, mendapat salam yang sama sepertiku dari anak-anak, yang sudah berbulan-bulan ga ketemu 'Om Alfon'.

Aku bilang ke Alfon kalau aku ga ngasih tahu apapun ke Ana dan dia setuju itu yang terbaik untuk saat ini. Dia menjelaskan bahwa Hadi dan semua orang lain yang ditangkap akan diperiksa dengan lengkap. Mereka ga mungkin dilepaskan sampai minimal besok pagi kecuali mereka status mereka sudah ditetapkan sebagai tersangka, dalam hal ini mereka akan diproses lebih lanjut untuk menghadapi sidang. Dia juga memastikan bahwa Ana ga akan sampai ditahan, karena setahu dia ga ada bukti yang menyatakan keterlibatan Ana.

Sementara Alfon bertanya tentang masa-masanya bersama Hadi sejak aku menghilang, sambil aku mendengarkan ceritanya, aku punya kesempatan beberapa waktu untuk benar-benar memandangi mantan istriku.

Ana dari dulu dan sampai saat ini jelas adalah seorang wanita yang cantik dengan kecantikan yang masih terjaga seiring usianya yang memasuki kepala empat, kecantikan seorang wanita dewasa yang matang dengan keanggunannya. Rambutnya masih hitam tanpa ada uban yang tampak. Begitu juga ga terlihat kerutan di kulitnya, meskipun lehernya mulai menandakan usianya.

Tulang pipinya yang tinggi memastikan kecantikan wajahnya akan bertahan lama, mata lebar, hidung mancung, serta bibir yang ranum memberinya penampilan klasik yang tak lekang waktu. Saat dia bangkit untuk pergi ke dapur dan menyiapkan ronde kedua kopi untuk kami, aku bisa melihat jelas bahwa selama ini dia terus menjaga bentuk tubuhnya bahkan setelah melahirkan tiga orang anak. Aku dapat sekilas ingatan saat dia berlatih di gym selama berbulan-bulan setelah melahirkan Stefan. Pantatnya kencang, payudaranya besar, pinggangnya ramping dan betisnya seperti dipahat dengan indah.

Aku sangat sadar bahwa pria mana pun pasti akan tertarik padanya, murni ketertarikan pada bentuk fisik seksual, dan saat ada seorang laki-laki yang baru mengalami perceraian akibat rumah tangga yang berantakan, oh ya, sekarang aku ingat bahwa Hadi sering datang ke rumah kami dan menceritakan keluh kesahnya tentang rumah tangganya yang kacau, dan laki-laki seperti dia itu akan rela menyebrangi langit atau dalam kasusnya neraka, untuk mendapatkan seorang wanita seperti Ana.

Aku merasakan sedih dan marah yang mendalam karena Hadi sudah ‘menusuk’ ku dari belakang. Aku ingat mengajaknya ke cafe bersama teman-teman kami dan membiarkannya menginap semalaman saat dia minum terlalu banyak dan ga mau pulang. Ga lama setelahnya, rasa benci itu menyebar ke wanita yang sedang bicara dengan Alfon di meja dapur. Aku melirik ke luar jendela dan melihat setelah pagi yang cerah tadi, sekarang awan hitam bergelayut di langit dan air hujan mengguyur kaca jendela. Menangis untuk hubungan yang rusak, pikirku, agak terlalu mendramatisir suasana.

Aku mendengar Alfon bertanya padanya, kapan awal tepatnya, kapan dan alasan kenapa dia mulai berhubungan dengan Hadi, lalu terkait 'bukti' fotoku dengan wanita lain yang ternyata adalah sepupuku yang dia dapat, lalu berlanjut ke hal yang lebih pribadi. Aku melihatnya melirik sekilas ke arahku, dan dia sadar aku juga sedang mendengarkan ceritanya. Alfon lalu mulai jengkel saat Ana menghindari menjawab pertanyaan itu.

"Ana," katanya tegas. "Aku ada disini untuk membantumu. Polisi ga akan sesabar aku kalau kamu ga mau jujur."

Aku sadar diri lalu bangkit dan meninggalkan mereka, mulai mengelilingi lantai dasar rumah ini. Hadi tentu saja ga tanggung-tanggung merogoh kantongnya untuk melengkapi fasilitas rumah yang dibangunnya. Aku menemukan kolam renang, gym, ruang keluarga lengkap dengan segala peralatan elektroniknya, dan di ruang kerja, aku bisa melihat jelas tempat kosong di mana seharusnya komputernya berada. Lalu aku menaiki tangga dan menemukan kamar tidur utama.

Itu sepertinya langkah yang buruk. Sekarang aku bisa melihat ranjang tempat mereka tidur. Ruangan itu mewah dengan kamar mandi dalam dan lemari pakaian yang besarnya hampir seperti sebuah kamar terpisah. Lemari itu punya banyak pintu yang berbaris dan laci yang berderet dari lantai sampai ke atap dan ditengah-tengah ada meja rias yang menyatu disana.

Yang paling membuatku terpukul bukanlah tempat tidur atau apa yang pernah terjadi di atasnya, tapi meja rias dan lemari itu. Disanalah terangkum kehidupan intim mereka, di depan meja rias, dan lemari besar itu. Aku bisa membayangkan Ana duduk di meja rias sambil memakai riasan, berkeliaran disana hanya memakai pakaian dalam atau gaun tidur, Hadi sepertinya juga memakai tempat itu untuk berkaca atau bercukur. Mereka melakukan semua itu dalam kemewahan semacam itu, tanpa pernah memikirkan aku yang sementara itu bergelut dengan rasa sakit yang luar biasa di rumah sakit. Mungkin aku salah soal itu, setidaknya pada bagian Ana, tapi itulah yang ada di pikiranku saat itu.

"Bikin muak ya kan," kudengar suara putriku. "Dia menukar rumah kita yang indah dan semua kenangannya untuk semua ini... kemewahan yang ga berguna, bodoh!"

Aku berpaling padanya. "Aku pergi dari dapur. Ibumu sedang menceritakan ke Alfon tentang semua kehidupannya yang indah di sini. Dia merasa terganggu oleh kehadiranku! Itu cukup menjelaskan."

Wajahnya jadi muram. "Ayah, aku ingin tinggal denganmu. Aku bisa gila tinggal di sini dengannya. Sial!"

"Nah, soal itu, Sayang, kita nanti harus bicarakan dengan ibumu."

Dia tampak lega. "Ayah, ayo kutunjukkan isi rumah ini. Kamu sudah lihat di bawah?"

Aku mengangguk, dan dia mengajakku keliling lantai dua rumah itu sambil mengandeng tanganku.

Dia menunjukkan kamar tamu. "Ibu sekarang tidur di sini. Kayaknya aku sudah cerita soal itu."

Ruangan itu sederhana dan rapi, sangat mencerminkan penghuninya, dan entah bagaimana itu membuatku merasa baikan, mungkin itu karena kenyataan bahwa Ana menolak pendekatan seksual Hadi padanya.

Dia berjalan masuk ke masing-masing kamar adiknya dengan aku di belakangnya. Leo sedang memakai laptopnya sendiri, dan Stefan mendengarkan sesuatu memakai headphone. Mereka berdua melihatku datang dan tersenyum padaku.

"Agnes," kataku. "Kamu harus mengetuk sebelum masuk ke kamar mereka. Ini ruang pribadi mereka."

"Maaf Ayah," dia tersenyum, "Tapi bilang itu juga ke mereka, terutama Leo, dia sangat penasaran dengan perempuan, aku yakin dia beberapa kali sengaja masuk kamarku untuk melihatku telanjang."

Itu memberiku sesuatu untuk dipikirkan. Anak-anak ini butuh sosok ayah yang akan mendidik mereka. Aku bermaksud menjadi ayah yang seperti itu bagi mereka.

Aku mendengar bel pintu, Aku mengikuti Agnes untuk turun dan melihat Ana mempersilahkan dua orang polisi masuk. Satu seorang polisi laki-laki dengan kepala dicukur bersih tanpa rambut yang memakai jaket kulit dan seorang polwan yang memakai pakaian bebas yang rapi.

"Anda siapa?" tanya polisi laki-laki itu, bertanya padaku saat aku sampai di bawah.

"Aku Errik Riccardson, mantan suami Ana."

Polwan itu menyenggol rekannya.

"Itu dia," katanya, dan aku bisa melihat dia baru sadar kalau kasus penyerangan kepadakulah yang sedang mereka selidiki. Mereka memperhatikanku dengan teliti, dan aku bisa melihat efek rutin dari bekas lukaku pada mereka. Mereka ga komentar apapun tapi langsung melangkah mengikuti Ana ke ruang tengah.

Agnes dan aku mengikuti mereka. Mereka lalu menunjukkan surat perintah untuk membawa Ana ke kantor polisi karena dicurigai menjadi bagian konspirasi untuk penganiayaan dan percobaan pembunuhanku.

Alfon bertanya apa mereka bisa menginterogasinya di rumah, tapi mereka bersikeras membawanya ke kantor polisi.

Ana menoleh padaku dengan ekspresi khawatir.

"Mereka akan membawaku ke kantor Polisi," katanya sambil melirik Agnes.

"Jangan khawatir, Ana," kataku. "Aku akan mengajak anak-anak ke tempatku. Alfon akan memberiku kabar kalau kamu sudah pulang nanti."

Kami punya beberapa saat untuk bersiap-siap. Aku bilang pada anak-anak untuk mempersiapkan perlengkapan untuk beberapa hari, jadi ada cukup banyak barang yang harus diambil. Sementara itu kedua Polisi menunggu dengan sabar ditemani Alfon. Setelah siap kami keluar dan Ana mengunci rumah. Mereka mengizinkan Ana pergi dengan Alfon karena dia bertindak sebagai pengacaranya.

Aku dan anak-anak berangkat lebih dulu, mobilku penuh dengan segala hal yang mungkin dibutuhkan para pemuda untuk hiburan, mainan, juga baju ganti, seragam sekolah dan buku sekolah mereka, serta perlengkapan mandi. Anak-anak laki-laki ngoceh dengan semangat tentang prospek tinggal di rumah mereka lagi. Aku memikirkan apa mereka akan kangen pada ibu mereka, tapi aku senang Agnes akan ada untuk membantuku menenangkan adik-adiknya. Dia sendiri membawa dua koper besar yang berisi barang-barangnya, aku curiga mungkin dia ga ingin kembali lagi ke rumah Hadi, selamanya.



Bersambung...
Makasih updatenya Suhuku @Gentile , ruarr biasahh & istimewahhh
 
IX. Asisten Pribadi


Keesokan harinya, Jumat, Jenni pindah ke ruanganku, Ada banyak gosip soal itu di kantor, tapi kami ga mempedulikannya. Semuanya akan terungkap pada waktunya nanti. Kami menyiapkan komputer, printer, dan scanner untuknya. Lalu kami mulai memeriksa orderan baru dan mendiskusikan spesifikasi yang diminta klien, sedikit demi sedikit agar Jenni memahami istilah dan teknis produk kami, bagaimanapun dia yang nantinya harus presentasi di depan klien.

Sorenya, aku menerima telepon dari Hasan, yang memberi tahu bahwa ada info baru tentang Boy Rolan, detektif swasta yang disewa Hadi dan Ana di Surabaya, dan bahwa kami harus pergi menemui orang itu. Aku setuju tanpa memikirkan Jenni dan apa yang akan dia lakukan kalau aku ga ada. Aku dan Hasan janjian untuk pergi ke Surabaya hari Senin dan dia berencana untuk langsung balik tanpa menginap. Jenni meyakinkan aku bahwa ada begitu banyak hal yang bisa dia pelajari dari order dan kontrak lama, sehingga hari itu ga akan sia-sia walaupun aku ga bisa mengajarinya langsung. Gadis yang hebat.

Malam itu aku menunggu sampai Tris pulang kerja dan meneleponnya untuk menceritakan tentang asisten baruku yang menarik. Aku berusaha mendeteksi nada kecemburuan dalam suaranya, tapi dia malah mendorongku dengan bilang untuk 'mencobanya', meskipun aku sudah bilang padanya dengan tegas bahwa hubungan kerja akan jadi terlalu rumit kalau sampai menyimpang di luar batas profesional. Dia tertawa keras, yang membuatku jengkel.

Sabtu malam, aku menjemput Jenni dengan naik taksi di apartmentnya. Aku ternganga kagum saat dia membuka pintu dan berdiri di hadapanku. Dia tampak sangat mempesona dan elegan. Rambutnya diikat keatas, dia juga memakai riasan yang sederhana tapi sangat efektif. Dia memakai ‘little black dress’ yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan dengan lipatan terbuka di bagian tengah paha, dilengkapi dengan bros, anting, dan kalung yang serasi. Kakinya dihiasi sepatu berwarna senada dengan hak yang ga terlalu tinggi.

Saat kami sampai di restoran, aku bisa melihat pengunjung lain memperhatikannya, terutama para pria. Sangat lucu menebak apa yang mereka pikirkan saat ini: 'Bagaimana mungkin seorang bajingan jelek seperti dia ditemani wanita secantik itu?'

Kami menjalani makan malam yang santai dan sangat menyenangkan bersama-sama. Kami cukup nyambung sebagai teman ataupun rekan kerja, kami sering tertawa, bicara tentang keluarga, terutama dia yang banyak bercerita tentang itu, aku hanya menceritakan tentang keluargaku di Singapore, kami juga berdiskusi tentang banyak hal lain sehari-hari tanpa membahas hal yang terlalu serius.

Ternyata ada banyak hal yang sama-sama kami sukai. Kami berdua suka olahraga, dia suka joging setiap pagi di sekitar apartment, sedangkan aku joging di gym; dia suka musik klasik dan teater. Aku suka musik klasik tapi seingatku belum pernah ke teater. Jadi secara umum kami saling mengenal dengan sangat baik.

Dia ingin tahu gimana rasanya punya bekas luka sepertiku dan melihat raut wajah orang-orang saat memandangku. Sebaliknya aku ingin tahu gimana rasanya jadi orang secantik dia, perasaan dipandangi oleh pria di sekitar. Aku baru tahu dia kadang-kadang merasa dihakimi, bahwa pria yang terlalu percaya diri itu seringkali sombong dan agresif dan beranggapan dia bisa diajak berhubungan seks dengan mereka – aku kaget dia membahas hal seperti ini denganku yang baru dikenalnya. Sementara pria 'biasa' yang sebenarnya menarik merasa terintimidasi dan merasa dia ga akan tertarik pada mereka.

“Untungnya kamu ketemu dengan orang jelek dan pemalu sepertiku,” Itu membuatnya tertawa dan entah bagaimana tawanya membuatku lega. Kebanyakan orang akan rikuh merasa bersalah saat aku bercanda tentang penampilanku.

Aku tanya padanya apa dia mau pergi ke tempat lain setelah ini, tapi dia bilang dia lebih baik pulang. Jadi aku mengantarnya pulang naik taksi lagi, mengucapkan terima kasih padanya dan kami tersenyum satu sama lain lalu mengucapkan selamat malam.

Minggu selalu jadi hari libur dan istirahat, dan itu yang kulakukan. Aku bangun terlambat, lalu keluar sebentar untuk jalan-jalan. Aku mampir ke supermarket untuk membeli koran dan pulang untuk menikmati kopi, membaca dan mengerjakan teka-teki silang.

Sorenya aku jalan-jalan lagi di sekitar apartment, lalu menyiapkan dan menyantap makan malam. Aku tiba-tiba mendapat sekelebat ingatan, sekali lagi hanya berupa kegiatan tanpa bayangan apa pun, bahwa aku selalu makan bersama keluarga setiap Minggu malam, entah di rumah atau di restoran. Anehnya, aku merasa bau dari makanan yang kumasak inilah yang membawa memori itu datang, dan itu memberiku resolusi bahwa aku harus membuat kontak dengan Hadi, Ana dan anak-anakku.

Malam itu kuhabiskan dengan berkemas untuk perjalanan ke Surabaya besok. Aku tahu kami seharusnya ga menginap, tapi Hasan menyarankan supaya aku mempersiapkan seandainya ada masalah dan kami harus menginap. Jam sebelas aku menelepon Tris.

"Gimana makan malamnya kemarin?" tanyanya, dengan nada yang samar-samar berbeda pada suaranya.

"Lancar," jawabku, pura-pura ga tahu arah pertanyaannya, "Makanannya enak banget."

"Ayolah, Errik, ceritain detailnya. Semuanya." Aku tersenyum mendengarnya.

"Tris, kemarin malam sangat menyenangkan. Kami ternyata punya banyak kesamaan. Sepertinya kami akan jadi rekan kerja yang cocok. Dia cerdas, pengetahuannya luas dan peka. Dia ga terintimidasi oleh penampilanku juga ga mengungkit-ungkit masalahku. Kami makan enak, obrolan yang nyaman, lalu aku mengantarnya pulang ke apartmentnya. Ga ada ciuman. Oke? Dia rekan kerjaku, Tris."

Aku hampir bisa mendengar dia mengangkat bahu dan memikirkan kata ‘so what?’

"Oke. Aku paham, tapi kamu tahu kan aku akan merasa jauh lebih lega saat aku pergi kalau kamu punya orang lain yang mendampingimu."

"Yah, aku juga sudah mikirin soal itu. Tapi, aku merasa akan lebih baik buatku kalau aku tetap sendiri sementara waktu. Ketika aku nantinya bertemu seseorang, aku ingin jadi seorang pria yang mandiri, bukan orang cacat yang harus bergantung pada orang lain."

"Ya ampun, Errik!" dia berteriak. "Kamu sama mandirinya dengan siapa pun yang aku kenal. Keberanian dan tekadmu itulah yang bikin kamu seperti sekarang, bukan orang lain. Aku tahu banyak orang yang cedera jauh lebih ringan darimu, dan sampai sekarang masih duduk di kursi roda."

"Tetap saja, aku merasa bahwa waktu sendiri, setelah kamu pergi nanti, akan baik buatku."

Dia lalu bilang bahwa mulai Rabu dia harus kerja lembur karena kekurangan staf sampai minggu berikutnya. Dia akan libur mulai Jumat minggu depan selama empat hari. Kami sepakat aku akan ke Semarang waktu itu.

"Sementara itu kamu bisa mengenal lebih dekat asisten cantikmu” Dia terkikik dan menutup telepon sebelum aku bisa protes.

----------0----------​

"Jadi, hari Sabtu kemarin kamu kencan dengan siapa?" Hasan bertanya saat kami dalam perjalanan ke bandara Soekarno - Hatta. "Kamu ga mau buang-buang waktu nganggur sepertinya? Seorang perawat di Semarang dan sekarang gadis rambut pirang yang sangat cantik ini juga. Apa betul mereka tertarik sama bekas luka dan kepala botak?" dia tertawa.

"Sepertinya begitu," jawabku dengan nada sombong, "Sebenarnya, dia asisten pribadi baruku dan malam itu aku mengajaknya makan malam untuk lebih saling mengenal."

"Dasar buaya!" dia menyeringai.

"Ngomong-ngomong, kok kamu bisa tahu aku makan malam?" Tanyaku.

"Aku punya cara sendiri," Gilirannya untuk jadi sombong, dan percakapan beralih ke rencana yang akan datang.

Kami sampai di Surabaya dan langsung bertemu dengan seorang polisi dari Surabaya yang berlangsung singkat. Ga ada informasi baru. Mereka sudah menyampaikan semua yang mereka tahu pada Hasan. Rekaman CCTV sudah lama terhapus, jadi Boy Rolan adalah satu-satunya harapan kami untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan bukti. Seorang anggota polisi bernama Fandi ditugaskan membantu kami, dan mereka memutuskan untuk mendatangi rumah Boy tanpa memberi tahu dia tentang kedatangan kami, agar kalau seandainya ada sesuatu yang ilegal, dia ga akan punya waktu untuk menghancurkan bukti yang mungkin akan berguna bagi kami. Yang jelas mereka entah bagaimana punya surat perintah untuk mengeledah rumah Boy Rolan.

Rumah Boy Rolan kosong saat kami pertama datang kesana, tapi seorang tetangga memberi tahu kami bahwa Boy baru akan pulang besok karena hari ini dia menginap di rumah anaknya. Kami terpaksa balik dan memutuskan untuk menginap di hotel tempatku menginap dulu, lalu mencoba mereka ulang kronologis seperti yang diceritakan oleh Emma dan Alfred sampai ke stasiun. Tapi ga ada gunanya. Jadi kami balik ke hotel dan makan lalu beristirahat untuk persiapan besok.

Besoknya suasana basah karena hujan tapi jam tujuh pagi kami sudah duduk di dalam mobil yang dipinjam Hasan dari kepolisian setempat didepan rumah Boy Rolan. Rumah itu cukup besar, lebarnya sekitar dua puluh meter dan memanjang tiga puluh meter kebelakang. Cukup mewah untuk seorang detektif swasta yang ga terdaftar di kepolisian. Kami menunggu sambil mendengarkan radio dan deru hujan di atap mobil, dan tepat jam sepuluh, orang yang kami tunggu tiba dengan seorang wanita yang kami perkirakan adalah istrinya. Kami membiarkannya masuk ke dalam rumah dan memberinya waktu sepuluh menit sebelum kami turun dari mobil dan mengetuk pintu.

"Ini saatnya," kata Fandi. "Kami mengetuk, dia menjawab dan membuka pintu. Kami menanyakan tentang kasus ini, tapi dia menyangkal bahwa dia punya catatan atas kasus itu. Hasan menunjukkan surat perintah dan mengingatkannya bahwa biasanya kalau polisi terpaksa mengeledah sebuah rumah, mereka bisa jadi malah akan menemukan hal-hal ilegal lain yang sebenarnya ga mereka cari. Dan ancaman itu berhasil karena dia mengizinkan kami masuk dan menyerahkan beberapa barang.

Seperti Jimmy teman kami, Boy Rolan adalah pria yang sama sekali ga mencolok, dia kelihatan seperti pria Indonesia normal, dengan tinggi rata-rata, berat rata-rata, pakaian biasa, ga ada penampilan yang aneh darinya. Wajahnya bulat dan kelihatan polos, tapi ini berbanding terbalik dengan sikapnya. Dalam kondisi normal dia ga akan pernah diperhatikan atau diingat oleh orang-orang yang hanya melihatnya sekilas.

Dia membawa kami ke dapur dan dari situ keluar ke sebuah bangunan terpisah semacam gudang. Kami bertukar pandang. Gudang seperti ini pasti lembab dan merusak bukti-bukti yang kami cari. Tapi ternyata di dalam ruangan itu kering dan hangat, berkarpet dan bersih. Ada sederet lemari di salah satu sisi dinding dan meja kecil di tengah ruangan. Kami berdiri berjajar di depan didnding seberangnya. Boy Rolan berdiri di dekat lemari.

"Kami yakin kamu mengambil foto-foto ini dari rekaman CCTV." Hasan memulai, mengeluarkan foto-foto dari tasnya, dan meletakkannya di atas meja. Boy memeriksanya.

"Aku membayar mahal untuk melihat rekaman itu dan membuat copynya," protes Boy. Mengejutkan karena dia sepertinya ga butuh waktu lama untuk mengingat itu.

Tiba-tiba dia sepertinya memutuskan ga ada gunanya mengulur-ulur waktu lebih lama dan mengambil map dari salah satu lemari. "Ini file kasus itu," katanya, "Ada kasetnya di dalam tapi ga tahu apa rekamannya masih bagus atau sudah rusak, juga ada print surat dari Nyonya Ana yang memintaku mencari Tuan Errik.”

"Film itu punya semua rekaman gambar yang menurutku aku perlu," dia menambahkan seolah sambil mengingat-ingat lagi.

Kami memeriksa map itu. Benar saja ada kaset, dan satu surat.


Tuan Boy yang terhormat

Kami mau memakai jasamu untuk mencari informasi tentang aktivitas suamiku Errik Riccardson.



Dalam surat itu lalu tertulis rencana perjalananku secara rinci, nama hotel, waktu dan tanggal.


Dia sudah menghilang sejak dia meninggalkan hotel, dan kami mengkhawatirkan keadaan pikirannya. Informasi apa pun akan sangat dihargai.


Surat itu ditutup dengan kata-kata seperti biasa, ditandatangani oleh Hadi dan Ana.

"Jadi apa yang sudah kamu lakukan?" tanya Hasan pada Boy.

"Menghubungi mereka dan membuat kesepakatan, mereka juga membayar dengan jumlah yang lebih besar dari seharusnya. Lalu saat aku mulai mencari Tuan Errik ke hotel, resepsionis hotel bilang bahwa Tuan Errik dan wanita itu, bisa dibilang, sangat dekat. Nah, kamu bisa lihat itu dari foto."

"Kamu ingin membuat copy foto ini dulu?" tanya Hasan, mengabaikan komentar dari Boy sebelumnya.

"Ga usah. Ambil aja."

"Kamu nulis apa dalam laporanmu?" tanya Fandi.

"Lupa. Tapi seingatku itu laporan standar aja. Seperti biasa kan, suami terlihat sama wanita lain, foto yang menjadi bukti, biasanya itu yang dicari oleh orang. Aku berasumsi pria yang menandatangani surat itu mungkin selingkuhan sang istri, dan mereka cari bukti untuk melawan balik suaminya. Aku sering ketemu kasus seperti itu dalam pekerjaan aku. "

Setelah itu kami pergi. Untungnya sekarang hujan sudah berhenti dan kami ga perlu berbasah-basah lagi saat kembali ke mobil. Kami kembali ke kantor polisi dan menonton videonya. Seperti yang diduga sebelumnya rekaman CCTV ini masih model lama, gambar diambil dengan jeda lima detik, bukan dalam bentuk video bergerak. Aku melihat gambar Emma dan aku di resepsionis saat akan meninggalkan hotel dengan membawa koper, lalu kamera dari sudut lain merekam gambar kami di lobby berpelukan, lalu minum kopi bareng. Kamera ketiga ada di Stasiun, di mana aku bersama Emma di loket pembelian tiket, lalu bertiga saat Alfred datang, lalu kami bertiga berpisah saat mereka naik ke kereta. Gambar terakhir menunjukkan aku pergi dari stasiun dengan seorang pria. Secara keseluruhan, foto-foto itu sama dengan yang dikirim Boy ke Ana dan Hadi, kecuali untuk gambar terakhir. Kenapa dia ga kirimin sekaligus?

"Mungkin dia kira itu ga diperlukan," kata Fandi. "Kalau dia kira mereka butuh bukti perselingkuhanmu, gambar terakhir itu ga akan berguna. Kami akan kembali lagi ke Boy dan menanyakan setelah itu kami akan infokan pada kalian."

Kami berterima kasih kepada orang-orang di kantor polisi, balik ke hotel, mengemasi barang kami dan segera memesan tiket untuk pulang. Hasan membawa semua bukti itu bersamanya, dan menyarankan kami berempat ketemu lagi hari Jumat untuk membahasnya di tempat biasa. Aku mengusulkan untuk ngumpul di apartmentku, dan dia bilang akan tanya ke yang lain dulu asalkan aku mau menyediakan bir untuk mereka.

Rabu sepertinya akan cerah. Pagi cukup dingin dan berkabut tapi segera tersapu oleh sinar matahri yang hangat, memberiku semangat untuk menjalani hari.

Saat aku sampai di ruangan kantorku, aku berhenti setelah menutup pintu, berpikir apa aku salah masuk ruangan. Ruangan itu entah bagaimana terasa nyaman. Ada vas bunga segar, dan lukisan abstrak di dinding. Lukisan-lukisannya menenangkan tapi aku ga tahu siapa nama pelukisnya.

Ada sofa dan kursi berlengan dari kulit di satu sisi ruangan dan dua meja kerja di sisi lain dengan sudut yang menarik, Jenni memandangiku dari balik salah satu meja, senyum lebar di wajahnya yang cantik menerangi ruangan. Bersaing dengan sinar matahari yang menembus jendela. Dia keliahatan sangat puas. Dia sepertinya menunggu-nunggu reaksi dari wajahku dan mau ga mau aku harus tersenyum.

"Kerjaanmu?" Aku menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Dia mengangguk. "Bagus, Jen," aku melanjutkan dengan semangat. "Sangat nyaman dan damai. Terima kasih. Aku ga kepikiran bisa seperti ini. Lukisan siapa itu?"

"Lukisan saya."

"Maksudku siapa pelukisnya?"

"Saya yang melukis."

Aku shock. Dia jelas juga punya bakat sebagai pelukis, kenapa dia malah jadi sekretaris? Suatu saat aku akan bertanya kalau ada waktu yang pas. Ada lebih banyak hal yang belum kutahu dari gadis yang menarik ini, jauh lebih banyak dari yang kelihatan.

"Bagus banget!" Aku berseru, dan dia berseri-seri karena senang.

"Menurutku, kalau lingkungan tempat kerjamu indah dan nyaman," katanya pelan, "Pekerjaan di kantor akan terasa lebih ringan. Ada terlalu banyak hal yang bikin stres dalam hidup. Semoga sedikit keindahan bisa melegakan."

"Kayaknya aku nemu harta karun. Aku jadi kepingin tahu bakat apa lagi yang kamu simpan dan rahasiakan. Aku yakin aku akan senang kerja sama kamu."

Rona merah muncul di pipinya yang putih, "Nah, gimana hasil peryelidikan disana?”

Aku menceritakan padanya tentang penyelidikan kami di Surabaya, dan bukti yang sudah kami lihat dalam bentuk aslinya dan lengkap.

"Bagus," katanya, senyum itu sekali lagi menerangi ruangan. "Lumayan sudah dapat kemajuan."

Ruangan itu ga cuma didekorasi. Dia sudah mengatur sistem penyimpanan file dan aku melihat semua tertata rapi. Kami lanjut membahas soal pekerjaan dan membahas persiapan pertemuan dengan klien dan supplier berikutnya, dan dari situ terlihat jelas bahwa dia juga sudah menyelesaikan semua PR-nya selama aku pergi.

Aku menemui Jeffry saat jam makan siang dan menceritakan tentang kepergianku ke Surabaya.

"Gimana pendapatmu tentang ruanganmu?" tanyanya, matanya berbinar.

Aku merentangkan kedua tanganku, "Aku speechless!"

"Dan aku jealous! Kalau ga ada Widya yang bantu aku, aku berencana merebut dia darimu."

"Jangan pernah mikir begitu! Dia punyaku!"

"Ya, mungkin betul sih. Dia memang sesuai tipemu, kan."

"Profesional, Jeffry, profesional. Kita pertahankan terus seperti itu."

Alfon meneleponku di kantor untuk memberi tahu aku bahwa mereka sudah sepakat pertemuan kami pindah ke tempatku, dan juga bahwa dia sudah menyerahkan laporan keuanganku ke pengadilan.

Sisa minggu itu penuh dengan kerja keras, secara intelektual di kantor, dan secara fisik di gym. Aku memaksa diriku semaksimal mungkin di gym pada Rabu sore, dan besoknya oleh fisioterapis di rumah sakit, yang sekali lagi memuji kemajuanku. Jumat sore, aku memperhatikan Jenni sedikit gelisah,

"Ada apa, Jenni?" Aku bertanya mendadak. Dia kelihatan kaget sesaat.

"Apa Bapak akan ketemuan sama Patricia weekend ini?"

"Sepertinya ga, mungkin minggu depan - dia kerja lembur weekend ini."

"Nah, kalau Bapak ga punya acara apa-apa Minggu malam, aku mau pergi nonton konser dan aku punya tiket lebih. Pak Errik mau ikut?"

"Konser apa?"

"Jakarta Concert Orchestra di TIM.”

"Yah..." aku ragu-ragu. Apa dia mengajak aku kencan? Dia membaca pikiranku.

"Bapak sudah traktir aku makan malam, dan katanya belum pernah nonton konser, jadi aku pikir aku mau ajak nonton konser mumpung ada kesempatan. Ga ada maksud lain."

Aku ga bisa menolak "Terima kasih Jenni, aku akan ikut, tapi aku punya syarat."

“Syarat apa?”

“Mulai sekarang ga perlu panggil aku Pak, cukup Errik, aku merasa panggilan itu menyebabkan sekat karena jabatan buatku dan karyawanku. Kalau kamu perhatikan, Widya juga ga pernah memanggil aku dan Jeffry pakai kata ‘Bapak’. Deal?”

"Deal, kalau gitu aku jemput jam setengah tujuh." katanya

"Apa kamu--"

"Ya, aku tahu alamat tinggalmu... Errik," dia tertawa, dan begitulah sekali lagi kami akan jalan berdua.


Jam delapan malam, sudah ada tiga orang temanku mengelilingi meja di apartmentku, masing-masing memegang sebotol bir ditangan masing-masing.

Hasan dan aku harus menceritakan ke yang lain bahwa sepertinya ga ada hal baru yang bisa didapat dari rekaman, selain dari gambar di frame terakhir yang menunjukkan bahwa pada akhirnya aku ga pergi dengan Emma.

"Coba lihat," kata Jimmy.

"Aku menyalinnya ke DVD ini." kata Hasan.

Aku menerimanya dan memasukkan ke laptop lalu menekan play. Kami menyaksikan dalam diam saat gambar bergantian muncul.

Mereka bertiga setuju bahwa gambar terakhir akan mengubah persepsi peristiwa yang sebenarnya terjadi, dan bahwa Boy Rolan sudah sengaja menyimpannya untuk tujuan tertentu, entah karena kemauannya sendiri atau karena dia disuruh.

Setelah selesai, Jimmy bilang, "Balik ke stasiun." Aku menuruti permintaannya dan gambar diulang lagi.

"Berhenti!" Kata Jimmy. Gambar di laptop berhenti. Kami semua memandangnya. Ada gambar Emma dan aku memesan tiket, dan beberapa orang lain berdiri di sekitar kami. "Kalian lihat pria di kiri bawah itu? Aku yakin aku pernah ngalihat dia sebelumnya, aku punya ingatan bagus soal wajah, itu membantu dalam pekerjaanku. Tapi aku ga bisa mengingatnya."

"Tunggu sebentar," sela Alfon. "Dia orang yang pergi bersamamu meninggalkan stasiun, Errik. Coba balik ke lobi hotel, gambar terakhir saat kalian berdua keluar dari hotel."

Aku menurut.

"Itu!" kata Alfon, "itu orang yang sama kan, Jimmy?"

Jimmy setuju. "Ya, itu dia. Nah, itu kebetulan yang ingin aku selidiki. Sepertinya dia sedang mengikutimu sampai ke stasiun. Mungkin juga bukan apa-apa, bisa saja kebetulan dia menginap di hotel yang sama. Ini bisa jadi cuma kebetulan tapi aku ragu. Biar aku coba selidiki lagi, aku yakin bisa menemukan jejaknya."

“Ngomong-ngomong,” Kata Hasan, “Aku belum bilang kalau aku ditarik dari menangani kasusmu, mereka menganggap aku punya hubungan terlalu dekat denganmu untuk bisa berpikir objektif. Tapi jangan khawatir, aku tetap boleh memberikan informasi apapun kalau aku punya tetntang kasus ini.”

Alfon menunggu sampai dua temanku yang lainnya pulang sebelum memberitahu progress tentang kasus perceraianku.

"Aku sudah menyerahkan daftar hartamu akhir minggu lalu, tapi belum dapat apa-apa dari perwakilan Ana, aku masih menunggu. Walaupun diserahkan langsung ke pengadilan, aku harus punya salinannya.” Kata Alfon, lalu menambahkan,

"Aku memang dapat usulan penyelesaian lain dari pengacaranya, tapi itu menyebutkan Ana akan dapat setengah dari perusahaan dan setengah dari seluruh asetmu. Lalu tunjangan untuk anak-anak jadi dua kali lipat. Aku membuat usulan balasan bahwa saat aku sudah terima daftar harta Ana darinya, aku baru akan memulai negosiasi, tapi usulannya sama sekali ga bisa diterima.”

"Ya Tuhan! Penjualan rumah itu bernilai beberapa ratus juta. Aku ga ngerti kenapa dia begitu agresif. Aku tahu dia terluka oleh kepergianmu yang dia anggap karena wanita lain, tapi ini balas dendam yang membabi buta. Dia bahkan sudah punya pria lain dan mereka akan menikah! Yang jelas, menurutku ini pasti harus dibawa ke pengadilan. Aku akan bikin penawaran yang menarik, tapi pasti akan dia tolak, lalu kita lihat saja nanti. "

Sangat menyedihkan setelah seminggu yang menyenangkan lalu mendengar kabar itu. Setelah Alfon pulang, aku beberes dan langsung tidur jam sepuluh malam. Aku terbangun karena suara telapon jam setengah dua belas, yang membuatku jengkel, dan kata-kataku yang sedikit kasar mengharuskan Tris meminta maaf.

"Aku pikir kamu ketemuan sama Alfon dan yang lain, aku pikir kamu masih sama mereka."

"Kami selesai lebih awal dan aku langsung tidur."

"Maaf." Lalu dia diam. "Oke, kalau gitu aku hubungi lagi besok," dan dia menutup telepon.

Aku seketika merasa bersalah dan ganti meneleponnya.

"Maaf Tris, Alfon menutup pertemuan malam ini dengan berita terbaru tentang perceraianku. Sangat menjengkelkan. Jadi, aku langsung tidur setelahnya."

"Selain itu?"

"Bagus banget," jawabku saat lebih sadar, "Kami ga nemu banyak hal baru di Surabaya selain sebuah foto baru yang mungkin akan mempengaruhi jalan cerita, selain itu sepertinya ga salah memilih Jenni jadi asistenku. Ruang kantorku kelihatan mewah, ada lukisan, lukisan yang dia buat sendiri, bunga, sofa. Terasa seperti rumah sendiri."

"Dia ngajak kamu kemana weekend ini?" Pertanyaan itu bikin aku kaget.

"Kok kamu bisa--"

"Errik," katanya dengan nada suara lembut, "Dia suka kamu. Aku sudah bilang berkali-kali, kamu itu laki-laki yang sangat menarik bahkan dengan semua bekas lukamu."

"Dia cuma mau gantian traktir karena aku sudah ajak makan malam minggu lalu."

Tawa di ujung sana hampir membuatku tuli.

"Errik sayang, jangan naif! Dia akan tetap bersikap sopan dan profesional, tapi aku yakin dia suka kamu."

"Kamu ga keberatan?"

"Kenapa aku harus keberatan? Sebentar lagi aku sudah ga disini."

"Tetap saja, aku ingin menjaga hubungan kami tetap profesional. Aku serius, Tris."

"Mungkin." dia tertawa lagi

Dia cerita tentang kerjaannya: kerja, kerja, kerja. Aku memberinya semangat dan membuat janji bahwa aku akan pergi ke Semarang weekend berikutnya, kami menutup telepon setelah itu.

Aku memikirkan tentang Jenni. Aku ga yakin kemana harus membawa hubungan kami nantinya. Aku menghela nafas dan memutuskan untuk menjalaninya dan membiarkan waktu yang menjawab. Ada perasaan yang mengganggu bahwa membawa hubungan kami melewati batas profesional akan sangat tidak etis, walaupun pasti sangat menyenangkan punya pasangan seperti Jenni. Aku menertawakan pikiranku sendiri lalu mencoba untuk tidur lagi, dan baru berhasil satu jam kemudian setelah membaca novelku.

Weekend ini aku ga punya kegiatan apa-apa yang bisa mengalihkan perhatianku dari rasa jengkel karena memikirkan keserakahan mantan istriku, jadi aku berusaha mencari kesibukan yang bisa dilakukan. Akhirnya aku membersihkan apartment dari ujung ke ujung, setelah itu aku keluar dan melihat sale peralatan fitness di mall. Pilihanku jatuh ke alat yang seolah membuat pemakainya seperti sedang mendayung kano.

Aku pulang dan butuh waktu lama berusaha memasangnya sendiri di apartment sebelum akhirnya berhasil, lalu aku langsung memakainya selama sekitar satu jam mendayung. Karena lelah, aku mandi dan hanya berbaring di sofa sambil nonton acara sampah di TV sampai malam. Hari Minggu aku hampir tidur seharian dan bangun untuk membeli makan dan koran, lalu kegiatan rutin mengisi TTS.

Karena itu aku sudah bersiap untuk pergi dengan Jenni jauh sebelum dia sampai. Saat akhirnya aku membukakan pintu untuknya, aku lihat dia memakai sweater hitam yang ketat dan celana jins, dan ga lama dia tertawa melihatku mekakai jas dan dasi kupu-kupu. Dia memiintaku untuk ganti pakaian yang lebih santai dan ga terlalu formal.

Dia terus tertawa, "Kayaknya yang pakai jas dan dasi kupu-kupu di konser ini adalah anggota orkestranya.”

Aku mempersilahkan dia masuk dan duduk di ruang tamu lalu aku ganti pakaian. Konsernya sangat bagus, es krimnya mahal tapi enak banget. Dia mengantarkanku balik ke apartment lalu dia pulang, kuteriakkan terima kasih saat mobilnya bergerak perlahan. Hubungan profesionalisme kami tetap terjaga, meskipun ada rasa menyesal karena aku ga mengundangnya mampir.

Minggu berikutnya sangat sibuk. Aku dan Jenni naik kereta ke Bandung untuk negosiasi dengan salah satu supplier kami. Meeting kami hari itu ga sia-sia pada akhirnya setelah diskusi panjang tentang apa mereka bisa membuat beberapa desain kotak percontohan untuk menampung salah satu produk kami sebelum diproduksi penuh. Aku rasa itu karena kemampuan diplomasi Jenni yang memenangkan persetujuan mereka, digabung dengan kombinasi rok pendek ketat dan blus sutra putih yang membuat para pria (semua peserta rapat dari pihak supplier adalah pria) meneteskan air liur, terutama saat dia menunduk dan mencondongkan tubuh ke depan untuk menjelaskan gambar rencananya di meja.

Hari Rabu minggu itu aku seperti biasa bertemu dengan ketiga temanku namun ga ada perkembangan baru terkait penyelidikan kasusku, jadi kami hanya minum dan ngobrol sebentar sebelum pulang. Saat kami pulang, Alfon mengundangku untuk makan malam keesokan harinya, Kamis, aku setuju dan entah kenapa aku merasa besok akan jadi malam yang mendebarkan.

Aku sudah siap setengah jam sebelum Alfon menjemputku hari Kamis sore. Dia beberapa kali bikin komentar tersirat agar aku siap untuk dapat ingatan baru dan bahwa kami akan makan di resto langanannya. Aku kaget karena ternyata Vivi ga diajak, atau mungkin lebih tepatnya dia dan Alfon sudah memutuskan dia sebaiknya ga ikut. Belakangan aku tahu bahwa dia ga yakin bisa menahan mulutnya untuk mengatakan hal yang kelewatan.

Alfon mengajakku ke sebuah restoran kecil tapi mewah di daerah Bintaro, yang dia yakinkan padaku akan membangkitkan kenangan untukku. Kami disambut oleh manajer restoran yang dari gerak-geriknya jelas sudah kenal baik dengan Alfon. Manajer memandangku dengan ekspresi yang sudah biasa kulihat dari orang yang baru pertama melihatku. Ada kira-kira sepuluh meja dan setengahnya sudah terisi. Kami diarahkan ke meja di sudut yang punya sudut pandang ke seluruh ruangan, yang menurut Alfon perlu.

Kami sudah mulai menikmati hidangan pembuka saat Alfon mendadak tegang dan bilang, "Lihat kearah pintu."

Aku menoleh dan melihat seorang pria baru saja masuk melalui pintu, kuperkirakan dia berumur sekitar lima puluh tahun, tubuhnya besar tapi lebih ke arah kekar, tampan dan klimis, dan dibelakangnya ada seorang wanita yang sangat menarik berumur sekitar empat puluh tahun, menurutku. Mereka tertawa bersama dan dia mengandeng lengan sang pria. Mereka diarahkan ke meja kosong yang berjarak tiga meja dari meja kami.

Saat pasangan itu berjalan ke meja mereka, Alfon berkata, "Itu dia. Itu yang namanya Hadi Firmanto."

"Dan itu Ana?" Tanyaku, menatap wanita itu, mencoba mengingat-ingat. Ga ada yang muncul. Dia memang wanita yang sangat menarik dengan keanggunannya yang terlihat dewasa, dengan wajah yang sangat cantik dan bentuk tubuh yang luar biasa, tapi aku ga berhasil mengingat apa pun.

Mereka duduk dan aku terus menatapnya, berharap ada memori yang muncul.

"Ingat sesuatu?" tanya Alfon.

"Ga," jawabku. "Tapi dia sangat cantik. Jadi dia mantan istriku?"

Pada tahap ini usaha ku untuk mendapatkan lagi ingatanku disalahartikan oleh Hadi Firmanto, dan dia menggumamkan sesuatu pada Ana lalu berdiri.

Dia melihat ke arah kami dan aku melihat ekspresi jijik sekilas diikuti oleh rasa kasihan. Ana mencoba menahan Hadi, lalu melihat ke meja kami dan dia melihat Alfon.

Aku mendengar dia berkata, "Itu Alfon dan temannya, biarin saja mereka."

Tapi dia ga akan membiarkannya. Ini adalah pria yang sedang cemburu. Hadi mendekat ke meja kami dan mengabaikan Alfon lalu berkata dengan agresif padaku.

"Aku akan berterima kasih kalau kamu ga menatap ist... tunanganku."

Aku berusaha menjaga nada suaraku tetap rendah.

"Kalau gitu ga perlu berterima kasih karena aku akan terus menatap apapun selama aku mau. Kalau boleh aku sarankan kamu pergi dan duduk di mejamu sendiri?"

"Dasar kamu..." dia mengepalkan tinjunya di samping tubuhnya dan Alfon turun tangan.

"Hadi, jangan bodoh. Kekerasan bisa jadi kesalahan yang mahal," dan dia menatap pria yang marah itu.

Mendengar ini, Ana muncul di samping Hadi dan karena aku berhadapan dengan Hadi maka itu berarti disampingku juga, lalu Ana meraih lengannya.

"Ayo sayang," katanya pelan. "Biarkan bapak-bapak ini melanjutkan makan malam mereka."

Dia tersenyum padaku dan aku bisa mencium bau parfumnya. Mungkin benar bahwa bau membangkitkan ingatan, seringkali lebih baik daripada suara atau gambar.

Setidaknya berhasil buatku, karena saat itu juga seakan-akan ada cahaya yang menyala di dalam kepalaku, dan hatiku. Kenangan lama datang bagaikan gelombang, saling menyusul. Aku memejamkan mata dan mencengkeram pinggiran meja. Itu karena kombinasi dari suara dan parfum, yang selalu kubelikan untuknya, aroma favoritnya.

Aku mendapat gambaran, kilasan saat kami berdua bergandengan tangan berjalan di sebuah taman, saat dia keluar dari kamar mandi, dan saat aku memandang wajahnya di atas bantal di pagi hari, dan masih banyak lagi. Bermain dengan anak-anak di taman belakang rumahku, saat dia memelukku di sofa, kepalanya bersandar di bahuku. Rasanya kenangan datang bagaikan air terjun yang terus menimpa yang sebelumnya, dan sekarang aku tahu kenapa begitu banyak orang yang sangat ingin aku kembali bersama Ana lagi. Aku sekarang punya memori visual!

"Errik!"

Lamunanku terganggu oleh seruan Alfon yang cukup pelan sehingga hanya aku yang bisa dengar.

"Errik! Kamu baik-baik saja?"

Aku membuka mataku. Pasangan itu sudah balik ke meja mereka dan ada adu argumen di antara mereka.

"Gak, aku ga baik-baik saja. Kita harus pergi, Alfon. Aku ga bisa tetap disini bersamanya."

Aku berjuang melangkah dan tertatih-tatih keluar dari tempat itu, menunggu Alfon di trotoar di luar resto. Aku merasa pandanganku gelap dan membungkuk untuk mengalirkan darah ke kepalaku. Lalu Alfon sudah sampai di dekatku dan aku merasakan lengannya memegang bahuku.

"Kamu ga apa-apa?"

"Apa aku kelihatan ga apa-apa?" Aku bertanya dengan nada jengkel dan langsung menyesalinya. "Maaf, Alfon, ayo kita ke mobil dan kasih kesempatan aku duduk."

Begitu kami masuk ke dalam mobil, Alfon duduk dengan sabar menunggu saat kepalaku jernih.

"Tadi bikin shock banget," kataku setelah berhasil menenangkan diri.

"Tapi katamu kamu ga ingat dia."

"Karena parfum dan suaranya, Alfon," aku merasa merinding. "Aku ga bisa jelasin gimana rasanya. Tiba-tiba ada banyak banget memori yang datang dan ga bisa kubendung. Rasanya seperti bom meledak."

"Yah, kamu benar-benar bikin Ana takut," dia tertawa. "Dia khawatir banget sama kamu, dia kira itu gara-gara Hadi. Saat aku keluar, Ana masih ngomel padanya karena Hadi terlalu gampang cemburu."

"Kamu ga--"

"Tentu saja ga, Errik. Kamu kira aku sebodoh itu?"

"Maaf."

"Aku bilang padanya bahwa kamu pernah terluka parah dan serangan seperti ini kadang-kadang datang lagi, tapi dia merasa bahwa Hadi-lah yang sudah menganggu kita. Kurasa mereka akan segera pulang, Ana marah sekali."

Aku mendapat ingatan lain. Ana dengan penuh semangat ngomel denganku. Aku tersenyum.

"Kenapa?" Dia bertanya.

"Aku baru ingat Ana pernah marah-marah padaku. Hadi pasti ketakutan kalau merasakan kemarahan Ana."

Kami berdua tertawa lalu dia mengantarku pulang.

Begitu sampai di rumah, aku duduk bersandar di sofa dan memejamkan mata. Aku mengalami mental shock dan ga bisa mencerna informasi sebanyak ini. Untuk pertama kalinya ingatan yang datang visual dan menggambarkan detail wajah orang-orang yang terlibat di dalamnya. Potongan besar puzzle sudah muncul, tapi itu membuatku adi sangat marah. Aku sadar sekarang bahwa ga cuma hidupku sendiri yang sudah rusak dan ga bisa diperbaiki, tapi kehidupan orang-orang yang kucintai juga sudah dihancurkan menjadi serpihan.

Aku lalu ingat bahwa aku mencintai Ana, dan bahwa aku sudah mencintainya selama bertahun-tahun. Kami sudah membesarkan anak-anak kami sebagai satu tim, satu keluarga. Aku tahu dengan jelas bahwa kami berdua adalah pasangan yang serasi sebelum aku dengan kejam dicabik lepas dari semua itu.

Akan tetapi, Ana, orang yang kucinta sepenuh hati, ga bersusah payah mencari informasi lebih lanjut untuk mencari keberadaanku selain dari hasil penyelidikan sepintas oleh detektif swasta yang cerdik, dia menerima begitu saja hasil yang disampaikan oleh Boy Rolan sang detektif. Aku yakin, kalau yang terjadi adalah sebaliknya, aku pasti akan tetap mencarinya sampai dapat. Dari situ aku merasa benar-benar kecewa dan dikhianati.

Dia kelihatan sangat bahagia, sangat riang, hidup tanpa beban bersama Hadi Firmanto, mengandeng lengannya, tersenyum padanya. Seakan dunia milik mereka berdua. Aku begitu mudah dilupakan, atau dibenci karena sesuatu yang sebenarnya ga pernah kulakukan. Aku menderita, dan dia? Aku punya kehidupan yang buruk dan dia sudah move on dengan seorang laki-laki lain yang tampan.

Pikiran itu berputar-putar terus di kepalaku, aku kesal dan gelisah, dan saat aku berjusaha untuk berdiri dan pergi tidur, pikiran-pikiran itu terus berlanjut di kepalaku. Itu ga logis, itu ga masuk akal. Aku sangat capek tapi ga bisa tidur. Tapi pada akhirnya aku tertidur, dan paginya bangun dengan kondisi yang ga nyaman.

Ga nyaman sepertinya ungkapan yang terlalu meremehkan. Aku lebih mirip seperti zombie. Aku ga tau gimana aku bisa menyetir sampai ke kantor, tapi begitu aku sampai di kantor asistenku yang cantik menyuruhku pulang. Bukan, dia mengantarkanku pulang dengan mobilku.

"Balik ke tempat tidur," perintahnya.

Dia yang berkuasa hari ini, tapi aku suka inisiatifnya. Aku juga sudah cerita padanya bahwa aku harus nyetir ke Semarang sore nanti. Aku tahu dia pernah bilang ga mau jadi perawatku, tapi sekarang dia ga bilang apa-apa dan membuka lemari es lalu mengambil beberapa bahan makanan untuk menyiapkan sup dan teh hangat untukku. Setelah itu aku masuk ke kamar dan tidur lagi selama beberapa jam.

Sorenya aku bangun lebih segar dan mengantarkan Jenni kembali ke kantor, mengucapkan banyak terima kasih yang dibalas dengan senyuman yang sama hangatnya dengan sup yang tadi dibuatnya, lalu aku langsung berangkat ke Semarang.

Ini pertama kalinya aku berkendara sejauh ini. Begitu aku keluar dari mobil setelah sampai di Semarang, Tris tahu aku punya masalah. Rasa simpati terpancar jelas di wajahnya.


Bersambung... Chapter X
Mantap bgt suhu, btw jd pengin nnton lg orkesta jakarta city philharmonic di TIM, semenjak pandemi konsernya virtual.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd